Latar Belakang
1
II. Landasan Teori
2
Kelima unsur tersebut berkaitan antara unsur satu dengan unsur lainnya.
Keterkaitan tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut:
3
Adanya kepemimpinan yang kondusif harus diikuti dengan kewajiban
pimpinan untuk melakukan penilaian risiko. Penilaian risiko dimulai dengan
melihat kesesuaian antara tujuan kegiatan yang dilaksanakan instansi
pemerintah dengan tujuan sasarannya, serta kesesuaian dengan tujuan strategik
yang ditetapkan pemerintah. Setelah penetapan tujuan, instansi pemerintah
melakukan identifikasi risiko atas risiko intern dan ekstern yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Setelah diidentifikasi,
risiko tersebut dianalisis manakah yang memiliki probability kejadian dan
dampak yang sangat tinggi sampai dengan risiko yang sangat rendah.
Berdasarkan hasil penilaian risiko dilakukan respon atas risiko dan
membangun kegiatan pengendalian yang tepat. Dengan kata lain, kegiatan
pengendalian dibangun dengan maksud untuk merespon risiko yang dimiliki
instansi pemerintah dan memastikan bahwa respon tersebut efektif. Seluruh
penyelenggaraan unsur SPIP tersebut juga harus dilaporkan dan
dikomunikasikan serta dilakukan pemantauan secara terus-menerus guna
perbaikan yang berkesinambungan.
Gambar di atas juga memberikan pemahaman, bahwa kelima unsur SPIP
tersebut dapat diberlakukan baik pada tingkat instansi secara keseluruhan
maupun pada fungsi/aktivitas tertentu saja.
III. Pembahasan
4
3.1.1. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengawasan
Cikal-bakal dimulainya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di
Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Inpres ini memposisikan pengawasan
sebagai salah satu unsur penting dalam rangka peningkatan pendayagunaan
aparatur Negara dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan
pembangunan menuju terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Dengan ditetapkannya peraturan ini, mencerminkan pula usaha pemerintah untuk
meningkatkan pelaksanaan pengawasan yang efektif ke dalam tubuh aparatur
Pemerintah di dalam lingkungan masing-masing secara terus menerus dan
menyeluruh, dalam bentuk: (a) pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan
masing-masing satuan organisasi/satuan kerja terhadap bawahannya, baik di
tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah dan (b) pengawasan yang dilakukan oleh
aparat pengawasan fungsional yang bersangkutan.
Ruang lingkup pengawasan yang dilakukan meliputi:
a. Kegiatan umum pemerintahan;
b. Pelaksanaan rencana pembangunan;
c. Penyelenggaraan pengurusan dan pengelolaan keuangan dan kekayaan
Negara;
d. Kegiatan badan usaha milik Negara dan badan usaha milik Daerah;
e. Kegiatan aparatur pemerintahan di bidang yang mencakup
kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan.
Istilah yang dipakai dalam pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan
semua satuan organisasi pemerintahan dalam Inpres ini adalah Pengawasan
Melekat. Pengawasan melekat ini dilakukan:
a. melalui penggarisan struktur organisasi yang jelas dengan pembagian
tugas dan fungsi beserta uraiannya yang jelas pula;
b. melalui perincian kebijaksanaan pelaksanaannya yang dituangkan
secara tertulis yang dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaannya
oleh bawahan yang menerima pelimpahan wewenang dari atasan;
c. melalui rencana kerja yang menggambarkan kegiatan yang harus
dilaksanakan, bentuk hubungan kerja antar kegiatan tersebut, dan
5
hubungan antara berbagai kegiatan beserta sasaran yang harus
dicapainya;
d. melalui prosedur kerja yang merupakan petunjuk pelaksanaan yang
jelas dari atasan kepada bawahan;
e. melalui pencatatan hasil kerja serta pelaporannya yang merupakan alat
bagi atasan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan bagi
pengambilan keputusan serta penyusunan pertanggungjawaban, baik
mengenai pelaksanaan tugas maupun mengenai pengelolaan keuangan;
f. melalui pembinaan personil yang terus menerus agar para pelaksana
menjadi unsur yang mampu melaksanakan dengan baik tugas yang
menjadi tanggung jawabnya dan tidak melakukan tindakan yang
bertentangan dengan maksud serta kepentingan tugasnya.
Selain pengawasan melekat yang dilakukan oleh atasan langsung,
pengawasan dilakukan juga melalui aparat pengawasan fungsional. Pelaksanaan
pengawasan oleh aparat pengawasan fungsional ini dilakukan oleh:
a. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
b. Inspektorat Jenderal Departemen, Aparat Pengawasan Lembaga
Pemerintah Non Departemen/Instansi Pemerintah lainnya yang
melakukan pengawasan terhadap kegiatan umum pemerintahan dan
pembangunan dalam lingkungan Departemen/Lembaga Pemerintah
Non Departemen/Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
c. Inspektorat Wilayah Propinsi yang melakukan pengawasan umum atas
jalannya pemerintahan Daerah, baik yang bersifat rutin maupun
pembangunan;
d. Inspektorat Wilayah Kabupaten/ Kotamadya yang melakukan
pengawasan atas jalannya pemerintahan Daerah, dan pemerintahan
Desa di Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan, baik bersifat rutin
maupun pembangunan
3.1.2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat
Untuk menyesuaikan dan melakukan langkah-langkah yang lebih konkrit
sesuai dengan Repelita V yang dilaksanakan mulai tahun 1989 hingga 1994,
pemerintah memandang perlu melakukan peningkakan dayaguna dan hasilguna
pelaksanaan pengawasan melekat di lingkungan setiap instansi pemerintah. Untuk
6
itu, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 tahun 1989 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengawasan Melekat. Pembaruan peraturan ini dilakukan agar dapat
lebih terasa perwujudan Aparatur Pemerintah yang semakin bersih dan
berwibawa.
Melalui inpres ini, pemerintah berusaha untuk mempertegas pengawasan
melekat yang harus dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya.
Pengawasan melekat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan yang bersifat
sebagai pengendalian yang terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung
terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas
bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana
kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun pembaruan
ini mempertegas lingkup pengawasan melekat yang harus dilakukan oleh atasan,
namun Inpres ini tidak mengurangi pengawasan fungsional yang dilakukan aparat
pengawasan fungsional. Justru dalam Inpres ini diatur juga mengenai pengawasan
yang bisa dilakukan oleh masyarakat (berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan
atau keluhan/pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan baik secara
lisan maupun maupun tertulis kepada Aparatur Pemerintah) dan juga pengawasan
legislatif (dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan dan
pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan).
Ruang lingkup pengawasan melekat masih sama dengan ruang lingkup
pengawasan menurut Inpres Nomor 15 Tahun 1983. Namun demikian,
pengawasan melekat mempunyai beberapa sasaran yang belum diatur dalam
Inpres sebelumnya, yaitu:
a. Meningkatkan disiplin serta prestasi kerja dan pencapaian sasaran
pelaksanaan tugas;
b. Menekan hingga sekecil mungkin penyalahgunaan wewenang;
c. Menekan hingga sekecil mungkin kebocoran serta pemborosan
keuangan Negara dan segala bentuk pungutan liar;
d. Mempercepat penyelesaian perijinan dan peningkatan pelayanan
kepada masyarakat;
e. Mempercepat pengurusan kepegawaian sesuai ketentuan peraturan per-
undang-undangan yang berlaku.
7
a. Menciptakan sarana atau sistem kerja berdasarkan kewenangan yang
dimiliki sehingga pelaksanaan tugas berjalan sesuai dengan rencana
dan ketentuan yang berlaku;
b. Memantau, mengamati dan memeriksa pelaksanaan tugas agar berjalan
sesuai dengan rencana dan ketentuan yang berlaku secara berdayaguna
dan berhasilguna;
c. Mengidentifikasi dan menganalisis gejala-gejala dan penyimpangan
serta kesalahan yang terjadi, menentukan sebab dan akibatnya serta
cara mengatasinya;
d. Merumuskan tindak lanjut dan mengambil langkah-langkah yang tepat
sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan kewenangan
pejabat/instansi yang terkait;
e. Menjalin kerjasama dengan aparat pengawasan fungsional dan
pengawasan-pengawasan lainnya dalam rangka meningkatkan mutu
pengawasan melekat;
f. Meminta laporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas
bawahan;
g. Memberikan penilaian terhadap pelaksanaan tugas bawahan;
h. Membina bawahan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik;
3.1.3. Keputusan Menteri PAN No. 30 Tahun 1994 tentang petunjuk Pelaksanaan
Pengawasan Melekat yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri PAN
No. KEP/46/M.PAN/2004
Seiring dengan semakin kompleksnya sistem pemerintahan di Indonesia,
semakin disadari bahwa diperlukan suatu penataan kembali pelaksanaan melekat
agar terwujud suatu penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme (good governance). Konsepsi pengawasan melekat pun
akhirnya disesuaikan, tidak semata-mata berupa pengawasan yang dilakukan oleh
pimpinan/atasan masing-masing satuan kerja/satuan organisasi terhadap
bawahannya, tetapi lebih menekankan pada sistem pengendalian intern.
Pengawasan melekat merupakan padanan istilah pengendalian manajemen
atau pengendalian intern. Definisi pengawasan melekat (waskat) menurut KEP
Menpan ini sedikit berbeda dibandingkan dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1989.
Waskat didefinisikan sebagai segala upaya yang dilakukan dalam suatu organisasi
untuk mengarahkan seluruh kegiatan agar tujuan organisasi dapat dicapai
8
secara efektif, efisien dan ekonomis, segala sumber daya dimanfaatkan dan
dilindungi, data dan laporan dapat dipercaya dan disajikan secara wajar,
serta ditaatinya segala ketentuan yang berlaku. Pengawasan melekat adalah
proses pemantauan, pemeriksaan, dan evaluasi oleh pimpinan unit/organisasi kerja
terhadap pendayagunaan semua sumber daya, untuk mengetahi kelemahan dan
kelebihan yang dapat digunakan untuk pengembangan unit/organisasi kerja di
masa depan.
KEP Menpan Nomor 46 tahun 2004 mengatur juga tentang unsur-unsur
dalam Pengawasan Melekat yang harus ada agar tercipta pengendalian manajemen
yang memadai dan tercapai tujuan dan sasaran organisasi. Unsur-unsur tersebut
adalah:
a. Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan proses pembentukan organisasi yang
didesain sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan
organisasi, dan pelaksanaan fungsi manajerial secara menyeluruh.
b. Pembinaan Personil
Pembinaan personil merupakan upaya menjaga agar faktor sumber
daya manusia yang menjalankan sistem dan prosedur instansi
pemerintah memiliki kemampuan secara profesional dan moral sesuai
dengan kebutuhan tugas dan tanggung jawabnya, yang dilakukan
secara terus menerus sejak perekrutan pegawai hingga pensiun.
c. Kebijakan
Kebijakan merupakan pedoman yang ditetapkan oleh manajemen
secara tertulis untuk mendorong tercapainya tujuan organisasi.
d. Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses penetapan tujuan serta langkah-
langkah kegiatan yang akan dilakukan pada masa datang.
e. Prosedur
Prosedur merupakan rangkaian tindakan untuk untuk melaksanakan
aktivitas tertentu yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
f. Pencatatan
Pencatatan merupakan proses pendokumentasian transaksi/kejadian
secara sistematis yang relevan dengan kepentingn organisasi instansi.
9
Pencatatan juga mencakup proses pengelolaan data yang diperoleh
menjadi informasi dalam bentuk keluaran olahan data atau laporan.
g. Pelaporan
Pelaporan merupakan bentuk penyampaian informasi tertulis kepada
unit kerja yang lebih tinggi (pemberi tugas) atau kepada instansi lain
yang mempunyai garis kepentingan interaktif dengan instansi pembuat
laporan.
10
sifat, perbedaan antara intern dan internal adalah kata intern merupakan bentuk
kuno (archaic) dalam penyebutan internal. Sedangkan kata internal dapat
didefinisikan sebagai bagian dalam dari sesuatu. Kata internal dikenal hanya
sebagai kata sifat.
Sedangkan sebagai sebuah kata benda, intern adalah adalah seseorang
yang melakukan kegiatan magang, baik karena keharusan maupun karena
keinginan sendiri. Intern dapat juga diartikan sebagai seorang murid atau
mahasiswa yang baru saja lulus yang bekerja dalam suatu perusahaan dengan
tujuan untuk mendapatkan pengalaman sesuai dengan bidang yang dia pilih.
Sementara dalam perspektif kata kerja, intern merupakan isitilah yang digunakan
untuk memenjarakan seseorang, yang biasanya tanpa diadili (trial).
Kamus Meriam-Webster memberikan definisi terkait kata internal sebagai
berikut:
existing or situated within the limits or surface of something: such as a
(1) : situated near the inside of the body (2) : situated on the side toward the
median plane of the body b : of, relating to, or occurring on the inside of an
organized structure (such as a club, company, or state).
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang
diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kata
internal didefinisikan sebagai sebelah dalam; di kalangan sendiri; dalam
lingkungan sendiri; bisa itu keluarga, organisasi, negara. Sementara untuk kata
intern tidak ditemukan dalam KBBI, namun hanya merujuk ke kata internal.
Atas berbagai dasar pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kata intern yang digunakan oleh pemerintah saat ini dalam beberapa peraturan
terkait pengendalian intern, khususnya PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP, merujuk
ke pengertian internal sebagai kata sifat. Kata intern yang dimaksud merupakan
atribut dari kata pengendalian, yang apabila digabung frasa tersebut memiliki arti
bahwa aktivitas pengendalian tersebut dilakukan oleh dan/atau bersumber dari
dalam pemerintah itu sendiri, untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
3.2.2. Perbedaan Pengendalian Internal (Internal Control) dengan Sistem
Pengendalian Internal
Istilah internal control dipakai secara konsisten oleh COSO dalam Internal
Control Integrated Framework yang dikeluarkannya pada tahun 1992.
11
Penggunaan kata tersebut tidak mencantumkan kata-kata system sebagaimana
yang dilakukan di Indonesia, khususnya pada PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP.
Sama seperti COSO Internal Control Integrated Framework, Internal
Control: Guidance for Directors on the Combined Code atau yang dikenal dengan
sebutan Turnbull Report juga hanya menggunakan istilah Internal Control (tanpa
system) untuk mendefinisikan setiap tindakan yang dilakukan oleh organisasi
untuk memperbesar peluang tercapainya tujuan organisasi. Pun begitu dengan
Standards for Internal Control in the Federal Government yang diterapkan oleh
U.S Government Accountability Office pada tahun 1999 yang tidak menggunakan
istilah sistem.
Dari sekian banyak frameworks tentang internal control yang umum
dipakai, penulis menemukan bahwa sebagian besar frameworks tersebut
menggunakan istilah Internal Control saja, tanpa tambahan kata System. Penulis
hanya menemukan satu framework yang menggunakan istilah Internal Control
System, yaitu Framework for Internal Control Systems in Banking Organisations
yang diterbitkan oleh The Basel Committee on Banking Supervision pada tahun
1998. Framework ini didistribusikan ke berbagai otoritas pengawas di seluruh
dunia dengan memberikan prinsip-prinsip yang disajikan sebagai framework yang
berguna untuk pengawasan yang efektif terhadap sistem pengendalian internal
pada praktik operasional bank.
Untuk menilai manakah istilah yang lebih tepat, kita perlu mengetahui
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sistem. Menurut KBBI, sistem adalah
perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas, misalnya yaitu sistem pencernaan makanan, pernapasan, dan peredaran
darah dalam tubuh. Sistem dapat juga diartikan sebagai susunan yang teratur dari
pandangan, teori, asas, dan sebagainya.
Beberapa ahli juga memberikan definisi sistem yang senada dengan
pengertian menurut KBBI tersebut. Di antaranya adalah:
1. Menurut Davis, G.B, sistem merupakan gabungan dari berbagai elemen yang
bekerja sama untuk mencapai suatu target.
2. Menurut Lani Sidharta, sistem merupakan sekumpulan unsurunsur yang
saling berkaitan yang secara bersama beroperasi untuk meraih tujuan yang
sama.
12
3. Menurut Harijono Djojodihardjo, sistem merupakan gabungan obyek yang
memiliki hubungan secara fungsi dan hubungan antara setiap ciri obyek,
secara keseluruhan menjadi suatu kesatuan yang berfungsi.
13
control dalam bahasa Inggris dengan Sistem Pengendalian Internal dalam bahasa
Indonesia disebabkan oleh perbedaan keragaman bahasa, walaupun sebenarnya
arti dari kedua istilah tersebut adalah sama. (Tambahan: Dalam KMK Nomor 32
tahun 2013 tentang Kerangka Kerja Penerapan Pengendalian Intern dan Pedoman
Teknis Pemantauan Pengendalian Intern di Lingkungan Kemenkeu, disebutkan
dalam bagian C tentang Definisi bahwa pengendalian intern atau disebut juga
sistem pengendalian intern adalah proses yang integral pada tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai
untuk memberikan keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan organisasi.)
3.3. Perbedaan Antara Soft Control dan Hard Control dalam Praktik
Pengendalian Internal
Dalam dunia audit, control atau pengendalian pada dasarnya merupakan
mekanisme yang mampu memvalidasi atau meyakinkan bahwa suatu organisasi
berfungsi secara efektif dan efisien sehingga tujuan dari organisasi tersebut dapat
tercapai. Control juga bisa dijadikan sebagai pengungkap adanya potensi risiko
yang mempunyai dampak besar, sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan
maupun perbaikan terhadap risiko tersebut.
Mungkin kita sering mengatakan bahwa skill atau keterampilan dari
seseorang dapat dibagi menjadi dua, yaitu hard skill dan soft skill. Hard skills
merupakan penguasaan keterampilan teknis dari hasil pembelajaran yang
berhubungan dengan suatu bidang ilmu tertentu. Contohnya bidang ilmu
kedokteran, sains, teknologi, olahraga, seni dan bidang ilmu lainnya. Sedangkan
soft skills merupakan keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang
lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri
(intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal.
Contoh interpersonal skills adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain,
kemampuan bekerja sama dalam tim, dan lain sebagainya. Sedangkan contoh
intrapersonal skills adalah kemampuan mengendalikan emosi, manajemen waktu
yang baik, selalu berpikir positif, dan lain sebagainya.
Pengklasifikasian yang sama dapat diterapkan pula pada klasifikasi control
atau pengendalian. Control dapat dibedakan menjadi hard control dan soft
control. Pada tahun-tahun sebelum menggunakan standar seperti sekarang, auditor
hanya mengevaluasi hard control saja. Pengendalian intern diartikan sebagai
14
perangkat tambahan yang dipasang dalam suatu sistem organisasi dan dapat
dirasakan secara indrawi keberadaannya. Namun seiring dengan perkembangan
informasi dan teknologi dan juga riset dalam bidang pengendalian, makna tersebut
bergeser menjadi lebih luas. Pengendalian intern dipandang sebagai sesuatu yang
melekat dan tidak dapat dipisahkan dengan suatu sistem (terintegrasi), dan
bentuknya dapat berupa hard control maupun soft control (tidak bisa dirasakan
secara indrawi). Bahkan unsur soft control menjadi bagian yang mempunyai
peranan sangat penting.
Hard control mencakup beberapa aktivitas pengendalian seperti otorisasi,
persetujuan (approval), rekonsiliasi, dan pendelegasian. Selain itu, hard control
juga bisa berbentuk objek seperti struktur organisasi, kebijakan, perencanaan,
prosedur, dan pencatatan. Sementara soft control mencakup integritas, kode etik,
budaya etis, filosofi manajemen, dan gaya operasi organisasi. Soft control bersifat
subjektif karena sulit untuk mengujinya, sedangkan hard control lebih bersifat
objektif dikarenakan lebih mudah untuk dilakukan pengujian.
Untuk lebih mengetahui perbedaan secara lebih rinci antara hard control
dengan soft control, dapat dilihat dalam Tabel 1 yang menujukkan perbedaan di
antara keduanya.
Hard Control Soft Control
Berwujud (tangible) Tidak Berwujud (intangible)
Sifat Explicit Activates Implicit Attitudes
Objektif Subjektif
Tidak susah untuk
Susah untuk mendapatkan
mendapatkan informasi yang
informasi yang handal
handal
Auditor Internal harus punya
Auditor Internal harus punya
pengalaman yang cukup
Dampak terhadap pengalaman yang cukup
dalam kemampuan
Aktivitas Audit dalam keterampilan analisis
interpersonal
Evaluasi biasanya didasarkan Evaluasi biasanya didasarkan
pada suatu dokumen pada hasil survey
Ada tindakan rekomendasi Tindakan rekomendasi yang
yang jelas dalam Laporan kurang lugas dalam Laporan
15
Internal Audit Internal Audit
Persetujuan (Approval) Moral
Otorisasi Iklim etis (ethical climate)
Contoh Verifikasi Nilai bersama (shared value)
Rekonsiliasi Integritas
Reviu atas Kinerja Kepercayaan
Tabel 1. Perbedaan Soft Control dengan Hard Control
16
3.4.2. Dokumentasi Menurut Pedoman Teknis Penyelenggaraaan SPIP Sub
Unsur Dokumentasi yang Baik atas SPI Serta Transaksi dan Kejadian yang
Penting (Per Kepala BPKP Nomor Per-1326/K/LB/2009)
Salah satu kegiatan pengendalian dalam SPIP adalah dokumentasi yang
baik atas sistem pengendalian intern serta transaksi dan kejadian penting
sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (3) huruf k PP Nomor 60 Tahun 2008.
Dalam menyelenggarakan dokumentasi yang baik, pimpinan instansi pemerintah
wajib memiliki, mengelola, memelihara, dan secara berkala memutakhirkan
dokumentasi yang mencakup seluruh SPI serta transaksi dan kejadian penting.
Pendokumentasian yang baik tersebut dilakukan agar kegiatan dapat dikendalikan
dan dievaluasi.
Dokumentasi diartikan sebagai suatu proses pemberian bukti, atau
bahan/materi yang digunakan dalam berkomunikasi dan pemberian dokumen.
Terkadang, dokumentasi juga diartikan sebagai pemberian alat-alat yang bertujuan
untuk mengenali dokumen, atau bidang pembahasan yang diperuntukkan dalam
mempelajari dokumen atau sumber rujukan (referensi).
Dokumentasi bila dikelompokkan dalam bidang-bidang pendokumentasian
dapat dibagi menjadi:
a. Dokumentasi keilmuan (scientific documentation);
b. Dokumentasi teknis (technical documentation), seperti dokumentasi
perangkat lunak (software documentation) dan ciri-ciri produk
(product specification);
c. Dokumentasi hukum (legal documentation);
d. Dokumentasi administratif (administrative documentation);
e. Dokumentasi sejarah (historical documentation).
Dokumentasi yang dikenal umum sebagai dokumen adalah tiap
material/bahan (seperti tulisan, video, suara/audio, atau kombinasi diantaranya),
yang digunakan dalam menjelaskan suatu atribut atau ciri dari suatu obyek, suatu
sistem, atau suatu prosedur.
Keberagaman pendokumentasian dalam sistem pengendalian intern dari
suatu instansi pemerintah akan bergantung pada faktor-faktor intern dan ekstern
yang memengaruhi instansi pemerintah. Organisasi yang lebih besar, biasanya
memiliki dokumentasi berupa pedoman-pedoman resmi yang tertulis tentang
kebijakan, bagan organisasi, uraian pekerjaan, perintah operasi/pelaksanaan, alur
17
sistem informasi dan seterusnya. Organisasi yang lebih kecil, umumnya memiliki
dokumentasi berupa pedoman tertulis yang jauh lebih sedikit dan sederhana.
Pengendalian intern yang efektif tidak selalu dicerminkan oleh adanya
pendokumentasian yang baik. Banyak organisasi atau instansi yang memiliki
sistem pengendalian intern efektif, namun tidak terdokumentasikan dengan baik.
Sebaliknya, pendokumentasian yang baik akan berfungsi sebagai alat bantu yang
efektif dalam mengevaluasi sistem pengendalian intern sehingga evaluasi dapat
berjalan lebih efisien. Selain itu, pendokumentasian yang baik akan menjadikan
lebih mudah dalam menjelaskan bagaimana bekerjanya suatu sistem pengendalian
intern dan untuk melakukan modifikasi/perubahan ketika diperlukan.
18
Penyelenggaraan dokumentasi yang baik atas SPI serta transaksi dan
kejadian penting dapat dilaksanakan dalam tiga tahap sesuai dengan tahapan
dalam penyelenggaraan SPIP. Tahapan tersebut adalah tahap persiapan,
pelaksanaan, dan pelaporan. Berikut ini adalah langkah-langkah nyata yang perlu
dilaksanakan dalam rangka pendokumentasian SPI yang baik:
1. Tahap Persiapan
a. Penyiapan peraturan, SDM, dan Rencana Penyelenggaraan
Setelah diterapkan peraturan penyelenggaraan SPIP, selanjutnya
instansi pemerintah membuat rencana tentang jadwal pelaksanaan
kegiatan, waktu yang dibutuhkan, dana yang dibutuhkan, dan juga
pihak-pihak yang terlibat. Peraturan tersebut juga mengatur tentang
pembentukan satuan tugas (tim satgas) SPIP.
b. Pemahaman (knowing)
Pemberian pemahaman akan pentingnya dokumentasi yang baik
melalui sosialisasi. Metode sosialisasinya dapat dilakukan dengan
tatap muka, penggunaan website, penyampaian dengan
menggunakan multimedia interaktif, majalah atau buku saku,
saluran komunikasi yang umum, ataupun pemberian akses ke
jaringan informasi dengan menggunakan password.
c. Pemetaan (mapping)
Setelah dilakukan kegiatan sosialisasi, diperlukan suatu kegiatan
pemetaan atau diagnostic assessment terhadap keberadaan
infrastruktur untuk menerapkan dokumentasi yang baik atas sistem
pengendalian intern serta transaksi dan kejadian penting tersebut.
Pemetaan juga diarahkan untuk mendapatkan gambaran bagaimana
kondisi penyelenggaraan SPIP yang sudah berjalan, kesesuaian
penyelenggaraan dengan kebijakan, sehingga didapatkan areas of
improvement (AOI).
2. Tahap Pelaksanaan
a. Membangun Infrastruktur (Norming)
Dalam membangun infrastruktur perlu memerhatikan kebijakan
atau aturan lebih tinggi, seperti tata naskah dinas, standar prosedur
baku, atau aturan lainnya yang memengaruhi validitas suatu
dokumen, teori, serta parameter penerapannya. Kebijakan dan
19
prosedur yang diperlukan dalam rangka dokumentasi yang baik
atas SPI akan meliputi kebijakan dokumentasi pada tingkatan
entitas dan juga tingkat kegiatan.
b. Internalisasi (Forming)
Tahap internalisasi adalah suatu proses untuk mewujudkan apa
yang dituangkan dalam infrastruktur menjadi bagian dalam
kegiatan operasional sehari-hari. Internalisasi bertujuan untuk
mengomunisasikan dan membangun kesadaran pemimpin instansi
pemerintah beserta seluruh pegawai untuk melakukan dokumentasi
SPI yang baik. Langkah-langkahnya adalah:
1) Pengkomunisasian kebijakan dokumentasi yang baik
Kebijakan baik tingkat entitas maupun kegiatan harus
dikomunisasikan kepada seuruh pegawai agar mereka siap
untuk mendokumentasikan SPI serta transaksi dan kejadian
penting.
2) Pengembangan dokumentasi pada tingkatan entitias
Dokumentasi pada tingkat entitas meliputi dokumentasi ata
kelola instansi (contohnya visi dan misi instansi dan aturan
perilaku atau code of conduct), dokumentasi kebijakan dan
pedoman sumber daya manusia, pedoman kebijakan akuntansi,
dan lainnya.
3) Pengembangan dokumentasi pada tingkatan kegiatan
Dokumentasi pada tingkat kegiatan, meliputi dokumentasi arus
informasi mulai dari tahap inisiasi sampai kepada pembukuan
dan pelaporan, dokumentasi atas transaksi dan kejadian, dan
dokumentasi mengenai pemeliharaan integritas informasi untuk
penggunaan selanjutnya. Dokumentasi tersebut dapat dilakukan
dalam tiga teknik dasar, yaitu bagan arus (flowchars), narasi
(narratives), dan matriks (matrixes).
4) Pengembangan dokumentasi sistem informasi otomatis
Sistem informasi yang otomatis didesain untuk memfasilitasi:
a) database dokumentasi pengendalian intern; dan b) proses
kegiatan instansi secara otomatis, yang terdiri dari dua
tingkatan berbeda, yaitu pengujian dan evaluasi pengendalian
20
intern serta implementasi kebijakan dan prosedur pengendalian
intern
c. Pengembangan Berkelanjutan (Performing)
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengembangan
berkelanjutan antara lain:
1) Setiap langkah persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi perlu
didokumentasikan agar mudah dilakukan dalam penelusuran
kembali
2) Setiap langkah persiapan dan pelaksanaan perlu dipantau atau
memiliki mekanisme pemantauan (built-in monitoring).
3) Dilakukan evaluasi/assessment terhadap efektivitas penerapan
SPI secara berkala.
4) Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, diperoleh area-area
yang perlu perbaikan sebagai umpan balik untuk
mengembangkan dan meningkatkan sistem secara
berkelanjutan
3. Tahap Pelaporan
Setelah tahap pelaksanaan selesai, seluruh kegiatan
penyelenggaraan subunsur perlu didokumentasikan. Pendokumentasian
ini merupakan satu kesatuan (bagian yang tidak terpisahkan) dari
kegiatan pelaporan berkala dan tahunan penyelenggaraan SPIP.
Pendokumentasiannya meliputi pelaksanaan kegiatan, hambatan
kegiatan, saran, dan tindak lanjut atas saran periode sebelumnya.
Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam dokumentasi
tersebut, yaitu:
a. Penataan dokumentasi sedemikian rupa sehingga informasi mudah
diakses dan termutakhirkan dengan baik.
b. Pengamanan dokumentasi agar terjaga dari kemungkinan pencurian
atau akses oleh pihak yang tidak berwenang.
c. Pemenuhan persyaratan dokumen yang memerlukan keabsahan hukum
tertentu.
d. Penyimpanan dokumen orisinil dan masa retensi sesuai peraturan yang
berlaku.
22
DAFTAR PUSTAKA
Internal Auditor Middle East. _____. Are Soft Controls Better than Hard
Controls? http://www.internalauditor.me/article/are-soft-controls-
better-than-hard-controls/. Diakses tanggal 24 November 2017.
23
Republik Indonesia. 2004. Keputusan Menteri PAN No.
KEP/46/M.PAN/2004 tentang petunjuk Pelaksanaan Pengawasan
Melekat yang memperbarui Keputusan Menteri PAN No. 30 Tahun
1994
24