Anda di halaman 1dari 20

Presentasi kasus

Laringitis Kronis pada Seorang Laki-Laki dengan Usia 21 Tahun

Disusun oleh:
Yani Dwi Pratiwi
G99171048

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laringitis adalah peradangan pada laring yang sering menyebabkan suara
serak atau kehilangan suara. Secara umum, laringitis dapat bersifat akut atau kronis.
Laringitis kronis sering terjadi pada perokok dan penderita gastroesophageal reflux
(GERD). Selain itu, penggunaan suara secara berlebih atau bernyanyi berlebihan juga
dapat menyebabkan laringitis kronis serta seiring bertambahnya usia, pita suara juga
dapat kehilangan kemampuan untuk bergetar, dan membuat lebih rentan terhadap
laringitis kronik. Pada penelitian ilmiah didapatkan perokok memiliki faktor resiko
1,5 kali lebih tinggi untuk terjadi kelainan pada laring seperti timbulnya nodul, polip,
kista intracordal, reinke edema, granuloma laring, keratosis laring, laringitis, papiloma
laring, kelumpuhan pita suara, dan neoplasma ganas laring dibandingkan dengan
bukan perokok, pada perokok berat (40.5–55.5 pack years) memiliki faktor resiko 3,9
kali untuk terjadinya disfoni (OR = 3.86, 95% CI [1.69–8.79]) dan pada perokok
sangat berat (>55.5–156pack year) memiliki faktor resiko 4 kali untuk terjadinya
disfoni (OR = 3.98, 95% CI [1.22–13.00]).
Cigarette years lebih mudah untuk mengukur derajat merokok dibandingkan
pack years. Istilah batang per hari lebih sering digunakan dibandingkan dengan
bungkus per hari, dan ukuran satu bungkus rokok mungkin berbeda dari satu negara
ke negara lain, waktu ke waktu dan merk ke merk. Ada kesepakatan bahwa sebungkus
rokok didefinisikan memiliki isi 20 batang tetapi ada beberapa peneliti yang
mengabaikan. Prevalensi perokok aktif terus meningkat dari tahun ke tahun dan
jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia. Lebih dari enam
puluh juta penduduk di Indonesia menghisap rokok diberbagai kalangan umur dan
jenis kelamin. Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka kematian akibat
merokok dengan jumlah mencapai 400 ribu orang per tahun (Depkes, 2013). Pada
seseorang yang telah terdiagnosis menderita laringitis kronik apabila secara kontinu
merokok akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang
kelenjar mukus untuk memproduksi mukus secara berlebihan sehingga menyumbat
saluran nafas. Laringitis kronik merupakan tanda awal dari kanker laring. Faktor
risiko yang paling berpengaruh untuk terjadinya kanker laring adalah merokok.

2
Berdasarkan uraian latar belakang di atas untuk menghindari dan mencegah
komplikasi yang berkelanjutan maka penderita laringitis kronik perlu mengetahui dan
menghindari faktor resiko yang akan memperberat gejala serta mengakibatkan
perubahan menjadi keganasan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Laringitis
Laringitis merupakan peradangan yang terjadi pada pita suara (laring) yang
dapat menyebabkan suara parau. Pada peradangan ini seluruh mukosa laring
hiperemis dan menebal, kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat
metaplasi skuamosa. Laringitis ialah pembengkakan dari membran mukosa laring.
Pembengkakan ini melibatkan pita suara yang memicu terjadinya suara parau hingga
hilangnya suara. Laringitis kronik adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan
laring yang terjadi dalam jangka waktu lama. Infeksi pada laring dapat dibagi menjadi
laringitis akut dan laringitis kronis, infeksi maupun non infeksi, inflamasi lokal
maupun sistemik yang melibatkan laring.
1. Laringitis akut
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan
bakteri yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan
oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1, 2, 3), rhinovirus
dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumoniae.
2. Laringitis Kronis
a. Etiologi
Biasanya infeksi virus menyebabkan laringitis kronis. Infeksi bakteri seperti
difteri juga dapat menjadi penyebabnya, tapi hal ini jarang terjadi. Laringitis dapat
juga terjadi saat menderita suatu penyakit atau setelah sembuh dari suatu penyakit,
seperti salesma, flu atau radang paru-paru (pnemonia).
Kasus yang sering terjadi pada laringitis kronis termasuk juga iritasi yang
terus menerus terjadi karena penggunaan alkohol yang berlebihan, banyak
merokok atau asam dari perut yang mengalir kembali ke dalam kerongkongan dan
tenggorokan, suatu kondisi yang disebut gastroeosophageal reflex disease
(GERD). Tanpa mengesampingkan bakteri sebagai penyebabnya.

4
Tabel perbedaan etiologi yang mendasari terjadinya laringitis akut dan kronis
Common Causes of Type of Laryngitis
Laryngitis
Acute (Short-lived) Chronic (longer term)

Infectious
Bacterial X
Viral X
Fungal X X
Contact
Reflux X X
Pollutants X X
Smoking X
Inhaled Medications X
Caustic Ingestions X X
Medical
Vocal misuse X X
Vocal abuse X
Trauma X X
Allergic
Allergies X X
Dryness (Laryngitis Sicca)
Dehydration X X
Dry Atmosphere X X
Mouth Breathing X X
Medications X X
Thermal
Closed-Space Fire X X
Crack Pipe X X

b. Klasifikasi
1) Laringitis kronis non-spesifik
Sering merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada saluran
pernapasan, seperti selesma, influensa, bronkhitis atau sinusitis.Akibat paparan zat-zat

5
yang membuat iritasi, seperti asap rokok, alkohol yang berlebihan, asam lambung atau
zat-zat kimia yang terdapat pada tempat kerja. Terlalu banyak menggunakan suara,
dengan terlalu banyak bicara, berbicara terlalu keras atau menyanyi (vokal abuse).
Gejala klinis yang sering timbul adalah berdehem untuk membersihkan tenggorokan.
Selain itu ada juga suara serak. Perubahan pada suara dapat bervariasi tergantung
pada tingkat infeksi atau iritasi, bisa hanya sedikit serak hingga suara yang hilang
total, rasa gatal dan kasar di tenggorokan, sakit tenggorokan, tenggorokan kering,
batuk kering, sakit waktu menelan. Gejala berlangsung beberapa minggu sampai
bulan.
Pada pemeriksaan ditemukan mukosa yang menebal, permukaannya tidak rata
dan hiperemis. Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka perlu
dilakukan biopsi.
Pengobatan yang dilakukan tergantung pada penyebab terjadinya laryngitis
dan simtomatis. Pengobatan terbaik untuk langiritis yang diakibatkan oleh sebab-
sebab yang umum, seperti virus, adalah dengan mengistirahatkan suara sebanyak
mungkin dan tidak membersihkan tenggorokan dengan berdehem. Bila penyebabnya
adalah zat yang dihirup, maka hindari zat penyebab iritasi tersebut. Dengan
menghirup uap hangat dari baskom yang diisi air panas mungkin bisa membantu.Bila
anak yang masih berusia batita atau balita mengalami langiritis yang berindikasi
karahcroup, bisa digunakan kortikosteroid seperti dexamethasone.Untuk laringitis
kronis yang juga berhubungan dengan kondisi lain seperti rasa terbakardi uluh hati,
merokok atau alkoholik, harus dihentikan. Apabila etiologinya adalah bakteri, bisa
diberikan antibiotik.
Untuk mencegah kekeringan atau iritasi pada pita suara :
a) Jangan merokok dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi perokok tidak
langsung. Rokok akan membuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi
pada pita suara.
b) Minum banyak air. Cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat
tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan.
c) Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering .
Bila mengalami langiritis, hindari kedua zat tersebut diatas.
d) Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan. Berdehem tidak akan
berakibat baik, karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal
peda pita suara dan meningkatkan pembengkakan. Berdehem juga akan

6
menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir dan merasa lebih
iritasi, membuat ingin berdehem lagi.
Pada laringitis kronis akibat alergi, pasien biasanya memiliki onset bertahap
dengan gejala yang ringan. Pasien dapat mengeluhkan adanya akumulasi mukus
berlebih dalam laring. Dalam pemeriksaan laringoskopi biasa dijumpai sekresi mukus
endolaringeal tebal dalam kadar ringan hingga sedang, eritema dan edema lipatan pita
suara serta inkompetensi glotis episodik selama fase fonasi.
Pada kasus laringitis kronis alergi, tatalaksana meliputi edukasi kepada pasien
untuk menghindari faktor pemicu. Medikasi antihistamin loratadine atau fexofenadine
dipilih karena tidak memiliki efek samping dehidrasi. Sekresi mukus yang tebal dan
lengket dapat di atasi dengan pemberian guaifenesin.
2) Laringitis kronis spesifik
a) Laringitis Tuberkulosa
Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat dari tuberkulosis paru. Sering kali
setelah diberikan pengobatan, tuberkulosisnya sembuh tetapi laringitis
tuberkulosanya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat
lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila
infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama. Infeksi kuman ke
laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum yang mengandung kuman,
atau penyebaran melalui aliran darah atau limfe. Tuberkulosis dapat menimbulkan
gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fossa inter aritenoid, kemudian ke
aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, serta subglotik.
Secara klinis, laringitis tuberkulosis terbagi menjadi 4 stadium yaitu :
(a) Stadium infiltrasi.
Mukosa laring posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis,
kadang pita suara terkena juga, pada stadium ini mukosa laring tampak pucat.
Kemudian di daerah sub mukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak
rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel itu makin besar,
serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya
meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan
timbul ulkus. Pada stadium ini pasien dapat merasakan adanya rasa kering
ditenggorokan, panas dan tertekan di daerah laring, selain itu juga terdapat
suara parau.

7
(b) Stadium ulserasi.
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini
dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkejuan, serta dirasakan nyeri waktu
menelan yang hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena radang (khas),
dapat juga terjadi hemoptisis.
(c) Stadium perikondritis.
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring, dan yang
paling sering terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian
terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses
ini akan melanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium inipasien dapat terjadi
afoni dan keadaan umum sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien
dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut dan masuk dalam stadium
fibrotuberkulosis.
(d) Stadium fibrotuberkulosa.
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior,
pita suara dan subglotik.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan THT
termasuk pemeriksaan laring tak langsung untuk melihat laring melalui kaca laring,
maupun pemeriksaan laring langsung dengan laringoskopi. Pemeriksaan penunjang
seperti laboratorium dapat di temukannya tes BTA positif, dan patologi anatomi.
Penatalaksanaannya berupa pembeian obat antituberkulosis primer dan
sekunder. Selain itu pasien juga harus mengistirahatkan suaranya. Beberapa macam
dan cara pemberian obat antituberkulosa :
(a) Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,
Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang
masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-
obat ini.
(b) Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin.
b) Laringitis Luetika
Disebabkan oleh kuman treponema palidum, sudah sangat jarang dijumpai
pada bayi ataupun orang dewasa. Laring tidak pernah terinfeksi pada stadium
pertama sifilis. Pada stadium kedua, laring terinfeksi dengan tanda-tanda adanya
edema yang hebat dan lesi mukosa berwarna keabu-abuan. Sumbatan jalan nafas

8
dapat terjadi karena adanya pembengkakan mukosa. Pada stadium ketiga,
terbentuknya guma yang nanti akan pecah dan menimbulkan ulserasi, perikondritis
dan fibrosis.
Gejala klinis yang ditemukan adalah suara parau dan batuk yang kronis.
Disfagia timbul bila gumma terdapat dekat introitus esofagus. Pada penyakit ini,
pasien tidak merasakan nyeri, mengingat kuman ini juga menyerang saraf-saraf di
perifer.
Pada pemeriksaan, bila guma pecah, maka ditemukan ulkus yang sangat
dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan
eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan
menjalar sagat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi
perikondritis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes serologi (RPR,VDRL, dan
FTA-ABS) dan biopsi.
Penatalaksanaan dengen pemberian antibiotika golongan penicilin dosis
tinggi, pengangkatan sekuester, bila terdapat sumbatan laring karena stenosis dapat
dilakukan trakeostomi dan operasi rekonstruksi.
Prognosis pada penyakit ini kurang bagus pada gumma yang sudah pecah,
karena menyebabkan destruksi pada kartilago dan bersifat permanen

9
BAB III
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. A
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Colomadu, Karang Anyar
No RM : 01234xxxx

A. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Suara serak.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan suara
serak sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan adanya batuk dan pilek.
Pasien juga mengeluh tenggorokannya sakit dan terasa kering sejak 2 bulan yang
lalu. Pasien mengaku sering berdehem dan jika batuk tidak disertai dengan sekret..
Pasien juga menderita maag, sering kambuh ± 1 kali seminggu dan merasakan cairan
naik dari perut ke tenggorokan dan terasa asam. Saat ini pasien datang dengan
keadaan sudah tidak demam. Pasien mengaku tidak pernah berobat sebelumnya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat nyeri tenggorokan : (+) sembuh tanpa berobat
Riwayat merokok : (+) sejak kelas 1 SMP 1-2 bungkus/hari
Riwayat demam : (+)
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal

10
5. Riwayat Lingkungan Sekitar
Berdasarkan anamnesis, pasien tinggal dengan orang tuanya.
6. Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang mahasiswa. Pasien dirawat menggunakan layanan
BPJS.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. KeadaanUmum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : cukup
2. Tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler
Pernafasan : 22 x/menit, reguler
Suhu : 36,5 oC
3. Kepala
Normosefal.
4. Mata
Oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-), konjunctiva pucat (-/-),cekung (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm)
5. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), mukosa hiperemis (+/+)
6. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan hiperemis (-)
7. Telinga
Sekret (-/-), tragus pain (-/-)
8. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring hiperemis (+)
9. Leher
Bentuk normocolli, trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar
10. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri

11
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+)
suara tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
11. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ascites (-), pekak alih (-),
undulasi (-), nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat
12. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - - CRT < 2detik

C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan 12/10/17 Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.7 g/dl 11.1 – 14.1
Leukosit 5 ribu/ul 6 – 17.5
Hematokrit 35 % 31 – 41
Eritrosit 4.5 juta/ul 4.00 - 5.20
Trombosit 278 ribu/ul 150 – 450
Protein plasma - g/dl 6–8
INDEX ERITROSIT
MCV 85 /um 80.0 - 100.0
MCH 29 Pg 27.0 - 32.0
MCHC 33.8 g/dl 32.0 - 36.0
RDW 14 % 11.6 - 14.6

12
HITUNG JENIS
Eosinofil 2 % 1–3
Basofil 0.2 % 0–1
Neutrofil segmen 60 % 50 – 70
Limfosit 22.4 % 20 – 40
Monosit 7 % 2–8
IMUNOSEROLOGI
HbsAG Non - reaktif

D. DIAGNOSIS BANDING
1. Laringitis kronis
2. Laringitis tuberkulosis
3. Karsinoma laring

E. DIAGNOSIS KERJA
Laringitis kronis

F. PENATALAKSANAAN
Tata laksana non farmakologis :
1. Vocal rest
2. Menghentikan kebiasaan merokok
Tata laksana farmakologis :
1. Antibiotik
2. Ekspektoran
3. Pseudoefedrin
4. Antasida

13
Penulisan resep:
R/ Amoxicilin tab mg 500 No XXX
∫ 3 dd tab I
R/ Guaifenesin tab mg 100 No XXX
∫ 3 dd tab I
R/ Pseudoefedrin tab mg 60 No XXX
∫ 3 dd tab I
R/ Antasida doen tab No XXX
∫ 3 dd tab I
Pro: Tn. A (21 tahun)

G. PLAN
1. Rawat jalan
2. Pemeriksaan kultur

H. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien.
2. Mengenai pengobatan dan kesembuhan pasien.
3. Mengenai kemungkinan dan cara pencegahan kekambuhan penyakit pasien.

I. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam

14
II. KETERANGAN OBAT
1. Amoxicilin
a. Mekanisme Kerja
Amoxicillin adalah salah satu jenis antibiotik golongan penisilin yang digunakan
untuk mengatasi infeksi berbagai jenis bakteri, seperti infeksi pada saluran
pernapasan, saluran kemih, dan telinga. Amoxicillin hanya berfungsi untuk
mengobati infeksi bakteri dan tidak bisa mengatasi infeksi yang disebabkan oleh
virus, misalnya flu. Obat ini membunuh bakteri dengan cara menghambat
pembentukan dinding sel bakteri.
b. Indikasi
Mengatasi infeksi akibat bakteri, terutama pada gigi, saluran kemih, telinga,
hidung, tenggorokan, saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan kelamin
(misalnya gonore).
c. Efek Samping
Beberapa efek samping yang mungkin terjadi adalah:
1. Mual dan muntah
2. Mengalami diare
3. Sakit kepala
4. Ruam
d. Kontraindikasi
Alergi.
e. Dosis
Kondisi Dosis
Abses gigi Dewasa: 3 gram, diulang sesudah 8
jam
Infeksi saluran kemih Dewasa : 3 gram diulang setelah 10-
12 jam
Infeksi saluran pernapasan parah atau Dewasa: 3 gram
berulang
Infeksi H. pylori Dewasa: 750 atau 1000 mg
Infeksi gonore Dewasa: 3 gram
Aktinomikosis, infeksi saluran empedu, Dewasa: 250-500 mg setiap 8 jam
bronkitis, endokarditis, gastroenteritis, atau 500-875 mg setiap 12 jam. Anak:

15
infeksi mulut, otitis media, pneumonia, di bawah 40 kg: 40-90 mg/kg berat
gangguan limpa, demam tifoid dan badan setiap hari, dibagi dalam 2-3
paratifoid, infeksi saluran kemih dosis. Masimal: 3 gram/hari
Faringitis dan tonsilitis Dewasa: 775 mg untuk 10 hari
Pasien hemodialisis (cuci darah) 250-500 mg setiap 24 jam

2. Guaifenesin
a. Mekanisme Kerja
Obat yang memiliki efek melegakan pada tenggorokan ini bekerja dengan cara
mencairkan lendir yang menyumbat di saluran pernapasan, sehingga lebih mudah
dikeluarkan saat batuk.
b. Indikasi
Guaifenesin merupakan obat ekspektoran yang digunakan untuk menangani
batuk-batuk dan penyumbatan akibat dahak yang disebabkan oleh kondisi seperti:
1. Pilek
2. Bronkitis
3. Flu.
c. Efek Samping
Beberapa efek samping yang bisa saja muncul setelah mengonsumsi obat ini
adalah:
1. Sakit perut
2. Diare
3. Mual
4. Muntah
5. Pusing
d. Kontraindikasi
Kontraindikasinya antara lain :
1. Anak dengan usia dibawah 12 tahun
2. Epilepsi
3. Gangguan hati
4. Gangguan ginjal
5. Menderita batuk-batuk sejak lama.
e. Dosis
Untuk usia di atas 12 tahun ke atas, dosis yang digunakan untuk obat guaifenesin
adalah 100 mg hingga 200 mg sebanyak 3-4 kali dalam sehari.

16
Untuk dosis anak dibawah 12 tahun bisa dikonsultasikan terlebih dahulu ke
dokter.
6. Pseudoefedrin
a. Mekanisme Kerja
Obat yang masuk ke dalam golongan dekongestan ini bekerja dengan cara
menyempitkan pembuluh darah melalui peningkatan stimulasi reseptor
adrenergik alfa pada membran saluran pernapasan. Selain itu, pseudoephedrine
juga menstimulasi reseptor andrenergik beta yang dapat melegakan saluran
pernapasan, serta meningkatkan detak dan kontraksi otot jantung.
b. Indikasi
Pseudoephedrine adalah obat yang dapat digunakan untuk mengatasi gejala
hidung tersumbat pada kasus flu atau pilek, serta penyakit pernapasan lainnya.
c. Efek Samping
Beberapa efek samping yang mungkin terjadi saat mengonsumsi obat ini adalah:
1. Gelisah.
2. Mual dan muntah.
3. Sulit tidur.
4. Sakit kepala.
d. Kontraindikasi
Kontraindikasi obat ini antara lain:
1. Diabetes tipe 2
2. Penyakit jantung dan pembuluh darah
3. Hipertensi
4. Glaukoma
5. Gangguan fungsi ginjal
6. Hipertiroidisme
7. Gangguan irama jantung
8. Pembesaran prostat.
e. Dosis
Usia Dosis
Anak-anak usia 2-6 tahun 15 mg 3-4 kali sehari.
Anak-anak usia 6-12 tahun 30 mg 3-4 kali sehari.
Dewasa 60 mg setiap 4-6 jam, jangan melebihi

17
240 mg per hari.
Untuk pseudoephedrine extended release:
120 mg 2 kali sehari atau 240 mg 1 kali
sehari.

7. Antasida doen
f. Mekanisme Kerja
Terdapat 2 jenis sediaan, yaitu tablet dan syrup, dalam satu sendok takar (5 ml)
atau satu tablet mengandung:
Alluminium Hidroksida : 200 mg
Magnesium Hidroksida : 200 mg
Antasida merupakan salah satu golongan obat yang bekerja mengurangi
keasaman cairan lambung di dalam rongga lambung yang diberikan secara oral
dan selain itu dapat pula menetralkan asam lambung secara lokal. Ada tiga cara
antasida mengurangi keasaman cairan lambung, yaitu pertama secara langsung
menetralkan cairan lambung, kedua dengan berlaku sebagai buffer terhadap
hydrochloric acid lambung yang pada keadaan normal mempunyai pH 1 sampai 2
dan ketiga dengan kombinasi kedua cara tersebut diatas. Antasida akan
mengurangi rangsangan asam lambung terhadap saraf sensoris dan melindungi
mukosa lambung terhadap perusakan oleh pepsin.
g. Indikasi
Indikasi antasida doen antara lain :
1. Pemberian antasida dapat mengurangi rasa nyeri pada ulkus peptikum
2. Mengurangi hiperasiditas
3. Mengobati rasa panas di uluh hati (heart burn)
4. Mencegah pembentukan batu fosfat dalam ginjal
5. Mencegah pembentukan batu / kristal obat-obat yang menyebabkan pH urin
menjadi asam
6. Efek samping konstipasi pada penggunaan antasida dapat mengobati penyakit
diare

18
h. Efek Samping
Pemberian antasida dalam dosis besar secara terus-menerus dapat memberikan
efek samping sebagai berikut:
1. Alkalosis (karena diserapnya kation-kation antasida), retensi cairan dan gejala
keracunan Mg dengan depresi SSP (karena diserapnya Mg) dapat terjadi pada
pemakaian antasida.
2. Perubahan fungsional usus besar, dapat berupa: konstipasi pada pemakaian
Ca-karbonat, diare pada pemakaian preparat Mg, susah buang air besar akibat
pemakaian hidrat garam-garam aluminium yang terdapat di dalam usus besar
terpisah dari tinja dan menjadi keras sehingga susah dikeluarkan.
i. Kontraindikasi
Penggunaan antasida harus dipertimbangkan pada kondisi-kondisi dibawah ini:
9. Memiliki masalah pada ginjal
10. Sering minum alkohol
11. Dehidrasi (kekurangan cairan)
j. Dosis
Dewasa : 3 – 4 kali sehari 1 – 2 tablet atau 1 – 2 sendok takar suspensi (sirup);
Anak 6 – 12 tahun : 3 – 4 kali sehari ½ – 1 tablet atau ½-1 sendok takar suspensi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman MH, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Edisi ke2 Jakarta: FKUI. h 931
Banovetz JD. Gangguan Laring Jinak. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 1997. h. 378-396
Brandwein-Gensler, Majorie. Laryngeal Pathology. In:Van De Water Thomas R.
Staecker H. Otolaryngology Clinical review. New York:Thieme. 2008. Hal.
574-591
Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 1997. h. 369-376
Dhillon, R.S. ,East C.A.. Ear, Nose, and Throat and Head and Neck Surgery. 2nd
Edition. Churcill Livingstone. 2000. Hal. 56-68
Hermani B, Abdurrachman H, Cahyono A. Kelainan Laring.Dalam: Soepardi
EA. Buku Ajar llmuKesehatan Telinga HidungTenggorok Kepala & Leher.Edisi
ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI . 2007.h. 237-242
Hermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman B, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi ke 5, Jakarta:FKUI,2003,190-200
Lee KJ. Essential Otolaryngology. Head and Neck Surgery, 6th ed. Appleton & Lange
Stamfort,Connecticut P.
Roezin A. Sistem Aliran Limfa Leher.Dalam:Soepardi EA. Buku Ajar llmuKesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI . 2007. h. 174-177.

20

Anda mungkin juga menyukai