Referensi Block Clinical Oncology
Referensi Block Clinical Oncology
PENDAHULUAN
Tumor atau kanker merupakan penyakit DNA, artinya kanker terjadi mulai dari satu sel yang
mengalami transformasi atau berubah. DNA yang rusak / berubah ini akan berperan sebagai
cetakan dari mRNA yang akan memproduksi protein (yang berubah) ataupun dibawa pada
siklus sel dan jika tidak diperbaiki atau dihentikan menghasilkan sel baru yang juga berubah
good genes replaced by bad genes.
Perubahan atau tranformasi sel terjadi sebagai akibat kerusakan DNA, mengakibatkan
sel tidak berfungsi normal dan mengalami perubahan baik morfologi maupun perilakunya.
Sehingga faktor-faktor yang dapat merusak DNA seperti misalnya bahan kimia baik organik
maupun non-organik, radiasi, virus tertentu, makanan (lemak hewani) dan sebagainya yang
dapat merusak rantai DNA akan dapat menyebabkan kanker (tidak selalu terjadi). Pada
prosentase yang kecil (< 10%), manusia dilahirkan dengan telah membawa cacat pada salah
satu allele DNA-nya (kita sebut sebagai LOH = loss of heterozygocities), biasanya keadaan
ini juga disertai adanya ketidak stabilan dari genomnya, dan sebagai akibatnya terjadi mutasi
berantai dan akan terjadi kanker dalam waktu yang relatif pendek.
Kanker dapat ditinjau dari segi klinis, morfologi dan perilaku sel kanker, dan dari segi
molekuler sel. Pada pembicaraan kali ini, akan di diskusikan perubahan yang terjadi pada
tingkat molekuler sel kanker. Sel mempunyai dua peran sentral yaitu replikasi artinya
memperbanyak diri (sel) jika diperlukan, misalnya untuk mengganti sel yang mati,
penyembuhan luka dan sebagainya. Fungsi kedua sel adalah fungsi transkripsi dan translasi
yaitu memproduksi protein-protein tertentu atau ensim, yang berperan secara otokrin, parakrin
ataupun endokrin, sehingga sel tersebut (yang memproduksi protein) atau sel sekitarnya akan
berfungsi normal. Kedua fungsi sentral tersebut, baik replikasi ataupun transkripsi / translasi
dikontrol secara ketat oleh itu sendiri dibantu oleh sel sekitarnya. Kerusakan pada DNA dapat
mengganggu fungsi sentral tersebut dan menghasilkan sel baru yang berbeda. Kerusakan pada
DNA umumnya disebut sebagai mutasi, dapat berupa point mutation, bisa hilangnya satu
atau lebih base pair (delesi), atau bertambahnya rantai DNA oleh karena DNA virus masuk
kedalamnya (insersi) atau terjadi perubahan gen tertentu di dalam DNA (DNA
rearrangement), atau dapat juga terjadi amplifikasi dari gen tertentu.
2
Disamping adanya produksi protein yang berupa growth factors, maka akan terjadi
juga inaktivasi gen tertentu yang perannya mengerem proliferasi tersebut diatas. Gen ini
disebut sebagai tumor supressor genes (APC, DCC, P16, P53, Rb. Gene, BRCA-1, BRCA-2),
yang mengakibatkan hilangnya kontrol. Aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen dan
inaktivasi tumor supressor genes merupakan dua mekanisme yang sangat penting untuk
terjadinya transformasi sel normal menjadi sel tumor / kanker, meskipun didapatkan
mekanisme lain yang turut berperan. Saat ini dengan teknik sitogenetik telah dikenal puluhan
tipe tumor supressor genes, yang di dapatkan pada bermacam tumor seperti antara lain :
retinoblastoma, Wilms tumor, kolo-rektal, vesika urinaria, ginjal, ovarium, prostat, pankreas
dan lain lain (Murphy & Levine, 2001).
MEKANISME APOPTOSIS
Seperti telah diuraikan dimuka, sel-sel tubuh dengan kerusakan DNA, jika dapat di deteksi
pada check point siklus sel antara G1 S, maka sel tersebut pada awalnya akan mengalami
arrest (penghentian dari siklus sel), untuk diberikan kesempatan memperbaiki kerusakan
DNA tersebut. Jika sel tidak mampu memperbaiki kerusakan DNA, maka sel tersebut
diperintahkan untuk apoptosis. Pada sel kanker sering dijumpai gangguan mekanisme
apoptosis sehingga jumlah apoptosis akan menurun.
Sebaliknya jika kerusakan DNA tidak terdeteksi sel akan terus bersiklus dan replikasi,
sehingga menghasilkan sel baru dengan kelainan DNA yang sama. Keadaan genom yang tidak
stabil akan mengakibatkan mutasi bertambah terus dan akan menghasilkan sel-sel baru
dengan morfologi dan perilaku yang lebih heterogen, artinya mempunyai bentuk morfologi
yang berbeda-beda dan mempunyai perilaku dan kemampuan yang berbeda pula. Keadaan
4
heterogenitas sel kanker inilah merupakan kunci kegagalan terapi sistemik ataupun
radioterapi, karena hanya sebagian sel kanker saja yang sensitif dengan kemoterapi tertentu
ataupun terhadap radioterapi (Zornig, et al., 2001; Manuaba, 2006).
Proteinases), Collagenases type IV, dan proteoses lain untuk melisiskan Extra Cellular
Matrix (ECM), sehingga sel kanker dapat migrasi dan akhirnya tumbuh. Sel kanker akan terus
memproduksi protein tertentu yang bekerja secara parakrin, yaitu menyiapkan sel- sel
sekitarnya (microenvirontment) agar suportif terhadap pertumbuhan kanker tersebut. Selain
ensim yang melisiskan ECM, juga didapatkan atau diproduksi oleh sel-sel sekitar protrein
yang menjadi inhibitor dari proteases (Plasminogen-Activator-inhibitors / PAI; Tissue
Inhibitors of Metalloproteinases / TIMPs). Sehingga migrasi sel kanker tergantung pada
keseimbangan kedua produk protein tersebut.
Pada keadaan tertentu (adanya tekanan intra tumor yang meningkat, hipoksia jaringan,
nutrisi yang turun), sel kanker akan memproduksi protein yaitu VEGF (Vascular Endothelial
Growth Factors), yang akan menstimulasi endotel pembuluh darah terdekat untuk
berproliferasi dan membentuk kapiler darah baru di jaringan kanker. Sel kanker juga akan
membentuk adhesion molecules (ICAM, VCAM) yang akan dipergunakan untuk melekatkan
diri pada endotel, yang disusul dengan intravasasi dan akhirnya turut dalam sirkulasi darah
atau limfe. Demikian juga untuk tumbuh pada tempat lain juga memerlukan adhesion
molecules, untuk melekatkan diri pada dinding dalam endotel, yang kemudian diikuti oleh
proses ekstravasasi dan keluar kejaringan / organ tertentu. Jika lingkungan mikro jaringan
baru ini menunjang, maka sel kanker akan tumbuh sebagai metastasis (Rosa Bani & Giavazzi,
200).
KESIMPULAN
Perubahan dari suatu sel normal menjadi sel kanker, adalah dimulai dari 1 sel. Perubahan
dimulai dengan adanya kerusakan DNA pada lokasi tertentu. Jika kerusakan DNA tidak
teridentifikasi, atau tidak dapat diperbaiki dan tidak terjadi proses apoptosis, maka sel tetap
bersiklus dan bereplikasi membentuk sel-sel baru dengan kerusakan DNA. Demikian juga
proses transkripsi dan translasi, akan terus berjalan dan akan menghasilkan protein yang
berperan sebagai growth factors. Protein ini dapat menstimulasi untuk terus berproliferasi
tanpa dapat dikontrol. Kontrol dari tumor supressor genes, hilang, sehingga proliferasi
semakin tidak terkontrol. Demikian juga mekanisme apoptosis terganggu dan adanya ensim
telomerase menyebabkan sel kanker imortal.
Mutasi DNA yang berjalan terus (o.k., instabilitas genom) akan menyebabkan semakin
terbentuknya sel-sel kanker baru yang semakin peiomorfik dan mempunyai perilaku dan
kemampuan yang berbeda-beda. Adanya heterogenitas jaringan tumor inilah yang menjadi
sebab sulitnya pengobatan dengan kemoterapi, terapi hormon ataupun radioterapi.
6
KEPUSTAKAAN
Kalderon D, 2000. Growth Factors-Signaling Pathways in Cancer. In Bronchud M.H., Foote
MA., Peters W.P., Robinson M.O., (editors). Principles of Molecular Oncology. Humana
Press. Part II : 127 168.
Kimmelman A., Bafico A., Aaronson S.A., 2001. Oncogenes and Signal Transduction. In
Mendelsohn J., Howley P.M., Israel M.A., Liotta L.A., (editors). The Molecular Basis of
Cancer. 2nd Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. 7 : 115 136.
Macdonald, F., Ford C.H.J., Casson A.G., 2004.Molecular Biology of Cancer. 2 nd Edition.
BIOS Scientific Publisher. London.
Manuaba, T.W., 2006. Apoptotic Index, P53 Expression and BCL-2 Expression as Predictor
Factors of Response to Neoadjuvant Chemotherapy in LABC. Doctorate Dissertation,
University of Udayana. Denpasar. Bali.
Murphy M., Levine A.J., 2001. Tumor Supressor Genes. In Mendelsohn J., Howley P.M.,
Israel M.A., Liotta L.A., (editors). The Molecular Basis of Cancer. 2 nd Edition. W.B. Saunders
Co. Philadelphia. 6 : 95 114.
Rosa-Bani M., Giavazzi R., 2000. Invasion and Metastasis. In Bronchud M.H., Foote MA.,
Peters W.P., Robinson M.O., (editors). Principles of Molecular Oncology. Humana Press. 12 :
297 322.
Ross D.W., 2002. Introduction to Molecular Medicine. 3rd Edition. Springer. New York.
Vile R.G., 1992. Introduction to The Molecular Genetics of Cancer. Molecular Medical
Science Series. John Wiley & Sons. New York.
Watkinson J.C., Gaze M.N., Wilson J.A., 2000. The Nature of Head and Neck Cancer. In
Watkinson J.C., Gaze M.N., Wilson J.A., (editors). Stell & Marans Head & Neck Surgery. 4 th
Edition. Butterworth Heinemann. Oxford. 1 : 1 10.
Zornig M., Baum W., Hueber A-O., Evan G., 2001. Programmed Cell Death and Senescence.
In Mendelsohn J., Howley P.M., Israel M.A., Liotta L.A., (editors). The Molecular Basis of
Cancer. 2nd Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. 3 : 19 40.
7
IMMUNOLOGY OF TUMOR
Pendahuluan
Kanker saat ini telah menjadi masalah kesehatan yang utama di negara yang sudah maju
seperti USA dan merupakan penyebab kematian ke dua setelah penyakit kardovaskuler. Pada
tahun 2009 ini di USA diperkirakan akan didapatkan 1.479.350 kasus kanker baru dengan
jumlah kematian oleh karena kanker sebanyak 562.340 orang. Saat ini satu dari empat
kematian yang terjadi di negara tersebut adalah disebabkan oleh karena kanker (Jemal, et al.,
2009).
Walaupun kemajuan di bidang diagnostik kanker dan biologi molekuler telah
berkembang dengan pesat, sehingga menunjang modalitas terapi yang telah ada, kematian
akibat kanker masih cukup tinggi. Penyebab terbanyak kematian karena kanker adalah adanya
metastasis yang resisten terhadap terapi konvensional. Metastasis kanker ini di pengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain : sifat biologi dari kanker itu sendiri, faktor lingkungan mikro
(microenvironment) penderita, serta imunitas dari host (Disis, et al., 2005).
Kanker tumbuh dari proliferasi sel yang tidak terkendali dan kemudian menyebarkan
klonal-klonal sel yang berasal dari sel yang telah mengalami transformasi. Kecepatan
pertumbuhan sel kanker ditentukan oleh kemampuan sel untuk menginvasi host dan
mengadakan metastasis jauh. kemungkina sel kanker dapat dieradikasi melalui sistem imun
spesifik telah mengundang pemikiran di bidang imunologi tumor (Pardol, 2008; Abbas, et al.,
2010).
Telah lama diketahui bahwa kanker sesungguhnya juga merupakan penyakit yang
bersifat imunogenik, namun sistem imun penderita tidak memadai untuk membunuh semua
sel kanker. Hipotesis mengenai pentingnya sistem imun dalam melawan kanker yang dikenal
dengan immune surveilance dikembangkan pertama kali ole Paul Ehrlich pada awal abad ke
20. Dikembangkan kemudian oleh MacFarlane Burnet dan Thomas pada tahun 1950 dan
1960an, dimana sisitem imun yang normal dapat mendeteksi dan membunuh sel kanker dalam
masa tertumbuhannya. Immune surveilance merupakan fungsi fisiologis dari sistem imun
untuk menghambat pertumbuhan berlebihan dari sel-sel yang telah mengalami transformasi
dengan menghancurkan sel ini sebelum menjadi tumor yang mengganggu, namun sistem ini
8
sering terganggu sehingga pada penderita kanker dapat dikatakan memiliki kegagalan dalam
immunoprotection (Pardoll, 2008; Abbas & Lichtman, 2009; Abbas, et al., 2010).
Berikut di bawah ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai : Gambaran umum
imunitas tumor, antigen tumor, respon imun terhadap tumor, dan lolosnya sel tumor dari
sistem imun.
Namun demikian, immune surveillance ternyata tidak selalu efektif. Hal itu dibuktikan
dengan seringnya dijumpai tumor lethal pada individu yang imunokompeten. Karena itu
timbul dugaan bahwa respon imun terhadap tumor lemah, atau mungkin juga imunogenitas
tumor yang lemah. Respon imun sering kali gagal mencegah pertumbuhan tumor. Hal ini
dapat disebabkan oleh karena : pertama, sel tumor berasal dari sel host dan hampir sama
dengan sel normalnya, sehingga bersifat imunogenik lemah. Kedua, kecepatan pertumbuhan
dan penyebaran tumor ganas melebihi kemampuan sistem imun menghancurkan sel tumor
tersebut. Ketiga, banyak sel tumor mempunyai mekanisme spesifik untuk menghindar dari
sistem respon imun host (Abbas, et al., 2010).
Beberapa mekanisme sel tumor untuk menghindar dari sistem imun adalah
pertumbuhan yang berlebih dari antigen negatif, berkurang atau melemahnya ekspresi antigen
kompleks MHC, hilangnya kostimulator atau adanya inhibisi, adanya agen imunosupresif atau
apoptosis sel T. Tumor yang berkembang sangat cepat tanpa perlawanan dari sistem imun
menunjukkan imunitas yang lemah terahadap kanker. Beberapa teori yang dikembangkan
untuk menerangkan hal ini adalah teori klonal delesi dan anergi regulatory T Cell. (Treg)
(Abbas, et al., 2010).
Antigen Tumor
Walaupun tumor berasal dari jaringan sendiri (self), pada umumnya tumor ganas
mengekspresikan antigen yang dapat dikenal oleh sistem imun sebagai antigen asing. Ekspresi
antigen tumor pada umumnya menggambarkan perubahan material genetik akibat
transformasi sel, tetapi mekanisme molekuler yang menghasilkan antigen tumor itu
bermacam-macam (Abbas, et al., 2010).
Antigen tumor disebabkan adanya mutasi atau disregulasi gen yang menyebabkan
diproduksinya protein baru, atau pada tumor yang disebabkan virus onkogenik, biasanya
diekspresikan protein virus. Produk gen yang mutasi atau yang mengalami disregulasi,
maupun produk gen virus dapat dikenal oleh sel T dan sel B sebagai protein asing. Molekul-
molekul protein itu dapat merangsang respon imun spesifik atau berfungsi sebagai target bagi
sel-sel efektor respon imun nonspesifik, misalnya sel NK (Abbas, et al., 2010).
Spesifisitas dan sifat imunogenitas antigen tumor tergantung pada bagaimana tumor
itu terbentuk dan potensi karsinogen penyebab transformasi sel serta interaksi karsinogen
dengan sel target. Tumor yang terbentuk akibat infeksi retrovirus juga bersifat imunogenik
(Abbas, et al., 2010).
Ada beberapa jenis pengelompokan atau klasifikasi antigen tumor. Menurut klasifikasi
lama, yang didasarkan atas pola ekspresinya pada sel normal atau sel kanker, antigen tumor
10
dikelompokkan menjadi : tumor specific antigens (TSAs) yaitu antigen yang hanya
diekspresikan oleh sel tumor atau sel kanker tetapi tidak diekspresikan oleh sel yang normal,
dan tumor associated antigens (TAAs) yaitu antigen yang diekspresikan oleh sel tumor atau
sel kanker tetapi juga diekspresikan oleh sel yang normal. Sedangkan menurut klasifikasi
yang baru, antigen tumor dikelompokkan berdasarkan struktur molekul dan sumber dari
antigen tersebut. Secara garis besar antigen tumor digolongkan dalam antigen yang dapat
dideteksi oleh limfosit T dan antigen yang dapat dideteksi oleh antibodi, seperti penjelasan
dibawah ini (Abbas, et al., 2010).
EBV mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan in vitro membuktikan bahwa virus
ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak bergantung pada sel T, dan
mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi imortal dan mengalami transformasi ganas.
Walaupun dapat terjadi respon seluler maupun respon humoral terhadap antigen yang disandi
oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik terhadap antigen tersebut dapat
memperantarai penolakan terhadap tumor tersebut in vivo. Jadi untuk mengatasi infeksi EBV
diperlukan respon imun seluler atau respon sel T, sedangkan defisiensi respon imun seluler
dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi EBV secara laten mengalami transfomasi ganas. Hal
ini juga terbukti dari data epidemiologi yang menyatakan bahwa limfoma sel B terjadi dengan
frekuensi tinggi pada individu imunodefisiensi sel T, termasuk mereka dengan
imunodefisiensi kongenital dan AIDS (Abbas, et al., 2010).
Contoh virus RNA yang sudah dikenal luas adalah human T cell lymphotropic virus
(HTLV-1) yang merupakan virus penyebab leukemia sel T pada orang dewasa (adult T-cell
leukemia, ATL) atau limfoma, yang dikenal sebagai tumor ganas pada sel T CD4 + yang
agresif. Seperti halnya pada tumor-tumor yang lain, respon imun terhadap tumor-tumor ini
belum terbukti memberikan dampak protektif, selain itu penderita ATL biasanya menunjukkan
imunodefisiensi karena virus tersebut cenderung menginfeksi sel T CD4 + (Abbas, et al.,
2010).
Beberapa jenis molekul pada permukaan sel tumor dapat membangkitkan respon
antibodi autolog. Selain itu, beberapa jenis molekul tumor dapat dikenal oleh antibodi
xenogenik yang diperoleh melalui imunisasi hewan percobaan spesies lain dengan antigen
bersangkutan. Molekul-molekul itu tidak selalu harus membangkitkan respon imun pada
penderita tumor bersangkutan, tetapi antibodi yang bereaksi dengan antigen tersebut
mempunyai makna penting untuk diagnosis dan terapi tumor. Antigen tumor ini sebagian
besar diekspresikan oleh berbagai jenis tumor yang berasal dari jenis sel yang sama, dan
sebagian besar antigen ini tidak merangsang respon imun pada penderita karena merupakan
protein sendiri (self proteins), dan walaupun antibodi dapat mengikat antigen tersebut,
antibodi tersebut tidak mempunyai potensi protektif (Abbas, et al., 2010).
Antigen Onkofetal
Ada berbagai cara penggolongan antigen tumor yang dikenal oleh antibodi, salah satu
di antaranya didasarkan atas sifat biokimiawi atau pola penyebarannnya dalam jaringan. Salah
satu golongan antigen tumor disebut antigen onkofetal karena dalam keadaan normal antigen
ini hanya diekspresikan oleh jaringan fetal dan tidak terdapat pada jaringan dewasa. Antigen
onkofetal tidak bersifat imunogenik. Antigen onkofetal sejak lama digunakan untuk
menunjang diagnosis tumor-tumor tertentu Dua contoh klasik antigen onkofetal adalah
carcino-embryonic antigen (CEA) dan alpha-fetoprotein. (AFP). CEA (CD66) merupakan
protein membran anggota Ig superfamily, dan dapat dilepaskan ke dalam cairan ekstraseluler.
Dalam keadaan normal CEA hanya diekspresikan pada sel-sel saluran cerna, pankreas, dan
hepar selama kehamilan trimester pertama dan kedua, kemudian ekspresinya menurun dan
pada orang dewasa hanya diekspresikan pada mukosa kolon dan payudara yang sedang
laktasi. Pada penelitian selanjutnya terungkap bahwa CEA berfungsi sebagai molekul adhesi
interseluler (ICAM) dan meningkatkan adhesi sel satu dengan yang lain yang memungkinkan
sel-sel tumor berinteraksi satu dengan yang lain dan interaksi sel tumor dengan jaringan
sekitarnya. AFP merupakan glikoprotein yang disintesis dan disekresi pada masa fetal oleh
yolk sac dan hepar. Kadar AFP dalam serum fetus dapat mencapai 2-3 mg/L tetapi pada orang
dewasa protein itu digantikan oleh albumin dan kadarnya dalam serum sangat sedikit. Kadar
AFP meningkat pada karsinoma hepatoseluler, germ cell tumor dan kadang-kadang pada
kanker lambung dan pankreas. Seperti halnya CEA, AFP juga tidak membangkitkan respon
imun pada penderita (Abbas, et al., 2010).
Golongan antigen tumor lain adalah glikoprotein dan glikolipid yang pada umumnya
mengalami perubahan. Beberapa di antaranya yang sudah dikenal luas adalah Ca125 dan
Ca19.9 yang diekspresikan pada kanker ovarium dan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian
luas adalah MUC-1 yang diekspresikan pada kanker payudara. Seperti halnya mucin yang
lain, MUC-1 adalah protein membran yang biasanya diekspresikan pada permukaan apikal
epitel saluran kelenjar payudara, suatu daerah yang relatif terlindung dari sistem imun. Pada
kanker payudara, molekul itu diekspresikan secara tidak terpolarisasi dan mengandung
molekul-molekul karbohidrat baru yang sangat spesifik dan epitop peptida yang dapat dikenal
oleh antibodi. Epitop peptida dapat menginduksi respons sel T maupun respons sel B. Secara
ringkas pengelompokan antigen tumor yang dijelaskan tersebut diatas dapat dilihat pada
gambar 1 dan tabel 1 tersebut di bawah ini (Abbas, et al., 2010).
Gambar 1: Beberapa jenis Antigen Tumor yang dapat dikenal oleh Sel T (Dari: Abbas, et al.,
2010).
yang paling efektif dan mana yang memberikan kontribusi pada respon imun protektif, dan
bagaimana meningkatkan mekanisme efektor ini dengan cara yang relatif spesifik tumor.
Berikut ini akan dibahas berbagai komponen yang berperan dalam mekanisme efektor dan
mekanisme mana yang paling relevan untuk tumor (Pardoll,2008; Abbas, et al., 2010).
Sel NK
Sitotoksisitas alami yang diperankan oleh sel NK merupakan mekanisme efektor yang sangat
penting dalam melawan tumor. Sel NK adalah sel efektor dengan sitotoksisitas spontan
terhadap berbagai jenis sel sasaran. Sel efektor ini tidak memiliki sifat-sifat klasik dari
makrofag, granulosit maupun CTL, dan sitotoksisitasnya tidak bergantung pada MHC. Sel
NK dapat membunuh berbagai jenis sel kanker terutama yang tidak mengekspresikan MHC
klas I, tetapi mengekspresikan ligand untuk NK cell activating receptors (Abbas, et al., 2010).
Sel NK dapat berperan baik dalam respon imun nonspesifik maupun spesifik terhadap
tumor, dapat diaktivasi langsung melalui pengenalan antigen tumor atau sebagai akibat
aktivitas sitokin yang diproduksi oleh limfosit T spesifik tumor. Mekanisme lisis yang
digunakan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T CD8+ untuk membunuh sel,
tetapi sel NK tidak mengekspresikan TCR dan mempunyai rentang spesifisitas yang lebar. Sel
NK dapat membunuh sel terinfeksi virus dan sel-sel tumor tertentu, khususnya tumor
hemopoetik, in vitro. Sel NK tidak dapat melisiskan sel yang mengekspresikan MHC, tetapi
sebaliknya sel tumor yang tidak mengekspresikan MHC, yang biasanya terhindar dari lisis
oleh CTL, justru merupakan sasaran yang baik untuk di lisiskan oleh sel NK. Beberapa jenis
tumor juga mengekspresikan MICA, MICB dan ULB yang merupakan ligand untuk NKG2D
activating receptor dari sel NK. Sel NK dapat diarahkan untuk melisiskan sel yang dilapisi
imunoglobulin karena ia mempunyai reseptor Fc (FcRIII atau CD16) untuk molekul IgG
(Pardoll,2008; Abbas, et al., 2010).
Kemampuan membunuh sel tumor ditingkatkan oleh sitokin, termasuk IFN, TNF, IL-2
dan IL-12. Karena itu peran sel NK dalam aktivitas anti-tumor bergantung pada rangsangan
yang terjadi secara bersamaan pada sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin tersebut.
(Abbas, et al., 2010). Ketiga jenis IFN (,,) dapat meningkatkan fungsi sel NK. IFN
17
mengubah pre-NK menjadi sel NK yang mampu mengenal dan melisiskan sel target,
mempermudah interaksi dengan dan lisis sel target. Sel NK mungkin berperan dalam immune
surveillance terhadap tumor yang sedang tumbuh, khususnya tumor yang mengekspresikan
antigen virus. Aktivitas sel NK sering dihubungkan dengan prognosis. Beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa ada korelasi antara penurunan kemampuan sitotoksisitas sel NK
dengan peningkatan risiko metastasis. Dari penelitian-penelitian itu disimpulkan bahwa
sitotoksisitas alami dapat berperan dalam mencegah pertumbuhan kanker dan metastasis
(Abbas, et al., 2010).
Yang menarik adalah peran sel NK yang diaktifkan dengan stimulai IL-2 dalam
membunuh sel tumor. Sel-sel itu yang disebut lymphokine activated killer cells (LAK cells)
dapat diperoleh in vitro dengan memberikan IL-2 dosis tinggi pada biakan sel-sel limfosit
darah perifer atau sel-sel tumor infiltrating lymphocytes (TIL) yang berasal dari penderita
kanker. IL-2 berperan dalam menginduksi ekspresi rantai reseptor IL-2 pada tingkat
transkripsi, dan hal inilah yang memperkuat kemampuan IL-2 untuk meningkatkan
pertumbuhan sel NK. Sel-sel yang diaktifkan oleh limfokin ini (LAK cells) menunjukkan
peningkatan aktivitas sitotoksik yang sangat jelas. Besar kemungkinan bahwa sel LAK dapat
digunakan di kemudian hari dalam imunoterapi adoptif (Pardoll, 2008; Abbas, et al., 2010).
Makrofag
Makrofag merupakan mediator seluler yang potensial dalam imunitas anti-tumor. Makrofag
yang diaktivasi dapat melisiskan sel tumor tetapi tidak sel normal, in vitro. Namun belum
jelas bagaimana makrofag ini diaktifasi oleh sel tumor, kemungkinan mekanismenya adalah
melalui pengenalan langsung beberapa antigen permukaan dari sel tumor dan aktifasi
makrofag melalui interferon- (IFN-) yang diproduksi oleh sel T spesifik tumor.
Seperti halnya sel NK, makrofag mengekspresikan reseptor Fc-, dan aktivitasnya
dapat diarahkan kepada tumor yang dilapisi antibodi. Besar kemungkinan bahwa mekanisme
pembunuhan sel tumor dilakukan dengan mekanisme yang sama dengan mekanisme
pembunuhan mikroba patogen, yaitu dengan melepaskan enzim lisosom, ROS, dan NO.
Makrofag teraktivasi juga memproduksi TNF. TNF merusak sel tumor dengan efek toksik
langsung atau secara tidak langsung dengan merusak pembuluh darah dalam tumor. Efek
toksik langsung terjadi melalui pengikatan TNF pada reseptor permukaan sel tumor. Efek
toksik langsung ini sebagian terjadi melalui mekanisme apoptosis, yaitu mekanisme yang
mirip dengan apoptosis yang diinduksi oleh pengikatan Fas-FasL, sebagian lagi terjadi
melalui disrupsi protein sitoskeletal, atau melalui pembentukan trombosis dalam pembuluh
darah sehingga terjadi nekrosis tumor (Abbas, et al., 2010).
18
Limfosit T
Pada percobaan eksperimental terbukti bahwa sel T sitotoksik (CTL) menghasilkan
respon imun antitumor yang efektif in vitro. Prinsip mekanisme imunitas terhadap tumor
adalah membunuh sel tumor oleh CD8+CTL. Pada banyak penelitian terbukti bahwa sebagian
besar sel efektor yang berperan dalam mekanisme anti-tumor adalah sel T CD8 +, yang secara
fenotip dan fungsional identik dengan CTL yang berperan dalam pembunuhan sel yang
terinfeksi virus atau sel alogenik. CTL dapat melakukan fungsi surveillance dengan mengenal
dan membunuh sel-sel potensial ganas yang mengekspresikan peptida yang berasal dari
protein seluler mutan atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC
kelas I. Limfosit T yang menginfiltrasi jaringan tumor (tumor infiltrating lymphocyte / TIL)
juga mengandung sel CTL yang memiliki kemampuan melisiskan sel tumor. Walaupun respon
CTL mungkin tidak efektif untuk menghancurkan tumor, peningkatan respon CTL merupakan
cara pendekatan terapi antitumor yang menjanjikan di masa mendatang (Abbas, et al., 2010).
Respon sel T CD8+ yang spesifik terhadap tumor memerlukan cross-
presentation/cross-priming dari antigen tumor oleh APC profesional seperti sel Dendritik.
Sebagian besar sel tumor bukan merupakan APC, sehingga tidak mengekspresikan
kostimulator yang diperlukan untuk menginisiasi respon sel T, atau MHC klas II yang
diperlukan untuk mengaktifasi sel T helper untuk merangsang diferensiasi sel T CD8 +.
Kemungkinannya adalah sel Dendritik mencerna dan memproses sel tumor atau antigen
tumor, kemudian mempresentasikan peptida tumor melalui MHC klas I untuk dikenal oleh sel
T CD8+. APC mengekspresikan kostimulator untuk diferensiasi sel T CD8 +, dan MHC klas II
untuk aktifasi sel T CD4+. Setelah CTL terbentuk maka sel ini akan mampu membunuh sel
tumor.
Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-sel itu dapat
berperan dalam respon antitumor dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan
untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel efektor. Di samping itu sel T CD4 + yang
diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF dan IFN- yang mampu meningkatkan
19
ekspresi molekul MHC kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh CTL. Ada juga
kemungkinan bahwa sel T CD4+ yang spesifik tumor meningkatkan respon DTH terhadap
tumor. Sebagian kecil tumor yang mengekspresikan MHC kelas II dapat mengaktivasi sel T
CD4+ spesifik tumor secara langsung. Yang lebih sering terjadi adalah bahwa APC profesional
yang mengekspresikan molekul MHC kelas I meng-fagositosis, memproses dan menampilkan
protein yang berasal dari sel-sel tumor yang mati kepada sel T CD8 +, sehingga terjadi aktivasi
sel-sel tersebut. seperti pada gambar 2 tersebut dibawah ini (Abbas, et al., 2010).
Gambar 2: Induksi respon sel T terhadap sel tumor (dari: Abbas, et al., 2010).
Antibodi
Antibodi mungkin kurang penting dibanding sel T dalam mekanisme efektor terhadap
tumor, tetapi seperti telah dibahas sebelumnya, penderita kanker dapat memproduksi antibodi
terhadap berbagai antigen tumor, bahkan antibodi itu bersifat spesifik misalnya antibodi
terhadap EBV pada tumor yang disebabkan oleh EBV. Potensi untuk membunuh tumor yang
diperantarai oleh antibodi telah terungkap in vitro yaitu melalui mekanisme ADCC di mana
makrofag dan sel NK yang mengekspresikan reseptor Fc- memperantai pembunuhan atau
melalui aktivasi komplemen. Apakah mekanisme pembunuhan tumor melalui antibodi ini
berlaku juga in vivo belum diketahui pasti (Abbas, et al., 2010).
Kordinasi antara sistem imun alami dan adaptif dalam pengenalan sel atau antigen tumor
secara skematis dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.
20
Gambar 3: Pengenalan sel atau antigen tumor secara langsung atau tidak langsung oleh sistem
imun alami dan adaptif (Dari: Dranoff, G. 2004).
antigen tumor tertentu akibat pemaparan pada masa neonatal atau tumor mengekspresikan
antigen dalam bentuk tolerogenik.
Salah satu contoh bahwa pemaparan yang terjadi pada masa neonatal dapat
menimbulkan toleransi adalah terjadinya tumor yang disebabkan murine mammary tumor
virus pada mencit dewasa yang pernah terpapar pada virus bersangkutan pada masa neonatal
karena menyusu. Contoh lain diperlihatkan oleh mencit transgenik yang mengekspresikan
genom virus SV40 sebagai transgen. Bila ekspresi genom SV40 itu terjadi pada awal
kehidupan, mencit tersebut menunjukkan toleransi sehingga insiden tumor pada mencit-
mencit itu tinggi. Berbeda halnya dengan mencit transgenik SV40 lain yang mengekspresikan
genom SV40 pada usia lebih tua. Mencit-mencit ini tidak menunjukkan toleransi terhadap
SV40 dan insidens tumor pada mencit-mencit itu rendah (Abbas, et al., 2010).
terbukti mampu menurunkan ekspresi MHC kelas I dan pembentukan kompleks MHC-
peptida, sehingga dengan demikian virus menghambat presentasi antigen tumor kepada CTL.
Walaupun bukti-bukti in vitro mendukung mekanisme down-regulation MHC ini, belum dapat
dibuktikan adanya korelasi yang jelas in vivo (Abbas, et al., 2010).
Semakin banyak bukti yang mendukung bahwa sel T CD4 + mempunyai peran dalam
aktivitas anti-tumor. Sel T CD4+ dapat menyebabkan efek langsung pada tumor dengan
mensekresi IFN- dan TNF-. Sebagian antigen tumor diekspresikan oleh MHC kelas II
sehingga dikenal oleh sel T CD4+, misalnya p53 melalui HLA-DR1, MUC-1 melalui HLA-
DR3, produk HPV yaitu E7, dan HER2/neu melalui HLA-DR4 dan ras melalui HLA-DQ.
Karena itu kegagalan dalam pembentukan MHC kelas II pada tumor-tumor tertentu berperan
dalam kegagalan immunosurveillance (Abbas, et al., 2010).
Tumor Tidak Mampu Menginduksi CTL oleh karena Sebagian Besar Tumor Tidak
Mengekspresikan Molekul MHC klas II atau Kostimulator
Tumor yang mengekspresikan kompleks peptida-MHC kelas I yang dikenal oleh CTL
kadang-kadang gagal mengaktivasi CTL bersangkutan. Kemungkinan pertama adalah karena
sebagian besar tumor manusia tidak mengekspresikan MHC kelas II, maka ia tidak dapat
secara langsung merangsang Sel T CD4+ (Th) yang spesifik tumor. Aktivitas anti-tumor pada
CTL sebagian bergantung pada sinyal yang dilancarkan oleh Sel T CD4 +. Bila tumor tidak
mengekspresikan MHC kelas II, atau bila APC profesional tidak menginfiltrasi tumor secara
adekuat, pengambilan dan presentasi antigen tumor serta aktivasi Sel T CD4+ tidak akan
terjadi.
Kemungkinan kedua adalah tidak adanya molekul kostimulator pada permukaan sel
tumor yang fungsinya adalah memberikan sinyal kedua untuk aktivasi Sel T CD4+. Aktibatnya
sel CTL memerlukan ko-stimulasi melalui molekul kostimulator seperti B7-1 (CD80) atau
B7-2 (CD86), padahal molekul-molekul itu seringkali tidak ada pada permukaan sel tumor.
Presentasi antigen kepada sel T tanpa disertai ko-stimulator dapat menginduksi toleransi
perifer (clonal anergy) pada limfosit T spesifik tumor atau bagian dari interaksi antara
kostimulator B7 dengan CTLA-4 (Abbas, et al., 2010).
Sel Tumor Memproduksi Substansi yang Dapat Menekan Respon Imun Anti-tumor
Sel-sel tumor dapat memproduksi substansi yang menekan respons imun. Salah satu
produk yang menekan respon anti-tumor adalah transforming growth factor (TGF-) yang
diproduksi dalam jumlah berlebihan oleh berbagai jenis tumor dan menghambat fungsi
23
limfosit dan makrofag. Beberapa jenis tumor mensekresi IL-10 yang juga menghambat fungsi
makrofag, dan beberapa jenis tumor spontan yang lain mengekspresikan FasL (Fas ligand).
Pengikatan FasL pada molekul Fas yang terdapat pada permukaan limfosit dapat
menyebabkan kematian limfosit (apoptosis). Namun demikian jenis sel tumor yang
mengekspresikan FasL hanya sedikit (Abbas, et al., 2010).
Resistensi Tumor
Kinetik pertumbuhan tumor dapat menghasilkan tumor yang resisten terhadap
mekanisme respon imun sebelum respon imun yang efektif terbentuk. Dugaan ini muncul
pada percobaan transplantasi tumor. Transplantasi sejumlah kecil sel tumor menyebabkan
tumbuhnya tumor lethal, sedangkan transplantasi dengan jumlah besar sel tumor ditolak.
Penjelasan untuk fenomena yang kontradiktif ini adalah bahwa jumlah sel yang sedikit tidak
cukup untuk merangsang respon imun, dan pada waktu banyak sel tumor tumbuh, bisa terjadi
mutasi pada gen antigen yang mengurangi kemungkinan pengenalan tumor oleh sistem imun.
Resistensi tumor terhadap apoptosis yang diperantarai Fas juga merupakan komponen
penting pengelakan tumor terhadap sistem imun. Seperti diketahui Fas adalah reseptor
penginduksi kematian. Salah satu hal yang mungkin berkaitan dengan resistensi tumor
terhadap Fas adalah mutasi pada onkogen dan atau gen supresor. Mutasi pada p53 dapat
menekan terjadinya apoptosis termasuk kelemahan sinyal Fas. Protein fusi Bcr-Abl yang
diekspresikan pada leukemia limfositik kronik dan onkogen abl sendiri, demikian pula mutasi
pada c-myc dapat menghalangi sinyal Fas dan mengakibatkan sel ganas itu resisten terhadap
apoptosis yang diperantarai Fas. Di lain fihak ada bukti-bukti bahwa berbagai jenis sel ganas
dapat mengekspresikan FasL pada permukaannya yang apabila berikatan dengan Fas yang
terdapat pada permukaan sel limfosit akan mengakibatkan kematian sel limfosit. Dengan
demikian, sel ganas tidak saja resisten terhadap apoptosis yang diinduksi oleh CTL tetapi juga
24
dapat melakukan serangan balik terhadap respon imun dengan mengakibatkan kematian sel T
(Boedina, 2001; Abbas, et al., 2010).
Antigen Masking
Antigen permukaan sel tumor dapat disembunyikan dari sistem imun karena dilapisi
oleh molekul glikokaliks, termasuk mukopolisakharida yang mengandung asam sialat. Sel-sel
tumor dapat memproduksi glikokaliks dalam jumlah lebih besar dibanding sel normal (Abbas,
et al., 2010).
Gambar 4 di atas secara skematik menjelaskan mekanisme lolosnya sel tumor dari respon
imun tubuh (Dari: Abbas, et al., 2010).
Ringkasan
Tumor mengekspresikan antigen yang dapat dikenali oleh sistem imun, tetapi sebagian besar
tumor memiliki sifat imunogenik yang lemah, sehingga sistem immun sering kali gagal
mencegah pertumbuhan tumor. Sistem imun dapat distimulasi untuk membunuh tumor
dengan efektif.
Tumor antigen dapat dikenali oleh CTLs, yang merupakan pencetus utama serta
menjadi target untuk imunitas antitumor. Antigen-antigen ini terdiri dari onkogen yang
mengalami mutasi, protein selular lainnya, protein normal yang mengalami disregulasi atau
25
meningkat pada tumor, dan produk dari onkogen virus. Antibodi yang spesifik untuk sel
tumor dapat mengenal antigen, dipakai sebagai alat diagnostik dan sebagai target yang
potensial untuk terapi antibodi.
Respon imun yang mampu membunuh sel tumor terdiri dari CTLs, sel NK, dan
makrofag yang diaktifkan. Namun peranan dari mekanisme efektor dari sistem imun dalam
melindungi individu dari tumor masih belum dapat dijelaskan dengan baik.
Tumor dapat menghindar dari respon imun melalui beberapa mekasisme seperti:
down-regulasi ekspresi dari MHC molekul, memilih sel yang tidak mengekspresikan antigen
tumor, memproduksi substansi imunosupresif, dan merangsang toleransi terhadap tumor
antigen.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. 2010. Immunity to Tumors. Cellular and Molecular
Immunology. updated 6th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.397 417.
Abbas, A.K., Lichtman, A.H. 2009. Immune Responses Against Tumors and Transplants.
Basic Immunology: Functions and disorders of the Immune System. 3rd Ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier. p.189 - 196.
Boedina, S.K., 2001. Aspek Imunologi Tumor In: Imunologi: Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p.208-229.
Disis, M.L. 2005. Global Role of the Immune System in Identifying Cancer Initiation and
Limiting Disease Progression. J Clin Oncol. 23:p.8923-8925
Jemal, A., Murray, T., Ward, E., Samuels, A., Tiwari, R.C., Ghafoor, A., Thun, M.J. 2009.
Cancer Statistics. CA Cancer J Clin;59:p.225-249.
Pardoll, D.M., 2008. Cancer Immunology. In Abeloff M.D., Armitage J.O., Niederhuber J.E.,
Kastan M.B., McKenna W.G. (Editors). Clinical Oncology. 4rd Edition. Philadelphia: Elsevier
Churchill Livingstone. 6 : 101 112.
EPIDEMIOLOGY OF CANCER
PENDAHULUAN
Kanker saat ini telah menjadi masalah kesehatan yang utama di negara yang sudah maju
seperti USA dan merupakan penyebab kematian ke dua setelah penyakit kardovaskuler.
Menurut American Cancer Society pada tahun 2006 ini di USA diperkirakan akan didapatkan
26
1.399.790 kasus kanker baru dengan jumlah kematian oleh karena kanker sebanyak 564.830
orang. Saat ini satu dari empat kematian yang terjadi di negara tersebut adalah disebabkan
oleh karena kanker.
Menurut Cancer Statistics 2006, insiden kanker pada laki-laki relatif menetap sejak
tahun 1995 sampai tahun 2000, dengan tiga jenis kanker terbanyak yaitu kanker prostat,
kanker paru dan kanker colorectal. Sedangkan pada wanita cenderung meningkat 0,4% setiap
tahun sejak tahun 1987 sampai tahun 2000, dengan tiga jenis kanker terbanyak yaitu kanker
payudara, kanker paru dan kanker colorectal. Angka kematian beberapa jenis kanker
cenderung menurun seperti kanker paru, kanker colorectal dan kanker prostat pada laki laki,
serta kanker payudara dan kanker colorectal pada wanita.
Sampai saat ini belum ada data yang pasti mengenai insiden kanker di Indonesia oleh
karena belum adanya sistem registrasi kanker berdasar penduduk (Population Based Cancer
Registry), tetapi WHO memperkirakan bahwa insidens kanker di Indonesia 180 per 100.000
penduduk dan merupakan urutan ke enam sebagai penyebab kematian serta ada
kecenderungan meningkat mengikuti negara yang sudah maju. Beberapa jenis kanker
tampaknya akan terus meningkat di Indonesia termasuk di Bali. Berdasarkan data yang
dikumpulkan dari bagian Patologi (Pathological Based) dari tahun 1996 sampai dengan tahun
2000 didapatkan bahwa frekwensi sepuluh kanker terbanyak di Bali adalah kanker: Serviks,
payudara, nasofaring, kulit, colorectal, limfoid, penis, prostat, thyroid dan ovarium. Pada laki-
laki yang terbanyak adalah kanker : Nasofaring, limfoid, kulit, penis, kolorektal, prostat,
thyroid dan hati. Sedangkan pada wanita kanker dengan urutan terbanyak : Serviks, payudara,
kulit, nasofaring, ovarium, limfoid, thyroid dan kolorektal.
Pada makalah ini akan dibahas beberapa aspek epidemiologi dari lima jenis kanker
yang sering didapatkan di Rumah Sakit Sanglah dengan ilustrasi data dari penderita kanker
yang dirawat di Rumah Sakit Sanglah Denpasar antara tahun 1999-2003 menurut jumlah rata-
rata kasus baru pertahun.
KANKER SERVIKS
Kanker serviks merupakan kanker yang paling sering dijumpai dan merupakan penyebab
utama kematian kanker pada wanita pada kelompok umur 35-54 tahun di Indonesia.
Diperkirakan 90-100 kasus kanker baru per 100.000 penduduk dan merupakan 65-77% dari
seluruh kanker ginekologi. Sedangkan di negara yang sudah maju insidens kanker ini sudah
sangat menurun dengan angka kematian yang sangat rendah, oleh karena pengetahuan
27
masyarakat tentang hygiene yang sangat baik, paritas yang rendah, dan adanya program
screening massal berupa Pap Smear yang sudah mapan.
Seperti diketahui bahwa kanker serviks dimulai dari lesiprakanker yaitu displasia atau
Cervical Intraepitelial Neoplasia (CIN) yang bisa berubah menjadi kanker serviks yang
invasif dan saat ini Human Papilloma Virus (HPV) ditengarai sebagai faktor penyebab utama
kanker serviks. Telah diketahui pula bahwa bila dilakukan pengobatan pada tahap displasia /
insitu ini maka kesembuhannya dapat mencapai 100%.
Sebenarnya kanker serviks dapat dicegah dengan melakukan edukasi, peningkatan
partisipasi masyarakat dan adanya program screening yang baik. Namum kenyataan yang
didapatkan bahwa sebagian besar kanker serviks yang ditanganani di RS Sanglah adalah
kanker yang sudah invasif dan stadium lanjut. Data kanker serviks di Rumah Sakit Sanglah
tahun 2002 - 2003 sebanyak 98 kasus baru, 39,8% didapatkan pada kelompok umur diatas 50
tahun dan 33,7% didapatkan pada kelompok umur 40-49 tahun. Hampir 71% sudah dalam
stadium III, hanya 16% yang datang dalam stadium I.
KANKER PAYUDARA
Di negara maju kanker payudara merupakan kanker terbanyak didapatkan, pada tahun 2006
ini diperkirakan sebanyak 32% dari seluruh kanker pada wanita. Angka insiden kanker
payudara paling tinggi di USA yaitu 87.1 per 100.000 penduduk. Sedangkan insiden rendah
(kurang dari 30 per 100.000 penduduk) didapatkan di sub-sahara Afrika dan Asia. Insiden
kanker payudara di seluruh dunia cenderung menetap atau sedikit meningkat. Demikian
halnya di Bali tampaknya jumlah kasusnya meningkat walaupun pada urutan kedua setelah
kanker serviks, dan cenderung bergeser kearah umur yang lebih muda.
Beberapa faktor risiko terhadap kanker payudara seperti : pernah kanker payudara,
kelainan jinak payudara atypical ductal hyperplasia, genetic susceptibility (mutasi BRCA1/2
gene) dan faktor risiko lain seperti: faktor reproduksi, diet tinggi lemak, obesitas, hormonal
dan lainya. Hampir 95% kanker payudara adalah sporadic cancer yang penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, sedangkan hanya 5% kanker payudara bersifat familial cancer yang
terjadi oleh karena mutasi dari tumor suppresor gene BRCA1 atau BRCA2. Oleh karena itu
usaha pencegahan primer belum dapat dikembangkan, hanya usaha pencegahan sekunder /
screening yang sudah dilakukan yaitu dengan mamografi.
Di RS Sanglah, sebagian besar (hampir 70-80%) kanker payudara yang datang berobat
sudah dalam stadium lanjut (stadium III / IV) sehingga penanganannya lebih susah dan
hasilnya juga tidak memuaskan. Lain halnya dengan di negara yang sudah maju kebanyakan
28
mereka sudah datang dalam stadium dini bahkan yang nonpalpable sekalipun, hal ini oleh
karena sudah adanya program screening mamografi yang sangat baik. Data di Rumah Sakit
Sanglah selama empat tahun terakhir didapat 188 kasus baru kanker payudara, terbanyak
didapatkan pada kelompok umur 46-50 tahun (22,87%) dan 42,55% didapatkan pada stadium
IIIb dan 20.2% pada stadium IV.
KANKER NASOFARING
Kanker nasofaring cukup banyak didapatkan di Indonesia termasuk di Bali. Insidens kanker
nasofaring sangat bervariasi diseluruh dunia. Kanker ini paling banyak didapatkan di China
Selatan dan Asia tenggara terutama pada etnis China dimana saja, dengan insidens 24,3 pada
laki-laki dan 9,5 pada wanita, diantara 100.000 penduduk. Insidens kanker nasofaring juga
cukup tinggi di Alaska dan Greenland.
Beberapa faktor penyebab yang telah diketahui berhubungan dengan kanker
nasofaring seperti infeksi Ebstein Barr Virus (EBV), nitrosamines yang banyak didapatkan
pada ikan asin atau ikan yang diawetkan, merokok dan lainnya. Sebagian besar kanker
nasofaring datang dengan stadium lanjut oleh karena pada awalnya sering kali kanker ini tidak
meberikan keluhan. Keluhan yang paling sering didapatkan adalah tininitus yang menetap
pada salah satu telinga saja. Dengan demikian deteksi dini pada kanker ini cukup sulit
dilakukan.
Data dari bagian Patologi Rumah Sakit Sanglah tahun 1996 - 2000 didapatkan bahwa
kanker nasofaring merupakan kanker terbanyak pada laki-laki dan menempati urutan ke tiga
pada wanita. Jumlah kasus baru yang datang berobat ke RS Sanglah selama 5 tahun (1999-
2003) sebanyak 192 orang, rata-rata 38 kasus per tahun, terbanyak pada pada kelompok umur
46-50 tahun (16,9%), dimana hampir 75% datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV),
sehingga prognosis sangat buruk. Saat ini modalitas terapi utama pada kanker nasofaring
adalah radioterapi atau kombinasi antara radioterapi dengan kemoterapi.
KANKER KOLOREKTAL
Pada tahun 2006 ini insidens dan mortalitas kanker kolorektal diprediksikan masih tetap
menempati urutan ke tiga didunia baik pada laki-laki maupun wanita. Insidensnya terus
meningkat walaupun angka kematiannya cenderung menurun. Beberapa faktor risiko yang
dihubungkan sebagai penyebab dai kanker kolorektal ini adalah diet banyak lemak hewani
dan beberapa keadaan tertentu seperti; Familial Adnomatous Polyposis (FAP), Hereditary
Polyposis Syndromes, Hereditary Nonpolyposis Colon Cancer (HNPCC) dan Inflammatory
29
Bowel Diseases. Diperkirakan 75% kanker kolorektal adalah sporadic cancers, sedangkan
sisanya adala familial cancers yang berhubungan dengan kelainan familial tersebut diatas.
Program deteksi dini (screening) kanker kolorektal di negara yang sudah maju sudah
berjalan dengan baik yaitu dengan melakukan pemeriksaan darah dalam faeces (Fecal Occult
Blood Test/FOBT), Endoscopy / Colonoscopy, pemeriksaan Barium Enema. Dengan
melakukan pendidikan masyarakat mengenai diet yang baik dan dengan melakukan deteksi
dini keainan-kelainan tersebut diatas dan diikuti dengan terapi yang baik maka diharapkan
akan menurunkan insidens dan mortalitas kanker kolorektal.
Data di Rumah Sanglah selama tiga tahun (2001-2003) didapatkan 110 kasus baru
dengan rata-rata 35 kasus per tahun dan ada kecenderungan meningkat setiap tahunnya.
Paling banyak dijumpai pada kelompok umur 41-50 tahun (25%). Namun sayangnya hampir
75% datang sudah dalam stadium III-IV, hanya 2,3% yang datang berobat dalam stadium I,
sehingga usaha-usaha pengobatan lebih banyak bersifat paliatif saja.
KANKER PARU
Kanker paru merupakan kanker terbanyak didunia yaitu 12,8% dari seluruh kanker dan masih
tetap merupakan penyebab kematian tertinggi oleh karena kanker (17,8%). Hampir 60%
kanker paru didapatkan di negara maju. Walaupun insidensnya tetap pada laki-laki namun
pada wanita cenderung meningkat yang dihubungkan dengan semakin banyaknya wanita yang
merokok, atau bekerja diluar rumah (berhubungan dengan polusi udara). Insidens kanker pau
di Asia Tenggara diperkirakan 29,69 per 100.000 penduduk pada laki-laki dan 9,29 per
100.000 pada wanita. Di Indonesia blum didapatkan data yang pasti mengenai kanker paru
ini.
Data di Rumah Sakit Sanglah / Wangaya selama 5 tahun dilaporkan sebanyak 127
kasus baru, rata-rata 25,4 kasus per tahun dengan ratio laki-laki : wanita 1,44 : 1. Lima puluh
persen didapatkan pada kelompok umur 44-64 tahun dan 32% pada umur 65 tahun keatas.
Usaha pencegahan primer hanyalah pada edukasi pendidkan masyarakat tentang
bahaya merokok, polusi udara termasuk side-smokers dan asbestosis. Sedangkan deteksi dini
dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan foto rontgen toraks pada penduduk yang
berisiko tinggi.
RINGKASAN
Dengan meningkatnya umur rata-rata harapan hidup, adanya perbaikan derajat kesehatan
masyarakat dan meningkatnya pendidikan masyarakat, serta meningkatnya polutan, maka
30
insidens kanker cenderung meningkat, sehingga akan menjadi masalah kesehatan yang perlu
mendapat perhatian.
Untuk mendapatkan data yang baik, peranan registrasi kanker seharusnya
mendapatkan perhatian khusus dari para ahli yang menangani kanker, sehingga didapatkan
data yang valid dari waktu ke waktu untuk kepentingan pelayanan, pendidikan dan penelitian.
Penanganan kanker adalah penanganan yang bersifat multidisiplin yang melibatkan
berbagai bidang keilmuan untuk dapat maju dan berkembang bersama-sama.
Sebagian besar kanker yang datang ke Rumah Sakit Sanglah adalah kanker yang
sudah stadium lanjut. Hal ini disebabkan oleh karena program pencegahan primer dan
program deteksi dini beberapa jenis kanker belum ada atau belum berjalan dengan baik.
KEPUSTAKAAN
1. Jemal A, Siegel R, Ward E, Murray T, Xu J, Smigal C, Thun MJ. Cancer Statistic, 2006.
CA Cancer J Clin 2006; 56:106-130.
2. Parkin DM, Pisani P, Ferlay J. Global Cancer Statistics. CA J Clin 1999; 49:33-64.
3. Bondy ML, Chang S, Cancer Epidemiology In: Chang AE, Ganz PA, Hayes DF, Kinsella
TJ, Pass HI, Schiller JH, Stone RM, Strecher VJ. Eds. Oncology:An Evidence-Based
Approach, New York: Springer, 2006, p. 287-300.
4. Helzisouer KJ, Visvanathan K, Epidemiology and Population Sciences In: Abeloff MD,
Armitage JO, Niederhuber JE, Kastan MB, McKenna WG. Eds. Clinical Oncology, 3 rd Ed,
Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone, 2004. p.407-424.
5. Cole P, Rodu B. Discriptive Epidemiology and Cancer Statistic In: DeVita Jr VT, Hellman
S, Rosenberg SA, eds. Cancer Principles and Practice of Oncology. 6 th Ed. Philadephia:
Lippincott Williams and Wilkins publisher, 2001. p228-230.
6. Garfinkel L. Cancer Stastistics and Trends In: Holleb AI, Fink DJ, Murphy GP, eds. The
American Cancer Society Textbook of Clinical Oncology. Atlanta: The American Cancer
Society Inc., 1991. p1-5.
7. Manuaba, TW. Epidemiology of Cancers. Proceeding Basic Science of Oncology,
Pertemuan Ilmiah Berkala Proyek Trigonum XVIII, Surabaya 14-16 April 2006.
8. Bevers MW, Bodurka Bevers DC, Wolf JK. Gynecologic Cancers In: Feig BW, Berger
DH, Fuhrman GM. eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology Handbook. 3 rd ed.
Philadelpia: Lippincot Williams Wilkins, 2003. p445-490.
9. Suwiyoga, IK. Beberapa Masalah Pap Smear Sebagai alat Diagnosis Dini Kanker Serviks
Di Indonesia. Majalah Kedokteran Udayana 2004;35(124):79-83.
10. Solorzano CC, AhearnaLeach SD, Feig BW. Invasive Breast Cancer In: Feig BW, Berger
DH, Fuhrman GM. eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology Handbook. 3 rd ed.
Philadelpia: Lippincot Williams Wilkins, 2003. p14-40.
11. Yin Chu Chien, Chien-Jen Chen. Epidemiology and Etiology of Nasopharingeal Cancer.
Cancer Reviews Asia Pacific 2003; 1(1):1-19.
12. Rousseau Jr. DL, Midis GP, Feig BW. Cancer of Colon, Rectum and Anus In: Feig BW,
Berger DH, Fuhrman GM. eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology Handbook. 3 rd ed.
Philadelpia: Lippincot Williams Wilkins, 2003. p215-222.
31
13. Vaporciyan AA, Swisher S. Thoracic Malignancies In: Feig BW, Berger DH, Fuhrman
GM. eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology Handbook. 3 rd ed. Philadelpia: Lippincot
Williams Wilkins, 2003. p.125-137.
EPIDEMIOLOGI KANKER
Epidemiologi adalah cabang ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan masyarakat yang
mempelajari distribusi dan perubahan-perubahan penyakit tertentu pada populasi beresiko.
Dengan demikian Epidemiologi Kanker adalah suatu cabang ilmu kedokteran/ kesehatan
masyarakat yang mempelajari distribusi dan perubahan-perubahan penyakit kanker
32
tertentu pada polulasi yang beresiko. Distribusi tersebut mencakup angka insiden yaitu jumlah
penderita kanker tertentu yang diketemukan dalam satu periode waktu (1 tahun, 5 tahun dan
seterusnya); angka prevalens adalah jumlah penderita kanker tertentu pada populasi yang di
teliti dalam satu waktu yang ditentukan.
Adapun tujuan mempelajari epidemiologi kanker adalah untuk mendapatkan informasi
penyebab/ etiologi dari suatu jenis kanker. Jika kausa kanker tertentu di ketahui maka
usaha-usaha pencegahan (pencegahan primer) dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.
Adapun objektif yang tertinggi dari mempelajari epidemiologi kanker, selain mencari etiologi,
dan melakukan usaha pencegahan primer, adalah untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas dari kanker tersebut. Sebagai contoh usaha pencegahan yang berhasil menurunkan
angka morbiditas/ kesakitan dan angka kematian adalah vaksinasi terhadap hepatitis B.
Problem yang muncul adalah bahwa kausa dari kanker bersifat multifaktorial, sehingga studi
epidemiologis lebih bertujuan untuk mendapatkan faktor resiko terjadinya kanker tertentu.
Dalam perkembangan selanjutnya, kanker ternyata suatu penyakit DNA dan Genetik,
artinya pada populasi penderita kanker tertentu seperti kanker payudara dan kanker usus
besar, sebagian kecil penderita (5 10%) lahir dengan defek/ kecacadan/ lost of
heterozygocity pada salah satu gena (contohnya Kanker payudara: BRCA-1, BRCA-2,
kanker usus besar: FAP, NHPCC; multi cancer syndrome: LI-Fraumeni sydrome, dan lain
lain) yang menyebabkan meningkatnya resiko menderita kanker tersebut diatas. Hal ini juga
memacu perkembangan epidemiologi kanker, jika di masa lalu epidemiologi kanker lebih
berorientasi pada populasi, maka di masa kini epidemiologi juga berkembang dan melingkupi
molekul DNA/ tumor -epidemiologi molekuler/ molecular epidemiology-.
World Health Organization (W.H.O.), telah memberikan rekomendasi dan prioritas
penanggulangan kanker, yang terdiri dari :
1. Primary Prevention yaitu usaha-usaha pencegahan primer yang berupa public
education dan perbaikan life style. Usaha-usaha yang gencar dilakukan oleh
W.H.O., antara lain adalah menghentikan merokok, vaksinasi terhadap hepatitis
B, HPV, dan sebagainya.
2. Secondary Prevention yang dalam hal ini berarti deteksi dini kanker. Pada beberapa
jenis kanker, deteksi dini dapat menurunkan angka kematian, seperti misalnya kanker
leher rahin, kanker payudara, dan kanker usus besar. Tetapi pada sebagian besar
kanker lain, deteksi dini akan dapat meningkatkan survival secara umum, dan dapat
menurunkan beaya pengobatan secara umum. Skrining dapat dilakukan secara
33
individual ataupun masal jika memenuhi syarat. Persyaratan untuk skrining masal
adalah a.l.: kanker tersebut diketemukan cukup banyak dan merupakan masalah
pengobatan didaerah tersebut; perjalanan kanker tersebut telah dikenal dengan baik di
dunia kedokteran; tersedia alat skrining yang sederhana dan murah yang cukup
sensitive dan cukup spesifik; dapat diterima oleh masyarakat yang di skrining:
tersedia fasiltas pengobatan yang baik terhadap kanker yang di skrining dan
memberikan hasil yang baik.
3. Teriary Prevention yang berarti diagnosis yang akurat, dan pemberian terapi secara
adekuat.
4. Terapi Paliatif. Untuk penderita kanker lanjut, dimana terapi kuratif tidak mungkin
dilaksanakan, maka pengobatan hanya bersifat paliatif dan suportif untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita. Komponen penting dari terapi paliatif
adalah managemen nyeri yang baik.
case control study, cohort-prospective, famly based association study, case-only design, dan
Gene-Environment Interaction & Polygenic Model of Disease Risks masing-masing dengan
keuntungan dan kerugiannya.
Dengan demikian sebagai konklusi bahwa epidemiologi kanker selalu bertujuan untuk
mendapatkan petunjuk kausa dari kanker tertentu, dan jika tidak mungkin didapatkan, maka
epidemiologi kanker berusaha mencari populasi atau keluarga yang mempunyai factor
resiko untuk terkena kanker di masa mandating dan melakukan usaha-usaha pencegahan.
Tujuan akhir adalah menurunkan angka insiden (jika mungkin) dan angka kematian akibat
kanker tertentu.
KARSINOGENESIS
Karsinogenesis adalah suatu proses perubahan dari sel normal menjadi sel kanker.
Perubahan ini terjadi sebagai akibat perubahan atau kerusakan DNA terutama dalam inti sel.
Bahan yang menyebabkan kerusakan DNA dan dapat menyebabkan terjadinya kanker disebut
sebagai bahan carcinogen/ karsinogen. Bahan yang tidak langsung aktif merusak DNA,
tetapi memerlukan perubahan struktural atau kimiawi terlebih dahulu sebelum aktif atau
mampu merusak DNA disebut sebagai cocarcinogen/ kokarsinogen. Bahan-bahan
karsinogen yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari antara lain: radiasi/ ionizing radiation/
Uv; bahan kimiawi; infeksi virus; endogenous carcinogenic reactions dan sebagainya.
Radiasi sebagai bahan karsinogenik terdiri dari 2 macam, pertama adalah gelombang
energi/ radiasi elektromagnetik seperti misalnya sinar gamma, sinar X, dan kedua berupa
partikel atom, contohnya: sinar alpha/ dan sinar beta/ . Beberapa tipe radiasi dapat
menimbulkan kerusakan DNA dan transformasi sel menjadi sel kanker. Sinar gelombang
energi menghantam jaringan/ sel, akan meyebabkan terlepasnya satu atau dua electron dan
akan merubah molekul yang netral menjadi reaktif dan bersifat electrical charge.
Sebaliknya sinar peng-ion dapat menimbulkan kerusakan DNA secara langsung (DNA
strand breaks) ataupun melalui pembentukan ROS (Reactive Oxygen Species), yang akan
bereaksi dengan DNA dan menimbulkan kerusakan. Tipe sinar lain adalah sinar ultraviolet
yang berasal dari matahari. Dari ketiga jenis Uv (UVA, UVB, dan UVC), UVB lah yang
bersifat karsinogen. UVB berkerja sebagai karsinogen melalui pembentukan photoproducts:
cyclobutane pyrimidine dimers & pyrimidine-pyrimidone photoproducts, yang dapat
menimbulkan kerusakan DNA (bend in the DNA helix), sehingga ensim polymerase tidak
mampu membaca template DNA.
35
Bahan kimia yang terdapat dilingkungan manusia dapat berperan sebagai karsinogen
atau ko-karsinogen. Mekanisme yang umum terjadi adalah adanya aktifitas bahan kimia yang
berkerja sebagai electrophilic (electron deficient) bereaksi dengan nucleophilic sites yang
dapat mendonasikan electron pada cincin purine dan pyrimidine dari asam nukleat. Sebagian
kecil karsinogen bahan kimia tertentu berkerja langsung pada DNA, atau menjadi aktif setelah
mengalami metabolisme ditubuh manusia (ko-karsinogen ultimate carcinogen) sebelum
menimbulkan kerusakan DNA. Ensim cytochrome P450 merupakan salah satu protein yang
berperan pada perubahan ko-karsinogen menjadi karsinogen tersebut diatas di hati. Bahan
kimia karsinogenik dapat digolongkan menjadi 10 macam antara lain:
1. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons
2. Aromatic Amines
3. Azo dyes
4. Nitrosamines & nitrosamides
5. Hyrazo & azoxy compounds
6. Carbamates
7. Halugenated compounds
8. Natural products
9. Inorganic carcinogens
10. Miscellanous compounds (alkylating agents, aldehydes, phenolics)
Bahan karsinogenik lain adalah viruses melalui suatu proses infeksi yang bersifat
kronis dan menahun. Virus penyebab kanker pada dasarnya terdapat 2 macam, yaitu virus
DNA dan virus RNA/ retrovirus. Virus DNA memacu terjadinya karsinogenesis dengan
mengkoding protein virus yang dapat menghambat kerja dari tumor suppressor genes,
sebaliknya retro-virus RNA, akan berintegrasi dengan genome manusia, dan menggunakan
mesin DNA sel induk untuk memproduksi protein virus ataupun menimbulkan de-regulasi
dari ekspresi gena penting dari sel. Beberapa jenis virus yang dikenal sebagai penyebab
kanker adalah antara lain yang termasuk virus DNA: human papilloma virus (HPV); Epstein
Barr virus (EBV), sebagai penyebab kanker leher rahim dan kanker nasofaring dan limfoma;
yang termasuk virus RNA adalah human T-cell Leukemia Virus Type 1 (HTLV-1). Beberapa
jenis mikro-organisme lain yang juga bersifat karsinogenik antara lain Helicobacter pylori
menyebabkan kanker lambung.
Proses karsinogenesis lain yang dikenal adalah endogenous carcinogenic reaction. Hal
ini terjadi oleh karena adanya reaksi seluler endogen yang menimbulkan terjadinya kerusakan
ataupun mutasi DNA. Respirasi oksidasi dan lipid peroxydation akan memproduksi ROS
(Reactive Oxygen Species), yang akan bereaksi dengan DNA dan lemak dan lebih jauh akan
memproduksi oxidized products, yang dapat merusak atau merubah DNA dan menimbulkan
36
kerusakan sel. Mekanisme ini serupa dengan karsinogenesis oleh karena radiasi, meskipun
pada radiasi proses yang terjadi lebih agresif.
- Lilienfeld A.M., Pedersen E., Dowd J.E., 1967. Cancer Epidemiology. Methods of
Study. The John Hopkins Press. Baltimore
- Mausner J.S., Bahn A.K., 1974: Epidemiology. An Introductory Text. W.B. Saunders
Co. Philadelphia. 11 : 237 255
- Pecorino L., 2006.: Molecular Biology of Cancer: Mechanism, Targets and
Therapeutics. Oxford University Press. New York.
KARSINOGENESIS
PENDAHULUAN
Sebagian besar (90 95%) dari kanker adalah disebabkan oleh karena lingkungan dan
kebiasaan hidup yang tidak baik, sedangkan sebagian kecil lagi ( 5 10%) adalah oleh adanya
kecacadan genetik yang telah dibawa sejak lahir. Kanker yang disebabkan oleh lingkungan
dan kebiasaan hidup kita, dapat disebabkan oleh bahan bahan kimiawi, radiasi (uV, radiasi
o.k sinar gamma), diet tertentu, dan juga disebabkan oleh virus.
37
Semua bahan bahan tersebut diatas disebut sebagai karsinogen, dan proses terjadinya
kanker sebagai akibat terpapar karsinogen ini disebut sebagai karsinogenesis. Proses
terjadinya kanker adalah dimulai dari satu sel, melalui kerusakan dari rantai DNA. Kerusakan
DNA ini pada umumnya dapat di koreksi oleh mekhanisme molekuler (DNA repair gene
mechanism), yang jika tidak berhasil maka sel akan diperintahkan untuk menjalani proses
apoptosis/ program cell death, sehingga keseimbangan terjadi kembali. Apabila mekhanisme
pertahanan tersebut tidak berjalan dengan baik, dan jika kerusakan DNA ini cukup besar,
maka akan mempengaruhi proses replikasi sel (menghasilkan sel yang tidak normal), ataupun
proses transkripsi dan translasi, dan menghasilkan protein yang tidak normal, yang akan dapat
mempengaruhi kehidupan sel, kecepatan replikasinya dsb, dan akan membentuk sel tumor/
kanker.
Jadi kanker adalah penyakit DNA apapun penyebabnya. Jika kerusakan DNA tidak
dapat dikoreksi, maka akan terbentuk sel kanker dengan segala akibatnya. Kerusakan DNA ini
biasanya berupa mutasi, dan mutasi biasanya akan berlangsung terus, sehingga nantinya akan
terbentuk sel sel yang beraneka ragam bentuk dan sifatnya, yang kita kenal sebagai
heterogenitas dari sel kanker.
KARSINOGEN
BAHAN KIMIA
Karsinogen yang cukup banyak kita jumpai adalah adalah bahan kimiawi. Bahan kimiawi
karsinogen ini dapat kita bagi 2 macam. Ada bahan kimia yang harus mengalami degradasi
terlebih dahulu (indirectly acting carcinogens), sebelum menjadi aktif dan bersifat
karsinogenetik, sedangkan dilain pihak ada bahan kimia yang tidak perlu mengalami
degradasi untuk aktif sebagai karsinogen (directly acting carcinogens). Bahan kimia ini baik
langsung maupun setelah mengalami aktivasi, akan mempunyai kemampuan untuk merusak
DNA (struktur DNA) didalam artian t.u mengaktivasi oncogenes, dan meng-inaktivasi tumor
suppressor genes. Bahan bahan ini juga seringkali mempunyai kemampuan untuk
mengganggu proses apoptosis dan merusak gene yang berperan didalam DNA repair genes.
Dua macam bahan kimia yang bersifat karsinogen, dibagi atas dua (lihat diatas) tipe. Grup
pertama disebut sebagai alkilator (alkylating ones) dimana mempunyai kemampuan untuk
memsubstitusi alkyl residue untuk menggantikan proton pada DNA. Sedangkan grup yang
kedua adalah non alkylating agents yang bereaksi dengan DNA dengan cara yang berbeda.
38
Non alkylating agents biasanya merupakan bahan kimiawi yang sangat sederhana, seperti a.l :
nitrous acid (0=N-OH); hydroxylamine (H2N-OH); methoxyamine (H2N-O-CH3); Hydrazine
H2N-NH2; formaldehyde (H2C=O).
Bahan kimia ini menyerang dan menggantikan asam amino yang dibagian luar dari basis
nucleotide, yang disebut sebagai exocyclic amino groups, dan prosesnya disebut sebagai
deaminasi (de-amination). Sebagai akibatnya keseimbangan dari basis nucleotide menjadi
terganggu, disamping itu bahan kimia ini juga dapat mengganggu dan merubah pasangan
basis (base pair), yang akan menyebabkan terjadinya mutasi mutasi dari genes tertentu, dan
akhirnya akan dapat mengaktivasi oncogenes, dll.
Sebagai contoh, nitrous acid dapat merubah cytidine (CS) menjadi uridine (US), adenosine
(AS) menjadi hydroxantin (HXS), dan guanosine (GS) menjadi xantin (XS). Reaksi ini dapat
mempengaruhi pada pasangan basa (base pair), dan menimbulkan kerusakan DNA. Tipe
reaksi yang lain dari nitrous acid adalah pembentukan cross link/ penghubung antara 2
Guanosin (GS) dengan 1 guanosin, atau 1 adenosine (AS). Adanya penghubung asam amino
ini akan menyebabkan hilangnya aktivitas basa ini pada urutannya secara biokimiawi. Reaksi
ini lebih mudah dan lebih sering terjadi pada polynucleotide yang single strand.
Nitrous acid dapat merubah cytidine (C) (asam amino) menjadi uridine (U), deaminasi dari
adenosine (A) menjadi hydroxantin (HX), dan guanosine (GS) menjadi Xantin (XS).
39
Pembentukan cross link antara dua buah guanosine (G-G) ataupun antara guanosine dan
adenosine (G A ).
Grup karsinogen yang lain adalah alkylating chemicals seperti misalnya: dimethylsulfate/
(CH3)2 SO4 ataupun methylmetanesulfonate/ (CH3)SO2 O-CH3. Bahan tersebut diatas akan
melakukan methylasi, ataupun alkylasi pada grup asam amino exocyclic, atom nitrogen pada
ring system, dan atom oksigen pada basa nucleotide.
Alkylasi dapat terjadi pada beberapa tempat pada molekul asam amino (exocyclic), dan
menimbulkan perubahan mulai dari karsinogen yang lemah sampai karsinogen yang kuat.
Bahan kimia N-nitroso yang akan mengakylasi atom oksigen pada umumnya merupakan
karsinogen yang sangat poten, dan sebagai contoh bahan ini adalah: dialkyl-nitrosamine
(O=N-NR2), N-nitrosoureas (O=N-NR-CO-NH2), N-alkyl-N-Nitro-N-Nirosoguanidine (O=N-
NR-(C=NH)-NH-NO2. Bahan bahan tersebut diatas akan membentuk bahan akhir alkylating
dalam bentuk alkalydiazonium ions R-N2+. Alkalydiazonium ions ini telah dikenal didalam
mengaktifkan Ha-ras proto oncogene dan memulai proses karsinogenesis. Pada gugus asam
amino guanine, terjadinya methylasi pada atom oksigen, akan membentuk gugus O6meG,
dimana dalam proses replikasi, akan terjadi mispairing dengan O6meG-T base pair, sehingga
akan terjadi aktivasi oncogene.
40
Aktivasi dari guanine oleh N-methyl-N-nitrosourea dimana atom 0xygen akan mengalami
methylasi, maka akan terbentuk O6meG (G= guanine), yang dalam replikasi akan mudah
terjadi mispairing, sehingga terbentuk O6meG T base pair.
Terdapat masih banyak lagi bahan karsinogen lain yang mempunyai kemampuan
karsinogenesis oleh karena sifat alkylasinya. Bahan halonitrosoureas, mempunyai sifat
alkylasi dua fungsi, yaitu berfungsi alkylasi berkerja sebagai agen sitotoksik dengan
melakukan reaksi cross linking pada basa nucleotide, dan sifat alkylasi yang lain mempunyai
kemampuan untuk melakukan pemutusan rantai dan terjadinya karsinogenesis. Sebagai
contoh dari bahan ini adalah bis(chloroethyl)- nitrosourea Cl-(CH2)2 N(NO)-CO-NH-(CH2)2-
Cl.
Bahan alkylating yang bersifat karsinogen yang lain adalah bahan cyclic, dan bahan
karsinogen yang penting dari jenis ini adalah gas sulfur mustard dan derivatnya. Epoxide juga
merupakan bahan alkylating yang sangat reaktif dengan membentuk carbenium ions, yang
akan meng-alkylasi N7 pada guanine dan ion nitrogen dari adenine hydroxy alkyl
derivatives.
Demikian juga vinyl chloride, yang harus mengalami metabolisme terlebih dahulu sebelum
membentuk bahan/ karsinogen yang aktif yaitu chloroethylene oxide. Bahan ini akan berubah
menjadi chloroacetaldehyde yang akan bereaksi dengan pada sisi imino dari guanine dan
cytosine, yang akan menimbulkan hilangnya chloride dan akan membentuk senyawa cincin
baru. Senyawa cincin baru ini akan mengalami dehidrasi dan akan membentuk medium asam.
Yang akan bereaksi dengan cytosine, adenine, & guanine. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa beberapa bahan kimia akan bersifat karsinogenik langsung atau hanya
memerlukan satu perubahan ensimatik saja untuk bersifat karsinogenik.
41
Beberapa bahan karsinogen yang lebih kompleks, artinya memerlukan pemecahan ensimatik
secara bertahap dan merubah struktur kimiawinya, untuk dapat menjadi karsinogen yang aktif.
Karsinogen yang terpenting didalam grup ini adalah polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH),
yang banyak kita dapatkan pada asap rokok. Beberapa jenis PAH adalah a.l : phenanthrene
(a), benzo(a)pyrene (b), benzo(e)pyrene (c).
a. b c
RADIASI.
Radiasi dapat terjadi oleh karena sinar ultraviolet, radiasi oleh sinar X dan sinar (gama),
ataupun sinar/ radiasi bahan yang mengandung partikel seperti bahan radioaktif (helium
nuclei), (electrons), yang kesemuanya dapat menimbulkan terjadinya kanker.
Sinar Uv saat ini merupakan radiasi penyebab kanker, yang banyak didiskusikan pada saat
belakangan ini, yang di hubungkan dengan adanya lubang pada lapisan ozon kita, yang
meningkatkan intensitas Uv yang masuk ke permukaan bumi, terutama jenis/ frekwensi Uv
yang memang berbahaya. Uv dengan panjang gelombang sekitar 260nm, akan membunuh
bakteri, dan menyebabkan terjadinya mutasi pada populasi bakteri yang berhasil hidup. Jadi
artinya dalam dosis yang cukup radiasi akan menimbulkan kerusakan berat pada DNA sel
yang akan berakhir dengan kematian sel, sedangkan dengan dosis yang lebih kecil, kerusakan
DNA akan menimbulkan mutasi genetik, dan menimbulkan transformasi sel sel tumor/
kanker.
Semua jenis radiasi, terutama dengan energi yang tinggi (high frequency) akan membentuk
radicals (yaitu suatu bahan kimia yang sangat reaktif, dan mengandung electron bebas)
didalam sel, yang oleh karena reaktifitasnya akan mampu merusak DNA dan menimbulkan
mutasi.
Sebagai akibat perubahan kimiawi oleh karena UV, adalah terbentuknya cyclobutane ring
diantara dua molekul thymine yang kebetulan berdekatan pada satu strand DNA. Dimana
sebagai akibatnya menimbulkan perubahan yang drastis pada struktur DNA dan struktur
sekitarnya.
43
Ikatan cyclobutan ring & TC (6-4) dari molekul thymine pada DNA sebagai akibat radiasi
UV.
Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah sebagai akibat radiasi UV, timbulnya produk
TC(6-4), yang juga menimbulkan distorsi geometric dari DNA. Adanya ensim photolyase
pada organisme yang lebih rendah dan bakteri, dan adanya A-D UVR (UV repair) gene, pada
organisme yang lebih kompleks organisme seringkali mampu memutuskan rantai
cyclobutane, ataupun TC(6-4) diantara molekul thymines. Photolyase teraktivasi oleh cahaya
(photoactivation), dan berkerja sebagai ensim yang memutuskan rantai penghubung thymine
tersebut, sedangkan UVR genes, berkerja dengan melakukan eksisi pada bagian DNA yang
mengalami kerusakan tersebut diatas. UVR genes (A, B,C) setelah mengalami aktivasi akan
melakukan transkripsi dan translasi dan membentuk ensim uvr endonuclease yang akan
memotong bagian DNA yang rusak, sedangkan DNA helicase enzyme akan memindahkan
bagian yang dipotong tersebut dari pasangannya (complimentary DNA), dan akhirnya DNA
polymerase enzyme akan menutup bagian DNA (dalam 1 strand) yang hilang tersebut diatas.
Sehingga terbentuklah DNA yang normal kembali.
Mekhanisme repair yang lain (yang ketiga) adalah post-replicative repair, merupakan
mekhanisme perbaikan yang lebih kompleks. Replikasi akan tetap terjadi, hanya dalam hal
ini, terjadinya pyrimidine dimerization dalam satu strand DNA (biasanya kerusakan akibat UV
lebih dari 1 thymine), menyebabkan berhentinya replikasi DNA berhenti pada nucleotide yang
mengalami kerusakan, dan replikasi akan berlangsung lagi setelah melewati bagian nucleotide
yang rusak. Sehingga sesudah replikasi terjadi, akan didapatkan dua double strands DNA,
tang mengandung satu pyrimidine dimer, dan satu rantai DNA yang terputus. Dimana pada
replikasi berikutnya, akan didapatkan suatu broken DNA segments, yang kemudian juga
disebut sebagai double strand breaks. Mekhanisme perbaikan selanjutnya merupakan proses
ensimatik saja, yaitu suatu genetic recombinant, yang terjadi adalah proses exchange diantara
44
strand yang normal dan strand yang tidak normal, sehingga proses kembali lagi, sehingga
akhirnya didapatkan rantai DNA yang nomal dengan informasi genetik yang kembali normal
juga.
Dengan melihat ketiga mekhanisme repair tersebut diatas yaitu photolyase, excision (DNA
endonuclease), dan post- replicative repair, bagaimana mutasi DNA tetap dapat terjadi. DNA
yang mengalami kerusakan akibat radiasi, akan menimbulkan reaksi sel, yaitu dengan
mengaktifkan suatu system SOS yang sebenarnya bertujuan untuk mengaktifkan semua
system ensim yang penting bagi repair mechanism. Akan tetapi yang dapat juga terjadi adalah
mekhanisme ini juga dapat menimbulkan reading error dan terbentuknya protein lain, dan
menstimulasi terjadinya mutasi mutasi genetik (aktivasi proto-oncogenes, inktivasi tumor
suppressor genes, dll). Hal diatas ini sering disebut sebagai error prone repair. Saat ini
diketahui minimal terdapat 12 genes, yang akan teraktivasi sebagai akibat terjadinya
kerusakan DNA yang cukup hebat. Reaksi SOS ini di mulai dengan aktivasi rec A gene dan
produknya rec A protein, yaitu suatu protease, yang akan memotong (cleavage) terutama
protein lex A, yang merupakan repressor terhadap dari genes yang mengkoding SOS system.
Segera setelah memotong lax A protein, sehingga protein ini lepas pada tempat ikatannya
(binding site) pada DNA, sehingga SOS gene akan bebas berekspresi. Rec A gene akan
kembali inaktif segera setelah mekhanisme perbaikan selesai.
Dalam hubungan dengan error prone repair, kita dapatkan adanya error prone repair genes,
yang akan teraktivasi oleh adanya system SOS yang teraktivasi, maka kita dapatkan dua buah
genes yang disebut sebagai umu-C dan umu-G (umu= UV mutagenesis), yang turut berperan
didalam mutasi DNA. Dalam keadaan normal, genes akan memproduksi DNA polymerase III,
yang berfungsi memperbaiki/ menyambung DNA kembali pada tempat/ bagian DNA yang
secara geometris mengalami gangguan, tetapi didalam keadaa error, dan adanya matrix yang
sudah destorsi, maka error sangat mungkin terjadi.
Radiasi sebagai akibat sinar X dan sinar , yang merupakan suatu ionizing radiation
(electromagnetic radiation, or particle radiation), akan terjadi interaksi partikel ini dengan
electrons pada materi/ jaringan yang dikenai, yang dengan cara demikian bahan radiasi akan
kehilangan energinya. Hilangnya energi di satu sisi, akan menyebabkan ionisasi pada pihak/
molekul yang lain. Sebagai akibatnya akan terjadi interaksi antara energi radiasi dan
macromolecules dalam sel (yang kebanyakan terdiri dari molekul air), dan hal tersebut diatas
akan menyebabkan terbentukya chemical radicals akan terlepas. Chemical radicals ini akan
bereaksi dengan molekul molekul biologis penting didalam sel. Derajat kerusakan yang
45
terjadi tergantung kepada kekuatan radiasi yang mengenai sel (yaitu dosis radiasi, jenis
radiasi). Sinar X dan , biasanya tidak banyak menimbulkan ionisasi, sehingga mempunyai
kemampuan untuk menembus jaringan tubuh, sebaliknya radiasi partikel, banyak
menimbulkan ionisasi, tetapi tidak dapat menembus jaringan terlalu dalam.
Kerusakan DNA akibat radiasi yang mudah untuk dideteksi, adalah terjadinya double strand
breaks (DSB), dimana terjadinya end to end reunion akan menyebabkan terjadinya
khromosom yang tidak normal. Kerusakan kerusakan lain baik yang direct ataupun indirect
dapat juga terjadi pada DNA, sebagai contoh adanya cross link pada base pair, cross link
diantara khromatids, dll.
Hal yang cukup penting untuk dibicarakan adalah pemberian dosis radiasi yang lebih rendah,
dan bagaimana radiasi dengan dosis yang lebih rendah tersebut dapat memacu trerjadinya
karsinogenesis, dan bagaimana atau mengapa mekhanisme repair tidak berhasil memperbaiki
kerusakan yang terjadi.
Setelah radiasi yang tidak fatal terhadap sel, maka akan terjadi abberasi dari khromosom
(DSB) ataupun khromatid (SSB) dari sel, dan pada umumnya mekhanisme repair automatis
akan berjalan, dan akan menurunkan frekwensi abberasi yang terjadi. Abberasi khromosom
lebih banyak terjadi sebelum synthesis DNA, sedangkan abberasi dari khromatid terjadi
sesudah proses replikasi.
Kerusakan yang terjadi adalah :
Y = a + bD + cD2
Y = Jumlah kerusakan/ abberasi yang terjadi per waktu dan per sel.
a = frekwensi radiasi.
b & c = adalah linear & quadratic coeeficient pada dosis pemberian radiasi (D).
Dengan kata lain terjadinya abberasi/ kerusakan didalam struktur DNA sel (Y) tergantung
atau berbanding lurus dengan dosis, frekwensi radiasi (jumlah kali radiasi) dan coefficient
linear dan quadratic .
karsinogenesis, yaitu satu adalah hipotesis terjadinya strand breaks (single), menyebabkan
terjadinya abberasi, sedangkan hipotesis kedua adalah tidak terjadi putusnya DNA strand,
melainkan terjadi pertukaran dari bagian khromatids, yang akan menyebabkan kinesis sel
berubah. Hipotesis yang pertama, saat ini lebih dibenarkan.
VIRUS KARSINOGENESIS.
Replacing or stealing good genes and transform them into bad genes.
Sejak 30 tahun, virus DNA dan retrovirus RNA mempunyai kemampuan untuk merubah sel.
Virus virus ini sangat penting artinya bagi perkembangan biologi molekuler manusia dan
terjadinya proses transformasi sel, dan identifikasi oncogenes. Kebanyakan informasi ini
didapatkan dari retrovirus, terutama Rous Sarcoma Virus, yang dapat menyebabkan keganasan
pada ayam percobaan, yang ternyata virus ini mengandung SRC oncogene. SRC oncogene ini
sebenarnya tidak berasal dari virus ini, melainkan kemungkinan didapatkan virus dari host
genome yang lain (transduction process). Hal ini terjadi oleh karena retrovirus
mempergunakan ensim reverse transcriptase untuk mengkopi genome RNA dan
merubahnya menjadi DNA (duplex) secara retrograde. Kopi DNA ini kemudian dapat
mengintegrasikan diri pada DNA sel manusia secara reversible. Sehingga yang terjadi adalah
seakan akan virus mengabduksi host gene untuk menjadi bagian dari virus genome, dan
sebaliknya memberikan sebagian genome nya untuk sel host, ataupun jika menginfeksi sel
manusia lain, akan memindahkan genomenya ke sel host yang baru, dan menimbulkan
transformasi sel terutama jika viral promoters ikut pindah pada sel host yang baru . Sel tuan
rumah yang baru akan mengalami perubahan replikasi, transkripsi dan translasi, tergantung
dari ada tidak aktivasi oncogenes dan supressi tumor suppressor genes dan diikuti dengan
mutasi mutasi gene yang lain, dan akan menghasilkan sel sel kanker yang bermacam
bentuk penotipik (pleomorfism).
Retrovirus juga dapat mengaktivasi proto-oncogene secara langsung, melalui proses yang
disebut insertional mutagenesis. Dalam proses ini terjadi insersi copy DNA dari retrovirus
pada genome dari sel manusia berdekatan dengan proto-oncogene, dan menimbulkan aktivasi
dari oncogene tersebut melalui aksi promoter dari LTR (long terminal repeat).
47
Daftar diatas menunjukan jenis virus yang saat ini telah diketahui menimbulkan kanker pada
manusia.
a. Rantai diatas merupakan genome dari retrovirus, dengan tiga genes yang merupakan
inti gene dari retrovirus.
b. Retrovirus yang telah mengalami transformasi, dan mendapatkan tambahan gene baru
(SRC gene) dari organisme lain ( mammalian?), sehingga mempunyai kemampuan
untuk mentransformasi sel yang DNA nya mengalami insersi dengan retrovirus ini.
48
Daftar diatas adalah daftar dari retrovirus dengan oncogenes yang dibawa didalam genomenya
dan keganasan yang disebabkannya.
KESIMPULAN.
Telah dikemukakan proses karsinogenesis, baik yang disebabkan oleh bahan kimia, radiasi
ataupun virus.
Proses karsinogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, dan tidak sepenuhnya
dimengerti.
49
Pada prinsipnya semua bahan yang dapat menimbulkan perubahan DNA ataupun struktur
disekitar DNA, yang nantinya menimbulkan perubahan didalam aktivitas replikasi,
transkripsi, dan translasi dari sel, akan membentuk sel yang berbeda dengan sel normal. Jika
perubahan tersebut menyebabkan terjadinya sel kanker, maka proses tersebut disebut sebagai
proses karsinogenesis.
Batas yang tegas antara sel yang mengalami transformasi dan sel kanker adalah tegas.
KEPUSTAKAAN.
Albert D.S., Hess L.M., 2008. Fundamentals of Cancer Prevention. 2nd Edition. Springer.
Berlin.
American Society of Clinical Oncology, 1997. Educational Book. Thirty third Annual
Meeting. Denver Colorado.
Antonarakis S.E., et al., 2002. The Nature and Mechanism of Human Gene Mutation. In
Vogelstein & Kinzler The Genetic Basis of Human Cancer. McGrawhill Hill, New
York. 2 : 7 42.
Howley P.M., 2001. Viral Carcinogenesis. In Mendelsohn J., et al (editors). The Molecular
Basis of Cancer. 2nd Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. 5 : 71 94.
Ladik, J., Forner W., 1994. The Beginning of Cancer in the Cell. An Interdisciplinary
Approach. Springer Verlag. Berlin
Macdonald F., Ford C.H.J., 1997. Molecular Biology of Cancer. Bios Scientific Publisher.
UK.
Ross D.W. 2002. Introduction to Molecular Medicine. 3rd Edition. Springer. New York.
SCREENING OF CANCER
50
PENDAHULUAN
Kanker saat ini telah menjadi masalah kesehatan yang utama di negara yang sudah
maju seperti USA dan merupakan penyebab kematian ke dua setelah penyakit kardovaskuler.
Menurut American Cancer Society pada tahun 2005 ini di USA diperkirakan akan didapatkan
1.372.910 kasus kanker baru dengan jumlah kematian oleh karena kanker sebanyak 570.280
orang. Saat ini satu dari empat kematian yang terjadi di negara tersebut adalah disebabkan
oleh karena kanker.
Menurut Cancer Statistics 2005, insiden kanker pada laki-laki relatif menetap sejak
tahun 1995 sampai tahun 2000,dengan tiga jenis kanker terbanyak yaitu kanker prostat,
kanker paru dan kanker colorectal. Sedangkan pada wanita cenderung meningkat 0,4% setiap
tahun sejak tahun 1987 sampai tahun 2000, dengan tiga jenis kanker terbanyak yaitu kanker
payudara, kanker paru dan kanker colorectal. Angka kematian beberapa jenis kanker
cenderung menurun seperti kanker paru, kanker colorectal dan kanker prostat pada laki laki,
serta kanker payudara dan kanker colorectal pada wanita, oleh karena telah adanya program
screening kanker yang sudah berjalan dengan baik terutama untuk kanker serviks, payudara
dan kolorektal.
Kemajuan dibidang biologi dan molekuler kanker dan perbaikan tehnologi imaging
menyebabkan semakin baik dan banyaknya tes untuk screening pada kanker. Namun
demikian masih banyak terdapat kontroversi didalam melakukan screening kanker ini. Tujuan
utama melakukan screening pada kanker adalah menurunkan angka kematian akibat kanker.
Pada makalah ini ditekankan pada screening kanker, terutama untuk beberapa jenis
kanker dimana program screening secara jelas telah memberikan hasil yang baik, artinya
dengan melakukan screening, angka kematian kanker tersebut menurun secara bermakna,
contohnya: Kanker Leher rahim, kanker payudara, dan kanker usus besar.
LEAD TIME BIAS: Waktu antara diagnosis kanker ditegakkan sampai dengan penderita
meninggal memanjang, akan tetapi terapi yang diberikan tidak memperpanjang hidup,
penderita sebenarnya tidak hidup lebih panjang, hanya diagnosis ditegakkan lebih awal.
Lead-time bias terjadi apabila perjalanan alamiah kanker tersebut tidak diketahui dengan
jelas. Secara skematik dapat dijelaskan pada skema dibawah ini:
Skema 1: Diasumsikan pada suatu kanker dengan fatality rate 100%, dengan survival rate 3
tahun setelah diagnosis ditegakkan, dan periode asimtomatik 4 tahun. Median survival
pada populasi yang tidak dilakukan screening 3 tahun, sedangkan yang dilakukan
screening 5 tahun. Sebenarnya populasi yang dilakuan screening tidak hidup lebih lama,
akan tetapi diagnosis dikelatui lebih awal dalam perjalanan alamiah kankernya. (Dari:
Gates TJ. Screening for Cancer: Evaluating the Evidence. Am Fam Physician
2001;63:513-22).
LENGTH-TIME BIAS: Terjadi karena sifat heterogenitas kanker. Pada kanker tertentu ada
yang mempunyai sifat yang sangat agresif, dengan periode asimtomatik yang pendek,
tumbuh sangat cepat dan survival yang pendek. Namun ada yang tidak agresif, tumbuh
lambat, periode asimtomatik yang panjang, dengan prognosis lebih baik, dan memungkinkan
diketemukan pada program screening kanker. Secara skematik dapat dijelaskan pada skema
dibawah ini:
55
Skema 2: Pada program screening kanker dengan interval screening satu tahun, 50% penderita
kanker yang agresif mempunyai kemungkinan muncul dan terdiagnosis kanker pada
interval screening. Sedangkan pada kanker yang kurang agresif dengan fase asimtomatik
yang panjang, kanker diketemukan setelah beberapa interval screening. (Dari: Gates TJ.
Screening for Cancer: Evaluating the Evidence. Am Fam Physician 2001;63:513-22).
Kanker yang secara klinis muncul diantara dua jadwal screening biasanya lebih agresif
dan mempunyai prognosis yang buruk. Sering disebut sebagai Interval Cancer.
Beberapa angka-angka pengukuran yang sering dipakai untuk menilai efektifitas suatu
program screening kanker seperti: Relative risk and relative risk reduction (RRR), Gain in
life expectancy, Cost per case detected, Cost per life saved, Gain in qulity-adjusted life years
(QALYs), dan Number needed to screen (NNS). NNS adalah jumlah penderita yang harus
mengikuti program screening dalam periode waktu tertentu (normalnya 10 tahun) untuk
mencegah satu kematian akibat kanker tertentu.
Untuk menentukan akurasi dari suatu tes screening kanker dipakai 4 indeks yaitu: Sensitivity,
specificity, positive predictive value, and negative predictive value.
4. Wanita umur 35-40 tahun harus pernah menjalani mamografi satu kali sebagai data
dasar.
5. Wanita umur 40-49 tahun harus menjalani mamografi setiap 2-3 tahun
6. Wanita umur 50 tahun keatas harus menjalani mamografi setiap tahun.
7. Wanita dengan risiko tinggi (riwayat pribadi atau keluarga langsung dengan kanker
payudara) harus selalu berkonsultasi dengan dokter tentang perlunya dilakukan
mamografi secara lebih sering.
Pemeriksaan FOBT untuk screening pada kanker usus besar mempunyai beberapa
keuntungan antara lain: tehnik mudah, compliance dari masyarakat baik, dan mortalitas dapat
diturunkan. RCT dari Minnesotta FOBT Trial yang dimulai tahun 1975 dan selesai tahun
1993 dengan menggunakan rehydrated hemoccult test mempunyai kepekaan yang lebih
tinggi terhadap adanya darah dalam faeces, ternyata terbukti menurunkan angka kematian
sampai 33% dibandingkan grup kontrol. New York Study bahkan menunjukkan penurunan
angka mortalitas sampai 43% dibandingkan kontrol. Namun dua RCT berikutnya yang tanpa
memakai rehydrated hemocult test didapatkan penurunan angka matian 15-18%. Dengan
NNS 1000 dan 588 orang. Pada tahun 2002 ACS memodifikasi pemeriksaan FOBT dengan
menambahkan pemeriksaan Fecal Immunochemical Test (FIT).
Flexible Sigmoidoscopy jika dilakukan secara baik, diharapkan akan mampu
mendeteksi tumor usus besar sampai 50-70%. Diharapkan dalam jangka panjang deteksi
dengan tehnik ini akan menurunkan mortalitas kanker usus besar secara bermakna.
Kontroversi yang ada hingga saat ini adalah belum ada suatu penelitian yang bersifat RCT
untuk menilai efikasi dari cara deteksi ini. Kira-kira 50% polyps didapatkan dengan 35-cm
flexible sigmoidoscopy, dan 75% didapatkan dengan memakai 60-cm flexible sigmoidoscopy.
Sampai saat ini sangat sedikit data yang mendukung manfaat Digital Rectal
Examination (DRE) dan Barium enema sebagai alat screening untuk kakner kolorektal.
Walaupun Colonoskopi sering dipakai sebagai alat screening kanker kolorektal, manfaatnya
59
belum jelas dan masih dalam tahap penelitian. Virtual Colonoscopy atau Computerized
Colonography akhir-akhir ini dikembangkan yang mungkin dapat menggantikan
Sigmoidoskopi atau Colonoskopi, namun untuk tujuan screening akurasinya masih dalam
penilitian.
Rekomendasi dari American Cancer Society untuk screening Kanker Usus besar adalah
sebagai berikut:
Laki dan wanita umur 50 tahun keatas harus melakukan salah satu dari cara screening tersebut
dibawah ini:
1. Menjalani pemeriksaan FOBT atau FIT setiap tahun.
2. Flexible sigmoidoscopy setiap 5 tahun.
3. Menjalani FOBT atau FIT setiap tahun dan Flexible sigmoidoscopy setiap 5 tahun.
4. Menjalani pemeriksaan Colonoscopy setiap 10 tahun
5. Menjalani pemerikasaan Double contrast barium enema , setiap 5 tahun.
ACS juga merekomendasikan surveillance yang intensif pada individu risiko tinggi terkena
kanker kolorektal seperti ada riwayat adenomatus polyps, pernah operasi kanker kolorektal,
riwayat keluarga kanker atau adenoma kolorektal, riwayat Inflammatory Bowel Disease atau
riwayat tes genetic yang berhubungan dengan hereditary syndromes
Lesi jinak pada usus besar seperti FAP (Familial Adenomatous Polyposis), merupakan
kelainan kolon yang hampir dapat dipastikan akan menjadi kanker melalui suatu multihits
theory dari genetic transformation dari Vogelstein. FAP ini harus diketemukan dan
mendapatkan penanganan yang tepat, untuk mecegah terjadinya kanker usus besar.
Molecular screening terhadap kanker kolorektal telah mulai dikembangkan, terutama
ditujukan terhadap aktivasi onkogen K-ras, dan inaktivasi dari tumor supressor gene APC,
DCC dan p53. namun sampai saat ini dari beberapa studi menyatakan sensitifitasnya msih
rendah
mengevaluasi manfaat screening kanker prostat. Dalam konteks screening, Kanker prostat
cenderung menimbulkan lead-time bias, length-bias dan overdiagnosis, oleh karena kanker
prostat sering tumbuh lambat dan mempunyai peroide asimtomatik yang panjang. Namun
demikian ACS dan American Urologic Association merekomendasikan kepada laki-laki 50
tahun keatas dapat memilih melakukan screening setelahmendapat penjelasan mengenai
manfaat dan risiko dari screening.
PENUTUP
Sebenarnya yang memegang peranan penting dalam screening kanker adalah pada
Primary Care, dan tujuan utama screening kanker adalah semata-mata menurunkan angka
kematian oleh karena kanker. Dengan semakin banyaknya permintaan untuk melakukan
screening kanker, para dokter seharusnya tahu bagaimana evaluasi terhadap evidence dari
masing-masing tes screening yang telah dilakukan saat ini sehingga dapat memberikan
penjelasan yang baik kepada masyarakat tentang manfaat dan risiko dari tes screening kanker
tersebut.
Dengan adanya kemajuan dibidang tehnologi dan biomolekuler, saat ini mulai
berkembang tehnik untuk mengidentifikasi gambaran ekspresi dari protein atau proteomic
profilling dengan tehnologi Microarray yang juga dapat dipakai sebagai metode screening
kanker dimasa yang akan datang.
61
KEPUSTAKAAN
1. Jemal A, Murray T, Ward E, Samuels A, Tiwari RC, Ghafoor A, Thun MJ. Cancer
Statistics, 2005. CA Cancer J Clin 2005;55:10-30.
3. Meyskens Jr. FL. Cancer Prevention, Screening, and Early Detection. In: Abeloff MD,
Armitage JO, Niederhuber JE, Kastan MB, McKenna WG, eds. Clinical Oncology.
2nd Ed. Philadelphia 2004. Elsevier Churchill Livingstone p;425-471.
4. Gates TJ. Screening for Cancer: Evaluating the Evidence. Am Fam Physician
2001;63:513-22.
5. Brawley OW, Kramer BS. Cancer Screening in Theory and in Practice. J Clin Oncol
2005;23:293-300.
6. Heath Jr. CW. Cancer Prevention. In: Holleb AI, Fink DJ, Murphy GP, eds. The
American Cancer Society Textbook of Clinical Oncology . Atlanta, 1991. The
American cancer Society Inc. 99-106.
7. Smith RA, Cokkinides V, Eyre HJ. American Cancer Society Guidelines for the Early
Detection of Cancer, 2005. CA Cancer J Clin 2005;55:31-44
8. Darwis I. Upaya pencegahan dan deteksi dini kakner payudara. Dalam: Susworo HR.
eds. Pencegahan dan deteksi dini kanker. Perhimpunan Onkologi Indonesia. Jakarta,
1996. Penerbit Universitas Indonesia.184-192.
9. Manuaba, Tjakra Wibawa. Screening pada Kanker. Basic Science in Oncology. Proyek
Trigonum, Wonosari, September 1997
10. Sukardja IDG. Deteksi dini kanker. Onkologi Klinik. Edisi 2. Airlangga University
Press. Surabaya 2000; 175-177.
11. Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, Moscicki AB, Smith RA, Eyre HJ, Cohen C.
American Cancer Society Guideline for the Ealy Detection of Cervical Neoplasia and
Cancer. CA Cancer J Clin2002;52:342-362.
12. Smith RA, Saslow D, Sawyer KA, Burke w, Costanza ME, Evans III WP, Hendrick E,
Foster RS, Eyre HJ, Sener S. American Cancer Society Guideline for Breast Cancer
Screening: Update 2003. CA Cancer J Clin2003;53:141-169.
13. McDonald S, Saslow D, Alciati MH. Performance and Reporting of Clinical Breast
Examination: A Review of the Literature. CA Cancer J Clin 2004;54:345-361.
14. Kosters JP, Gotzsche PC. Reguler Self-examination or Clinical Examination for early
detection of Breast Cancer (Cochrane Review-abstract). The Cochrane Library, issue
1, 2005.
62
15. Olsen O, Gotzsche PC.Screening for Breats Cancer with Mammography (Cochrane
Review-abstract). The Cochrane Library issue 1, 2005.
16. Duffy Sw, Tobar L, Smith RA. The Mammographic Screening Trials: Commentary on
Recent Work by Olsen and Gotzsche. CA Cancer J Clin 2002;52:68-71.
17. Lisby MD. Screening Mammography in Women 40-49 Years of Age. Am Fam
Physician 2004;70:1-4.
20. Smith RA. Breast Cancer Screening among women younger than age 50: A current
assessment of issues. CA Cancer J Clin 2000;50:312-336.
21. Towler BP, Irwig L, Glasziou P, Weller D, Kewenter J. Screening for Colorectal
Cancer Using the Faecal Occult Blood Test, Hemoccult (Cochrane Review
abstract). The Cochrane Library, issue 1, 2005.
23. Smith RA, Von Eschenbach AC, Wender R, et al. American Canecr Society
Guidelines for Early Detection of Cancer: Update of early detection guidelines for
Colorectal, Prostat, and Endometrial Cancer. Also Update 2001 Testing for Early
Lung Cancer detection. CA Cancer J Clin 2001;51:38-75.
24. Manser RL, Irving LB, Stone C, Byrnes G, Abramson M, Campbell D. Screening for
Lung Cancer (Cochrane Review Abstract). The Cochrane Library, issue 1, 2005.
25. Chen Yen-Ching, Hunter DJ. Molecular Epidemiology of Cancer. CA Cancer J Clin
2005;55:45-54.
63
LAMPIRAN 1:
Dari: Brawley OW, Kramer BS. Cancer Screening in Theory and in Practice. J Clin Oncol
2005;23:293-300.
64
LAMPIRAN 2:
Dari: Gates TJ. Screening for Cancer: Evaluating the Evidence. Am Fam Physician
2001;63:513-22.
65
PENDAHULUAN
Penyakit kanker merupakan penyakit genetic / DNA dengan beragam dampak klinis dan
berbagai macam perubahan genetik dan kejadian molecular. Sel kanker atau sel neoplasma
ganas itu berasal dari sel tubuh sendiri (self cells) yang mengalami perubahan atau
transformasi sehingga betuk, sifat dan kenetikanya berubah dan kemudian tumbuh menjadi
autonom, liar, tidak terkendali dan lepas dari koordinasi pertumbuhan normal. (Sukardja,
2000, Taat Putra S, 2005). Pada tingkat genetik terdapat empat gen yang ikut terlibat dalam
perubahan prilaku tersebut antara lain : oncogene, tumor suppressor gene, DNA repair gene
dan apoptosis gene. Pada tingkat system maka immune surveillance merupakan system yang
dilumpuhkan oleh sel kanker sehingga sel kanker dalam perkembangan menjadi massa tumor
dan mampu bermetastasis. Perubahan prilaku sel kanker terjadi akibat perubahan mutasi dan
perubahan epigenetic (non mutation). Perilaku oncogene akan berpengaruh terhadap perilaku
sel dalam proses diferensiasi dan proliferasi. Sel kanker merupakan sel yang mengalami
gangguan diferensiasi dan secara terus menerus melakukan proliferasi sehingga organ yang
dibentuk tidak mengikuti aturan fisiologis. (Putra ST. 2005).
Di Negara barat penyakit kanker pada umumnya menjadi penyebab kematian nomor
dua setelah penyakit kardiovaskuler, sedangkan penyebab kematian yang tertinggi oleh
kanker adalah kanker paru dan kemudian menyusul kanker payudara. (Solorzano, et al. 2003;
Farrar, et al. 1994). Sejalan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi di bidang kedokteran,
seperti penemuan dan kemampuan mempergunakan perangkat tehnologi seperti : Ultra
sonography, Mammography, Computed tomography Scan, Radionuclide Bone Scans,
Magnetic Resonance Imaging, PDG-PET Scan dan berbagai pemeriksaan laboratorium seperti
: Immunohistochemestry, Flourence In Situ Hybridoma, Polymerase Chain Reaction, Reverse
Transcriptase-PCR, dan microarry. Dari semua ini, penanganan kasus kanker menjadi lebih
baik, baik dari segi secreening, diagnose dini, stadium, perencanaan terapi, implementasi
terapi dan evaluasi / follow-up penyakit dapat dikerjakan lebih akurat sehingga disease free
survival/DFS dan overalsurvival rate / OS menjadi lebih baik.
Sel kanker merupakan self cell yang memiliki berbagai macam sifat dan perilaku
diantaranya : heterogenitas, tumbuh autonom, mendesak dan merusak sekitarnya, dapat
66
bergerak sendiri (amoeboid), tidak mengenal koordinasi, tidak menjalankan fungsi yang
normal, tumbuh tampa batas (immortal) dan kemampuan metastasis baik bersifat lokal,
regional maupun metastasis jauh. (Sukardja, 2000). Sel kanker dapat melakukan metastasis,
artinya berada dan tumbuh di tempat lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan
tempat sel kanker. Ada tiga faktor yang menentukan metastasis, yaitu heterogenitas,
antigenetik sel kanker dan kualitas ketahanan tubuh terhadap sel kanker. Sel kanker dapat
menyebar melalui system pembuluh limpe dan system pembuluh darah.
Beberapa teori mencoba menjelaskan mekanisme terjadinya metastasis sel kanker
adalah pendapat Paget (1887) dengan hipotesis seed and soil, menyatakan bahwa ekologi
mikro organ atau jaringan(soil) memepengaruhi metastasis sel kanker (seeds), pendapat
Ewing (1928) metastasis di pengaruhi oleh faktor mekanik, misalnya anatomi dan
hemodinamika system vaskuler dan pendapat Kinsley (1960), yang mengatakan bahwa pola
sebar dan pola tumbuh sel kanker terjadi karena pengaruh kemampuan sel kanker tersebut dan
pendapat ini di dukung oleh Sugarbaker (1972) (Taat Putra. S, 2005). Kanker cendrungan
memiliki target organ metastasis yang berbeda satu dengan yang lain dan itu tergatung pada
perilaku sel kanker (behaviour of the cancer cells) dan ekologi mikro organ atau jaringan
(microenvironments).
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis kanker adalah suatu usaha untuk mengidentifikasi jenis kanker yang
diderita dengan cara pemeriksaan tertentu secara lage artis dan hal ini merupakan salah satu
dari prinsip penanganan kasus - kasus kanker secara umum, disamping penentuan suatu
stadium penyakit, penentuan status penampilan penderita / performance status penderita,
perencanaan terapi, implementasi terapi dan evaluasi atau follow-up. Prosedur diagnostik
kasus-kasus kanker umumnya dipergunakan triple diagnostic antara lain : pemeriksaan
klinis, pemeriksaan radiologi / imaging oncology dan pemeriksaan histopatologi.
Pada pemeriksaan klinis dilakukan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik
seperti : insfeksi, palpasi, auskultasi, perkusi, toucher dan transilluminasi. Pemeriksaan klinis
ini sangat penting, karena dari pemeriksaan inilah ditentukan apakah ada atau tidak dugaan
penderita menderita kanker yang menentukan perlu tidaknya pemeriksaan lebih lanjut.
Anamnesis yang cermat dan terarah tentang keluhan utama, lokasi tumor, onset terjadinya
keluhan, kwalitas keluhan, kwantitas keluhan, kronologi dari penyakit, ada tidaknya faktor-
faktor yang memperberat dan memperingan, adanya riwayat keluarga dan adanya faktor-
faktor resiko lainnya harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Pada pemeriksaan fisik harus di
67
ungkap tentang keadaan umum penderita seperti tensi, nadi, temperatur tubuh dan sekaligus
menilai status penampilan / performance status. Status lokalis yang penting dinilai dengan
baik seperti adanya plaque, tumor atau ulkus yang dalam proses pertumbuhannya progresif,
adanya tanda-tanda hipervaskular atau ada gambaran neovaskularisasi, rapuh dan mudah
berdarah, menunjukan adanya tanda-tanda infiltrasi serta adanya tanda-tanda metastasis.
Status regional untuk menentukan adanya penyebaran disekitar organ seperti pada kanker
payudara perlu dinilai adanya penyebaran tumor ke kelenjar getah bening aksila,
supraclavikula dan kelenjar getah bening mamaria interna dan pada kanker kulit seperti
melanoma maligna yang mengenai daerah akral ektremitas bawah tentu diamati adanya
penyebaran tumor ke kelenjar getah bening sepanjang tungkai dengan basin-basin tertentu
seperti daerah poplitea dan inguinal dan begitu pula dengan tumor-tumor yang lainnya.
Pemeriksaan radiologi / imaging onkologi sebagai bagaian alat diagnosis dapat juga
sebagai alat untuk menentukan stadium tumor. Imaging onkologi ini dapat memberikan
informasi tentang lokasi tumor, tanda-tanda keganasan, adanya implikasi tumor terhadap
organ sekitarnya serta tanda-tanda yang menunjukan adanya metastasis pada organ-organ
jauh. Imaging onkologi yang dapat dikerjakan dari yang paling sederhana sampai yang paling
canggih seperti X-foto polos (tanpa persiapan atau tanpa kontras) abdomen, thorak,
muskuloskletal, USG, mammografi dan lain-lainnya dapat menentukan adanya lesi atau
pendesakan tumor terhadap struktur organ sekitarnya bahkan dapat menentukan suatu lesi
metastasis organ jauh. Mammografi sampai saat ini di dunia dipakai sebagai alat skrining
pada keganasan payudara disamping sebagai alat diagnostik dan staging. Imaging lain yang
mempergunakan kontras atau mempergunakan fiberendoskop untuk menentukan lesi-lesi
tumor yang letaknya lebih dalam/profundus antara lain : UGI radiografi (oesophagografi,
gastrografi dan barium intake follow-through) : yang bertujuan untuk menentukan adanya
lesi-lesi pada saluran pencernaan bagian atas, barium enema / barium in-loop : untuk lesi-lesi
pada daerah kolo-rektal, intra venous pyelografi / IVP : untuk melihat adanya lesi tumor pada
kidney ureter bladder/KUB System, bronchografi : untuk mendeteksi adanya lesi tumor pada
organ bronchus dan paru, gastro-duodenoskopi : untuk menentukan adanya lesi tumor pada
daerah oesophagus, gaster dan duodenum, kolonoskopi : untuk tumor didaerah rekto-sigmoid-
colon, kistoskopi : untuk tumor di buli-buli, angiografi : untuk menilai vaskularisasi tumor
dan alat yang lebih canggih lagi seperti CT. Scan : untuk tumor intracranian, intrthorakal,
intraabdominal, adanya invasi tumor pada organ sekitar dan dapat menentukan adanya
penyebaran tumor ke kelenjar getah bening hampir dapat mendeteksi seluruh tubuh, magnetic
resonance imaging / MRI : mampu mendeteksi adananya lesi tumor pada jaringan lunak
68
dengan memberikan hasil yang lebih akurat karena mempunyai kemampuan tiga demensi
sehingga mampu membedakan jaringan lunak dengan jaringan tumor beserta struktur lain
disekitarnya dan PDG- PET Scan : untuk menentukan lesi tumor primer atau lesi metastasis
yang relatif lebih kecil dan hampir seluruh tubuh.
Pemeriksaan histopatologi adalah pemeriksaan tentang morfologi tumor baik
makroskopi maupun mikroskopi untuk memastikan bahwa tumor tersebut suatu malignant.
Berbagai cara mendapatkan bahan untuk pemeriksaan patologi antara lain : biopsi insisi :
yaitu pengambilan bahan dengan cara mengangkat sebagian kecil dari tumor, biopsi eksisi :
pengambilan bahan dengan cara mengangkat tumor beserta jaringan sehat sekitarnya, cara ini
dilakukan untuk tumor-tumor dengan ukuran yang lebih kecil, biopsi cakot (punch biopsy) :
pengambilan bahan dengan cara ini mempergunakan tang aligator jaringan dicakot atau
digigit untuk mendapatkan bahan jaringan, biopsi truncut : jaringan tumor di tusuk dengan
alat biopsi khusus berbentuk jarum besar yang dapat memotong dan mengambil jaringan,
biopsi kerokan (curratage) : dengan melakukan kerokan pada tumor sampai mendapatkan
bahan jaringan, biopsi jarum halus (FNA) : tumor di tusuk dengan jarum dengan nomor 23
dan diaspirasi dengan spuit 10 cc sampai jaringan tumor lepas dan masuk kedalam jarum,
biopsi jarum besar: dengan mempergunakan jarum nomor 18 atau jarum Jamshidi, biopsi
jarum khusus: dengan mempergunakan jarum Vin silverman yang dapat mengambil
sekaligus jaringan tumor dan biopsi endoskopi: memakai alat khusus untuk mengambil
bahan sitologi. Kemudian bahan-bahan ini dilakukan pemeriksaan histologi atau sitologi
untuk dapat memastikan tumor itu malignat dan mengetahui jenis morfologinya beserta
perilaku atau sifat-sifat dari sel tumor. Berdasarkan triple diagnostic diatas maka suatu
tumor dapat ditentukan bahwa tumor tersebut malignant beserta stadiumnya sehingga
perencanaan terapi, implementasi terapi dan evaluasi/follow-up dapat dilakukan dengan baik
dan outcome terapi menjadi lebih baik.
KESIMPULAN
Dasar-dasar penegakan diagnose suatu tumor pada prinsipnya sama hanya saja penggunaan
imaging onkologi sangat tergantung situasi dan kondisi dari pada tumor. Deteksi dini suatu
tumor sangat tergantung pada pengetahuan serta pemahaman seseorang terhadap tumor baik
itu penderita, pelaku medis dan masyarakat secara umum, sehingga penderita tumor tidak
terjadi datang terlambat dan hasil akhir dari pada deteksi dini dapat memberikan harapan
penyembuhan kanker dengan prima. Education is the strongest weapon to against cancer.
69
KEPUSTAKAAN
Anonime. 2003; Protokol Penatalaksanaan Tumor / Kanker.; Protokol PERABOI.; Editor;
Albar ZA, Tjindarbumi D, Ramli M, Lukitto P, Reksoprawiro S, Handoyo D, Darwis
I, Suardi DR, Achmad D; Hal. 2 100.
Barnett CC, Sussman JJ, Gershenwald JE. 2003; Melanoma., The M.D.Anderson Sugical
Oncology Handbook.3th edition.,Editor; Feig BW, Berger DH, Fuhrman GM.,
Lippincott William & wilkins. Page 41-108.
Beart RW. 1991; Colorectal Cancer., American Cancer Society Texbook of Clinical
Oncology. Editor; Holleb HI, Fink DJ, Murphy GP. PHAGE 213-217.
Brennan MF, Lewis JJ. 2002; Clinical features, diagnosis and extent of disease evaluation.;
Diagnosis and Management of Soft Tissue Sarcoma.Ed. Martin Dunitz. Page. 56 - 65
Farrar WB, LaValle GJ, Kim JA. 1994; Breast Cancer. Cancer Surgery., Editor McKenna RJ,
Murphy GP, Lippincott JP. Philadelphia. Page 209-254.
Putra. ST. 2005; Patobiologi Kanker., Basic Science of Oncology; Petemuan Ilmiah Berkala
Proyek Trigonum plus XVIII., Hotel Hilton Surabaya. Page 58. Protokol
Sukardja DG. 2000; Diagnosis Kanker.;Onkologi Klinik. Edisi 2, Airlangga University
Press.Hal. 103 207.
Solorzano CC, Ahearne PM, Leach SD. 2003; Invasive Breast Cancre. The M.D. Anderson
Surgical Oncology Handbook; 3th Edition, Editor; Fieg BW, Berger DH, Fuhrman GM.
Lippincott Williams & Wilkins. Page 14-28.
70
PENDAHULUAN
Kanker atau penyakit keganasan merupakan penyakit yang dimulai dengan kerusakan DNA,
diikuti oleh gangguan replikasi sel yang menjadi lebih cepat, tidak terkontrol, adanya ketidak
stabilan genom sehingga mutasi berjalan terus, kerusakan mekanisme perbaikan DNA (yang
rusak), gangguan mekanisme apoptosis, yang sebagai akibatnya terjadi pertumbuhan jaringan
baru yang lebih cepat dari sel asalnya, dan tidak dapat dikontrol oleh tubuh. Dengan kata lain,
sel kanker tumbuh dari satu sel yang mengalami kerusakan DNA, yang terus bertambah mulai
dari sel monoklonal dan akhirnya menjadi pleiomorfik dan heterogen.
Jaringan kanker yang heterogen tersebut, merupakan kunci kegagalan terapi sistemik,
oleh karena sel kanker menjadi bermacam bentuk dan beraneka ragam kemampuannya.
Bermacam klonal sel ini, juga mempunyai sensitifitas dan resistensi yang berbeda terhadap
modalitas terapi tertentu seperti kemoterapi, terapi hormonal, radioterapi. Tumor dengan
ukuran kecil diharapkan masih monoklonal dan diharapkan lebih peka dengan pengobatan
sistemik. Demikian juga tumor yang masih kecil mempunyai vaskularisasi yang baik dan
metabolisme tumor masih aktif, sehingga penetrasi obat lebih baik, dan kerja obat menjadi
lebih baik. Sehingga salah satu kunci kesuksesan terapi sitemik ataupun radioterapi adalah
deteksi dini kanker.
Terapi yang terencana dengan baik sejak awal diagnosis ditegakan akan memberikan
hasil lebih baik dibandingkan pengobatan tanpa rencana. Harapan sembuh seorang penderita
kanker adalah pada usaha pengobatan atau pembedahan pertama yang adekuat. Terjadinya
rekurensi setelah pengobatan akan menurunkan harapan sembuh ataupun perpanjangan hidup
penderita. Oleh karena itu langkah managemen onkologi menjadi program mutlak conditio
sine quanon yang harus dilaksanakan oleh semua dokter yang aktif memberikan terapi
terhadap kanker.
71
2. Stadium Tumor
Setelah diagnosis ditegakan, maka sebagai langkah selanjutnya adalah menentukan
stadium tumor. Stadium tumor ditentukan menurut sistem yang telah baku yaitu sistem
TNM (T= tumor; N= Nodes; M= Metastasis), baik menurut AJCC (American Joint
Committee on Cancer Staging and End Results reporting) ataupun menurut versi Eropah
yaitu UICC (Union Internationale Contre Le Cancer). Setelah masing-masing komponen
stadium dapat ditegakan, dapat dilakukan regrouping, untuk menentukan stadium klinis.
72
Beberapa grup untuk beberapa jenis kanker tertentu, sering mengajukan sistem
stadium yang berbeda seperti grup untuk karsinoma gaster, grup untuk limfoma, dan
sebagainya.
Stadium yang di catat, selain stadium klinis (stadium inisial), juga dicatat stadium
pasca bedah ataupun stadium patologis. Untuk beberapa keganasan selain TNM juga perlu
dicatat stadium Grading sehingga menjadi GTNM. Selain stadium klinis, bedah dan
patologi, juga dikenal adanya stadium rekurensi tumor ataupun stadium reseksi tumor (R0,
R1, R2).
Pemeriksaan untuk menentukan stadium tumor berbeda-beda sesuai dengan
keganasan primernya dan seyogyanya diperiksa untuk memenuhi persyaratan.
Pemeriksaan penentuan stadium juga berubah-ubah sesuai dengan stadium T ataupun N
nya. Jika pemeriksaan stadium misalnya stadium M tidak memenuhi persyaratan, maka
stadium M dikatakan sebagai stadium Mx.
Pada beberapa tahun terakhir dengan semakin berkembangnya ilmu biologi tumor,
dimana diketemukan adanya protein-protein tertentu yang memegang peranan penting
dalam pertumbuhan tumor seperti growth factors, steroid receptors, maka sistem TNM
disesuaikan dengan adanya ekspresi protein tersebut.
3. Performance Status
Setelah diagnosis dan stadium ditegakan, maka kondisi umum penderita harus ditentukan
berdasarkan pada sistem skoring. Sistem skoring berbeda-beda, ada yang menganut pada
sistem Karnofsky, WHO, ECOG dan sebagainya. Sebagai contoh sistem skoring menurut
Karnofsky, didapatkan skor mulai 100 (normal) samnpai 0 (pasien meninggal).
Dengan menentukan skoring pasien, maka dapat dievaluasi prognosis pasien,
ketahanan pasien untuk menerima salah satu modalitas pengobatan, ataupun mengevaluasi
apakah stadium yang diketemukan sesuai dengan keadaan klinis penderita. Sebagai contoh
pasien dengan Karnofsky Score 60, merupakan kontraindikasi (relatif) untuk pemberian
suatu kemoterapi.
4. Perencanaan Terapi
Setelah diagnosis dan stadium ditentukan, maka perlu direncanakan pola ataupun urutan
pengobatan penderita. Terapi disusun sesuai dengan rencana pengobatan; modalitas apa
yang menjadi terapi utama, dan modalitas lain yang menjadi terapi tambahan.
73
Pada keganasan solid yang masih awal, maka pembedahan merupakan modalitas
utama, sedangkan pada keganasan lanjut, maka perlu diberikan terapi neo-adjuvant baik
berupa kemoterapi ataupun radiasi untuk mengecilkan ukuran tumor, dan memudahkan
pembedahan. Terapi tambahan pasca pembedahan disebut sebagai adjuvant therapy,
dengan tujuan untuk mengeradikasi sisa tumor. Perencanaan pengobatan ini penting, dan
harus di timbang keuntungan dan kerugiannya jika suatu modalitas terapi tertentu
diberikan sebelum yang lain dan sebaliknya.
5. Implementasi Terapi
Setelah perencanaan terapi, maka implementasi terapi dan urutan terapi diberlakukan
sesuai dengan rencana yang disepakati. Perubahan modalitas pengobatan harus
dibicarakan kembali, agar semua perubahan dapat dicatat dan di follow up. Pertemuan-
pertemuan untuk membicarakan pasien dengan keganasan harus rutin dilaksanakan dan
dievaluasi (ad. 5) agar semua pihak yang terkait akan turut aktif didalam pengobatan
penderita.
6. Evaluasi
Evaluasi tentang stadium (misalnya stadium berbeda pasca bedah), pemberian terapi,
respon terhadap pengobatan kemoterapi atau radiasi dan perubahan modalitas terapi,
selalu di evaluasi secara teratur. Demikian juga adanya rencana merubah modalitas
pengobatan dan sebagainya harus tetap di evaluasi dan dicatat. Sehingga rekord medis
pasien tetap dapat diikuti dengan baik dan akurat.
laparotomi dan biopsi kelenjar getah bening atau organ limfatik didalam abdomen.
Dengan adanya peralatan imaging seperti diatas, maka laparotomi staging jarang
dikerjakan.
3. PEMBEDAHAN DEFINITIF. Pembedahan untuk tujuan terapi definitif merupakan
modalitas pengobatan utama pada kanker solid. Pembedahan sebagai terapi utama dengan
tujuan kuratif, harus disesuaikan dengan stadium tumor. Pada umumnya pembedahan akan
memberikan hasil terbaik jika dilakukan pada stadium awal (stadium I dan II). Sedangkan
pembedahan pada stadium lanjut, sering menimbulkan rekurensi dan metastasis jauh. Pada
stadium yang lanjut pembedahan hanya bertujuan paliatif dan harus didahului oleh
modalitas pengobatan lain (neo-adjuvant therapy) seperti kemoterapi, radiasi, untuk
menurunkan stadium dan terutama mengecilkan ukuran tumor. Sebagai contoh terapi
definitif pembedahan antara lain: mastektomi, hemokolektomi, tiroidektomi, amputasi
pada sarkoma, operasi comando.
4. DEBULKING SURGERY, adalah pembedahan dengan tujuan mengecilkan volume tumor,
sehingga modalitas pengobatan lain dapat lebih efektif. Pembedahan dengan tujuan
mengecilkan volume tumor dapat dilakukan, hanya jika tersedia modalitas lain yang
efektif terhadap jenis keganasan tersebut. Di masa lalu dilakukan pada karsinoma ovarii
dan tumor/ limfoma Burkitt. Pada masa sekarang pembedahan debulking tidak dianjurkan
karena menyebabkan terjadinya perubahan vaskulatur/ pembuluh darah, hipoksia jaringan,
metabolisme anaerob, acidosis yang mengurangi efektifitas kemoterapi ataupun
radioterapi.
5. PEMBEDAHAN PROFILAKTIS. Pembedahan profilaktis adalah pembedahan yang
dilakukan pada lesi pre kanker (belum terjadi kanker), dengan harapan pada pasien
tersebut dikemudian hari tidak terjadi kanker. Untuk melakukan pembedahan profilaktis,
harus dipahami perjalanan alamiah suatu tumor ganas, lesi pra kanker, dan tingginya
penetrans rate. Penetrans, ialah besarnya kemungkinan suatu kelainan genetik bawaan
untuk berubah menjadi kanker dikemudian hari. Sebagai contoh pembedahan profilaktis
adalah orkhidektomi pada un-descensus testikulorum pada orang dewasa/ tua, kolektomi
total pada FAP (Familial Adenomatous Polyposis) atau HNPCC (Heriditary Non
Polyposis Colonic Cancer), mastektomi dan atau ovariektomi pada wanita dengan mutasi
pada gen brca-1 dan brca-2 (Rosenberg, et al., 2005).
6. PEMBEDAHAN TERHADAP METASTASIS. Metastasis single (solitary), baik pada
paru-paru ataupun liver merupakan indikasi pembedahan (metastasectomy), terutama jika
tumor primer dapat dikontrol dengan baik, dan tidak diketemukan adanya penyebaran
75
tumor ditempat lain. Sebagai contoh metastasis tunggal pada paru dari sarkoma jaringan
lunak, jika dilakukan pembedahan maka diperkirakan 20% akan hidup lebih dari 5 tahun
(Muffat, et al., 1994)
7. PEMBEDAHAN REKONSTRUKSI (ONCOPLASTY). Pembedahan definitif suatu tumor
ganas seringkali meningggalkan defek luas jaringan, yang memerlukan tindakan
rekonstruksi untuk menutup defek tersebut. Oleh karena itu para ahli bedah yang
melakukan eksisi luas suatu tumor ganas, dituntut untuk mampu melakukan rekonstruksi
dan menutup dengan baik defek yang ditinggalkan. Tanpa kemampuan melakukan
rekonstruksi seorang ahli bedah terutama ahli bedah onkologi, akan mempunyai keragu-
raguan akan seberapa luas eksisi suatu tumor ganas harus dilakukan, dan seringkali
mengakibatkan tidak adekuatnya eksisi tumor tersebut. Dengan semakin berkembangnya
ilmu bedah onkologi, maka ilmu bedah onkologi tidak lagi merupakan bidang yang
disease oriented, melainkan menjadi suatu keahlian yang semakin dalam yaitu menjadi
bidang yang organ oriented. Hal ini nantinya akan menciptakan organs oriented
surgeons, seperti antara lain Breast Surgeons, Colo-Rectal Surgeons, Head & Neck
Surgeons, yang mempunyai kompetensi tidak saja melakukan eksisi luas suatu tumor
tetapi juga mempunyai kemampuan rekonstruksi. Seorang Breast Surgeon, harus
mempunyai kompetensi yang komprehensif, yaitu tidak saja mampu melakukan skrining,
pendidikan masyarakat, pembedahan karsinoma mama dengan baik, tetapi juga mampu
melakukan rekonstruksi payudara (oncoplasty) yang secara kosmetik baik.
8. PEMBEDAHAN TERHADAP KEDARURATAN ONKOLOGI. Pembedahan terhadap
kedaruratan onkologi biasanya ditujukan pada perdarahan tumor, adanya obstruksi jalan
nafas, obstruksi usus, absces, pneumotoraks & hematotoraks, vena cave superior
syndrome dengan obstruksi jalan nafas, ascites yang masif, kompresi spinal cord,
perdarahan usus, retensi urin dan sebagainya. Pada dasarnya pembedahan pada
kedaruratan onkologi lebih sering bersifat paliatif dan suportif yang bertujuan untuk
menyelamatkan jiwa penderita dan memperbaiki kualitas hidup.
9. PEMBEDAHAN UNTUK MENDAPATKAN VASCULAR ACCESS. Pembedahan ini
bertujuan untuk menempatkan suatu devices (chemoport), double lumen catheter, ataupun
vein graft, sebagai alat untuk dapat memasukan kemoterapi. Pasien dengan pemberian
kemoterapi khronis (therapeutic chemotherapy) setelah sekian lama mendapatkan
kemoterapi sistemik, akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan vena yang masih
baik. Pada penderita dengan kondisi diatas, pemasangan vascular access, sejak awal harus
di lakukan (Raat, et al., 1994)
76
TEKNIK PEMBEDAHAN
Pembedahan terhadap suatu tumor ganas/ kanker, harus direncanakan dengan baik, dilakukan
secara hati-hati dan dengan ketelitian yang tinggi, tajam dan tidak banyak melakukan
manipulasi jaringan tumor (meticulous surgery). Pembedahan harus berupa eksisi luas, artinya
menyertakan jaringan sehat disekitar tumor. You will never see the actual tumor, oleh karena
terbungkus baik oleh jaringan normal. Landmarks pembedahan harus menjadi panduan dari
suatu cleavage plain pembedahan, termasuk struktur anatomi yang harus diidentifikasi,
dipertahankan, ataupun dikorbankan. You preserve what you have to preserve, you cut what
you see and you see what you cut. Dalam teknik pembedahan tumor tidak dijumpai suatu
whoopla surgery, atau melakukan pembedahan tumor yang diperkirakan jinak, ternyata
ganas.
Pembedahan harus sesuai dengan diagnosis, stadium kanker, dan lokasi kanker.
Pembedahan dengan tujuan kuratif, sebaiknya dilakukan satu kali, karena rekurensi yang
terjadi setelah suatu pembedahan mempunyai prognosis yang buruk.
MODALITAS RADIOTERAPI
Radioterapi dapat terdiri dari energi elektron, photon, proton & neutron ataupun sinar gamma,
yang mempunyai dasar yang sama yaitu meng-ionisasi sel atau DNA dari sel. Radioterapi
merupakan modalitas terapi yang efektif terhadap kontrol lokal dan regional. Bahkan pada
beberapa tumor solid tertentu, oleh karena lokasinya jauh didalam, maka radioterapi
merupakan modalitas utama. Radioterapi dapat diberikan sebelum pembedahan disebut
sebagai neo-adjuvant radiation therapy, dan dapat diberikan sesudah pembedahan disebut
sebagai adjuvant therapy. Radioterapi juga dapat diberikan dengan kombinasi kemoterapi.
Dalam hal kombinasi dengan kemoterapi, maka efek kemoterapi dapat sebagi
photosensitisizer (sinergistik dengan sinar dan saling menguatkan) ataupun diberikan dengan
harapan selain bekerja sinergistik, juga bekerja efektif sendiri-sendiri terhadap tumor tersebut
(concomitant therapy). Terapi concomitant ini misalnya dilakukan pada kanker rongga mulut
lanjut dengan hasil yang cukup baik meskipun mempunyai toksisitas yang cukup tinggi (Suit,
et al., 2001). Pemberian radioterapi dapat eksternal, yaitu sumber energi berada diluar tubuh
(telethrapy), dan internal (brachytherapy), dimana radioterapi internal, sumber penyinaran
dimasukan kedalam tubuh, baik melalui intravena, oral (bahan radioaktif), intracavitary, atau
didalam jaringan tubuh (interstitial).
Prinsip dasar dari radioterapi adalah mengadakan ionisasi DNA baik secara langsung
ataupun tidak langsung melalui produksi free radicals. Kerusakan DNA tersebut jika tidak
77
dapat diperbaiki, akan menyebabkan kematian sel (apoptosis). Diketahui bahwa kemampuan
sel kanker untuk memperbaiki DNA juga terganggu, sehingga sel kanker dapat mengalami
apoptosis (sebagian kecil), ataupun bertahan dengan kerusakan DNA dan tetap bersiklus dan
ber-replikasi (sebagian besar) (Manuaba, 2006).
Kontroversi pemberian radioterapi pre and post operatif adalah: pemberian radioterapi
preoperatif teoritis memberikan hasil yang lebih baik, oleh karena adanya jaringan tumor yang
masih utuh, vaskularisasi yang lebih baik, belum didapatkan hipoksia yang berarti.
Kerugiannya adalah terbatasnya dosis pemberian radioterapi neo-adjuvant, untuk mencegah
terjadinya komplikasi pasca bedah. Pemberian radioterapi pasca bedah (adjuvant), sebaliknya
menimbulkan telah terjadinya jaringan parut, hipoksia jaringan, vaskulatur pembuluh darah
yang telah rusak, dan PH yang turun, akan menyebabkan terjadinya respon yang kurang
terhadap radioterapi (Connel, et al., 2005)
bersiklus, terutama pada fase S (sintesa DNA) dan fase M (mitosis/ replikasi). Sel kanker
pada fase istirahat G0, pada umumnya resisten terhadap pemberian kemoterapi. Demikian
juga sel kanker yang memproduksi protein tertentu seperti HER-2, BCL-2, P53, biasanya
menunjukan resistensi terhadap pemberian kemoterapi. Pada umumnya kemoterapi bekerja
menginduksi apoptosis dari sel kanker, dan diharapkan jika mekanisme apoptosis berjalan
normal, maka sel kanker akan sensitif terhadap pemberian kemoterapi (Smith & Chabner,
2001; Manuaba, 2006)
Jenis sistemik terapi yang lain adalah terapi hormonal, yang biasanya diberikan pada
jenis keganasan tertentu yang pertumbuhannya tergantung pada satu atau dua jenis hormon
tertentu. Misalnya karsinoma mama, pertumbuhannya tergantung pada hormon estrogen,
sehingga terapi hormonal terhadap karsinoma mama, bertujuan untuk mengurangi pengaruh
hormon estrogen tersebut terhadap tumor. Jenis kanker lain yang pertumbuhannya juga
diperngaruhi oleh hormon yaitu karsinoma prostat (testosteron), karsinoma tiroid (TSH).
Terapi hormon pada umumnya bersifat aditif yaitu memblok reseptor tertentu (competitive
inhibitors), menetralisir hormon tersebut atau ensim yang mengtransformasi hormon tersebut,
menghambat produksi hormon tersebut. Terapi hormon dapat juga bersifat ablatif, aertinya
organ yang memproduksi hormon tersebut di hilangkan, baik secara bedah, radiasi, ataupun
dengan obat-obatan.
Terapi sistemik yang terbaru adalah bertujuan memblok protein-protein novel
(molecular targeting therapy), yang berperan terhadap pertumbuhan tumor, invasi dan
metastasis kanker. Protein-protein tersebut antara lain growth factors atau reseptornya, ensim
proteases yang memungkinkan migrasi sel kanker, dan anti VEGF ) atau anti angiogenesis,
yaitu menghentikan proliferasi endotel yang dapat menjadi jalan sel kanker metastasis.
Dengan memblok protein-protein novel tersebut, maka diharapkan proliferasi sel kanker
berhenti, sel tidak migrasi ataupun metastasis, sehingga modalitas terapi lain seperti
kemoterapi ataupun radiasi dapat berfungsi lebih efektif.
KESIMPULAN
Managemen kanker merupakan suatu tahapan pemeriksaan dan pengobatan yang harus
dilakukan dengan disiplin yang tinggi, mulai dengan diagnosis yang pasti, mengenali sifat
biologi tumor, menentukan stadium kanker, performance status pasien, dan merencanakan
pengobatan dengan baik.
79
Tujuan atau intensi pembedahan harus jelas sejak awal, misalnya dengan tujuan
kuratif, debulking, paliatif atau tujuan lain. Pasien dan keluarga harus mendapatkan
penjelasan mengenai tujuan pembedahan, gambaran teknik pembedahan, komplikasi, akan
dilakukan atau tidaknya rekonstruksi, sehingga harapan pasien tidak jauh dari harapan dokter/
ahli bedah.
Modalitas bedah, masih merupakan primadona pengobatan pada kanker solid.
Pembedahan jika dilakukan pada tumor yang tepat, pada stadium yang tepat akan memberikan
hasil yang baik dan harapan kesembuhan. Pembedahan pada kanker dengan stadium lanjut,
harus lebih hati-hati dilaksanakan dan biasanya didahului suatu neo-adjuvant therapy, untuk
memperkecil ukuran tumor ataupun menurunkan stadium tumor.
Radioterapi, kemoterapi dan molecular targeting therapy, merupakan modalitas
pengobatan lain pada kanker solid, yang merupakan bagian integral dari pengobatan kanker.
Pemberian terapi kombinasi modalitas tersebut diatas baik sebagai neo-adjuvant, adjuvant,
concomitant, ataupun photosenitisizer akan menembah angka kesembuhan sebagian
penderita kanker solid. Pemeriksaan faktor prediktif terhadap respon dari berbagai modalitas
pengobatan diatas harus merupakan pemeriksaan rutin yang akan membantu memilih
modalitas terapi yang lebih tepat.
KEPUSTAKAAN
Bland K.I., Dalby J.M., 2001. Principles of Surgical Oncology. In Bland K.J., Daly J.M.,
Karakousis C.P., (editors). Surgical Oncology, Contemporary Principles & Practice. McGraw
Hill. New York. Ch. 3. A : 123 136.
Connel P.P., Martel M.K., Hellman S., 2005. Principles of Radiation Oncology. In DeVita Jr
V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (editors). Cancer, Principles & Practice of Oncology. 7 th
Edition. Lippincott, Williams & Wilkins. Philadelphia. 13 : 267 294.
Goedegebuure P.S., Liyanage U.K., Eberlein T.J., Surgical Oncology. Tumor Biology and
Tumor Markers. In Townsend C.M., Beauchamp R.D., Evers B.M., Mattox K.L., (editors).
Sabiston Textbook of Surgery. The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17th Edition.
Elsevier Saunders. Philadelphia. Section V. 28 : 759 780.
Manuaba, T.W., 2006. Apoptotic index, P53 Expression, and BCL-2 Expression as Predictive
Factors of Response to Neoadjuvant Chemotherapy in Local Advanced Breast Cancer.
Doctorate Dissertation.
Muffat Jr F.L., Ketcham A.S., 1994. Surgical Oncology. In McKenna Sr R.J., Murphy G.P.,
(editors). Cancer Surgery. J.B. Lippincott Co. Philadelphia 1 : 1 20.
80
Raaf J.H., Heil D., Rollins D.L., 1994. Vascular Access, Pumps and Infusion. In McKenna Sr
R.J., Murphy G.P., (editors). Cancer Surgery. J.B. Lippincott Co. Philadelphia. 4 : 47 62.
Rosenberg S. A., 2005. Pinciples of Surgical Oncology. General Issues. In DeVita Jr V.T.,
Hellman S., Rosenberg S.A., (editors). Cancer, Principles & Practice of Oncology. 7 th Edition.
Lippincott, Williams & Wilkins. Philadelphia. 12. 1 : 243 252.
Saclarides T.J., Millikan K.W., Godellas C.V., (editors) 2003. Surgical Oncology. An
Algorithmic Approach. Springer. New York.
Smith, M.R., Chabner B.A., 2001. Systemic Chemotherapy of Solid Tumors. In Bland K.J.,
Daly J.M., Karakousis C.P., (editors). Surgical Oncology, Contemporary Principles &
Practice. McGraw Hill. New York. Ch. 3. C : 147 158.
Suit H.D., Borgelt B., Smith A., Spiro I.J. 2001. Radiation as a Therapeutic Modality in
Oncology. In Bland K.J., Daly J.M., Karakousis C.P., (editors). Surgical Oncology,
Contemporary Principles & Practice. McGraw Hill. New York. Ch.3. B : 137 146.