Anda di halaman 1dari 56

KUMPULAN TULISAN ANIS MATTA

eBook oleh : Keluarga ilma95


http://www.ilma95.net

Beramal Islami di Dalam dan Melalui Jama'ah


Author: M Anis Matta
Editor: Abu Aufa

ABSTRACT:
*******************************************************
Ummat ini bagaikan daun-daun yang berguguran, mudah sekali diterpa angin. Tiada
kekuatan yang mampu menghimpunnya kembali, menata seperti ia masih bergayut pada
pohonnya. Begitulah kenyataan! Banyak orang saleh, orang hebat, tapi semuanya seperti
daun-daun yang berhamburan. Oleh karena itu, jalan panjang untuk menuju kebangkitan
ummat ini haruslah dimulai dari menghimpun daun-daun tersebut dalam wadah yang
bernama jama'ah, merajut kembali jalinan cinta , satukan potensi dan kekuatan, sehingga
ia menjadi pohon peradaban yang teduh, menaungi kemanusiaan.
*******************************************************

Walaupun satu keluarga kami tak saling mengenal, Himpunlah daun-daun yang
berhamburan ini, Hidupkan lagi ajaran saling mencinta Ajari lagi kami berkhidmat
seperti dulu

Itulah beberapa bait dari sajak doa Iqbal. Mungkin batinnya menjerit pada setiap
kesaksiannya atas zamannya; ummat ini seperti daun-daun yang berhamburan. Seperti
daun-daun yang gugur diterpa angin, tak ada lagi kekuatan yang dapat menghimpunnya
kembali, menatanya seperti ketika ia masih menggayut pada pohonnya.

Begitulah kenyataan ummat ini; mungkin banyak orang saleh diantara mereka, tapi
semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah
yang bernama jama'ah. Mungkin banyak orang hebat diantara mereka, tapi kehebatan
mereka hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada
individu-individu diantara mereka, tapi semuanya berserakan di sana sini, tak terhimpun.

Maka jama'ah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-
daun yang berhamburan itu; supaya kekuatan setiap satu orang saleh, atau orang hebat,
atau satu potensi, bertemu padu dengan kekuatan saudaranya yang lain, yang sama
salehnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya.

Jama'ah juga merupakan CARA YANG PALING TEPAT UNTUK


MENYEDERHANAKAN PERBEDAAN-PERBEDAAN PADA INDIVIDU. Di dalam
satu jama'ah, individu-individu yang memiliki kemiripan disatukan dalam sebuah simpul.
Maka meskipun ada banyak jama'ah, itu tetap jauh lebih baik daripada tidak ada sama
sekali. Sebab JAUH LEBIH MUDAH MEMETAKAN ORANG BANYAK MELALUI
PENGELOMPOKAN ATAU SIMPUL-SIMPULNYA, KETIMBANG HARUS
MEMETAKAN MEREKA SEBAGAI INDIVIDU.

Maka jalan panjang menuju kebangkitan kembali ummat ini, harus dimulai dari
menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta diantara
mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian `meledakkannya' pada
momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi
kemanusiaan.

Tapi itulah masalahnya. Ternyata itu bukan pekerjaan yang mudah. Ternyata cinta tidak
mudah ditumbuhkan diantara mereka. Ternyata orang saleh tidak mudah disatukan.
Ternyata orang hebat tidak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat yang lain.
Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan di kalangan gangster mafia; seorang prajurit yang
bodoh, kadang-kadang lebih berguna dari pada dua orang jenderal yang hebat. Tapi tidak
ada jalan lain; NABI UMMAT INI TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKAN SETIAP
ORANG DI ANTARA KITA UNTUK MENINGGALKAN JAMA'AH SEMATA-
MATA KARENA IA TIDAK MENEMUKAN KECOCOKAN BERSAMA ORANG
LAIN DALAM JAMA'AHNYA. Sebab, kekeruhan jama'ah, kata Imam Ali Bin Abi
Thalib Ra, jauh lebih baik daripada kejernihan individu.

DARI INDIVIDU KE JAMA'AH


Orang-orang saleh diantara kita harus menyadari, bahwa tidak banyak yang dapat ia
berikan atau sumbangkan untuk Islam kecuali kalau ia bekerja di dalam dan melalui
jama'ah. Mereka tidak dapat menolak fakta bahwa tidak ada orang yang dapat
mempertahankan hidupnya tanpa bantuan orang lain, bahwa tidak pernah ada orang yang
dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya, bahwa KECERDASAN
INDIVIDUAL TIDAK PERNAH DAPAT MENGALAHKAN KECERDASAN
KOLEKTIF. Bekerja di dalam dan melalui jama'ah tidak hanya terkait dengan fitrah
sosial kita, tapi terutama terkait dengan kebutuhan kita untuk menjadi lebih efisien,
efektif dan produktif.

Ada juga alasan lain. Kita hidup dalam sebuah zaman yang oleh ahli-ahlinya dicirikan
sebagai masyarakat jaringan, masyarakat organisasi. Semua aktivitas manusia dilakukan
di dalam dan melalui organisasi; pemerintahan, politik, militer, bisnis, kegiatan sosial
kemanusiaan, rumah tangga, hiburan dan lainnya. Itu merupakan kata kunci yang
menjelaskan, mengapa masyarakat moderen menjadi sangat efektif dan efisien serta
produktif.

Masyarakat modern bekerja dengan kesadaran bahwa keterbatasan-keterbatasan yang ada


pada setiap individu sesungguhnya dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan
mereka itu dengan kekuatan-kekuatan yang ada pada individu-individu yang lain. Jadi
kebutuhan setiap individu Muslim untuk bekerja, atau beramal Islami di dalam dan
melalui jama'ah, bukan saja lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas,
efesiensi dan produktivitasnya, tapi juga lahir dari kebutuhan untuk bekerja dan beramal
Islami pada level yang setara dengan tantangan zaman kita.
Musuh-musuh kita mengelola dan mengorganisasi pekerjaan-pekerjaan mereka dengan
rapi, sementara kita bekerja sendiri-sendiri, tanpa organisasi, dan kalau ada, biasanya
tanpa manajemen.

Pilihan untuk bekerja dan beramal Islami di dalam dan melalui jama'ah hanya lahir dari
kesadaran mendalam seperti ini. Tapi kesadaran ini saja tidak cukup. Ada persyaratan
psikologis lain yang harus kita miliki untuk dapat bekerja lebih efektif, efisien dan
produktif dalam kehidupan berjama'ah.

1. KESADARAN BAHWA KITA HANYALAH BAGIAN DARI FUNGSI


PENCAPAIAN TUJUAN
Jama'ah didirikan untuk mencapai tujuan-tujuan besar. Untuk jama'ah bekerja dengan
sebuah perencanaan dan strategi yang komprehensif dan integral. Di dalam strategi
besar itu, individu harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan elemen yang
diperlukan untuk mencapainya. Jadi sehebat apa pun seorang individu, bahkan
sebesar apa pun kontribusinya, dia tidak boleh merasa lebih besar daripada strategi
dimana ia merupakan salah satu bagiannya. Begitu ada individu yang merasa lebih
besar dari strategi jama'ah, maka strategi itu akan berantakan. Untuk itu setiap
indvidu harus memiliki kerendahan hati yang tulus.

2. SEMANGAT MEMBERI YANG MENGALAHKAN SEMANGAT MENERIMA


Dalam kehidupan berjama'ah terjadi proses memberi dan menerima. Tapi jika pada
sebagian besar proses kita selalu berada pada posisi menerima, maka secara perlahan
kita `mengkonsumsi' kebaikan-kebaikan orang lain hingga habis. Itu tidak akan
pernah mampu melanggengkan hubungan individu dalam sebuah jama'ah.

Betapa bijak nasihat KH Ahmad Dahlan kepada warga Muhammadiyah; "Hidup-


hidupkanlah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah".

3. KESIAPAN UNTUK MENJADI TENTARA YANG KREATIF


Pusat stabilitas dalam jama'ah adalah kepemimpinan yang kuat. Tapi seorang
pemimpin hanya akan menjadi efektif apabila ia memiliki prajurit-prajurit yang taat
dan setia. Ketaatan dan kesetiaan adalah inti keprajuritan. Begitu kita bergabung
dalam sebuah jama'ah, kita harus bersiap untuk menjadi taat dan setia. Tapi ruang
lingkup amal Islami yang sangat luas membutuhkan manusia-manusia kreatif. Dan
kreativitas tidak bertentangan dengan ketaatan dan kesetiaan. Jadi kita harus
menggabungkan antara ketaatan dan kreativitas; ketaatan lahir dari kedisiplinan dan
komitmen, sementara kreativitas lahir dari kecerdasan dan kelincahan. Dan itu
merupakan perpaduan yang indah.

4. BERORIENTASI PADA KARYA, BUKAN PADA POSISI


Jebakan terbesar yang dapat menjerumuskan kita dalam kehidupan berjama'ah adalah
posisi struktural. Jama'ah hanyalah wadah bagi kita untuk beramal. Maka kita harus
selalu berorientasi pada amal dan karya yang menjadi tujuan utama kita berjama'ah,
dan memandang posisi structural sebagai perkara sampingan saja. Dengan begitu kita
akan selalu bekerja dan berkarya ada atau tanpa posisi struktural.
5. BEKERJASAMA WALAUPUN BERBEDA
Perbedaan adalah tabiat kehidupan yang tidak dapat dimatikan oleh jama'ah. Maka
adalah salah jika berharap untuk hidup dalam sebuah jama'ah yang bebas dari
perbedaan. Yang harus kita tumbuhkan adalah kemampuan jiwa dan kelapangan dada
untuk tetap bekerjasama di tengah berbagai perbedaan. Perbedaan tidaklah sama
dengan perpecahan, dan karena itu kita tetap dapat bersatu walaupun kita berbeda.

6. JAMAAH YANG EFEKTIF


Mungkin jauh lebih realistis untuk mencari jama'ah yang efektif ketimbang mencari
jama'ah yang ideal. Kita adalah ummat yang sakit. Setiap kita mewarisi kadar tertentu
dari penyakit tersebut. Jika orang-orang sakit itu saling bertemu dalam sebuah
jama'ah, pada dasarnya jama'ah itu juga merupakan jama'ah yang sakit. Itulah
faktanya. Tapi tugas kita menyalakan lilin, bukan mencela kegelapan.

Jama'ah yang efektif adalah JAMA'AH YANG DAPAT MENGEKSEKUSI ATAU


MEREALISASIKAN RENCANA-RENCANANYA. Kemampuan eksekusi itu lahir
dari integrasi antara berbagai elemen; ada sasaran dan target yang jelas, strategi yang
tepat, sarana pendukung yang memadai, pelaku yang bekerja dengan penuh semangat,
lingkungan strategi yang kondusif.

Jama'ah yang didirikan untuk kepentingan menegakkan syariat Allah Swt di muka
bumi, akan menjadi efektif apabila ia memiliki syarat-syarat berikut ini;

A. IKATANNYA AQIDAH, BUKAN KEPENTINGAN


Orang-orang yang bergabung dalam jama'ah itu disatukan oleh ikatan aqidah,
dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan Islam. Mereka tidak
disatukan oleh kepentingan duniawi yang biasanya lahir dari dua kekuatan
syahwat; keserakahan (hubbud dunya) dan ketakutan (karahiatul maut).

B. JAMA'AH ITU SARANA, BUKAN TUJUAN


Jama'ah itu tetap diposisikan sebagai sarana, bukan tujuan. Sehingga tidak ada
alasan untuk memupuk dan memelihara fanatisme sekadar untuk menunjukkan
kesetiaan pada grup. Hilangnya fanatisme juga memungkinkan jama'ah-jama'ah
itu saling bekerja sama diantara mereka, membangun jaringan yang kuat, dan
tidak terjebak dalam pertarungan yang saling mematikan.

C. SISTEM, BUKAN TOKOH


Jama'ah itu akan menjadi efektif jika orang-orang yang ada di dalamnya bekerja
dengan sebuah sistem yang jelas, bukan bekerja dengan seseorang yang berfungsi
sebagai sistem. Pemimpin dan prajurit hanyalah bagian dari strategi, sistem adalah
sesuatu yang terpisah. Dengan cara ini kita mencegah munculnya diktatorisme
dimana selera sang Pemimpin menjelma menjadi sistem.
D. PENUMBUHAN, BUKAN PEMANFAATAN
Sebuah jama'ah akan menjadi efektif jika ia memandang dan menempatkan
orang-orang yang bergabung ke dalamnya sebagai pelaku-pelaku, yang karenanya
perlu ditumbuh-kembangkan secara terus menerus, untuk fungsi pencapaian
tujuan jama'ah itu. Jama'ah itu akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi
perkembangan kreativitas individunya, dan tidak memandang mereka sebagai
pembantu-pembantu yang harus dipaksa bekerja keras, atau sapi-sapi yang dungu
yang harus diperah setiap saat.

E. MENGELOLA PERBEDAAN, BUKAN MEMATIKANNYA


Jama'ah yang efektif selalu mampu mengubah keragaman menjadi sumber
kreativitas kolektifnya. Dan itu dilakukan melalui mekanisme syuro yang dapat
memfasilitasi setiap perbedaan untuk diubah menjadi konsensus..

*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*


Al-Hubb Fillah wa Lillah,
Berbahasa yang Tepat dengan Orang Lain
http://www.hidayatullah.com/majalah
Edisi 07/XVI Nopember 2003 - Kajian Utama

Cara kita bereaksi terhadap serangan peradaban lain, masih tergolong primitif dari waktu
ke waktu.

oleh: M Anis Matta, kontributor Majalah Hidayatullah

"Mengapa AS selalu menerapkan standar ganda terhadap dunia Islam? Kalau Negara
Anda benar-benar ingin menerapkan HAM, sekaranglah saatnya anda membuktikannya
di Bosnia Herzegovina."

Protes keras nan gagah itu diucapkan seorang aktivis Islam kepada sekretaris satu
Kedubes Amerika Serikat di Jakarta, dalam sebuah diskusi kecil di kantor PP
Muhammadiyah, Menteng. Itu terjadi tahun 1994, ketika Serbia membantai habis kaum
Muslimin Bosnia. Benar-benar tahun darah dan air mata. Kita disini bahkan mungkin
baru tahu, kalau di daratan Eropa ternyata ada kawasan mayoritas Muslim yang sedang
dibantai hanya karena berjuang merebut kemerdekaannya sendiri.

Diskusi itu memang dilatari kemarahan dan semangat protes.

Saudara-saudara kita dibantai habis. Kehormatan kita tercabik. Ghirah kita bangkit.
Solidaritas kita tergugah. Dan seperti biasa: kita marah.

Dan jika kita marah, seperti biasa, kita tumpah ruah di jalanan.

Berteriak. Protes. Berdoa. Lalu mengumpulkan sedikit dana. Habis itu kita bubar. Entah
titik atau koma, reaksi kita memang selalu berujung begitu.

Begitu pula hari itu. Kemarahan kita meledak tuntas di depan orang Amerika itu.
Wajahnya mengatakan kalau dia jelas terpojok. Tapi, seperti biasa, para diplomat selalu
mampu menjaga alibi dan ketenangannya. Dia tetap berusaha tersenyum. Lalu bertanya
balik: "Jika Anda merasa bahwa kaum muslimin Bosnia adalah saudara-saudara anda,
mengapa bukan Anda saja yang pergi kesana membela mereka? Mengapa Anda
mengharuskan orang-orang Amerika mengirimkan putera-puteri mereka untuk membela
orang-orang yang Anda anggap sebagai saudara-saudara Anda sendiri?

Mengapa kami yang harus membela saudara-saudara Anda?"

Para aktivis Islam itu terdiam. Logika orang Amerika itu terlalu telak menampar pikiran
mereka. Mereka tidak pernah menduga cara berpikir lawan diskusi mereka. Ketika
diskusi itu berakhir, setiap orang kembali dengan kesadaran yang samar. Kita sudah
marah. Kita sudah protes. Tapi hanya itu. Hanya itu betul yang bisa kita lakukan. Jelas itu
tidak cukup. Tapi begitulah. Kita tidak berdaya.
Lain waktu, seorang muballigh di Arab Saudi berdiskusi dengan duta besar AS. Ia juga
memprotes perlakuan AS terhadap kaum Muslimin di Palestina, Afghanistan dan
berbagai negara Islam lainnya. Ini kesempatan emas, pikirnya. Tapi sang dubes balik
bertanya: "Kami sudah mereka seluruh ceramah para muballigh di Arab Saudi, dan kami
menemukan fakta, bahwa seluruh ceramah itu berisi kecaman dan doa agar Tuhan
menghancurkan negeri kami. Apakah menurut Anda, itu sekedar ceramah dan bukan
pernyataan perang terbuka? Bukankah dengan cara begitu Anda telah memprovokasi
masyarakat Anda untuk memusuhi kami dan memaksa kami untuk membela diri?" Sang
Muballigh pun hanya bisa diam.

Selalu begitu penampilan kita. Rapuh dan antagonis. Marah dan tidak berdaya. Ngamuk,
menangis, berdoa, habis itu lupa. "Memori orang Islam itu pendek. Mereka pelupa.
Waktu kami menyerang Afghanistan, mereka protes. Setelah kami menang, mereka diam.
Jadi kalau nanti kami menyerang Iraq, mereka akan melakukan hal yang sama: protes,
lalu lupa,"

kata seorang pejabat senior AS sebelum invasi ke Iraq.

Tantangan Canggih, Reaksi Primitif

Ditakdirkan menjadi pengikut seorang nabi yang turun menutup mata rantai kenabian dan
risalah agama samawi, ummat Islam memang mewarisi bibit konflik dengan saudara-
saudara tua mereka: Nasrani dan Yahudi.

Ditakdirkan menghuni belahan bumi yang subur, kaya dan melimpah, ummat Islam juga
mudah menjadi sasaran tembak negara-negara kapitalis: para pemburu kesejahteraan
yang serakah dan terlalu digdaya. Baik untuk alasan agama atau ekonomi, kekuatan bedil
juga yang akhirnya menyempurnakan dendam dan keserakahan itu menjadi megalomania.

Dunia Islam --yang rapuh dan melankolik-- memang tampak seperti seekor kijang yang
manis dan lugu di mata kawanan harimau yang sedang mengincarnya. Atau seperti
komunitas Indian yang menghuni benua Amerika --yang terlalu besar dan kaya untuk
ukuran otak mereka-- di mata tentara-tentara Inggris yang terlalu kuat, cerdas dan serakah.
Sejarah moderen Eropa adalah gabungan antara dendam salibisme dan keserakahan
negara industri, yang --dengan kedigdayaan militer-- kemudian berkembang menjadi
peradaban Nasrani-Kapitalis yang megaloman. Dunia Islam dan benua Amerika adalah
koloni Inggris. Disana dendam dan keserakahan menyatukan sentimen agama dan
kapitalisme.

Secara historis ada banyak fakta yang membuktikan gesekan berdarah antara Islam dan
Barat, baik atas nama dendam agama maupun keserakahan ekonomi. Alasan historis itu
pula yang menjelaskan, mengapa gerakan Islam selalu membenarkan dirinya untuk
memandang Barat dalam kacamata konspirasi. Tapi alasan yang sama itu juga yang
menjelaskan, mengapa Barat selalu membenarkan dirinya untuk memandang gerakan
Islam dengan kacamata fundamentalisme atau terorisme. Gesekan itu terlalu berdarah-
darah. Dan terlalu lama. Ada luka persepsi dan emosi yang tidak pernah sembuh. Atau
jika tetap dipandang dalam kerangka ini: sejarah selamanya akan tereduksi sebagai
panggung pergulatan abadi antara Timur dan Barat.

Dalam sejarah yang tereduksi begitu, tidak ada ruang untuk membicarakan benar dan
salah. Tema kita selalu tunggal: menang dan kalah. Dan dalam sejarah, menang dan kalah
adalah dua peristiwa yang berlangsung dengan kaidah yang sama. Kita atau mereka
menang kalau kita atau mereka memiliki semua syarat untuk menang. Kita atau mereka --
sebaliknya-- kalah ketika kita atau mereka menyimpan semua sebab kekalahan.

Sebuah peradaban yang kuat selalu bereaksi terhadap peradaban lain dengan pertanyaan
ini: "Berapa syarat kemenangan yang sudah kita miliki, berapa lagi yang belum kita
miliki, apa yang harus kita lakukan memilikinya. Dan sebaliknya, berapa sebab
kekalahan yang tersimpan dalam diri kita, bagaimana mengatasinya atau mengeliminasi
dampak buruknya?"

Mereka diam, tapi terus bekerja. Mereka marah, tapi tetap terkonsolidasi. Mereka balas
dendam, tapi tetap tepat sasaran. Mereka bertarung, tapi tetap belajar dan
mengembangkan daya tarung mereka.

Sebaliknya, peradaban yang rapuh dan melankolik selalu bertanya: "Kita begini karena
peradaban sana yang membuat kita jadi begini. Kita harus melawan mereka. Kita harus
mengalahkan mereka". Sementara itu mereka tidak pernah memikirkan sebab
kemenangan dan kekalahan. Mereka hanya membicarakan fakta bahwa mereka kalah,
terjajah dan tertindas. Maka mereka marah, tapi tidak berdaya. Mereka menangis, tapi
tidak bisa membalas. Inilah cara kita bereaksi terhadap tantangan-tantangan eksternal
kita: rapuh, melankolik dan cenderung primitif.

Kata Kuncinya: Komunikasi

Jauh lebih penting dari melulu membicarakan fakta-fakta tentang satuan-satuan


tantangan-tantangan eksternal yang kita hadapi, adalah membicarakan cara kita
menyikapinya. Terlalu banyak orang yang bisa melukiskan secara detil tantangan-
tantangan itu, tapi terlalu sedikit yang memperhatikan bagaimana mensikapinya.
Mungkin sebab itu pembicaraan tentang tantangan eksternal selalu membuat kita marah
dan takut sekaligus. Mengamuk dan menangis sekaligus.

Kalau masalah internal kita berpusat pada antagonisme antara kebesaran idealisme dan
kelangkaan sumberdaya, maka masalah eksternal kita berpusat pada antagonisme antara
tantangan yang terlalu besar dan reaksi yang terlalu rapuh. Kata kuncinya adalah
kemampuan komunikasi. Kata komunikasi bertumpu pada dua kemampuan: pertama,
kemampuan memahami orang lain secara akurat, dan kedua, kemampuan
mengekspresikan diri secara tepat.
Kemampuan memahami orang lain dibangun dari kekayaan sumber informasi tentang
orang lain, analisa yang komprehensif dan integral atas informasi-informasi itu, dan
akhirnya penyikapan yang obyektif terhadap

mereka: tidak terlalu meremehkan dan tidak terlalu membesarkan mereka.

Sekarang coba kita banding: berapa banyak pakar Muslim yang ahli tentang Amerika,
dan berapa banyak pakar Amerika yang ahli tentang Indonesia?

Bukankah Indonesianis asal Amerika bahkan sering jadi referensi kita dalam memahami
masalah-masalah Indonesia? Itu karena mereka lebih mengerti tentang Indonesia
ketimbang kita sendiri. Karena itu, reaksi mereka terhadap kita jauh lebih akurat dan
efektif. Untuk kasus yang lebih kecil, sekarang ada banyak tesis magister dan disertasi
doktor tentang perkembangan politik Islam di Indonesia --sejak era reformasi tahun 1998
sampai sekarang-- yang digarap oleh beberapa universitas di Amerika, Inggris, Australia
dan Jepang. Amerika, misalnya lagi, telah mengerahkan lebih dari 100 doktor untuk
mempelajari China secara komprehensif dan integral untuk dapat menentukan sikap
secara akurat terhadap kompetitor baru mereka.

Kemampuan mengekspresikan diri secara tepat dibangun dari pemahaman yang


mendalam tentang diri sendiri, tahapan kerja membangun peradaban sendiri dan
kemampuan menggunakan semua bahasa terhadap orang lain: bahasa budaya dan
pemikiran, bahasa diplomasi politik, bahasa ekonomi dan bahasa militer.

Sekarang lihatlah, berapa banyak bahasa yang digunakan Amerika dalam kasus
Afghanistan dan Irak? Ada bahasa budaya melalui isu terorisme. Ada bahasa diplomasi
politik melalui penggalangan dukungan perang melawan terorisme dan dibuktikan
melalui undang-undang anti terorisme yang dibuat semua negara serta pengaktifan
intelijen anti teror di negera-negara itu.

Ada bahasa ekonomi melalui bantuan finansial untuk negara-negara yang mendukung
perang melawan terorisme. Dan akhirnya ada bahasa militer dalam invasi atas
Afghanistan dan Iraq. Sempurna.

Makin banyak variasi bahasa yang dapat anda gunakan, makin efektif pula komunikasi
Anda. Pesan Anda akan sampai secara utuh dan sempurna.

Bertanyalah, berapa variasi bahasa yang biasa kita gunakan untuk menyampaikan pesan
kita? Misalnya dalam kasus Iraq? Inilah bahasa kita:

demonstrasi, doa dan sedikit dana. Hanya itu. Sebab itu pesan kita tak sampai. Atau
sampai tapi tidak berpengaruh.

Komunikasi adalah gabungan antara kekayaan informasi, variasi bahasa, akurasi pesan
dan efektivitas. Hasilnya adalah pengaruh dan kendali atas orang lain. Jika kita tidak
punya pengaruh dan kendali atas orang lain, carilah sebabnya pada fakta tadi.
Komunikasi kita dengan mereka

--biasanya-- jelek sehingga tidak efektif. Artinya, ada komponen pembentuk efektivitas
komunikasi yang belum kita penuhi.

Mungkin informasi yang terlalu seadanya, atau tidak akurat, atau tidak memadai.
Mungkin juga sumberdaya kita sangat terbatas, sehingga bahasa kita selalu tunggal: demo,
doa dan sedikit dana. Bahasa budaya kita mungkin tidak atraktif. Atau kita tidak handal
menggunakan bahasa diplomasi politik. Atau tidak punya bahasa ekonomi. Dan juga
tidak mampu membangun bahasa militer. Mungkin juga pesan kita selama ini tidak jelas,
tidak akurat dan tidak tepat sasaran.

Pada akhirnya, output komunikasi berupa pengaruh dan kendali hanya mungkin terlihat
kalau input berupa sumber daya yang memadai. Informasi adalah sumber daya. Gagasan
adalah sumber daya. Kemampuan diplomasi adalah sumber daya. Kekayaan ekonomi
adalah sumberdaya. Kekuatan militer adalah sumber daya. Kemampuan merancang pesan
yang akurat adalah sumber daya. Sumberdaya menentukan peluang kita merealisasi
idealisme kita. Itu sebabnya dalam komunikasi "pesan" lawan tidak dilihat berdiri sendiri.

Ia selalu dikorelasikan dengan sumber daya yang tersedia di balik pesan itu, yang
menunjukkan seberapa jauh kemungkinan pesan itu jadi realita.

Misalnya jika kita "menggertak" atau "mengancam" orang lain, lalu kita tidak dapat
membuktikannya, maka pesan kita kehilangan makna dan wibawa.

Subhaanallaah. Ini dengan sendirinya menjelaskan, mengapa masalah eksternal da'wah


adalah runtut dari masalah internalnya. Jika inti masalah internal da'wah adalah
sumberdaya, maka inti masalah eksternalnya adalah komunikasi. Tapi akar dari masalah
komunikasi --pada

akhirnya-- adalah sumber daya juga. Setiap usaha memperbaiki mutu dan efektivitas
komunikasi kita hanya akan berhasil jika diawali dengan peningkatan sumber daya.
Sumber daya menjelaskan apakah anda berdaya atau tidak berdaya. Komunikasi
menjelaskan seberapa canggih anda menggunakan sumberdaya tersebut.*
Di Balik Keharuman
Nama para pahlawan mukmin sejati senantiasa harum sepanjang sejarah. Tapi hanya
sedikit orang yang mengetahui betapa besar pajak yg telah mereka bayar untuk
keharuman itu.

Masyarakat manusia pada umumnya selalu mempunyai dua sikap terhadap keharuman itu.
Pertama, mereka biasanya akan mengagumi para pahlawan itu, bahkan terkadang sampai
pada tingkat pendewaan. Kedua, mereka akan merasa kasihan kepada para pahlawan
tersebut karena mereka tidak sempat menikmati hidup secara wajar. Yang kedua ini
biasanya datang dari keluarga dekat sang pahlawan.

Apa yang dirasakan orang luar berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sang pahlawan
itu sendiri. Kekaguman, mungkin merupakan sesuatu yang indah bagi banyak orang. Tapi
yang membayar harga keharuman yang dikagumi itu adalah para pahlawan. Dan harga itu
tidah diketahui orang banyak. Maka seorang penyair arab terbesar, Al-Mutanabbi
mengatakan: ―Orang luar mengagumi kedermawanan sang pahlawan, tapi tidak
merasakan kemiskinan yang mungkin dicipatakan oleh kedermawanan, orang luar
mengagumi keberanian sang pahlawan tetapi mereka tidak merasakan luka yang
menghantarnya menuju kematian.

Tapi ada kenyataan lain yang sama sekali terbalik. Keluarga para pahlawan seringkali
tidak merasakan gaung kebesaran atau semerbak harum nama sang pahlawan. Karena ia
hidup ditengah tengah mereka, setiap hari bahkan setiap saat. Bagi mereka, sang
pahlawan adalah juga manusia biasa, yang mempunyai keinginan-keinginan dan
kegemaran-kegemaran tertentu seperti mereka. Dan mereka harus menikmatinya. Maka
merekalah yang sering menggoda pahlawan untuk tidak melulu ―mendaki‖ langit, tapi
juga sekali-kali ―turun‖ kebumi.

Dan kedua sikap tersebut adalah jebakan. Kekaguman dan pendewaan sering menjebak
para pahlawan, karena itu akan mempercepat munculnya rasa uas dalam dirinya.
Sehingga karya yang sebenarnya belum sampai ke puncak, akhirnya terhenti di
pertengahan jalan akibat rasa puas. Itulah sebabnya Imam Ghozali mengatakan, ―Siapa
yang mengatakan saya sudah berilmu, maka sesungguhnya orang itulah yang paling
bodoh.‖

Panggilan turun ke bumi adalah jebakan lain. Menjadi pahlawan memang akan
menyebabkan kita meninggalkan sangat banyak kegemaran dan kenikmatan hidup.
Bahkan privasi kita akan sangat terganggu. Tapi itulah pajaknya. Namun banyak orang
gagal melanjutkan perjalanan menuju puncak kepahlawanan karena tergoda untuk
―kembali‖ kehabitat manusia biasa. Seperti angin sepoi yang mengirim kantuk kepada
orang yang sedang membaca , seperti itulah panggilan turum kebumi penggoda sang
pahlawan untuk berhenti mendaki. Itulah sebabnya allah menegur para mujahidin yang
mencintai keluarga mereka melebihi cinta mereka terhadap Allah, rasul-Nya dan jihad di
jalan-Nya.
Maka para pahlawan mukmin sejati berdiri tegak di sana; diantara tipuan pendewaan dan
godaan kenikmatan bumi. Mereka terus berjalan dengan mantap menuju puncak
kepahlawanan : tidak ada kepuasan sampai karya jadi tuntas, dan tidak ada kenikmatan
melebihi apa yang mungkin diciptakan oleh kelelahan.

(Dikutip dari Majalah Islam Tarbawi)


Oleh : Ust. M Anis Matta Lc
Izinkan Kami Menata Ulang Taman Indonesia
Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki, dan
ketajaman akal.(Malik Bin Nabi, Ta`ammulat:35)

Empat syuhada berangkat pada suatu malam,


gerimis air mata tertahan di hari keesokan,
telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu-sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri,
mengukir reformasi karena jemu deformasi,
dengarkan saban hari langkah sahabat-sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu.
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi
di Trisakti bahkan di seluruh negeri,
karena kalian berani mengukir alfabet pertama
dari gelombang ini dengan darah arteri sendiri,
Merah Putih yang setengah tiang ini,
merunduk di bawah garang matahari,
tak mampu mengibarkan diri karena angin lama bersembunyi.
Tapi peluru logam telah kami patahkan alam doa bersama,
dan kalian pahlawan bersih dari dendam,
karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.
(Taufik Ismail, 1998)

Begitulah Taufik Ismail lewat sajak berjudul 12 Mei 1998 mengabadikan kepahlawanan
empat mahasiswa Trisakti yang gugur diterjang peluru kediktatoran rezim Orde Baru;
ElangMulyana, Hery Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidin Royan. Mereka adalah
sebagian dari pelaku baru sejarah Indonesia dan sekaligus fajar yang menandai lahirnya
generasi baru, generasi 1998.

Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada
cita-cita luhurnya; anak-anak yang membawa keberanian di tengah ketakutan,
mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, memekikkan gaung pembelaan di
tengah pengkhianatan; anak-anak yang memberikan darahnya dengan tulus sebagai
mahar untuk kebebasan dan keadilan; anak-anak yang meninggalkan kenikmatan masa
mudanya dengan penuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan
menyerahkan hidupnya agar bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik.

Maka sejarah panjang bangsa ini, setidak-tidaknya dalam hitungan abad ini, ditandai
dengan kelahiran generasi demi generasi pada setiap persimpangan sejarah. Jika generasi
98 berhasil menumbangkan Orde Baru, maka generasi 66 berhasil mengakhiri Orde Lama.

Dalam (puisi) Sebuah Jaket Berlumur Darah, Taufik Ismail melukiskan suasana
kepahlawanan itu:
Sebuah jaket berlumur darah
kami semua sudah menatapmu
telah berbagi duka yang agung dalam kepedihan bertahun-tahun.

Begitu kita menyusuri sejarah bangsa ini lebih jauh, kita akan bertemu dengan generasi
45 yang mempelopori perjuangan kemerdekaan. Dan lebih jauh ke belakang, ada generasi
28 yang mempelopori persatuan nasional dalam simbol tanah air, kebangsaan dan bahasa
persatuan melalui Sumpah Pemuda. Lebih jauh lagi, kita akan bertemu dengan generasi
1900-an yang mempelopori kebangkitan nasional. Semua angkatan itu lahir silih berganti
sampai datang angkatan 1998. Dan mereka lahir pada titik persimpangan sejarah dan
memberi arah bagi perjalanan bangsa kita. Mereka selalu muncul sebagai pelopor,
menghentikan kesunyian sejarah dan mengobarkan api kehidupan.

Abad 20, dalam perspektif bangsa kita, sesungguhnya adalah sejarah anak-anak muda.
Tapi itu bukan hanya milik Indonesia. Tanggal 23 Oktober 1956 Revolusi Hongaria
meletus di tangan para pemuda dan mahasiswa yang menentang pendudukan Uni Soviet
dan pemerintahan boneka. Para pemuda dan mahasiswa bahkan mempelopori perlawanan
terhadap negara adi kuasa itu di seantero kawasan Eropa Timur.

Eropa Barat juga menyaksikan gelombang gerakan pemuda dan mahasiswa sepanjang
tahun 60-an; gerakan mahasiswa di Perancis meledakkan Krisis 22 Mei 1968, mahasiswa
Spanyol bangkit menentang diktator Jendral Franco pada 1965. Hal yang sama juga
terjadi di Italia, Belgia dan negara Eropa lainnya.

Di dunia Islam, baik di kawasan Asia dan Afrika, para mahasiswa dan pemuda bangkit
mempelopori perlawanan terhadap para penjajah di sepanjang paruh pertama abad 20
sampai tahun 70-an. Para pemudalah yang terlibat dalam Revolusi Aljazair 1954 yang
mengenyahkan Prancis dari tanah itu. Para pemuda dan mahasiwa juga berhasil mengusir
Inggris dari Mesir. Dan sekarang, sejak 1987 hingga sekarang, anak-anak muda bahkan
yang masih bocah, telah meletuskan Intifadhah melawan penjajah Israel di Palestina.

Anak-anak muda melemparkan batu melawan serdadu Israel yang bersenjata


lengkap sambil menyenandungkan syair Hasyim Al-Rifa'i:

Itulah syurga yang menuntut harga


Hanya dari urat nadi para syuhada

Anak-anak muda selamanya adalah energi peradaban yang mengalirkan sungai


sejarah. Setiap kali energi itu meledak, maka sejarah segera mencatat peristiwa-peristiwa
dan langit menjadi saksi. Sebuah lembaran kehidupan baru dari buku sejarah manusia
telah dibuka. Dan sejarah, kata Malik Bin Nabi, adalah catatan statistik tentang denyut
hati, gerak tangan, langkah kaki dan ketajaman akal.

Anak-anak yang Gelisah


Sejarah anak-anak muda adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Sebelum
kemerdekaan anak-anak muda Indonesia bangkit menyatukan bangsa dan melawan
penjajah serta merebut kemerdekaan. Tapi setelah merdeka mereka bangkit melawan
penguasa tiran dan diktator serta membela rakyat dari penindasan sosial, ekonomi dan
politik.

Adalah bagian dari keunikan abad ini, Allah swt menakdirkan para penguasa tiran dan
diktator lahir pada waktu yang hampir bersamaan. Ketika tirani Soekarno merajalela di
Indonesia, maka di Yugoslavia ada Tito dan di Mesir ada Nasser. Ketika kediktatoran
Soeharto membungkam rakyat Indonesia, maka di Libya ada Khadafi, di Irak ada
Saddam, di Syiria ada Asad, dan di Iran ada Reza Pahlevi. Di abad ini pula lahir Hitler,
Stalin dan Mossoulini. Jangan lupa, di abad ini pula dunia terlibat dalam dua kali perang
akbar, Dunia I dan II, pada 1914 dan 1941.

Perlawanan dan pembelaan adalah energi peradaban. Dan energi itu lahir dari
kegelisahan. Tapi dari manakah kegelisahan itu tercipta? Dari idealisme yang terpasung
di alam kenyataan. Maka setiap kali janji kemakmuran terpasung dalam krisis ekonomi
yang menyengsarakan rakyat, atau suara keadilan terbungkam dalam tirani kekuasaan,
atau kebebasan ditindas oleh kediktatoran, setiap kali itu pula ada kegelisahan yang
meresahkan jiwa anak-anak muda dan mencatut semua kenyamanan hidup mereka. Maka
mereka bergerak dan segera berdiri di garis depan menyambut penggilan sejarah. Tapi
anak muda macam manakah mereka? Mereka adalah anak-anak muda yang telah beriman
kepada Tuhan mereka, lalu Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.(QS. Al-Kahfi:13)

Demikianlah. Kegelisahan menjadi isyarat dari anak-anak peristiwa yang akan lahir dari
rahim sejarah. Kegelisahan memberi energi. Dan energi itu tumpah ruah dalam
semangat perlawanan dan pembelaan. Maka, ada peristiwa ada sejarah. Tapi ada satu
fenomena yang jarang kita perhatikan dalam langkah sejarah, bahwa gerakan-gerakan
pemuda seringkali dimatikan oleh orang-orang yang mencetuskannya pertama kali. Lihat
Soekarno dan Soeharto.

Saatnya Kaum Muda Bangkit Kembali


Kini, kita tengah berada di persimpangan sejarah. Generasi 98 telah menjalankan
tugasnya. Mereka telah berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan mengantar
sejumlah elit politik baru ke panggung sejarah Indonesia. Tapi tugas belum betul-betul
tuntas. Tahun ini kita memperingati Sumpah Pemuda dengan kenyamanan yang
terampas, sebab ada kegeliasahan baru, sebab ada idelisme yang terpasung di alam
kenyataan, sebab cita-cita reformasi seperti hilang lenyap dalam retorika politik.

Masa transisi yang tengah kita alami ini boleh jadi merupakan awal dari bencana besar
yang mungkin akan menimpa bangsa kita di masa depan. Seperti ketika arogansi
berhadap-hadapan dengan kenyataan bahwa negara kita sedang menghampiri
kebangkrutannya, seperti ketika semangat memberantas KKN berhadap-hadapan dengan
semangat balas dendam atas kemiskinan masa lalu. Seperti ketika demokrasi dan
keterbukaan serta dialog berhadap-hadapan dengan semangat balas dendam atas
marginlisasi politik masa lalu.
Pemerintahan Mega sekarang, menurut saya, tidak akan mungkin bisa menegakkan
hukum dengan baik. Karena; pertama, dia membawa dendam masa lalu, baik dendam
atas kemiskinan atau dendam atas marginalisasi politik di masa lalu. Itu tidak mungkin,
dan lebih parah lagi dia memang tidak mau. Kita tidak bisa berharap dari pemimpin yang
`nervous' di depan kekuasaan dan uang.

Ada masalah dalam bangsa kita, pertama dalam hal konsistensi yakni masalah
penyimpangan di ujung jalan atau di tengah jalan. Pemimpin yang diasumsikan lurus
ternyata membuyarkan seluruh harapan masyarakat. Itu juga yang mungkin terjadi
sekarang. Mereka yang meretas jalan, tapi mereka pula yang merubuhkan panggungnya
sendiri. Begitu seterusnya. Maka sudah saatnya kita berfikir bahwa kita yang meretas
jalan, kita juga yang akan mengisi panggung itu seterusnya.

Kedua, rakyat ini tidak punya firasat. Ketika kita mencalonkan seorang, atau setidak
tidaknya menitipkan harapan pada seorang calon pemimpin, kita tidak mempunyai firasat
tentang orang itu, bahwa orang itu bisa jadi gagal mengantar bangsa untuk menyelesaikan
sebagian dari persoalan selama ini. Jadi terlepas dari perhitungan-perhitungan politik,
pada dasarnya semua akan tergantung pada firasat kita terhadap seseorang. Dan kalau
rakyat tidak mempunyai firasat tentang orang yang dicalonkannya, itu berarti mereka
tidak mengenal dirinya sendiri. Dan ini berhubungan dengan hadits Nabi: ―Kalau Allah
mencintai suatu kaum maka Dia akan mengangkat orang yang terbaik dari kaum itu
sebagai pemimpin mereka, dan kalau Allah membenci suatu kaum maka Dia akan
mengangkat orang yang terjahat menjadi pemimpin kaum itu‖.

Kita, anak-anak muda yang telah menunaikan sebagian dari tugas sejarah, sekarang harus
segera kembali mengkonsolidasikan diri, mencabut harapan pada pemerintahan ini,
dan segera mematangkan diri secara dini, kemudian berkata dengan yakin kepada bangsa
ini:

Tuntaskan reformasi
Percepat alih generasi
Dan pertahankan keutuhan Indonesia.

Mungkin memang harus begini kejadiannya. Bahwa sejarah menghendaki kita melangkah
lebih cepat untuk menyelamatkan bangsa ini. Kita harus kembali penuhi jalan-jalan.
Tanpa mengurangi rasa hormat, barangkali merupakan dosa untuk terus mempercayai
tugas sejarah ini kepada orang-orang tua kita sekarang. Maka, biarlah dengan sedikit
memaksakan diri kita berkata kepada mereka: beri kami lebih banyak kesempatan
untuk terlibat, dan izinkan kami menata ulang taman Indonesia, biar kami buat
kalian tersenyum sebelum senja tiba.

Perubahan-perubahan besar dalam sejarah pada mulanya tampak seperti kabut yang
menghalangi cahaya matahari turun ke bumi. Itu yang membuat banyak orang ragu-ragu
untuk melakukannya. Tetapi apabila masyarakat sudah mulai resah akibat lilitan berbagai
macam problema, percayalah Anda bahwa keresahan itu adalah awal dari ledakan
energi peradaban.
Dulu Rasulullah bersabda: ―Para pemuda bersekutu denganku dan orang-orang tua
memusuhiku‖. Seperti sepotong sajak Taufik Ismail (1998) kepada mereka:

Seluruh jajaran aparat kenegaraan di atas umur tiga puluh sudah bersedia berdiri ke
pinggir secara menyeluruh.
Bangsa kini dipimpin oleh anak-anak muda yang sebenar bersih.
Kami muncul lewat tahun-tahun pengalaman yang sangat pedih.

Wawan Kurniawan (AN 02 – 02.14091.00019)


General Manager Radio MBS FM
Kejutan Sang Dinar
Oleh: M. Anis Matta, Lc.
Direktur Al Manar Jakarta

Harta, ternyata, punya cara kerja tersendiri dalam jiwa manusia.


Karakternya sebagai salah satu dari trilogi godaan dunia memiliki
kekuatan pengaruh yang tidak dapat diremehkan.

Dari instingnya, manusia membawa dorongan untuk memiliki.


Jika insting itu menguat, ia akan berkembang menjadi keserakahan.
Dan keserakahan menuntut sejenis proteksi terhadap semua harta yang
telah diperoleh; maka lahirlah kebakhilan.

Hanya spirit kezuhudan yang dapat menyeimbangkan dorongan memiliki


dalam jiwa kita. Jika kecenderungan zuhud itu menguat, ia akan berkembang menjadi
kemurahan hati. Dan kemurahan hati pasti akan keluar
mencari salurannya; maka lahirlah kedermawanan.

Zuhud adalah perasaan tidak butuh dunia justru ketika dunia itu
ada dalam genggaman tangannya. Secara naluriah, kecenderungan manusia
kepada dunia spiritual akan menguat setelah ia relatif terpuaskan dalam kehidupan
materi. Maka seorang pahlawan yang lahir dari keluarga kaya
lebih muda menjadi zuhud, ketimbang seorang pahlawan yang lahir
dari keluarga miskin. Sebaliknya, seorang pahlawan yang lahir dari keluarga miskin
lebih mudah bersabar, ketimbang seorang pahlawan yang lahir dari keluarga kaya.
Tentu saja selalu ada pengecualian.

Masalah biasanya muncul jika seseorang menjadi kaya justru di tengah perjalanan
kpahlawannya; menjadi orang kaya baru. Secara normal, ia membutuhkan pemuasan
material. Tapi disitu juga tersimpan godaan; tekanan kemiskinan dalam perjuangan yang
panjang seringkali melahirkan semangat 'balas dendam' yang dahsyat. Dunia kini hadir
di pelupuk mata dengan sisinya yang indah, penuh kenyamanan, dan serba mudah.

Tidak semua pahlawan kuat menghadapai godaan itu.


Bukan hanya karena harta mungkin merubah seseorang menjadi serakah
dan bakhil serta muda berkonflik, tapi karena kemudahan dan kenyaman dapat
melahirkan kemalasan dan melumpuhkan semangat bekerja, berkarya, dan berjuang.
Itu sebabnya Umar bin Khattab tidak memberikan jabatan-jabatan publik
kepada para pembesar sahabat, dan tidak mengizinkan mereka keluar dari Madinah,
bahkan termasuk untuk misi jihad. "Jauh lebih baik bagimu untuk tidak mengenal dunia,
dan sebaliknya dunia tidak melihatmu," kata Umar membenarkan tindakannya.

Membangun 'adab jiwa' yang luhur ketika seorang pahlawan merangkak menjadi kaya,
adalah pelajaran maha penting yang diwariskan para pahlawan mukmin sejati.
Suatu saat, ketika Abdurrahman bin Auf sedang berbuka puasa, beliau mengatakan:
"Mus'ab bin Umair telah syahid dan ia lebih baik dariku, padahal kain kafannya
tidak mencukupi seluruh tubuhnya. Jika kepalanya ditutup maka kakinya terlihat,
jika kakinya ditutup maka kepalanya terlihat. Hamzah telah syahid dan ia lebih baik
dariku, padahal tidak ada kain kafan yang ditemukan untuknya kecuali burdah-nya. lalu
dunia pun dibuka lebar untuk kami. Dan aku khawatir yang terjadi hanyalah bahwa
kebaikan-kebaikan kami telah sengaja dibalas lebih dulu, hingga tak ada lagi yang akan
kita peroleh di akhirat."

(Dimuat dalam Majalah Tarbawi Edisi 61 Th 4 12 Juni 2003 M


dan dibukukan dalam buku "Mencari Pahlawan Indonesia" hal. 184 - 186)
Ketika Demokrasi Terancam
Mencermati kemungkinan kembalinya diktatorisme yang menunggangi upaya
―memberantas terorisme‖

oleh M Anis Matta, Kontributor Suara Hidayatullah

Di negeri ini sejarah diktatorisme belum lama berlalu. Sebagaimana negeri-negeri dunia
ketiga lainnya, sejarah pergantian kekuasaan selalu menyisakan tragedi; koruptor lama
pergi dan koruptor baru datang, diktator lama pergi dan diktator baru datang. Perilaku
politik tidak mengalami perubahan.

Negara-negara yang mengalami transisi menuju apa yang disebut demokrasi selalu
mengalami kendala pada cara mempertemukan dua kebajikan; kebijakan yang menjamin
kebebasan dan kebijakan yang menjaga ketertiban. Selalu ada orang yang memanfaatkan
kebebasan untuk melakukan perusakan, tapi juga selalu ada ketidakmampuan
mencegahnya dengan cara-cara yang tidak merusak ketertiban itu sendiri.

Fakta-fakta inilah yang membuat kecurigaan terhadap pemerintah menjadi beralasan, saat
mereka menjalankan agenda ―memberantas terorisme‖ sekarang ini. Upaya membereskan
masalah keamanan dan ketertiban ini salah-salah memakan korban yang terlalu mahal;
demokrasi.

Ruang gerak publik dipersempit oleh pendekatan keamanan yang rigid, dengan
menggunakan perangkat-perangkat intelijen yang bertujuan meningkatkan kontrol tapi
sebenarnya justru menteror masyarakat. Aparat keamanan akhirnya tidak memburu
―musuh masyarakat‖ (public enemy), tapi mengejar habis ―musuh penguasa‖ (enemy of
the regime).

Perburuan terhadap ―musuh masyarakat‖ atau ―musuh penguasa‖ akan melahirkan


pendekatan sekuriti yang sangat berbeda, terutama pada cara membuat mensegmentasi
potensi-potensi perlawanan dari masyarakat. Kalau yang dikejar adalah ―musuh
masyarakat‖, maka yang diteliti adalah daya rusak sebuah kelompok terhadap
kepentingan publik. Tapi kalau yang diburu adalah ―musuh penguasa‖, maka yang
diawasi adalah lawan-lawan politik penguasa yang potensial.

Penguasa jadi paranoid, dan akan menyeret rakyat ke dalam konflik-konflik politik
berkepanjangan. Segala upaya penegakan keamanan dan ketertiban akan jadi kendaraan
untuk menuai berbagai kepentingan politik, baik jangka pendek maupun jangka panjang,
misalnya dengan mendiskreditkan golongan tertentu untuk kepentingan politik pada
pemilu tahun 2004.

Agar demokrasi tak macet

Dalam perspektif da’wah, demokrasi mungkin dikorbankan untuk kepentingan politik


pihak tertentu, dengan memanfaatkan agenda perang melawan teroris. Dengan
pendekatan memburu musuh penguasa, targetnya mudah ditebak; ummat Islam. Apalagi
sejarah politik negeri ini mencatat perseteruan yang panjang antara Islam dan sekuler,
khususnya dari kalangan nasionalis. Dan peta itu tampaknya tidak berubah hingga saat ini.

Jika fakta itu dikaitkan dengan berbagai kemajuan politik yang dialami ummat Islam
dalam proses demokratisasi di berbagai belahan dunia Islam, jelaslah mengapa kontrol
atas demokrasi selalu berarti kontrol atas ummat Islam. Kebebasan yang diberikan
demokrasi adalah bom yang meledakkan potensi sosial politik ummat Islam. Begitu
kebebasan dicabut oleh sebuah rezim, yang pertama kali menjadi korban adalah ummat
Islam.

Itulah sebabnya menjadi penting bagi ummat Islam untuk memilah dengan tepat berbagai
kepentingannya, serta mengurut ulang secara bijak berbagai agendanya. Sesungguhnya
akar dari kerusakan yang menimpa dunia Islam adalah kezhaliman, yang lahir dari kursi
para penguasa diktator di dunia Islam. Kebebasan yang tercabut menyebabkan potensi
besar ummat Islam kehilangan ruang gerak, dan karenanya tidak dapat mengekspresikan
diri secara penuh.

Dalam konteks historis seperti itu, tampaknya mempertahankan demokrasi sebagai


sebuah sistem jauh lebih penting dan strategis ketimbang berbagai upaya meraih
kemenangan politik sesaat. Apa yang kita perlukan dari demokrasi bukanlah sekedar
mendapatkan akses kepada kekuasaan. Yang kita perlukan dari demokrasi adalah
memberikan ―payung politik‖ bagi ummat Islam untuk mengekspresikan diri secara
bebas dan wajar.

Di bawah bendera demokrasi ummat Islam dapat mengembangkan diri secara maksimal
tanpa dibayang-bayangi rasa takut, atau semangat balas dendam dan permusuhan dengan
penguasa. Di bawah bendera demokrasi ummat Islam tidak perlu terlibat dalam konflik
politik berkepanjangan dengan negara, konflik yang selama ini menguras habis seluruh
energi kita sendiri. Di bawah bendera demokrasi ummat Islam dapat berpartisipasi secara
politik tanpa terbebani sebagai perasaan sebagai warga kelas dua, atau perasaan sebagai
―orang lain‖ karena selalu dianggap tidak nasionalis.

Ummat Islam membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun dirinya sendiri,
lebih banyak dari waktu yang dibutuhkannya untuk menghadapi musuh-musuhnya.
Ummat Islam membutuhkan waktu yang panjang untuk mengejar ketertinggalannya,
lebih banyak dari waktu yang dibutuhkannya untuk menghabisi lawan-lawannya. Dan
untuk itu diperlukan kebebasan serta ruang gerak yang luas dan nyaman. Tanpa itu, kita
hanya akan bergerak di tempat.

DR Yusuf Al-Qaradhawi bahkan pernah mengatakan, ―Kalau saja kita diberi kebebasan
selama 20 tahun untuk membina ummat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa, atau
konflik dengan mereka, maka itu sudah cukup untuk mengembalikan kejayaan ummat
Islam kembali.‖
Memenangkan demokrasi jauh lebih penting dari semua kemenangan lain yang mungkin
raih saat ini. Hidup dalam alam demokrasi tanpa harus berkuasa, saat ini jauh lebih
strategis dari pada meraih kekuasaan melalui konflik berkepanjangan. Toh setelah
berkuasa kita harus membuktikan keunggulan konsep Islam dan menepati janji-janji kita
kepada publik. Sebab seringkali kekuasaan berubah menjadi bumerang bagi kita sendiri;
yaitu ketika kita tidak cukup cekatan menggunakannya untuk membuktikan keunggulan
Islam.

Mungkin karena itulah, banyak pengamat politik Barat, seperti John L Esposito,
mengatakan, bahwa partai-partai Islam tidak perlu dikhawatirkan, sebab popularitas
mereka akan hancur sendiri begitu mereka berkuasa. Mereka tidak memiliki keterampilan
yang cukup untuk membuktikan janji-janji Islam.•
Koalisi Kedzhaliman versus Koalisi Nurani
Majalah Hidayatullah, Mei 2004, Hal 27 - 30

Koalisi Kedzhaliman tampak seolah-olah sangat kokoh. Tapi sesungguhnya bukan tak
terkalahkan. Koalisi itu sejatinya hanyalah koalisi sarang laba-laba.

Anggaplah isu itu benar. Partai-partai sekuler memenangkan pemilu Legislatif 5 April
2004. Katakanlah PDIP dan Golkar menang mutlak, perolehan suara mereka di atas 50%,
maka sebuah koalisi besar untuk merebut kursi presiden segera terbentuk. Rasanya nama
yang akan duduk di kursi paling bergengsi itu memang tinggal menunggu waktu saja.

Koalisi itu memang terkesan sangat kokoh. Jika sampai terjadi, dampaknya juga tentu
sangat dahsyat. Kalau dua kekuatan politik perebut suara mayoritas bergabung menjadi
satu, tampaknya memang seng ada lawan, apalagi kalau koalisi itu diberi aksesori
"penjinak" umat Islam sebagai kelompok mayoritas. Caranya juga gampang. Ajak saja
salah satu partai Islam atau berbasis umat Islam akan merasa terakomodasi. Dan rasanya
partai-partai Islam juga banyak yang berminat.

Kalau rencana itu jadi kenyataan, akan terbentuk dua kekuatan sekuler plus satu atau dua
partai Islam --sebagai aksesori-- yang merebut lebih dari 65% suara pada pemilu legislatif,
lalu dengan gagah merebut suara mayoritas pada pemilu presiden. Hasilnya, Megawati
atau siapapun yang mereka sepakati kemudian jadi presiden. Selanjutnya, setiap hari kita
akan dicecoki doktrin pers bahwa koalisi itu tidak terkalahkan, bahwa koalisi itu akan
menjadi tulang punggung integrasi dan pembangunan Indonesia.

Tapi benarkah sesederhana itu cerita politik di negeri ini akan berakhir ?
Benarkah pemerintahan Mega yang gagal, bisa dengan mudah menggaet Golkar, tulang
punggung Orde Baru yang ambruk karena juga gagal mengatasi krisis moneter tahun
1997 ? Benarkah dua kekuatan yang pernah gagal itu bisa dengan mudah merebut
kepercayaan rakyat ? Benarkah, seperti kesan Barat selama ini tentang umat Islam, umat
kita hanya memiliki memori atau ingatan terlalu pendek, sehingga mudah melupakan
kedzhaliman atau kegagalan sebuah rezim ? Benarkah lembar-lembar ratusan ribu rupiah
bisa mengalahkan pilihan nurani rakyat Indonesia ? Benarkah dua kekuatan sekuler itu
bisa dengan mudah menggaet satu atau dua partai Islam atau berbasis umat Islam atau
ormas Islam untuk dijadikan aksesori pelengkap penderita ?

Cerita kemenangan itu rasanya terlalu telak. Di situ umat Islam tampak begitu lemah,
bodoh dan mudah dipecundangi. Rakyat kita juga kelihatan sangat pelupa dan hipokrit.
Koalisi itu agaknya dibangun dari logika yang sangat sederhana: kalau pemenang
mayoritas bersatu, siapa yang bisa lawan ?

Dalam benak mereka, "Kita hanya perlu memenangkan umat Islam dan membuat mereka
tidak merasa terlalu kalah dengan menggaet salah satu partai mereka".
Koalisi Laba-Laba

Barangkali ada cara lain untuk bertanya. Apakah yang melatari koalisi ini ? PDIP dan
Golkar yang dulu merupakan dua musuh bebuyutan, kenapa tiba-tiba bisa berkoalisi ?
Motif dan kepentingan apakah yang memungkinkan itu terjadi ? Pertanyaan ini penting,
karena jawabannya adalah indikator kekuatan dan solidaritas koalisi tersebut.

Sesungguhnya tidak ada ideologi yang melatarinya. Juga nurani. Karena sebagaimana
Orde Baru, di bawah rezim ini pun rakyat Indonesia telah merasakan penderitaan yang
panjang.

Di tengah ledakan partisipasi politik masyarakat, dan meningkatnya kecerdasan serta


semakin kritisnya para pemilih, memang tidak mudah lagi bagi sebuah rezim baru untuk
menancapkan kuku kekuasaannya dalam jangka panjang. Ikatan ideologi atau emosional
tidak lagi mampu mempertahankan loyalitas pemilih jika kekuasaan mereka ternyata
tidak memberikan apa-apa bagi rakyat. Jargon nasionalisme, bahkan Islam, tidak lagi
menarik bagi rakyat. Kinerjalah yang dilihat oleh masyarakat: kinerja partai, kalau belum
berkuasa, dan kinerja pemerintahan, setelah berkuasa.

PDIP mengalami ancaman ini. Kinerja pemerintahan yang buruk dan kegagalan dimana-
mana membuat jargon pembela wong-cilik berbalik menjadi bumerang bagi PDIP.
sEtelah "musuh bersama" yang bernama Soeharto tumbang, dan "simbol keterdzhaliman"
yang bernama Megawati akhirnya berkuasa, rasanya tidak ada lagi faktor penyatu
(convergent factor) yang efektif menyatukan partai itu. Feodalisme tidak dapat mengelola
keragaman. Perpecahan pun tidak terelakkan.

Tapi kursi paling bergengsi ini masih terlalu hangat untuk ditinggalkan.
Baru dua tahun berjalan. Karena itu harus ada jalan pintas untuk mempertahankan kursi
ini. Jawabannya pintas:carilah kawan yang bisa diajak berbagi tanpa harus membuatnya
merasa besar. Golkarlah yang mereka cari.
Seperti Golkar mencari mereka:bukan saja untuk membantu meloloskan sang ketua
umum dari jeratan lubang jarum Mahkamah Agung, tapi juga utnuk membantu kendaraan
politik tua itu merebut posisinya kembali.

Jadi mudah saja memahami gelagat hati yang cemas di balik koalisi ini. Dua kekuatan
sekuler yang sedang berada di persimpangan jalan dilanda kepanikan, mereka bersatu
untuk saling mencegah kehancuran bersama, bukan untuk membangun bangsa bersama.
Karena itu kita akan melakukan kesalahan besar kalau kita mengnggap koalisi ini sebagai
ancaman. Yang terjadi adalah, kedua kekuatan status quo itu harus menempuh cara
terakhir untuk mempertahankan kekuasaan.

Namun dibalik koalisi itu sesungguhnya rakyat sedang ditunjukkan bahwa kehancuran
bangsa telah dipertaruhkan. Koalisi itu hanya mempercepat keyakinan rakyat bahwa
sudah saatnya orang-orang yang masih memiliki hati nurani bangkit bersama
menyelamatkan rakyat. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa koalisi mereka
merupakan koalisi sarang laba-laba:rapuh dan mudah dihancurkan.
Koalisi Nurani

Begitu koalisi kezhaliman itu terbentuk, koalisi itu sendirilah yang akan mendorong
lahirnya perlawanan. Kita tidak perlu panik. Masih mungkin mengalahkan koalisi
kezhaliman itu kalau kita melawannya juga dengan koalisi yang sepadan: koalisi nurani.
Ibarat sapu lidi, satu per satu nurani yang masih tersisa kita rakit menjadi kekuatan baru
yang dapat menyapu bersih kotoran-kotoran negeri ini.

Koalisi nurani itu harus memiliki beberapa karakter. Pertama, misinya adalah
penyelamatan bangsa. Koalisi ini dibangun dari suatu kesadaran bersama bahwa apabila
keterpurukan yang sekarang dialami bangsa kita masih terus berlanjut, maka bangsa kita
terancam pecah dan mengalami disintegrasi. Koalisi PDIP dan Golkar yang korup ini
hanya akan memparah keterpurukan bangsa, merusak citra kita di mata internasional.
Karena itu, faktor konvergensi utama dalam koalisi ini adalah misi penyelamatan bangsa.

Kedua, koalisi ini bersifat strategis, bukan ideologis. Secara sederhana koalisi dalam
pandangan Islam dapat dibagi dalam tiga tingkatan. Pertama, koalisi ideologis. Yaitu
koalisi yang dibangun antara sesama kelompok Islam yang memiliki kesamaan aqidah,
ideologi dan metode perjuangan.
Kedua, koalisi strategis, yaitu koalisi yang dibangun antara berbagai kelompok yang
berbeda secara ideologi tapi memiliki kepentingan strategis bersama yang bersifat jangka
panjang. Ketiga, koalisi taktis, yaitu koalisi yang dibangun antara berbagai kelompok
yang berbeda ideologi tapi memiliki kepentingan taktis bersama yang bersifat jangka
pendek. Nah, agenda penyelamatan bangsa merupakan kepentingan strategis bersama
yang masih bersifat jangka panjang. Karena itu koalisi ini ada pada tingkatan
kedua:koalisi strategis.

Ketiga, yang tergabung dalam koalisi ini adalah individu dan/atau organisasi. Koalisi ini
dibangun oleh mereka yang masih memiliki hati nurani, baik dalam skala individu
maupun dalam skala organisasi. Pada tingkat organisasi, partai-partai politik Islam dan
nasionalis yang memiliki semangat reformasi serta ormas-ormas Islam yang memiliki
agenda penyelamatan bangsa, seperti NU dan Muhammadiyah, merupakan kekuatan
pendukung utama. Tapi individu-individu yang ada di berbagai partai politik seperti
Golkar dan PDIP, namun masih memiliki hati nurani, juga dapat bergabung dengan
koalisi ini tanpa harus membawa nama partainya.

Koalisi nurani ini haruslah dibesarkan dengan kematangan jiwa dan politik dari para
pendukungnya. Semangat penyelamatan bangsa harus didahulukan di atas semua
kepentingan pribadi. Koalisi ini hanya akan efektif kalau
-misalnya- target menjadi calon presiden dari tokoh-tokoh tertentu dapat dikalahkan oleh
misi penyelamatan bangsa. Dalam koalisi ini kepentingan bersama dan strategi
perjuangan harus lebih besar daripada individu --sehebat apapun ia sebagai tokoh.
Individu yang merasa lebih besar daripada strategi perjuangan adalah feodalis sejati yang
tidak akan pernah menciptakan sukses dalam perjuangannya.
Allah hanya akan menolong kita saat kita bersatu. Kita hanya dapat bersatu saat kita
dengan penuh kelapangan dada mau melepaskan kepentingan individu kita dan
mendahulukan kepentingan bersama serta disiplin strategis perjuangan.
Memilih Pemimpin Sesuai Era Dakwahnya
Di tengah hiruk pikuk itu ia datang dengan hati, pikiran dan badan-nya. Penyakit rematik
yang dideritanya tidak melemahkan semangatnya untuk mengunjungi negeri Muslim
terbesar di dunia ini. Momentum sejarah yang sedang kita lalui pada triwulan keempat
tahun 1999 terlalu mahal untuk ia lewatkan. Maka ia datang juga.

Itu kunjungan kelima bagi DR Yusuf Al- Qaradhawi ke Indonesia. Dalam goncangan
badai krisis multi dimensi, ruang kehidupan bangsa kita jadi kacau balau dan serba tidak
teratur. Apa yang paling berbahaya dalam situasi itu sebenarnya bukanlah krisisnya.
Yang jauh lebih berbahaya adalah ketika kita kehilangan arah dan pegangan di tengah
badai krisis itu. Dimulai dan kerancuan dalam mempersepsi situasi dan masalah, kita
kemudian serba salah dalam bersikap, merumuskan kebijakan dan menemukan jalan
keluar. Di saat seperti itu kita membutuhkan orang-orang bijak yang dapat mernbantu
kita menemukan persepsi yang benar dan tepat tentang situasi dan masalah yang sedang
kita hadapi, Untuk itulah ulama bijak itu, datang ke Indonesia. Beliau menemui banyak
tokoh penting di negeri ini. Tapi tokoh paling penting yang ingin beliau temui justeru
akhirnya tidak sempat beliau temui, yaitu Presiden BJ Habibie. Beliau ingin memberikan
dukungan moril kepada Habibie sekaligus meyakinkan para pemimpin Islam di Indonesia
untuk mendukungnya. Sebab krisis multi dimensi ini telah berhasil mengakhiri rezim
sekuler Orde Baru. Tapi sementara kita memasuki masa transisi yang rumit dan kompleks,
sebenarnya kekuatan ummat Islam —termasuk kekuatan harakah sebagai lokomotifnya—
belum matang.

Jadi dalam periode sejarah ini yang kita perlukan bukan sebuah pemerintahan Islam. Tapi
sebuah pemerintahan yang demokratis, yang memberikan ruang gerak yang luas bagi
ummat Islam —khususnya gerakan Islam— untuk bertumbuh dan berkembang, Dan
Habibie, menurut Al-Qaradhawi, adalah tokoh yang tepat —dalam periode ini— untuk
memimpin Indonesia.

Beliau percaya, ada konspirasi internasional untuk menjatuhkan Habibie. Itu bukan
karena dia hendak mendirikan negara Islam. Tapi semata karena pandangan-pandangan
demokrasi beliau akan memberikan ruang gerak yang luas bagi gerakan dan ummat Islam
untuk bertumbuh dan berkembang. Jadi bukan "lokomotifnya" yang mereka benci. Tapi
"gerbong" yang dibawa lokomotif itulah yang mereka waspadai.

Selama empat hari saya menemani dan menjadi penerjemah beliau, kami terlibat dalam.
diskusiyang intensif tentang masalah ini. Tesis yang perlu dikemukakan di sini adalah
bahwa gerakan Islam harus berpikir dan bersikap realistis dalam mencapai tujuan-
tujuannya, mampu memahami kekuatan dan kelemahan internalnya serta lingkungan
strategisnya secara obyektif.

Tujuan besar mengembalikan khilafah melalui pendirian "Daulah Islami-yah" tentu hanya
bisa dicapai ketika gerakan Islam telah memenuhi semua syarat kekuatan untuk
memimpin dunia. Selama itu belum tercapai, maka yang harus dilakukan gerakan Islam
adalah mendorong terciptanya "lingkungan strategis eksternal" —khususnya lingkungan
politik dan keamanan— yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan gerakan
Islam secara maksimal.

Lapisan Kepentingan
Al-Qaradhawi telah melakukan kewajiban nasihatnya dengan baik. Beliau telah
mengatakan apa yang harus beliau katakan. Habibie memang tidak terpilih kembali, tapi
kegagalan Gus Dur dan Megawati telah menjadi bukti kebenaran nasihat Al-Qaradhawi.
Hanya saja tesis beliau itu tetap merupakan pelajaran penting bagi umat Islam.

Tampaknya memang ada kesulitan bagi sebagian besar pemimpin Islam saat ini untuk
mempersepsi perjalanan dua entitas secara berbeda. Pertama, entitas yang bernama
negara, dan kedua, entitas yang bernama gerakan Islam. Negara adalah entitas yang lebih
besar dan gerakan Islam di negeri ini. Negara adalah "lingkungan eksternal" gerakan
Islam. Tapi gerakan Islam bekerja untuk menjadi kekuatan inti dalam entitas negara.
Dalam perjalanan menjadi kekuatan inti dalam negara gerakan Islam harus bisa
mengukur pertumbuhannya dan mendorong terciptanya lingkungan strategis eksternal —
yaitu negara'— yang kondusif dan dapat mempercepat laju pertumbuhannya.
Misalnya dalam memilih pemimpin nasional. Kita akan melakukan kesalahan besar jika
dalam memilih pemimpin nasional kita hanya memfokuskan diri pada kriteria baik dan
buruk, atau ideal dan tidak ideal. Pandangan hitam putih ini niscaya melepaskan persepsi
kita dari konteks perjalanan gerakan da'wah dan kebutuhan-kebutuhannya yang spesifik
akan lingkungan strategis eksternal tertentu. Begitu konteks ini lepas, yang terjadi
kemudian adalah kita kehilangan ketepatan dalam memilah-milah kepentingan-
kepentingan kita. Kita akan terjebak dalam pilihan-pilihan "kita" atau "mereka",
"kompromi" atau "tidak kompromi". Padahal inti persoalannya bukan di situ, tapi
persoalannya adalah bagaimana kita mendefenisikan kepentingan-kepentingan kita dan
bagaimana lingkungan eksternal —di mana pemimpin nasional merupakan bagiannya
yang terpenting— mampu mengakomodasi kepentingan tersebut. Kalau kita mau
menyusun lapisan-lapisan kepentingan kita dalam konteks pemilihan pemimpin nasional
saat ini, kira-kira akan tampak seperti berikut:

Pertama, kepentingan tertinggi kita di negeri ini tentu saja kepentingan bangsa. Jadi kita
harus mencari pemimpin yang tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa
kita saat ini. Sebab ummat Islam adalah mayoritas di negeri ini, maka krisis yang
menimpa negeri ini dengan sendirinya mempengaruhi keseluruhan hidup ummat Islam di
negeri ini. Krisis besar yang menimpa negeri sebesar Indonesia tentu membutuhkan
seorang pemimpin visioner dan kuat yang memenuhi standar sebagai "strong leader".

Kedua, kepentingan ummat Islam. Selama masa Orde Baru, ummat Islam telah
mengalami proses peminggiran yang sangat sistematis dan komprehensif. Begitu sistem
multi partai dibuka, umat Islam segera menunjukkan partisipasi politik yang gegap
gempita. Jadi sekarang terjadi suatu proses perjalanan dari "pinggir ke tengah". Proses ini
terjadi karena ada sebuah sistem yang memungkinkan itu terjadi. Yaitu demokrasi.
Karena umat Islam berkepentingan mendorong munculnya pemimpin nasional yang
memberinya ruang gerak yang lebih luas dan nyaman. Sebab dengan cara itu kita tetap
mempertahankan kelanjutan proses perjalanan dari pinggir ke tengah itu.
Ketiga, kepentingan periodik da'wah. Maksudnya, dalam periode da'wah kita saat ini,
pemimpin nasional seperti apakah yang kita perlukan? Saat ini da'wah sedang mengalami
masa-masa pertumbuhan yang sangat subur dan cepat. Jadi. kita membutuhkan
lingkungan politik dan keamanan nasional yang memberi ruang gerak yang lebih luas dan
nyaman bagi da'wah untuk terus bertumbuh dan berkembang. Karena itu da'wah
membutuhkan seorang pemimpin nasional yang bukan saja demokrat tapi juga religius
dan bersimpati kepada da'wah. Indikasinya adalah jika pemimpin nasional mau memberi
ruang partisipasi bagi da'wah dalam pengelolaan negara. Melalui itu gerakan da'wah
menjadi bagian penting dalam pengelolaan negara sembari belajar dan mempersiapkan
diri untuk suatu saat memimpin negara sepenuhnya.

Inilah tiga lapisan kepentingan itu : bangsa, ummat dan harakah. Tentu saja yang terbaik
adalah jika pemimpin harakah sendiri dapat memenuhi ketiga kepentingan tersebut dan
sekaligus mempunyai daya dukung yang cukup untuk memenangkan pertarungan melalui
pemilu. Mungkin saja kemampuan itu ada, tapi daya dukung untuk memenangkan pemilu
yang mungkin belum ada. Dalam keadaan begitu maka pilihan kita adalah mendorong
semua kekuatan Islam dan reformis untuk memunculkan seorang pemimpin nasional
yang memenuhi standar itu: kuat, demokrat dan simpati pada da'wah.

Para pemimpin politik Islam saat ini dapat dikatakan religius dan demokrat. Tapi mereka
mungkin punya persoalan dalam kapasitas kepemimpinan. Selain itu, mereka punya
persoalan daya dukung unluk menang. Padahal taruhan besarnya justru disitu: kapasitas
kepemimpinan dan daya dukung untuk menang seperti popularitas, jaringan dan dana.
Sebab kita tidak hanya membutuhkan seorang calon pemimpin yang mendekati syarat-
syarat ideal adi, tapi juga memiliki "peluang besar" untuk menang dan mengalahkan
kekuatan sekuler.

Pilihan Periode
Jadi, saat ini, kita belum akan memilih seorang pemimpin yang akan menegakkan Daulah
Islamiyah. Itu hanya akan terjadi ketika pemimpin harakah akan menjadi pemimpin
negara. Dan kemampuan harakah saat ini belum sampai ke situ.

Dalam periode da'wah kita saat ini, kita akan memilih seorang pemimpin yang kuat, yang
memiliki kemampuan kepemimpinan yang mumpuni untuk menyelesaikan persoalan
bangsa, tapi juga seorang demokrat yang akan memberi ruang gerak yang luas dan
nyaman bagi umat Islam untuk bertumbuh dan berkembang, sekaligus memiliki empati
teahadap harakah dan karenanya memberikan mereka ruang partisipasi yang besar dalam
proses pengelolaan negara.

Untuk tujuan itulah harakah harus memainkan peran sebagai pelopor koalisi besar
kekuatan Islam dan reformis, sekaligus sebagai match-maker (penyelaras) dalam koalisi
tersebut. Sehingga kita bisa memastikan, bahwa jika pemimpin bangsa yang akan dipilih
melalui pemilu nanti bukan dari kalangan pemimpin Islam, kita tetap merupakan
pemegang saham besar dalam proses pengelolaan negara. Inilah sikap realistis yang
dimaksud Al-Qaradhawi ketika ia datang ke sini tahun 1999 itu. •
Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro
"Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak
bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber
kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke
permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak?"

RASANYA PERBINCANGAN kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa rnembahas
masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil
syuro? Bagaimana "mengelola" ketidaksetujuan itu?

Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan pergerakan kita.
Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu
adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majemuk. Kita semua hadir dan
berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeda,
tingkat pengetahuan yang berbeda, tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun
proses tarbawi berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai dengan meletakkan
manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika personal, organisasi, dan lingkungan
strategis dakwah tetap saja akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbedaan.
Di sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk dan patuh pada
sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan
mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam
keseluruhan pengalaman spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari jalan
dakwah, salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil
syuro. Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani
"pengalaman keikhlasan" seperti itu?

Pertama, marilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah
terbentuk melalui suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan
yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya?
Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari proses ilmiah yang
sistematis dengan pendapat yane sebenamya merupakan sekedar "lintasan pikiran"
yangmuncul dalam benak kita selama rapat berlangsung.
Seadainya pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya hindari untuk
berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam syuro. Itu kebiasaan yang buruk
dalam syuro. Namun, ngotot atas dasar lintasan pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih
buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para duat yang ngotot mempertahankan
pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kokoh. Tapi, seandainya pendapat kita
terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematis, mari kita belajar tawadhu.
Karena, kaidah yang diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita
memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin
benar."

Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang
kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu
di dalam diri kita, yang kita sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk "ngotot"?
Misalnya, ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga,
ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela
adalah "obsesi jiwa" kita.
Bukan kebenaran objektif, walaupun —karena faktor setan— kita mengatakannya
demikian.
Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan gengsi
dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt.
Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada
pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seadainya yang kita bela adalah kebenaran
objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita
harus yakin, syuro pun membela hal yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw.,
"Umatku ddak akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan." Dengan begitu kita menjadi
lega dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.

Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar dan pendapat
umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah atau bahkan pilihan yang
salah, hendaklah kita percaya mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jamaah
dakwah jauh lebih utama dan lebih penting dari pada sekadar memenangkan sebuah
pendapat yang boleh jadi memang lebih benar. Karena, berkah dan pertolongan hanya
turun kepada jamaah yang bersatu padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah
bahkan jauh lebih penting dari kemenangan yang kita raih dalam peperangan. Jadi,
seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu, itu jauh lebih baik daripada kita menang
tapi kernudian bercerai berai.
Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak tertandingi setelah iman kepada-Nya.

Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan kesatuan dan
keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan mengurangi darnpak negatif dari
kesalahan itu. Baik dengan mengurangi tingkat resikonya atau menciptakan kesadaran
kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah
seperti itu.
Bisa juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang
memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara yang logis, tepat waktu, dan
tanpa resiko. Itulah hikmah Allah swt. sekaligus merupakan satu dari sekian banyak
rahasia ilmu-Nya.
Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro karena hikmah tertentu
yang mungkin hanya akan muncul setelah berialunya waktu. Dan, alangkah tepatnya sang
waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman dakwah kita.

Keempat, sesungguhnya dalam keddaksetujuan itu kita belajar tentang begitu banyak
makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud
dari semua hawa nafsu, tentang rnakna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhu
dan kerendahan hati, tentang cara rnenempatkan diri yang tepat dalam kehidupan
berjamaah, tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang
makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna
keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna
tsiqoh kepada jamaah.
Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas dari kebanyakan
orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah kita. Memperkokoh tradisi pemikiran
dan perenungan yang mendalam. Dan pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung
hati kita terhadap beban perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan
hati terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Allah swt. yang mungkin
belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang akan datang.
Perbedaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak bisa
menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber
kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia kepribadian akan tampak ke
permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak ?

source: Bab. 16 buku


Menikmati Demokrasi,
Strategi Dakwah Meraih Kemenangan
Anis Matta, Lc (Sekjen PK Sejahtera)
Penerbit Pustaka Saksi, cetakan ke-1, Juli 2002
Menguji Kemampuan Pertahanan Kita
Lima aspek kekuatan yang terus-menerus dibangun dan disempurnakan, perlu dicek
setiap waktu kesiagaannya

Ongkos belajar' yang harus dibayar ummat terlalu mahal. Demikianlah pengalaman FIS
di Al-jazair. Kemenangan lewat jalur demokrasi berubah jadi pengalaman berdarah yang
merupakan tragedi besar dalam sejarah pergerakan di dunia Islam,
Kemenangan yang berubah secara tragis menjadi kehancuran adalah drama para
pemenang yang tidak mampu bertahan. Atau tak mampu mempertahankan kemenangan.
Persoalan kita —ternyata— bukan sekedar merebut simpati publik dan memenangkan
pemilu. Yang jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana mempertahankan kemenangan
yang telah kita rebut. Sebab seperti pohon, semakin kita meninggi semakin kencang
angin menerpa. Jika akar kita tidak terhunjam jauh ke dalam tanah niscaya pohon kita
pasti tercerabut begitu serangan badai menerpanya.

Itu juga setidaknya yang kita pelajari dari perjalanan da'wah Rasulullah Saw. Ayat
pertama yang turun begitu beliau hijrah ke Madinah adalah izin perang. Di Madinah
beliau punya teritori, pasukan dan negara. Maka lima tahun pertama dari hijrah
merupakan masa konflik berdarah yang sangat menegangkan. Di situ beliau bersama
shahabat berjuang mempertahankan agama dan teritorinya. Masa defensif itu merupakan
masa paling menentukan dalam sejarah setiap pergerakan: bertahan sampai ke puncak
atau turun dan hancur.

Ujiannya adalah seberapa banyak total aset kekuatan yang dimiliki harakah untuk
mempertahankan eksistensinya, dihadapkan pada seberapa besar tantangan yang
dihadapinya. Perimbangan itulah yang menentukan masa depan kita : bertahan atau
hancur. Jadi begitu beliau memenangkan perang Khandak tahun kelima, beliau langsung
bersabda: "Sekarang kita yang akan menyerang mereka, dan mereka takkan pernah
sanggup lagi menyerang kita."

Yang harus dipastikan di sini, ujian kekuatan itu pasti datang. Setiap gerakan —Islam
atau bukan Islam— akan mengalami masa-masa menegangkan itu. Lihatlah PKI.
Gerakan 30 September 1965 sebenarnya merupakan lompatan besar dari gerakan ke
negara kalau saja mereka mampu mempertahankan diri dari perlawanan rakyat dan TNI.
Masalahnya, mereka mampu menyerang, tapi tidak mampu bertahan. Setelah hancur
berantakan, semua usaha untuk mernbangkitkan kembah gerakan itu —yang muncul
sporadis di saria sini— hanyalah Utopia dari generasi melankolik mereka yang masih
tersisa.

Jauh sebelum kita merebut sebuah kemenangan jangka pendek kita harus berhitung
secara matang: seberapa mampu kila mempertahankan kemenangan itu kelak. Lebih baik
menunda kemenangan secara sengaja daripada kita merebutnya untuk kemudian dilepas
dalam waktu singkat bersama datangnya badai. Habibie dan Gus Dur adalah pelajaran
yang baik. Kedua tokoh ini hanya bertahan selama 40 bulan. Habibie 18 bulan dan Gus
Dur 22 bulan. Mereka sudah menang. Tapi mereka tidak mampu mempertahankan
kemenangan mereka.
Tahapan-tahapan perjuangan yang kita susun sebenarnya merupakan waktu-waktu
lompatan bagi harakah. Pada seliap lompatan kita harus berhitung, apakah lompatan itu
terjangkau atau tidak? Jangan melompat kalau tidak terjangkau. Tapi kalau merasa bisa
menjangkau, pasukan lompatan itu tidak akan membuat kaki kita patah.

Kekuatan pertahanan
Infrastruktur pertahanan harakah akan menentukan seberapa kuat ia bertahan dari
benturan-benturan eksternal. Waktu yang kita perlukan untuk membangun kekuatan
pertahanan itu barangkali jauh lebih lama dibanding waktu yang kila perlukan untuk
memenangkan sebuah konflik. Sepanjang harakah mempunyai infrastruktur pertahanan
yang memadai, maka benturan-benturan dalam konflik yang panjang hanya akan
mensolidkan harakah ke dalam dan mengokohkan wibawanya keluar.
Tapi yang mungkin paling berpengaruh dalam jangka panjang —selama masa penempaan
dalam benturan-benturan panjang itu— ialah bahwa ujian ini akan memberinya image
kedigdayaan.

Image kedigdayaan itu yang sekarang dinikmati rakyat Amerika. Memenangkan berbagai
medan tempur raksasa seperti Perang Dunia I tahun 1914 dan II tahun 1945, Amerika
Serikat tercatat sebagai bangsa yang paling banyak berperang sepanjang abad 20 lalu.
Bahkan abad ke-21 pun dimulai dengan auman sirine perang sejak peristiwa 11
September 2001 lalu. Apapun motif perangnya, image kedigdayaan itu telah membuat
bangsa-bangsa dunia tunduk rnenyerah di depan keinginan Amerika Serikat. Bahkan
sebelum berhadap-hadapan. PBB bahkan tidak berdaya sama sekali di depan keputusan
AS menginvasi dan mencaplok Irak.

Khilafah yang ingin kita bangun adalah imperium raksasa yang membutuhkan pilar
penyangga yang juga raksasa, berupa infrastruktur pertahanan yang kokoh. Membangun
infrastruktur pertahanan raksasa untuk menyangga sebuah kemenangan jangka panjang,
sedangkan membangun sistem perlindungan kokoh sesungguhnya merupakan
pengejawantahan makna jihad yang paling hakiki. Perang bukanlah pertempuran.
Pertempuran hanya merupaktin tampilan fisik dari perang. Perang jauh lebih luas dari itu.
Secara fisik, misalnya, AS benar kalah di Vietnam. Tapi dalam keseluruhan perang
melawan Uni Soviet ia menang.

Aspek-aspek ketahanan harakah, dengan begitu, harus dibangun secara menyeluruh dan
integral. Aspek-aspek ketahanan itu merupakan gabungan seluruh lini kehidupan harakah
yang harus dipertahankan.

Aspek pertama adalah ketahanan aqidah, fikrah dan manhaj. Aqidah adalah kebenaran-
kebenaran dasar yang kita yakini dan melandasi arah kehidupan kita. Fikrah adalah
pemikiran yang membingkai persepsi-persepsi kita tentang seluruh masalah dan aspek
kehidupan. Sementara manhaj adalah metode atau cara-cara yang kita tempuh dalam
bekerja dan berjuang. Begitu kita mengalami benturan, ketahanan adalah aspek yang
paling mengalami goncangan yang dahsyat. Kalau aspek ini tidak kokoh, maka harakah
akan kehilangan arah, degradasi moral dan sangat mungkin tersesat di jalan perjuangan.
Aspek kedua adalah ketahanan struktur: kekuatan aqidah, fikrah dan manhaj, sebagai
kekuatan paling inti, harus mengejawantah pada tubuh harakah. Mulanya tiga kekuatan
ini harus tampak pada kekuatan kepemimpinan harakah, baik pada integritas kepribadian
maupun pada kompetensi kepemimpinannya

Selanjutnya ia mengejawantah pada kekuatan kader harakah, pada kualilas maupun pada
kuantitasnya, Harakah harus mempunyai kader handal dengan kompetensi yang merata di
berbagai lini kehidupan. Kompetensi kader harakah harus tersebar di seluruh instansi
strategis dan memegang kendali kepemirnpin informal.
Setelah itu harakah harus punya wilayah teritorial yang luas di mana da'wah bekerja dan
bertumbuh. Basis teritorial ini merupakan sistem pertahanan fisik harakah. Karena itu
tanah jadi penting disini.

Jika ketiga pilar struktur ini —kepemimpinan, kader dan teritori— sudah terbentuk, maka
tinggal pilar ke-empat yang mengejawantah pada ikatan ukhuwah yang menentukan pola
hubungan antara pemimpin dan kader secara vertikal dan sesama kader secara horizontal.
Bentuk ikatan internal yang berbasis ukhuwah aqidah akan jauh lebih tahan daripada
ikatan yang berbasis pada kepentingan. Dengan struktur harakah menjadi sangat solid.
Dan itu merupakan sistem perlindungan yang paling kuat yang akan menjaga harakah
dari kehancuran saat badai benturan menerpanya.

Aspek ketiga adalah ketahanan sosial. Kebanyakan harakah hancur saat menghadapi
benturan karena musuh-musuh mereka berhasil memisahkan mereka dari rnasyarakat.
Maka harakah terisolasi, terkepung dan mudah dihancurkan. Mereka selalu gagal
melibatkan rnasyarakat saat menghadapi benturan, Ini juga dialami PKI tahun 1965. TNI
dengan mudah mengisolasi mereka dan rnemobilisasi perlawanan masyarakat terhadap
mereka. Integrasi harakah dengan masyarakat harus bersifat ideologi, budaya dan
kepentingan eksistensial.

Aspek keempat adalah ketahanan keamanan. Sistem pengamanan harakah pada mulanya
dilakukan dengan memperkaya sumber informasi. Akses informasi yang kaya dan luas
serta kemampuan analisa yang tajam akan memberikan harakah kemampuan
pendeteksian dini terhadap semua ancaman eksternal. Sehingga mereka tidak harus
mengeluarkan ongkos penangkalan yang mahal karena mereka mampu mengeliminir
sumber ancaman dan gangguannya.
Walaupun begitu, ketahanan fisik —baik manusia maupun sarana dan keterampilan—
tetap harus kuat. Sebab konflik berdarah seringkali tidak terhindarkan.
Dari pintu inilah Rasulullah Saw mengatakan, mereka yang mati dalam keadaan tidak
pernah berperang atau tidak pernah berniat untuk berperang akan mati dalam keadaan
jahiliyah. Gabungan antara kekuatan informasi, ketajaman analisa dan kekuatan fisik
akan memberikan harakah daya bentur yang hebat,

Aspek kelima adalah kekuatan logistik. Maksudnya, harakah harus memiliki sumberdaya
material yang memungkinkannya merealisasikan rencana-rencana tanpa harus tergantung
pada orang atau kelompok lain. Semakin tinggi tingkiat kemandirian logistik harakah
semakin mampu ia bertahan dari benturan eksternal,
Lihatlah, misalnya, masalah beberapa harakah yang menggantungkan pendanaannya dari
negara-negara Teluk. Setelah Perang Teluk tahun 1991, sumber-sumber dana relatif
tertutup akibat kontrol ketat AS. Kontrol itu lebih diketatkan lagi setelah invasi ke Iraq
atas nama perang melawan terorisme. Langsung saja harakah itu mengalami stagnasi.

Menghitung hari
Sebagian besar pekerjaan kita dalam harakah sebenarnya terletak pada pembangunan
kekuatan pertahanan ini. Kita akan menghabiskan waktu, pikiran dan energi kita untuk
pekerjaan inti ini. Sebab kemampuan inilah yang menentukan seberapa jauh kita akan
melangkah. Jika kita berhasil menyelesaikan pekerjaan ini maka kemenangan hanyalah
masalah penentuan waktu. Kita bisa merebutnya setiap saat. Tapi kitalah yang lebih tahu
kapan waktu yang tepat untuk merebutnya
Objektivitas antara Optimisme dan Pesimisme
Ust. Anis Matta, Lc

Memilah batas yang tegas antara analisis berbasis objektivitas dan analisis berbasis
optimisme atau pesimisme adalah juga salah satu seni yang rumit dalam dunia analisis
sosial politik. Banyak bias yang sering terjadi di sini. Dalam membaca sebuah peristiwa,
bias sering terjadi pada saat kita tidak mampu membedakan secara tegas antara peristiwa
yang terjadi sebagaimana ia adanya, dan peristiwa yang sebenarnya kita inginkan atau
kita bayangkan terjadi. Persoalan ini lebih bersifat psikologis, karena terkait dengan
nuansa psikologis atau kepribadian sang analis, antara yang optimis dan pesimis.

Seorang ulama besar dakwah kita, Syekh Muhammad Al-Gazali, rahimahullah,


menceritakan pengalaman analisisnya dalam salah satu bukunya yang ia tulis pada
pertengahan abad 20 lalu. Beliau membuat sebuah ramalan tentang masa depan Amerika
Serikat setelah Perang Dunia Kedua. Dalam ramalan itu beliau mengatakan bahwa
walaupun menang dalam PD II, kekuatan Amerika Serikat akan rapuh dan menciut serta
melemah, kelak setelah usainya perang itu. Satu sampai tiga dekade kemudian, yang
terjadi justru sebaliknya. Kekuatan Amerika Serikat malah semakin merajalela dan
hegemoninya terasakan di seluruh jagad raya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang salah dalam analisis itu? Didorong oleh
kerendahan hati dan semangat pencarian kebenaran, Syekh Muhammad Al-Gazali,
rahimahullah, memikirkan ulang analisisnya itu. Yang terjadi, kata beliau, adalah bahwa
beliau kekurangan data. Ramalan beliau lebih banyak dibangun dari keinginan
tersembunyi dalam dirinya bahwa seharusnya kekuatan Amerika Serikat memang
melemah, rapuh dan menciut. Keinginan tersembunyi itu kemudian berbaur dengan data
ala kadarnya, misalnya kenyataan bahwa Amerika Serikat memang babak belur dalam
PD II tersebut. Hasilnya adalah bahwa ramalan kita lebih banyak menggambarkan apa
yang kita inginkan untuk musuh kita, bukan apa yang sebenarnya yang akan terjadi dalam
diri musuh kita.

Kesalahan seperti ini seringkali menjebak kita dalam penyikapan yang tidak objektif
kepada musuh; antara sikap ekstrim yang terlalu meremehkan musuh, dan sikap ekstrim
yang terlalu membesar-besarkan musuh. Jebakan kedua sikap itu yang selanjutnya
melahirkan optimisme tanpa alasan, dan pesimisme yang juga tanpa alasan.

Optimisme yang berbaur secara salah dengan objektivitas sering mendorong kita
melupakan sisi-sisi lain yang sebenarnya justru menjadi kekuatan musuh. Dalam keadaan
begitu kita mungkin tidak antisipatif terhadap berbagai kemungkinan tidak terduga.
Orang seperti ini mengenal dirinya lebih banyak daripada musuhnya, mengenal
keinginannya lebih banyak daripada kemampuan musuhnya, berbicara lebih banyak
tentang apa yang seharusnya terjadi, daripada apa yang sebenarnya terjadi. Sebagian
besar kekalahannya akan disebabkan oleh ketidakterdugaan.

Sebaliknya, pesimisme yang berbaur secara salah dengan objektivitas sering mendorong
kita melupakan sisi-sisi lain dari musuh, yang mungkin merupakan faktor-faktor
pembentuk kelemahannya, atau sisi-sisi kekuatan diri kita yang sebenarnya merupakan
faktor penentu kemenangan kita. Orang seperti ini mudah percaya kepada propaganda
musuhnya, mudah kalah sebelum berperang, mudah menyerah dan pasrah pada nasibnya,
mudah menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Sebagian besar sebab kekalahannya
bersumber dari kepercayaan yang berlebihan kepada kekuatan musuh, atau kekalahan
mental yang dialaminya sebelum berperang.

Objektivitas berarti bahwa kita dengan tulus membiarkan realitas terpajang di depan mata
kita secara apa adanya, murni tanpa imbuhan emosi kita. Di sini kita berbicara tentang
validitas dan akurasi data, kredibilitas sumber data, dan pemaparan yang bersih dari
intervensi emosi. Sikap emosi kita tentukan kemudian, antara maju atau mundur, bereaksi
atau tidak bereaksi, optimis atau harus lebih hati-hati, dan seterusnya.

Pada dasarnya tidak ada pesimisme yang boleh ditoleransi. Tetapi kita tetap harus
membedakan antara pesimisme yang terlarang dan keberanian moral untuk melihat
kenyataan secara objektif, walaupun mungkin pahit bagi kita, atau tidak kita inginkan
sama sekali. Sebaliknya optimisme harus kita pertahankan dalam keadaan yang paling
buruk sekalipun. Tetapi kita tetap harus mempunyai keberanian moral untuk menerima
kenyataan bahwa musuh kita boleh jadi memang lebih kuat, lebih canggih, lebih solid
dan seterusnya.

Di sini warna kepribadian seorang analis memang merupakan salah satu faktor penentu.
Dan biasanya faktor ini tidak dapat dihilangkan sama sekali. Ia inheren dalam proses
analisis tersebut. Jadi adalah salah untuk menghilangkan faktor tersebut. Yang harus kita
lakukan adalah menciptakan keseimbangan antara keduanya dalam proses analisis,
terutama ketika analisis itu akan dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan
keputusan.

Yang terakhir ini sebenarnya merupakan tugas qiyadah dakwah. Dalam proses
pengambilan keputusan, seorang qiyadah dakwah harus mempunyai pemahaman yang
mendalam terhadap masalah yang sedang dianalisis, dan harus mempunyai pandangan
yang relatif independen tentang masalah tersebut. Tapi pada waktu yang sama, seorang
qiyadah dakwah juga harus mampu memilah antara analisis para analisnya tentang
masalah tersebut dengan warna kepribadian atau kecenderungan optimisme dan
pesimisme pada mereka.

Objektivitas dapat ditumbuhkan dengan membiasakan diri mendengar dari banyak


sumber yang mungkin berbeda-beda, meneliti kredibilitas dari masing-masing sumber
tersebut, membandingkan validitas dan akurasi data mereka masing-masing,
merekonstruksi sebuah pelukisan yang komprehensif, atas dasar data-data itu, tentang
masalah tersebut. Tapi objektivitas itu harus diletakkan di satu sisi, dan tidak dibaurkan
secara salah dengan optimisme dan pesimisme. Bersikap objektif adalah sebuah
keharusan. Tapi mempertahankan optimisme juga adalah sebuah keharusan. Titik yang
dapat mempertemukannya adalah sikap antisipatif dalam berbagai situasi.
Pertaruhan Keabadian
Oleh: Anis Matta

Jaminan keabadian syariat Islam ternyata harus dibayar dengan harga yang tidak semurah
yang kita bayangkan. Jaminan keabadian ini harus dipertaruhkan sepanjang zaman:
melawan berbagai tantangan dan fitnah yang tidak pernah selesai.

Pada 13 tahun pertama masa dakwah di Makkah, setidaknya ada empat tantangan dan
fitnah yang dihadapi Rasulullah saw. Pertama, syubhat yang disebarkan para intelektual
musyrikin Quraisy: Sebagiannya terkait dengan pribadi sang Rasul pembawa risalah yang
dituduh gila, atau penyair dan lainnya, sebagiannya lagi terkait dengan risalah itu sendiri,
hingga suatu saat Allah menantang mereka untuk membuat Al-Qur'an yang lain.

Kedua, tawaran kompromi politik. Sebagiannya berupa posisi kepemimpinan bagi


Rasulullah Saw yang harus dibayar dengan menghentikan dakwah, sebagiannya berupa
kompromi dengan cara kaum musyrikin menyembah Allah setahun dan kaum Muslimin
menyembah tuhan-tuhan kaum musyrikin setahun.

Ketiga, teror mental dan fisik, baik kepada Rasulullah saw secara pribadi maupun kepada
sahabat-sahabat beliau yang berasal dari kabilah-kabilah yang lemah. Keempat, embargo
ekonomi yang berlangsung selama tiga tahun, dari tahun ketujuh hingga tahun kesepuluh
kenabian. Begitu beratnya dampak embargo ini hingga banyak sahabat Rasulullah saw
yang terpaksa memakan daun-daun pohon.

Pengulangan sejarah
Fitnah terhadap Islam dan syariatnya-sepanjang sejarah Islam-tampaknya mengalami
pengulangan-pengulangan dengan struktur yang sama; pada mulanya ada syubhat yang
bertujuan menggoyang kepercayaan kaum Muslimin, lalu ada tawaran kompromi politik
yang bertujuan mengalihkan fokus penerapan syariat. Jika kedua cara yang relatif
demokratis ini gagal, maka fitnah itu dikembangkan dengan menggunakan bahasa
kekerasan; teror mental dan fisik, yang dilanjutkan dengan menghabisi sumber daya
perekonomian kaum Muslimin.

Lihatlah, misalnya, bagaimana berbagai macam syubhat tentang Islam bertebaran dalam
dunia pemikiran Islam modern, sejak zaman penjajahan hingga saat ini. Gerakan
orientalisme telah bekerja keras menyebarkan syubhat-syubhat itu, sama kerasnya dengan
kerja para imperialis mendidik para pemikir Muslim yang menelan mentah-mentah
syubhat-syubhat tersebut.

Ambillah contoh gagasan tentang Islam ritual. Para orientalis menyebarkan gagasan ini
untuk menutupi fakta tentang Islam sebagai sebuah sistem kehidupan. Pada suatu masa di
awal abad ke-20, beberapa orang intelektual Mesir dikirim ke Perancis untuk belajar
Islam. Salah seorang di antara mereka, Dr Ali Abdurraziq, kemudian kembali dengan
membawa gagasan tentang "Islam tanpa politik". Snouck Hourgronje datang ke Indonesia
meneguhkan gagasan tersebut dan berhasil memperpanjang masa penjajahan Belanda di
negeri ini. Sebabnya? Kaum Muslimin di sini tidak menganggap politik sebagai bagian
dari Islam.

Pada tahun 70-an awal, gagasan yang sama dengan latar belakang sosial politik yang
berbeda muncul ke permukaan pemikiran Islam: "Islam Yes, Partai Islam No". Tokohnya
kita semua sudah tahu. Sekarang, kalangan Islam Liberal membawa gagasan yang sama:
jangan bawa syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Tokohnya juga kita kenal. Tapi
syubhat-syubhat ini sudah relatif selesai, dan tidak lagi efektif mencegah laju kebangkitan
Islam.

Para penggagas kebangkitan Islam sejak Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna,
Sayyid Quthub, hingga Iqbal, Al-Maududi, Al-Nadawi dan Natsir di luar jazirah Arab,
telah berhasil membangun landasan pemikiran Islam yang kokoh. Sejak tahun 70-an
hingga saat ini laju kebangkitan Islam telah berkembang dari sekedar gerakan pemikiran
menjadi gerakan sosial politik yang merata di seluruh di dunia Islam.

Lihatlah apa yang terjadi di Aljazair, Yaman, Iran, Turki, Indonesia, Pakistan, Sudan dan
lainnya. Kekerasan telah menjadi bahasa umum-yang digunakan berbagai rezim boneka-
di mana Islam direpresentasikan dalam panggung politik. Di Aljazair misalnya, FIS yang
pernah memenangkan pemilu di awal 90-an, sekarang tinggal sebuah nama yang 'pernah
ada' dalam sejarah politik negeri itu. Tapi itu bahkan tidak hanya dilakukan oleh rezim
penguasa lokal.
Kekuatan imperialis global di bawah dominasi Barat, khususnya Amerika Serikat, terlibat
sangat jauh mendukung rezim penguasa lokal. Begitu sebuah gerakan Islam berhasil
menegara dan berkuasa, rezim baru itu akan segera diisolasi. Lihatlah Sudan. Begitu
kudeta putih yang dipimpin Umar Al-Basyir berhasil menguasai Sudan tahun 1987, dan
mulai mencanangkan penerapan syariat Islam, negeri Muslim di perbatasan Afrika-Arab
itu segera masuk dalam lingkaran setan embargo ekonomi hingga saat ini.

Banjir tak lagi terbendung


Tapi seperti banjir, gelombang kembali kepada Islam, baik di jalur sosial budaya maupun
di jalur ekonomi politik, tak lagi dapat dibendung. Seperti syubhat-syubhat pemikiran
para orientalis bersama para muridnya di negeri-negeri Islam yang tidak lagi efektif sejak
dekade 70-an, maka cara-cara kekerasan dalam bentuk teror mental dan fisik atau
embargo ekonomi, juga tidak lagi efektif sejak dekade 90-an.

Runtuhnya Uni Soviet awal dekade 90-an bukan hanya mengangkat AS ke puncak
dominasi dunia, tapi juga menyisakan berkah bagi dunia Islam: yakni runtuhnya tembok
tirani yang memberi jalan bagi proses demokratisasi di negeri-negeri Muslim yang
didominasi para tiran. Lebih dari itu, peta aliansi strategis antar berbagai kekuatan global
berubah pada basisnya; dari orientasi ideologi ke orientasi kepentingan ekonomi. Karena
potensi-potensi yang dimilikinya, baik potensi sumber daya alam, maupun potensi
pasarnya, maka perkembangan ini akan memberikan posisi tawar yang baik bagi dunia
Islam.
Fakta ini melahirkan fakta lain; dunia kita makin sulit dikontrol oleh hanya satu tangan.
Kita belajar satu hal dari rentetan peristiwa pemboman WTC dan Pentagon 11 September
2001, hingga demonstrasi 10 juta orang di seluruh dunia 14 Februari 2003 lalu
menentang rencana serangan AS-Inggris ke Irak; bahwa Amerika tak lagi seberwibawa
dulu, bahwa Amerika bukan lagi mitos yang menakutkan, bahwa Amerika bukan lagi
simbol peradaban tapi simbol kebiadaban.

Retaknya koalisi Barat, runtuhnya pamor Amerika, dan rusaknya citra peradaban mereka
menjadi kebiadaban, akan mempercepat laju trend "kembali ke Islam" karena di sini kita-
dan dunia-menemukan identitas yang solid untuk melakukan perlawanan. Faktor-faktor
eksternal ini, khususnya setelah Amerika benar-benar menyerang Irak, akan mendorong
peningkatan solidaritas dunia Islam bersama bagian dunia lain yang anti-Amerika,
memperlihatkan secara kasat mata kebiadaban Amerika serta meningkatkan semangat
anti-Amerika di seluruh dunia.

Secara internal, kondisi-kondisi global ini akan mempercepat proses pematangan


gerakan-gerakan Islam, dan mengantar mereka ke jalur cepat menjadi negara. Kenapa?
Karena rezim-rezim pro Amerika di dunia Islam akan kehilangan legitimasi di mata
rakyat, dan pada waktu yang sama, menjadikan kekuatan Islam sebagai alternatif
perlawanan. Untuk tahapan ini, kenyataan ini menguntungkan gerakan Islam. Jalan
masuk menuju kemenangan besar Islam telah dimulai dari sini; dari sebuah dunia yang
semakin tidak terkontrol, dari runtuhnya kepemimpinan Amerika atas dunia, dari
kekacauan global dunia tanpa kutub, dari keserakahan tak terbatas yang melahirkan
pertarungan atas sumber-sumber daya ekonomi. Lebih dari itu semua; ada janji Allah
untuk mengabadikan dan memenangkan agama ini.

Jangan hiraukan agenda kecil


Dalam kerangka itulah kaum Muslimin, khususnya para pemimpin dan pemikirnya, harus
memfokuskan perhatiannya pada agenda-agenda besarnya; membangun aliansi besar
ummat Islam, membangun pondasi sosial-politik bagi kehidupan kenegaraan yang kokoh,
peningkatan kemampuan mobilisasi massa, pengembangan kapasitas pengendalian politik
melalui berbagai jalur parlementer-ekstraparlementer, jalur lambat pemilu atau jalur cepat
people power, pematangan agenda-agenda aksi di lapangan dan lainnya.

Kita harus terbiasa bekerja dalam agenda-agenda besar itu, dan terbiasa juga
mengabaikan agenda-agenda kecil seperti menjawab ocehan kalangan Islam Liberal,
membela diri dari tuduhan sebagai teroris, dan agenda-agenda sejenis ini yang kontra-
produktif.

*Anis Matta, direktur Al Mannar Jakarta


Renovasi Gerakan Menuju Muslim Negarawan
Dipublikasikan: 05/12/2006 16:00:32

Jika Seseorang tidak mampu untuk meluruskan diri sendiri, namun bersikeras meluruskan
orang lain, maka hal itu disebut kehilangan kebajikan. Jika seseorang tidak pantas
dihormati, namun bersikeras membuat bersikap hormat, maka disebut pelanggaran tata
susila. Jika orang yang bertindak sebagai guru ternyata tidak bijak dan tidak memiliki tata
susila, apa gunanya ia memberi petunjuk dimasa depan? (Perkataan Yuantong Xiu,
diceritakan oleh Sixin pada dinansti Song)

Sejarah anak-anak muda adalah sejarah perlawanan dan pembelaan, sebelum


kemerdekaan, anak-anak muda Indonesia bangkit menyatukan bangsa dan melawan
penjajah serta merebut kemerdekaan. Namun setelah merdeka, mereka bangkit melawan
penguasa Tiran dan diktator serta membela rakyat dari penindasan sosial, ekonomi dan
politik.

Kawan,
Perlawanan dan pembelaan adalah energi peradaban, dan energi itu lahir dari kegelisahan.
Nmaun darimanakah kegelisahan itu tercipta? Dari Idealisme yang terpasung di alam
kenyataan. Maka, setiap kali janji kemakmuran dalam krisisi ekonomi yang
menyengsarakan rakyat, suara keadilan terbungkam dalam tirani kekuasaan atau
kebebasan ditindas kediktqatoran, setiap kali itu pula ada kegelisahan yang meresahkan
jiwa-jiwa anak muda dan mencabutt semua kenyamanan hidup mereka. Maka mereka
bergerak dan segera berdiri digaris depan menyembut panggilan sejarah.

Kawan,
KAMMI mucul dari kegelisahan, KAMMI adalah kumpulan orang-orang muda, namun
banyak juga gerakan mahasiswa yang lain, yang juga merupakan kumpulan orang-orang
muda, yang juga muncul dari kegelisahan...
Orang muda manakah kita?Jawabannya adalah
“mereka adalah anak-anak muda yang beriman kepada Tuhan mereka, lalu kami
tambahkan petunjuk kepada mereka (Al-Kahfi:13)

Demikianlah kegelisahan menjadi isyarat dari anak-anak peristiwa yang akan lahir dari
rahim sejarah, kegelisahan membawa energi energi itu akan tmpah ruah dalam semangat
perlawanan dan pembelaan. Maka ada peristiwa distulah akan ada sejarah.

Kini kita tengah berada dipersimpangan sejarah. Generasi ’98 telah menjalankan
tugasnya. Mereka telah berhasil menumbangkan rezim orde baru dan mengantar sejumlah
elit poitik baru ke panggung sejarah Indonesia. Namun tugas itu masih belum benar-
benar tuntas. Tahun ini, kita mrmperingati sumpah pemuda dengan kwnymanan yang
terampas sebab ada kegelisahan baru; sebab ada idealiasme yang terpasung di alalm
kenyataan; sebab cita-cita reformasi seperti hilang lenyap dalam retorika politik. Masa
transisi yang tengah kita alami, boleh jadi merupakan awal bencana besar yang akan
menimpa bangsa kita dimasa depan...
Kawan, masih ada masalah dalam bangsa ini... Pertama, masalah konsistensi. Yakni
masalah penyimpangan di tengah jalan atau di ujung jalan, pemimpin yang diasumsikan
lurus, ternyata membuyarkan harapan masyarakat.

Dan yang kedua, adalah rakyat ini tidak punya firasat, ketika kita mencalonkan seorang
atau setidaknya menitipkan harapan pada seorang pemimpin; kita tidak mepunyai firasat
tentang orang itu bahwa orang itu bisa jadi gagal mengantar bangsa untuk menyelesaikan
sebagian dari persoalan selama ini.

“Kalau Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengangkat orang yang terbaik dari
kaum itu sebagai pemimpin mereka; dan kalau Allah membenci suatu kaum, maka Dia
akan mengangkat orang yang terjahat menjadi pemimpin kaum tersebut”

Kawan,
Kita bersyukur bahwa kian hari sebagian rakyat Indonesia beranjak semakin dewasa
dalam menentukan sejarah hidupnya. Dua diantara tanda kedewasaannya itu adalah sikap
kritisnya terhadap sejarah yang dituliskan untuk dirinya dan keberaniannya untuk menulis
sejarah masa depannya.

Kita anak-anak muda yang telah menunaikan sebagian dari tugas sejarah, sekarang harus
kembali mengkonsolidasikan diri, mencabut harapan dari pemerintahan ini, dan segera
mematangkan diri secara dini, kemudian berkata degan yakin kepada bangsa ini,
sekarang kami bukan lagi Agent of Change... tapi Director of Change!

Mungkin memang harus begini kejadiannya; bahwa sejarah menghendaki kita melangkah
lebih cepat untuk meyelamatkan bangsa ini, kita harus kembali memenuhi jalan. Menjadi
Muslim Negarawanlah maka kontribusi kita bisa lebih maksimal. muslim negarawan ini
adalah personifikasi dari filosofis negara yaitu melindungi segenap bangsa bangsa
Indonesia di seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum,
mencerdaskan kehidupan banggsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan berbasis nilai-
nilai keislaman. maksudnya bahwa seorang pemimpin selain mempersonalisasi filosofis
kenegaraan juga harus mempunyai akhlak yang Islami, karena agama ini diturunkan
sebagai penyempurna akhlak.

Dan akhirnya, tanpa mengurangi rasa hormat, barangkali merupakan dosa untuk terus
mempercayai tugas sejarah ini kepada orang-orang tua kita sekarang. Maka biarlah
dengan sedikit memaksakan diri kita berkata pada mereka: beri kami lebih banyak
kesempatan untuk terlibat. Dan ijinkan kami menata ulang Taman Indonesia, biar kami
buat kalian tersenyum sebelum senja tiba...
Wallahu’alam bis shawab...

Hendra
Ketua Daerah KAMMI Kalsel
Diolah dari Buku : “Dari Gerakan ke Negara” (H.M. Anis Matta)
Seni Ketidakmungkinan
Oleh: M. Anis Matta, Lc.
Direktur Al Manar Jakarta

Sejarah kepahlawanan tidaklah ditulis dengan mulus. Para pahlawan mikmin sejati
tidak selalu menghadapi situasi dan peristiwa yang mereka inginkan.
Kita mungkin akan lebih kuat apabila situasi dan peristiwa yang tidak kita inginkan itu
sudah kita duga sebelumnya, sehingga ada waktu yang memadai untuk melakukan
antisipasi

Akan tetapi, apa yang akan dilakukan para pahlawan mukin sejati apabila mereka
menghadapi situasi dan peristiwa yang tidak mereka inginkan dan tanpa mereka duga
sebelumnyya? Ini jelas berbeda dengan situasi sebelumnya. Di sana kita mempunyai
waktu yang memadai untuk melakukan antisipasi, tetapi di sini kita tidak mempunyai
waktu itu. Di sana secara psikologis kita akan lebih siap, tetapi di sini kita tidak terlalu
siap, Namun, saat-saat seperti ini akan selalu terulang dalam kehidpuan para pahlawan
mukimin sejati. Saat-saat seperti ini merupakan saat yang paling rumit dalam hidup
mereka. Dan inilah salah satu momentum kepahlawan dalam hidup mereka.

Yang pertama kali mereka lakukan adlaah menerima kenyataan itu apa adanya.
Mereka tidak menolaknya, tidak juga mencela atau mengumpatnya. Dalam situasi seperti
tu mereka menjadi sangat realistis; situasi atau peristiwa itu sudah terjadi, ia sudah
menjadi kenyataan yang tidak dapat ditolak. Maka, jalan terbaik adalah menerimanya
apa adanya. Tentu saja, tidaklah cukup hanya dengan menerima situasi dan peristiwa itu
apa adanya. Maka, yang selanjutnya merka lakukan adalah menentukan kemungkinan
paling buruk yang dapat mengalihkan arah perjalanan mereka menuju kepahlawan.
Jalan menuju kepahlawan itu haruslah jelas, sejelas matahari dalam benak dan
kesadarannya.

Dengan begitu, ia mengetahui semua kemungkinan yang dapat mengalihkan arah


perjalanannya. Misalnya, hadirnya situasi atau peristiwa tertentu di luar kehendaknya dan
di luar dirinya serta tanpa ia duga sebelumnya, namun ia menyentuh dan mempengaruhi
kehidupannya secara keseluruhan.

Itulah poin paling penting yang harus ia tentukan ketika selanjutnya ia berinteraksi
dengan peristiwa atau situasi tersebut. Apabila poin yang dapat mengalihkan arah
perjalanannya telah is temukan, maka langkah selanjutnya adalah mengadaptasikan
dirinya dengan situasi-situasi baru yang terjadi setelah perubahan keadaan tersebut.
Pikiran, jiwa, dan ruhnya harus belajar hidup normal dalam situasi-situasi baru tersebut.

Akan tetapi, dalam proses itu pula ia mencoba menemukan celah yang dapat
mengembalikan kekuatan dirinya secara penuh, menemukan saat-saat keseimbangan
optimalnya dari seluruh instrumen kepribadiannya dan memuntahkan karya-karya
terbaiknya dalam situasi-situasi tersebut. Ia melampaui dengan tenang seluruh hambatan-
hambatan yang merintanginya dalam situasi-situasi baru itu.
Kalau politik didefinisikan sebagai seni kemungkinan, kepahlawanan adalah
kebalikannya: seni ketidakmungkinan.

(Sumber: Buku "Mencari Pahlawan Indonesia" hal 91 - 93)


Setelah Legenda
Oleh: M. Anis Matta, Lc.
Direktur Al Manar Jakarta

Ahmad Syah Masoud. Singa Lembah Panshir itu adalah legenda yang tidak terlupakan
dalam sejarah jihad di Afghanistan. Ada banyak bintang di langit jihad Afganistan saat
para mujahidin yang papa mengusir Pasukan Beruang Merah Uni Soviet dari negeri
mereka, atau bahkan menjadi sebab keruntuhan imperium itu beberapa tahun kemudian,
tetapi bintang Ahmad Syah Masoud, mungkin yang paling terang di antara semua bintang.

Ketika beliau syahid beberapa waktu lalu, di penggalan terakhir dari pemerintahan
Taliban, atau sebelum invasi Amerika ke bumi jihad itu, kita semua mempunyai alasan
untuk menitikkan air mata kesedihan. Sekali lagi, kesedihan. Sebagaimana kesedihan
yang dirasakan wanita-wanita Madinah ketika mereka mendengar berita kematian Khalid
bin Walid di Syam. Sebab, orang-orang seperti mereka itu memang layak ditangisi.
Sebab, tidak banyak wanita yang bisa melahirkan laki-laki seperti mereka.

Akan tetapi, di sini terdapat sebuah petuah: bahwa legenda kepahlawanan boleh jadi
sudah tertulis, sebelum pahlawannya sendiri mati; bahwa pahlawan itu telah mencapai
puncak karyanya, sebelum ia mati. Sebab, kepahlawanan bukanlah puncak karya yang
ditulis sepanjang hayat. Ia ditulis hanya sesaat dalam hidup, tidak terlalu lama, tetapi
maknanya melampaui usia kita, atau bahkan generasi kita, atau bahkan beberapa generasi
kemudian.

Khalid bin Walid mencapai puncak prestasi militernya dalam Perang Yarmuk,
saat ia memimpin 36.000 pasukan Kaum Muslimin dan mengalahkan Pasukan Romawi
yang berjumlah 240.000 orang. Setelah itu, beliau dipecat oleh Umar bin Khattab. Ia
tidak lagi ikut dalam peperangan setelah itu. Ia melewati tahun-tahun yang berat dalam
hidupnya, sebagiannya dalam keadaan sakit, untuk kemudian menghembuskan nafas
terakhir di atas kasur. Bukan di medan perang, walaupun ia membawa lebih dari 70 luka
tusukan dalam tubuhnya.

Itulah saat-saat berat yang dilalui oleh banyak pahlawan. Saat-saat setelah legenda
kepahlawanannya terukir dalam sejarah, dan ia harus melalui jalan menurun di akhir
hayatnya. Sebab, ajal para pahlawan tidak selalu ditulis pada waktu yang sama dengan
saat-saat legendanya. Itu saat yang paling berat, saat para pahlawanan harus menyadari
bahwa ia toh hanyalah manusia biasa, ia bukan manusia super, yang dapat mengendalikan
waktu dan ruang dalam genggaman kehendaknya sepenuhnya.

Akan tetapi, itu juga merupakan cara Allah SWT mendistribusikan karunia kepahlawan
kepada hamba-hamba-Nya. Maka, setelah Khalid, Saad bin Abi Waqqash melegenda
dalam pembebasan Persia, 'Amr bin 'Ash di Mesir, dan Uqbah bin Nafi' di Afrika.
Selalu ada pahlawan yang tepat untuk setiap masa. Apa yang harus diketahui seorang
pahlawan adalah masanya sendiri, bukan masa orang lain.
Di lembah-lembah dan kaki-kaki gunung Afghanistan terbaring jutaan syuhada.
Ahmad Syah Masoud ada di antara mereka. Ia mungkin melalui saat-saat yang paling
berat dalam hidupnya ketika Taliban datang merebut semua kemenangannya.
Ia mungkin melewati lima tahun terakhir yang paling pahit. Akan tetapi, ia telah
menunaikan tugas sucinya. Ia bahkan telah merebut medali kepahlawannya.

Tidak ada kesia-siaan dalam dunia kepahlawan, walaupun prahara Afghanistan belum
selesai, toh setiap masa mempunyai pahlawannya sendiri

(Sumber: Buku "Mencari Pahlawan Indonesia" hal 94 - 96)


Tragedi Cinta
Ada sisi lain yang menarik dari pengalaman emosional para pahlawan yang berhubungan
dengan perempuan. Kalau kebetulan psikologis dan biologis terhadap perempuan begitu
kuat pada para pahlawan, dapatkah kita membayangkan seandainya mereka tidak
mendapatkannya ?

Rumah tangga para pahlawan selalu menampilkan, atau bahkan menjelaskan, banyak sisi
dari kepribadian para pahlawan. Dari sanalah mereka memperoleh energi untuk bekerja
dan berkarya. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sumber energi itu, maka
kepahlawanan mereka adalah keajaiban diatas keajaiban. Tentulah ada sumber energi lain
yang dapat menutupi kekurangan itu, yang dapat menjelaskan kepahlawanan mereka.

Ibnu Qoyyim menceritakan kisah sang imam, Muhammad bin Daud Al-Zhahiri, pendiri
Mahzab Zhahiriah. Beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk beliau.
Tapi, ternyata sang imam justru mencurahkan isi hatinya, kepada sang kawan, tentang
kisah kasihnya yang tak sampai. Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya,
tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak pernah bersambung jadi kenyataan.
Maka curahan hatinya tumpah ruah dalam bait bait puisi sebelum wafatnya.

Kisah Sayyid Quthub bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta, dua kali pula ia
patah hati, kata Dr. Abdul Fattah AL-Khalidi yang menulis tesis master dan disertai
doktornya tentang Sayyid Quthub. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang
kemudian menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthub pergi ke Kairo untuk belajar.
Sayyid menangisi peristiwa itu.

Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis itu tidak termasuk cantik, kata
Sayyid. Tapi ada gelombang yang unik yang menyirat dari sorot matanya, katanya
menjelaskan pesona sang kekasih. Sambil menangis gadis itu menceritakan bahwa
Sayyid orang kedua yang telah hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan
keangkuhan Sayyid; karena ia memimpikan seseorang yang perawan fisiknya, perawan
pula hatinya. Gadis itu hanya perawan fisiknya.

Sayyid Quthub tenggelam dalam penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan


hubungannya. Tapi itu membuatnya makin menderita. Ketika ia ingin rujuk, gadis itu
justru menolaknya. Ada banyak puisi dalam penderitaannya itu. Ia bahkan membukukan
romansa itu dalam sebuah roman.

Kebesaran jiwa, yang lahir dari rasionalitas, realisme dan sangkaan baik kepada Allah,
adalah keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika kehidupan tidak bermurah hati
mewujudkan mimpi mereka, mereka menambatkan harapan kepada sumber segala
harapan; Allah.

Begitulah Sayyid Quthub menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping, sembari


berkata, "apakah kehidupan memang tak menyediakan gadis impianku, atau perkawinan
pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku ?". Setelah itu ia berlari meraih takdirnya;
dipenjara 15 tahun, menulis Fii Dzilalil Qur'an, dan mati di tiang gantungan ! Sendiri !
Hanya sendiri !

Majalah tarbawi edisi 53 tahun ke-4


20 januari 2003 M
Tumbuh di Tengah Badai dengan Syura
Pendekatan praktis menjalankan sistem Syura, agar harakah da’wah terus tumbuh dalam
segala situasi
oleh M Anis Matta, kontributor Majalah Hidayatullah

http://www.hidayatullah.com/majalah
Edisi 08/XVI Desember 2003 - Kajian Utama

Wajahnya gusar. Sulit baginya menerima fakta ini. Bagaimana mungkin ada aktivis yang
menerima suap? Atau terlibat dalam love affair, penyelewengan asmara? Tidak mungkin.
Ini pasti fitnah. Tapi bagaimana kalau itu benar-benar terjadi? Apakah kita berhak
mengingkari fakta?

Dalam komunitas dimana moral dan idealisme dijunjung tinggi, cacat-cacat moral
seringkali menimbulkan shock besar. Mereka cenderung mengingkarinya. Atau
memandangnya dengan tafsir konspirasi. Tapi lebih sering karena mereka memandang
diri mereka mirip komunitas malaikat, yang tidak layak bersalah dan berdosa.

Dalam masa pembinaan dan pengkaderan, setiap aktivis biasanya tumbuh dengan serapan
ideologi, iman dan moral yang kental. Di tengah mihrab atau di sekitar masjid kita
memandang realitas kehidupan dari kejauhan.

Kita belum benar-benar bersentuhan dengan realitas. Cita rasa kita tentang realitas masih
semu. Kita belum benar-benar merasakannya. Tapi begitu perjalanan da’wah mengantar
kita ke alam nyata secara langsung, serta-merta semua sisi kepribadian manusiawi kita
muncul ke permukaan.

Selama ini sisi-sisi manusiawi itu tidak tampak di permukaan karena masih berada di
bawah dominasi spiritualitas. Tapi benturan-benturan realitas suatu saat pasti
memaksanya keluar.

Setidak-tidaknya dalam empat aspek ini sisi-sisi manusiawi itu pasti memperlihatkan diri:
wanita, bisnis, politik dan perang. Wanita, uang, kekuasaan dan perang tidak saja
menawarkan godaan, tapi juga seabrek masalah serius yang memerlukan rumusan solusi
sistematis. Godaannya terletak pada fakta bahwa secara instingtif kita ditakdirkan
memiliki obsesi yang besar terhadap keempat kesenangan itu. Tapi masalahnya terletak
pada fakta bahwa keempat aspek itu merupakan inti masalah yang paling mempengaruhi
kehidupan kita. Seperti apa cara kita bermuamalah dengan keempat masalah itu seperti
itu pula wajah kehidupan kita akan tampak.

Keempat masalah itu terlalu kompleks, sangat pragmatis, pilihan-pilihannya terbatas dan
harus ada keputusan yang tegas dalam cara mensikapinya. Keempat aspek tersebut
memang menawarkan ruang ijtihad yang sangat luas sekaligus riskan. Ruang ijtihad itu
bisa merupakan faktor pemicu pertumbuhan, tapi jika tidak dikelola dengan baik, ia bisa
berubah menjadi sumber konflik yang panjang. Jika godaan mengeksplorasi kadar iman
dan akhlak, maka masalah mengeksplorasi kadar ilmu dan pikiran. Semakin kental dan
intens persentuhan da’wah dengan keempat realitas itu semakin kita sadar betapa
manusiawinya jama’ah-jama’ah da’wah kita. Ternyata kita bukan gerombolan malaikat
yang sedang rehat di pelataran bumi. Ada yang gagal di depan godaan. Ada yang tidak
tahan dengan masalah. Ada yang sukses menghadapi masalah, gagal menghadapi godaan.
Atau sebaliknya. Ada juga yang sukses pada kedua-duanya.

Persentuhan dengan realitas akan semakin intens bersamaan dengan pertumbuhan da’wah
melalui berbagai fasenya. Ketika da’wah memasuki fase keterbukaan, berbagai jenis
persoalan yang tak pernah dihadapi bertahun-tahun sebelumnya tiba-tiba bagaikan air bah.
Melalui benturan langsung dengan realitas itu da’wah bertumbuh, menjadi matang dan
tahu dimana titik keseimbangan (equilibrium) antara idealisme dengan kapasitasnya..

Garansi kesinambungan

Pertanyaan-pertanyaan besarnya mungkin akan tampak begini. Pertama, apakah kadar


iman dan akhlak komunitas harakah mampu membentenginya dari godaan di
sekelilingnya saat ia bertumbuh dan bergumul di tengah realitas kehidupan itu, tanpa
harus kelihatan kaku, minder dan gamang?

Kedua, apakah kapasitas ilmu dan pemikiran komunitas harakah cukup memadai untuk
mencerna masalah-masalah baru dalam proses pertumbuhan harakah, berijtihad secara
ilmiah dan bebas, menawarkan solusi-solusi cerdas, tanpa harus kehilangan orisinalitas
(ashalah), atau tampak gamang, atau terlibat dalam konflik pemikiran yang destruktif?

Kedua pertanyaan itu bisa kita sederhanakan seperti ini: "Mampukah harakah terus
bertumbuh secara maksimal tapi tetap konsisten dan terkendali?" Kata kuncinya adalah
pertumbuhan dan pengendalian.

Jawaban kuncinya adalah Tarbiyah dan Syura. Kalau Tarbiyah mengoptimasi


pertumbuhan individu dan memberinya pengendalian internal, maka Syura mengoptimasi
akal kolektif dan mewadahi dinamika dan kebebasan ijtihad sekaligus mengendalikan
proses dan dampaknya. Organisasi da’wah harus mampu merebut simpati masyarakat
melalui interaksi langsung yang ramah dan lincah tapi tetap istiqamah. Organisasi da’wah
juga harus visioner, sistematis, memiliki "akal besar yang atletis" yang mampu mencerna
masalah-masalah kompleks dan menawarkan solusi-solusi genius.

Sebagai organisasi manusia, harakah –meminjam teori Ibnu Khaldun-- sebenarnya mirip
saja dengan individu: keduanya tumbuh dengan cara yang sama. Dari kelahiran ia
tumbuh melalui masa kanak-kanak, remaja, dewasa kemudian menua. Habis itu mati.
Mungkin punah. Mungkin juga kehilangan ruh dan darah. Ada tapi tidak bergerak. Atau
bergerak tapi tidak berpengaruh. Apalagi memimpin.

Tarbiyah dan Syura adalah dua pilar utama yang mengubah harakah menjadi organisasi
pembelajar. Belajar berarti berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik. Belajar
berarti melakukan perbaikan berkesinambungan. Organisasi yang terus belajar akan
memiliki sumber kebaikan yang tidak pernah kering, mengurangi kesalahan-
kesalahannya secara sistematis, mengurangi risiko keputusan-keputusannya, tumbuh
pesat dengan pengendalian yang apik.

Zaman badai

Salah satu masalah besar yang sering dialami harakah, ia mungkin berhenti bertumbuh
ketika badai mengguncangnya. Badai biasanya datang dalam proses peralihan dari satu
fase ke fase lain. Perubahan lingkungan strategis secara acak dan tidak terduga.
Regenerasi kepemimpinan yang tidak terkelola dengan bijak. Akumulasi masalah yang
tidak tertangani dan meledak secara tiba-tiba. Pertumbuhan yang terlalu cepat tapi tidak
tertangani dengan rapi. Kekalahan yang terlalu telak dalam suatu pertarungan terbuka –
seperti pemilu– dan tidak terduga atau terantisipasi dengan baik. Berkembangnya
ketidakpuasan internal terhadap berbagai keputusan pimpinan yang kurang bijak. Terlalu
banyak masalah besar dan krusial yang dihadapi dengan ijtihad yang dangkal dan tidak
bermutu.

Sebagai komunitas manusia biasa, harakah mungkin sekali melakukan kesalahan-


kesalahan praktis yang bersumber dari kenaifannya. Ambillah contoh gerakan Islam di
Syria. Di bawah kepemimpinan Hafez Al-Assad yang diktator, harakah tumbuh
merangkak dengan pasti dan relatif cepat. Suatu ketika mereka merasa sudah cukup kuat,
sementara perubahan-perubahan besar tidak dapat dilakukan tanpa kekerasan, pada tahun
1978 mereka mengumumkan revolusi. Mereka memilih jalan kekerasan. Tapi Hafez Al-
Asad tidak tumbang. Ia bahkan membunuh sekitar 10.000 aktivis dan
membumihanguskan dua kota yang menjadi basis utama harakah: Hama dan Aleppo.
Setelah itu, harakah relatif berhenti bertumbuh.

Kesalahan karena kelemahan itu lumrah. Cacat-cacat pikiran, atau cacat-cacat prosedur
Syura, sama besar risikonya dibanding dengan cacat-cacat moral yang kita alami. Yang
harus dipastikan, kesalahan dan seluruh risikonya tidak boleh menghentikan proses
pertumbuhan harakah.

Seperti anak yang sedang tumbuh, ia mungkin sakit. Tapi separah apapun sakitnya, tidak
boleh melumpuhkan dan menghentikan pertumbuhannya.

Untuk tekad itu, harakah harus jadi organisasi pembelajar. Ia harus melakukan perbaikan
berkesinambungan pada metode dan cara kerja, pikiran-pikiran dan perilaku-perilakunya.
Untuk bisa mengantisipasi dampak buruk kesalahan-kesalahannya, harus ada semangat
kolektivitas yang tinggi dalam tubuh harakah.

Syura adalah mekanismenya. Syura bukan saja wadah pembelajaran berkesinambungan,


tapi juga ikatan spiritual yang menjaga kolektivitas.

Walaupun begitu kemungkinan kesalahan kolektif tetap saja ada. Tapi kelebihannya,
kolektivitas mengurangi perasaan bersalah secara individual, menghindarkan harakah
melakukan pengkambinghitaman atas kesalahan bersama. Syura juga memberikan
semangat bangkit bersama setelah kesalahan bersama, menguatkan perasaan saling
tergantung di antara aktivis harakah.

Syura yang mendewasakan

Syura memainkan peran strategis mempercepat pendewasaan harakah. Untuk


memaksimalkan fungsi dan peran Syura perlu dikembangkan beberapa hal:

Pertama, harus ada keikhlasan dan nuansa spiritual yang kental sehingga setiap orang
merasa pendapat-pendapatnya akan mempengaruhi kehidupan orang lain.

Kedua, harus ada semangat kebebasan dan kesetaraan yang memungkinkan setiap orang
berpendapat tanpa merasa sungkan atau segan dengan seseorang yang lain.

Ketiga, harus ada tradisi ilmiah yang kokoh dimana kesantunan, rasionalitas, objektivitas,
dan metodologi serta data empiris dijunjung tinggi di atas segalanya.

Keempat, harus ada kelapangan dada yang memadai untuk dapat menampung berbagai
perbedaan pendapat sehingga keragaman menjadi sumber dinamika dan pertumbuhan,
bukan malah jadi sumber konflik dan perpecahan.

Kelima, harus ada manajemen waktu yang efektif untuk menjamin setiap masalah
mendapat jatah waktu layak untuk pembahasan, dan setiap orang mendapat kesempatan
cukup untuk menyampaikan pikiran-pikirannya.

Keenam, harus ada semangat introspeksi yang cukup untuk menjamin kita tetap objektif
memandang diri kita sendiri, tidak terjerumus dalam pengkambinghitaman, fitnah dan
konflik antar individu.

Ketujuh, harus ada sikap natural dan wajar dalam memandang kesalahan-kesalahan yang
kita lakukan sendiri. Kita tidak perlu merasa bersalah secara berlebihan. Merasa bersalah
itu penting. Tapi berlebihan dalam perasaan bersalah juga negatif.

Kedelapan, harus ada sikap yang proporsional terhadap tafsir konspirasi, sehingga kita
tidak perlu membuat musuh kelihatn terlalu digdaya karena selalu sukses dalam
konspirasinya, atau membuat kita bersikap defensif karena selalu harus hati-hati.

Kesembilan, harus ada pandangan masa depan yang visioner karena keputusan-keputusan
kita hari ini merupakan input yang outputnya akan muncul beberapa tahun kemudian.
Kita akan membayar harga terlalu mahal jika tidak meletakkan persoalan-persoalan
strategis kita hari ini dalam kerangka visi masa depan yang jelas dan kuat.

Dengan memperhatikan kesembilan hal itu Syura memainkan peran dan fungsinya
memicu pertumbuhan harakah. Dalam situasi yang paling sulit sekalipun, harakah akan
keluar sebagai pemenang, jika kita mengelola situasi sulit dengan semangat kolektivitas
yang tinggi dan semangat perbaikan berkesinambungan. Selalu bersama dan tetap maju.*
Vitalitas
HM. Anis Matta Lc.

Para pahlawan mukmin sejati selalu unggul dalm kekuatran spiritual dan semangat hidup.
Senantiasa ada gelombang gairah kehidupan yang bertalu-talu dalam jiwa mereka. Itulah
yang membuat sorot mata mereka selalu tajam, dibalik kelembutan sikap mereka. Itulah
yang membuat mereka selalu penuh harapan di saat virus keputusasaan mematikan
semangat hidup orang lain. Itulah vitalitas.

Tidak pernahkah kesedihan menghingggapi hati mereka? Tidak adakah jalan bagi
ketakutan menuju jiwa mereka? Pernahkah mereka tergoda oleh keputusasaan untuk
mengendurkan diri dari pentas kepahlawanan? Adakah di saat-saat dimana mereka
merasa lemah, cemas, dan merasa tidak mungkin memenangkan pertempuran?

Para pahlawan itu tetaplah manusia biasa. Semua gejala jiwa yang dirasakan oleh
manusia biasa juga dirasakan para pahlawan. Ada saat dimana mereka sedih. Ada saat
dimana mereka takut. Jenak-jenak kelemahan, keputusasaan, kecemasan, dan
keterpurukan juga pernah mendera jiwa mereka.

Tapi yang membedakan dengan manusia biasa adalah bahwa mereka selalu mengetahui
bagaimana mempertahankan viatalitas, bagaimana melawan ketakutan-ketakutan,
melawan kesedihan-kesedihan, bagaimana mempertahankan harapan di hadapan
keputusasaan, bagaimana melampaui dorongan untuk menyerah dan pasrah di saat
kelemahan mendera jiwa mereka. Mereka mengetahui bagaimana melawan gejala
kelumpuhan jiwa.

Vitalitas hidup biasanya di bentuk dari paduan keberanian, harapan hidup, dan
kegembiraan jiwa. Tapi ketiga hal ini dibentuk paduan keyakinan-keyakinan iman dan
talenta kepahlawanan dalam diri mereka. Dari sini saya kemudian menemukan bahwa
para pahlawan mukmin sejati selalu memilki tradisi spiritual yang khas Mereka
mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang khas di bentuk oleh keyakinan yang unik terhadap
keghaiban. Dengan cara itu mereka mereka mempertahankan stamina perlawanan yang
konstan. Kebiasaan-kebiasaan yang khas itu biasanya berbentuk ibadah mahdhah, tapi
biasanya disertai dengan perilaku-perilaku tertentu yang sangat pribadi. Misalnya dua
contoh berikut ini :

Dalam suatu peperangan kaum Muslimin menemukan betapa kekuatan Ibnu Taimiyah
melampaui para mujahidin lainnya. Mereka pun menanyakan rahasia kekuatan itu pada
Ibnu Taimiyah. Beliau menjawab:"Ini adalah buah dari Ma'tsurat yang selalu saya baca di
pagi hari setelah shalat subuh sampai terbitnya matahari. Saya selalu menemukan
kekuatan yang dahsyat setiap setelah melakukan wirid itu Tapi jika suatu saat saya tidak
melakukannya, saya akan merasa lumpuh pada hari itu."

Suatu saat - dalam perang Yarmuk - Khalid bin Walid menyuruh dengan marah beberapa
pasukannya untuk mencari topi perangnya yang hilang dari kepalanya. Beberapa saat
kemudian pasukannya muncul dan melaporkan kalau topi Khalid tidak berhasil
ditemukan. Khalid pun marah dan menyuruh mereka mencari kembali. Akhirnya mereka
menememukannya. Tapi Khalid merasa perlu menjelaskan sikapnya yang unik itu.
"Dibalik topi perang saya ini ada beberapa helai rambut Rasulullah SAW. Tidak pernah
saya memasuki suatu peperangan dan memakai topi ini melainkan pasti saya merasa
yakin bahwa Rasulullah SAW selalu mendoakan kemenangan bagi saya."

Itu hanyalah sebentuk hubungan yang sangat pribadi dengan Rasulullah yang pernah
menggelarinya "Pedang Allah Yang Senatiasa Terhunus."
Wanita Bagi Pahlawan
Oleh : M. Anis Matta, Lc*

Dibalik setiap pahlawan besar selalu ada seorang wanita agung. Begitu kata pepatah Arab.
Wanita agung itu biasanya satu dari dua, atau dua-duanya sekaligus; sang ibu atau sang
istri.

Pepatah itu merupakan hikmah psiko-sejarah yang menjelaskan sebagian dari latar
belakang kebesaran seorang pahlawan. Bahwa karya-karya besar seorang pahlawan lahir
ketika seluruh energi didalam dirinya bersinergi dengan momentum diluar dirinya;
tumpah ruah bagai banjir besar yang tidak terbendung. Dan tiba-tiba sebuah sosok telah
hadir dalam ruang sejarah dengan tenang dan ajek.

Apa yang telah dijelaskan oleh hikmah psiko-sejarah itu adalah sumber energi bagi para
pahlawan; wanita adalah salah satunya. Wanita bagi banyak pahlawan adalah penyangga
spiritual, sandaran emosional; dari sana mereka mendapat ketenangan dan kegairahan,
kenyamanan dan keberanian, keamanan dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan energi di
luar rumah, dan mengumpulkannya lagi didalam rumahnya.

Kekuatan besar yang dimiliki para wanita yang mendampingi para pahlawan adalah
kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang. Kekuatan itu sering dilukiskan seperti
dermaga tempat kita menambatkan kapal, atau pohon rindang tempat sang musafir
berteduh. Tapi kekuatan emosi itu sesungguhnya merupakan padang jiwa yang luas dan
nyaman, tempat kita menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan kita, tempat kita
bermain dengan lugu dan riang, saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan
aman, saat kita merasa bukan siapa-siapa, saat kita menjadi bocah besar. Karena di
tempat dan saat seperti itulah para pahlawan kita menyedot energi jiwa mereka.

Itu sebabanya Umar bin Khattab mengatakan, "Jadilah engkau bocah di depan istrimu,
tapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu'. Kekanakan dan
keperkasaan, kepolosan dan kematangan, saat lemah dan saat berani, saat bermain dan
saat berkarya, adalah ambivalensi-ambivalensi kejiwaan yang justru berguna
menciptakan keseimbangan emosional dalam diri para pahlawan.

"Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos." kata Sayyid Quthub. Para
pahlawan selalu mengenang saat-saat indah ketika ia berada dalam pangkuan ibunya, dan
selamanya ingin begitu ketika terbaring dalam pangkuan istrinya.

Siapakah yang pertama kali ditemui Rasulullah SAW setelah menerima wahyu pertama
dan merasakan ketakutan luar biasa? Khadijah! Maka ketika Rasulullah ditawari untuk
menikah setelah Khadijah wafat, beliau mengatakan; "Dan siapakah wanita yang sanggup
menggantikan peran Khadijah?"

Itulah keajaiban dari kesederhanaan. Kesederhanaan yang sebenarnya adalah keagungan;


kelembutan, kesetiaan, cinta an kasih sayang. Itulah keajaiban wanita.

Anda mungkin juga menyukai