Anda di halaman 1dari 29

PROPOSAL TUGAS AKHIR

ANALISA HASIL PENGECORAN FLANGE DENGAN BAHAN


KUNINGAN MENGGUNAKAN CETAKAN PASIR CO DENGAN
VARIASI MEDIA PENDINGIN AIR LAUT, AIR CUKA, DAN AIR AKI

Disusun Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik


Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disusun oleh:

Dany Andrean Purwohandoyo

D200 130 053

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Akhir berjudul “ANALISA HASIL PENGECORAN FLANGE


DENGAN BAHAN KUNINGAN MENGGUNAKAN CETAKAN PASIR CO
DENGAN VARIASI MEDIA PENDINGIN AIR LAUT, AIR CUKA, DAN
AIR AKI” telah disetujui Calon Pembimbing Utama untuk diusulkan sebagai
Topik Tugas Akhir pada Jurusan Teknik Mesin Fakultas teknik Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Dipersiapkan oleh :
Nama : Dany Andrean Purwohandoyo
NIM : D200130053

Disetujui pada
Hari :
Tanggal :

Pembimbing Utama

(Masyrukan, ST , MT)
PERNYATAAN KEASLIAN TOPIK TUGAS AKHIR

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa usulan judul Tugas Akhir


”ANALISA HASIL PENGECORAN FLANGE DENGAN BAHAN
KUNINGAN MENGGUNAKAN CETAKAN PASIR CO DENGAN
VARIASI MEDIA PENDINGIN AIR LAUT, AIR CUKA, DAN AIR AKI”
yang saya ajukan kepada Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas
Muhammadiyah Surakarta, sejauh yang saya ketahui bukan merupakan tiruan dari
penelitian atau duplikasi dari skripsi yang sudah dipublikasikan dan atau pernah
dipakai untuk mendapat gelar sarjana di lingkungan Universitas Muhammadiyah
Surakarta atau instansi manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya saya
cantumkan sebagaimana mestinya.

Surakarta, September 2017

Dany Andrean Purwohandoyo


D200130053
“ANALISA HASIL PENGECORAN FLANGE DENGAN BAHAN
KUNINGAN MENGGUNAKAN CETAKAN PASIR CO DENGAN
VARIASI MEDIA PENDINGIN AIR LAUT, AIR CUKA, DAN AIR AKI”

A. Latar Belakang
Di era yang semakin maju saat ini menuntut manusia untuk melakukan
rekayasa guna memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks, tak terkecuali
dalam hal teknologi yang berperan penting akan kelangsungan hidup manusia
seperti dalam hal rekayasa dan proses perlakuan pada logam yang mempunyai
pengaruh vital karena merupakan elemen dasar untuk membuat suatu
konstruksi.
Campuran logam dari tembaga dan seng disebut juga kuningan, yang
dapat membentuk kombinasi sifat material yaitu kekuatan dan ketahahan
korosi yang tinggi. Diagram kesetimbangan fasanya termasuk jenis peritektik.
Paduan dengan kadar seng maksimal seng 35% berfasa tunggal yaitu (α) alfa
dengan struktur kristal FCC sehingga kemulurannya tinggi maka kemampuan
pengerjaan dinginnya tinggi, diantaranya kuningan 70/30 yang dinamakan
juga cartridge brass atau yellow alfa brass, banyak digunakan di industri
strategis, sehingga material kuningan ini tetap penting, selama belum ada
penggantinya karena sifat mampu bentuk tarik dalam (deep drawing) yang
tinggi. Kadar seng diatas 35% terbentuk fasa β (beta) dengan struktur kristal
BCC sehingga kekerasan meningkat, paduan ini kemuluran pada saat
pengubahan bentuk dingin rendah akan tetapi tinggi kemampuan pengerjaan
panasnya karena sifat fasa ini plastisitasnya tinggi pada temperatur tinggi
Batas kadar seng maksimal 42% semakin tinggi kadar seng tidak dapat
digunakan secara komersil karena material bersifat rapuh. Untuk semua fasa
tunggal paduan alfa (α), pembekuan paduan dimulai dengan pembentukan
dendrit di pendinginan dibawah temperatur likuidus (garis AD) menyebabkan
struktur dendrit terlihat di mikrostruktur setelah pengetsaan. Dendrit yang
merupakan struktur mikro setelah pengecoran dihancurkan oleh pengerolan
panas maupun dingin dan anil menghasilkan kembaran (twin) dengan bentuk
butir mendekati segienam, untuk yang fasa ganda atau dupleks paduan alfa
dan beta (α/β), perilaku pembekuan paduan tergantung dari kadar seng diatas
atau di bawah peritektik. Sampai kadar 37,6% atau titik D, alfa berlanjut ke
fasa utama, beta akan dibentuk oleh reaksi peritektik yang terjadi di cairan
logam yang membeku terakhir. Diatas seng kadar 37,6% terjadi pembekuan
dengan pembentukan dendrit beta, pada saat pembekuan lengkap, struktur
keseluruhan terdiri dari fasa beta. Rentang pembekuan dibatasi dengan
demikian dendrit-. dendrit beta hampir homogen. Pada saat pendinginan beta
mempertahankan sedikit tembaga, yang ditandai oleh kemiringan dari batas
fasa (α+β)/β atau garis CH. Pada temperatur 770°C alfa mulai berpisah dari
beta, dan jumlahnya meningkat ketika temperatur menurun. Reaksi ini
dikendalikan oleh difusi dan bisa dihambat dengan pendingianan cepat. Alfa
diendapkan pada batas kristal dan kristalografi bidang arah tertentu (bidang
oktahedral) dari fasa induk. Pemisahan bentuk ini di dalam kristal dinamakan
struktur Widsmanstatten.
Pengecoran merupakan proses pembentukan logam dengan cara dicairkan,
lalu kemudian dituang kedalam cetakan dan dibiarkan sampai membeku.
Bahan yang dipakai dalam cetakan sangat bervariasi, bebrapa contoh
diantaranya dibuat dari bahan logam, pasir, semen, kulit, keramik, dan
sebagainya. Masing-masing bahan cetakan ini akan memberikan pengaruh
terhadap kualitas hasil produk coran logam cair. Kualitas ini terutama
mengenai sifat mekanis dan cacat yang terbentuk selama proses penuangan
hingga menjadi membeku.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu penelitian mengenai Analisa hasil
pengecoran flange dengan bahan kuningan menggunakan cetakan pasir CO
dengan variasi media pendingin air laut, air cuka, dan air aki.
Perumusan Masalah
1. Mengetahui pengaruh variasi media pendinginan air laut, air cuka, dan
air aki terhadap komposisi campuran kimia produk cor kuningan.
2. Mengetahui pengaruh variasi media pendinginan air laut, air cuka, dan
air aki terhadap distribusi kekerasan produk cor kuningan.
3. Mengetahui pengaruh variasi media pendinginan air laut, air cuka, dan
air aki terhadap distribusi struktur mikro produk cor kuningan.

B. Batasan Masalah
Untuk mengurangi kompleksitas permasalahan serta menentukan arah
penelitian yang lebih baik maka ditentukan batasan masalah sebagai
berikut :
1. Material yang digunakan adalah kuningan bekas (rosok) yang sudah
dipakai dan kuningan yang gagal atau cacat produk.
2. Kecepatan penuangan logam cair dianggap seragam.
3. Cetakan yang digunakan adalah cetakan pasir CO.
4. Variasi media pengdinginan air laut, air cuka, dan air aki terhadap coran
kuningan.
5. Pengujian kekerasan hasil coran (ASTM E-252).
6. Pengujian struktur mikro hasil coran (ASTM E-252).

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada bahan kuningan hasil remelting ini adalah untuk :
1. Meneliti pengaruh variasi media pendinginan air laut, air cuka, dan air
aki terhadap distribusi komposisi kimia produk cor kuningan.
2. Meneliti pengaruh variasi media pendinginan air laut, air cuka, dan air
aki terhadap distribusi kekerasan produk cor kuningan.
3. Meneliti pengaruh variasi media pendinginan air laut, air cuka, dan air
aki terhadap distribusi struktur mikro produk cor kuningan.
D. Manfaat penelitian
Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi
positif kepada :
1. Bidang Akademik
a) Menambah pengetahuan tentang teknologi pengecoran logam
khususnya logam kuningan.
b) Menambah pengetahuan tentang variasi media pengdingin yang baik
pada proses pengecoran kuningan dengan menggunakan air laut, air
cuka, dan air aki.
c) Menambah pengetahuan tentang variasi media pendingin yang sesuai
untuk menghasilkan produk coran yang baik pada pengecoran logam.
2. Bidang Industri
a) Untuk meningkatkan kualitas produk pengecoran logam agar produk
yang dicapai bisa lebih bagus.
b) Untuk mengetahui media cetakan yang sesuai untuk menekan biaya,
hasil dan efektiffitas.

E. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori


1. Tinjauan Pustaka
Campbell (2005) mengatakan survei menunjukkan bahwa
kekerasan dan porositas produk cor yang menggunakan cetakan pasir dan
cetakan logam bervariasi. Porositas ini terjadi karena pengaruh proses
penuangan dan jenis cetakan yang digunakan. Porositas ini berasal dari
gelembung-gelembung gas yang larut dan terperangkap selama proses
pencairan dan penuangan. Bagian permukaan aluminium cair akn
mereduksi uap air yang terdapat dalam atmosfir.
Tata Surdia (2000) untuk pembekuan coran dimulai dari bahan
logam yang bersentuhan dengan cetakan, yaitu ketika panas dari logam
cair diambil oleh cetakan sehingga bagian logam yang bersentuhan dengan
cetakan mendingin sampai titik beku, dimana kemudian inti-inti kristal
tumbuh. Bagian dalam coran mendingin lebih lambat dari pada bagian
luar, sehingga kristal-kristal tumbuh dari inti asal mengarah ke bagian
dalam coran dan butir-butir kristal tersebut berbentuk panjang seperti
kolom, yang disebut struktur kolom. Struktur ini muncul dengan jelas
apabila gradient temperatur yang besar terjadi pada permukaan coran yang
besar, umpamanya terjadi pada pengecoran logam. Sebaliknya pengecoran
dengan cetakan pasir menyebabkan gradient temperatur yang kecil dan
membentuk struktur kolom yang tidak jelas. Disamping itu cetakan logam
menyebabkan permukaaan halus dan cetakan pasir menyebabkan
permukaan kasar.

2. Landasan Teori
2.1 Proses pengecoran
Pengecoran logam adalah proses pembuatan benda dengan
mencairkan logam dan menuangkan ke dalam rongga cetakan.
Proses ini dapat digunakan untuk membuat benda-benda dengan
bentuk rumit. Benda berlubang yang sangat besar yang sangat sulit
atau sangat mahal jika dibuat dengan metode lain, dapat diproduksi
masal secara ekonomis menggunakan teknik pengecoran yang tepat.
Pengecoran logam dapat dilakukan untuk bermacam-macam logam
seperti, besi, baja paduan tembaga (perunggu, kuningan, perunggu
aluminium dan lain sebagainya), paduan ringan (paduan aluminium,
paduan magnesium, dan sebagainya), serta paduan lain, semisal
paduan seng, monel (paduan nikel dengan sedikit tembaga),
hasteloy (paduan yang mengandung molibdenum, khrom, dan
silikon), dan sebagainya.
Bahan Baku Tungku Ladel

Sistem pengolahan Pembuatan Penuangan


pasir cetakan

Pasir Rangka cetak


Pembongkaran

Pembersihan

Pemeriksaan

Gambar 1. Proses pembuatan benda coran (Surdia,1976: 3)

2.2 Pembekuan coran

Gambar 2.Struktur Mikro Pembekuan Logam


(www.strukturkolom.com)

Pembekuan coran dimulai dari bagian logam yang bersentuhan


dengan cetakan yaitu ketika panas dari logam cair diambil oleh
cetakan sehingga bagian logam yang bersentuhan dengan cetakan
mendingin sampai titik beku, dimana kemudian inti-inti Kristal
tumbuh. Bagian dalam dari coran mendingin lebih lambat daripada
bagian luar, sehingga Kristal tersebut berbentuk panjang-panjang
seperti kolom, yang disebut struktur kolom (Surdia, 2000).
Tjitro (2001) menyatakan pembekuan (solidification) selama
pengecoran mengalami tiga jenis penyusutan yaitu : liquid
contraction, solidification contraction dan solid contraction. Liquid
contraction adalahpenyusutan yang terjadi pada logam cair jika
logam cair didinginkan dari temperatur tuang menuju temperature
pembekuan (solidificationtemperature). Solidification contraction
adalah penyusutan yang terjadiselama logam cair melalui phasa
pembekuan (perubahan phasa cair menjadi phasa padat). Solid
contraction adalah penyusutan yang terjadi selama periode solid
metal didinginkan dari temperature pembekuan menuju temperatur
ruang. Liquid contraction dan solidification contraction dapat
ditangani dengan merancang system riser yang baik dan tepat.
Kekosongan (void) yang ditimbulkan oleh dua jenis penyusutan
tersebut diisi cairan logam yang disuplai dari riser. Sedangkan solid
contraction dapat diatasi dengan membuat dimensi pola lebih besar
dari dimensi produk cor untuk mengkompensasi penyusutan yang
terjadi.

2.3 Pembekuan Terarah (Directional solidification)


Masing-masing area pada produk cor memiliki laju
pendinginan yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya variasi luas
penampang, perbedaan laju pelepasan panas, dan sebagian area
yang cenderug membeku lebih cepat dibandingkan area lainnya.
Gejala ini bila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
kekosongan atau shrinkageakibat solidification contraction.
solidification contraction biasanya terjadi pada bagian produk cor
yang mengalami pembekuan terakir. solidification
contractionmenimbulkan cacat shrinkagepada produk cor. Para ahli
pengecoran menggunakan prinsip dasar itu untuk membuat produk
cor yang bebas cacat dengan cara menambahkan volume logam
dibagian produk yang membeku terakir. Cadangan logam
pengumpan ini disebut riser. Arah pembekuan berhubungan dengan
casting modulus. casting modulusmenunjukan ratio antara volume
cor dengan luas permukaannya. Jika volume cor cetakan menungkat
berarti semakin banyak logam cair maka waktu untuk
mendinginkan memerlukan waktu lebih lama. Sebaliknya panas
yang ada didalam cor harus dilepaskan melalui permukaan cor,
semakin besar luas permukaan cor akan semakin cepat cor tersebut
dingin. Jadi casting modulussemakin besar maka waktu yang
dibutuhkan untuk pembekuan (solidification) semakin lama (Tjitro,
2001).

2.4 Pola
Surdia (2000) menyatakan pola diperlukan dalam pembuatan
coran. Pola yang dipergunakan untuk pembuatan cetakan benda
coran dapat digolongkan menjadi pola logam dan pola kayu
(termasuk pola plastik). Pola logam dipergunakan agar dapat
menjaga ketelitian ukuran benda coran, terutama dalam masa
produksi, sehingga unsur pola bias lebih lama dan produktivitas
lebih tingi. Bahan dari pola logam bias bermacam-macam sesuai
dengan penggunaanya. Sebagai contoh, logam tahan panas seperti :
besi cor, baja cor, dan paduan tembaga adalah cocok untuk pola
pada pembuatan cetakan kulit, sedangkan paduan ringan adalah
mudah diolah dan dipilih untuk pola yang dipergunakan untuk masa
produksi dimana pembuatannya dan mudah diolahnya disbanding
dengan pola logam. Oleh karena itu pola kayu umumnya dipakai
untuk cetakan pasir. Faktor penting untuk menetapkan macam pola
adalah proses pembuatan cetakan dimana pola tersebut dipakai, dan
lenih penting lagi pertimbangan ekonomi yang sesuai dengan
jumlah dari biaya pembuatan cetakan dan biaya pembuatan pola.
2.5 Sistem Saluran
Surdia (2000) menyatakan system saluran adalah jalan masuk
bagi cairan logam yang dituangkan ke dalam rongga cetakan. Tiap
bagian diberi nama, mulai dari cawing tuang dimana logam cair
dituangkan dari ladel, sampai saluran masuk ke dalam rongga
cetakan.

Gambar 3. Sistem Saluran


Sistem saluran terdiri dari :
1. Cawan tuang (pouring basin)
Merupakan penerima yang menerima cairan logam langsung dari
ladel.Cawan tuang biasanya berbentuk corong atau cawan
dengan saluran turun di bawahnya.Cawan tuang harus
mempunyai konstruksi yang tidak dapat melakukan kotoran yang
terbawa dalam logam cair dari ladel. Oleh karena itu cawan tuang
tidak boleh terlalu dangkal.

Gambar 4.UkuranBasin(cawan tuang)


2. Saluran turun (sprue)
Saluran turun adalah saluran yang pertaman yang membawa
cairan logam dari cawan tuang ke dalam pengalir dan saluran
masuk.Saluran turun dibuat lurus dan tegak dengan irisan berupa
lingkaran.

Gambar 5.Sprue Runcing

3. Pengalir (runner)
Pengalir saluran yang membawa logam cair dari saluran turun ke
bagian-bagian yang cocok pada cetakan.

Gambar 6. Penampang Saluran Pengalir

4. Saluran masuk (ingate)


Saluran masuk adalah saluran yang mengisikan logam cair dari
pengalir ke dalam rongga cetakan.

Gambar 7. Bentuk Penampang Saluran Masuk


5. Penambah (riser)
Penambah memberi logam cair yang mengimbangi penyusutan
dalam pembekuan dari coran, sehingga ia harus membeku lebih
lambat dari coran.
Tjitro (2002)menyatakan riser adalah system saluran yang
berfungsi untuk menampung kelebihan logam cair, sebagai
cadangan logam cair bila terjadi penyusutan dan pengumpan
untuk menyuplai cairan logam kepada produk cor bila terjadi
penyusutan.Oleh karena itu, ukuran riser harus diperhitungkan
dengan baik sehingga efisiensi penambah dapat dioptimalkan.
Pada penelitian ini metode yang digunakan dalam
menentukan ukuran riser adalah metode casting modulus. Riser
yang digunakan memiliki bentuk menyerupai botol. Riser yang
digunakan memiliki bentuk menyerupai botol. Riser ini terjadi
dari dua bagian yaitu neck dan riser. Menurut Nandi (2011)
secara umum ukuran diameter neckadalah 40% sampai dengan
50% dari ukuran diameter riser, tinggi neckadalah sepertiga
sampai setelah kali diameternya, dan tinggi riser adalah dua kali
diameternya.
Tjitro (2002) menyatakan bahwa untuk menentukan ukuran
riser dengan metode casting modulusmaka casting modulus
riserharus lebih besar dibandingkan casting modulus produk cor.

2.6 Perhitungan Modulus Cor (Casting Modulus)


Pada ASM Handbook, untuk menentukan nilai modulus cor
perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut :

Vc
Mc =
Ac
Dimana :
Mc = Modulus cor (mm)
Vc = Volume cor (mm3)
Ac = Luas penampang cor (mm2)

2.7 Pasir Cetak


Surdia (2000) menyatakan pasir cetak yang lazim adalah
pasir gunung, pasir pantai, pasir sungai, dan pasir silica yang
disediakan dialam. Pasir cetak memerlukan sifat-sifat yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Mempunyai sifat mampu bentuk sehingga mudah dalam
pembuatan cetakan dengan kekuatan yang cocok. Cetakan yang
dihasilkan harus kuat sehingga tidak rusak kerena dipindah-
pindah dan dapat menahan logam cair waktu dituang
kedalamnya. Karena itu kekuatannya pada temperature kamar
dan kekuatan panasnya sangat diperlukan.
2. Permeabilitas yang cocok. Dikawatirkan bahwa hasil coran
mempunyai cacat seperti rongga penyusutan, gelembung gas atau
kekerasan permukaan, kecuali jika udara atau gas yang terjadi
dalam cetakan waktu penuangan disalurkan melalui rongga-
rongga diantara butir-butir pasir keluar dari cetakan dengan
kecepatan yang sesuai.
3. Distribusi besar butir yang cocok. Permukaan coran diperhalus
kalau coran dibuat didalam cetakan yang berbutir halus. Tetapi
kalau butir pasir terlalu halus, gas akan sulit keluar dan
menyebabkan cacat. Sehingga diperlukan distribusi besar butir
yang sesuai.
4. Tahap terhadap temperature logam yang dituang. Butir pasir
hatus mempunyai derajat tahan api tertentu terhadap temperature
tinggi ketika logam cair bertemperatur tinggi dituang kedalam
cetakan.
5. Komposisi yang cocok. Butir pasir bersentuhan dengan logam
yang dituang mengalami peristiwa kimia dan fisika karena logam
cair mempunyai temperature tinggi. Bahan-bahan yang
tercampur yang mungkin menghasilkan gas atau larut dalam
logam adalah tidak dikehendaki.
6. Mampu dipakai lagi. Pasir harus dapat berulang-ulang supaya
ekonomis.
7. Pasir harus murah.

2.8 Cetakan Pasir


Akuah (2009) menyatakan pemilihan cetakan pasir yang akan
digunakan pada proses pengecoran logam dipegaruhi oleh beberapa
faktor teknik dan pertimbangan ekonomisnya. Ada beberapa jenis
cetakan pasir yang biasa dipergunakan, yaitu antara lain :
a. Cetakan pasir basah
b. Cetakan pasir kering
c. Cetakan pasir CO2 Proses
d. Cetakan pasir kulit
e. Cetakan pasir yang mengeras sendiri lainnya
Proses pengecoran dengan cetakan pasir dilakukan dengan
menggunakan gaya gravitasi secara natural agar logam cair dapat
mengisi rongga cetakan dengan baik, oleh karena itu desain sistem
saluran (grating system) akan sangat menentukan kualitas produk
cor.

2.9 Cacat pada Coran


1. Cacat Penyusutan (Shrinkage Defects)
Beeley (2001) manyatakan cacat shrinkagetimbul dari
kegagalan mengganti kekurangan cairan logam dan penyusutan
Pembekuan.Kejadian ini biasanya gejala ketidaktepatan sistem
saluran (grating system) dan teknik pengumpanan (risering).
Cacat ini juga dapat timbul antara lain jika temperature tuang
terlalu tinggi. Cacat tersebut dapat dieliminir atau dikurangi
dengan mendesai pembekuan yang terarah atau menggunakan
chill.Berbagai bentuk cacat shrinkage yang sering dijumpai
seperti diperlihatkan pada gambar 8

Gambar 8. Bentuk cacat Shrinkage (a) primary type, (b)


secondarycavities, (c) discrete porosity, (d) sink, (e) puncture
(beeley, 2001)
Berbeda dengan cacat primary shrinkage, secondary
shrinkage terjadi dibagian dalam produk cord an biasanya
timbul pada tempat yang jauh dari riser(pengumpan). Cacat
shrinkageyang terjadi pada bagian dalam produk cor akan
mengurangi tegangan produk cor. Cacat ini teridentifikasi pada
saat produk cor dilakukan proses permesinan.

2. Cacat Porositas
Pada proses pengecoran logam memungkinkan munculnya
gas-gas yang bereaksi mejadi komposisi kimia atau menjadi
rongga-rongga udara. Gas tersebut muncul karena adanya udara
yang terjebak selama proses penuangan, kontak antara logam
cair dengan cetaka, atau dari lapisan yang terbentuk selama
proses pembekuan sebagai hasil dari reaksi kimia atau
perubahan mampu larut logam cair terhadap suhu (Beleey,
2001).
Jumlah gas yang terserap atau ikut larut bersama cairan
logam bergantung pada jenis logam yang dileburkan.
Alumunium merupakan jenis logam yang kemampuan
melarutkan hidrogennya cukuptinggi. Porositas oleh gas
hydrogen dalam produk coran Al-Si akan memberikan pengaruh
yang buruk pada kekuatan serta kesempurnaan dari produk
coran tersebut. Cacat porositas dapat dikurangi dengan
mendesain ukuran dan penempatan riser yang tepat. Dengan
ukuran dimensi riser yang tepat diharapkan gas mampu mengalir
secara bebas ke arah riser (Tjitro, 2003).

Gambar 9.Cacat Porositas pada Penampang Potong Poduk Cor


(Tjitro, 2003)

3. Cacat Permukaan Kasar


Cacat permukaan kasar menghasilkan coran yang
permukaannya kasar. Cacat ini dikarenakan oleh beberapa factor
seperti : cetakan rontok, kup terdorong ke atas, pelekat,
penyinteran dan penetrasi logam. Bentuk, penyebab dan
pencegah cacat permukaan kasar dapat dilihat pada tabel ini.
Tabel 1. Bentuk Cacat Permukaan Kasar dan Penyebab

4. Cacat Salah Alir


Cacat salah alir dikarenakan logam cair tidak cukup
mengisi rongga cetakan.Umumnya terjadi penyumbatan akibat
logam cair terburu membeku sebelum mengisi rongga cetak
secara keseluruhan. Bentuk cacat salah alir dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:

Gambar 10. Cacat Salah Alir


5. Cacat Retakan
Cacat retakan dapat disebabkan oleh penyusutan atau akibat
tegangan sisa. Keduanya dikarenakan proses pendinginan yang
tidak seimbang selama pembekuan. Bentuk cacat retakan dapat
dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 11.Cacat Retakan

Penyebab cacat retakan :


a. Perencanaan coran yang tidak memperhitungkan proses
pembekuan, seperti perbedaan tebal dinding coran yang tidak
seragam.
b. Pemuaian cetakan, dan inti menahan pemuaian dari coran.
c. Ukuran saluran turun dan penambah yang tidak memadahi.

2.10 Komposisi Kimia


Alat yang digunakan dalam pengujian adalah
spektrometer.Alat yang digunakan untuk menegetahui jenis dan
prosentase unsur-unsur kimia yang terkandung dalam logam
dengan spektrum emisi gas argon dan pembacaan komputer. Alat
ini bekerja dengan cara menembakkan elektroda pada spesimen
dengan bantuan gas argon, selanjutnya sinar pantul yang berasal
dari sesimen melalui prisma spektrum dibiasakan pada detektor
sehingga tampil beberapa warna dengan intensitas yang berbeda.
Tiap warna dan intensitas cahanya menunjukkan jenis unsur dan
kandungannya, yang diterjemahkan dalam bahasa program
komputer menjadi tulisan.

2.11 Struktur Mikro


Alat uji yang digunakan untuk mengamati struktur mikro
adalah Olympus Metallurgycal Microscope dan untuk
pengambilan gambar digunakan Olympus Photomicrographic
System.
Alat ini berfungsi untuk mengamati dan mengambil gambar
struktur mikro permukaan logam setelah dietsa dengan perbesaran
tertentu. Spesimen yang telah mengalami pengetesaan akan
memantulkan kembali sinar yang datang ke lensa mikroskop
elektron dengan warna yang berbeda pada tiap bagian permukaan
akibat pengikisan yang terkendali pada permukaan spesimen.
Kamera yang tersambung dengan monitor akan menangkap
gambar struktur mikro, dan selanjutnya dapat di foto pada bagian
yang diinginkan.

Gambar 12. Proses Pengamatan pada Struktur Mikro

2.12 Harga Kekerasan


Kekerasan adalah ketahanan bahan atau logam terhadap
deformasi yaitu deformasi tekan atau indentasi. Pada umumnya
pengujian kekerasan bertujuan untuk mengukur tahanan dari bahan
atau logam terhadap deformasi plastis. Prinsip pengukurannya
adalah dengan member gaya tekan melalui sebuah identor pada
permukaan bahan atau logam. Kemudian luas atau dimensi dari
jejak penekan/indentasi diukur.
Biasanya identor atau alat tekan yang digunakan pada uji
kekerasan adalah berbentuk bola, piramida atau konis, kerucut.
Nilai kekerasannya dihitung dari jejak identasinya dengan
menggunakan formula tertentu sesuai metode ujinya.
Metode pengukuran kekerasan yang umum digunakan
untuk mengetahui ketahanan dari logam adalah Rockwell, Vickers,
dan Brinell.
1. Kekerasan Brinell
Pengujian kekerasan dengan metode brinell bertujuan untuk
menentuan kekrasan suatu material dalam bentuk daya tahan
material terhadap bola baja (identor) yang diletakkan pada
permukaan material uji tersebut (specimen) tanpa sentakan.
Tekanan yang digunakan berupa gaya tekan statis. Bola brinell
mempunyai standart dengan diameter (D) sama dengan 10 mm.
selain itu masih ada bola lain dengan diameter 0,65 mm, 1 mm,
1,25 mm, 2 mm, 2,5 mm, dan 5 mm. Pengujian kekrasan
dilakukan sampai pada batas plastis suatu benda uji, karena bila
masih berada pada batas elastis benda uji dikhawatirkan bekas
pijakan akan kembali lagi, walaupun tidak pada kondisi semula,
pembebanan dilakukan dengan standar waktu, biasanya 15
detik.

Gambar 13. Prinsip Uji Kekerasan Brinell. (Dieter :1986)


Pada BHN (Brinell Hardness Number), besar beban yang
bekerja tergantung pada diameter bola dan jenis benda uji,
sedangkan untuk penetrator diameternya tergantung dari tebal
benda uji tersebut.

Tabel 2. Penggunaan Diameter Penetrator

Tabel 3. Nilai Kekerasan Brinell pada Masing-masing Beban

Tabel 4. Gaya Maksimal Masing-masing Parameter Penetrator


Untuk mengetahui besarnya nilai kekerasan Brinell, maka
digunakan rumus berikut :
Dimana :
BHN = Harga kekerasan Brinell
P = Gaya pada penetrator (kgf)
D = Diameter identor (mm)
d = Diameter bekas injakan (mm)

2. Kekerasan Vickers
Uji kekerasan Vickers menggunakan indentor piramida
intan yang pada dasarnya berbentuk bujursangkar. Besar sudut
antar permukaan-permukaan piramida yang saling berhadapan
adalah 136o. Nilai ini dipilih karena mendekati sebagian besar
nilai perbandingan yang diinginkan antara diameter lekukan dan
diameter bola penumbuk pada uji kekrasan brinell (Dieter,
1987).
Angka kekerasan Vickers didefinisikan sebagai beban
dibagi luas permukaan lekukan. Pada prakteknya, luas ini
dihitung dari pengukuran mikroskopik panjang diagonal jejak.
VHN dapat ditentukan dari persamaan berikut:

Dimana :
P = Beban yang digunakan (kg)
D = Panjang diagonal rata-rata (mm)
Ɵ = Sudut permukaan intan yang berhadapan = 136o
Karena jejak yang dibuat dengan penekanan piramida
serupa secara geometris dan tidak terdapat persoalan mengenai
ukuran, maka VHN tidak tergantung kepada beban. Beban yang
biasanya digunakan pada Vickers berkisar antara 1 hingga 120
kg, tergantung pada kekerasan logam yang akan diuji.
Gambar 14. Prinsip Uji Kekerasan Vickers

3. Kekerasan Rockwell
Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell bertujuan
menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan
material terhadap identor berupa bola baja ataupun kerucut intan
yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut.
Untuk mencari besarnya nilai kekerasan dengan
menggunakan metode Rockwell dijelaskan pada gambar 2.1,
yaitu pada langkah 1 benda uji ditekan oleh indentor dengan
beban minor (Minor Load F0) setelah itu ditekan dengan beban
mayor (Major Load F1) pada langkah 2, dan pada langkah 3
beban mayor ddiambil sehingga yang tersisa adalah minor load
dimana pada kondisi 3 ini indentor ditahan seperti pada kondisi
saat total load F yang terlihat pada gambar 2.3.
Besarnya minor load maupun minor load tergantung dari
jenis material yang akan diuji, jenis-jenisnya bisa dilihat pada
table 2.4. Dibawah ini merupakan rumus yang digunakan untuk
mencari besarnya kekerasan dengan metode Rockwell.

Dimana :
F0 = Baban Minor (Minor load) (kgf)
F1 = Beban Mayor (Major Load) (kgf)
F = Total beban (kgf)
Ɵ = Jarak antara kondisi 1 dan kondisi 3 yang dibagi dengan
0.002 mm
E = Jarak antara indentor saat diberi minor load dan zero
reference line yang untuk tiap jenis indentor yang bisa
dilihat pada table.
HR = Besarnya nilai kekerasan dengan metode Hardness
Tabel 5. Skala yang dipakai dalam pengujian Rockwell dan Range uji
dalam skala Rockwell.
Gambar 15 Prinsip Uji Kekerasan Rockwell
F. Metode Penelitian

Mulai

Persiapan Material dan Peralatan

Persiapan Pola
Peleburan

Pembuatan Cetakan Pembuatan Cetakan Pembuatan Cetakan


RCS ( Resin Coated Tanah Liat Semen
Sand)

Proses Pengecoran

Produk

1. Pengamatan Penyusutan
2. Pengamatan Keutuhan
3. Pengukuran Dimensi

Pembuatan Spesimen

Pengujian Pengujian Pengujian Pengujian Pengujian


Komposisi Struktur Mikro
Densitas Porositas Kekerasan
Kimia

Analisis Data

Kesimpulan

Selesai

Gambar 16. Diagram Alir Penelitian

Anda mungkin juga menyukai