Anda di halaman 1dari 8

TAUJIHAT PEKANAN

Urgensi Arkanul Bai’ ah Dalam Amal Siyasi


________________________________________________________________

Ikhwah Fillah....

Pengembangan arkanul bai’ ah dan aplikasinya

Keberimanan terhadap Islam sebagai agama samawi yang diturunkan Allah SWT
memang sudah final. Tetapi, pemahaman manusia terhadap Islam tidak dapat dikatakan
sudah mencapai final sehingga berhenti pada satu titik.

Jalan-jalan untuk mencapai pemahaman Islam dalam konteks syumuliyah dan


takamuliyahnya adalah jalan-jalan yang sangat panjang dan beragam. Setiap zaman dan
keadaan memerlukan penyajian tersendiri dari ajaran Islam yang maha dalam maknanya
ini. Firman Allah SWT,

‫نواَلذذيِنن نجاَنهددواَ ذفيِنناَ نلنننمهذديِنننلندهمم دسبُدنلننناَ نوإذلن اَل لهن لننمنع اَلمدممحذسذنيِنن‬
“ Orang-orang yang berjihad di jalan Kami sungguh akan Kami tunjukkan jalan-
jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(Q.S. 29/Al-Ankabuut: 69).

Ibn Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan walladziina jaahduu fiinaa
adalah Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan pengikutnya sampai hari kiamat nanti.
Sedangkan yang dimaksud subulanaa adalah jalan-jalan untuk urusan dunia dan akhirat.

Terkait dengan hadits tentang Mu’adz bin Jabbal yang diutus oleh Rasulullah SAW
ke negeri Yaman dan menyatakan akan melakukan ijtihad apabila tidak diperoleh nash
dalam Al-Quran dan As-Sunnah dalam memutuskan perkara, banyak yang menekankan
bahwasanya pintu ijtihad belum tertutup. Dari waktu ke waktu muncul ulama-ulama
besar dengan pikiran dan pendapatnya yang segar dan baru berdasarkan pemahaman
mereka tentang nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah.

Sebagian kelompok hanya memperhatikan aspek fiqh dalam masalah pembukaan


ijtihad dari masa ke masa ini. Tetapi, sesungguhnya lapangan ijtihad itu luas, tidak
sekadar masalah fiqh saja tetapi di dalam berbagai bidang yang terkait dengan urusan
dunia dan akhirat.

Seharusnya kejumudan juga tidak terjadi pada aktivis kebangkitan Islam


sebagaimana disampaikan Yusuf Qaradhawi, “ Imam Hasan Al- Banna bukanlah seorang
yang jumud (statis) tetapi justru progresif dan dinamis. Ia selalu memanfaatkan semua
yang ada di sekekelilingnya, melakukan dinamisasi diri dan dakwahnya. Seandainya ia
berumur panjang kita tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Sebab itu saudara-
saudara dan pengikutnya tidak boleh statis dalam berbagai sarana, metode, ataupun
bagian pemikirannya.”

Pemahaman yang terlalu kaku dengan pendapat yang terkait dengan situasi
kontekstual tertentu akan menyebabkan seorang aktivis dakwah tidak mampu
berinteraksi dengan problema yang dihadapinya pada masa kini.

Demikian pula arkanul bai’ah yang disusun oleh Imam Hasan Al- Banna bukanlah
sesuatu yang bersifat mati atau jumud sehingga ia akan menjadi masa lalu dari para
kader dakwah. Padahal ia harus membaca, memahami, dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari yang terus berjalan.

Interaksi formal dengan arkanul bai’ah sebagai sebuah pengantar ke dalam


pergaulan jama’ah dakwah mungkin saja telah berlalu satu, dua, lima, sepuluh, atau dua
puluh tahun yang lalu. Namun secara nilai penghayatan terhadap arkanul bai ’ah terjadi
setiap saat dalam berbagai lapangan medan dakwah.

Penghayatan tersebut diharapkan justru semakin mendalam dari hari ke hari.


Oleh karena itu, rukun al-fahm (pemahaman) harus terus dikembangkan mengikuti
jalan dakwah menuju ke-syumuliyah-an dan ke-takamuliyah-an. Begitu juga rukun
ikhlas. Kualitas dan kapasitas ikhlas kita harus terus-menerus dikembangkan mengikuti
perjalanan dakwah yang terus diperlebar ruang lingkupnya sesuai dengan tuntutan
syumuliyah dan takamuliyah dakwah kita.

Begitu juga kualitas dan kapasitas amal kita, jihad kita, tadhiyah (pengorbanan)
kita, tha’ ah (ketaatan) kita, tsabat (kekokohan) kita, tajarrud (kesungguhan) kita, al-
ukhuwah (persaudaraan) kita, dan tsiqah (kekokohan) kita harus terus-menerus
dikembangkan.

Seharusnya peningkatan kualitas dan kapasitas interaksi dengan arkanul bai’ah


mendahului ekspansi dakwah yang dilakukan agar arkanul bai’ah itu menjadi pemicu,
pemacu, dan pemecut bagi akselerasi gerakan dakwah itu sendiri agar arkanul bai’ah itu
mempercepat tercapainya ahdafu da’wah (sasaran-sasaran dakwah) dan ghayatu
da’wah (tujuan-tujuan dakwah).

Interaksi dengan arkanul bai’ah sangat berpengaruh terhadap kualitas komitmen


kepada dakwah dan kepada jamaah. Begitu interaksi dengan rukun-rukun itu tertinggal
dan terhenti pada pada satu titik, maka komitmen yang dihasilkannya tidak mumpuni
lagi untuk menyambut ekspansi dakwah yang terus-menerus berkembang.

Ikhwah Fillah...

Politik dan dakwah: pandangan Hasan Al-Banna


Dakwah tidak dapat dipisahkan dari politik (siyasah) karena tujuan dakwah itu
sendiri adalah untuk pengendalian (siyasah) sebagaimana firman Allah SWT,

‫ههوو الذذيِ أورروسول ورهسولوهه ذباِرلهودىَ ووذديِذن ارلوقق لذيهظرذهورهه وعولىَ القديِذن هكلقذه وووكوفىَ ذباِللذه وشذهيددا‬

“ Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai
saksi.” (Q.S. Al-Fath: 28).

Kehadiran Islam dalam wujud sebuah institusi yang mengendalikan telah menjadi
obsesi dari Imam Syahid Hasan Al-Banna sebagaimana ungkapannya yang disampaikan
kepada para pemuda, “Adalah sangat mengherankan sebuah paham seperti komunisme
memiliki negara yang melindunginya, yang mendakwahkan ajarannya, yang
menegakkan prinsip-prinsipnya, dan menggiring masyarakat untuk menuju ke sana.
Demikian juga paham fasisme dan nazisme, keduanya memiliki bangsa yang
mensucikan ajarannya, berjuang untuk menegakkannya, menanamkan kebanggaan
kepada para pengikutnya, menundukkan seluruh ideologi bangsa-bangsa untuk
mengekor kepadanya. Dan lebih mengherankan lagi, kita dapati berbagai ragam
ideologi sosial politik di dunia ini bersatu untuk menjadi pendukung setianya. Mereka
perjuangkan tegaknya dengan jiwa, pikiran, pena, harta benda, dan kesungguhan yang
paripurna, hidup dan mati dipersembahkan untuknya. Namun sebaliknya, kita tidak
mendapatkan tegaknya suatu pemerintahan Islam yang bekerja untuk menegakkan
kewajiban dakwah Islam, yang menghimpun berbagai sisi positif yang ada di seluruh
aliran ideologi dan membuang sisi negatifnya. Lalu ia persembahkan itu kepada seluruh
bangsa sebagai ideologi alternatif dunia yang memberi solusi yang benar dan jelas bagi
seluruh persoalan umat manusia.” (Majmu Rasail I: 184).

Dalam kesempatan lain Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “Sesungguhnya


seorang muslim tidak sempurna keislamannya kecuali jika ia bertindak sebagai politisi.
Pandangannya jauh ke depan terhadap persoalan umatnya, memperhatikan dan
menginginkan kebaikannya. Meskipun demikian, dapat juga saya katakan bahwa
pernyataan ini tidak dinyatakan oleh Islam. Setiap organisasi Islam hendaknya
menyatakan dalam program-programnya bahwa ia memberi perhatian kepada
persoalan politik ummatnya. Jika tidak demikian, maka ia sendiri yang sesungguhnya
butuh untuk memahami makna Islam.”

Suatu catatan penting dari Imam Hasan Al-Banna adalah peringatannya tentang
adanya pemahaman yang sempit bahwa jika disebut dengan politik maka orang-orang
akan segera membayangkan sebuah partai politik. Politik yang dimaksudkannya
bukanlah sekadar sebuah partai politik, tetapi keseluruhan aktivitas dakwah yang
dilakukan untuk mengurusi nasib umat hingga mengangkat mereka ke kedudukan
sebagaimana yang diperintahkan Al-Quran di tengah-tengah manusia.

Bahkan, terhadap partai politik yang berkembang saat itu Al-Banna mempunyai
kritikankritikan yang mendasar, “Ikhwanul Muslimun berkeyakinan bahwa partai-partai
politik yang ada di Mesir didirikan dalam suasana yang tidak kondusif. Sebagian besar
didorong oleh ambisi pribadi, bukan demi kemaslahatan umum …. Ikhwan juga
berkeyakinan bahwa partai-partai yang ada hingga kini belum dapat menentukan
program dan manhajnya secara pasti… Ikhwan berkeyakinan bahwa hizbiyah (sistem
kepartaian) yang seperti itu akan merusak seluruh tatanan kehidupan, memberangus
kemaslahatan, merusak akhlak, dan memporakporandakan kesatuan umat.”

Korelasi amal siyasi dengan arkanul bai’ ah

Amal siyasi sebagai bagian penting dari keseluruhan amal Islami harus mendapat
perhatian serius dari para aktivis dakwah dan bai’at mereka kepada jalan dakwah adalah
bai’at mereka pula kepada amal siyasi.

Dakwah Islam tidak menyerukan sikap memisahkan diri dari persoalan-persoalan


kemasyarakatan yang ada dalam tubuh umat Islam. Jika pun terdapat upaya-upaya
memilah lingkungan kehidupan para aktivis dakwah dari masyarakat umum, maka
tujuannya bukan untuk lari dari masyarakat yang menjadi tanggung jawab dakwahnya.
Tetapi, hal itu dilakukan hanya untuk konsolidasi internal mereka agar memiliki kekuatan
yang lebih besar dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat tersebut. Atau,
agar mereka tidak tergelincir karena tarikan-tarikan dasyhat kemaksiatan sehingga ia
akhirnya justru menjadi bagian dari persoalan tersebut.

Allah Berfirman :

‫ نونممن يِدننوُلذهمم يِننموُنمئذذذ‬. ‫نيِاَ أنيِيننهاَ اَلذذيِنن نآنمندوُاَ إذنذاَ لنذقيِتددم اَلذذيِنن نكنفدرواَ نزمحففاَ فننل تدننوُيلوُدهدم اَملنمدنباَنر‬
‫ذ‬ ‫ددبنرهد إذلل متنحلرففاَ لذذقنتاَذل أنو متنحيِلنزاَ إذنلىَ فذئنذة فنننقمد باَء بذغن ن ذ ذ ل ذ‬
‫ضب منن اَل ه نونمأمنواَهد نجنهنلدم نوبمئ ن‬
‫س‬ ‫نن‬ ‫م د نف‬ ‫دن د ن‬
‫صيِدر‬‫اَلمم ذ‬
‫ن‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang
kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka
(mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka di waktu itu, kecuali berbelok untuk
(siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka
sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya adalah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. ” (Q.S.
8/Al-Anfaal: 16).

Kefahaman tentang amal siyasi yang dikembangkan pada saat ini boleh jadi
berbeda dengan sebelumnya karena perbedaan-perbedaan situasi dan kondisi yang
menyertainya. Pandangan Imam Hasan Al-Banna tentang sistem kepartaian yang
menyebabkan beliau tidak mendirikan partai politik, tetapi membolehkan kesertaan
dalam pemilihan umum telah diposisikan secara aktual dalam beberapa kurun terakhir.
Partai-partai politik dalam berbagai bentuknya telah berdiri dan diusung oleh para
aktivis dakwah di berbagai negara dalam rangka amal siyasi mereka berdasarkan syuro-
syuro yang mereka lakukan.

Amal siyasi yang dilakukan bukanlah sekadar untuk meraih kekuasaan dan
mencapai kedudukan-kedudukan tinggi dalam pemerintahan, tetapi semata-mata
ditujukan bagi penegakkan hukum-hukum Allah SWT di dalam masyarakat berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan yang telah digariskan-Nya. Inilah rukun ikhlas yang akan
menjauhkan aktivis dakwah dari perangkap kediktaktoran, korupsi, dan kesombongan
tatkala meraih suatu kedudukan dalam kekuasaan.

Setiap aktivis menyadari sungguh-sungguh dengan kefahamannya dan


keikhlasannya bahwa amal siyasi yang dilakukannya adalah bagian dari kerja besar dari
tangga-tangga mihwar ta’sisi, mihwar tanzhimi, mihwar sya’bi, mihwar muasasi dan
mihwar dauli. Dalam kaitan koalisi kerja teknis Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “
Tidaklah mengapa menggunakan orang-orang non-muslim --jika keadaan darurat--
asalkan bukan untuk posisi jabatan strategis (dalam pemerintahan).”

Kesungguhan dalam kerja siyasi adalah bagian dari jihad yang harus dilakukan.
Kesungguhan itu akan terjadi jika aktivis dakwah menghargai dan mematuhi jalan
dakwah yang telah digariskan berdasarkan syuro. Tidak boleh ada seorang pun yang
bermalas-malasan dalam bidang ini hanya lantaran ia merasa bukan bidangnya atau
tidak sependapat dengan hasil-hasil syuro.

Apapun yang disumbangkan dalam amal siyasi, mulai dari harta sampai dengan
jiwa, adalah bagian dari ruhul tadhiyah (jiwa pengorbanan) di jalan dakwah. Tidak ada
istilah mati sia-sia dalam suatu amal siyasi karena seluruh pengorbanannya harus
diyakini akan dihisab oleh Allah SWT dengan timbangan kebaikan dakwah.

Ketaatan dalam janji setia aktivis dakwah adalah ketaatan yang penuh selama
masih dalam jalan Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ketaatan yang bersifat setengah-
setengah, misalnya hanya kepada perintah-perintah atau kesepakatan-kesepakatan
dalam bidang sosial saja, sedang dalam politik ia membangkang. Termasuk dalam
perkataan fi makrahi (dalam keadaan tidak menyenangkan) adalah ketaatan kepada hal-
hal yang ketika bersyuro kita tidak sependapat dengan hasil keputusannya.

Keteguhan (tsabat) adalah bagian penting dalam dakwah ini dan lebih istimewa
lagi dalam amal siyasi. Jika dalam amal ij’timaiy mungkin banyak pujian yang datang
tetapi dalam amal siyasi kondisinya terbalik, banyak orang yang merasa terancam
dengan kehadiran dakwah dan Islam di panggung politik, banyak orang yang apriori dan
bahkan memusuhinya sebagai bagian dari konspirasi global yang sudah terjadi sejak
masa Nabi Muhammad SAW.
Resiko-resiko yang diterima tanpa ada keteguhan akan menjadi dasar penyesalan
atas keputusan yang telah disepakati, padahal waktu adalah bagian dari solusi.
Keberhasilkan perjuangan seringkali tidak dapat diukur dalam waktu yang pendek.

Amal siyasi yang diperjuangkan adalah amal siyasi yang islami. Ini adalah
komitmen yang tidak boleh berubah, meskipun tawaran-tawaran berbagai ideologi
sangat banyak dalam dunia politik. Manhaj Islam sedemikian terang benderangnya, dan
oleh karenanya aktivis dakwah tidak akan terjebak pada pemikiran dan metode yang
tidak jelas hanya karena ketidak-sabarannya bekerja dengan waktu.

Ini adalah makna tajarrud (kemurnian total) dalam arkanul bai’ah yang sepuluh.
Dunia politik adalah dunia yang memiliki karakteristik tersendiri sehingga banyak orang
mengatakan “politik itu kotor”. Perkataan itu sesungguhnya tidak benar karena dunia
sosial, perdagangan, bahkan dunia dakwah itu sendiri dapat saja menjadi “kotor ” oleh
perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab. Namun
demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak perpecahan, persengketaan,
permusuhan diantara teman, intrik dan fitnah terjadi di dunia politik.

Oleh karena itu, jika rukun ukhuwah diabaikan dan tidak bekerja maksimal dalam
amal siyasi, semua kemungkinan dan kekhawatiran itu dapat juga terjadi pada diri kita.

Terakhir, perlu direnungkan makna tsiqah yakni menyiapkan rasa puas kepada
pemimpin atas kapasitas kemimpinannya dan maupun keikhlasan, dengan kepuasan
yang mendalam yang menghasilkan perasaan cinta, penghargaan, penghormatan, dan
ketaatan. Semakin jauh jenjang organisasi dari titik pusat pengambil keputusan rukun
tsiqah ini akan semakin signifikan dalam membangun komitmen.

Tentu, rukun ini tidak menghilangkan fungsi pemimpin sebagai guru dan
pembimbing kepada para anggota sehingga kepuasan itu hadir dengan penuh qana’ah
tidak terpaksa. Keputusan-keputusan dalam amal siyasi dalam kadar tertentu
kadangkala memang begitu rumit karena demikian kompleksnya persoalan yang
dihadapi. Ketsiqahan diantara aktivis dakwah dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
degradasi soliditas karena adanya keputusan-keputusan qiyadah yang belum terpahami.

Kontribusi komitmen bai’ ah aktual dalam dakwah

Kekuatan interaksi terhadap arkanul bai’ah akan dapat mempertahankan


penampilan kinerja dan manhaj amaliy aktivis dakwah sehingga bisa diandalkan dalam
persaingan antaraliran, antarahzab (partai-partai) dengan aneka ragam mabadi
(ideology). Insya Allah dengan komitmen interaktif yang kontinyu terhadap arkanul
bai’ah jamaah dakwah akan mempunyai mazhhar (penampilan) yang sanggup
menghadapi tantangan rivalitas yang semakin tajam antar-aliran ideologis dan antar-
pemikiran yang ada di lapangan.
Mazhhar jama’ah yang diharapkan tumbuh dan berkembang dari interaksi
dengan arkanul bai’ah yang terus-menerus itu ialah:

1. Mazhhar atsbatu mauqifan (penampilan dalam kekokohan sikap) yakni sikap


yang paling teguh di antara sikap-sikap yang ditampilkan oleh golongan-
golongan, madzhab-madzhab dan aliran-aliran lain. Sikap yang tidak
mudzabdzab, (plin-plan), yang tidak mancla-mencle, yang tidak memble
menghadapi tantangan-tantangan yang semakin kuat dan terang-terangan. Sekali
lagi, tantangan yang semakin terang-terangan mengingat kita sekarang ada di era
jahriyah (keterbukaan). Sikap teguh kita harus ditampilkan secara penuh dalam
kinerja, performance dakwah jama’ah, dan partai kita. Kekokohan sikap adalah
tampilan awal yang merupakan buah dari kekuatan yang ditumbuhkan oleh
aqidah kita.

2. Mazhar arhabu shadran. Keteguhan sikap itu tidak melahirkan sikap yang kaku
karena selain ada aqidah yang rasikh, aqidah yang kuat, tetapi juga ada akhlaqul
karimah yang akan melahirkan arhabu shadran (kelapangan dada). Di atas
kekokohan sikap itu kita paling bisa dan paling sanggup berlapang dada dalam
menghadapi realitas kehidupan, dalam menghadapi tantangan, dalam
bermuamalah menghadapi berbagai sikap-sikap lain. Termasuk ketika kita
berinteraksi dengan sesama kelompok Islam yang kebetulan mereka belum satu
manhaj dengan kita dengan perlakuan dan sikap-sikap mereka yang tidak
menyenangkan.

3. Mazhar a’ maqu fkran (penampilan kedalaman dalam berfikir) dalam


menghadapi aneka situasi dan kondisi sehingga kita tidak meresponnya secara
i’tijaliyah (ketergesa-gesaan). Kita selalu berfikir secara muta’anni (sangat
mendalam) dan mutama’in (intens), dalam menentukan langkah-langkah kita
dengan proses dan prosedur yang benar yang sudah kita sepakati bersama. Tidak
boleh ada satupun keputusan jamaah ini yang tanpa melalui proses a’maqu
fikran yang dalam praktiknya kita wujudkan dalam wadah syuro yang selalu kita
jaga. Sehingga tidak ada alasan dari kita untuk tidak mendukung sikap yang
diambil oleh jama’ah, karena proses dan prosedur yang diambil sudah benar
dengan tetap tidak terburu-buru.

4. Dalam memandang fenomena kehidupan dan perjuangan ini kita harus


mempunyai mazhhar awsa’ nazhoron (penampilan dengan pandangan yang
lebih luas). Kita harus mempunyai pandangan yang sangat luas, seluas ufuq yang
bisa dijangkau oleh mata kita. Kita tidak boleh mempunyai pandangan
mutajamid (pandangan kebekuan) yang sempit, hizbiyah (mengagungkan
golongan) dan madzhabiyah (mengagungkan aliran). Kita harus memiliki
pandangan yang sangat luas karena sasaran dari dakwah yang sudah
dicanangkan adalah bina-ul fard (peminaan individu), bina-ul mujtama’
(peminaan masyarakat), bina-ud daulah (pembangunan negara), bina-ul khilafah
(pembangunan khilfah) hingga ustadziyatul ‘alam (sokoguru semesta alam).

Di sana kita harus memancangkan rahmatan lil ‘alamin sehingga setiap makhluk
hidup --bukan manusia saja-- merasakan sentuhan rahmat dari kita. Tidak
mungkin kita melakukan itu bila kita tidak mempunyai pandangan yang sangat
luas terhadap kehidupan ini.

5. Kita harus didukung dengan Mazhhar ansyathu ‘ amalan (penampilan sebagai


pihak yang paling giat bekerja). Karena mazhhar-mazhhar sebelumnya harus
dibuktikan dalam ansyathu ‘amalan (kegiatan kerja). Hendaknya beramal paling
keras dan menjadi aktivis/amilin yang paling giat, efektif dalam mengarahkan
tenaga dan potensinya serta langkah-langkahnya selalu terarah dengan tepat
(khutuwat al athifah). Itu adalah refleksi dari aqidah dan fikrah kita.

6. Begitu juga kita menyadari sepenuhnya bahwa syumuliyatul Islam tidak mungkin
diperjuangkan secara individual, tapi harus diperjuangkan secara jama’iy
(kolektif). Maka, kita pun harus menampilkan secara struktural ashlabu
tanzhiman (organisasi yang paling solid dan kokoh bagaikan baja). Tanzhim kita
tanzhim yang kokoh tidak gampang reot oleh benturan-benturan yang diarahkan
oleh lawan-lawan, musuh-musuh, pesaing-pesaing, atau oleh orang-orang yang
belum memahami dakwah kita.

Kita tetap teguh. Keputusan jama’ah tidak pernah dihasilkan oleh pressure,
tekanan, ancaman apapun. Semuanya, yang penting, proses prosedur berjalan
maka kita putuskan dengan mengabaikan tekanan dari manapun. Ini sebagai
pembuktian dari ashlabu tanzhiman.

7. Mazhhar aktsaru naf’ an (penampilah sebagai pihak yang paling banyak memberi
manfaat). Dulu sering saya katakan bahwa kita dituntut oleh Allah SWT untuk
menjadi orang-orang yang produktif menghasilkan kebajikan-kebajikan. Sebab,
pada dasarnya secara fitriyah kita sudah menjadi orang-orang yang konsumtif.
Kalau masalah konsumtif tidak perlu didorong, tidak perlu diprogram, karena
sudah sudah menjadi tabiat dasar. Begitu lahir kita mengkonsumsi kebajikan ibu,
kebajikan ayah, kebajikan saudara-saudara kita, kebajikan tetangga-tetangga
yang menimang-nimang kita. Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai