Anda di halaman 1dari 16

Referat

PENYEBAB DAN PENANGANAN PADA


LARINGITIS KRONIK

Oleh:

Aida Musyrifah 1730912320010

Muhammad Ari Setiawan P.1730912310077

Rina Amelia Sary 1730912320115

Yulianti I4A012073

Pembimbing:

dr. Rusina Hayati, Sp.THT-KL

BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT THT

RSUD ULIN-FK ULM

BANJARMASIN

November, 2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

BAB II PENYEBAB.................................................................................. 3

BAB III PENANGANAN............................................................................ 7

BAB IV PENUTUP...................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Laringitis merupakan peradangan yang terjadi pada pita suara (laring)

yang dapat menyebabkan suara parau. Pada peradangan ini seluruh mukosa laring

hiperemis dan menebal, kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat

metaplasi skuamosa. Laringitis ialah pembengkakan dari membran mukosa laring.

Pembengkakan ini melibatkan pita suara yang memicu terjadinya suara parau

hingga hilangnya suara.

Laringitis kronik adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan

laring yang terjadi dalam jangka waktu lama. Infeksi pada laring dapat dibagi

menjadi laringitis akut dan laringitis kronis, infeksi maupun non infeksi, inflamasi

lokal maupun sistemik yang melibatkan laring. Laringitis akut biasanya terjadi

mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 7 hari dan biasanya

muncul dengan gejala yang lebih dominan seperti gangguan pernafasan dan

demam. Laringitis kronis biasanya terjadi bertahap dan telah bermanifestasi

beberapa minggu.

Laringitis kronis ini dapat timbul pada anak – anak maupun dewasa.

Angka kejadian untuk laringitis kronik ini lebih banyak diderita oleh pria dari

pada wanita. Etiologi dari laringitis kronik dapat disebabkan oleh infeksi virus,

infeksi tuberculosis, infeksi jamur, sifilis, pajanan terhadap debu, kebiasaan

merokok dan sering mengkonsumsi alkohol.

iii
Pengobatan untuk laringitis kronik adalah dengan cara menganjurkan

pasien untuk tidak banyak bicara, menjauhkan pasien dari faktor pemicu seperti

asap, dan debu. Pemberian antibiotik dapat diberikan apabila terdapat tanda–tanda

infeksi. Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas lebih lanjut mengenai penyebab

dan penanganan laringitis kronis.

iv
BAB II

PENYEBAB

Laringitis adalah inflamasi pada mukosa laring yang kebanyakan

disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan. Laringitis dapat dibagi menjadi akut

dan kronik. Pada laringitis akut, onset penyakit mendadak dan umumnya self

limited. Pada laringitis kronik, perlu dipikirkan penyakit yang mendasari,

misalnya alergi atau gastroesophageal reflux disease.1

Laringitis kronis didefinisikan sebagai laringitis yang menetap lebih dari

tiga minggu. Hal ini dapat terjadi karena proses penyakit yang berbeda, mulai dari

proses inflamasi, seperti laringitis alergi dan refluks laringofaring,untuk gangguan

autoimun seperti rematoid artritis,dan penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis.

Laringitis kronis kurang lazim dalam praktek primer tetapi merupakan indikasi

utama untuk rujukan.1,2

Kasus yang sering terjadi pada peyebab laringitis kronis, yaitu:

1. Infeksi virus dan bakteri

Infeksi bakteri seperti difteri juga dapat menjadi penyebabnya, tapi hal ini

jarang terjadi. Laringitis dapat juga terjadi saat menderita suatu penyakit atau

setelah sembuh dari suatu penyakit, seperti salesma, flu atau radang paru-paru

(pnemonia).3

Laringitis kronis bisa juga disebabkan oleh bakteri tuberkulosis. Penyakit ini

disebut dengan laringitis tuberkulosa. Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat

dari tuberkulosis paru. Sering kali setelah diberikan pengobatan, tuberkulosisnya

v
sembuh tetapi laringitis tuberkulosanya menetap. Hal ini terjadi karena struktur

mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak

sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih

lama. Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum

yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfe.

Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fossa

interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglotis,

serta subglotik.4,5

Selain itu juga dapat disebabkan oleh kuman treponema palidum, namun

sudah sangat jarang dijumpai pada bayi ataupun orang dewasa. Penyakit ini

disebut dengan laryngitis luetika. Laring tidak pernah terinfeksi pada stadium

pertama sifilis. Pada stadium kedua, laring terinfeksi dengan tanda-tanda adanya

edema yang hebat dan lesi mukosa berwarna keabu-abuan. Sumbatan jalan nafas

dapat terjadi karena adanya pembengkakan mukosa. Pada stadium ketiga,

terbentuknya guma yang nanti akan pecah dan menimbulkan ulcerasi,

perikondritis dan fibrosis.3

Gejala klinis yang ditemukan adalah suara parau dan batuk yang kronis.

Disfagia timbul bila gumma terdapat dekat introitus esofagus. Pada penyakit ini,

pasien tidak merasakan nyeri, mengingat kuman ini juga menyerang saraf-saraf di

perifer. Pada pemeriksaan, bila guma pecah, maka ditemukan ulkus yang sangat

dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan

eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan

menjalar sagat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi

vi
perikondritis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes serologi (RPR,VDRL, dan

FTA-ABS) dan biopsi.3

2. Iritan yang terhirup, seperti zat iritatif, asap, dan allergen

Pada laringitis kronis akibat alergi, pasien biasanya memiliki onset bertahap

dengan gejala yang ringan. Pasien dapat mengeluhkan adanya akumulasi mukus

berlebih dalam laring. Pada pemeriksaan laringoskopi biasa dijumpai sekresi

mukus endolaringeal tebal dalam kadar ringan hingga sedang, eritema dan edema

lipatan pita suara serta inkompetensi glotis episodik selama fase fonasi.3

3. Penggunaan alkohol yang berlebihan dan Merokok

Alkohol dapat menyebabkan iritasi kimia pada laring dan merokok dapat

mengiritasi laring, dapat menyebabkan peradangan dan penebalan pita suara. Pada

penelitian ilmiah oleh Byeon (2015) didapatkan perokok memiliki faktor risiko

1,5 kali lebih tinggi untuk terjadi kelainan pada laringfseperti timbulnyanodul,

polip, kista intracordal, reinke edema, granulomalaring, keratosis laring, laringitis,

papiloma laring, kelumpuhan pita suara,dan neoplasma ganas laring dibandingkan

dengan bukan perokok. Pada perokok berat emiliki faktor resiko 3,9 kali untuk

terjadinya disfoni dan pada perokok sangat berat memiliki faktor resiko 4 kali

untuk terjadinya disfoni.6

4. Gastroeosophageal Reflux Disease (GERD)

suatu kondisi yang disebut gastroeosophageal reflux disease (GERD) juga

dapat menyebabkan laringitis kronik, disebabkan karena asam dari lambung yang

mengalir kembali ke dalam kerongkongan dan tenggorokan yang dapat

vii
mengiritasi mukosa. Selama 30 tahun terakhir, penelitian menyatakan bahwa

manifestasi Gastro-oesophageal Reflux Disease (GERD) salah satunya ialah

radang tenggorokan pada populasi yang besar dilaporkan dengan pasien yang

memiliki GERD.1

Gejala refluks laringofaringeal memiliki manifestasi gejala laring yang tidak

spesifik, seperti suara parau, disfagia, odinofagia, rasa tersangkut, batuk kronis,

dan berdehem. Selain itu, juga bisa menyebabkan kondisi lain seperti nodul pita

suara, perubahan laring premaligna maupun maligna, sinusitis dan otitis media.3

5. Penggunaan suara yang berlebih

Biasanya terjadi pada penyanyi atau pemandu sorak karena terlalu banyak

menggunakan suara, dengan terlalu banyak bicara, berbicara terlalu keras atau

menyanyi (vocal abuse).7

Gejala klinis yang sering timbul adalah berdehem untuk membersihkan

tenggorokan. Selain itu ada juga suara serak, Perubahan pada suara dapat

bervariasi tergantung pada tingkat infeksi atau iritasi, bisa hanya sedikit serak

hingga suara yang hilang total, rasa gatal dan kasar di tenggorokan, sakit

tenggorokan, tenggorokan kering, batuk kering, sakit waktu menelan. Gejala

berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Pada pemeriksaan ditemukan

mukosa yang menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis. Bila terdapat

daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka perlu dilakukan biopsi.7

BAB III

PENANGANAN

viii
Pengobatan yang dilakukan tergantung pada penyebab terjadinya laryngitis

dan simtomatis.

1. Infeksi akibat virus dan bakteri

Pengobatan terbaik untuk langiritis yang diakibatkan oleh sebab-sebab yang

umum, seperti virus, adalah dengan mengistirahatkan suara sebanyak mungkin

dan tidak membersihkan tenggorokan dengan berdehem. Jika karena bakteri,

misalnya seperti laringitis tuberkulosa. Penatalaksanaannya berupa pembeian obat

antituberkulosis primer dan sekunder. Selain itu pasien juga harus

mengistirahatkan suaranya. Beberapa macam dan cara pemberian obat

antituberkulosa:8

a. Obat primer: INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,

Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang

masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan

obat-obat ini.

b. Obat sekunder: Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,

Kapreomisin dan Kanamisin.

Jika penyebabnya karena laringitis luetika atau yang disebabkan karena

bakteri tropenema pallidum. Penatalaksanaannya dengan pemberian antibiotika

golongan penicilin dosis tinggi, pengangkatan sekuester, bila terdapat sumbatan

laring karena stenosis dapat dilakukan trakeostomi dan operasi rekonstruksi.5

2. Menghindari iritasi zat inhalan dan faktor pemicu alergi

ix
Bila penyebabnya adalah zat yang dihirup, maka hindari zat penyebab iritasi

tersebut. Dengan menghirup uap hangat dari baskom yang diisi air panas mungkin

bisa membantu. Bila anak yang masih berusia batita atau balita mengalami

langiritis yang berindikasi karah croup, bisa digunakan kortikosteroid seperti

dexamethasone.9

Pada kasus alkohol10is kronis alergi, tatalaksana meliputi edukasi kepada

pasien untuk menghindari faktor pemicu. Medikasi antihistamin loratadine atau

fexofenadine dipilih karena tidak memiliki efek samping dehidrasi. Sekresi alcoh

yang tebal dan lengket dapat di atasi dengan pemberian guaifenesin.7,9,10

3. Menghentikan rokok dan minum alkohol

Untuk laringitis kronis yang juga berhubungan dengan kondisi lain seperti

merokok harus dihentikan. Untuk mencegah kekeringan atau iritasi pada pita

suara:7,9

a. Jangan merokok, dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi perokok

tidak langsung. Rokok akan membuat tenggorokan kering dan

mengakibatkan iritasi pada pita suara.

b. Minum banyak air. Cairan akan membantu menjaga agar lendir yang

terdapat tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan.

c. Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering.

Bila mengalami langiritis, hindari kedua zat tersebut diatas.

d. Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan. Berdehem tidak akan

berakibat baik, karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi

x
abnormal peda pita suara dan meningkatkan pembengkakan. Berdehem juga

akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir dan

merasa lebih iritasi, membuat ingin berdehem lagi.

4. Refluks laringofaringeal

Sebagian besar kasus laringitis kronik disebabkan oleh refluks. Beberapa

tata laksana yang dapat digunakan untuk menangani laringitis akibat refluks

adalah:11,12

a. Mukoprotektan untuk melapisi lambung (Contoh: sukralfat)

b. Menghindari makanan yang bersifat asam atau iritatif karena dapat

meningkatkan produksi asam lambung, seperti makanan berlemak,

gorengan, kopi, teh, minuman berkafein, alkohol, coklat, dan mint

c. Makan dalam porsi kecil tapi lebih sering, dan menghindari makan 3 – 4

jam sebelum tidur

d. Penghambat pompa proton (PPI) secara tunggal atau bersamaan dengan

antagonis reseptor H2.

Penggunaan PPI dinilai dapat memperbaiki gejala iritasi laring pada pasien

dengan refluks laringofaringeal. Selain itu, kombinasi dengan antagonis reseptor

H2, terapi suara, atau prosedur pembedahan juga dinilai dapat memperbaiki suara

pada pasien dengan refluks laringofaringeal kronik.11,12

5. Vocal Hygiene

xi
Semua pasien laringitis direkomendasikan untuk melakukan vocal hygiene.

Hal ini bertujuan untuk mengontrol gejala dan mengurangi iritasi pada laring.

Berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan:1

a. Mengistirahatkan suara: Pasien dianjurkan untuk meminimalisasi

penggunaan suara selama 48 jam sampai 1 minggu atau sampai ketika

pasien tidak nyeri saat bersenandung. Penggunaan suara berlebihan seperti

berteriak, bernyanyi, atau berbisik sebaiknya dibatasi.

b. Menjaga lubrikasi lokal dan hidrasi sistemik: Hal ini dapat dilakukan

dengan mengunyah permen karet, meningkatkan asupan cairan menjadi 250

ml per jam, dan membatasi asupan kafein. Kafein dinilai dapat

menyebabkan dehidrasi dan memperparah iritasi pada faringolaringeal.

c. Perubahan gaya hidup: Gaya hidup yang diubah untuk menjaga kesehatan

suara adalah mengurangi asupan alkohol, berhenti merokok, dan mengatasi

kondisi medis yang menjadi predisposisi penyakit.1

6. Rujukan

Pasien dengan stridor atau terdapat kecurigaan obstruksi perlu segera

mendapat tata laksana emergensi yang adekuat. Pasien dengan gejala yang

menetap selama lebih dari 2 – 3 minggu disarankan untuk dirujuk ke spesialis

THT.

Apabila terdapat kecurigaan ke arah keganasan, riwayat pembedahan pada

bagian leher, riwayat radioterapi, riwayat intubasi endotrakeal, penurunan berat

xii
badan yang signifikan tanpa diketahui penyebabnya, disfagia atau odinofagia, atau

otalgia rujukan dapat dilakukan tanpa harus menunggu 2 minggu pengobatan.13

xiii
BAB IV

PENUTUP

Laringitis kronik adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring

yang terjadi dalam jangka waktu yang menetap lebih dari tiga minggu. Hal ini

dapat terjadi karena proses penyakit yang berbeda, mulai dari proses inflamasi,

seperti laringitis alergi dan refluks laringofaring, untuk gangguan autoimun seperti

rematoid artritis, dan penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis.

Diagnosa laringitis kronis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan diberikan sesuai dengan etiologi

yang mendasari. Biasanya disebabkan oleh iritasi asap rokok, sehingga pasien

diminta untuk berhenti merokok dan menghindari asap rokok disekitarnya.

Prognosis dapat ditentukan berdasarkan stadium atau keparahan penyakit,

diagnosa dini, dan tepatnya penatalaksanaan. Pasien dengan gejala yang menetap

selama lebih dari 2 – 3 minggu disarankan untuk dirujuk ke spesialis THT.

xiv
DAFTAR PUSTAKA

1. Wood JM, Athanasiadis T, Allen J. Laryngitis. 2014. 349:5827.


https://doi.org/10.1136/bmj.g5827.

2. Kahrilas PJ. Clinical practice. Gastroesophageal reflux disease. N Engl J


Med. 2008. 359(16):1700-7.

3. Berlliti S, Omidi M. Chronic Laryngitis, Infectious or Allergic. Didapatkan


dari url: http://www.emedicine.com/ent/topics354.htm.

4. Hermani B, Abdurrachman H, Cahyono A. Kelainan Laring.Dalam: Soepardi


EA. Buku Ajar llmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher.Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007. Hal.237-242.

5. Dhillon RS, East CA. Ear, Nose, and Throat and Head and Neck Surgery. 2 nd
Edition. Churcill Livingstone. 2000. Hal.56-68.

6. Tuzuner A, Demirci S, Yavanoglu A, Kurkcuoglu M, Arslan N. Reinke


edema: watch for vocal fold cysts. J Craniofac Surg. 2015. 26(4):338-9.

7. Banovetz JD. Gangguan Laring Jinak. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. 1997. h. 378-396.

8. Brandwein GM. Laryngeal Pathology. In:Van De Water Thomas R. Staecker


H. Otolaryngology Clinical review. New York:Thieme. 2008. Hal.574-591.

9. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head &


Neck Surgery, 2nd Edition. New York:The McGraw-Hill. 2007.

10. Krouse JH, Altman KW. Rhinogenic laryngitis, cough, and the unified airway.
Otolaryngol Clin North Am. 2010;43(1):111-21. doi: 10.1016/j.otc. 2009.
11:005.

11. Guo H, Ma H, Wang J. Proton Pump Inhibitor Therapy for the Treatment of
Laryngopharyngeal Reflux: A Meta-Analysis of Randomized Controlled
Trials. J Clin Gastroenterol. 2016. 50(4):295-300.

12. Lechien JR, Finck C, Costa de Araujo P, Huet K, Delvaux V, Piccaluga M.


Voice outcomes of laryngopharyngeal reflux treatment: a systematic review
of 1483 patients. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2017. 274(1):1-23.

xv
13. Stachler RJ, Francis DO, Schwartz SR, Damask CC, Digoy GP, Krouse HJ.
Clinical practice guideline: hoarseness (dysphonia). Otolaryngol Head Neck
Surg. 2018. 158(1).

xvi

Anda mungkin juga menyukai