Anda di halaman 1dari 29

Anatomi Appendix

Appendix vermicularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang


lebih 6 – 10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen
yang sempit pada bagian proximal dan melebar pada bagian distal, kapasitas appendix
sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan
bagian integral dari GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissue). Lokasi appendix
terbanyak berasal dari bagian posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction.
Appendix sendiri memiliki mesenterium yang mengelilinginya, yang disebut
mesoappendix, yang berasal dari bagian posterior mesenterium yang mengelilingi ileum
terminalis. Posisi terbanyak dari appendix sendiri adalah retrocaecal, namun demikian
ada variasi dari lokasi appendix ini.
65% dari posisi appendix terletak intraperitoneal sementara sisanya
retroperitoneal. Di sini variasi posisi appendix menentukan gejala yang akan muncul
saat terjadi peradangan. Beberapa variasi posisi appendix terhadap caecum adalah
sebagai berikut :
1. Retrocaecal (65%) 4. Preileal
2. Pelvinal 5. Postileal
3. Antecaecal

Gambar 1. Variasi Posisi Appendix

1
Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi appendix dapat ditemukan
dengan menelusuri ketiga taenia yang terdapat pada caecum (dan colon), yaitu taenia
colica, taenia libera, dan taenia omental.
Vaskularisasi appendix berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari
arteri mesenterika superior. Cabang arteri ileokolika ini disebut arteri appendicularis,
dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena
mesenterika superior. A. appendicularis ini tidak memiliki kolateral sehingga ketika
terjadi oklusi apapun penyebabnya, maka mudah terjadi iskemia dan gangren, hingga
akhirnya perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti
a. mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar
umbilicus.

Fisiologi Appendix

Appendix menghasilkan lendir / mucus setiap harinya sejumlah 1 – 2 cc per hari,


di mana kelebihan dari mucus akan mengalir dari lumen ke caecum. Adanya obstruksi
pada jalur inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan pada appendix.
Salah satu hal lain yang dilakukan appendix adalah menghasilkan
Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendix, yaitu IgA.
Immunoglobulin berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan
limfoid disini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di
seluruh tubuh, sehingga hilangnya appendix tidak menimbulkan perubahan yang
bermakna.

Etiologi Appendicitis

Penyebab appendicitis yang terutama adalah infeksi bakteri yang didahului


dengan obstruksi pada lumen appendix. Obstruksi ini menyebabkan stasis cairan dan
distensi dari appendix sehingga menyebabkan pendarahan terganggu akibat vena dan
arteri tertekan oleh distensi dan edema yang terjadi. Akibatnya terjadi stasis mucus dan
penurunan suplai darah appendix yang memudahkan terjadinya infeksi sekunder oleh
2
bakteri yang kemudian menyebabkan terjadinya peradangan appendix. Penyebab
obstruksi lumen appendix antara lain adalah :
 Fecalith
 Parasit
 Benda – benda asing
 Hiperplasia jaringan limfoid
Insidensi terjadinya appendicitis yang berhubungan dengan hyperplasia
jaringan limfoid biasanya disebabkan oleh reaksi limfatik baik lokal atau
general, misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat
invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus
enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus.
 Tumor / Carcinoid tumor
Adalah neoplasma yang sering ditemui pada usus halus dan appendix,
bila carcinoid tumor ini mengobstruksi lumen appendix maka dapat terjadi
appendicitis juga.
Obstruksi dari hal – hal ini menyebabkan terjadinya stasis dan penimbunan
mukus pada lumen appendix yang kemudian menyebabkan gejala – gejala, di mana
biasanya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, bakteri yang sering dapat ditemukan
antara lain adalah :

Tabel 1. Bakteri yang diisolasi / sering ditemui pada appendicitis


Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros
 Pseudomonas aeruginosa  Bilophila species
 Enterococcus  Lactobacillus species

Jadi etiologi terbanyak dari appendicitis adalah obstruksi, namun bukan tidak
mungkin terjadi proses inflamasi yang tidak melibatkan obstruksi lumen terlebih dahulu,
hal in dapat terjadi jika memang ada penyebaran infeksi langsung ke appendix misalnya,
baik virus maupun bakteri.

Patofisiologi & Patogenesis Appendicitis

3
Pada dasarnya, obstruksi yang terjadi pada lumen appendix (apapun
penyebabnya) akan menyebabkan terjadinya distensi appendix, hal ini karena kapasitas
appendix untuk menampung mucus hanya sekitar 0.1 – 0.2 ml, sementara sekresi mucus
perharinya mencapai 1 – 2 ml. Hal ini menyebabkan distensi lumen yang diikuti dengan
penekanan pada drainase limfe dan akhirnya terjadi stasis cairan pada appendix,
biasanya akan terbentuk edema juga. Hal ini yang disebut sebagai appendicitis akut
fokal, di sini distensi dari appendix menyebabkan adanya respon nyeri visceral yang
tidak spesifik, sehingga biasanya gejala yang dialami pasien adalah nyeri epigastrium
yang sulit untuk dideskripsikan dan dilokalisasi.
Distensi yang terus terjadi akan menyebabkan tekanan intra-lumen terus
meningkat, hal ini akan diikuti dengan penekanan terhadap sistem vena appendicular
sehingga drainase vena terganggu, akibatnya terjadi translokasi dan proliferasi bakteri
pada appendix, edema yang sudah terbentuk juga mempermudah terjadinya proses
infeksi, akibatnya terjadilah infeksi dan inflamasi pada appendix, inflamasi pada
appendix ini akan menyebabkan gejala nyeri perut pada kuadran kanan bawah saat
inflamasinya meluas dan mengenai peritoneum setempat. Tahap ini disebut sebagai
appendicitis akut supuratif.
Ketika obstruksi lumen terus berlanjut, maka tekanan intra lumen juga akan terus
meningkat, hal ini menyebabkan tidak hanya obstruksi vena yang terjadi akibat
penekanan, namun juga menyebabkan obstruksi arteri appendicular karena edema dan
tekana intra lumen yang terus meningkat mendesak dan menekan sistem arteri. Karena
sistem arteri yang mendarahi appendix tidak memiliki sistem kolateral, maka akan
terjadi iskemia jaringan, yang bila berlanjut akan menyebabkan terjadinya nekrosis
jaringan dan gangren, hal ini dikenal sebagai appendicitis gangrenous, di mana
appendix yang sudah dalam keadaan seperti ini sangat mudah mengalami perforasi yang
dapat menyebabkan perluasan infeksi ke peritoneum (akibatnya terjadilah peritonitis).
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup appendix dengan omentum, dan usus
halus, sehingga terbentuk massa periappendikuler yang dikenal dengan istilah
appendicitis infiltrat. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang
dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan
sembuh dan massa periappendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat. Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek,

4
appendix yang lebih panjang, dan dinding appendix yang lebih tipis, serta daya tahan
tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,
perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.

Gambar 2. Angka Perforasi Appendicitis berdasarkan Usia

Appendix yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh dengan


sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan
kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. Keadaan di mana appendix telah
mengalami fibrosis dan pembentukan jaringan parut ini disebut sebagai appendicitis
kronis, di mana biasanya hal ini ditandai dengan nyeri kanan bawah yang hilang timbul,
dan riwayat nyeri pertama kali yang tidak ditangani dengan terapi bedah, di mana
nyerinya kemudian berkurang dan menjadi hilang timbul. Pada pemeriksaan USG juga
akan nampak appendix yang mengalami penebalan dan fibrosis.

5
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Appendicitis

Gejala & Manifestasi Klinis Appendicitis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik appendicitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium, di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual dan muntah, dan pada umumnya nafsu
makan menurun / anorexia. Kemudian dalam beberapa jam (4 – 6 jam), nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik McBurney (Migratory pain). Di titik ini nyeri
terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Terkadang appendicitis juga disertai dengan low-grade fever sekitar 37,5 -38,5 0C.
Biasanya urutan gejala juga berpengaruh, di mana pada 95% kasus urutannya adalah

6
sebagai berikut : Anorexia ==> Abd. pain ==> Vomiting / muntah, walaupun
demikian urutan gejala ini bukanlah patokan untuk penegakan diagnosa.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari appendicitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak appendix ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak appendix retrocaecal – retroperitoneal, yaitu di belakang caecum
(terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau
nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam,
batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor
yang menegang dari dorsal.
2. Bila appendix terletak di rongga pelvis :
 Bila appendix terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
 Bila appendix terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala appendicitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya appendicitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala appendicitis tidak jelas dan tidak khas :
 Anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-
muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering
appendicitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % appendicitis baru
diketahui setelah terjadi perforasi.
 Orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
 Wanita
Gejala appendicitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya
serupa dengan appendicitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi),
7
radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia
kehamilan trimester, gejala appendicitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan
pada kehamilan lanjut, sekum dan appendix terdorong ke kraniolateral, sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

Gambar 4. Perubahan Posisi Appendix pada Wanita Hamil

Tabel 2. Gejala Appendicitis Akut

Frekuensi
Gejala Appendicitis Akut
(%)
Nyeri perut 100
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah
kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu 50
tinggi)
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

Penegakan Diagnosa Appendicitis

8
 Anamnesis
Urutan kejadian gejala mempunyai kemaknaan diagnosis banding
yang besar, lebih dari 95% apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala
pertama, diikuti oleh nyeri abdominal dan baru diikuti oleh vomitus.

a) Nyeri/Sakit perut
Keluhan utama pada pasien apendistis akut ialah nyeri
perut. Gambaran klinisnya yang umum ialah nyeri perut dibagian
tengah yang seiring waktu berpindah ke daerah fosa iliaka kanan.
Gambaran klasik ini pertama kali dideskripsikan oleh Murphy
namun hanya terjadi pada setengah kasus apendistis akut. 4
Khasnya, nyeri awalnya muncul disekitar umbilikus dan semakin
lama semakin meningkat intensitasnya selama 24 jam pertama.
Nyeri kemudian berpindah dan menetap di fosa iliaka kanan.
Nyeri yang pertama kali dirasakan pasien merupakan nyeri
alih akibat inervasi visceral dari usus tengah (midgut). Nyeri ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan
terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral
dirasakan pada seluruh perut (tidak pin-point). Selain itu nyeri
juga timbul oleh karena kontraksi apendiks, distensi dari lumen
apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami
peradangan. Nyeri visceral ini merupakan nyeri yang sifatnya
hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus
dengan sifat nyeri ringan sampai berat.
Nyeri yang terlokalisir kemudian disebabkan oleh
peradangan (>6 jam) dan iritasi langsung peritoneum parietalis
akibat proses peradangan lebih lanjut. Biasanya penderita dapat
menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik. Nyeri ini
memiliki sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan
lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
b) Mual dan muntah
Muntah terjadi akibat rangsangan terhadap nervus vagus.
Anoreksia, nausea, dan vomitus biasanya muncul beberapa jam
setelah nyeri abdomen. Anoreksia hampir selalu dijumpai pada
pasien dengan apendisitis akut sehingga sangat penting ditanyakan
pada anamnesis. Meskipun demikian ketiadaan anoreksia tidak
9
menyingkirkan diagnosis apendisitis. Hampir 75% penderita
disertai dengan muntah, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan muntah hanya sekali atau dua kali. Muntah yang berat
mungkin menandakan onset awal peritonitis generalisata akibat
perforasi apendiks. Sebaliknya muntah jarang dijumpai pada
apendiks nonperforasi.
c) Obstipasi
Obstipasi biasanya terjadi karena penderita takut mengejan.
Keluhan obstipasi biasanya muncul sebelum rasa nyeri dan
beberapa penderita sebaliknya dapat mengalami diare. Diare
biasanya timbul pada letak apendiks pelvikal yang merangsang
daerah rektum.
d) Demam (infeksi akut)
Keluhan demam biasanya muncul apabila appendicitis
disertai komplikasi. Gejalanya adalah demam yang tidak terlalu
tinggi, yaitu suhu antara 37,5-38,5 0C. Demam tinggi biasanya
dijumpai pada kasus apendisitis yang diduga telah terjadi perforasi

Tabel 3. Gejala Appendicitis Akut.

Umumnya posisi anatomis apendiks dan manifestasi klinis akibat


peradangannya
ialah sebagai berikut:
1. Retrocaecum atau retrokolik (75%): Pada posisi ini sering ditandai
dengan nyeri inguinal kanan disertai dengan nyeri tekan saat
dilakukan palpasi. Rigiditas muskuler dan nyeri tekan saat
dilakukan palpasi dalam sering tidak dijumpai oleh karena
apendiks terlindungi oleh sekum. Otot psoas seringkali mengalami
iritasi akibat proses peradangan apendiks didekatnya dan
mengakibatkan fleksi pinggul dan nyeri yang bertambah hebat saat

10
dilakukan ekstensi pinggul. Tanda ini dikenal sebagai psoas
stretch sign.
2. Subcaecum dan pelvis (20%): Gejala klinis yang menonjol pada
posisi ini ialah nyeri suprapubik dan urinary frequency. Diare
dapat timbul oleh karena iritasi pada rectum. Nyeri tekan abdomen
mungkin jarang ditemukan namun nyeri tekan disebelah kanan
pada pemeriksaan colok dubur dan colok vagina mungkin dapat
dijumpai. Pada pemeriksaan urin lengkap mungkin dapat dijumpai
hematuria mikroskopik dan leukosituria.
3. Preileal dan post ileal (5%): Pada posisi ini gejala dan tanda yang
muncul dapat sangat minimal. Biasanya muntah lebih menonjol
dan diare dapat muncul akibat iritasi ileum distal.

Untuk apendisitis akut yang telah mengalami komplikasi, seperti


perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti
dibawah ini:
a) Perforasi : Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa
nyeri bertambah dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi
(rata-rata 38,3 0C). Jumlah lekosit yang meninggi merupakan tanda
khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.
b) Peritonitis : Peritonitis lokal merupakan akibat dari
mikroperforasi dari apendisitis yang telah mengalami gangren.
Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut
daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri,
defans muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus
paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam
makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan
peritonitis yang makin berat.
c) Abses/infiltrat : Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba
masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas
karena perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan dinding)
oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga teraba massa
(infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-
mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga
yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan
abses ini. Untuk masa atau infiltrat ini, beberapa ahli
11
menganjurkan antibiotik dulu, setelah 6 minggu kemudian
dilakukan apendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran
infeksi.
Selain posisi apendiks, gambaran klinis apendistis akut juga
dipengaruhi oleh umur pasien dan keadaan fisiologis tertentu
seprti kehamilan. 4 Meskipun jarang terjadi pada anak-anak,
apendistis akut dapat menimbulkan kesulitan diagnosis pada
pasien dengan usia muda. Anak-anak terutama bayi biasanya
tidak mampu mengungkapkan keluhan yang dialaminya. Selain
itu, gejala dan tanda yang muncul juga tidak bersifat spesifik.
Oleh karena itu, diagnosis apendistis akut sering terlambat atau
bahkan sama sekali tidak dapat ditegakkan sehingga memberikan
kontribusi terhadap laju perforasi yang cukup tinggi yaitu sebesar
50% pada kelompok umur ini.
Pasien appendicitis akut berusia lanjut memiliki laju
mortalitas paling tinggi. Pada pasien ini sering kali gejala dan
tanda apendistis akut tidak khas, berkurang, atau tidak muncul
sama sekali. Sebagai tambahan, pasien lanjut usia biasanya
keadaan umumnya agak jelek dan sering disertai dengan kondisi
komorbid lain seperti penyakit jantung, diabetes, dan ginjal.
Kombinasi kedua faktor ini memberikan kontribusi terhadap laju
mortalitas yang tinggi hingga lebih dari 5% pada kelompok usia
lanjut.
Kondisi lain yang perlu mendapatkan perhatian lebih ialah
pasien apendistis akut dengan kehamilan. Pada kehamilan, posisi
apendiks mulai bergeser pada bulan keempat sampai kelima
kehamilan. Gejala-gejala yang menyertai kehamilan sering
menyerupai gejala apendisitis. Selain itu leukositosis yang sering
terjadi pada kehamilan menyebabkan pemeriksaan hitung WBC
dalam diagnosis apendistis akut menjadi kurang bermanfaat.
Meskipun laju mortalitas pada ibu cukup rendah, laju mortalitas
pada bayi yang dikandung mencapai 2-8,5% dan meningkat
menjadi 35% jika terjadi perforasi disertai peritonitis generalisata.

 Pemeriksaan Fisik

12
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu
lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa ditemui perbedaan suhu aksila
dan rectal >= 1oC.
 Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk
dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler yang besar.
 Palpasi
Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan
palpasi pada pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :
 Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri
tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini
merupakan tanda kunci diagnosis.
 Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa
nyeri yang terjadi akibat rangsangan pada peritoneum.
 Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietalis. Rangsangan ini kemudian menyebabkan
rangsangan pada muskulus rektus abdominis sehinggga otot ini
mengalami kontraksi.
 Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan
nyeri sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut
menyebabkan organ dalam terdorong kearah kanan dan
memberikan tekanan pada apendiks yang meradang.
 Blumberg Sign : nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri
dilepaskan.
 Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.
 Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul
pertama kali di regio epigastrium atau di sekitar lambung,
kemudian menjalar berpindah ke regio iliaka dextra.
 Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada apendiks yang
terletak retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan
m. psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks. Ada 2 cara
memeriksa :
 Aktif: Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan
pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxaekanan
13
dan nyeri dirasakan di perut kanan bawah.
 Pasif: Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri
kemudian pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan
sambil menahan pinggul kanan penderita (tanda bintang).
 Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi
bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah
dalam, terjadi karena peradangan appendiksmenyentuh
m.Obturator Internus yang merupakan dinding panggul kecil. Hal
tersebut menunjukkan bahwa apendiks terletak pada rongga
pelvis.
 Auskultasi
Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan
ditemukan pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
perforasi apendiks. Auskultasi tidak banyak membantu dalam
menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.
 Pemeriksaan Colok Dubur / Rectal Touche
Pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis, untuk menentukan
letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang
meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada appendicitis pelvika.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 –
20.000/ml ( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah CRP pada serum yang meningkat.
Pemeriksaan urin bisa dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit
dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal
yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.

Pemeriksaan Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CT-scan.
 Abdominal X-Ray :
14
Pada appendicitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen
tidak banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada
abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi
apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.1,5 Kalau
peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada
bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa,
keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah
abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan
terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka
kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis
ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut. 1
Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak
akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang
udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan
kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak
merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak
cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang,
pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi
mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan
udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi. 1 Foto
polos abdomen supine pada abses apendiks kadang-kadang
memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi
berdiri/LLD, kalsifikasi bercak rim – like (melingkar) sekitar
perifer mukokel yang asalnya dari apendiks.
 Ultrasonography :
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat
dilakukan pemeriksaan USG. Pada kasus appendicitis akut akan
nampak adanya :
1. Adanya struktur yang aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar
caecum.
2. Dinding apendiks nampak jelas, dapat dibedakan.
3. Diameter luar appendix lebih dari 6 mm.
4. Adanya gambaran “target”
5. Adanya appendicolith / fecalith.
6. Adanya timbunan cairan periappendicular
7. Tampak lemak pericaecal echogenic prominent.

15
Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan
distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan
atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai
dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas
intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel. 1,5
Pada wanita, USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis
banding seperti kehamilan ektopik, adneksitis, dan sebagainya.
 CT – Scan :
Diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan
dinding appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement
gambaran dinding appendix. CT scan juga dapat menampakkan
gambaran perubahan inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya
inflammatory fat stranding, phlegmon, free fluid, free air bubbles,
abscess, dan adenopathy. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 –
100%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses
atau flegmon

Tabel 4. Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut:


Ultrasonografi CT-Scan
Sensitivitas 85% 90 – 100%
Spesifisitas 92% 95 - 97%
Akurasi 90 – 94% 94 – 100%
Keuntungan Aman Lebih akurat
relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan flegmon
lebih baik
Dapat mendignosis kelainan lainMengidentifikasi apendiks normal
pada wanita lebih baik
Baik untuk anak-anak
Kerugian Tergantung operator Mahal
Sulit secara tehnik Radiasi ion
Nyeri Kontras
Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah

16
Gambar 5. Algoritma Diagnostik Appendicitis

Histopatologi Appendicitis Akut


Pemeriksaan histopatologi adalah salah satu standar emas (gold
standard) untuk diagnosis appendicitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat
mengenai gambaran histopatologi appendicitis akut. Perbedaan ini didasarkan
pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi
appendicitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi
apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber et al, pernah
meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut.
Tabel 5. Definisi histopatologi appendicitis akut:
1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.
2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
3 Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.
4 Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Apendisitis acuta dibuat skor Alvarado


dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya
dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap

17
jaringan Apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu:
radang akut dan bukan radang akut.
Tabel 6. Alvarado Score untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Keterangan:
0-4 : bukan appendicitis 7-8 : kemungkinan besar appendicitis
5-6 : kemungkinan kecil 9-10 : hampir pasti appendicitis

Penanganan berdasarkan skor Alvarado :


1–4 : observasi
5–6 : antibiotik/ diobservasi di rumah sakit
7 – 10 : operasi dini

Diagnosa Banding Appendicitis

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis karena


penyakitlain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan appendisitis,
diantaranya:
- Gastroenteritis :
Ditandai dengan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakitperut lebih
ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang
menonjol dibandingkan dengan appendisitis akut
- Limfadenitis mesenterika :
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri
perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut.
- Demam dengue :
Dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil
positif untuk rumple leed, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat
- Pelvic Inflammatory Disease seperti salpingitis akut kanan sulit dibedakan
dengan appendicitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan
18
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya
diserai keputihan dan infeksi urin.
- Gangguan alat reproduksi perempuan :
Folikel de Graaf yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada
pertengahan siklis menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam.
- Kehamilan ektopik :
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yangtidak jelas seperti
ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan
menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.
- Divertikulitis Meckel :
Gambaran klinisnya hampir sama dengan appendicitis akut dan sering
dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendicitis akut
sehinggadiperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.
- Ulkus peptikum perforasi
Sangat mirip dengan appendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke
daerah usus bagian kanan sekum, karena dapat menyebabkan inflamasi appendix
juga.
- Ureterolithiasis :
Jika diperkirakan berada dekat appendiks dapat menyerupai appendicitis
retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, dengan hematuria dan
demam atau leukositosis.

Gambar 6. Berbagai Penyebab Nyeri RLQ


19
Penatalaksanaan Appendicitis

 Cito : akut, abses & perforasi


 Elektif : kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi.
Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Perjalanan patologis
penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan gulungan
usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran
membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi, dan biasanya dapat
segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat diatasi oleh
mekanisme tubuh, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi
segera menjadi abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah, jika penderita ditemui lewat sekitar 48
jam, saat dilakukan operasi untuk membuang apendiks, sudah terbentuk suatu massa
dengan perlekatan yang memiliki banyak vaskularisasi, sehingga membuat operasi
pembuangan appendiks menjadi berbahaya karena struktur appendiks menjadi tidak
jelas dan resiko perdarahan bertambah. Maka pada kasus seperti ini, harus menunggu
sampai terjadi pembentukan abses yang dapat didrainase.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
yang ditutupatau dibungkus oleh omentum dan lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
keseluruh rongga peritoneum jika terjadi perforasi. Oleh karena itu,massa
periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit
tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam
waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang
dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada
demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses
20
apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya
nyeri, dan teraba pembengkakan, massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses
apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-
baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada
apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras melakukan tindakan pembedahan,
tindakan bedah akan lebih sulit dan resiko perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila
massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa
peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik
atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi
ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja.

Indikasi Operasi
Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan
yang mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi),
kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada keadaan dimana masa akut telah
dilewati namun muncul komplikasi dengan terbentuknya abses. Pada beberapa kasus
dapat digunakanantibiotic sebagai terapi tunggal untuk mengurangi massa abses
tersebut. Bila massa absestelah terbentuk di ekitar apendiks maka basis dari sekum akan
sulit untuk ditemukan, selain itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk
dikerjakan.
Persiapan pre-operasi
Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis sudah
dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan harus
dipantau dengan ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan darah, dan
jumlah pengeluaran urine. Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan
cephalosporine generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotic
spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob

21
(bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotic bukan
untuk memberantas appendicitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan
komplikasi, antibiotic umumnya diberikan untuk mengurangi insidens infeksi dari luka
dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi terhadap kemungkinan
terjadinya bakteremia.Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa
pembentukan abses maupun bakteremia, maka pemberian antibiotic ditujukan untuk
mengobati komplikasi tersebut. Terdapat beragam pendapat tentang pemberian
antibiotic profilaksis, namun terdapat konsensus bahwa:
1. Pemberian cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang
dapat timbul oleh karena luka pada kasus non-komplikata
2. Waktu yang tepat dalam memberikan antibiotic adalah sesaat sebelum
pembedahan atau pada saat pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang
optimal pada saat akan dilakukan insisi.
3. Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotic cukup dengan dosis
tunggal.Penambahan dosis setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan
resiko infeksi lebih lanjut

Pertimbangan Operatif
Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui pendekatan
secaratra disional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi. Terdapat berbagai
penelitian yang membandingkan antara pendekatan secara terbuka maupun dengan
laparoskopi. Berdasarkan informasi terkini dapat disimpulkan bahwa pada kasus
apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan secara laparoskopik dapat mengurangi
nyeri, kebutuhan untuk dirawat dan juga menurunkan insidens infeksi pada luka setelah
operasi. Pasien juga dapat kembali bekerja lebih awal.
Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan
gambaran inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi
apendiks sampai ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding sekum. Kegagalan
dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat mengingkatkan resiko
terjadinya appendicitis rekuren.
Mengingat bahwa terdapat beberapa laporan terjadinya appendicitis rekuren,
maka penting untuk tetap berwaspada terhadap kemungkinan munculnya appendicitis
rekuren meski terdapat riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata.
Apabila diseksi secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun
pembentukan abses, sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum

22
peritoneum. Tindakan ini bermanfaatuntuk mengalirkan materi fekal maupun pus
keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-materi tersebut kedalam kavum
peritoneum.

Appendectomy sebagai Penanganan Definitif Appendicitis

Untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara operatif mempunyai
keuntungan dan kerugian, yaitu :
a. Insisi menurut Mc Burney ( grid iron incision / muscle splitting incision).
Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan
spinailiaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga
lateral (titik McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-
otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu
akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan)
yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari
ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih,mempunyai haustrae
dan teania coli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai
haustrae atau taenia coli. Basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia
coli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak
terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum
pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa
penyembuhannya lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas,
sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas
dengan memotong secara tajam.
b. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung
menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai
tampak peritoneum. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah
diperluas, sederhana, dan mudah.Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang
harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan
pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca
bedah lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi, dan
masa penyembuhan lebih lama.
c. Insisi pararektal

23
Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m.rektus abdominis dekstra
secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10cm. Keuntungannya, teknik
ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu
sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan ini
tidak langsung mengarah ke apendiksatau sekum, kemungkinan memotong saraf
dan pembuluh darah lebih besar, dan untuk menutup luka operasi diperlukan
jahitan penunjang.
Setelah peritoneum dibuka dengan retractor, maka basis apendiks dapat
dicari pada pertemuan tiga taenia koli. Untuk membebaskannya dari
mesoapendiks ada dua cara yangdapat dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi,
yaitu :
1. Apendektomi secara biasa, bila kita mulai dari apeks ke basis apendiks
untuk memotong mesoapendiks. Ini dilakukan pada apendiks yang
tergantung bebas padasekum atau bila puncak apendiks mudah
ditemukan.
2. Apendektomi secara retrograde, bila kita memotong mesoapendiks dari
basis ke arahpuncak. Ini dilakukan pada apendiks yang letaknya sulit,
misalnya retrosekal, atau puncaknya sukar dicapai karena tersembunyi,
misalnya karena terjadi perlengketan dengan sekitarnya.
Teknik Apendektomi Mc Burney :
1. Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian
dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada perut kanan bawah
2. Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan otot-otot
dindingperut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya, berturut-turut m
rektus abdominis eksternus, m. abdominis internus, m transversus abdominis,
sampai akhirnya tampak peritoneum.

3. Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi.


4. Sekum beserta apendiks diluksasi keluar.

24
5. Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari puncak
ke arah basis.
6. Semua perdarahan dirawat.
7. Disiapkan tabakzaaknad mengelilingi basis apendiks, basis apendiks kemudian
dijahit dengan catgut.

8. Dilakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.

9. Ujung apendiks dioleskan betadin.


10. Jahitan tabazaaknad disimpulkan dan Mesoapendiks diikat.
11. Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di dalamnya,
semua perdarahan dirawat.
12. Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.

13. Peritoneum ini dijahit jelujur dengan chromic catgut dan otot-otot dikembalikan

25
14. Dinding perut ditutup/dijahit lapis demi lapis.
15. Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril

Gambar 7. Appendectomy secara Singkat

Pasca Operasi & Komplikasi Appendicitis

Kasus-kasus appendicitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan


makan segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-48 jam.
Pemberianantibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca operasi tidak rutin
dikerjakan padapasien apendisitis tanpa komplikasi. Pada kasus-kasus yang disertai
dengan peritonitis,pemberian antibiotic diberikan hingga 5-7 hari setelah operasi.
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off sehingga
berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, caecum dan lekuk usus halus.
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini
tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan
mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi

26
aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.Tanda-tanda perforasi meliputi
meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda
peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis
semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah
terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakandengan pasti.

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi
untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring
dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan
dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan
dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi
anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendik, maka akan teraba massa di kuadran kanan bawah
yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan
kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau klindamisin). Dengan
sediaan ini absesakan segera menghilang, dan apendektomi dapat dilakukan 6-12
minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase.
Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif
juga perlu dilakukan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan
komplikasiyang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis,
menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini
diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis
intra abdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

27
Gambar 8. Algoritma Tata Laksana Appendicitis dengan Komplikasi

Antibiotik sebagai Pelengkap Terapi Definitif untuk Appendicitis

Tatalaksana tradisional radang usus buntu akut telah memunculkan manajemen


operasi. Pendekatan ini didasarkan pada teori bahwa, dari waktu ke waktu, appendicitis
sederhana akan berlanjut menjadi perforasi, sehingga peningkatan morbiditas dan
mortalitas. Data terakhir menunjukkan bahwa usus buntu akut dan radang usus buntu
akut dengan perforasi mungkin penyakit yang berbeda dengan patofisiologi yang
berbeda jauh. Serangkaian waktu analisis dilakukan pada satu set data 25 tahun tidak
ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara tingkat appendektomi
negatif dan perforasi.7 Sebuah studi analisis waktu untuk operasi dan perforasi
menunjukkan bahwa risiko pecah minimal dalam waktu 36 jam onset gejala. Melewati
titik ini, ada sekitar risiko 5% dari pecah dalam setiap periode 12-jam berikutnya.
Namun, pada banyak pasien penyakit ini berjalan lambat. Dalam sebuah penelitian, 10
dari 18 pasien yang tidak menjalani operasi ≥ 6 hari setelah gejala dimulai tidak
mengalami ruptur.8 Pelaut yang terkena usus buntu ketika ditempatkan di kapal selam
tidak memiliki akses untuk meminta perawatan bedah. Mereka berhasil diobati dengan
antibiotik dan cairan dari hari ke minggu setelah serangan awal sampai kapal dapat
mencapai permukaan dan mereka dapat dipindahkan ke rumah sakit untuk perawatan.

28
Sebuah penelitian secara acak membandingkan pengobatan antibiotik dengan
apendektomi segera. Dua ratus lima puluh dua orang berusia 18-50 tahun dengan
diagnosis presumptif radang usus buntu yang terdaftar dalam penelitian ini antara Maret
1996 dan Juni 1999. Pasien yang dipilih secara acak untuk terapi antibiotik, jika gejala
tidak membaik dalam 24 jam pertama, akan dilakukan apendektomi. Peserta dievaluasi
setelah 1 minggu, 6 minggu, dan 1 tahun. Usus buntu akut ditemukan pada 97% dari
124 pasien secara acak yang direncanakan operasi. Enam pasien (5%) memiliki
apendiks yang sudah perforasi. Tingkat kesulitan pada kelompok bedah adalah 14% (17
dari 124). Dari 128 pasien yang terdaftar dalam kelompok antibiotik, 15 pasien (12%)
menjalani operasi dalam 24 jam pertama karena kurangnya perbaikan gejala dan
peritonitis lokal tampak jelas. Pada operasi tujuh pasien (5%) memiliki perforasi.
Tingkat kekambuhan dalam waktu 1 tahun adalah 15% (16 pasien) pada kelompok yang
diobati dengan antibiotik. Dalam lima pasien usus buntu yang perforasi ditemukan saat
operasi.9

29

Anda mungkin juga menyukai