Tugas Agama
Tugas Agama
1. TARI REJANG
Tari Rejang adalah sebuah tarian putri yang dilakukan secara berkelompok atau
masal, gerak-gerik tarinya sangat sederhana yang biasanya ditarikan pada waktu
berlangsungnya suatu upacara Yadnya. Walaupun hanya terdiri dari gerakan yang sederhana,
namun makna yang terkandung dalam tarian ini tidaklah sesederhana itu. Gerakan dalam
tarian ini memerlukan gerakan tubuh yang lincah dengan mengikuti alunan suara gamelan
Gong Kebyar atau Gong Gede diselimuti aroma dupa yang sangat wangi, harum menambah
suasana semakin sakral dan khidmat, para penari rejang dewa menari dengan berbaris
melingkar yang kadang kala dilakukan dengan berpegangan tangan. Tarian ini dilakukan
dengan lemah gemulai, penuh rasa pengabdian kepada Bhatara Bhatari. Para penarinya
mengenakan pakaian upacara yang biasanya didominasi oleh warna putih dan kuning, dengan
perhiasan kepala yang dibuat sedemikian rupa dari bahan janur kuning. Gerak-gerak yang
dominan dipakai dalam tari Rejang adalah ngembat dan ngelikas atau gerakan kiri dan kanan
yang dilakukan sambil melangkah kedepan secara perlahan. Ketika menari, penari Rejang
pada umumnya tidak berdialog atau menyanyi.
Tari Rejang Dewa adalah simbol Widyadara dan Widyadari yang menuntun Bhatara
turun ke dunia yang dilakukan pada waktu melasti atau turun ke peselang atau Tari Rejang
Dewa biasanya ditampilkan ketika diadakan acara – acara keagamaan atau ritual tertentu
lainnya, tidak dipentaskan disembarang tempat melainkan ditampilkan ditempat-tempat yang
dianggap suci oleh para umat, biasanya di pentaskan dihalaman Jeroan atau jaba tengah dari
sebuah Pura. Tujuan dilaksanakannya Tarian ini merupakan persembahan suci untuk
menyambut kedatangan para Dewata dan sekaligus menghibur para Dewa yang turun dari
Kahyangan ke Bumi. melalui puja dan puji mantra dan sesaji sesuai urutannya. Para Dewa
diundang untuk turun dari Kahyangan dan bersemayam pada benda-benda suci seperti
Pratima atau Tapakan. Melalui tarian ini kita merasakan bersyukur dan terimakasih kepada
para Dewa atas perkenannya turun ke Bumi. Tari Rejang Dewa ini dilakukan oleh para Gadis
yang belum pernah mengalami datang bulan, oleh karena itulah kebanyakan penari yang
membawakan tarian ini masih duduk di bangku sekolah dasar.
1.1 Macam-macam tari rejang
Sebuah tarian kesenian rakyat Bali yang ditampilkan secara khusus oleh perempuan
dan untuk perempuan. Gerak-gerik tari ini sangat sederhana namun progresif dan lincah.
Biasanya pagelaran tari Rejang Renteng diselenggarakan di pura pada waktu berlangsungnya
suatu upacara adat atau upacara keagamaan Hindu Dharma. Tidak diketahui secara pasti
kapan tari Rejang Renteng itu ada, dan siapa penciptanya. Tari Rejang mempunyai arti
penting bagi masyarakat penyusung Pura. Rejang adalah satu simbolis tarian bidadari di
surga dimana tari Rejang Renteng tergolong dalam tari wali, (khusus di pentaskan hanya
pada saat wali/ upacara). Sebagai tari wali tari Rejang Renteng ini ditarikan oleh anak-anak
(yang belum akil balik) pemaksaan atau pengempon pura dengan tujuan untuk mendapatkan
kesucian. Tari ini disajikan sebagai pelengkap dalam upacara pengider buana.
Penari rejang memakai kain Bebali berupa anteng yang dikenakan di dada. Sedangkan
saputnya memakai kain rembang dan kain cepuk serta kemben lumlum. Ditangannya
memakai benang tukelan yang berisi uang kepeng satakan (pis bolong). Penari bergerak
beriringan secara eragam. Para penari diikat ke dalam suatu untaian atau rangkaian yang
disebut "renteng" dengan seutas benang yang pada umumnya berwarna putih. Ciri khusus
dari tari Rejang Renteng yaitu, jempana sebagai linggi Ida Bhatara dituntun dengan benang
panjang yang diikatkan pada pinggang si penari.
Pementasan kesenian ini merupakan tradisi yang diwariskan nenek moyang secara turun
temurun hingga sekarang. Salah satu desa yang masih mementaskan tari Rejang Renteng
adalah desa Kesiman Petilan yang terletak di jantung kota Denpasar. Walaupun
masyarakatnya termasuk modern karena mengikuti perkembangan teknologi, namun hingga
sekarang masih menjalankan adat dan budaya leluhur yang mereka warisi secara turun
temurun.
Mempunyai fungsi sebagai tari upacara ( ritual ), pada saat sasih kelima ( bulan
Nopember ) sampai sasih kesanga ( bulan Maret ) tahun berikutnya yang di barengi dengan
upacara Bhuta Yadnya. Kalau dilihat fungsi dari Rejang Sutri dapat dikategorikan sebagai tari
sacral atau wali, tinjauan yang lain yaitu sebagai tari tolak bala dirunut dari saat dilaksanakan
sampai prosesi upacara/ upakara yang gunakan. Rentetan upacara saat Rejang Sutri
dilaksanakan adalah pertama mengadakan upacara Dewa Yadnya yaitu melaksanakan
upacara persembahyangan di Pura Desa dan Puseh, Ratu Ngurah Agung, Ratu Saung, Ratu
Pase Leb ( matur piuning ) yang diantar oleh pemangku desa Batuan dengan sarana upakara
pejati jangkep, canang sari, petabuh dan sebagainya. Sedangkan untuk masing-masing
keluarga menghaturkan upakara pejati jangkep ke Pura Desa/ Puseh selanjutnya di upacarai
oleh pemangku selanjutnya dibawa pulang untuk di tempatkan di pura keluarga (
sanggah,merajan) di sanggah kemulan. Setiap harinya menghaturkan upakara canang dan di
lebar saat Rejang Sutri usai ( nyineb ). Kedua, mengadakan atau melaksanakan upacara
mecaru ( bhuta yadnya) yang dilaksanakan di Pura Desa dan Puseh pada siang hari sebelum
nanti malamnya dilaksanakan Rejang Sutri, mecaru di tapal batas Desa Batuan yaitu di ujung
banjar Dentiyis batas utara, di ujung banjar Jeleka batas barat, di ujung banjar Puaya simbul
batas selatan, di ujung banjar Peninjoan sebagai simbul batas timur. Mecaru di masing-
masing tapal batas desa Batuan diantaranya menggunakan sarana boki diisi tapak dara,
wastra poleng, kayu sakti ( carang dadap ) jeroan babi sebagai symbol pengamer-amer.
Dilanjutkan mecaru di masing-masing banjar, kemudian di muka rumah masing-masing
anggota masyarakat atau depan pintu masuk ( angkul-angkul) saat senja ( sandikala ), dan
pada malam harinya di laksanakan tari Rejang Sutri, yang sebelumnya diawali dengan
menghaturkan sesajen berupa Pejati yang dihaturkan di Pura Desa dan di tempat pertunjukan.
Pejati yang di haturkan di tempat pertunjukan yaitu di Sanggar Tawang wantilan Pura Desa
di sudut timur laut ( Ersanya) yang dilakukan oleh Pemangku Desa. Sanggar Tawang
tersebut merupakan tempat upakara sesaji/ banten, untuk setiap harinya sudah ada yang
bertugas menghaturkan upacara, tempat berstananya Widyadara-widyadari, Bethara-Bethari,
tempat pemujaan masyarakat Batuan saat Rejang Sutri dilaksanakan.
Tari Rejang Dewa ini adalah salah satu jenis tarian Rejang yang dibawakan oleh
sekelompok penari wanita. Di beberapa tempat, tarian ini boleh ditarikan oleh para remaja.
Dimana setiap orang penari menari putri memakai busana putih kuning, setiap orang
memakai selendang dan mengenakan hiasan kepala yang terbuat dari janur dengan hiasan
bunga warna warni. Pada akhir tarinya para penari bergerak melinggar sambil memegang
selendang penari yang ada didepannya.
Jika dibandingkan dengan tari rejang yang lainnya, Tari Rejang Onying mungkin
paling keras ungkapan geraknnya. Dalam banyak hal, gerak-gerak tari Rejang Onying
menyerupai gerak tari baris yang keras dan patah patah. Tari Rejang Onying ini pada
umumnya dari kalangan dewaa, bahkan dibeberapa tempat tarian ini dibawakan oleh para
Pemangku. Keunikam dari tari Rejang Onying ini terlihat pada pemakaian keris terhunus oleh
setiap penarinya. Pada akhir tarian, para penari menikamkan keris kedada masing-masing,
yang dikenal masyarakat Bali dengan sebutan ngurek.
Tari Rejang Kuningan adalah sebuah tarian Rejang yang ditarikan hanya pada hari
raya Kuningan dan masyarakat Hindu Bali. Tarian yang digambarkan turunnya para
widyadari ini hanya boleh dibawakan oleh penari-penari yang hanya boleh dibawakan oleh
penari-penari yang masih gadis. Para penari mengenakan busana adat ke Pura dengan hiasan
kepala yang dibuat dari janur atau daun enau muda yang dihiasi dengan bungan yang
berwarna warni. Tari ini diduga sudah muncul sejak abad ke-XI dan hingga kini masih tetap
dipertahankan oleh masyarakat desa Duda dan Akah, yang terdapat di Kabupaten
Karangasem. Bedanya, jika di Desa Duda tarian ini diiringi dengan gambelan Gong Kebyar,
sedangkan di Desa Akah tarian ini diiringi dengan gambelan Gambang.
Tarian upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh gabungan penari pria dan wanita
yang masih remaja. Disini para penari tidak memakai tata busana khusus melainkan busana
adat ke Pura.
Tari Rejang Ayunan yang terdapat di Desa Pupuan adalah satu-satunya tarian yang
ditarikan oleh penari laki-laki yang masih remaja. Para penari memakai pakaian adat ke Pura
yang serba putih. Dimana akhir tariannya para pemain bermain ayunan untuk merebut
makanan dan hadiah-hadiah lainnya yang disembunyikan diatas pohon dimana ayunan
digantungkan.
2. TARI PENDET
Tari Pendet diciptakan oleh seorang maestro tari dari Bali yaitu I Wayan Rindi
(1967), I Wayan Rindi menjadikan tari pendet sebagai penggubah tarian sakral yang bisa di
pentaskan di pura setiap upacara keagamaan. Asal usul tari pendet diciptakan adalah untuk
tari pemujaan yang banyak dipentaskan di Pura, tempat ibadah umat Hindu di Bali,
Indonesia. Inti Gerakan Tari pendet adalah untuk simbol penyambutan atas turunnya dewata
ke alam dunia. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, beberapa seniman di pulau Bali
merubah Tari Pendet menjadi tarian ucapan selamat datang, tetapi Tari pendet tetap
mengusung unsur sakral dan religius yang menjadi ciri tari pendet.
SejarahPerkembangan
Sebelumnya Tari Pendet telah lahir sejak tahun 1950 sebelum pada 1961, I Wayan Beratha
mengolah kembali tari pendet tersebut dengan pola seperti sekarang, termasuk menambahkan
jumlah penarinya menjadi lima orang. Berselang setahun kemudian, I Wayan Beratha dan
kawan-kawan menciptakan tari pendet massal dengan jumlah penari tidak kurang dari 800
orang, untuk ditampilkan dalam upacara pembukaan Asian Games di Jakarta. 1967
koreografer bentuk modern Tari Pendet. Pada tahun 1967 I Wayan Rindi seorang koreografer
menciptkan bentuk modern tari Pendet ini adalah (?-1967), merupakan penari yang dikenal
luas sebagai penekun seni tari dengan kemampuan menggubah tari dan melestarikan seni tari
Bali melalui pembelajaran pada generasi penerusnya. Semasa hidupnya ia aktif mengajarkan
beragam tari Bali, termasuk tari Pendet kepada keturunan keluarganya maupun di luar
lingkungan keluarganya. Disamping itu tari Pendet tetap mengandung anasir sakral-religius
dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental.
Ada satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu pemainnya akan mengalami
trance pada saat pementasan. Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari, kadang-
kadang di atas bara api dan selanjutnya berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit.
Biasanya pertunjukan ini dilakukan pada malam hari sampai tengah malam.
1.2 Macam-macam Tari Sanghyang
Sanghyang Dedari, adalah tarian yang dibawakan oleh satu atau dua orang gadis kecil.
Sebelum mereka mulai menari, diadakan upacara pedudusan (pengasapan) yang diiringi
dengan nyanyian atau kecak dengan musik gending pelebongan, hingga mereka menjadi
trance. Dalam keadaan tidak sadar itu, penari Sanghang diarak memakai peralatan yang
lazimnya disebut joli (tandu). Di Desa Pesangkan, Karangasem, penari sanghyang menari di
atas sepotong bambu yang dipikul, sedang di Kabupaten Bangli penari sanghyang menari di
atas pundak seorang laki-laki. Jenis tari Sanghyang seperti ini juga dikenal dengan nama tari
Sanghyang Dewa.
Ditarikan sepasang gadis yang belum dewasa, tarian ini dimasuki roh Dewa Wisnu
atau Dewi Sri yang melambangkan kesuburan. Dengan sarana sebatang pepohonan yang
digantungi dua boneka yang disebut Deling terbat dari daun lontar. Semakin kencangnya
gerak dari pada deling menandakan kedua penari tesebut telah kemasukan roh, tujuan tari ini
untuk memohon keselamatan. Tarian ini berasal dari Desa Kintamani Kabupaten Bangli.
Ditarikan oleh seorang pria atau seorang pemangku yang mengendarai sebuah kuda-
kudaan yang terbuat dari pelepah daun kelapa. Penarinya kerasukan roh kuda tunggangan
dewata dari kahyangan, diiringi dengan nyanyian paduan suara yang melagukan Gending
Sanghyang, berkeliling sambil memejamkan mata, berjalan dan berlari-kecil dengan kaki
telanjang, menginjak-injak bara api batok kelapa yang dihamparkan di tengah arena. Tari ini
diselenggarakan pada saat-saat prihatin, misalnya terjadi wabah penyakit atau kejadian lain
yang meresahkan masyarakat, dan terdapat di daerah Denpasar, Badung, Gianyar dan Bangli.
Sanghyang Celeng (babi hutan), adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-
laki yang berpakaian serat ijuk berwarna hitam. Ia menari berkeliling desa sambil menirukan
gerakan-gerakan seekor celeng (babi hutan), dengan maksud mengusir roh jahat yang
mengganggu ketenteraman desa.
Sanghyang Penyalin, adalah tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil
mengayun-ayunkan sepotong rotan panjang (penyalin) dalam keadaan tidak sadar (trance). Di
Bali bagian utara tarian ini bukan dibawakan oleh seorang laki-laki, melainkan oleh seorang
gadis (daha).
Tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian daun atau pohon
padi sehingga menyerupai memedi (makhluk halus).
Sanghyang Kidang, yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang
perempuan. Dalam keadaan tidak sadar, penari menirukan gerakan-gerakan seekor kidang
(kijang). Tarian ini diiringi dengan nyanyian tanpa mempergunakan alat musik.
2.1.10 Tari Sanghyang Janger
Dahulu tarian ini dimainkan dalam keadaan tidak sadar dan bersifat sakral. Namun
kemudian mengalami perubahan dan menjadi tari Janger dengan iringan cak. Tari ini tersebar
luas di seluruh pelosok Pulau Bali dengan makna yang sudah berbeda.
Tarian yang dimainkan oleh oleh seorang anak laki-laki dalam keadaan tidak sadar
(trance) sambil menutup rambutnya dengan kain putih (sengkrong). Sengkrong adalah kain
putih panjang yang biasa digunakan oleh para leyak di Bali untuk menutup rambut yang
terurai.
4. TARI BARIS
Taris Baris merupakan salah satu jenis tarian yang berfungsi sebagai sarana upacara
keagamaan di Bali. Tari ini digunakan sebagai persembahan tulus iklas kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Fungsi ritual lainnya dalam Tari Baris yaitu untuk menunjukkan
kematangan seseorang dalam memainkan alat perang. Sejarah Tari Baris Upacara menurut
Babad Bali, bermula ketika Bhatara Indra menyerang Mayadenawa. Mayadenawa adalah
seseorang Raja Bali Aga yang angkuh, kikir, tamak dan angkara murka. Ia kemudian tewas
dalam peperangan. Menurut kebanyakan orang, ketika ada pertunjukkan Tari Baris, para
dewa ikut menari dengan gayanya masing-masing.
Selain sebagai sarana upacara, Tari Baris juga berfungsi sebagai tari kepahlawanan.
Hal tersebut dapat dilihat dari sejarah, bentuk koreografi maupun propeti yang digunakan
oleh penari. ‘Baris’ diduga dari kata bebarisan tentara yang disiapkan untuk maju berperang
pada zaman dahulu. Keseimbangan dan kestabilan langkah-langkah saat berbaris sangat
diutamakan dalam tarian ini. Gerak-gerak dalam Tari Baris menceritakan ketangguhan para
prajurit Bali dimasa lalu. Gerak khas yang ada pada tari baris adalah seledet atau gerak delit
mata penari yang senantiasa berubah-ubah. Para penari, yang semuanya pria menggunakan
mahkota berbentuk segitiga dihiasi kulit kerang berajar vertical diatasnya. Tarian ini
menggunakan iringan music gamelan Gong Gede atau gamelan sejenisnya.
1.3 Macam-macam Tari Baris
Tari Baris ini merupakan sarana upacara Pitra (pengabenan). Ditarikan oleh sekitar 20
orang penari, masing-masing membawakan senjata tombak poleng (tombak yang tangkainya
berwarna hitam dan putih/poleng). Tari Baris ini menampilkan gerak-gerak ayam jago.
Tarian yang diiringi dengan gamelan Gong banyak dijumpai di daerah Badung dan di
Buleleng.
Baris ini meggambarkan pasukan perang bersenjata tombak yang siap untuk
berangkat kemedan perang. Tari baris ini biasanya ditarikan oleh sekelompok orang penari
laki-laki dewasa, dan pada umunya ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya. Gamelan
pengiringnya pada umunya gamelan Gong. Baris ini banyak dijumpai di daerah Badung,
Bangli dan Gianyar.
3.1.3 Tari Baris Poleng
Tari Baris Poleng adalah semacam tari Baris Katekok Jago yang memakai busana
serba loreng (poleng/putih hitam). Dibawakan oleh sejumlah penari laki-laki dewasa, diiringi
oleh gamelan Gong Kebyar atau Bleganjur. Tarian ini biasanya dipentaskan untuk Upacara
Dewa Yadnya. Tari Baris Poleng biasanya dijumpai di daerah Badung, Bangli dan Gianyar.
Tari ini dinamakan Baris Dadap karena penarinya membawa senjata dadap (semacam
perisai) tarian ini biasanya dipertunjukkan untuk Upacara Dewa Yadnya, kecuali di daerah
Tabanan tari baris ini berfingsi sebagai sarana upacara Pitra Yadnya. Baris Dadap banyak
dijumpai di daerah Bangli, Singaraja, Gianyar dam Tabanan.
Baris ini merupakan sarana upacara Dewa Yadnya dimana masing-masing penarinya
membawa bokor atau dulang yang berisikan saji-sajian. Di Desa Tanjung Bungkak
(Denpasar), Baris Pendet membawa canang yang disebut “Canang Oyod” dan pada bagian
akhirnya penari Baris menari menggunakan kipas sambil “maaras-arasan”. Tarian ini
biasanya diiringi dengan gamelan Gong Kebyar.
Bajra adalah Genta yang dipakai oleh Sang Pendeta ketika melakukan/muput Yadnya.
Baris Bajra adalah tarian Baris yang dibawakan oleh sekelompok kecil (8-10 orang) penari
laki-laki, dalam formasi 2 baris yang membawa senjata yang merupai ujung (mundur) Bajra
yang berbentuk Gada. Tarian ini terdapat di daerah Buleleng dan Bangli.
3.1.8 Tari Baris Tamiang
Baris Tamiang, sejenisnya Baris Presi, ditarikan oleh sekelompok penari putra yang
membawa senjata Tamiang dan Keris dengan iringan Gamelan Gong. Baris yang merupakan
sarana upacara Dewa Yadnya ini salah satunya terdapat di Desa Pakraman Kedisan,
Tegalalang, Gianyar.
Tarian ini dinamakan Baris Kupu-kupu karena gerakannya menirukan sayap kupu-
kupu dan penarinya menggunakan sayap kupu-kupu (yang dulunya kipas). Dalam
pertunjukannya, Baris Kupu-kupu diiringi dengan Gamelan Gong. Baris yang biasanya
dipentaskan dalam kaitannya dengan upacara Pitra Yadnya (ngaben) terdapat di daerah
Badung.
3.1.10 Tari Baris Bedil
Sebagaimana nama yang diberikan kepada tarian ini, Baris Bedil adalah tari
kepahlawanan yang melukiskan sekelompok tentara bersenjata bedil. Tarian ini, diiringi
dengan gamelan angklung. Baris ini terdapat di daerah Karangasem, serta kegunaannya
sebagai pengiring upacara Dewa Yadnya.
Baris ini mungkin paling unik dibandingkan dengan tari-tarian Baris upacara lainnya
karena didalamnya terdapat unsure-unsur kebudayaan Cina. Selain banyak mempergunakan
gerak-gerak pencak silat, penarinya yang terdiri dari 9 orang (8 orang orajurit dan 1 orang
pemimpin atau komandan) mempergunakan senjata pedang, bercelana panjang, bertopi,
berkumis, dan berjenggot panjang seperti silat cina. Gamelan pengiringnya adalam Gamelan
Gong Beri yang terdiri dari 2 buah gong Cina (tanpa moncong), kendang dan lain-lain. Baris
ini hanya terdapat di daerah/Desa Renon, Denpasar, ini diduga peninggalan budaya Cina
yang masuk ke Bali sekitar abad XI.
3.1.12 Tari Baris Cendekan
Tarian ini sejenis dengan Baris Tombak. Dibawakan oleh anatara 10 orang samapi 12
orang penari laki-laki, masing-masing penari membawa senjata Tombak yang pendek.
Diiringi dengan gamelan Tembang (Cumbang) Kirang, tarian upacara Dewa Yadnya ini
terdapat di Desa Tejakula Buleleng.
Tari Baris ini merupakan sarana Upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh sekitar 12
orang penari laki-laki remaja dengan menggunakan senjata panah. Di daerah Buleleng, tarian
ini biasanya dibawakan oleh penari yang mengenakan busana adat ke Pura dan diiringi
dengan Gamelan Tembang (Cumbang Kirang).
Tari Baris ini termasuk rumpun atau tarian Baris Tombak kerena para penarinya
menggunakan senjata berupa tombak. Gerakan tarinya hamper sama dengan Baris Tombak,
hanya saja ukuran tombak untuk Baris Jangkang agak panjang dan permainan tombak sedikit
menonjol dalam tarian ini. Tarian Jangkang terdapat di daerah Bangli, Gianyar, dan Nusa
Penida (Klungkung).
Berbeda dengan tari-tarian Baris Gede lainnya. Baris Gaytung adalah tarian upacara
yang ditarikan oleh para pemimpin upacara (pemangku) dengan menarikan gayung atau
canting (alat untuk membawa air suci). Para penari Baris Gayung tidak menggunakan busana
khusus sebagaimana selayaknya penari baris melainkan hanya menggunakan busana
pemangku yang serba putih. Mereka bergerak sambil menuangkan air suci dan tetabuhan
kelantai mengikuti irama tubuh gamelan Gong.
Tari Baris ini merupakan sarana upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh 9 orang
penari. Baris ini disebut mider (keliling) gita (nyanyian) oleh karena dalam pementasannya
para penari, dengan menggunakan canang sari, menari mengelilingi sebuah tempat suci (bale
agung) sebanyak tiga kali sambil menyanyikan kidung wargasari mengikuti irama tubuh
gamelan gong gede. Tarian yang diperkirakan muncul sekitar abad ke XVI ini hingga kini
masih ada di Desa Tembuku, Bangli.
Baris Nawa Sanga adalah tari baris yang melukiskan turunnya Dewata Nawa Sanga
dari Kahyangan ke Mercapada. Dibawakan oleh 9 orang penari laki-laki dewasa, tarian ini
dipentaskan sebagai sarana upacara Dewa Yadnya dan sebagai penolak wabah. Dengan
menggunakan busana bebarisan (Awiran) dan membawa alat-alat sesaji berupa lis deg-deg
(pengganti tombak) para penari bergerak mengikuti irama gamelan gong kebyar. Baris Nawa
Sanga hingga sekarang masih ada di Desa Baturiti, Tabanan.
Istilah kelemet berasal dari kata Lemat (dalam bahasa Bali) yang berarti pisau.
Kelemt adalah perlengkapan nelayan yang berbentuk dayung berujung 2 (seperti senjata
limping). Tarian yang diduga berasal dari abad XVII ini adalah sarana upacara Dewa Yadnya
serta ditarikan oleh nelayan. Dalam pertunjukannya, sekitar 20 orang penari laki-laki dewasa,
dengan menggunakan busana adat ke Pura (sederhana) menari dengan membawa senjata
kelemat dan sebagian lagi membawa kancuh (pengangkat air). Mereka bergerak mengikuti
irama gamelan gong kebyar. Pementasan tari baris ini biasanya digunakan di tepi pantai.
Baris Kelemat terdapat di Desa Munggu, Badung.
Tari Baris ini merupakan sarana upacara Pitra Yadnya (ngaben) yang menggambarkan
sekelompok roh-roh halus untuk menjemput atau mengantar Atma orang yang meninggal
menuju Sorga. Dibawakan oleh sekitar 9 orang penari laki-laki dewasa, para penari memakai
busana dari daun-daunan kering atau ranting-ranting kayu yang diperoleh dari kuburan
(tempat dimana para penari dihias). Dalam pertunjukkan Baris Mamedi dipentaskan
sepanjang jalan dari kuburan ke rumah orang meninggal, disenja hari (sandikala) dengan
iringan gong baleganjur. Tarian ini terdapat di Desa Tengkudah, Penebel, Tabanan.
Tari Baris ini adalah sarana upacara Dewa Yadnya yang dipentaskan di pura-pura
sebagai penolak bala agar tidak mengganggu jalannya upacara. Konon nama Tanglungleng
diberikan karena melodi gendingnya yang didominasi oleh nada ending (tang), ndung (lung),
ndeng (leng). Dilakukan oleh sekitar 0 orang penari laki-laki dewasa, para penari
mengenakan busana sesaputan dari kain poleng, setiap orang membawa senjata tameng, dan
diiringi dengan gamelan gong gede. Tarian ini terdapat di Desa Karangasem.
Tari Baris ini, seperti Baris Mamedi, merupakan sarana upacara Pitra Yadnya
(ngaben) yang menggambarkan sekelompok roh-roh halus untuk menjemput atau menghantar
atma orang yang meninggal menuju Sorga. Tari ini dibawakan oleh 10-12 orang penari laki-
laki dewasa, para penarinya memakai busana dari daun-daunan kering atau ranting-ranting
kayu yang diperoleh dari kuburan (tempat dimana penari dihias). Dalam pertunjukannya,
Baris Mamedi dipentaskan disepanjang jalan dari kuburan ke rumah orang yang meninggal,
disenja hari (sandikala) dengan iringan gamelan gong baleganjur. Yang unik dari Baris
Ketujeng ini adalah penari-penarinya tidak boleh orang sembarangan melainkan orang-orang
yang ditunjuk oleh si pemilik kerja (ngaben). Tarian ini terdapat di Desa Poh Gending,
Penebel, Tabanan.
Nama tarian ini adalah Tari Baris Tengklong yang sarana upacara Dewa Yadnya di
pura-pura. Dibawakan oleh sekitar 20 orang penari laki-laki dewasa, memakai busana
sesaputan dari kain poleng, dengan destar putih, setiap orang membawa senjata tombak. Baris
Tengklong terdapat di Desa Pemecutan Denpasar diiringi oleg gong kebyar (dulunya gong
gede).
Tari Baris upacara Dewa Yadnya ini mendapat banyak pengaruh dari Tari Gambuh,
tari klasik tertua di Bali. Nama demang diambil dari nama Demang Tumenggung, karakter
patih keras namun lucu, dari pengambuhan. Ditarikan oleh sekitar 10 orang penari laki-laki,
para penari memakai busana sesaputan dari kain poleng, memakai Gelungan Sobrat Demang
(berkepala botak) dan setiap orang membawa senjata pedang (dulunya Gada) dan Tameng.
Gamelan pengiringnya adalah gong kebyar dengan barungan kecil (memakai beberapa
instrument saja). Baris Demang terdapat di Banjar Tegal, Singaraja.
Taru upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh sekelompok penari pria yang
berbusana serba kuning dan bersenjatakan keris dan tamiang (perisai), terdapat di daerah
Buleleng.
Tarian baris yang ditarikan sekelompok penari dengan membawa senjata Jojor
(tombak bertangkai panjang) terdapat dalam upacara Dewa Yadnya dan ada di daerah
Buleleng, Bangli, dan Karangasem.
Tari Baris Gede merupakan salah satu dari berbagai jenis tarian sacral yang ada di
Bali. Tari baris ini menjadi salah satu bagian perlengkapan dari upacara keagamaan. Baris
Gede biasannya dipentaskan selama ada upacara dan ditarikan oleh 10 orang penari atau lebih
dengan mengenakan pakaian prajurit perang dan membawa senjata berupa tombak, cakra,
pedang, dan tameng, yang menari dalam satu barisan lalu melakonkan perang tanding.
3.1.31 Tari Baris Tunggal
Tari Baris Tunggal merupakan tari baris yang sering dipertontonkan. Dimana tarian
ini menceritakan tentang seorang prajurit yang gagah perkasa dan berwibawa. Oleh karena itu
gerak tari Baris Tunggal sangatlah tegas dan enerjik. Penari mengenakan pakaian seperti
Badong, Awir, Lamak, Celana Panjang dan lain-lain. Tari Baris Tunggal diiringi gamelan
gong kebyar, gong gede dan lain-lainnya.
Tari Topeng Sidakarya merupakan salah satu tari Bali yang ditarikan untuk pelengkap
dari ritual keagamaan sehingga tari disebut sebagai tari wali. Tarian ini ditarikan oleh laki-
laki dengan ciri-ciri topeng berwarna putih, mata sipit, gigi tonjos, wajah setengah manusia
setengah demanik, rambut panjang sebahu, dan memakai krudung merajah. Penari biasanya
membawa bokoran berisi canang sari, dupa, beras kuning, dan sekar ura.
Bramana Keling
Pada jaman dahulu di suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang
sangat termashyur karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai
“Ilmu Kelepasan Jiwa”. Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari
sebuah daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman atau
pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang
Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah.
Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama Beliau yang sebenarnya, karena beliau
berasal dari daerah Keling maka beliau dipanggil dengan sebutan Brahmana Keling.
Akhirnya Sang Raja terperangah dan terpesona melihat keajaiban yang Brahmana
Keling tunjukkan. Sejak saat itu, Sang Raja sangat taat menjalankan petunjuk – petunjuk
yang diberikan oleh Brahmana Keling, beliau juga ditunjuk untuk memimpin upacara di
Madura. Setelah itu, upacara – upacara seperti tari saji pajegan berlangsung dengan lancar
dan sukses. Keadaan kerajaan kembali aman dan tenteram. Oleh karena itu di Madura beliau
dijuluki sebagai Brahmana Wasaka yang kira – kira berasal dari kata Wacika yang berarti
ucapan atau perkataan dan Satya yang berarti kesatria atau kebenaran. Secara umum
Brahmana Wasaka berarti apa yang beliau ucapkan selalu dapat dibuktikan kebenarannya
(sidhi ngucap sidhi mandi). Beliau selanjutnya kembali ke Jawa Timur.
Tak ada yang tahu tentang bagaimana perjalanan Brahmana Keling ke Bali.
Sesampainya beliau di Gelgel, Kerajaan sedang dalam kondisi sepi dan beliau disapa oleh
beberapa pemuka masyarakat yang ada di Kerajaan. Beliau tiba dalam kondisi lesu, lusuh,
dengan pakaian yang kumal dan kotor. Ketika beliau ditanya tentang tujuan beliau ke Gelgel,
beliau menjawab bahwa beliau ingin menemui saudaranya yaitu Sang Prabu Dalem
Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena orang yang ingin ditemui oleh Brahmana
Keling tidak ada di Kerajaan, maka beliau dipersilahkan oleh pemuka masyarakat yang
menyapa beliau untuk menuju ke pura Besakih sebab mereka sedang mempersiapkan segala
sesuatu untuk melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra. Sesampainya beliau di pelataran Pura
Besakih, beliau disapa oleh masyarakat yang sedang ngayah dan ditanyakan maksud
kedatangan beliau. Brahmana Keling menjawab bahwa beliau ingin bertemu saudara beliau
yaitu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Masyarakat tadi tidak percaya
terhadap jawaban Brahmana Keling yang mengaku – ngaku sebagai saudara dengan Dalem
junjungannya, bahkan masyarakat ini tersinggung karena menurutnya tidak mungkin Dalem
junjungannya memiliki saudara yang penampilannya seperti pengemis. Tetapi Brahmana
Keling tetap bersikeras dan beliau berhasil masuk ke dalam pura. Akhirnya mungkin karena
kelelahan, Brahmana Keling langsung menuju ke pelinggih Surya Chandra dan duduk
beristirahat untuk melepas penatnya.
Tak berselang berapa lama, datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu
beliau menoleh ke atas pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya beliau. Karena
murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang yang
telah berani duduk di atas pelinggih Surya Chandra. Prajurit menjawab bahwa orang itu
(Brahmana Keling) memang dari tadi memaksa untuk masuk dan beliau mengaku sebagai
saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha. Tetapi tidak ada yang tahu mengapa tiba –
tiba orang itu sudah ada di atas pelinggih Surya Chandra. Bertambah murkalah Sang Prabu
setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh prajurit tersebut. Sang Prabu lalu
memerintahkan Rakyat dan semua pengayah untuk mengusir orang yang disangka gila
tersebut. Karena saking mulianya hati sang Brahmana, beliau tidak melawan sedikitpun saat
diusir oleh rakyat dan pengayah karena Sang Prabu sudah tidak mengakui beliau sebagai
saudara lagi. Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Besakih, beliau mengucapkan
kutukan yang berbunyi : “wastu tata astu karya yang dilaksanakan di pura Besakih ini tan
Sidakarya (tidak sukses), bunga kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit),
sarwa gumatat gumitit (binatang kecil/hama) membuat kehancuran (ngerebeda) di
seluruh jagat (bumi) Bali.”
Begitulah ucapan yang keluar dari mulut Brahmana Keling yang bagaikan suara petir di
langit yang cerah. Semua masyarakat menyaksikan dengan mulut menganga, terpaku tak
berkutik sedikitpun. Lalu Brahmana Keling meninggalkan Besakih menuju Barat Daya.
Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih, tidak berapa hari suasana jagat Bali
terutama kerajaan Gelgel dan sekitarnya berangsur – angsur menampakkan situasi yang tidak
mengenakkan. Seperti ucapan Sang Brahmana Keling dalam kutukannya, semua pohon –
pohonan yang berguna bagi pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra di Besakih seperti kelapa,
pisang, padi, sayuran, dan sebagainya semua layu. Buah – buahan berguguran, wabah dan
hama seperti ulat, tikus, dan lain – lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman –
tanaman petani. Bumi seketika menjadi kering kerontang, wabah penyakit (gerubug)
menyerang penduduk. Terjadi pertengkaran antar pengayah yang disebabkan oleh hal – hal
yang sepele, hingga keadaan menjadi kacau balau. Oleh karena itu, pelaksanaan karya urung
dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti
itu, Dang Hyang Nirartha diperintahkan oleh Dalem Waturenggong melakukan upacara
pembasmian, bahkan dengan dilakukannya tapa semadi oleh Dang Hyang Nirartha seakan –
akan tidak mempan, bahkan terkesan masalah semakin menjadi – jadi. Semua keadaan serba
menyedihkan. Akhirnya Ida Dalem sendiri yang turun tangan. Pada suatu malam Dalem
Waturenggong mengadakan Tapa Semadi di Pura Besakih. Beliau mendapatkan pewisik dari
ida Betara yang berstana di Pura Besakih, bahwa Dalem Waturenggong telah berdosa karena
mengusir saudaranya sendiri secara hina dan hanya Brahmana Kelinglah yang dapat
mengembalikan keadaan seperti sedia kala.
Tidak ada yang tahu bagaimana cara Brahmana Keling pergi ke Pura Besakih
sehingga beliau sudah sampai sebelum rombongan penjemputnya yang dipersilahkan oleh
beliau untuk berangkat lebih dahulu. Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih, beliau
disambut selayaknya tamu kebesaran dan beliau diperlakukan dengan sangat sopan, ramah,
dan hormat. Dalam percakapan Brahmana Keling dengan Dalem Waturenggong, yang juga
disaksikan oleh Dang Hyang Nirartha, dikatakan bahwa apabila Brahmana Keling mampu
mengembalikan keadaan Jagat Bali seperti Sedia Kala, Dalem Waturenggong berjanji untuk
bersedia mengakui memang benar bahwa Brahmana Keling adalah saudara dari Dalem
Waturenggong.
a. Ayam yang sebelumnya berwarna selain putih dikatakan berwarna putih oleh beliau,
seketika ayam tersebut berubah warna menjadi putih.
b. Pohon kelapa yang kering, layu tanpa buah seketika berubah menjadi subur, hijau dan
berbuah sangat lebat, begitu juga pohon pisang yang sudah layu dihidupkan kembali dan
berbuah lebat.
c. Hama tikus, wereng, walang sangit, ulat dan sebagainya lenyap seketika.
Apa yang diucapkam oleh Brahmana keling betul – betul terbukti sehingga Ida Dalem
Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha serta hadirin yang menyaksikan terheran – heran
dan terpesona karena terjadi hal – hal aneh yang menakjubkan. Akhirnya sesuai janjinya,
Dalem Waturenggong mengakui Brahmana Keling adalah saudaranya sendiri.
Setelah keadaan dikembalikan seperti sediakala oleh Brahmana Keling, maka Karya
Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan pada Purnamaning Sasih Kedasa ± tahun Saka 1437 atau
tahun 1515 masehi yaitu pada abad ke-16 lancar dan sukses. Pada Pelaksanaan karya Eka
Dasa Rudra tersebut sekaligus dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha dan Brahmana Keling,
karena sebelumnya Bali pernah dilanda kegeringan maka dalam Karya Eka Dasa Rudra
tersebut juga dilaksanakan Upacara Nangluk Merana.
Saking gembiranya Ida Dalem Waturenggong karena upacara Eka Dasa Rudra berjalan lancar
dan berhasil (Sidakarya) maka selain dianugrahkan gelar Dalem Sidakarya atas nasihat Dang
Hyang Nirartha, Dalem Waturenggong bersabda yang isinya kurang lebih sebagai berikut:
“Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan
upacara wajib nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di pesraman Dalem Sidakarya
supaya upacara yang dilakukan menjadi Sidakarya(Berhasil), yang terletak di pesisir selatan
Kerajaan Badung (Sidakarya sekarang). Pada setiap upakara atau sarana upacara
disebarkan sarana serba Sidakarya seperti sayut Sidakarya untuk di banten atau sesajen,
tipat sidakarya untuk makanan kesejahteraan, Tari Topeng Sidakarya untuk wali
(keselarasan). Dan orang yang mengadakan upacara wajib nunas Catur Bija dan Panca Tari
Sidakarya”.
Catur Bija yang dimaksud antara lain beras, ketan, beras merah, dan injin(ketan
hitam). Kesemuanya itu secara umum digunakan untuk penginih – inih karya dan
pengingsahan karya, sebagai ajengan catur dalam kegiatan Yadnya. Jatu ini sebelum
dipergunakan ditaruh di penetegan beras.
Panca Taru yang dimaksud adalah Cempaka, Sandat yang digunakan sebagai simbolis
jatu untuk wewangunan suci. Yang biasa digunakan adalah serpihannya (tampalan)
untuk jatu api pasepan. Selain dua kayu tadi, ada juga Kayu Naga Sari yang
digunakan sebagai pelengkap tetandingan banten, Dadap yang digunakan untuk
penuntun tirta, berisi benang tukel, andel – andel, dan uang kepeng, kelapa (kloping,
danyuh, pang, busung atau janur) yang digunakan untuk memasak di dapur,
pengeseng sekah, dan pengeseng penimpungan. Janur atau busung digunakan untuk
semua jejahitan.
Beberapa kayu sekarang susah didapat, maka apapun yang diterima dari pura dapat
digunakan sebagai jatu Panca Taru dari Sidakarya.
Sebagai penghormatan dan kenangan dari peristiwa di atas, selanjutnya dari ketiga
tokoh penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong yaitu Dalem Waturenggong sendiri,
Dang Hyang Nirartha, dan Dalem Sidakarya, akhirnya Dalem Waturenggong memerintahkan
Pasek Akeluddadah untuk pertamakalinya membuat tapel atau topeng yang menggambarkan
Sang Tiga Sakti atau ketiga tokoh yang berperan penting dalam pemerintahan Dalem
Waturenggong. Menurut orang yang menulis buku ini, Akeluddadah berasal dari dua kata
yaitu Akelud yang berarti penyucian atau pembersihan(pemarisudha) dan Dadah yang berarti
air atau air suci(tirta). Jadi Akeluddadah berarti tirta pemarisudha atau penyucian segala
bentuk mala atau kotoran yang disimbolkan dengan topeng yang dipentaskan sebagai tarian
sacral pada sebuah pelaksanaan upacara Yadnya. Karena I Pasek ini berjasa dalam membuat
topeng Akeluddadah, maka beliau disebut dengan Pasek Akeluddadah. Namun topeng yang
dibuat oleh Pasek Akeluddadah belum diketahui keberadaannya
Penari topeng sidakarya lalu menari dangkrak – dingkrik dan dilanjutkan dengan
menangkap penonton yang masih anak – anak lalu diberikan uang kepeng yang artinya
kurang lebih sebagai perwujudan mengobati orang sakit serta memberikan kesejahteraan pada
orang lain. Ini juga merupakan simbolis siklus kehidupan yaitu lahir, kecil, muda, tua, mati.
Setelah itu penari mengucapkan (ngucarang) mantra yang isinya:
“Dadia punang ikang kalan nira, mijil Dalem Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja
menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang tranggana ketekeng surya
senjana metu aku saking Mutering Jagat Sudha butha kala liak, desti teluh trangjana pada
nembah tanwani teken aku, apan aku mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing mala, lara,
roga, wigena pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang,
Yang.”
Setelah nguncarang mantra tersebut dilanjutkan dengan menaburkan beras kuning
yang menyimbulkan pemberian laba kepada para Butha Kala supaya tidak mengganggu
ketentraman hidup manusia, serta menebarkan kesejahteraan pada umat manusia sehingga
terwujud rahayuning jagat. Serta dibarengi dengan penebaran sekar ura yang merupakan
symbol medana – dana (bersedekah) . Dengan selesainya pementasan Topeng Sidakarya
maka tuntaslah segala rangkaian pelaksanaan upacara Yadnya yang disebut “Sidakarya”.
Bila kita seorang penggemar pertunjukan topeng Bali, maka topeng Dalem Sidekarya
tidaklah begitu asing kedengarannya. Karena di Bali banyak terdapat jenis-jenis topeng yang
seringkali dipagelarkan baik itu sebagai hiburan maupun pelengkap upacara yadnya. Topeng
keras, topeng monyer,(topeng bujuh),topeng tua, topeng Dalem, dan topeng Dalem
Sidakarya.Topeng Dalem Sidakarya digolongkan topeng pingit (sacral), dan hanya
dipentaskan dalam suatu karya yadnya tertentu. Jadi tidak sembarang yadnya topeng ini dapat
dipentaskan .
Tapel topeng Sidakarya digambarkan sebagai sosok dengan kulit muka putih, mata
sipit, gigi jongos, dengan warna muka antara manusia dan demanjk, rambut panjang putih
sebahu, mengenakan kekereb(kerudung) berwarna putih merajah Durgha Murti. Menari
dengan gerakan dangkrak dingkrik. Dengan tampilan tapel seperti itu, maka tampak sekali
memancarkan taksu, medengen, berwibawa, dan berkarisma.
Dengan gaya tarian yang dangkrak dingkrik dan sambil mengucapkan mantra sakti
sambil nyambehin (menebar) beras kuning yang artinya memberikan laba (makanan) kepada
bhuta kala supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, sehingga diharapkan
mendapatkan kerahayuan jagat. Diiringi dengan menebar sekar ura yang artinya medana-
dana (bersedekah) kepada semua unsur kekuatan bhuta demi kelancaran upacara. Karena
penyelanggaraan topeng Dalem Sidakarya sangat penting artinya dalam memohon
kesejahteraan dunia dan segala isinya, baik sekala dan niskala, maka sudah seyogyanya untuk
mementaskan Topeng Dalem Sidakarya dalam suatu karya yadnya. Namun sebagai catatan,
bahwa sampai tingkatan yadnya bagaimana, atau jenis upacara apa saja yang perlu
mementaskan topeng Dalem Sidakarya tersebut . Agar topeng yang sakral, medengen, serta
memiliki suatu nilai yang sangat suci dan magis tersebut tidak menjadi salah tempat dan salah
waktu di dalam mementaskannya. Ini semuanya perlu mendapatkan perhatian. Karena tidak
ada sumber yang jelas mengatur hal tersebut.
Dengan menggelar tari topeng Sidakarya pada suatu yadnya tertentu diharapkan
yadnya yang diselenggarakan dapat barjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai atau disebut dengan sidakarya, labdakarya.
6. Tari Balih-balihan
Balih-balihan adalah jenis tarian yang bersifat non-religius dan cenderung menghibur.
Ditampilkan di halaman depan atau luar pura. Jenis-jenisnya:
1. Tari Janger
Tari Janger adalah salah satu tari Bali yang terpopuler. Diciptakan pada tahun 1930-
an, Janger adalah tari pergaulan muda mudi Bali. Tari ini dibawakan oleh 10 penari yang
berpasangan, yaitu kelompok putri (janger) dan putra (kecak). Mereka menari sambil
menyanyikan Lagu Janger secara bersahut-sahutan. Gerakan Janger sederhana namun ceria
dan bersemangat. Musik yang menjadi latar belakang tari adalah Gamelan Batel atau
Tetamburan dan gender wayang.
Awal mula munculnya tari janger ini berawal dari nyanyian bersaut-sautan dari orang-
orang yang memetik kopi,dimana untuk menghapuskan kelelahannya meraka menyanyi
bersaut-sautan antara kelompok perempuan dari bentuk yang sangat sederhana ini kemudian
berkembang dan menjadilah Tari janger. Lirik lagunya diadaptasikan dari
nyanyian Sanghyang, sebuah tarian ritual. Jika dikategorikan dalam Tari Bali, Janger
termasuk Tari Balih-balihan, tarian yang memeriahkan upacara maupun untuk hiburan.
Seiring perkembangannya, kini Janger juga dapat dibawakan oleh orang
dewasa. Terdapat kelompok-kelompok tari yang anggotanya wanita dewasa yang berperan
sebagai janger maupun kecak. Janger juga dibawakan dalam bentuk drama tari yang
disebut Janger Berkisah. Kisah-kisah yang dimainkan antara lain Arjuna Wiwaha, Sunda
Upasunda dan sebagainya.
Hingga saat ini tari janger menjadi ajang kenalan pemuda antar desa satu dengan desa
lain. Karena berkembang di masing-masing komunitas, muncul jenis-jenis tari janger yang
dibumbui dengan gaya tersendiri.
Janger diadaptasikan dari aktivitas para petani yang menghibur diri karena lelah
bekerja. Lirik lagunya diadaptasikan dari nyanyian Sanghyang, sebuah tarian ritual. Jika
dikategorikan dalam Tari Bali, Janger termasuk Tari Balih-balihan, tarian yang memeriahkan
upacara maupun untuk hiburan.
Karena populernya, pada tahun 1960-an, Janger mulai dipentaskan dalam kegiatan
berbagai partai politik, tak terkecuali PKI. Kelompok-kelompok tari Janger mendukung
kampanye pemutusan hubungan RI dengan Malaysia pada tahun 1963. Presiden Soekarno
memberi banyak perhatian kepada tari ini, salah satunya dengan membawa penari-penari
Janger pentas di Istana Tampaksiring. Setelah peristiwa G30S/PKI terjadi, banyak seniman
janger yang dianggap berpihak kepada PKI dibunuh dan dikucilkan. Masa ini merupakan
periode kejatuhan Tari Janger. Baru pada tahun 1970-an, popularitasnya kembali naik.
Pada perkembangannya, kini Janger juga dapat dibawakan oleh orang dewasa.
Terdapat kelompok-kelompok tari yang anggotanya wanita dewasa yang berperan sebagai
janger maupun kecak. Janger juga dibawakan dalam bentuk drama tari yang disebut Janger
Berkisah. Kisah-kisah yang dimainkan antara lain Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda dan
sebagainya.
Selama puluhan tahun, Janger telah diajarkan kepada para pemuda pemudi di Bali.
Lama kelamaan, tari ini menjadi ajang kenalan pemuda antar desa satu dengan desa lain.
Karena berkembang di masing-masing komunitas, muncul varian yang dibumbui dengan
gaya tersendiri.
Pemerintah daerah Bali ikut mempopulerkan Janger sebagai tari pembuka pada
macam-macam kegiatan dan acara, misalnya program Keluarga Berencana, pemilihan umum,
kesehatan untuk lansia, sampai kampanye anti narkoba.
Selain dari gerak tarian, lagu Janger kemungkinan lebih populer di luar Bali. Lagu Janger
banyak dikenal karena sering dinyanyikan oleh tim Indonesia dalam kejuaraan paduan suara
internasional.
1.2 Varian
Janger dari Tabanan. Pada Janger dari daerah ini, muncul Dag, tokoh berpakaian
tentara Belanda yang tugasnya memberi aba-aba kepada para penari.
Janger dari Desa Metra, Bangli, dipentaskan dengan ritual kesurupan pada akhir
pertunjukkannya. Janger jenis ini dinamakan Janger Maborbor, para penarinya yang
kesurupan menari sambil menginjak bara api.
Janger dari Desa Sibang, Badung, dinamakan juga Janger Gong karena diiringi
dengan Gamelan Gong Kebyar.
Janger dari Desa Bulian, Buleleng, khusus dipentaskan oleh warga desa yang
mengalami tunawicara.
Terdapat sekaa (organisasi pemuda) yang khusus mementaskan Janger, antara lain Janger
Kedaton (Denpasar) dan Janger Singapadu (Gianyar).
Tari Janger merupakan salah satu tari Bali yang diciptakan pada tahun 1930-an dan
merupakan salah satu dari yang terpopuler. Janger adalah tari pergaulan anak remaja Bali.
Ditarikan oleh 10 hingga 16 orang penari secara berpasangan, yaitu kelompok putri yang
dinamakan janger dan kelompok putra yang dinamakan kecak. Mereka menari sambil
menyanyikan Lagu Janger secara bersahut-sahutan.
Gerakan Janger sederhana namun ceria dan bersemangat. Musik yang menjadi latar
belakang tari adalah Gamelan Batel atau Tetamburan dan gender wayang.
1.3 Bentuk Pementasan Tari Janger
Pembukaan
Tari janger diawali dengan suatu tabuh pembukaan yang berupa hanya suara-suara
gamelan. Lagu-lagu pembukaan bisa berupa batel tetamburan ataupun lagu penggalang
yang lain.
Pepeson
Dimulai dengan nyanyian-nyayian dan tarian bersama dari seluruh penari janger dan
kecak dengan formasi sedemikian rupa di depan pintu masuk (gapura) arena tari.
Selanjutnya masuk iring-iringan janger yang di bagi menjadi dua baris. Setelah janger
duduk lalu di susun dengan masuknya kecak dan di arena tari mereka membentuk formasi
saling berhadap-hadapan. Demikian formasi mereka adalah membentuk garis segi empat
dengan arah hadap penari semuanya menghadap kedalam arena tari.
Pejangeran
Pada bagian ini kecak maupun janger menari dan menyayi saling bersahut-sahutan
bersama-sama dalam suasana yang pada umumnya gembira. Sering pula dalam bagian
pejangeran ini penari kecak berpindah tempat yakni duduk berhadap-hadapan dengan
Penari Janger. Setelah bagian pejangeran ini selesai maka penari kecak maupun penari
janger merubah posisi menjadi duduk dua baris di sisi-sisi arena tari sehingga penari yang
tampil berikutnya mempunyai ruang gerak yang lebih luas.
Lakon
Lakon yang ditampilkan pada tarian ini adalah lakon arjuna wiwaha, sunda-upasunda,
gatot kaca sraya dan lainya. Selama adegan ini berlangsung janger dan kecak seolah-olah
sebagai penonton biasa.kalau seandainya diperlukan penari tambahan seperti penari
bidadari, kupu-kupu, dan lain sebagainya biasanya diambil dari penari janger.
Penutup
Pertunjukan Janger ditutup dengan tarian janger dan kecaknya yang pada tahap
penutup ini para penari menyanyikan lagu permohonan maaf dan selamat tinggal kepada
penonton dan dengan demikian perlahan-lahan penonton beranjak dari tempat duduk dan
para penari kecak dan janger juga keluar.
Gerak tari janger merupakan gerak-gerak tari klasik bali terutama gerak-gerak tari
yang dipergunakan dalam tarian ini seolah-olah hanya pemindahan dari arja, topeng, baris
atau jauk. Penasar memakai gerak-gerak tari sebagai mana yang terdapat pada arja maupun
topeng ,begitu pula mentri mengambil gerak-gerak tari dari arja.
Gerak tari yang agak berbeda dan merupakan khas pejangeran adalah terdapat pada
gerak tari pada kecak dan jangernya. Kecak pada dasarnya masih tetap menampilkan gerak-
gerak tari Bali klasik. Gerak-gerak tari ini kemudian dipadukan dengan unsur pencak silat
sehingga melahirkan gerak-gerak tari yang khas.sedangkan janger gerak tarinya adalah
berpegangan pada gerak-gerakan tari Bali klasik. Penari janger dan kecak melakukan tarinya
kebanyakan dengan posisi bersimpuh atau duduk bersila.
2.Tari Kecak
2.1 Pengertian
Tari kecak adalah salah satu jenis kesenian tradisional dari Bali yang diciptakan pada
kisaran tahun 1930 oleh seorang penari sekaligus seniman dari Bali yakni Wayan Limbak.
Sebagai seorang seniman tentu saja Wayan Limbak sangat akrab dengan para seniman lain,
sebut saja Walter Spies yang merupakan seorang pelukis dari negara Jerman merupakan salah
satu teman akrab Wayan Limbak. Kedua sahabat inilah yang menjadi pencetus tari kecak
yang sangat terkenal hingga saat ini.
Tarian yang kerap dimainkan oleh laki-laki ini kini menjadi salah satu icon
kebudayaan Bali yang cukup mendapat sanjungan oleh para wisatawan yang berkunjung ke
Bali.Meskipun gerakan yang dilakukan oleh para penari tergolong sangat sederhana, namun
pembawaan para penari yang berjumlah cukup banyak mulai dari puluhan hingga ribuan
orang membuat gerakan yang dimainkan tergolong sangat unik dan menarik.Pementasan dan
pertunjukan tari tradisional dari bali ini dapat dengan mudah kita saksikan di beberapa
wilayah Bali seperti Uluwatu, Garuda Wisnu Kencana, Ubud, dan Gianyar Bali.
Ekspresi para penari nan memukau membuat para penonton tercengang akan penampilan
mereka. Di lain sisi musik pengiring hampir tidak ada, hanya suara dan lantunan kata-kata
yang berbunyi “cak-cak-cak-cak” terdengar dalam mengiringi gerakan tarian.
Jika kita dapat menyaksikan tari kecak dari awal hingga akhir, maka kita akan
memahami mengenai alur cerita yang disajikan dari gerakan-gerakan pementasan oleh para
penari.Antusias masyarakat Bali akan keberlangsungan dan kelestarian kesenian tradisional
membuat banyak orang belajar dan tertarik untuk melakukan tarian yang diciptakan oleh
Wayan Limbak ini. Tak heran jika hampir semua pemuda bali khususnya para laki-laki
mampu melakukan gerakan tarian ini dengan cara duduk melingkar. Para penari mengenakan
pakaian khas bercorak kotak-kotak hitam putih mirip dengan papan catur.Dari tahun 1970
tari kecak terus mengalami peningkatan, bahkan pemerintah daerah setempat menjadikan
tari ini sebagai icon budaya masyarakat Bali.
Tari kecak merupakan tarian yang dicetuskan dan diciptakan oleh seniman asal Bali
yakni Wayan Limbak dan seorang sahabatnya dari Jerman. Pada awal kemunculan nya jenis
tari ini tercipta secara tidak sengaja yang diambil dari sebuah tarian adat pemujaan yang
dikenal dengan sebutan Shangyang. Sanghyang adalah jenis tarian tradisional Bali yang
dilakukan dalam upacara religi seperti menolak bala serta mengusir suatu wabah
penyakit.Dari sebuah pementasan Sanghyang inilah kemudian Wayang Limbak bersama
Walter Spies berinovasi menciptakan sebuah gerakan tari sebagai salah satu wujud kecintaan
mereka terhadap budaya dan kesenian Bali.
Salah satu jenis kesenian tari ini disajikan oleh para penari yang duduk melingkar
serta mengucapkan kata “cak-cak-cak-cak” secara serentak, karena ini pula tarian ini diberi
nama dengan sebutan “tari kecak”. Gerakan tangan yang disajikan dalam pertunjukan
sebenarnya mengisahkan sebuah cerita Ramayana yakni pada peristiwa Dewi Shinta
diculik oleh Rahwana. Hingga akhir pertunjukan biasanya tari ini menyajikan kisah
pembebasan Dewi Sintha dari tangan Rahwana.
Guna mendukung cerita yang disajikan maka dalam pertunjukan tari tradisional
Bali juga harus terdapat beberapa tokoh yang memerankan peran utama sebagai Hanoman,
Sugriwa, Dewi Shinta, Rhama, dan Rahwana.
Pada tahun 70-an Wayang Limbak bekerja keras guna mempromosikan dan
mengenalkan tari kecak hingga ke mancanegara. Selain mengenalkan keunikan dalam
pementasan tarian ini tentu saja daerah asal kesenian ini ikut melambung di dunia
Internasional yang kemudian menarik para wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke
Bali.
Seperti telah tertuliskan di atas, tari kecak merupakan tarian yang berasal dari kreasi
upaca shangyang. Karena upacara shangyang merupakan jenis kegiatan sakral dan hanya
boleh dilakukan di Pura maka Wayan Limbak berinovasi dari inspirasi gerakan shangyang
menjadi gerakan tari yang terkenal hingga ke mancanegara.
Adapun fungsi tari kecak dapat kita kelompokan secara garis besar sebagai berikut.
Penciptaan gerakan tarian ini secara sadar dilakukan guna mempertunjukkan suatu
kesenian khas bali pada masyarakat umum. Tarian ini bertujuan sebagai sarana hiburan baik
bagi masyarakat setempat maupun bagi para wisatawan yang berdatangan ke Bali.
Dalam tarian yang berawal dari upacara Sanghyang ini juga terdapat kisah dan cerita
yang tersirat dari awal hingga akhir pertunjukan. Cerita pewayangan yang di angkat dalam
sebuah gerakan tari merupakan inovasi baru dalam usaha melestarikan kebudayaan Hindu
khususnya dalam kisah Ramayana.
Hampir tidak ada alat musik pengiring tari kecak kecuali suara gemerincing serta
suara dari para penari yang berbunyi “cak-cak-cak-cak”. Meskipun tidak ada alat musik
khusus sebagaimana tarian lain namun justru disini letak keunikan tari tersebut.Suara yang
bersahut-sahutan dan kadang kala kompak membuat nada-nada unik yang sangat menarik
utuk didengarkan seiring gerakan tarian yang dilakukan oleh para penari.Suara gemerincing
terdengar dari properti tari yang dikenakan oleh para penari khusunya tokoh utama dalam
seni pertunjukan khas Bali tersebut.
Sama halnya dengan tari serampang dua belas dan tari gambyong surakarta, tari
kecak juga memiliki properti khas yang menjadi ciri khas dalam sebuah pertunjukan
kesenian tradisional. Adapun properti yang biasa digunakan dalam pertunjukan antara lain
sebagai berikut:
Selendang
Selendang atau kain yang dikenakan oleh para penari tari kecak memiliki corak
kotak-kotak dengan warna hitam putih menyerupai papan catur.
Gelang kincringan
Properti ini dikenakan baik pada pergelangan tangan dan sebagian juga pada
pergelangan kaki. Gelang kicringan ini yang menimbulkan bunyi gemerincing pada saat
gerakan tari dilakukan.
Tempat sesaji
Adanya tempat sesaji sebagai properti tari kecak menjadikan tarian ini sangat unik
dan terlihat sakral. Terlebih asal usul gerakan tari yang berasal dari sebuah upacara adat
Sanghyang membuat tarian ini juga terlihat mistis dikalangan para penonton.
Topeng
Minimal terdapat 3 topeng yang dikenakan oleh penari utama yang berperan sebagai
tokoh Hanoman, Sugriwa, dan Rahwana pada cerita yang disajikan selama tarian
berlangsung.
Secara garis besar dalam seni pertunjukan tari kecak terdapat beberapa keunikan,
keunikan tersebut antara lain terdapat pada:
1 Gerakan
Gerakan tarian yang ada dalam sebuah pertunjukan baik di Garuda Wisnu Kencana
(GWK), Ubud, maupun tempat lain terlihat seperti seseorang yang tengah melakukan
suatu pemujaan pada upacara Shangyang.
2 Musik pengiring
Musik pengiring dalam tari kecak memang tergolong sangat unik. Karena hampir
tidak ada alat musik yang dimainkan guna mengiringi pertunjukan. Musik yang terdengar
pada sajian tarian khas dari Bali yang satu ini hanya terdengar dari gemerincing gelang
grincingan yang dikenakan oleh para penari. Sementara suara lain hanya bersumber dari
mulut para penari yang seolah saling bersahutan mengucapkan “cak-cak-cak-ke-cak-cak-
cak”.
3 Drama
Drama yang dimainkan dalam pementasan merupakan cerita Ramayana yang
mengisahkan usaha pembebasan Dewi Shinta dari tangan Rahwana yang dilakukan oleh
Rama dan beberapa sahabatnya.
Sebagaimana telah kita sebutkan di atas, pertunjukan tari kecak yang berfungsi
sebagai usaha melestarikan kebudayaan disini alur cerita yang disajikan dalam suatu
pementasan biasanya berupa kisah diculiknya Dewi Shinta oleh Rahwana, dan usaha Rama
dalam membebaskan Dewi Shinta dari tangan Rahwana. Secara garis besar terdapat 5 bagian
cerita yang mengisahkan demikian:
Bagian1
Menceritakan tentang keberadaan Rama dan Dewi Shinta di dalam hutan yang
kemudian disusul kemunculan kijang emas. Dalam akhir cerita bagian 1 ini Shinta berhasil
diculik oleh Rahwana dan dibawa ke Alengka yang menjadi kerajaan Rahwana.
Bagian2
Pada bagian kedua ini Dewi Shinta ditawan di lingkungan kerajaan Alengka dengan
dijaga Trijata yang merupakan keponakan dari Rahwana. Dalam adegan ini terlihat Shita
bersedih hati akan peristiwa yang tengah menimpanya serta sangat berharap kedatangan
Rama membebaskan dirinya dari Rahwana.
Pada bagian ini pula Hanoman muncul sebagai utusan Rama dan mengisyaratkan kepada
Dewi Shinta bahwa Rama akan datang dan menyelamatkan dirinya. Pada akhir bagian kedua
ini Hanoman mempora-porandakan bangunan keraton Alengka dengan membakar beberapa
bangunan keraton serta taman.
Bagian3
Mengisahkan tentang kedatangan Rama ke negeri Alengka dengan bala tentaranya
untuk membebaskan Dewi Shinta dari sekapan Rahwana. Pada awal pertempuran pihak
Rama mengalami kekalahan melawan pasukan Rahwana. Setelah memanjatkan doa kepada
Sang Dewa datanglah burung garuda menyelamatkan Rama dari pengaruh sihir yang
dilakukan oleh keturunan Rahwana.
Bagian4
Pertempuran antara Rama dan Rahwana kembali terjadi dan semakin seru. Pada
bagian ini Sugriwa yang diperintahkan Raja Rama berhasil mengalahkan Megananda.
Bagian5
Merupakan pucak dari pertunjukan tari kecak dimana menceritakan tentang
kemenangan Rama atas Rahwana sehingga berhasil menemukan Dewi Shinta dan
membebaskannya dari Rahwana. Cerita diakhiri dengan bertemunya kembali Rama dan Dewi
Shinta serta beberapa pasukan pihak Rama seperti Hanoman dan Sugriwa.
3.3.6 Kesimpulan
Pengertian Tari kecak adalah salah satu jenis kesenian tradisional dari Bali yang
diciptakan pada kisaran tahun 1930 oleh seorang penari sekaligus seniman dari Bali yakni
Wayan Limbak. Selain antusias masyarakat Bali terhadap seni garapan Wayan Limbak
ternyata para wisatawan yang berkunjung ke Bali juga sangat tertarik dalam menyaksikan
sebuah pertunjukan gerak seni ini. Tak heran jika pemerintah daerah setempat menjadikan
tarian ini sebagai salah satu icon kesenian dan kebudayaan daerah.
Tari tradisional Bali ini berfungsi sebagai sarana hiburan sekaligus usaha melestari
kebudayaan Hindu di Bali. Dalam tarian ini hampir tidak ada alat musik pengiring kecuali
suara gemerincing serta suara “cak-cak-cak-cak” dari para penari. Adapun properti yang
digunakan dalam tarian ini antara lain kain kotak-kotak, topeng, gelang kicringan, serta
tempat sesaji. Sendra tari ini menceritakan tentang kisah Ramayana yakni peristiwa
diculiknya Dewi Shinta oleh Rahwana hingga pembebasannya yang dilakukan oleh Rama
beserta pasukannya.
Demikian artikel tentang salah satu kesenian tradisional bali yang sangat terkenal
hingga kini. Dengan memahami mengenai sejarah tari kecak serta beberapa subbab yang
terdapat di dalamnya dapat menambah pengetahuan kita terutama dalam mempelajari jenis
tari tradisional di Indonesia.
TABUH
1. Dewa Yadnya
1.2 Selonding
Selonding merupakan seni musik tradisional yang diperkirakan hidup sejak zaman
Bali Kuno, di mana imperium kerajaan Majapahit belum masuk ke tanah Bali. Hanya,
selonding sebagai seni tradisi manusia Bali Kuno tidak mendapat banyak perhatian dari
kekuasaan raja-raja utusan Majapahit. Kesenian yang dikembangkan di Bali ketika itu
hanyalah kesenian kraton yang dibawa seniman-seniman tanah Jawa. Akibatnya selonding
terabaikan bahkan nyaris mengalami kepunahan. Sebagai khazanah peradaban manusia Bali
Kuno, kajian sejarah terhadap selonding perlu kembali dilakukan untuk menghidupkan
kembali kesenian yang memiliki kekuatan membawa ketenangan ini.Gamelan Selonding
yang terbuat dari besi ini berlaras pelog tujuh nada ini tergolong barungan alit yang langka
dan sangat disakralkan oleh masyarakat desa Tenganan Pagringsingan dan Bongaya
(kabupaten karangasem).Gamelan ini dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara adat di
Bali Aga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan untuk mengiringi tari
Abuang,Perang Pandan (Makare-karean) dan lain-lain. Gambelan Selonding adalah
merupakan peninggalan dari kegiatan berkesenian nenek moyang kita di masa silam.
Gambelan ini berfungsi menyajikan tabuh-tabuh petegak atau tanpa disertai tari-
tarian, baik dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara Agama serta kepentingan-
kepentingan lainnya. Namun perlu diketahui hanya dalam upacara Agama pada hari raya-hari
raya tertentu saja Gamelan Slonding ini ditabuh atau dibunyikan, Gambelan Selonding
merupakan salah satu gamelan yang di sakralkan oleh masyarakat desa Tenganan
pangringsingan, Di kalangan masyarakat Tenganan Pagringsingan gamelan Selonding diberi
nama Bhatara Bagus Selonding. Sejarah munculnya Selonding dikaitkan dengan sebuah
mitologi yang menyebutkan bahwa pada zaman dulu orang-orang Tenganan mendengar suara
gemuruh dari angkasa yang datang secara bergelombang. Pada gelombang pertama suara itu
turun di Bongaya (sebelah timur laut Tenganan) dan pada gelombang kedua suara itu turun
didaerah Tenganan Pagringsingan. Setelah hilangnya suara itu diketemukan gamelan
Selonding (yang berjumlah tiga bilah). Bilah-bilah itu kemudian dikembangkan sehingga
menjadi gamelan Selondin seperti sekarang. Gambelan Selonding memang masih dapat
bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia dalam rentang waktu yang cukup lama,
dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas nilai universal yang terkandung di
dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.
Barungan gamelan selonding terdiri dari delapan buah instrumen antara lain dua buah
gangsa,empat buah oncangan dan dua buah penerang. Kalau dilihat bentuk keseluruhannya
hampir semua sama yaitu berbentuk trapesium.
Sesuai dengan struktur dari lagu-lagu selonding bahwa tiap-tiap inbstrumen mempunyai tugas
yang berbeda-beda dalam barungannya. Adapun tugas-tugas itu ialah seperti berikut:
Gangsa lanang, jumlah bilahnya delapan buah bertugas mengendalikan melodi lagu.
Urutan nadanya: dong – dang – deng – dung – dang – dong – ding – dong .
Gangsa wadon, jumlah bilahnya delapan buah, bertugas mengendalikan melodi lagu.
Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng – dung – dang – dong – ding.
Oncangan lanang I, jumlah bilahnya empat buah, bertugas menjalin kotekan/
cecandetan. Urutan nadanya : dung – dang – dong – ding .
Oncangan lanang II, jumlah bilahnya empat , bertugas menjalin kotekan / cecandetan.
Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng
Oncangan wadon I, jumlah bilahnya empat buah , bertugas menjalin
kotekan/cecandetan. Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng .
Oncangan wadon II, jumlah bilahnya empat buah , betugas membuat jalinan
kotekan/cecandetan. Urutan nadanya : dung – dang – dong – ding.
Penerag lanang, jumlahnya empat buah, bertugas memperjelas tekanan lagu. Urutan
nadanya: dung – dong – ding.
Penerag wadon, julah bilahnya empat buah, bertugas memperjelas tekanan lagu.
Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng.
Ø Sekar gadung
Ø Nyangnyangan
Ø Rejang gucek
Ø Rejang ileh dll
Gong Luwang adalah gamelan langka yang pada umumnya dipergunakan untuk
mengiringi upacara kematian (ngaben). Gamelan yang berlaras pelog (tujuh nada) dan
merupakan barungan madya ini, yang barungannya lebih kecil dari pada Gong Kebyar,
termasuk salah satu jenis gamelan yang jarang dimainkan untuk mengiringi suatu
pertunjukan tari atau drama. Kalaupun Gong Luwang dimainkan di atas pentas, seperti
dalam pagelaran dramatari Calonarang, barungan ini hanya dipakai untuk mengiringi
adegan memandikan mayat atau mandusin watangan.
Ada 8 atau 9 macam instrumen yang membentuk barungan gamelan Gong Luwang dengan
jumlah penabuh antara 16 (enam belas) sampai 20 (duapuluh) orang.
Labda
Ginada
Lilit
Manukaba
Tabuh Wargasari
Panji Cenik (dari tabuh Gambang)
Tabuh-tabuh Gong Luwang sangat melodis yang diwarnai oleh perpaduan ubit-ubitan
reyong dan gambang yang khas yang diberi aksentuasi oleh saron dan jegogan. Peranan
kendang sangat kecil karena suara kendang hanya terdengar mendekati jatuhnya gong untuk
menandakan akhir dari suatu bagian komposisi. Hingga dewasa ini Gong Luwang masih
hidup didesa Singapadu (Gianyar), Tangkas (Klungkung), Kerobokan (Badung) dan Kesiut
(Tabanan) SMKI Bali dan STSI Denpasar juga memiliki masing-masing memiliki 1 barung
gamelan Gong Luwang.
Gong Beri termasuk barungan alit adalah gamelan langka dan sakral. Hingga kini
Gong Beri masih dipelihara dengan baik oleh warga masyarakat desa Renon, Sanur di
Denpasar. Gamelan ini biasanya dimainkan untuk mengiringi tari Baris Cina. Istilah Beri
sering disebut-sebut di dalam kakawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga
di dalam Prasasti Blanjong, terdapat istilah Bheri yang juga berarti alat perang. Gong
dibuat dari krawang dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson. Gong yang
ada dalam barungan ini mempunyai banyak persamaan dengan nekara bulan yang terdapat
di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Berbeda dengan instrumen gong lainnya, gong pada
gamelan Gong Beri tidak memakai pencon, seperti gong Cina.
Barungan Gong Bheri terdiri dari:
Gending Pategak
Gending Baris Ireng (baris hitam)
Gending Baris Petak (baris putih)
Gamelan Gong ini dinamakan Gong Gede (besar) karena memakai sedikitnya 30 (tiga
puluh) macam instrumen berukuran relatif besar (ukuran bilah, kendang, gong dan cengceng
kopyak adalah barung gamelan yang terbesar yang melibatkan antara 40 (empat puluh) - 50
(lima puluh) orang pemain, demikian dikutip dari artikel Arya Tangkas Kori Agung, Gong
Gede.
Sebagai seni karawitan, dijelaskan dalam kutipan artikel ISI Denpasar, Gamelan Gong Gede
merupakan perpaduan unsur-unsur budaya lokal yang sudah terakumulasi dari masa ke masa.
Unsur budaya Bali tercermin pada penggunaan instrumen dari perangkat gamelan Bali dan
busana yang dipergunakan oleh para penabuh (jero gamel).
Budaya lokal tampak pada penggunaan tradisi-tradisi Bali seperti :
Tabuh-tabuh yang memakai laras pelog dan sesaji
Para penabuhnya didominasi dengan memakai kostum penabuh seperti ; ikat kepala
(udeng) dipakai warna hitam, bajunya dipakai warna putih disisinya memakai safari
hitam berisi simbol, memakai saput orange, dan ditambah dengan membawa keris
atau seselet. Istilah jero gamel tidak jauh berbeda dengan juru gamel.
Kalau dilihat dari fungsinya semuanya ini berarti tukang gamel, yang sudah melekat sebagai
bagian dari identitas diri seseorang.
Instrumen Bentuk instrumen gamelan Gong Gede ada dua jenis yakni :
1. Berbentuk bilah
2. Berbentuk (moncol).
Menurut Brata, instrumen yang berbentuk bilah ada dua macam : bentuk bilah bulig, dan
bilah mausuk. Bentuk bilah bulig bisa disebut dengan : metundun klipes, metundun sambuk,
setengah penyalin. Untuk instrumen yang berbilah seperti bilah metundun klipes, metundun
sambuk, setengah penyalin dan bulig terdapat dalam instrumen gangsa jongkok penunggal,
jongkok pengangkem ageng, dan jongkok pengangkep alit (curing).
Instrumen-instrumen ini bilahnya dipaku atau sering disebut dengan istilah gangsa
mepacek. Sedangkan bentuk bilah yang diistilahkan merai, meusuk, dan meakte terdapat pada
instrumen pengacah, jublag, dan jegogan. Instrumen-instrumen ini bilahnya digantung yaitu
memakai tali seperti jangat.
Contoh instrumen yang berpancon tinggi seperti; riyong ponggang, riyong, trompong
barangan, dan tropong ageng (gede). Sedangkan instrumen yang berpencon pendek (endep)
antara lain kempli, bende, kempul, dan gong.
Begitu juga halnya dengan bentuk reportoar gending Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur,
berbentuk lelambatan klasik yang merupakan rangkaian dari bagian-bagian gending yang
masing-masing mempunyai bentuk urutan sajian.
Adapun urutan dari bagian-bagian bentuk reportoar gending dari masing-masing bentuk
reportoar adalah sebagai berikut :
Bentuk reportoar gending Gong Gede dapat ditentukan oleh jumlah pukulan kempul
dalam satu gong, misalnya tabuh pat terdapat empat pukulan kempul dalam satu gongan pada
bagian gending pengawak dan pengisap. Demikian juga pada bentuk-bentuk gending tabuh
pisan (besik), tabuh telu, tabuh nem dan tabuh kutus. Disebutkan pada Pesta Kesenian Bali
untuk pertama kali pada tahun 1979, Gamelan Gong Gede mengiringi sendratari dipentaskan
oleh SMKI dengan cerita Mahabrata yang mengambil judul “Sayembara Dewi Ambara”,
salah satu iringan musik atau gamelannya memakai Gamelan Gong Gede.
1.5 Gambuh
Gamelan Gambuh (Tabuh Pagambuhan) merupakan jenis Instrumen music yang biasanya
di Bali dipergunakan untuk mengiringi tarian atau tari gambuh dan dramatari gambuh.
Gamelan gambuh memiliki peralatan gamelan yang terdiri dari:
Rabab (1 buah)
Suling berukuran besar (2 atau 3 buah)
Kendang (sepasang)
Kajar (1 buah)
Klenang (1 buah)
Ricik atau cengceng kecil (1 buah)
Kenyir (1 tungguh)
Gentongan atau ogar (1 atau 2 buah)
Gumanak (2 buah)
Kangsi (1 buah)
Diantara alat-alat music diatas, gumanak dan kangsi sekarang sudah semakin jarang
dipergunakan. Gamelan gambuh juga termasuk golongan gamelan madya yang lebih muda
dari gambang, saron, selonding kayu, gong besi, gong luang, selonding besi, angklung, dan
gender wayang kulit. Tetapi gamelan dramatari gambuh lebih tua dari gamelan Arja, gong
kebyar, gamelan janger, angklung bilah 7, gamelan jogged bumbung, dan gong suling.
1.6 Saron
Saron atau yang biasanya disebut ricik adalah salah satu instrument gamelan yang
termasuk keluarga balungan. Dalam satu set gamelan biasanya mempunyai 4 saron dan
semuanya memiliki versi pelog dan slendro. Saron menghasilakn nada satu oktaf lebih tinggi
daripada demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari
kayu dengan bentuk seperti palu. Cara menabuhnya ada yang sesuai dengan nada, nada yang
imbal atau menabuh bergantian anatara saron 1 dan saron 2. Cepat lambatya dan keras
lemahnya penabuhan tergantung pada komando dari kendang dan jenis gendingnya. Pada
gending Gangsaran yang menggambarkan kondidi peperangan misalnya, ricik tabuh dengan
keras dan cepat. Pada gendhing Gati yang bernuansa militer, ricik ditabuh lambat namun
keras. Ketika mengiringi lagu ditabuh pelan.
Dalam memainkan saron, tangan kanan memukul wilayah atau lembaran logam dengan
tabuh, lalu tangan kiri memencet wilayah yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan
dengunan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata
dasar: pathet = pencet)
2. Pitra Yadnya
Timbulnya Gambelan Gambang di Banjar Sembuwuk Desa Pejeng Kaja ini sudah ada
sejak dahulu, yang merupakan warisan leluhurnya (tetamian). Pada jaman kerajaan Tabanan,
salah seorang dari keluarga “Arya Simpangan” (sekaa gambang sekarang) tinggal di kerajaan
Tabanan. Setelah terjadi perebutan kekuasaan, maka kerajaan Tabanan dibagi menjadi dua.
Atas petunjuk Dalem Watu Renggong (Raja Gelgel, Gusti Ngurah Klating adik Gusti Ngurah
Tabanan diberi tugas oleh Dalem untuk membuat Gambelan Gambang yang gending-
gendinya diambil dari lontar pemberian “wong gamang” (orang halus).
Keterangan ini diperkuat oleh Cokorda Agung Suyasa dari Puri Saren Ubud, yang
menyimpan sebuah lontar tentang sejarah gambelan Gambang. Cokorda Agung Suyasa
menerangkan sebagai berikut: Disebutkan pada jaman kerajaan Dalem Watu Renggong (1460
– 1550) di Tabanan ada sebuah kerajaan. Pada waktu itu raja mempunyai dua orang putra
yaitu I Gusti Ngurah Tabanan dan adiknya I Gusti Ngurah Klating. Karena beliau sudah tua,
maka kedudukan beliau diberikan kepada putranya yang pertama yaitu I Gusti Ngurah
Tabanan. Oleh adiknya I Gusti Ngurah Klating hal itu tidak mau diterima, karena beliau juga
menginginkan kedudukan tersebut. Maka terjadilah perang antara kakak dan adik dalam
memperebutkan kedudukan sebagai raja. Kejadian itu lalu didengar oleh Dalem Watu
Renggong, dan Gusti Ngurah Klating dipanggil untuk diminta keterangannya. Dalam
keterangan itu Gusti Ngurah Klating mengakui bahwa dirinya memang menginginkan
kedudukan itu, sehingga terjadilah perang.
Oleh Dalem permintaan Gusti Ngurah Klating bisa dipenuhi, dengan syarat Gusti
Ngurah Klating harus menyelesaikan dulu tugas yang akan diberikan kepadanya. Kemudian
Gusti Ngurah Klating diberi tugas oleh Dalem untuk mencari lontar milik wong gamang,
yaitu lontar “tanpa sastra“ (tanpa tulisan) dan hanya diberi waktu selama tujuh hari. Kalau
tidak berhasil maka Gusti Ngurah Klating akan dikenakan hukuman mati, dan seandainya
berhasil nantinya akan diberi kedudukan sebagai raja. Dalem berkeyakinan bahwa tugas itu
sudah pasti tidak dapat dipenuhi, karena hal itu hanya merupakan hukuman saja. Dengan
perasaan ragu-ragu Gusti Ngurah Klating berangkat mememnuhi permintaan Dalem. Gusti
Ngurah Klating juga berkeyakinan bahwa hal itu tidak mungkin untuk dipenuhi. Segala
tempat yang keramat dikunjunginya, tetapi dari sekian tempat yang sudah dikunjungi satupun
tidak ada menunjukan tanda bahwa itu ada lontar yang dimaksud oleh Dalem.
Pada hari terakhir (hari ketujuh) siang hari saat matahari dengan teriknya
memancarkan sinar, Gusti Ngurah Klating merasa kepanasan, sehingga timbul niatnya untuk
mencoba berteduh yang kebetulah pada waktu itu menjumpaui pohon kepuh yang sangat
besar terletak disebuah kuburan. Kemudian sambil merebahkan diri, Gusti Ngurah Klating
mencoba untuk tidur. Pada saat itu entah dari mana datanglah burung gagak yang jumlahnya
sangat banyak mengitari pohon kepuh tersebut sambil mengibas-ngibaskan sayapnya. Gusti
Ngurah Klating kemudian terbangun dan melihat burung gagak yang sangat banyak itu. Dari
kerumunan burung gagak itu kemudian jatuh sebuah lontar tepat dihadapan Gusti Ngurah
Klating. Lontar tersebut lalu diambil dan setelah digenggam, kembali Gusti Ngurah Klating
mencari-cari dimana burung gagak tersebut berada, tetapi ternyata sudah hilang.
Dengan didapatnya lontar tersebut, Gusti Ngurah Klating kembali ke Gelgel untuk
menghadap Dalem tanpa memeriksa apa isinya. Di Gelgel Dalem menyambut kedatangan
Gusti Ngurah Klating dengan dugaan bahwa tugas itu sudah pasti tidak dapat dipenuhi. Gusti
Ngurah Klating menghadap dan menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, serta
menghaturkan lontar yang telah didapatnya. Dalem kemudian memeriksa isi lontar tersebut,
dan betapa terkejutnya karena lontar lontar tersebutlah yang sebenarnya diminta oleh Dalem.
Karena janjinya untuk menobatkan Gusti Ngurah Klating sebagai raja, maka kerajaan kaka
Gusti Ngurah Klating (I Gusti Ngurah Tabanan) lalu dibagi menjadi dua. Sebelum
dinobatkan menjadi raja, Gusti Ngurah Klating disuruh oleh Dalem untuk membuat
seperangkat gambelsn yang gending-gendinya diambil dari lontar tersebut. Karena gending-
gending tersebut diambil dari lontar milik wong gamang, maka barungan gambelan tersebut
oleh Dalem diberi nama gambelan gambang yang dipergunakan untuk mengiringi jalannya
upacara.
Gamelan Angklung adalah gamelan berlaras slendro, tergolong barungan madya yang
dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang, kadang-kadang ditambah
angklung bambu kocok (yang berukuran kecil). Dibentuk oleh alat-alat gamelan yang relatif
kecil dan ringan (sehingga mudah dimainkan sambil berprosesi). Di Bali Selatan gamelan ini
hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada.
Berdasarkan konteks penggunaaan gamelan ini, serta materi tabuh yang dibawakan
angklung dapat dibedakan menjadi:
Satu barung gamelan angklung bisa berperan keduanya, karena seringkali mempergunakan
alat-alat gamelan dan penabuh yang sama. Di kalangan masyarakat luas gamelan ini dikenal
sebagai pengiring upacara-upacara Pitra Yadnya (ngaben). Di sekitar kota Denpasar dan
beberapa tempat lainnya, penguburan mayat warga Tionghoa seringkali diiringi dengan
Gamelan angklung. menggantikan fungsi gamelan Gong Gede yang dipakai untuk mengiringi
upacara Dewa Yadnya (odalan) dan upacara lainnya.
2.3 Baleganjur
Baleganjur salah satu jenis aliran gambelan di Bali. Baleganjur biasanya diterapkan
pada upacara keagamaan dan adat agama hindu di Bali. Baleganjur memiliki ciri khas pada
penggunaan "ceng-ceng", Istilah Baleganjur berasal dari kata Bala dan Ganjur. Bala berarti
pasukan atau barisan,Ganjur berarti berjalan.Jadi Balaganjur yang kemudian menjadi
Baleganjur yaitu suatu pasukan atau barisan yang sedang berjalan,yang kini pengertiannya
lebih berhubungan dengan sebuah barungan gamelan.
2.3.1 Sejarah Baleganjur
2.3.3 Pengelompokan
Baleganjur dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 2 jenis gending (alunan lagu) sesuai
dengan fungsinya secara umum.
A. Baleganjur Upacara
Merupakan baleganjur yang digunakan dalam upacara adat agama hindu. Baleganjur ini
memiliki gending dan tempo yang cenderung datar, karena bersifat "nuntun yadnya" sebagai
pelengkap dari suatu yadnya.
B. Baleganjur kreasi
Merupakan baleganjur yang digunakan untuk menghibur atau "balih-balihan" yang biasa
sebagai ajang menunjukan kemampuan dan tehnik tinggi dari penabuh (pemusik).
Gendingnya pun lebih rumit dan memiliki tehnik tinggi.
3. Manusa Yadnya
Gamelan yang dalam lontar Catur Murni disebut dengan gambelan Semara Aturu ini
adalah barungan madya,yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk menghibur raja-
raja pada zaman dahulu.Karena kemerduan suaranya,gambelan Semar Pagulingan (Semar =
samara,Pagulingan = tidur) konon biasa dimainkan pada malam hari ketika raja-raja akan
keperaduan (tidur).Kini gambelan ini bias dimainkan sebagai sajian tabuh instrumental dan
atau untuk mengiringi tari-tarian maupun teater.
Masyarakat Bali mengenal dua macam Semar Pegulingan di Bali : yang berlaras
pelog 7 (tujuh) nada dan belaras 5 (lima) nada.Kedua jenis Semar Pegulingan secara fisik
lebih kecil dari pada Gong Kebyar terlihat dari ukuran instrumennya gangsa dan teromponga
yang lebih kecil dari pada yang ada di Gong Kebyar.
a. 1 tungguh Gender Rambat, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan
perunggu yang diletakkan di atas tungguh kayu dengan resonator bamboo. Fungsinya
sebagai pembawa lagu menggantikan terompong. Panjang wilahannya lbh kurang 13 -
15 cm, lebarnya lebih kurang 3 – 4,5 cm, tipisnya lbh kurang 2 – 3 mm.
b. 1 tungguh Trompong, 14 pencon, yaitu instrument musik menyerupai gong yang
terdiri dari 14 buah yang diletakkan di atas rak. Diameternya beragam mulai dari
ukuran yang paling kecil hingga terbesar, yaitu mulai dari 12 – 20 cm, dengan tinggi
permukaannya lbh kurang 10 cm.
c. 4 tungguh gangsa Pemadih atau Pemade, 7 bilah, istrumen wilahan yang diletakkan
di sebuah rak kayu dari bahan kayu nangka, dengan resonator yang terbuat dari
bamboo. Panjang wilahannya lebih kurang 15 – 25 cm, lebar 3 – 4,5 cm dengan
ketebalan 2 – 3 mili meter.
d. 4 tungguh gangsa Kantil, 7 bilah, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan
perunggu yang terdiri dari tujuh wilahan yang diletakkan di atas rak yang terbuat dari
bahan kayu, dengan resonator dari bambu. Panjang wilahannya adalah beragam dari
yang kecil hingga yang besar, yaitu sekitar panjang 15 – 25 cm, lebar lebih kurang 4
– 5 cm, dan ketebalan lbh kurang 2 – 3 mili meter. Alat ini dimainkan dengan
menggunakan sebuah alat pemukul (stik) dengan tangan kanan dan tangan kiri
berfungsi sebagai damper, untuk memute suaranya.
e. 2 buah Juglag, 7 wilahan, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan perunggu
yang diletakkan di atas rak atau tungguhan yang terbuat dari bahan kayu dengan
tinggi lebih lkurang 40 – 45 cm. Panjang wilahannya lebih kurang antara 40 – 45 cm,
lebar 4 – 6 cm dan ketebalannya lebih kurang 3 – 4 cm, dan diletakkan di atas
resonator bambu.
f. 2 tungguh Penyelah , 7 bilah yaitu alat musik wilahan yg lebih kecil dari Juglag, yaitu
wilahan yang terbuat dari bahan perunggu yang diletakkan di atas rak atau tungguhan
yang terbuat dari bahan kayu dengan tinggi lebih lkurang 30 – 40 cm. Panjang
wilahannya lebih kurang antara 30 – 35 cm, lebar 4 – 5 cm, dan ketebalan 2 – 3 mili
meter. Wilahan tersebut diletakkan di atas resonator bamboo. Dimainkan dengan dua
buah stik (tangan kiri dan kanan)
g. 2 tungguh Jegogan, 7 bilah, yaitu isntrumen wilahan yang terbuat dari bahan
perunggu yang diletakkan dalam sebuah rak yang terbuat dari bahan kayu dan
didalamnya terdapat resonator dari bamboo dengan tinggi lebih kurang 40 – 45 cm.
Panjang wilahannya lebih kurang 25 – 30 cm, dengan lebar 3 – 4 cm dan ketebalan
lebih kurang 2 – 3 mm.
h. 1 gong Gayor yaitu gong yang diletakkan di rak yang terbuat dari bahan perunggu
dengan diameter 45 – 55 cm, dengan tinggi permukaan 5 – 7 cm. Alat ini biasanya
biasanya berpasangan dengan kenong dan Kempur, namun dalam Semar Pagulingan
alat musik kempur tidak dipergunakan.
i. 1 buah Kendang Krumpungan, yaitu kendang lanang dan kendang wadon, yaitu
gendang dua sisi. Kedua gendang ini pada prinsipnya ukurannya sama, hanya
fungsinya dalam ensambel musik yang dibedakan serta pelarasannya. Panjangnya
lebih kurang 60 cm, dengan diameter sisi kiri 20 cm, dan sisi kanan 24 cm. Gendang
ini terbuat dari bahan kayu nangka dan membrannya terbuat dari kulit sapi. Gendang
ini dipukul dengan menggunakan satu buah alat pemukul (stik) untuk tangan kanan,
dan tamparan tangan untuk tangan kiri.
k. 1 buah Ceng-Ceng Rucik, ceng-ceng yg lbh kecil dari biasanya, yaitu sejenis simbal
dengan diameter lebih kurang 8 – 9 cm, dengan ketebalan lebih kurang 1 – 2 mm.
l. 1 buah Gentorak, sejenis genta yang terdiri dari beberapa buah genta kecil. Cara
memainkannya dengan menggoyangkannya, sehingga suaranya gemerincing. biasa
dipakai dlm upacara, terbuat dari perunggu. Diameter gentanya lebih kurang 2 – 4 cm,
dengan tinggi permukaannya sekitar 3 – 4 cm, dan ketebalannya lebih kurang 1 mili
meter.
m. 1 buah Kajar, yaitu sejenis gong kecil yang berpencu yang berfungsi sebagai tempo.
Biasa juga disebut kethuk. Diammeternya lebih kurang 15 cm, dengan tinggi
permukaannya lbih kurang 10 cm, dan ketebalan lbh kurang 1 – 2 mili meter.
n. 1 buah Kenong, merupakan gong kecil yang diletakkan di atas rak yang terbuat dari
bahan perunggu, dengan ukuran diameter lebih kurang 15 – 17 cm, dan tinggi 8 – 10
cm dengan ketebalan lebih kurang 1 – 2 mm.
o. 1 buah Klenang, adalah juga sejenis gong kecil yang terdiri dari satu buah terbuat
dari bahan perunggu berfungsi sbg pemanis tempo atau penyela. Bentuknya hampir
sama dengan Kajar, demikian juga ukurannya.
p. tungguh Kempyung, terdiri dari dua nada, yaitu sejenis gong kecil dgn diameter 15
cm dan tingginya lbh krg 10 cm dan ketebalannya lebih kurang 1 – 2 mm
q. 1 buah Rebab, yaitu alat musik gesek bersenar dua, dengan panjang lebih kurang 70 –
100 cm. Terbuat dari bahan kayu nangka, dengan senar dari bahan metal, dan
membrane dari kulit, dan terdiri dari alat penggesek (bow).
r. 4 buah Suling, yaitu end blown flute, yaitu suling yang terbuat dari bahan bambu
dengan panjang lebih kurang 25 – 30 cm, dengan diameter 1 – 1,5 cm.
Intrumen yang memiliki peran penting dalam barungan ini adalah terompong yang
merupakan pemangku melodi.Terompong adalah instrument bermoncol (masuk keluarga
gong ),yang ditempatkan berjejermulai nada rendah hingga yang tertinggi.dalam satu
pangkon terdiri dari 14-16 moncol dengan setiap moncol satu nada.Terompong mengganti
peran suling dalam Penggambuhan dalam hal memainkan melodi dengan dibantu
rebab,suling,gender rambat,dan gangsa barangan.Sebagai pengisi irama adalah jublag dan
jegogan yang masing-masing pemangku lagu,semntara kendang merupakan instrument yang
memimpin perubahan dinamika tabuh.Gending-gending Semar Pegulingan banyak
mengambil gending-gending Pagambuhan. Beberapa desa yang hingga masih aktif
memainkan gambelan Semar Pegulingan adalah;Sumerta ( Denpasar ),Kamasan ( Klungkung
),Teges dan Pliatan ( Gianyar ).
Kesamaan unsur-unsur gambelan Pegambuhan dengan Semar Pegulingan yang paling
menonjol adalah kesamaan dari sebagian besar repertoar lagunya.Kesamaan ini otomatis
menyangkut sebagian besar unsur musical terutama struktur lagu,pola melodi dan
ritme,dinamika,juga pola permainan instrumen-instrumen pengatur matra dan instrument-
instrumen ritmis.Kesamaan yang lain adalah pengguanaan sebagian besar instrument ritmis
dan pengatur matra.Beda penggunaan instrumen dalam gembelan Semar Pegulingan dengn
gambelan Pegambuhan hanya terletak pada instrument-instrumen melodisnya.Kalau
gambelan Pegambuhan menggunakan suling besar,sedangkan gambelan Semar Pegulingan
menggunakan terompong dan keluarga gangsa ( saron yang di gantung ) sebagai instrument
melodis.Rebab yang dalam Pegambuhan sebagai pemegang melodi pokok bersama-sama
suling,dalam gambelan Semar Pegulingan hanya untuk memperkaya dan memperpanjang
durasi melodi.Pola dalam permainan rebab dan suling dalam Semar Pegulingan telah
mempunyai pola tersendiri dalam merealisasi melodi-melodi pokok yang dimainkan oleh
terompong. Bentuk instrumen rebab dalam gambelan Pegambuhan dan rebab dalam
gambelan Semar Pegulingan pada prinsipnya sama,sedangkan suling dalam gambelan Semar
Pegulingan digunakan suling menengah dan suling titir. Terompong dan gangsa sebagai
intrumen melodis dalam gambelan Semar Pegulingan dpat digunakan untuk memainkan
hamper semua reperator pegambuhan berikut dengan ragam patetnya.Instrumen-instrumen
keluarga gangsa mulai yang bernada terendah seperti jegogan,jublag.gangsa,pemade,dan
gangsa kantilan,dalam satu pangkon hanya terdiri tujuh bilah nada.
Terompong dipukul dengan dua panggulyang terbuat dari batang kayu,setengah sebagai
tempat memegang dan setengahnya lagi dililit dengan benang merupakan bagian dari yang
dipukulkan.Gangsa dan kantil dipukul dengan panggul yang berbentuk hammer,juga terbuat
dari kayu .Jublag juga dipukul dengan panggul yang berbentuk hammer,hanya saja karena
diperlukan durasi sura yang agak panjang,pada bagian yang dipukulkan diisi dengan karet
agar lebih lembek dan lentur.Sedangkan pangggul jegogan mrip dengan panggul gong dan
kempur,hanya saja tangkainya dibuat lebih panjang agar dapat ,menjangkau bilah nada yang
cukup besar dan panjang.
Kesamaan bentuk musikal terutama repertoar lagu dan hubungan kait denggan antara
gambelan Semar Pegulingan dengan gambelan Pegambuhan juga perkuat oleh deskripsi
yang terdapat dalam lontar Prakempa dan Aji Gurnita sebagai berikut ; “Nyata gegambelan
Semar Pegulingan naran samara aturu,gendingan Pegambuhan maka gegambelan,barong
singa”(Dan itu gambelan Semar Pegulingan artinya atau bernama Semara Aturu,lagunya
Pegambuhan untuk mengiringi tari Barong Singa).Penulis masih belum memahami apa yang
dimaksud gambelan Semar Pegulingan sebagai iringan barong singa,sebab dewasa ini Semar
Pegulingan di Bali bakanlah gambelan khusus iringan tari tertentu.Gambelan Semar
Pegulingan biasanya dimainkan sebagai musik protokoler pada upacara-upacara adat dan
keagamaan.Selain itu tari Barong Singa hingga saat ini belum prnah telihat keberadaanya di
Bali,yang ada adalah Barong Macan .Kendatipun dewasa ini dalam gambelan Semar
Pegulingan sering digunakan untuk mengiringi dramatari Gambuh belumlah dianggap
sebagai tradisi,karena hal itu dilakukan dengan alas an fleksibelitas dan salah satu
penambahan fungsi gambelan Semar Pegulingan.
Adanya kesamaan hamper semua repertoar lagu Pegambuhan dengan gambelan Semar
Pegulingan bukan berarti gambelan Semar Pegulingan tidak memiliki ciri musikal.Perbedaan
jenis,bentuk,bahan dan teknik permainan instrument-instrumen melodis Semar Pegulingan
menyebabkan lagu-lagu Pegambuhan menyesuaikan diri dengan medianya yang
baru.Melodi-melodi yang sebelumnya dimainkan lewat media suling dan rebab,di transfer ke
dalam instrument bermoncol dan berbilah yang tentunya di ikuti teknik dn pola
permainannya,akan mengasilkan warna musikal yang berbeda pula.Dari segi pola permainan
instrument,melodi-melodi yang dalam gambelan Pegambuhan di ungkapkan dengan
sederhana mengalir lewat media suling,dalam gambelan Semar Pegulingan di tambah dengan
pola permainan kotekan (interlocking) lewat media gansa dan kantil.
Instrumen -instrumen pengatur matra dalam gamelan pengambuhan dan gamelan smar
pagulingan pada umumnya sama yaitu kempul,kajar,klenang,dan gumanak hanya saja
instrumen gumanak belakangan ini jarang digunakan dalam gamelan smar pagulingan.
Bentuk serta ukuran instrumen-instrumen tersebut baik dalam gamelan pengambuhan
maupun dalam gamelan smar pagulingan tidak menunjukan perbedaan prinsipil. Demikian
halnya dengan instrumen-instrumen ritmis,bentuk,ukuran,dan penggunaannya baik dalam
gamelan Pengambuhan maupun Smar pagulingan adalah sama yaitu kendang
krumpungan,ricik,kangsi,dan genta orag. Terhadap masing-masing perangkatnya,semua
instrumen-instrumen tersebut baik pengatur matra maupun instrumen ritmis memiliki pola
permainan yang sama. Demikian juga hubungan pola permainan antara instrumen yang satu
dengan lainnya.Kesamaan jenis,bentuk fisik,ukuran instrumen dan fungsi terhadap
perangkatnya secara langsung menyebabkan cara memainkannya juga sama.
Kesamaan bentuk musikal terutama repertuar lagu dan hubungkait antara gamelan semar
pegulingan dngan gambelan pegambuhan juga diperkuat oleh deskripsi yang terdapat dalam
lontar Prakempa dan Aji Gurnita sebagai berikut:’’nyata gegambelan semar pegulingan
ngaran semara aturu,gendingnya pegambuhan maka gegambelan barong singa’’(Dan itu
gamelan semar pegulingan artingya atau bernama semara aturu,lagunya pegambuhan untuk
mengiringi tari barong singa). Penulis masih belum memahami apa yang dimaksud dengan
gambelan semar pegulingan sebagai iringan barong singa,sebab dewasa ini gamelan semar
pegulingan di Bali bukanlah gamelan khusus iringan tari tertentu. Gamelan semar pegulingan
biasanya dimainkan sebagai musik protokoler pada upacara-upacara adat dan keagamaan
selain itu tari barong singa hingga saat ini belum pernah penulis lihat keberadaannya di
Bali,yang ada adalah barong macan. Kendatipun dewasa ini gamelan semar pegulingan sering
digunakan untuk mengiringi drama tari gambuh belumlah dianggap sebagai tradisi,karena hal
itu dilakukan dengan alasan fleksibelitas dan salah satu penembahan fungsi gamelan semar
pegulingan.
Adanya kesamaan hampir semua repertuar lagu pegambuhan dengan gamelan semar
pegulingan bukan berarti gamelan semar pegulingan tidak memiliki ciri musikal. Perbedaaan
jenis, bentuk,bahan,dan tekhnik permainan instrumen-instrumen melodi semar pegulingan
menyebabkan lagu-lagu pegambuhan menyesuaikan diri dengan medianya yang baru.
Melodi-melodi yang sebelumnya dimainkan lewat media suling dan rebab,ditransfer kedalam
instrumen bermoncol dan berbilah yang tentunya diikuti tekhnik dan pola
permainnannya,akan menghasilkan warna musikal yang berbeda pula. Dari segi pola
pemainan instrumen,melodi-melodi yang dalam gamelan pegambuhan diungkapkan dengan
sederhana mengalir lewat media suling,dalam gamelan semar pegulingan ditambah dengan
pola permainan kotekan (interlocking) lewat media gangsa dan kantil. Gamelan pegambuhan
dan semar pegulingan sama-sama menganut sistem pelarasan pelog tujuh nada. Apabila
gamelan pegambuhan mampu menurunkan lima macam patutan (patet). Kelima patet tersebut
memiliki nama yang sama dengan tetekep yang ada pada gamelan pegambuhan yaitu patet
slisir,tembung,sundaren,baro,dan patet lebeng. Prinsip patet kedua gamelan pada dasarnya
sama,yaitu pada nada yang jumlahnya tujuh terbagi menjadi dua macam yaitu lima nada
pokok dan dua nada pemero. Karakter masing-masing patet dalam gamelan semar pegulingan
kendatipun telah berbeda warna musikalnya dengan pegambuhan ternyata juga dapat
menampilkan kesan yang serupa. Seperti misalnya patet slisir berkarakter halus,tembung
berkarakter keras,dan patet sundaren berkarakter antara halus dan keras.
4. Rsi Yadnya
Gamelan adalah sebuah orkestra Bali yang terdiri dari bermacam-macam instrumen
seperti : gong, kempur, reyong, terompong, ceng-ceng, kendang, suling, gangsa dan rebab
yang mempunyai laras selendro dan pelog. Dapat dipahami bahwa hidupnya seni karawitan
Bali di tengah-tengah masyarakat telah luluh berefleksi dengan aktivitas kehidupan
masyarakat sehari-hari dalam struktur masyarakat yang bervariasi baik dalam kegiatan
keagamaan maupun adat/tradisi. Kenyataan ini nampak dengan jelas karena karawitan Bali
muncul dalam nafasnya yang murni, memiliki identitas dan kekhasan yang masih didukung
oleh sistem kehidupan masyarakat Bali.
Gong Kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai
pembaharu maksudnya adalah lewat gong kebyar para seniman kita telah berhasil
menciptakan gending-geding baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada. Sedangkan sebagai
pelanjut tradisi maksudnya adalah gong kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi
reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi. Seperti apa yang telah diuraikan
di atas bahwa gong kebyar memiliki fungsi untuk mengiringi tari kekebyaran. Namun sesuai
dengan perkembangannya bahwa gong kebyar memiliki fungsi yang sangat banyak. Hal ini
dikarenakan gong kebyar memiliki keunikan yang tersendiri, sehingga ia mampu berfungsi
untuk mengiringi berbagai bentuk tarian maupun gending-gending lelambatan, palegongan
maupun jenis gending yang lainnya. Disamping itu Gong Kebyar juga bisa dipergunakan
sebagai salah satu penunjang pelaksanaan upacara agama seperti misalnya mengiringi tari
sakral, maupun jenis tarian wali dan balih-balihan. Karena gong kebyar memiliki multi fungsi
maka gong kebyar menjadi sumber inspirasi karya baru. Dengan demikian Gong Kebyar
telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya
adalah lewat Gong Kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-gending
baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada. Sedangkan sebagai pelanjut tradisi Gong Kebyar
telah mampu mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan
adaptasi. Misalnya dalam gending gong kebyar kita mengenai istilah gegambelan, gender
wayang dan gong luang. Juga disebutkan dengan menggunakan iringan gamelan gong
kebyar, dalam sejarah drama klasik di Bali, maka drama tersebut berganti nama menjadi
drama gong.dan sejak itulah banyak muncul sekaa-sekaa drama gong baru lainnya.
Di Bali sendiri terdapat kurang lebih 26 jenis gamelan yang masing-masing memiliki
kelengkapan bebarungan dengan fungsi yang berbeda dan jumlahnya semakin bertambah,
salah satu diantaranya yaitu Gong Kebyar. Gong Kebyar belakangan ini masih terus menjadi
suatu karya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, perorangan maupun kelompok. Sebagai
suatu bentuk kesenian yang usianya relatif muda, gong kebyar berkembang sangat pesat dan
merupakan suatu jenis karawitan Bali yang paling populer bahkan sampai keluar dari daerah
Bali. Di Bali sendiri hampir setiap desa memiliki gamelan gong kebyar, dan gong kebyar
telah banyak mempengaruhi jenis-jenis kesenian Bali yang lain, tidak hanya dalam bentuk
seni karawitan namun juga dalam bentuk seni tari yang dibawakan dalam bentuk sendratari.
Gong Kebyar adalah barungan gamelan Bali sebagai perkembangan terakhir dari Gong
Gede, memakai laras pelog lima nada yang awal mulanya tidak mempergunakan instrumen
terompong. Selanjutnya Gong Kebyar dapat diartikan suatu barungan gamelan gong yang
didalam permainannya sangat mengutamakan kekompakan suara, dinamika, melodi dan
tempo. Ketrampilan mengolah melodi dengan berbagai variasi permainan dinamika yang
dinamis dan permainan tempo yang diatur sedemikian rupa serta didukung oleh teknik
permainan yang cukup tinggi sehingga dapat membedakan style Gong Kebyar yang satu
dengan yang lainnya.
Untuk mengungkapkan asal mula Gong Kebyar memang merupakan suatu tugas yang
tidak begitu mudah. Sebelum munculnya Gong Kebyar di Bali, jenis-jenis gamelan yang
telah ada hanyalah sebagian besar berupa gamelan gong gede, gong luwang, gong beri,
gamelan pelegongan dan lain-lainnya. Keadaan ini berlangsung sampai terjadinya perang
Puputan Badung tahun 1906. Bapak I Nyoman Rembang seorang tokoh Gong Kebyar asal
Sesetan Denpasar mengatakan bahwa lagu-lagu kebyar pertama-tama diciptakan oleh I Gusti
Nyoman Panji di Desa Bungkulan pada tahun 1914. Kemudian menyebar ke desa-desa
lainnya di Bali utara dan lagu-lagu ini dicoba untuk ditarikan oleh Ngakan Kuta yang
berdomisili di Desa Bungkulan.
Berdasarkan uraian diatas bahwa dapat disimpulkan pada tahun 1914 Gong Kebyar yang
muncul penuh dengan pembaharuan namun tetap berpegang pada tradisi yang ada yaitu
seperti gong gede. Beberapa pendapat seniman gong kebyar mengatakan bahwa Gong Kebyar
merupakan perkembangan dari gong gede yang banyak dipengaruhi oleh pelegongan yakni
dengan masuknya unsur “otek-otekan” dalam Gong Kebyar.
Jenis-jenis instrumen yang digunakan pada gamelan Gong Kebyar antara lain :
Kendang
Terompong
Ugal
Gangsa
Kantil
Kajar
Ceng-ceng
Calung
Jegogan
Gong
Bentuk kebyar merupakan salah satu bagian dari satu kesatuan gending yang letaknya
bisa di depan, di tengah atau di bagian akhir. Jenis tabuhan kebyar ini sering digunakan pada
iringan tarian maupun tabuh petegak (instrumental). Karena itu kebyar memiliki nuansa yang
sangat dinamis, keras dengan satu harapan bahwa dengan kebyar tersebut mampu
membangkitkan semangat.
5. Bhuta Yadnya
5.1 Balaganjur
Baleganjur salah satu jenis aliran gambelan di Bali. Baleganjur biasanya diterapkan
pada upacara keagamaan dan adat agama hindu di Bali. Baleganjur memiliki ciri khas pada
penggunaan "ceng-ceng", Istilah Baleganjur berasal dari kata Bala dan Ganjur. Bala berarti
pasukan atau barisan,Ganjur berarti berjalan.Jadi Balaganjur yang kemudian menjadi
Baleganjur yaitu suatu pasukan atau barisan yang sedang berjalan,yang kini pengertiannya
lebih berhubungan dengan sebuah barungan gamelan.
5.1.1 Sejarah Baleganjur
5.1.3 Pengelompokan
Baleganjur dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 2 jenis gending (alunan lagu) sesuai
dengan fungsinya secara umum.
A. Baleganjur Upacara
Merupakan baleganjur yang digunakan dalam upacara adat agama hindu. Baleganjur ini
memiliki gending dan tempo yang cenderung datar, karena bersifat "nuntun yadnya" sebagai
pelengkap dari suatu yadnya.
B. Baleganjur kreasi
Merupakan baleganjur yang digunakan untuk menghibur atau "balih-balihan" yang biasa
sebagai ajang menunjukan kemampuan dan tehnik tinggi dari penabuh (pemusik).
Gendingnya pun lebih rumit dan memiliki tehnik tinggi.
6. Gender Wayang
Gender wayang ini juga dipakai untuk mengiringi upacara Manusa Yadnya (potong
gigi) dan upacara Pitra Yadnya (ngaben). Untuk kedua upacaranya ini, dan untuk mengiringi
pertunjukan wayang lemah (tanpa kelir), hanya sepasang gender yang dipergunakan.
Untuk upacara ngaben 2 gender dipasang di kedua sisi bade (pengusung mayat) dan
dimainkan sepanjang jalan menuju kuburan. Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit
Ramayana, wayang wong Ramayana maupun Mahabharata (Parwa), 2 pasang gender ini
dilengkapi dengan sepasang kendang kecil, sepasang cengceng kecil, sebuah kajar, klenang
dan instrumen-instrumen lainnya, sehingga melahirkan sebuah barungan yang disebut
gamelan Batel Gender Wayang.
Pertunjukan wayang kulit yang lengkap biasanya memakai sejumlah tabuh yang berdasarkan
fungsinya.
Gender wayang adalah merupakan sebuah tungguhan berbilah dengan terampa yang
terbuat dari kayu, sebagai alas dari resonator berbentuk silinder dari bahan bambu atau yang
lebih dikenal dengan sebutan bumbung sebagai tempat menggantung bilah. Bentuk
tungguhan dari segi bilah gamelan Gender Wayang di sebutkan berbentuk bulig yaitu bilah
yang terbuat dari perunggu atau bilah kalor adalah bilah yang permukannya menggunakan
garis linggir (kalor) dan dalam buku ini juga disebutkan bilah ini biasa digunakan pada jenis-
jenis tungguhan gangsa seperti halnya gamelan Gender Wayang. Bilah bulig adalah bentuk
bilah yang digunakan di gamelan Gender Wayang secara umum di Bali. (“Ensiklopedi
Karawitan Bali” karya Pande Made Sukerta). Kemudian terampa ataupun pelawah dari
gamelan Gender Wayang di Bali memiliki model atau bentuk yang sama, yaitu 2 (dua) buah
adeg-adeg yang terbuat dari kayu berfungsi sebagai penyangga gantungan bilah dan tempat
resonator atau bumbung. Meskipun secara umum model dan bentuknya sama, faktanya dari
setiap daerah memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing sesuai dengan budaya seni
dan kreativitas seniman di daerah setempat. Hal ini terletak pada ornamentasi yang berarti
hiasan atau pepayasan. Unsur arsitektur yang merupakan induk dari ornamentasi dan
pepayasan juga hadir sebagai bagian dari alat musik, yang berkaitan dengan bidang tertentu.
Khususnya dalam gamelan Gender Wayang terlatak pada bidang terampa atau tungguhan.
Setiap daerah di Bali memiliki sebuah persepsi yang tidak sama, walaupun berakar dari satu
konsep style atau model lagu (gending) di masyarakat Bali.
Gender wayang adalah barungan alit yang merupakan gamelan Pewayangan (Wayang
kulit dan wayang wong) dengan instrumen pokoknya yang terdiri dari 4 tungguh gender
berlaras slendro (lima nada). Keempat gender ini terdiri dari sepasang gender pemade (nada
agak besar) dan sepasang gender kantilan (nada agak kecil). Keempat gender, masing-
masing berbilah sepuluh bilah yang dimainkan dengan mempergunakan 2 panggul,
Gambelan ini merupakan gambelan yang tergolong dalam gambelan golongan tua. Nada yang
di gunakan adalah nada(patet) selendro .dan nada nya berawal dari nada berbilah besar
bernada rendah ndang atau ndong dan berakhi di bilah nada yang kecil danbernada tinggi
yaitu nada nding atau ndung,tergantung pemain yang memainkan.
Gender Wayang tidak hanya dikenal berfungsi sebagai alat pengiring pertunjukan wayang
juga sebagai alat musik instrumental. Peranannya sebagai music instrumental dalam hal ini,
disamping untuk iringan upacara metatah (potong gigi), upacara ngaben, RsiYadnya dan lain
sebagainya, jugauntukmengiringipembacaankekawindankidung,misalnya :
mantramTrisandya yang dapatkitadengarsaatpagi, siangdan sore diradiomaupunditelevisi,
disana gender wayangsebagaipengiringdanmampumemberikansuasana
ritual.Namalagusebagaipengiringnyaadalah ”Sekar Sumsang” gayaKayumas.Gender
Wayangsudahmulaidigemariolehanak-anak, terbuktidenganbanyaknyaanak-anakyang
berminat les/kursusmenabuh Gender Wayangterutamaanak-anaktingkat SD, SMP,SMA,
bahkananak-anaksetingkat TK
punsudahdiarahkanperhatianmerekabelajardanmengenalgending-gending gender wayang.
Inimenjadisuatukebanggaanbagikitaterhadapgenerasimuda yang sudahmaubelajarmusik-
musiktradisi Bali. Hal inijugasangatmenggembirakankarenamenempatkaninstrumenGender
Wayangsejajardenganminatpadaalatmusiklainmisalnyagitar, piano dan drum. Peranan orang
tuajugasangatbesardalammengarahkandanmendukungminatputradanputrinyapadakegiatan
yang positif.Padasaatini,
banyakterjadisalahpergaulanpadagenerasimudakita.Merekatidakmenyadaripotensidalamdirin
ya, namunmencariidentitasdiripadapergaulan yang salah.Disinilahperan orang
tuauntukmengarahkandanmemberiperhatianapasebenarnya yang dibutuhkanputra-
putrimereka. Salah
satualternativeuntukmengisiwaktuluangmerekaadalahmengikutikursusprivat gender
wayang.Instansipendidikansangatmenekankanpadakesadaranakannilai-
nilaitradisionalpadaanakdidiknyaterutamapadaalatmusik gamelan.
Untukmenampungdansebagaiajangkompetisi,
makadiselenggarakanberbagailombabaikantarsekolahatapunumum.Lomba-lomba yang
seringdiselenggarakan.Banyaksekolah yang menekankan
prosespenyaringansiswabarupadaanak-anak yang memilikiprestasi di bidang Seni.Dari uraian
di atas, terlihatbahwafungsidanperanan Gender Wayangsebagaisalahsatualatmusik Bali,
dapatmengikutiperkembanganzamansehinggatetapeksis, disampingfungsidanperananlamanya
yang tidakbolehditinggalkan. Usaha pelestarian gender
wayangjugamemberidampakpositifterutamapadapengusaha gamelan
karenasemakinbanyakperanangamelan gender wayangbaiklokalmaupunmancanegara. Murid-
muridkursusprivat genderwayang, seringmenginginkanmemilikiseperangkat Gender
Wayanguntukdirumahnya.Darisegiekonomi, harga gender
wayangtidaklahterlalutinggidibandinginstrumenlain, sehinggadapatdijangkauolehpribadi.
Menurut Parmajaya ( 2007:4 ) ditanyakan bahwa seni suara dalam ungkapan seni vokal
biasanya disebut dengan istilah Dharmagita. Dharma gita merupakan merupakan salah satu
budaya Hindu yang harus dikembangkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama.
Melalui pengucapan Weda Mantra oleh para pendeta Hindu, dan Gita dinyanyikan pada
setiap pelaksanaan Upacara Keagamaan.
Menurut Warjana ( 2001:16 ) pengucapan Gita yang tepat akan dapat menggetarkan hati
nurani yang paling suci. Budhi nurani yang paling suci akan dapat menguasai pikiran atau
manah. Manah yang kuat pasti akan dapat mengendalikan indria, serta indria yang terkendali
akan dapat mengarahkan perbuatan manusia untuk selalu berpegang pada ajaran dharma atau
kebenaran. Dharma Gita sebagai nyanyian ketuhanan, karena irama lagu dan variasinya akan
dapat membantu umat Hindu dalam menciptakan suasana yang khusuk, hening, dan khidmat,
yang dipancari sinar kesucian sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan.
Dharmagita berasal dari bahasa Sansakerta dan terdiri dari dua kata yakni Dharma dan
Gita.Dharma artinya kebenaran/kebaikan, kewajiban, hukum, aturan.Sedangkan Gita artinya
nyanyian/lagu.Jadi, Dharma Gita berarti suatu nyanyian kebenaran yang biasa dilantunkan
saat upacara keagamaan. Dharma Gita juga diartikan sebagai suatu seni keagamaan yang
menggunakan media suara atau vocal dalam agama Hindu. Di dalamnya terdapat syair-syair
yang sudah di ringkas sedemikia rupa dan penuh dengan ajaran keagamaan, kemudian
dilantunkan dengan suara yang amat mempesona.Pelaksanaan Dharma Gita dilaksanakan
pada upacara yadnya yang lagunya telah disesuaikan dengan masing-masing yadnya yang
dipersembahkan.
Dharmagita merupakan salah satu media kesenian yang sangat menunjang dalam pemahaman
ajaran agama dan meningkatkan kesadaran rohani. Hendaknya pembinaan kehidupan
keagamaan di Indonesia dilakukan dengan mengembangkan serta memanfaatkan kesenian di
masing – masing daerah, agar masyarakat lebih semarak dalam memahami agamanya.
Mengenai sejarah tembang Bali masih sulit untuk ditafsirkan.Hal ini disebabkan oleh
kebiasaan lisan (oral tradisional), suatu secara belajar dari mulut ke mulut.Pada saat ini masih
ada tembang yang dinotasi didalam lontar, tetapi belum cukup untuk mengungkapkan kapan
tembang itu lahir di Bali.Dalam perkembanganya di Bali, sastra tembang disebut juga
Dharmagita.Dharmagita berasal dari bahasa Sansakerta dan terdiri dari dua kata yakni
Dharma dan Gita.Dharma artinya kebenaran/kebaikan, kewajiban, hukum, aturan.Sedangkan
Gita artinya nyanyian/lagu.Jadi Dharmagita adalah nyanyian atau kidung suci keagamaan
yang merupakan salah satu bagian dari sad dharma sebagai kewajiban dalam pelestarian seni
budaya Hindu. Dharma Gita juga diartikan sebagai suatu seni keagamaan yang menggunakan
media suara atau vocal dalam agama Hindu. Di dalamnya terdapat syair-syair yang sudah di
ringkas sedemikia rupa dan penuh dengan ajaran keagamaan, kemudian dilantunkan dengan
suara yang amat mempesona.Dharmagita sangat berperan dalam kegiatan upacara agama
sebagai pencurahan perasaan bakti dan pembimbing pikiran menuju suatu kebenaran.Hal ini
dikarenakan Dharmagita mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, dan pelukisan
kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasiNya.
Dharma Gita merupakan bagian dari Panca Gita yang dibunyikan pada saat pelaksanaan
yajna. Panca Gita adalah lima jenis suara atau bunyi yang mengiringi atau menunjang
pelaksanaan yajna. Panca gita terdiri dari:
1. Getaran Mantram
2. Suara Genta
3. Suara Kidung
4. Suara Gamelan
5. Kentongan (Kulkul).
Kelima suara panca gita memberikan vibrasi keheninga, kesucian spiritual serta
menumbuhkan imajinasi, kreativitas serta sebagai maha karya adi luhur.
2. Manfaat Dharmagita
Artinya;
Artinya;
Burung menyanyi dalam nada-nada seperti seorang pelafal Sama Weda, yang
mengindungkan mantra dalam irama Gayatri dan Tristubh.
Bagian-bagian Dharmagita
1. Sekar Rare
Seiring dengan perjalanan waktu, Lagu Bali terus berkembang dengan grafik yang
sangat tidak stabil karena terpengaruh oleh situasi negara yang tidak menentu yang sangat
menyulitkan para seniman lagu Bali untuk membuat sebuah karya. Pada dasarnya, Bali tidak
hanya kaya akan aneka ragam tarian atau upacara-upacara adatnya yang begitu kompleks.
Namun juga kaya akan lagu-lagu atau tembang tradisonalnya yang kelak akan tergerus
zaman. Untuk itulah disini kita memiliki peran untuk melestarikannya.Berbagai jenis
tembang yang dimiliki oleh Bali mempunyai struktur serta fungsi yang berbeda-
beda.Masyarakat Bali membedakan seni tembang ini menjadi empat kelompok, yakni
gegendingan, sekar alit, sekar madya, dan sekar agung. Pada kesempatan ini, saya akan
membahas salah satu dari empat kelompok ini yaitu gegendingan.
Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang
bernuansa permainan.Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana,
bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain
dan bergembira.
Adapun contoh Gending yang termasuk Sekar Rare yaitu:
Be gede gede
Be gede gede
1.2 Meong-meong
2. Sekar Alit
Sekar alit juga disebut macapat. Macapat dalam bahasa Jawa berarti suatu sistem
untuk membaca syair tembang atas empat-empat suku kata.Di Bali tembang macapat sering
disebut dengan pupuh yang berarti rangkaian tembang (Budiyasa dan Purnawan, 1998: 8).
Pupuh di Bali dikenal sepuluh buah sebagai macapat asli, seperti Pupuh Sinom, Pupuh
Semarandana, Pupuh Pangkur, Pupuh Pucung, Pupuh Ginada, Pupuh Ginanti, Pupuh
Durma, Pupuh Maskumambang, Pupuh Dandanggula, dan Pupuh Mijil.Pupuh yang
dirangkai dalam sebuah cerita disebut geguritan. Akan tetapi, selanjutnya muncul beberapa
pupuh baru yang berasal dari kidung, seperti Jurudemung (Demung), Gambuh, Magatruh,
Tikus Kapanting, dan Adri. Belakangan muncul beberapa geguritan yang memiliki beberapa
tema, yaitu Geguritan Tamtam, Geguritan Basur, Geguritan Ni Sumala, Geguritan Pakang
Raras, Geguritan Durma, Geguritan Sucita, dan sebagainya.
Pupuh juga memiliki beberapa variasi yang beranekaragam, sesuai dengan alur cerita
dalam geguritan, misalnya pupuh Sinom memiliki beberapa variasi yaitu pupuh Sinom Uug
Payangan (ditembangkan dalam Geguritan Uug Payangan); pupuh Ginada memiliki variasi
pupuh Ginada Basur (ditembangkan dalam Geguritan Basur); pupuh Ginada Jayaprana
(ditembangkan dalam Geguritan Jayaprana); dan beberapa variasi pupuh yang lain. Selain
itu, pupuh sebagai rangkaian tembang memiliki karakter yang berbeda-beda. Karakter
pupuhtersebut akan tampak ketika dilantunkan dengan ekspresi, berupa rasa romantis, sedih,
senang, berwibawa, dan sebagainya.
Dalam menyajikan tembang macapat atau pupuh pada dasarnya dapat ditempuh dengan dua
cara yakni sebagai berikut:
1. Sistem paca priring, yaitu sistem membaca atau menyajikan nada-nada pokok
tembang satu demi satu bagi orang yang baru mulai belajar menembang.
2. Sistem ngwilet atau gregel, yaitu sistem dalam menyanyikan tembang sudah memakai
hiasan atau variasi cengkok, anak nada, dan pemakaian tempo lebih panjang. Cara ini
dapat melahirkan gaya tiap penyanyi, namun masih tetap pada tema lagu atau
tembang.
Berikut adalah contoh pupuh atau tembang macepat yang menceritakan tentang kisah “Kebo
iwa” yang dituangkan dalam bentuk tembang macepat atau pupuh:
Tembang:
Artos:
Tembang:
Aji ibu 4u
Artos:
Tembang:
1. Kebo Iwa, 4a
2. Sampun truna sane mangkin 8i
3. Jagat terak sayah 6a
4. Ngrereh ajeng meweh gati 8i
5. Ibu aji nandang lara 8a
Artos:
Tembang:
Artos:
Tembang:
1. Maha Prabu 4u
2. Mawecana Raris 7i
3. Nira liwat angob 6o
4. Ngaksi kawagedan pamane 9e
5. Jani paman anggon nira patih 10i
6. Ngabih linggih mami 6i
7. Bali apang kukuh 6u
Artos:
Tembang:
Artos:
1. Ngawit punika raris dane Kebo Iwa ngabih linggih Ida Sang Prabu Bedahulu
2. Dane kicen linggih maka patih agung, masanding ring pepatih ida sane tiosan
3. Dane Kebo Iwa ngabih linggih sang prabu maka patih, satia bakti ring ida sang prabu
4. Punika mawinan raris jagat Bali sayan kerta tur trepti
5. Tur ngawit punika jagat Bali kaloktah raris ring buana sami
6. Ajeg kukuh wiakti
7. Jagate ring Bali ngawit punika tur keajeganne nenten wenten nyaman pada.
Tembang:
Artos:
1. Sane mangkin kacarita pidabdab dane Maha Patih Gjah Mada selanturnyane
2. Raris dane patih Gajah Mada ngeka naya sane pingit gati
3. Carita sane mangkin dane Patih Gajah Mada sampun rauh ngraka ka Bali
4. Ring Bali raris dane tangkil ring Ida Prabu Bedahulu
5. “Ratu Sang Prabu, mangkin titiang ngaturang pikarsan gusti titiang Ida Prabu Hyam
Wuruk
6. Ida Sang Prabu Hayam Wuruk meled pisan ngiket kanti sareng palungguh Ratu
Tembang:
1. Santukan sampun dalem semere, raris Ki Gajah Mada nitah panjake sami
2. “ Ih, panjak gelah mekejang, ane jani lautang urug semere”
3. Panjake ngiring titah, raris ngambil batu sane ageng-ageng
4. Batune punika raris kasabatang ring semere
5. Raris Ki Kebo Iwa kaurug antuk batu ageng-ageng akeh gati
6. Sakewanten Ki Kebo Iwa anggan dane akas gati
7. Punika mawinan akedik anggan dane nenten kaset keni batu
Tembang:
Artos:
Tembang:
1. Yadiastun 4u
2. Bali suba kalah numgkul 8u
3. Jiwan Bali Duipa 6u
4. Tusing sida gisi beli 8i
5. Nglimbak terus 4u
6. Maka jiwan nusantara 8a
Artos:
3. Sekar Madya
Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam
prosesi upacara, baik upacara adat maupun agama.Kelompok tembang yang tergolong sekar
madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang
dipergunakan di dalam lontar/cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu
maupun Padalingsa (seperti pada Sekar Alit atau pupuh). Di dalamnya adalah pembagian-
pembagian pada tubuh tembang tersebut, diantaranya :
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno (Kawi), dengan tulisan huruf Bali.
Tulisan ini bukan tulisan Bali biasa tetapi sudah di modifikasi untuk keperluan menetapkan
irama dan tekanan (stressing), terutama pada kakawin: apada, wrtta matra, guru laghu, gana
matra, canda karana, guru bhasa, guru lambuk dan purwa kanti.
Para penyanyi sebaiknya tidak menggunakan sound system yang keras, karena kidung
dilakukan bersama dengan suara yang sayup-sayup mengiringi puja-mantra, dari pemimpin
upacara. Jangan sampai suara kidung demikian keras, sehingga suara gentha Sulinggih tidak
terdengar. Mestinya para pelantun kidung berada dekat dengan Sulinggih sehingga
mengetahui apa yang sedang dilakukan Sulinggih, lalu memilih kidung apa yang tepat.
Jangan sampai Sulinggihnya muput caru, lalu kidungnya wargasari.
Artinya :
Purwaka (pada permulaan) Ning (nya), Angripta (menggugah) Rum (keindahan). Ning
(di)Wana (hutan) Ukir (pegunungan), Kahadang (ketika) Labuh kartika (awal musim hujan
sasih kapat) Panedenging Sari (sedang rimbunnya berbunga) Angayon (pohon) Tangguli
Ketur (nama sejenis akasia yang bunganya berwarna lembayung)Angringring (berbentuk
tirai) Jangga (bunga gadung-pun) Mure (sedang mekar).
pratingkahing saji
Bisa dilihat, Kidung Wargasari ini adalah kidung pemujaan di mana para pemujanya tengah
menghaturkan persembahan seperti pejati, daksina, canang… dengan harapan agar para
Bhatara menerima persembahan mereka.
Tibeng parangan.
3.4 Kidung Tantri (untuk upacara Manusa Yadnya )
Iring-iring silak-siluk,
Awanikang munggah,
Mihate di dukuh rame,
Ingambel-ambelan watu,
Parijata mangreronce,
Angraras tinon.
Bagian I:
Bagian II:
Bagian III:
Bagian IV:
Pangideran panguripan
Akutus panguripnya
Bagian V:
4. Sekar Agung
Sekar Agung juga disebut dengan kekawin, selain itu dinamakan pula wirama.Lagu
pujian jenis ini merupakan lagu keagamaan yang dinyayikan dengan memakai guru
lagu.Dalam melagukan kekawin ini biasanya mengikuti aturan tertentu yaitu “Mantra” atau
“Mentrum”.Aturan mantra yang dimaksud adalah guru lagunya.Yang dimaksud guru lagu
adalah adanya suara berat dan panjang atau ringan dan lambat dalam tembang kekawin.
Selain itu ada pula aturan kekawin yaitu “Wreta”yaitu adanya suku kata kecap yang
membentuk empat baris atau tiga baris menjadi satu bait atau “ada” dalam kekawin.
Adapun lagu-lagu pujaan yang tergolong Sekar Agung antara lain adalah:
Contoh:
Sang da – ca ra – than na – ma ta – mo – li
Artinya :
5. Sloka
Sloka adalah mantra yang digubah dalam bentuk syair-syair yang setiap satu bait
sloka terdiri dari empat baris. Adapun maksu digubahnya mantra-mantra itu dalam bentuk
sloka / syair adalah untu mempermudah mengingat dan memahami isinya.
Contoh Sloka 1:
Artinya :
Contoh Sloka 2:
Sa paryagac chukram akayam
Chawatibhyah samabhyah
Artinya :
Contoh Sloka 3:
Sarasamuscaya 61.
Hana pwa mangke kramanya, ratu wedi-wedi, brahmana sarwabhaksa, waica nirutsaha ring
krayawikrayadi karma, sudra alemen sewaka ring sang triwarna, pandita dussila, sujanma
anasar ring maryadanya, brahmana tan satya, stri dustra dussila
Artinya adalah Jika hal yang demikian keadaannya ; raja yang pengecut, brahmana yang
doyan makanan, waisya yang tidak ada kegiatan dalam pekerjaan berniaga, berjual beli dan
sebagainya, sudra enggan, tidak suka mengabdi pada tri warna, pandita yang bertabiat jahat,
orang yang berkelahiran utama nyeleweng dari hidup sopan santun, brahmana yang curang
dan wanita yang bertabiat nakal dan berlaku jahat.
6. Palawakya
Palawakya biasanya berbentuk prosa berbahasa Jawa Kuno dan sering diselingi
Bahasa sansekerta. Teknis pembacaan Palawakya biasanya pengambilan suara sama dengan
kekawin. Kekawin juga memperhatikan guru lagu, namun tidak sama dengan lagu ( dalam
pengertian metrum ) kekawin. Guru pada Palawakya lebih mengacu pada intonasi bacaan.
Intonasi bacaan dimaksudkan adalah oemenggalan bacaan sehingga teks yang dibaca mudah
ditangkap maknanya.
Contoh Palawakya :
Artinya :
Segala apa yang menyebabkan tidak akan jatuh lagi itu hendaknya supaya dipegang
7.Girisa
WAWU SEDA
(Sronca=Guru-Lagu tan Manggeh)
NANGININ LAYON
Girisa = 000/000/---/--0/000/0 = 16
NYIRAMANG LAYON
Sronca=Guru-Lagu tan manggeh
Girisa = 000/000/---/--0/000/0 = 16
1.Bala ugu dina melah
manuju tanggal sasih,
Pan Brayut panamaya
asisig adyus akramas,
Sinalinan wastra petak
mamusti madayang batis,
Sampun puput maprayoga
Tan aswe ngemasin mati.
4.Buku-buku panyolasan
Pagemelane salaka
Kawangene panyelawean,
Gegalenge satak seket
Sampun puput pabersihan
Winiletang dening kasa
Tikeh halus wijil jawa
Lante maulat penyalin.
1. PURA DALAM
2. BALE AGUNG
3. PURA MARJAPATI
4. PURA SUBAK
5. PURA DESA LAN PUSEH
6. PURA KAWITAN
7. PURA DEWAHYANG
8. MERAJAN
9. PURA MELANTING