Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PASIF


Dikumpulkan dan disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Instalasi Plambing.
Semester IV Tahun Akademik 2018-2019

Oleh :
Safira Lokinasti Salsabila 171144027
Shafira Dea Prasanti 171144028
Syahruk Malik Dirgantara 171144029
Tyas Sukma 171144030
Widdy Hijriyanthi Hakim 171144031
Widya Sofriani Putri 171144032

Kelas II
Program Studi Teknik Perawatan dan Perbaikan Gedung

Dosen Pembimbing :
Ahmad Sofyan., SST., M.Eng
NIP .

Jurusan Teknik Sipil


Politeknik Negeri Bandung
2018-2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Api merupakan salah satu elemen penting yang menunjang kehidupan
manusia. Api merupakan hasil suatu reaksi pembakaran antara bahan bakar, udara,
dan sumber percikan. Dahulu pemanfaatan api hanya terbatas untuk memasak,
alat penerangan, berburu, maupun alat perang. Namun pada masa sekarang ini,
pemanfaatan api sudah meluas dan dimanfaatkan untuk menghasilkan energi lain
seperti energi listrik dan gerak. Proses pemanfaatan api seperti ini dikenal dengan
proses pembakaran. Tetapi dalam pemanfaatannya api juga dapat merugikan bagi
kehidupan manusia. Api yang merugikan adalah api yang tidak dapat dikendalikan
(uncontrolled) baik itu berukuran kecil maupun besar pada tempat yang tidak
dikehendaki, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian untuk kehidupan
manusia, dan lebih dikenal dengan nama kebakaran. Kebakaran bisa terjadi
dimana saja karena terdapat pemicu terjadinya kebakaran. Kebakaran dapat terjadi
di perumahan, gedung perkantoran, pabrik industry, kilang minyak, hutan, dan
lain-lain.
Terdapat dua macam sistem penanggulangan atau proteksi kebakaran,
yaitu sistem proteksi aktif dan sistem proteksi pasif. Sistem proteksi aktif
merupakan sistem penanggulangan atau proteksi kebakaran melalui sarana aktif
bangunan pada umumnya seperti smoke detector, heat detector, alarm sebagai alat
pendeteksi kebakaran, dan sprinkler, hydrant, APAR sebagai alat pemadam
kebakaran. Sedangkan sistem proteksi pasif yaitu sistem penanggulangan atau
proteksi kebakaran melalui sarana-sarana pasif yang terdapat pada bangunan,
seperti meningkatkan kinerja bahan bangunan, struktur bangunan, pengontrolan
dan penyediaan fasilitas pendukung penyelamatan terhadap bahaya api dan
kebakaran.
Banyak orang yang sudah femiliar dengan alat ataupun prasarana pada
system proteksi aktif, sedangkan yang pasif kurang diperhatikan. Padahal sebelum
melakukukan pemadaman api secara langsung alangkah baiknya untuk
mengetahui sarana apa saja yang dapat dipakai sebagai tempat perlindungan dan
pencegahan pertama kali saat terjadi kebakaran pada gedung. Maka dari itu dalam
makalah ini akan kami jelaskan apa saja yang terlibat didalam sistem proteksi
kebakaran pasif dan hubungan dari satu tempat ke tempat lainnya.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu sebegai berikut:
1. Mengetahui apa saja yang termasuk sistem proteksi kebakaran pasif.
2. Mengetahui sistematika penggunaan tempat yang aman saat terjadi
kebakaran.
3. Mengetahui denah dan jalur evakuasi pada gedung yang ditempati.
4. Membuat perencanaan akses jalan, jalur evakuasi, titik kumpul, dan tangga
darurat.

1.3 Ruang Lingkup


Pada penelitian ini kami mencoba untuk menjelaskan dan menggambarkan
perencanaan sistem proteksi kebakaran pasif. Khususnya mengenai tempat-tempat
yang akan digunakan untuk menghindari dari bahaya kebakaran apabila terjadi
pada gedung yang sedang ditempati oleh orang–orang.
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Sistem Proteksi Kebakaran


Suatu bangunan gedung memiliki potensi terjadinya kebakaran. Apalagi
bila bangunan tersebut material konstruksinya berasal dari material yang mudah
terbakar dan digunakan untuk menyimpan bahan-bahan yang mudah terbakar.
Oleh karena itu, untuk meminimalisasi kebakaran dan menanggulangi kejadian
kebakaran pada bangunan gedung, maka gedung harus diproteksi melalui
penyediaan sarana proteksi kebakaran dan kesiapan pengelola, penghuni dan
penyewa bangunan dalam mengantisipasi dan mengatasi kebakaran.
Sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung merupakan sistem yang
terdiri atas peralatan, kelengkapan dan sarana, baik yang terpasang maupun
terbangun pada bangunan yang digunakan baik untuk tujuan sistem proteksi aktif,
sistem proteksi pasif maupun cara-cara pengelolaan dalam rangka melindungi
bangunan dan lingkungannya terhadap bahaya kebakaran.

2.2 Sistem Proteksi Kebakaran Pasif


2.2.1 Definisi
Sistem proteksi kebakaran pasif adalah material pendukung yang bersifat
menghalangi atau menghambat laju penyebaran asap, gas beracun, api dan panas
yang terjadi selama proses kebakaran secara vertikal maupun horizontal dengan
mengatur jarak antar bangunan, memasang dinding pembatas tahan api, menutup
setiap bukaan dengan media tahan api dengan suatu mekanisme tertentu.
Disebut “pasif” karena aktivasi dari sistem proteksi kebakaran ini tidak
memerlukan sensor ataupun perangkat daya dan sebagian besar dari sistem
tersebut tidak memerlukan perawatan. Alat ini selalu hidup dan tidak perlu
diaktifkan untuk melakukan perannya sebagai alat proteksi. Sekali terpasang
dengan benar, maka usia dari sistem proteksi kebakaran pasif mengikuti usia
pemakaian bangunan di mana sistem tersebut terpasang. Namun, setiap daerah
bisa jadi memiliki solusi yang berbeda sesuai kondisi geografisnya.
2.2.2 Tujuan
Tujuan dari sistem proteksi kebakaran pasif adalah untuk menjaga
stabilitas kekuatan struktur bangunan pada saat terjadi kebakaran, melindungi
manusia maupun aset. Jenis perlindungannya memiliki dua arah. Pertama agar
kebakaran dan efek-efeknya tidak menyebar ke luar area tertentu. Kedua agar
kebakaran dan efek-efeknya tidak memasuki area tertentu.
Waktu yang dibutuhkan pun bervariasi tergantung dari tujuan alat
digunakan namun secara komersial, waktu yang dibutuhkan adalah 240 menit.
Sebelum dijual ke pasaran, alat proteksi kebakaran pasif harus dilakukan testing,
adapun tiga kriteria testing yang dilakukan adalah :
a. Stabilitas
Sistem harus dapat memenuhi unsur proteksi untuk waktu yang diminta
b. Integritas
Sistem harus mencegah kebakaran dengan menahan asap dan gas berbahaya
menyebar untuk waktu yang diminta
c. Isolasi
Temperatur dalam ruangan tidak melebihi batas yang telah ditentukan dalam
waktu yang diminta

2.2.3 Keunggulan
Dalam banyak kasus, proteksi pasif akan membakar ruangannya sendiri
tanpa menyebar ke area lainnya. Keunggulan lain dari sistem proteksi kebakaran
pasif adalah melindungi penghuni gedung untuk melakukan evakuasi dengan
selamat. Hal ini dikarenakan kebakaran tertahan dalam satu ruangan dalam waktu
yang lama. Alat proteksi ini juga melindungi bangunan dari kehancuran atau
kerusakan akibat kebakaran, sehingga dapat menekan kerugian yang diakibatkan
oleh kebakaran baik kerugian materi maupun korban jiwa.

2.3 Jenis-Jenis Sistem Proteksi Kebakaran Pasif


2.3.1 Means Of Escape (Jalur Evakuasi)
Jika kebakaran telah dideteksi, maka prioritas utama adalah
menyelamatkan penghuni atau manusia yang berada di lokasi kejadian. Di dalam
kebakaran gedung, sebagian besar kematian disebabkan oleh asap kebakaran.
Oleh karena itu sangat penting untuk menyiapkan rute aman penyelamatan diri
dari bahaya kebakaran atau asap. Sarana penyelamatan diri tersebut disebut jalur
evakuasi yang merupakan bagian dari konstruksi atau fasilitas.

Jalur evakuasi harus direncanakan dengan baik sejak proses perancangan.


Untuk itu, dalam merancang bangunan atau fasilitas harus disiapkan jalur
evakuasi yang sesuai ukuran dan jumlahnya dengan kapasitas ruangan sehingga
semuanya dapat keluar dalam waktu yang ditentukan.

Informasi yang diperlukan untuk merancang jalur evakuasi antara lain :


a. Laju alir; 40 orang per menit.

b. Waktu evakuasi (time of evacuation)


Waktu yang diperlukan untukevakuasi tergantung kepada konstruksi
bangunan dan jumlah penghuni.
Berdasarkan kelas bangunan, waktu evakuasi maksimum adalah:

 Hunian Resiko Bahaya Kebakaran Berat (Kelas A) : 3 menit

 Hunian Resiko Bahaya Kebakaran Sedang (Kelas B) : 2,5 menit;

 Hunian Resiko Bahaya Kebakaran Ringan (Kelas C) : 2 menit;

Klasifikasi ini terdapat pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 186


Tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran Kebakaran di
Tempat Kerja.

c. Jarak perjalanan menuju tempat aman


Jarak tempuh diukur dari setiap titik dalam bangunan ke tempat aman
Jarak tempuh sangat ditentukan oleh kecepatan seseorang bereaksi dan
bergerak menyelamatkan diri, serta kecepatan api untuk menghambat
perjalanannya.
d. Jumlah penghuni
Jumlah penghuni yang berada dalam bangunan juga menentukan dalam
menghitung means of escape. Penghuni harus memperhitungkan
penggunaan bangunan , misalnya untuk kegiatan pertemuan atau resepsi.
e. Perhitungan lebar jalur keluar
Lebar jalur keluar diperhitungkan berdasarkan jarak tempuh minimum dan
jumlah penghuni, arus keluar dan waktu keluar yang diperlukan.

f. Perhitungan jumlah minimum pintu keluar


Jumlah minimum pintu keluar tergantung kepada lebar unit keluar yang
diperlukan dan ukuran maksimum dari unit keluar.

2.3.2 Pintu darurat

Pintu darurat merupakan pintu besi yang tahan api sampai jangka waktu
tertentu (tergantung fire rating) untuk mencegah penyebaran api dan asap pada
koridor darurat suatu gedung. Pintu ini dipasang pada pintu menuju tangga
darurat.

Beberapa syarat yang perlu di penuhi oleh pintu kebakaran diantaranya adalah:

1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 26/PRT/M/2008 menjelaskan


bahwa pintu darurat harus didesain mampu berayun dari posisi mana-pun
hingga mencapai posisi terbuka.
2. Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya 2 jam.
3. Pintu harus di lengakapi dengan minimal 3 engsel, alat penutup pintu
otomatis, tuas atau tangkai pembuka pintu , tanda peringatan ” PINTU
DARURAT TUTUP KEMBALI ” dan kaca tahan api di letakkan di
setengah bagian atas dari pintu dan
4. Pintu harus di cat dengan warna merah.
2.3.3 Tangga darurat

Bangunan gedung harus disediakan sarana vertikal selain lift, seperti


tangga darurat. Tangga darurat adalah tangga yang dapat digunakan pada
saat terjadi keadaan darurat.

Tangga darurat dalam gedung.

Tangga darurat luar gedung.

Kriteria tangga darurat menurut SNI 03-1746-2000 yaitu:


 Lebar bersih 110 cm (44 inci) atau 90 cm (36 inci) bila penghuni yang
dilayani jalur tangga kurang dari 50 orang.

 Maksimum ketinggian anak tangga 19 cm.

 Kedalaman anak tangga minimum 25 cm.

 Tinggi ruang minimum 200 cm.

 Setiap tangga, panggung dan bordes harus sesuai standar konstruksi dan
harus terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar

 Semua tangga harus dari konstruksi tetap yang permanen.

2.3.4 Penunjuk arah (exit sign)

Penunjuk arah adalah tanda menuju arah keluar atau evakuasi.

Kriteria petunjuk arah menurut SNI 03-6574-2001, antara lain:

 Lokasi pemasangan (arah menuju tempat aman dan di lokasi yang


mudah terbaca, pada setiap pintu menuju tangga yang aman setinggi 15
cm-20 cm dari dasar tanda ke lantai dengan tulisan “EXIT”, dipasang
pada pintu darurat dengan jarak 10 cm dari rangka pintu dan tidak ada
dekorasi atau perabotan yang menghalangi tanda tersebut)

 Ukuran exit sign (tanda “EXIT” diberi warna kontras dengan latar
belakang, tanda “EXIT” ditulis dengan huruf kapital dengan tinggi
minimal 15 cm, tebal minimal 2 cm, lebar minimal 5 cm dan jarak
minimum antar huruf 1 cm) dan pencahayaan 300 lux dalam keadaan
normal dan 10 lux dalam keadaan darurat.

2.3.5 Koridor (escape routes)

Koridor adalah jalur-jalur aman yang ditetapkan untuk menuju ke titik


kumpul pada saat terjadi keadaan darurat.

Kriteria koridor menurut Ramli (2010) yaitu tidak licin, bebas hambatan,
lamanya waktu keluar (risiko ringan = 3 menit, risiko sedang = 2,5 menit
dan risiko berat = 2 menit) dan panjang jarak tempuh (risiko ringan = 30
meter, risiko sedang = 20 meter dan risiko berat = 15 meter).
2.3.6 Titik Kumpul
Titik Kumpul adalah area terbuka di dekat pusat-pusat lingkungan
permukiman yang apabila terjadi bencana maka menjadi titik pertemuan
penduduk yang hendak diungsikan ke tempat yang lebih aman, atau
disebut juga Tempat Evakuasi Sementara (TES). Titik Kumpul sebagian
besar merupakan lapangan olah raga, atau berupa area terbuka yang
memungkinkan dilakukan kegiatan pengungsian seperti halaman kantor
desa, sekolah, tempat parkir atau tempat ibadah.
Persyaratan Titik Kumpul adalah :
a. Ketersediaan ruang atau area terbuka yang memadai. Menurut NFPA
101 tahun 2000, titik kumpul harus menyediakan space 0,3 m2 per
satu orang dengan tinggi minimal 200 cm atau lebih, berjarak 6,1
meter,
b. Jalur Evakuasi mudah diakses oleh korban bencana maupun
penolong,
c. Ketersediaan akses transportasi yang memadai dan akan membawa
ke tempat yang lebih aman dan nyaman secara cepat,
d. Aman dari jatuhan dan bahaya lainnya,
e. Kesediaan peta Jalur evakuasi yang mudah dipahami secara cepat,
f. Ketersediaan sarana komunikasi memadai yang terhubung dengan
struktur organisasi kedaruratan.
2.3.7 Jalur Akses Masuk dan Lapisan Perkerasan
Setiap bangunan harus menyediakan perkerasan yang ditempatkan
sedemikian rupa, sehingga dapat langsung mencapai bukaan akses
pemadam kebakaran pada bangunan. Perkerasan tersebut harus dapat
mengakomodasi jalan masuk dan manuver mobil pemadam, snorkel, mobil
pompa, dan mobil tangga dan platform hidrolik.
Lapisan perkerasan harus memiliki lebar minimum 6 m dan
panjang minimum 15 m, dan lapis perkerasan harus ditempatkan tidak
boleh kurang dari 2 m dari tepi terdekat atau lebih dari 10 m dari pusat
posisi bukaan akses pemadam kebakaran. Lapis perkerasan harus dibuat
sedatar mungkin dan tinggi ruang bebas di jalur masuk mobil pemadam
minimum 5 m untuk dapat dilalui peralatan pemadam tersebut.
Bidang kerja dengan lebar 4 m sebaiknya diletakkan sepanjang sisi
bangunan. Panjang maksimum 45 m antara ujung jalan akses mobil
pemadam kebakaran dan ujung terjauh dari bidang kerja untuk mencegah
kelebihan gerakan dari petugas pemadam kebakaranseperti pada gambar
berikut.

Ketentuan jalur akses mobil pemadam kebakaran


Sumber: SNI 03-1735-2000.
2.3.8 Fire Retardant (Pelapisan Bahan Tahan Api)

Fire Retardant Materials adalah zat selain air yang dapat


mengurangi resiko bahan untuk terbakar atau dapat melambatkan proses
pembakaran bahan tersebut, sehingga cocok untuk penerapan pelapis
gedung atau bangunan baik untuk pemasangan panel composite untuk area
Outdoor ataupun Indoor. Penghambat api ini juga dapat diterapkan untuk
bahan yang digunakan untuk melapisi objek. Fire Retardant yang umum
digunakan dalam pemadaman kebakaran.

Ada beberapa cara dimana proses pembakaran dapat ditahan, yaitu:

 Dengan pendinginan

Beberapa reaksi kimia dapat mendinginkan bahan.

 Dengan membentuk lapisan pelindung yang mencegah bahan dasar


untuk terbakar.

 Dengan pengenceran.

Beberapa penghambat dapat melepaskan air atau karbon dioksida


saat dibakar. Hal ini dapat mencegah nyala api untuk keluar.
2.3.9 Sistem Kompartementasi (Pemisah bangunan resiko kebakaran
tinggi)
Kompartemensi adalah metoda pengaturan tata ruang untuk
menghambat penjalaran kebakaran ke bagian lain. Metoda ini dapat
menerapkan jarak tertentu atau dengan dinding pembatas dan mengatur
posisi bukaan tidak saling berhadapan.
Persyaratan Sistem Kompartemensi, antara lain:

a. Tempat kerja harus dibagi menurut jenis dan sifat pekerjaannya

b. Daerah untuk menyimpan atau mengolah bahan yang dapat meledak


atau terbakar harus terpisah dengan ruangan yang menggunakan alat
yang dapat menimbulkan sumber panas.

c. Jarak aman harus diperhitungkan agar saat terjadi kebakaran tidak


mudah merambat ke tempat lain.

d. Tempat kerja dibuat juga dengan cara dibatasi denga tembok tahan api.

2.3.10 Sistem Pengendali Api

Fire Damper merupakan alat untuk menutup atau memblokir


lubang ventilasi pada pendingin atau pemanas ruangan sehingga jika
sewaktu - waktu terjadi kebakaran, fire damper ini bisa difungsikan
sebagai penutup agar api tidak menyebar keseluruh ruangan. Prinsipnya
adalah jika udara dihentikan maka api sulit untuk menyebar karena api
memerlukan oksigen yang terkandung dalam udara untuk merambat. Maka
dari itu, Fire damper sangat penting untuk pengamanan pada gedung-
gedung disaat ada keadaan genting seperti kebakaran.
Fire damper memiliki bahan Alumunium Steel yang tahan terhadap
panas api, sehingga kuat untuk menahan panas saat terjadi kebakaran,
selain itu keunggulannya adalah dapat bertahan lama sampai bertahun-
tahun tanpa maintenance atau perbaikan bahkan pergantian alat. Dengan
menggeser tuas yang berada pada alat ini untuk menghentikan aliran udara
pada sistem pendingin atau pemanas udara.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.
Berdasarkan jenisnya penelitian ini termasuk penelitian observasional dimana
bertujuan untuk menganalisis sistem proteksi kebakaran pasif sebagai upaya
pencegahan dan penanggulangan kebakaran di Gedung Bea Cukai Cikarang.
Analisis dalam penelitian ini bersifat deskriptif, mendeskripsikan objek
dengan analisis kualitatif tanpa pengujian hipotesis. Objek penelitian ini adalah
sistem proteksi kebakaran pasif di Gedung Bea Cukai Cikarang yang terdiri atas
sistem proteksi kebakaran pasif akses dan pasokan air untuk pemadam kebakaran.
Sistem proteksi kebakaran pasif, sarana penyelamatan jiwa, dan manajemen
tanggap darurat.
Penelitian ini dilakukan pada lantai 1 dan 2 Gedung Bea Cukai Cikarang
yang lebih di fokuskan pada sistem proteksi kebakaran pasif. Analisis deskriptif
ini didasarkan pada aspek kesesuaian bangunan terhadap standar sistem proteksi
kebakaran pasif yang telah diatur khususnya dalam SNI 03-1736-2000 dan
Peraturan Menteri PU No. 26/PRT/M/2008. Analisis ini lebih bersifat argumen
kualitatif dan didukung penilaian kuantitatif.

3.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana akses jalan pada sistem proteksi kebakaran pasif ?
2. Bagaimana jalur evakuasi pada sistem proteksi kebakaran pasif ?
3. Bagaimana titik kumpul pada sistem proteksi kebakaran pasif ?
4. Bagaimana tangga darurat pada sistem proteksi kebakaran pasif ?

3.3 Lokasi Penelitian


Objek penelitian berlokasi di Jl. Tekno Boulevard, Tanjungsari, Kec.
Cikarang Utara, Bekasi, Jawa Barat 17530.
3.4 Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai sejak penulis diberikan tugas oleh Dosen Mata
Kuliah Instalasi Plumbing, yaitu kurang lebih terhitung sejak 23 April 2019 dan
target selesainya penelitian ini yaitu 2 minggu sebelum Ujian Akhir Semester,
yaitu pada 16 Juni 2019.

3.5 Sumber Data


Data yang dikumpulkan secara garis besar terbagi menjadi :
a. Data primer, yaitu data yang dikumpulkan dan diolah oleh penulis sendiri
mengenai sistem proteksi kebakaran pasif pada Gedung Bea Cukai
Cikarang.
b. Data sekunder, yaitu data yang penulis dapatkan dari pihak lain berupa
gambar detail dari perencanaan sistem proteksi dan hydrant Gedung Bea
Cukai Cikarang serta sumber lain yang berupa jurnal dan karya ilmiah
lainnya.

3.6 Metode Pengambilan Data


Dalam penelitian ini penulis mengambil metode observasi dan
dokumentasi, dimana semua data yang didapatkan diamati untuk mendapatkan
hasil.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Akses Jalan pada Sistem Proteksi Kebakaran Pasif


Pada area sekitar lingkungan bangunan gedung, harus tersedia jalan lingkungan
dengan perkerasan untuk melakukan proteksi bila kebakaran meluas dan agar akses
menuju gedung mudah dilalui oleh pemadam kebakaran.

Gambar 4.1 Gambar Site Akses Jalan Gedung Bea Cukai Cikarang

Berikut hasil penelitian site (jalan lingkungan) Gedung Bea Cukai Cikarang
No. Persyaratan Hasil Penelitian

1. Akses jalan lingkungan menggunakan Sesuai


perkerasan.

2. Lebar lapisan perkerasan mobil kebakaran min. Lebar 4m


6m dan min. 4m untuk mobil.

3. Radius terluar dari belokan jalur masuk tidak <10.5m


boleh lebih dari 10.5m.
4. Lapisan perkerasan harus selalu dalam keadaan Sesuai
bebas rintangan dari bagian lain bangunan,
pepohonan, tanaman atay lain-lain dan tidak
boleh menghambat jalur antara

perkerasan dan bukaan akses.


Tabel Analisa Site Gedung Bea Cukai CIkarang

Berdasar pada acuan standar tabel diatas, maka hal-hal yang dapat
disimpulkan tentang jalan lingungan bangunan Gedung Bea Cukai Cikarang
adalah sebagai berikut:

1. Jalan lingkungan pada site sudah menggunakan perkerasan.


2. Lebar jalan pada site ±4m, cukup untuk dilalui kendaraan pribadi namun
terlalu sempit untuk dilalui oleh mobil pemadam kebakaran bila terjadi
kebakaran.

4.2 Jalur Evakuasi pada Sistem Proteksi Kebakaran Pasif

4.2.1 Koridor

Sarana jalan keluar merupakan jalan yang tidak terputus ataupun terhalang
menuju jalan umum. Sarana jalan keluar berfungsi untuk memudahkan proses
evakuasi sehingga penghuni bangunan dapat dengan cepat mengakses jalan keluar
bangunan.
Gambar 4.2 Gambar Denah Koridor Gedung Bea Cukai Cikarang

Berikut hasil penelitian sarana jalan keluar (koridor) Gedung Bea Cukai .
No. Persyaratan Hasil Penelitian
1. Lebar koridor bersih minimum 1,8m dan > 1,8m, 3m
tinggi min. 2,3m

2. Koridor harus dilengkapi dengan tanda-tanda Dilengkapi dengan tanda


penunjuk yang menunjukkan arah kepintu penunjuk pada beberapa
darurat atau arah keluar.
titik
3. Koridor harus bebas dari barang-barang yang Bebas halangan
dapat menggangu kelancaran evakuasi.

4. Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu Sesuai


darurat atau arah keluaryang terdekat tidak
boleh lebih dari 25m.

Tabel 4.4. Analisa Koridor Gedung Bea Cukai

Berdasar pada acuan standar tabel diatas, maka hal-hal yang dapat
disimpulkan tentang koridor bangunan Bea Cukai adalah sebagai berikut:

1. Lebar dan tinggi minimum koridor jalan keluar bangunan Bea Cukai
Cikarang memenuhi standar persyaratan.
2. Disepanjang koridor jalan keluar telah dilengkapi dengan Signboard namun
hanya pada beberapa titik saja.

4.2.2 Pintu Darurat


Pintu darurat adalah pintu yang dipergunakan sebagai jalan keluar usaha
penyelamatan jiwa pada saat terjadi kebakaran (NFPA 101). Pintu darurat
merupakan pintu menuju tangga darurat yang tidak boleh terhalang dan terkunci
serta harus terhubung langsung ke arah luar.

Gambar 4.10. Pintu Darurat eksisting Gedung Bea Cukai Cikarang

Berikut hasil penelitian pintu darurat Gedung Bea Cukai Cikarang

No. Persyaratan Hasil Penelitian


1. Setiap bangunan gedung negara Sisi utara Sisi timur laut
yang bertingkat lebih dari 3 bangunan bangunan
lantai harus dilengkapi dengan
pintu darurat min. 2 buah.
2. Lebar pintu darurat 90cm 1m
min. 100cm.
3. Membuka ke arah ruang tangga Sesuai Tidak sesuai
kecuali pada lantai dasar
membuka ke arah luar.
4. Harus dilengkapi dengan kaca Luas = 0,03m2 Tidak ada
tahan api dengan luas maks. 1m2
dan diletakkan di setengah
bagian atas dari daun pintu.

5. Pintu darurat harus tahan api Tahan api Tidak tahan api
min. 2 jam.
6. Pintu darurat harus dilengkapi Sesuai Tidak sesuai
dengan alat penutup otomatis.
7. Pintu darurat harus dilengkapi Sesuai Sesuai
dengan tanda peringatan.
8. Pintu darurat harus dicat dengan Sesuai Sesuai
warna merah
Tabel 4.2. Analisa Pintu Darurat Gedung Bea Cukai Cikarang

Berdasar pada acuan standar tabel diatas, maka hal-hal yang dapat
disimpulkan tentang pintu darurat adalah sebagai berikut:

1. Jumlah pintu darurat yang ada pada bangunan Gedung Bea Cukai Cikarang
adalah 2 buah.
2. Pintu darurat yang pertama sudah dilengkapi dengan kaca tahan api
berukuran 20cm x 15cm. Namun lebar pintu darurat ini belum memenuhi
standar karena hanya berukuran lebar 90cm, dimana bila sesuai dengan
persyaratan yang ada harus berukuran lebar minimal 100cm.
3. Pintu darurat yang kedua tidak dilengkapi dengan kaca tahan api serta
memiliki tinggi dibawah tinggi rata-rata manusia. pintu juga tidak bisa
dibuka dan berada pada pojokkan jalan sehingga tidak diketahui pasti apa
sebenarnya fungsi pintu tersebut.
4. Warna pintu darurat berwarna merah, sesuai dengan standar yang diminta.
5. Pintu darurat yang pertama dapat membuka ke arah luar dan dapat menutup
otomatis sehingga telah memenuhi standar yang ada.
6. Pintu darurat sudah ditandai oleh tanda peringatan.
4.3 Titik Kumpul pada Sistem Proteksi Kebakaran Pasif

Gambar 4.10. Denah Titik Kumpul Gedung Bea Cukai Cikarang

Berikut hasil penelitian Titik Kumpul Gedung Bea Cukai .


No. Persyaratan Hasil Penelitian
1. Ketersediaan ruang atau area terbuka yang Sesuai
memadai. Menurut NFPA 101 tahun 2000,
titik kumpul harus menyediakan space 0,3 m2
per satu orang dengan tinggi minimal 200 cm
atau lebih, berjarak 6,1 meter
2. Jalur Evakuasi mudah diakses oleh korban Sesuai
bencana maupun penolong

3. Ketersediaan sarana komunikasi memadai Belum Sesuai


yang terhubung dengan struktur organisasi
kedaruratan
4. Aman dari jatuhan dan bahaya lainnya Sesuai

Tabel 4.4. Titik Kumpul Gedung Bea Cukai

Berdasar pada acuan standar tabel diatas, maka hal-hal yang dapat
disimpulkan tentang titik kumpul adalah sebagai berikut:

1. Titik kumpul berada dalam area terbuka dan ada beberapa titik sehingga
memadai untuk kebutuhan evakuasi sementara.
2. Jalur Evakuasi mudah di akses oleh korban bencana mau pun penolong
karena jalurnya terbuka dan mempunyai ruang yang cukup untuk dilalui.
3. Ketersediaan sarana komunikasi di tmpat belum sesuai karena pada
Gedung ini hanya berupa tempat terbuka dan pengalihan fungsi seperti
lahan parkir.
4. Area atau Titik Kumpul ini aman dari jatuhan baik dari gedung itu sendiri
maupun yang lainnya karena berada di ruang terbuka dan berada pada
jarak yang cukup aman.

4.4 Tangga Darurat pada Sistem Proteksi Kebakaran Pasif


Tangga darurat adalah tangga yang direncanakan khusus untuk
penyelamatan bila terjadi kebakaran (Kepmen PU RI No. 10/KPTS/2000). Tangga
darurat merupakan tempat paling aman untuk mengevakuasi penghuni gedung
karena dilindungi oleh saf tahan api serta bebas dari gas panas dan gas beracun.

Gambar 4.10. Denah Tangga Darurat LT.2 Gedung Bea Cukai Cikarang
Gambar 4.10. Denah Tangga Darurat LT.1 Gedung Bea Cukai Cikarang

Hasil penelitian tangga darurat bangunan Gedung Bea Cukai Cikarang.


No. Persyaratan Hasil Penelitian

1. Setiap banunan gedung negara yang Sisi utara Sisi timur laut
bertingkat lebih dari 3 lantai harus bangunan bangunan
mempunyai tangga
darurat/penyelamatan min. 2 buah
dengan jarak maks. 30m (bila
menggunakan sprinkler jarak maks.
45m).
2. Terbuat dari material yang tahan Tidak tahan asap Tidak tahan asap
terhadap asap.
3. Lebar tangga darurat min. 1,2m. 1,50 m 1,00 m
3. Tangga darurat/penyelamatan tidak Sesuai Sesuai
boleh berbentuk tangga melingkar
vertikal, exit pada lantai dasar
langsung ke arah luar.
5. Tangga darurat/penyelamatan harus Tidak tahan api -
tahan api min. 2 jam.
Tabel 4.1. Analisa Tangga Darurat Gedung Bea Cukai Cikarang

Berdasar pada acuan standar tabel diatas, maka hal-hal yang dapat
disimpulkan tentang tangga darurat Gedung Bea Cukai Cikarang ada sebagai
berikut:

1. Jumlah tangga darurat yang ada pada bangunan Gedung Bea Cukai Cikarang
2 buah, yaitu pada sisi utara dan timur laut bangunan.
2. Bangunan menggunakan sistem sprinkler sehingga jarak maksimum
pencapaian tangga darurat ada 45m, namun pencapaian tangga darurat pada
bangunan melebihi standar dan tidak memenuhi syarat.
3. Tangga bagian utara bangunan tidak difungsikan sebagai tangga darurat
meskipun diberi tanda tangga darurat. Tangga tersebut lebih difungsikan
sebagai tangga biasa yang bisa diakses seluruh pengguna bangunan dan
berada ditempat terbuka tanpa pintu darurat. Selain itu tangga juga tidak
langsung menuju jalan keluar, sehingga fungsi tangga tidak efektif.
4. Ukuran tangga darurat minimum 1,2m, namun tangga darurat pada sisi timur
laut bangunan hanya mempunyai lebar 1m sehingga tidak memenuhi
persyaratan yang ada.
5. Tangga darurat tidak dilengkapi dengan dinding pelindung sehingga tangga
darurat tidak terlindung dan tidak tahan terhadap api.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil observasi dan pembahasan keandalan sistem
proteksi kebakaran pasif bangunan Gedung Bea Cukai adalah terdapat beberapa
komponen sistem proteksi kebakaran pasif yang tidak memenuhi persyaratan.
Berikut rincian komponenkomponen sistem proteksi pasif kebakaran bangunan
Gedung Bea Cukai;

1. Evaluasi sistem proteksi kebakaran pasif dapat dilakukan dengan


menganalisis data dan menentukan variabel serta kriteria setiap komponen
evaluasi. Setiap kriteria kemudian dihitung bobotnya menggunakan metode
AHP dan dengan bantuan software Expert Choice untuk mendapatkan hasil
evaluasi.
2. Hasil evaluasi tingkat keandalan sistem proteksi pasif kebakaran bangunan
Gedung Bea Cukai cukup baik. Meskipun termasuk dalam kategori cukup
baik, masih cukup banyak komponen sistem proteksi kebakaran pasif yang
belum memenuhi syarat dan bahkan tidak terdapat pada bangunan
Millennium ICT Centre.
3. Konstruksi Tahan Api. Konstruksi bangunan mulai dari struktur utama,
pondasi, lantai, dinding, jendela, pintu, plafond, dan atap terbuat dari
material yang tidak mudah terbakar.
4. Tangga Darurat. Jumlah tangga darurat pada bangunan sudah memenuhi
syarat, namun ada tangga yang tidak difungsikan secara efisien. Terdapat
juga beberapa persyaratan yang tidak memenuhi syarat seperti lebar tangga,
jarak pencapaian tangga darurat, serta keadaan tangga darurat yang terbuka
tanpa dinding pelindung yang tahan terhadap api.
5. Sarana Jalan Keluar Sebagian sarana jalan keluar yang berupa koridor
bangunan sudah memenuhi ukuran persyaratan..
6. Site Akses jalan pada site sudah menggunakan perkerasan. Lebar jalan pada
sitememenuhi persyaratan sehingga bila terjadi kebakaran, site mudah untuk
dilalui oleh mobil pemadam kebakaran.
7. Pintu Darurat. Beberapa komponen pada pintu darurat bangunan ini tidak
memenuhi syarat, seperti ukuran pintu yang tidak standar dan pintu yang
tidak dilengkapi dengan kaca. Salah satu pintu darurat tidak dapat dibuka
dan memiliki tinggi dibawah rata-rata tinggi manusia. Tidak jelas apa
kegunaan pintu tersebut, namun pintu tersebut tetap dilabeli dengan tanda
pintu darurat.

5.2 Saran
Adapun saran yang direkomendasikan peneliti adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan variabel lain ataupun
kriteria lain untuk mengevaluasi tingkat keandalan sistem proteksi pasif
kebakaran bangunan pada penelitian lanjutan ini.
2. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan metode lain dalam
proses evaluasi sehingga hasil penelitian lanjutan lebih presisi.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan PUPR No. 26/PRT/M/2008. 2008. Persyaratan Teknis Sistem Proteksi


Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jakarta.

SNI 03-1735-2000. 2000. Tata Cara Akses Bangunan dan Lingkungan. Badan
Standarisasi Nasional. Bandung.

SNI 03-1736-2000. 2000. Tata Cara Perencanaan Sistem Proteksi Pasif untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung. Badan
Standarisasi Nasional. Bandung.

SNI 03-1746-2000. 2000. Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan
Ke Luar untuk Penyelamatan terhadap Bahaya Kebakaran pada
Bangunan Gedung. Badan Standarisasi Nasional. Bandung.

SNI 03-6574-2001. 2001. Tata Cara Perancangan Pencahayaan Darurat, Tanda


Arah dan Sistem Peringatan Bahaya pada Bangunan Gedung. Badan
Standarisasi Nasional. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai