Anda di halaman 1dari 9

PANDANGAN TAJAM TERHADAP

METODOLOGI PERHITUNGAN
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
DALAM PENGADAAN BARANG/JASA
Posted by M. Faizal Kamarullah ⋅ 16 November 2015 ⋅ Tinggalkan komentar
Filed Under Etika Pengadaan

1 Vote

Penulis : Nandang Sutisna, M.T.

Salah satu isu yang penting dan menarik dalam dunia pengadaan kita adalah kerugian negara.
Banyak sahabat PBJ yang harus mendekam dalam dinginnya dinding penjara gara-gara dianggap
telah merugikan keuangan negara.

Sebagai orang pengadaan, sudah tidak terhitung jumlahnya laporan keberatan dari sahabat PBJ
yang tidak terima dianggap merugikan keuangan negara. Disisi lain tidak kurang juga Auditor dan
APH yang menyampaikan telah terjadi tindakan yang menyebabkan telah terjadi kerugian negara.

Sebagai orang pengadaan, saya memiliki opini dan pendapat sendiri mengenai perhitungan
kerugian keuangan negara. Dan sebagian besar opini yang saya miliki, berbeda dengan opini
sebagian besar auditor dan APH.

HPS

Sebagian auditor dan APH akan menggunakan pintu masuk pertama untuk menyatakan adanya
kerugian keuangan negara dari masalah HPS. Penyusunan HPS yang terlalu tinggi dianggap
sebagai mark up dan merugikan keuangan negara. Sebagian besar temuan diawali oleh anggapan
bahwa penyusunan HPS keliru.

Bila kita mencoba berpikir kiritis, sesungguhna cara seperti ini tidak tepat, sebab didalam Pasal 66
ayat (6) Perpres 70/2012 jelas dinyatakan bahwa HPS bukan sebagai dasar untuk menentukan
besaran kerugian negara. Pertanyaan berikutnya, mengapa HPS tidak dapat dijadikan dasar untuk
menghitung kerugian negara? Jawabannya sederhana saja, karena HPS bukanlah nilai kontrak dan
bukan uang yang dikeluarkan kas negara. Dia hanya nilai perkiraan yang secara fungsi mirip
dengan pagu anggaran yang juga merupakan angka perkiraan atas suatu nilai kebutuhan.

Pertanyaan berikutnya, mengapa perpres mengatur HPS, apa fungsinya? Berdasarkan diskusi saya
dengan senior PBJ yang mengatur HPS, sebenarnya HPS dibutuhkan terutama dalam rangka
mementukan jaminan penawaran/pelaksanaan dan fungsi koreksi atas nilai pagu yang dianggap
tidak akurat. Dalam tujuan penetapan HPS, tidak mengemuka alasan yang mengaitkan HPS
dengan kerugian keuangan negara.

Masalah lainnya terkait dengan HPS adalah kerancuan dikalangan para auditor dan APH (juga
PPK sebenarnya) mengenai bagaimana menyusun HPS. Sebagian besar dari mereka berpendapat
bahwa HPS adalah harga dasar ditambah 10% keuntungan, 5% overhead dan 10% pajak. Padalah
ketentuan penambahan 10% keuntungan dan overhead 5% atau keduanya 15% hanya untuk
konstruksi. Sehingga untuk non-konstruksi metode ini tidak tepat.

Dalam penyusunan HPS dikenal ada dua metode yaitu analisis biaya dan analisis harga. Untuk
analisis biaya dilakukan untuk pengadaan barang/jasa yang belum tersedia dipasar. Dalam hal ini
cocok untuk konstruksi, jasa konsultansi dan jasa lainnya. Analisis harga cocok untuk barang
yang sudah tersedia dipasar.

Untuk menentukan harga barang lebih cocok menggunakan analisis harga. Dalam analisis harga,
PPK yang mendapatkan harga pasar hasil survey, tidak perlu lagi ditambahkan keuntungan,
overhead dan pajak. Karena informasi harga barang yang kita terima sesungguhnya harga yang
sudah memperhitungakan keuntungan, overhead dan pajak. Penjual akan menentukan sendiri
besaran keuntungan, overhead dan pajak sesuai dengan kondisi pasar.

Khusus untuk konstruksi atau jasa lainnya, maka yang disurvey adalah harga dasar dari material,
personil dan peralatan. Harga dasar ini adalah harga pokok diluar keuntungan penyedia, karena itu
agar penyedia mendapatkan untung dan mendapatkan ganti pengeluaran ovehad dan pajak, maka
harga yang didapatkan harus ditambahkan keuntungan, overhead dan pajak, karena dalam survey
harga yang kita lakukan belum memperhitungkan ketiga komponen tersebut.

Untuk konsultansi, metodennya menjadi lebih sulit, mengingat harga pasar yang tepat sering kali
tidak bisa dijeneralisasi. Kita bahas mengenai ini dikesempatan lain, karena pembahasannya akan
sangat luas.

Ekses dari cari berpikir diatas, maka seringkali auditor dan APH menentukan keuntungan wajar
untuk suatu pengadaan adalah 10% atau 15%. Sehingga jika penyedia terbukti mendapatkan untuk
lebih dari itu dianggap sebagai kelebihan bayar dan harus dikembalikan. Padahal dalam bidang
pengadaan dimanapun di dunia ini, tidak pernah ada satu nilai yang bisa dianggap sebagai
keuntungan wajar yang berlaku untuk semua jenis barang/jasa. Untuk barang tertentu mungkin
saja standar keuntungannya 10%, untuk barang lain 20%, 30% atau bahkan 100%, bergantung
pada jenis, lokasi dan waktu barang tersebut diadakan.

Harga Pasar, Harga Wajar dan HPS

Pertanyaan mendasar dan mengelitik bagi kita yang berkecimpung dalam dunia pengadaan adalah,
apa itu harga pasar? Apa itu harga wajar? Dan bagaimana hubungannya dengan HPS?

Berdasarkan teori yang saya pahami, harga pasar adalah harga yang terbentuk oleh keseimbangan
persedian dan permintaan. Bagaiamana pola harga pasar, jawabannya polanya bergantung pada
jenis barang, waktu dan tempat barang tersebut dibutuhkan. Jadi tidak ada rumus umum yang bisa
mewakili harga pasar semua barang/jasa. Jadi pendekatan yang harus dilakukan adalah membuat
kurva persedian terhadap permintaan untuk setiap jenis pengadaan.

Kemudian apa yang disebut harga wajar? Harga wajar adalah variasi harga yang ada dipasar.
Misalnya untuk sepatu booth kisaran harga pasarnya adalah Rp.400 ribu sampai dengan Rp.450
ribu, maka harga wajar untuk sepatu booth ada dikisaran harga tersebut. Untuk barang/jasa yang
harganya ditentukan oleh pasar bukan ditetapkan oleh pemerintah, maka selalu akan terjadi variasi
harga. Dalam selama harga tersebut ada dalam rentang harga yang ada di pasar, maka harga
tersebut wajar.

Lantas apa hubungan harga pasar dan harga wajar dengan HPS? Jawabannya adalah bahwa HPS
adalah harga pasar yang harus ada dikisaran harga wajar.

Menentukan Kerugian Keuangan Negara

Pertanyaan selanjutnya bagaimana menghitung kerugian keuangan negara? sebelum saya


menjawab pertanyaan saya, semestinya perhitungan kerugian keuangan negara harus telebih dulu
memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau paling kurang sudah terdapat indikasi adanya tindakan
melawan hukum. Mengapa demikian? Karena sebenarnya menghitung kerugian keuangan negara
tidak sederhana.

Kerugian keuangan negara adalah harga kontrak yang dibayarkan kas negara dikurangi harga pasar
atau harga wajar?

Pertanyaan berikutnya, bagaimana kiita menentukan harga pasar yang presisi? Padahal harga
dipasar begitu variasi, sedangkan kerugian negara harus menghasilkan angka yang presisi,
bagaimana membedakan kelebihan harga yang disebabkan oleh tindakan koruptif atau karena
variasi harga dipasar. Apakah auditor dan APH cukup keahlian, waktu dan data untuk
mendapatkan informasi harga yang presisi sehingga dengan valid bisa dibandingkan dengan harga
kontrak, sehingga selisihnya merupakan kerugian keuangan negara yang bisa
dipertanggungjawabkan?
Inilah masalah yang kita hadapi, bila kita tidak bisa menyelesaikan ini, maka kita menyandarkan
nasib kita sebagai pengelola pengadaan pada putusan subjektif orang-perorangan yang penuh
ketidakpastian dan tentunya berpotensi terjadinya kriminalisasi. Dilain sisi juga berpotensi
dijadikan lahan korupsi karena masalahnya menjadi bias, karena lebih bergantung pada pendapat
subjektif orang yang memutuskan.

Masalah lain dalam perhitungan kerugian negara adalah penentuan harga pembanding. Bilamana
PPK menandatangani kontrak sepatu booth yang harganya Rp.450 ribu, untuk menilai harga
tersebut wajar maka harga tersebut harus dibandingkan dengan harga yang mana? Misalnya,
apakah harga pabrik yang Rp.350 ribu, harga distributor yang Rp.400 ribu, harga agen yang Rp.
450 ribu atau harga pengecer yang Rp. 500 ribu? Sebagian auditor atau APH akan
membandingkannya dengan harga pabrikan Rp.350 ribu, dengan alasan paling menguntungkan
negara. Kalau langkah itu yang diambil, maka PPK sudah kelebihan bayar Rp. 100 ribu, selisih
harga kontrak Rp. 450 ribu dikurangi harga pabrik Rp. 350 ribu.

Pertanyaannya kemudian adalah, apa benar menjadikan harga pabrik sebagai harga pembanding,
dengan alasan lebih menguntungkan negara? Menurut saya asumsi dan metodologi seperti itu
keliru, karena kenyataannya pabrik tidak pernah menjual satu pasang sepatu booth. Dan harga Rp.
350 ribu hanya diberikan pabrik hanya kepada distributor bukan pada pembeli akhir.

Untuk memahami masalah ini, maka kembali pada konsep dasar mengenai pasar, dimana pasar itu
berjenjang. Bilamana kita memberli sepatu booth hanya satu, maka tidak relevan
membandingkannya dengan harga pabrik, karena membeli satu pasang sepatu booth harusnya di
pengecer. Begitu juga kalau kita beli sepatu booth 100 ribu pasang, maka tidak relevan
membandingkannya dengan harga pengecer, karena semestinya di level pabikan atau distributor.
Sederhananya harga wajar itu adalah harga pada level penyedia dimana transaksi akan
dilaksanakan. Sehingga kalau penyedia yang cocok ada ditingkat distributor, maka survey
pasarnya dilakukan pada level distributor, kalau pengadaan kita akan dilaksanakan pada level
pengecer, maka survey pasarnya dilakukan kepada pengecer. Begitu juga menghitung harga
wajarnya, sesuai dengan level penyedianya.

Fenomena yang membandingkan nilai kontrak dengan harga terendah atau harga pabrik membuat
siapapun PPK nya pasti akan dianggap merugikan keuangan negara. Karena hampir pasti bahwa
pengadaan tidak selalu bisa mendapatkan harga pabrikan. Hal ini secara metodologi keliru, karena
membandingkan dengan cara yang tidak apple to apple.

Fenomena lain yang mengelitik adalah ketika sahabat PBJ mengirimkan permohonan untuk saksi
ahli dan yang bersangkutan menunjukan tuntutan dan hasil audit atas proses pengadaan yang telah
dilaksanakannya. Saya agak terhenyak, karena cara menghitung kerugian keuangan negara dengan
cara mengurangi nilai kontrak dengan harga impor, kemudian terakhir ditulis keuntungan +
kerugian negara senilai Rp. 500 juta. Dalam laporan hasil auditnya, tidak dibedakan mana
keuntungan perusahaan dan mana kerugian keuangan negara. Bagaimana mungkin keuntungan
perusahaan dianggap kerugian keuangan negara. Dan kalau konsepnya harga wajar adalah harga
impor, maka tidak satupun penyedia yang bersedia menjual barang tanpa untung atau bahkan rugi.
Kemudian sahabat PBJ tadi di vonis 4 tahun penjara, walaupun pada fakta persidangan tudungan
menerima uang tidak terbukti, namun yang bersangkutan divonis bersalah karena menggunakan
metode penunjukan langsung tanpa kriteria yang benar. Ada kesan, bahwa kalau melanggar
prosedur, maka kerugian keuangan negaranya bisa dicari dengan cara membandingkan harga
kontrak dengan harga mana saja yang lebih rendah. Dengan demikian, kerugian keuangan negara
pasti didapatkan. Mudah-mudahan ini hanya asumsi, karena kalau terjadi demikian, kita sungguh
sangat prihatin.

Nampaknya ada fenomena bahwa segala sesuatu dilaksanakan dengan cara termudah walaupun
tidak akurat. Untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran integritas apalagi membuktikan telah
terjadi tindak pidana korupsi, memang tidak mudah. Namun menyederhanakan metode, juga
berpotensi memakan korban yang tidak seharusnya.

Kesalahan Prosedur vs Kerugian Keuangan Negara

Asumsikan Pokja ULP melakuan kesalahan mensyaratkan surat dukungan untuk laptop yang
stoknya banyak tersedia dipasar dan persyaratan surat dukungan tersebut sama sekali tidak
memiliki urgensi. Kemudian ketika evaluasi, penawaran terendah digugurkan karena tidak
menyertakan surat dukungan, yang sebenarnya persyaratan tersebut tidak dibutuhkan. Kemudian
Pokja ULP menetapkan pemenang peringkat kedua yang memiliki selisih harga Rp. 100 juta
rupiah dengan penawaran terendah yang digugurkan. Pertanyaannya, apakah Pokja ULP bisa
dianggap merugikan keuangan negara?

Bagi saya kesalahan tersebut bukanlah kerugian keuangan negara. Selama Pokja ULP tidak
melakukan tindakan melawan hukum, maka kemahalan harga diatas hanya mencerminkan
kegagalan dalam menerapkan strategi atau paling jauh adalah kesalahan prosedur. Tidak adil kalau
kesalahan seperti ini risikonya adalah penjara. Dalam dunia pengadaan dimanapun tidak pernah
suatu tim pengadaan 100% mendapatkan barang dengan harga termurah atau harga terbaik. Tidak
ada kinerja pengadaannya yang bisa menjadi 100% efisien. Yang paling adil penilaian yang
diberikan adalah penilaian kinerja dan kecakapan.

Saya bertanya, seandainya kita semua menjadi Pokja ULP, apakah bisa memastikan tidak
melakukan kesalahan seperti diatas? Saya yakin siapan kita, sehebat apapun pengetahuan dan
pengalaman kita dalam pengadaan, tidak ada satupun yang bisa menjamin kesalahan seperti diatas
tidak terjadi.

Agenda besar kita adalah, bagaimana membedakan kesalahan strategi pengadaan atau kesalahan
prosedur dengan tindakan melawan hukum, karena semestinya sanksi untuk keduanya berbeda.

Gagasan

Saya berpendapat bahwa sebagai orang pengadaan kita harus sepakat, kesalahan prosedur atau
kesalahan strategi pengadaan tidak dapat dipidanakan. Sepanjang bukti tindakan melawan hukum
tidak ditemukan, maka setiap kesalahan harus dipandang sebagai kesalahan prosedur, yang
sanksinya adalah penilaian kinerja. Aparat Penegak Hukum bertugas menegakan hukum bagi para
pihak yang melanggar hukum, yang melakukan tindakan melawan hukum. Auditor bertugas
menegakan integritas dan kejujuran. Kesalahan yang dilakukan tidak selalu bisa dikaitkan dengan
hukum, integritas dan kejujuran. Kesalahan juga bisa terjadi karena sistem birokrasi dan
pembinaan SDM yang tidak optimal.

Kita harus realistis, bagaimana mungkin seorang PPK yang juga seorang kepala bidang, mengelola
300 paket pekerjaan, tidak punya staf khusus dan tidak memiliki bersertifikat. Bisakah kita
berharap PPK ini akan mampu melaksanakan pengadaan dengan hasil yang optimal?

Kita harus memburu orang-orang jahat yang menggerogoti uang negara. Tapi kita tidak boleh
mengorbankan rekan kita sendiri, untuk alasan yang tidak patut.

Ini adalah opini saya, yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyerang siapapun atau profesi
apapun. Namun sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang pengadaan, saya merasa
memiliki kewajiban untuk menyampaikan gagasan dalam menghadapi fenomena yang jelas di
depan mata. Sebagai orang pengadaan, bisa saja saya subjektif, karena itu opini dan gagasan lain
yang berbeda dengan ini, saya harapkan, untuk memperkaya khasanah kita dalam rangka
memperbaiki pengadaan kita.

Saya tidak menutup mata masih banyak PPK dan Pokja ULP yang nakal, dengan sengaja
melakukan rekayasa untuk keuntungannya pribadi. Namun bagi saya itu suatu isu yang penting,
sepenting isu kriminalisasi yang juga marak terjadi. Tulisan ini bukan pembelaan yang membabi
buta, namun hanya satu isu yang harus kita selesaikan bersama.

Pandangan Tajam Terhadap Metodologi Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam PBJ(Bagian II-
Habis)

Tanggal Posting : Kamis, 12 November 2015 | 22:36 WIB

Pengirim : Nandang Sutisna - Dilihat : 1198

Masalah lain dalam perhitungan kerugian negara adalah penentuan harga pembanding. Bilamana PPK
menandatangani kontrak sepatu booth yang harganya Rp.450 ribu, untuk menilai harga tersebut wajar
maka harga tersebut harus dibandingkan dengan harga yang mana? Misalnya, apakah harga pabrik yang
Rp.350 ribu, harga distributor yang Rp.400 ribu, harga agen yang Rp. 450 ribu atau harga pengecer yang
Rp. 500 ribu? Sebagian auditor atau APH akan membandingkannya dengan harga pabrikan Rp.350 ribu,
dengan alasan paling menguntungkan negara. Kalau langkah itu yang diambil, maka PPK sudah
kelebihan bayar Rp. 100 ribu, selisih harga kontrak Rp. 450 ribu dikurangi harga pabrik Rp. 350 ribu.

Pertanyaannya kemudian adalah, apa benar menjadikan harga pabrik sebagai harga pembanding,
dengan alasan lebih menguntungkan negara? Menurut saya asumsi dan metodologi seperti itu keliru,
karena kenyataannya pabrik tidak pernah menjual satu pasang sepatu booth. Dan harga Rp. 350 ribu
hanya diberikan pabrik hanya kepada distributor bukan pada pembeli akhir.
Untuk memahami masalah ini, maka kembali pada konsep dasar mengenai pasar, dimana pasar itu
berjenjang. Bilamana kita memberli sepatu booth hanya satu, maka tidak relevan membandingkannya
dengan harga pabrik, karena membeli satu pasang sepatu booth harusnya di pengecer. Begitu juga kalau
kita beli sepatu booth 100 ribu pasang, maka tidak relevan membandingkannya dengan harga pengecer,
karena semestinya di level pabikan atau distributor. Sederhananya harga wajar itu adalah harga pada
level penyedia dimana transaksi akan dilaksanakan. Sehingga kalau penyedia yang cocok ada ditingkat
distributor, maka survey pasarnya dilakukan pada level distributor, kalau pengadaan kita akan
dilaksanakan pada level pengecer, maka survey pasarnya dilakukan kepada pengecer. Begitu juga
menghitung harga wajarnya, sesuai dengan level penyedianya.

Fenomena yang membandingkan nilai kontrak dengan harga terendah atau harga pabrik membuat
siapapun PPK nya pasti akan dianggap merugikan keuangan negara. Karena hampir pasti bahwa
pengadaan tidak selalu bisa mendapatkan harga pabrikan. Hal ini secara metodologi keliru, karena
membandingkan dengan cara yang tidak apple to apple.

Fenomena lain yang mengelitik adalah ketika sahabat PBJ mengirimkan permohonan untuk saksi ahli
dan yang bersangkutan menunjukan tuntutan dan hasil audit atas proses pengadaan yang telah
dilaksanakannya. Saya agak terhenyak, karena cara menghitung kerugian keuangan negara dengan cara
mengurangi nilai kontrak dengan harga impor, kemudian terakhir ditulis keuntungan + kerugian negara
senilai Rp. 500 juta. Dalam laporan hasil auditnya, tidak dibedakan mana keuntungan perusahaan dan
mana kerugian keuangan negara. Bagaimana mungkin keuntungan perusahaan dianggap kerugian
keuangan negara. Dan kalau konsepnya harga wajar adalah harga impor, maka tidak satupun penyedia
yang bersedia menjual barang tanpa untung atau bahkan rugi. Kemudian sahabat PBJ tadi di vonis 4
tahun penjara, walaupun pada fakta persidangan tudungan menerima uang tidak terbukti, namun yang
bersangkutan divonis bersalah karena menggunakan metode penunjukan langsung tanpa kriteria yang
benar. Ada kesan, bahwa kalau melanggar prosedur, maka kerugian keuangan negaranya bisa dicari
dengan cara membandingkan harga kontrak dengan harga mana saja yang lebih rendah. Dengan
demikian, kerugian keuangan negara pasti didapatkan. Mudah-mudahan ini hanya asumsi, karena kalau
terjadi demikian, kita sungguh sangat prihatin.

Nampaknya ada fenomena bahwa segala sesuatu dilaksanakan dengan cara termudah walaupun tidak
akurat. Untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran integritas apalagi membuktikan telah terjadi
tindak pidana korupsi, memang tidak mudah. Namun menyederhanakan metode, juga berpotensi
memakan korban yang tidak seharusnya.

Kesalahan Prosedur vs Kerugian Keuangan Negara

Asumsikan Pokja ULP melakuan kesalahan mensyaratkan surat dukungan untuk laptop yang stoknya
banyak tersedia dipasar dan persyaratan surat dukungan tersebut sama sekali tidak memiliki urgensi.
Kemudian ketika evaluasi, penawaran terendah digugurkan karena tidak menyertakan surat dukungan,
yang sebenarnya persyaratan tersebut tidak dibutuhkan. Kemudian Pokja ULP menetapkan pemenang
peringkat kedua yang memiliki selisih harga Rp. 100 juta rupiah dengan penawaran terendah yang
digugurkan. Pertanyaannya, apakah Pokja ULP bisa dianggap merugikan keuangan negara?

Bagi saya kesalahan tersebut bukanlah kerugian keuangan negara. Selama Pokja ULP tidak melakukan
tindakan melawan hukum, maka kemahalan harga diatas hanya mencerminkan kegagalan dalam
menerapkan strategi atau paling jauh adalah kesalahan prosedur. Tidak adil kalau kesalahan seperti ini
risikonya adalah penjara. Dalam dunia pengadaan dimanapun tidak pernah suatu tim pengadaan 100%
mendapatkan barang dengan harga termurah atau harga terbaik. Tidak ada kinerja pengadaannya yang
bisa menjadi 100% efisien. Yang paling adil penilaian yang diberikan adalah penilaian kinerja dan
kecakapan.

Saya bertanya, seandainya kita semua menjadi Pokja ULP, apakah bisa memastikan tidak melakukan
kesalahan seperti diatas? Saya yakin siapan kita, sehebat apapun pengetahuan dan pengalaman kita
dalam pengadaan, tidak ada satupun yang bisa menjamin kesalahan seperti diatas tidak terjadi.

Agenda besar kita adalah, bagaimana membedakan kesalahan strategi pengadaan atau kesalahan
prosedur dengan tindakan melawan hukum, karena semestinya sanksi untuk keduanya berbeda.

Gagasan

Saya berpendapat bahwa sebagai orang pengadaan kita harus sepakat, kesalahan prosedur atau
kesalahan strategi pengadaan tidak dapat dipidanakan. Sepanjang bukti tindakan melawan hukum tidak
ditemukan, maka setiap kesalahan harus dipandang sebagai kesalahan prosedur, yang sanksinya adalah
penilaian kinerja. Aparat Penegak Hukum bertugas menegakan hukum bagi para pihak yang melanggar
hukum, yang melakukan tindakan melawan hukum. Auditor bertugas menegakan integritas dan
kejujuran. Kesalahan yang dilakukan tidak selalu bisa dikaitkan dengan hukum, integritas dan kejujuran.
Kesalahan juga bisa terjadi karena sistem birokrasi dan pembinaan SDM yang tidak optimal.

Kita harus realistis, bagaimana mungkin seorang PPK yang juga seorang kepala bidang, mengelola 300
paket pekerjaan, tidak punya staf khusus dan tidak memiliki bersertifikat. Bisakah kita berharap PPK ini
akan mampu melaksanakan pengadaan dengan hasil yang optimal?

Kita harus memburu orang-orang jahat yang menggerogoti uang negara. Tapi kita tidak boleh
mengorbankan rekan kita sendiri, untuk alasan yang tidak patut.
Ini adalah opini saya, yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyerang siapapun atau profesi
apapun. Namun sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang pengadaan, saya merasa memiliki
kewajiban untuk menyampaikan gagasan dalam menghadapi fenomena yang jelas di depan mata.
Sebagai orang pengadaan, bisa saja saya subjektif, karena itu opini dan gagasan lain yang berbeda
dengan ini, saya harapkan, untuk memperkaya khasanah kita dalam rangka memperbaiki pengadaan
kita.

Saya tidak menutup mata masih banyak PPK dan Pokja ULP yang nakal, dengan sengaja melakukan
rekayasa untuk keuntungannya pribadi. Namun bagi saya itu suatu isu yang penting, sepenting isu
kriminalisasi yang juga marak terjadi. Tulisan ini bukan pembelaan yang membabi buta, namun hanya
satu isu yang harus kita selesaikan bersama.

Anda mungkin juga menyukai