Anda di halaman 1dari 8

Bentuk sediaan obat semi padat

Sediaan farmasi semi padat meliputi salep, pasta, emulsi krim, gel, dan busa yang kaku. Sifat
umum sediaan ini adalah mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup
lama sebelum sediaan ini dicuci atau dihilangkan. Pelekatan ini disebabkan oleh sifat rheologis plastic
sediaan ini, yang memungkinkan sediaan semi padat tersebut tetap bentuknya dan melekat sebagai
lapisan tipis sampai ada suatu tindakan, yaitu dengan sesuatu kekuatan dari luar, yang mengakibatkan
bentuk sediaan semi padat ini akan rusak bentuknya dan mengalir (Lachman, 2008).

Sediaan semi padat digunakan pada kulit, dimana umumnya sediaan tersebut berfungsi sebagai
pembawa pada obat-obat topical, sebagai pelunak kulit, sebagai pembalut pelindung atau pembalut
penyumbat (okulsif). Sejumlah kecil bentuk sediaan semi padat topical ini digunakan pada membrane
mukosa, seperti jaringan rektal, jaringan buccal (dibawah lidah), mukosa vagina, membrane uretra,
saluran telinga luar, mukosa hidung, kornea (Lachman, 2008).

Macam-macam bentuk sediaan obat semi padat, yaitu:

A. Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar.
Bahan obatnya larut atau terdispersi homogeny dalam dasar salep yang cocok. Salep tidak boleh
berbau tengik, menurut pemikiran modern salep adalah sediaan semipadat untuk pemakaian pada
kulit dengan atau tanpa penggosokan. Oleh karena itu salep dapat terdiri dari subtansi berminyak
atau terdiri dari emulsi lemak atau lilin yang mengandung air dalam proporsi relative tinggi (Arief,
1994).

Pesyaratan salep (FI ed. III) :

1) Pemerian
Tidak boleh berbau tengik
2) Kadar
Kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras atau narkotik, kadar
bahan obat 10%.
3) Dasar salep
Kualitas dasar salep yang bagus adalah :
 Stabil, tidak berpengaruh oleh suhu dan kelembapan, dan harus bebas dari inkompatibilitas
selama pemakaian.
 Lunak, harus halus, dan homogen.
 Mudah dipakai.
 Dasar salep yang cocok, serta dapat terdistribusi secara merata.
4) Homogenitas
Jika salep dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus
menunjukkan susunan yang homogen.
5) Penandaan
Pada etiket harus tertera “obat luar”.

Basis salep secara umum juga dapat digolongkan menjadi basis salep senyawa hidrokarbon
seperti vaselin album, vaselin flavum, cera album, cera flavum, atau campurannya : basis salep serap
seperti adeps lanae, basis salep yang bisa dicuci dengan air seperti emulsi minyak dalam air (o/w) : dan
basis salep yang dapat larut dalam air seperti PEG dan campurannya. (Syamsuni, 2006).

Preparasi sediaan salep menurut F. Van Duin adalah sebagai berikut :

 Peraturan salep pertama


Zat-zat yang dapat larut dalam campuran lemak dilarutkan kedalamnya, bila perlu dengan
pemanasan.
 Peraturan salep kedua
Jika tidak ada peraturan lain, bahan-bahan yang larut dalam air dilarutkan terlebih dahulu dalam
air dengan syarat jumlah air yang digunakan dapat diserap seluruhnya oleh basis salep dan
jumlah air yang dipakai, dikurangkan dari basis salepnya.
 Peraturan salep ketiga
Bahan-bahan yang sukar atau hanya sebagian dapat larut dalam lemak dan air harus
diserbukkan terlebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak No. 60.
 Peraturan salep keempat
Campuran salep yang dibuat dengan cara dicairkan harus digerus sampai dingin. Bahan-bahan
yang ikut dilebur, penimbangannya harus dilebihkan 10-20% untuk mencegah penyusutan bobot
(Syamsuni, 2006).

B. Krim

Krim merupakan obat yang digunakan sebagai obat luar yang dioleskan kebagian kulit badan.
Obat luar adalah obat yang pemakaiannya tidak melalui mulut, kerongkongan, dan kearah lambung.
Menurut definisi tersebut yang termasuk obat luar adalah obat luka, obat kulit, obat hidung, obat
mata, obat tetes telinga, obat wasir dan sebagainya (Arief, 1994).

Krim dalam system emulsi sediaan semi padat mempunyai penampilan tidak jernih, berbeda
dengan salep yang tembus cahaya. Konsistensi dan sifat rheologisnya tergantung pada jenisnya,
emulsinya, apakah jenis air dalam minyak atau minyak dalam air, dan juga pada sifat zat padat
dalam fase internal. Sediaan semi padat ini juga digunakan pada kulit, dimana umumnya sediaan
tersebut berfungsi sebagai pembawa pada obat-obat topical, sebagai pelunak kulit, atau sebagai
pembalut pelindung atau pembalut penyumbat (okulsif) (Lachman, 2008).

Tipe emulsi krim dapat berupa air dalam minyak (w/o) atau minyak dalam air (o/w) tergantung
pada penggunaan agen pengemulsi (Marriot, 2010).

 Krim tipe basis emulsi air dalam minyak (w/o) (krim berminyak), dibuat dari basis pengemulsi
yang berasal dari alam (misalnya beeswax, wool alcohols, atau wool fat). Basis tersebut memiliki
sifat emolien yang baik. Karakteristik dari krim ini adalah kental, putih atau bening, dan agak
kaku (Marriot, 2010).
 Krim tipe basis emulsi minyak dalam air (o/w) (krim berair), dibuat dari basis lilin sintetis
(misalnya makrogol dan cetomakrogol). Basis tersebut merupakan basis terbaik digunakan
untuk absorpsi yang cepat dan penetrasi obat. Karakteristik dari krim ini adalah tipis, putih, dan
memiliki konsistensi yang lembut (Marriot, 2010).
Dalam pembuatan krim diperlukan suatu bahan dasar. Bahan dasar yang digunakan harus memenuhi
kriteria-kriteria tertentu. Kualitas dasar krim yang diharapkan adalah sebagai berikut (Arief, 1994) :

a) Stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka salep harus terbebas dari inkompatibilitas, stabil
pada suhu kamar dan kelembapan yang ada dalam kamar.
b) Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan homogen,
sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi.
c) Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan dihilangkan
dari kulit seperti krim.
d) Terdistribusi merata, obat harus terdispersi merata melalui dasar salep padat atau cair pada
pengobatan.

Fungsi krim adalah (Arief, 1994). :


 Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit.
 Sebagai bahan pelumas bagi kulit.
 Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak langsung dengan zat-zat berbahaya.

Stabilitas krim akan rusak jika system campurannya terganggu oleh perubahan suhu dan
komposisi, misalnya ada penambahan salah satu fase secara berlebihan. Pengenceran krim hanya
dapat dilakukan jika sesuai dengan pengenceran yang cocok yang harus dilakukan dengan teknik
aseptis. Krim yang sudah diencerkan harus digunakan dalam waktu satu bulan (Syamsuni, 2006).

Bahan pengemulsi krim harus disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang dikehendaki. Sebagai
bahan pengemulsi dapat digunakan emulgid, lemak bulu domba, setasium, setilalkohol,
stearilalkohol, golongan sorbitan, polisorbat, PEG, dan sabun. Bahan pengawet yang sering
digunakan umumnya adalah metilparaben (nipagin) 0.12-0.18% dan propilparaben (nipasol)0.02-
0.05% (Syamsuni, 2006).

Preparasi sediaan krim pada umumnya (Marriot, 2010) :

 Pensterilan alat-alat yang digunakan dalam pembuatan krim dengan Industrial Methylated
Spirits (IMS).
 Perlu dilebihkan bobot bahan pembuat krim saat penimbangan untuk menghindari pengurangan
bobot saat perpindahan bahan ke wadah yang lain.
 Penentuan bahan yang larut dalam air atau dalam minyak. Larutan bahan yang larut dalam air
dalam fasa berair dan bahan yang larut dalam minyak dalam fasa berminyak.
 Lebur basis lemak dalam wadah di atas penangas air dengan suhu serendah mungkin. Mulailah
dari basis yang memiliki titik lebur tertinggi. Kemudian, didinginkan. suhu yang terlalu tinggi
dapat mendenaturasi agen pengemulsi dan stabilitas produk dapat hialng.
 Bahan yang larut/bercampur dalam fasa minyak harus dilakukan pengadukan dengan magnetic
stirrer.
 Suhu dari fasa air harus tetap dijaga 600C.
 Mencampurkan kedua fasa untuk membuat fasa kontinu pada suhu yang sama. Oleh karena itu,
untuk tipe minyak dalam air (o/w) – menambahkan fasa minyak kedalam fasa air dan untuk tipe
air dalam minyak (w/o) – menambahkan fasa air kedalam minyak.
 Aduk emulsi tanpa adanya udara sampai sediaan krim terbentuk. Pendinginan pada saat
pengaduk dapat menghasilkan sediaan yang buruk.

C. Gel

Gel umumnya merupakan suatu sediaan semi padat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung
zat aktif, merupakan disperse koloid mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling
berikatan pada fase terdispersi (Ansel, 1989).

Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik. (Ansel 1989).

1) Dasar gel hidrofobik


Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan kedalam
fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Berbeda dengan bahan
hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan
prosedur yang khusus.

2) Dasar gel hidrofilik


Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organic yang besar dan dapat
dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari pendispersi. Istilah hidrofilik berarti suka pada
pelarut. Umumnya daya Tarik menarik pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari
tidak adanya daya Tarik menarik dari bahan hidrofobik. System koloid hidrofilik biasanya lebih
mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar.

Beberapa keuntungan sediaan gel adalah sebagai berikut (Voigt, 1994) :

 Kemampuan penyebarannya baik pada kulit.


 Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit.
 Tidak ada penghambatan fungsi secara fisiologis.
 Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik.
 Pelpasan obatnya baik.

Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi microbial yang
secara efektif dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet. Untuk upaya stabilisasi dari segi
mikrobal disamping penggunaan bahan-bahan pengawet seperti dalam balsam, khususnya untuk basis
ini sangat cocok pemakaian metil dan propil paraben yang umumnya disatukan dalam bentuk larutan
pengawet. Upaya lain yang diperlukan adalah perlindungan terhadap penguapan yaitu untuk
menghindari masalah pengeringan. Oleh karena itu untuk menyimpannya lebih baik menggunakan tube.
Pengisian kedalam botol, meskipun telah tertutup baik tetap tidak menjamin perlindungan yang
memuaskan (Voigt, 1994).

D. Pasta

Pasta (pastae) adalah sediaan semipadat (masa lembek) yang mengandung satu atau lebih bahan
obat yang ditujukan untuk pemakaian topical (Syamsuni, 2006).
Pasta terdiri dari campuran bubuk bahan obat yang dikombinasikan dengan paraffin putih lunak
atau paraffin cair, atau basis bukan lemak seperti gliserol, mucilago, dan sabun. Pasta biasanya sediaan
yang sangat kaku karena proporsi kandungan bahan yang tinggi. Karena kekakuannya inilah pasta hanya
ditunjukan untuk menghasilkan efek local. Contohnya, pasta dapat berguna untuk menyerap eksudat
pada luka dan pasta dapat juga digunakan sebagai “sun filter” yang dapat mencegah dehidrasi
berlebihan pada kulit keran pasta membentuk lapisan tebal pada area yang dilapisinya (Marriot, 2010).

Kinerja sediaan setengah padat

Preparat topical, sama seperti semua bentuk sediaan lainnya, harus diformulasikan, diproduksi, dan
dikemasi dengan cara yang menjamin bahwa mereka memenuhi standar umum bioavailabilitas, fisik
(system fisik) stabilitas, kimia (bahan) stabilitas, bebas dari kontaminasi, dan kenggunan. Sama seperti
semua obat-obatan lainnya, factor-faktor ini harus menjadi dasar utama tetap yang menyatakn simpan
produk dan mereka harus direproduksi dari batch ke batch (Banker, 2002).

a) Bioavalaibilitas

 Struktur kimia, penghantaran, respon klinis.


Tujuan dari semua pengobatan adalah tercapainya terapi sukses, bukan penghantaran
sendiri, dan akibatnya aktivitas intrinsik dari obat juga harus dipertimbangkan ketika
memilih senyawa untuk pengembangan dermatologi dan transdermal. Respon farmakologis
tergantung pada penghantaran obat yang cukup memberikan aktivitas kepada zona target
(Banker, 2002).
 Sifat pembawa dan absorpsi perkutan.
Kelarutan memainkan peran relative pada fluks maksimal seluruh membrane. Secara kinetic,
untuk mencapai permukaan kulit, fraksi yang ada pada obat juga dapat dinilai dalam larutan
dimana pembawanya dirancang untuk mengelilinginya (Banker, 2002).
 Penghantaran transdermal – sifat system penghantaran transdermal.
Kondisi pada penggunaan system penghantaran topical mempunyai pengaruh yang amat
besar terhadap kinerja. Dalam hal ini, system transdermal, bercak adesif secara khusus
digunakan untuk pengobatan penyakit sistemik, dan produk dermatologi adalah hal yang
sangat berbeda saat berada di lingkungan dan kondisi. Penghantaran transdermal
ditunjukan untuk mencapai tingkat sistemik aktif obat (Banker, 2002).
 Penghantaran topical – sifat system penghantaran topical.
System penghantaran topical mengisi posisi yang penting dalam terapi. Meskipun faktanya
bahwa sering kali kurang dari 1% dan hamper tidak pernah lebih dari 15% dari obat dalam
aplikasi dermatologis yang sistemik diserap (secara sistemik dapat diperoleh kembali),
namun demikian penghantaran topical memungkinkan seseorang untuk mencapai tingkat
obat dalam jaringan local jauh melebihi orang-orang yang dapat dicapai dengan cara
pemberian lain (Banker, 2002).

b) Aspek stabilitas fisik dan kimia (Banker, 2002).


Factor untuk evaluasi setengah padat, yaitu:
 Stabilitas bahan aktif.
 Stabilitas adjuvant (zat pembantu).
 Penampilan visual.
 Warna.
 Bau (pengembangan bau menyengat atau kehilangan aroma).
 Viskositas, ekstrudabilitas.
 Hilangnya air dan komponen pembawa volatil lain.
 Fase distribusi (homogenitas atau fase pemisahan).
 Distribusi ukuran partikel pada fase terdispersi.
 PH.
 Tekstur, rasa pada saat aplikasi (kekakuan, gritiness, greasiness, kelengketan).
 Kontaminasi particular.
 Kontaminasi microba dan sterilitas (dalam wadah yang belum dibuka dan dalam kondisi
penggunaan).
 Pelepasan dan bioavailabilitas.

c) Bebas dari kontaminasi

Pengawet memiliki tujuan penting dalam obat topical, dimana sediaan akan tetap aseptic.
Pengawet diperlukan untuk system yang memiliki fase berair, karena air menawarkan lingkungan
yang kondusif untuk pertumbuhan mikroba. Sehingga dalam sediaan setengah padat yang memiliki
fase berair harus menggunakan pengawet, dimana dalam pemilihan pengawet ini tidak inkompatibel
dengan zat aktifnya dan memiliki komposisi sebagai pelengkap dan poliphasic (Banker, 2002).

d) Sediaan yang menarik (sediaan yang elegan).

Beberapa ciri khusus obat topical yang dapat diklasifikasikan sebagai kosmetik dapat membuat
pasien lebih atau kurang bersedia untuk menggunakan obat mereka. Termasuk kemudahan
aplikasinya dalam rasa persiapan ketika berada pada kulit dan munculnya lapisan seperti film,
aplikasinya itu tidak berminyak dan tak terlihat oleh mata kita. Seperti ointment dan pasta yang
tentu saja pada hakikatnya berminyak dan semua tipe suspensi cenderung meninggalkan buram,
film yang mudah dideteksi (Banker, 2002).

Mudahnya aplikasi dan metode aplikasi dari suatu formulasi itu, tergantung pada ciri fisikokimia
dari system yang terlibat. Kakakuan sediaan seperti pasta dapat diregulasi atau menurunkan
regulasinya dengan memanipulasi jumlah struktur pembangunnya dan dalam kasus tertentu bisa
menyesuaikan dengan tingkat fase/ volume ratio sediaan emulsi setengah padat supaya pada
sediaan yang kaku ini tidak terjadi iritasi atau gangguan pada kulit (Banker, 2002).

Kelengketan dan greasiness ditentukan oleh sifat fisikokimia dari konstituen yang termasuk film
yang terbentuk pada kulit. Dimana krim dengan bahan seperti asam stearate dan alcohl setil
memproduksi film yang tidak lengket, asam stearat adalah komponen fase internal utama mengilang
krim, system yang hamper tidak terdeteksi secara visual atau dengan sentuhan setelah salep disisi lain,
propilenglikol yang dapat ditambahkan ke krim dan gel untuk melarutkan obat cenderung membuat
system yang lengket (Banker, 2002).

e) Sensitivitas kulit –kekhawatiran efek toksik yang ditimbulkan


Salah satu masalah dari formulasi topical terkait dengan banyaknya bahan yang digunakan dan
pengawet adalah berkembangnya sensitivitas terhadap kulit. Dimana dari beberapa orang rentan
terhadap alergi secara kimia seperti hipersensitivitas tipe 4 sehingga dalam pemilihan bahan
untuksediaan setengah padat harus meminimalisir terjadinya alergi pada penggunaannya (Banker,
2002).

Protocol untuk desain, pengembangan dan pengujian formulasi (Ansel, 2011)

1. Identifikasi penyakit atau kondisi yang akan dirawat.


2. Menentukan aksi kerja obat seperti permukaan kulit, stratum korneum, epidermis, dermis,
anggota badan lainnya atau sirkulasi sistemik. Selain itu juga mempertimbangkan wilayah
tubuh, misalnya kulit kepala, batang, kaki, kuku dll.
3. Memperhatikan situs reseptor dalam daerah sasaran.
4. Memperkirakan kondisi kulit pasien rata-rata seperti menebal (misalnya ichthyosis), rusak
dan meradang (misalnya eksim akut).
5. Memilih obat atau prodrug yang terbaik dalam mengatasi gangguan, mempertimbangkan
farmakologis dan profil farmakokinetik, toksisitas, potensi kepekaan, stabilitas, kepekaan
terhadap metabolism enzim kulit dan sifat farmakokimia (terutamakoefisien difusi dan
koefisien partisi yang relevan dengan lapisan tanduk).
6. Mengevaluasi kinetika yang optimal untuk pengiriman obat kesitus target.
7. Memilih jenis formulasi yang diperlukan misalnya krim, salep, aerosol, pengiriman
perangkat.
8. Memutuskan adanya suatu pembatasan dalam pengobatan .
9. Memilih bahan tambahan yang stabil, kompatibel, dan dapat diterima secara kosmetik
maupun terapi.
10. Jika bertujuan untuk meningkatkan penetrasi obat maka mengoptimalkan potensial kimia
formulasi obat
11. Jika penetrasi obat buruk harus mempertimbangkan penggunaan peningkat penetrasi, tapi
harus memperhatikan tingkat ketoksikannya.
12. Melakukan uji in vitro dengan formulasi percobaan menggunakan membrane sintetik
sederhana (atau tidak ada membrane) dan kondisi sink yang sesuai, serta memastikan
bahwa obat mudah dilepaskan dari bahan tambahan.
13. Mengulangi langkah no 12 pada kulit manusia, untuk memantau penyerapan obat.
14. Melakukan uji in vivo pada hewan dan relawan manusia untuk memeriksa efektifitas,
keamanan, dan acceptability, menentukan profil farmakokinetik dan bioavailabilitas topical.
15. Melakukan uji klinis.
16. Selama program ini, meninjau prilaku fisikokimia dan stabilitas bentuk sediaan dan
pengemasan selama studi preformulation, prosedur prnimbangan, pembuatan
penyimpanan dan penggunaan.
Daftar pustaka

Arief, Moh. 1994. Farmasetika. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke-4. Jakarta : UI Press

Ansel, C. Howard, et al. 2011. Ansel’s pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery
systems 9thEdition. Philadephia : Lippincott Williams and Wilkins, Wolter Kluwer.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 1997. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Banker, S. G. and Rhodes, C. T. 2002. Modern pharmaceutics 4th Ed. Revised and Expanded.
New York : Marcel Dekker, Inc.

Lachman, Leon et al. 2008. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : Universitas
Indonesia.

Marriot, F. Jhon, et al. 2010. Pharmaceutical Compounding and Dispensing 2th Edition.
London : Pharmaceutical Press

Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta : EGC.

Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi 5. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Anda mungkin juga menyukai