Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDIKSITIS POST APPENDIKTOMI

A. Tinjauan Kasus
1. Konsep Dasar Appendiksitis
a. Pengertian
Appendiksitis adalah peradangan dari appendiks Vermiformis
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan tetapi lebih
sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun
(Mansjoer, 2000).
Appendiksitis adalah inflamasi appendiks (kantung non
fungsional) terletak di bagian anterior sekum (Brunner and Suddarth,
2001).
Appendiksitis adalah penyakit bedah mayor yang paling
sering terjadi pada setiap usia (A. Price, 2006).
Klasifikasi Appendiksitis dapat dibedakan menjadi 4 yakni
(A. Price, 2006) yaitu :
1) Appendiksitis Akut
Keadaan ini terjadi apabila obstruksi menyebabkan mukus yang
diproduksi oleh mukosa mengalami bendungan yang dapat
meningkatkan tekanan intra lumen yang akan menghambat
aliran limfe sehingga terjadi edema.
2) Appendiksitis Supuratif Akut
Terjadi bila sekresi mukus terus berlanjut dan tekanan
6
meningkat yang menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah
dan bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan yang
timbul meluas dan mengenai peritoneum.
3) Appendiksitis Ganggrenosa
Keadaan ini merupakan kelanjutan dari appendiksitis supuratif
yang mana aliran arteri terganggu sehingga terjadi infark pada
dinding appendiks yang diikuti dengan ganggren.
4) Appendiksitis Perforasi
Terjadi apabila dinding appendiks yang telah rapuh itu pecah.
b. Patofisiologi
Appendiksitis biasanya disebabkan oleh obstruksi atau
penyumbatan lumen appendiks oleh hiperplasia folikel limfoid,
fekalit (massa keras dari feces), benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Penyebab lainnya
dapat karena infeksi bakterial Escherichia coli dan Streptococcus.
Obstruksi tersebut dapat menimbulkan inflamasi akut pada
kuadran kanan bawah dari rongga abdomen yang diawali dengan
mukus yang diproduksi oleh mukosa mengalami bendungan, namun
karena elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan,
sehingga dapat menekan dinding appendiks. Tekanan ini
mengakibatkan edema pada appendiks sehingga appendiks meradang
yang menimbulkan demam, nyeri tekan pada perut kuadran kanan
bawah (titik Mc Burney), nyeri tekan dan lepas (tanda Rovsing dan
tanda Blumberg), serta adanya takikardi. Apabila kuman telah
menyebar ke usus dapat mengiritasi usus sehingga terjadi
peningkatan produksi sekretorik termasuk mukus. Iritasi oleh
mikroba juga mempengaruhi lapisan otot yang mengakibatkan
penurunan peristaltik usus dan dapat terjadi konstipasi. Penyebaran
kuman ke umbilikus juga dapat menimbulkan nyeri dan merangsang
pusat muntah yang menimbulkan rasa enek dan anoreksia.
Appendiks yang meradang harus segera dilakukan
pembedahan agar infeksi tidak menyebar, karena apabila tidak segera
ditanggulangi dapat menyebabkan komplikasi yakni appendiksitis
supuratif akut dimana sekresi mukus berlanjut, tekanan terus
meningkat, obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri dapat
menembus dinding. Bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark
pada dinding appendiks yang diikuti dengan ganggren yang
menimbulkan appendiksitis ganggrenosa, bila dinding appendiks
yang telah rapuh itu pecah akan terjadi appendiksitis perforasi
sampai akhirnya terjadi peritonitis (Mansjoer, 2000).
c. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Wim de Jong (2004) dan Mansjoer (2000),
menyatakan bahwa dalam menegakkan diagnosa pada appendiksitis
dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang antara lain:
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan Darah Lengkap
Menunjukkan peningkatan jumlah darah putih (leukositosis
ringan) 10.000 – 20.000/ml dengan peningkatan jumlah
netrofil.
b) Pemeriksaan Urine Lengkap
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan dengan
kelainan pada ginjal dan saluran kemih. Pada appendiksitis
biasanya ditemukan sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal.
2) Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya pengerasan
material pada appendiks (fekalit) dan ileus terlokalisir.
Pemeriksaan USG dilakukan bila telah terjadi infiltrat
appendikularis.
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk menegakan diagnosa pada
appendiksitis:
a) Inspeksi, pada appendiksitis sering ditemukan abdominal
swelling sehingga pada inspeksi biasa terdapat distensi
perut.
b) Palpasi, kecurigaan menderita appendiksitis akan timbul
pada saat dokter melakukan palpasi perut.
c) Colok dubur, menentukan letak appendiks kemudian terasa
nyeri maka kemungkinan appendiks penderita terletak
didaerah pelvis.
d) Tanda Rovsing, dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran
kanan bawah yang menyebabkan nyeri pada kuadran kiri
bawah.
e) Tanda Blumberg, dapat diketahui dengan mempalpasi
kuadran kiri bawah dan akan terasa nyeri pada kuadran
kanan bawah saat palpasi dilepas.
4) Uji Psoas
Uji Psoas dilaksanakan dengan rangsangan m. psoas lewat
hiperekstensi fleksi aktif. Bila appendiks yang meradang
menempel di m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri.
5) Uji Obturator
Uji Obturator digunakan untuk melihat apakah appendiks yang
meradang kontak dengan m. Obturator Internus yang merupakan
dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang pada appendiks akan
menimbulkan nyeri.
d. Penatalaksanaan Medis
Setelah ditegakkan diagnosa appendiksitis, maka indikasinya
adalah pembedahan/appendiktomi (Mansjoer, 2000) meliputi :
1) Sebelum Operasi/ Pre Operasi
Dilakukan observasi selama 8-12 jam setelah timbulnya keluhan
karena tanda dan gejala appendiksitis sering kali masih belum
jelas, oleh karena tanda dan gejala dari gastroenteritis akut
sering dikacaukan dengan appendiksitis. Pasien diminta
melakukan tirah baring dan dipuasakan, laksatif tidak boleh
diberikan karena dapat menimbulkan perforasi, dilakukan
pemeriksaan abdomen, rektal dan pemeriksaan darah, foto
abdomen dan toraks dilakukan untuk mencari kemungkinan
adanya penyulit lain, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi
nyeri didaerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbul
keluhan. Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai
pembedahan dilakukan dan analgetik dapat diberikan setelah
diagnosa ditegakkan.
2) Operasi Appendiktomi (intra operasi)
a) Pengertian
Appendiktomi merupakan pembedahan untuk mengangkat
appendiks yang dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan risiko perforasi. Apabila sudah terjadi perforasi
pada appendiks sebelumnya pasien diberi antibiotik
kombinasi yang aktif terhadap kuman sampai tidak terdapat
pus dan apabila keadaan umum pasien baik, baru dapat
dilakukan appendiktomi.
b) Indikasi
(1) Appendiksitis akut
(2) Appendiksitis supuratif akut
(3) Appendiksitis ganggrenosa
(4) Appendiksitis perforasi
c) Untuk mencapai appendiks ada tiga cara yang secara teknik
operatif mempunyai keuntungan dan kerugian :
(1) Insisi menurut Mc Burney (Grid Incision/ Muscle
Splitting Incision)
Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada
garis yang menghubungkan spina iliaka superior (SIAS)
dengan umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik Mc
Burney). Tehnik inilah yang paling sering dikerjakan
karena keuntungannya tidak terjadi benjolan, trauma
operasi minimum pada alat-alat tubuh dan
penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan
operasi terbatas, sulit diperluas dan waktu operasi lebih
lama.
(2) Insisi menurut Roux (Muscle Cutting Incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya
sayatannya langsung menembus otot dinding perut
tanpa memperdulikan arah serabut sampai tampak
peritoneum. Keuntungannya lapangan operasi lebih
luas, mudah diperluas, sederhana dan mudah.
Kerugiannya adalah lebih banyak memotong saraf dan
pembuluh darah sehingga pendarahan lebih banyak,
masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya
benjolan, nyeri lebih sering terjadi dan penyembuhan
lebih lama.
(3) Insisi Pararektal
Dilakukan sayatan pada garis batas m. rektus abdominis
dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang
10 cm. Keuntungannya, teknik ini dapat dipakai pada
kasus-kasus appendiks yang belum pasti dan sayatan
mudah diperpanjang. Sedangkan kerugiannya, sayatan
ini tidak langsung mengarah ke appendiks/sekum,
memotong saraf dan pembuluh darah lebih banyak, dan
menutup luka operasi diperlukan jahitan penunjang.
3) Pasca operasi
Setelah dilakukan pembedahan, tanda-tanda vital perlu
diobservasi untuk mengetahui terjadinya syok akibat
perdarahan, hipertermi dan gangguan pernafasan. Baringkan
pasien dalam posisi semi fowler. Pasien dikatakan baik bila
dalam 12 jam tidak terjadi gangguan selama itu pasien
dipuasakan. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam
lalu tingkatkan menjadi 30 ml/jam, keesokan harinya diberikan
makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Satu hari pasca operasi, pasien dianjurkan duduk tegak ditempat
tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri
dan duduk diluar kamar dan lukanya dirawat setiap hari, hari
ketujuh jahitan dapat diangkat.

B. Tinjauan Asuhan Keperawatan


1. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Appendiksitis
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang
meliputi pengumpulan data yang didapatkan berdasarkan teknik
wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik.
1) Pre op
Pengkajian pada pasien pre op didapatkan data subyektif: pasien
mengeluh nyeri pada perut kuadran kanan bawah, mengeluh
mual dan muntah, perasaan enek, nafsu makan menurun, demam
dan pasien mengatakan cemas dengan keadaannya. Sedangkan
data objektifnya meliputi: pasien tampak meringis, terdapat
nyeri tekan atau nyeri lepas, demam, muntah, anoreksia,
takikardi, konstipasi dan pasien tampak cemas, terdapat skibala
pada perut kuadran kiri bawah, adanya penurunan bising usus
dan distensi abdomen.
2) Post Op
Pengkajian pada pasien post op, didapatkan data subyektif :
pasien mengatakan nyeri pada area post operasi, mengatakan
mual dan muntah, mengatakan tidak tahu tentang cara perawatan
post operasi. Sedangkan dari data obyektif : pasien tampak
meringis, muntah, nadi meningkat, terdapat luka post op pada
perut kuadran kanan bawah, luka masih basah, pasien tampak
berbaring di tempat tidur, pasien tampak lemas, turgor kulit
kurang elastis, mukosa bibir kering, dan pasien tampak lemah
b. Diagnosa Keperawatan
1) Pre Op
Carpenito dan Doenges (2000) berpendapat bahwa data yang
terkumpul akan dikelompokkan dan dianalisa sehingga
ditemukan diagnosa keperawatan :
a) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah.
b) Nyeri akut berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh
inflamasi.
c) Hipertermi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
metabolik sekunder terhadap proses inflamasi.
d) Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus
sekunder terhadap infeksi.
e) Ansietas berhubungan dengan tindakan pembedahan yang
akan dilakukan.
2) Post Op
Diagnosa keperawatan yang muncul meliputi :
a) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan sisi masuknya
organisme sekunder terhadap pembedahan.
b) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan
spasme otot sekunder terhadap pembedahan.
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan
kebutuhan metabolik sekunder akibat operasi.
d) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
berhubungan dengan pembatasan pasca operasi.
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi.

c. Perencanaan
Perencanaan merupakan penerapan intervensi untuk
mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan
pasien (Carpenito & Doenges, 2000). Diawali dengan prioritas
masalah berdasarkan dari berat ringannya masalah yang ditemukan
pada pasien (Gaffar, 1999).
1) Pre Op
a) Nyeri akut berhubungan dengan distensi jaringan usus
oleh inflamasi.
Tujuan : nyeri terkontrol dan berkurang.
Kriteria evaluasi : menyatakan nyeri hilang/terkontrol,
tampak rileks, mampu tidur atau istirahat dengan tenang,
skala nyeri 1 dari 0-10 skala yang diberikan, nadi : 60-
80x/menit.
Intervensi :
(1) Observasi vital sign tiap 6 jam
Rasional : nadi dan tekanan darah yang meningkat
menunjukkan adanya rasa nyeri.
(2) Kaji nyeri dengan teknik PQRST (catat lokasi,
karakteristik, dan skala (0-10)).
Rasional : berguna dalam pengawasan keefektifan
obat, kemajuan penyembuhan, perubahan pada
karakteristik nyeri akan menunjukkan terjadinya
peritonitis.
(3) Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional : memfokuskan kembali perhatian pasien,
meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan
keterampilan koping).
(4) Kolaborasi dalam pemberian analgetik
Rasional: analgetik dibutuhkan untuk
menghilangkan rasa nyeri).
b) Hipertermi berhubungan dengan peningkatan
kebutuhan metabolik sekunder terhadap proses inflamasi.
Tujuan : suhu tubuh dalam batas normal (36oC-37oC).
Kriteria evaluasi : menunjukan suhu dalam batas normal.
Intervensi :
(1) Pantau suhu tubuh pasien
Rasional : suhu 38,9oC - 41,1°C menunjukkan proses
penyakit infeksi akut.
(2) Beri kompres air hangat
Rasional : dapat membantu mengurangi demam.
(3) Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
Rasional : antipiretik yang bekerja dalam tubuh menuju
pusat panas tubuh (hipotalamus) sehingga menurunkan
suhu tubuh).
c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, mual, dan muntah.
Tujuan : nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Kriteria evaluasi : meningkatnya pemasukan makanan per
oral, keluhan mual, muntah hilang dan nafsu makan
meningkat, makan habis 1 porsi tiap kali makan.
Intervensi :
(1) Kaji faktor penyebab timbulnya penurunan nafsu
makan.
Rasional: mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan
untuk membantu memilih intervensi yang tepat.
(2) Timbang berat badan tiap hari
Rasional : memberi informasi tentang kebutuhan diet.
(3) Anjurkan untuk memelihara kebersihan mulut dengan
baik.
Rasional : mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa
makanan.
(4) Sarankan makan makanan dalam porsi kecil tapi sering
dan hidangkan dalam keadaan hangat
Rasional : dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian
makan terlalu cepat.
(5) Kolaborasi dalam pemberian obat antiemetik
Rasional : untuk mengurangi rasa mual.
d) Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik
usus sekunder terhadap infeksi.
Tujuan : konstipasi tidak terjadi.
Kriteria evaluasi : konsistensi feces lembek warna
kekuningan, distensi abdomen tidak ada, skibala tidak ada,
bising usus 3-12 x/menit.
lntervensi :
(1) Auskultasi bising usus
Rasional : bunyi usus secara umum menurun pada
konstipasi.
(2) Observasi adanya distensi abdomen.
Rasional : mungkin berhubungan dengan distensi gas.
(3) Anjurkan untuk minum sedikitnya 2 liter (8-10 gelas / +
1600cc – 2000cc) sehari.
Rasional : cairan adalah faktor penting dalam
menentukan konsistensi feces.
(4) Anjurkan untuk makan makanan tinggi serat seperti
buah dan sayur.
Rasional : meningkatkan konsistensi feces dan
pengeluaran feces.
e) Ansietas berhubungan dengan tindakan pembedahan
yang akan dilakukan.
Tujuan : ansietas teratasi.
Kriteria evaluasi : menggunakan mekanisme koping yang
efektif dalam mengatasi ansietasnya, pasien tidak cemas.
Intervensi :
(1) Kaji tingkat ansietas, catat respon verbal dan non verbal.
Rasional : ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat,
meningkatnya perasaan sakit, tidak tahu tentang penyakit
dan keadaannya.
(2) Beri informasi tentang penyakitnya.
Rasional: meningkatkan pemahaman, mengurangi rasa takut
karena ketidaktahuan dan dapat membantu menurunkan
ansietas.
(3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan isi pikiran
dan perasaan takutnya
Rasional : mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana
rasa takut dapat ditujukan.
(4) Libatkan keluarga/pasien dalam membuat keputusan
sebanyak mungkin
Rasional : meningkatkan perasaan kontrol terhadap diri dan
meningkatkan kemandirian.
2) Post Op
a) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
berhubungan dengan pembatasan pasca operasi.
Tujuan : kekurangan volume cairan tidak terjadi.
Kriteria evaluasi : mempertahankan keseimbangan cairan
dibuktikan oleh membran mukosa yang lembab, turgor
kulit elastis, tanda-tanda vital normal (TD=110/70-120/80
mmHg), Intake dan output seimbang.
Intervensi :
(1) Observasi tekanan darah dan nadi.
Rasional : tanda-tanda vital dapat membantu untuk
mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.
(2) Observasi membran mukosa, turgor kulit.
Rasional : indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan
hidrasi seluler.
(3) Pantau keseimbangan cairan (intake dan output).
Rasional : memberikan informasi asupan cairan pasien
dan keadekuatan cairan.
(4) Atur atau observasi tetesan infus.
Rasional : menjaga keseimbangan masukan cairan.
(5) Kolaborasi dalam pamberian cairan cairan parenteral.
Rasional : cairan parenteral dapat membantu dalam
pemenuhan cairan.
b) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan sisi
masuknya organisme sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan : infeksi tidak terjadi.
Kriteria evaluasi : meningkatkan penyembuhan luka dengan
benar, dan tanda-tanda infeksi tidak ada (rubor, dolor,
tumor, kalor, fungsiolaesa), suhu 36 -37oc, WBC dalam
batas normal (4,6 – 10,2 K/ul).
Intervensi :
(1) Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda infeksi
(rubor, dolor, tumor ,kalor, dan functiolaesa).
Rasional : dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis,
abses, dan peritonitis.
(2) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
Rasional : untuk menurunkan risiko penyebaran
bakteri.
(3) Ajarkan pasien untuk mengobservasi balutan luka.
Rasional : memberikan deteksi dini terjadinya proses
infeksi, pengawasan penyembuhan peritonitis yang
telah ada sebelumnya
(4) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
Rasional : menurunkan jumlah organisme atau untuk
menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada
rongga abdomen.
(5) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium terutama
WBC
Rasional: dengan mengobservasi WBC dapat
mengetahui tanda-tanda infeksi, seperti: kalor, rubor,
dolor, tumor, dan fungsiolaesa.
c) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan
spasme otot sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan : nyeri terkontrol dan berkurang.
Kriteria evaluasi : melaporkan nyeri hilang/terkontrol,
tampak rileks, mampu tidur/istirahat dengan tepat skala
nyeri 1 dari 0-10 skala yang diberikan, nadi : 60-80x/ menit.
Intervensi :
(1) Kaji nyeri dengan teknik PQRST (catat lokasi,
karakteristik, beratnya (skala 0-10))
Rasional : berguna dalam pengawasan keefektifan obat,
kemajuan penyembuhan.
(2) Monitor vital sign (nadi dan tekanan darah)
Rasional : peningkatan nadi, tekanan darah
menunjukkan peningkatan rasa nyeri.
(3) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi (rasional :
memfokuskan perhatian pasien kembali, meningkatkan
relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping).
(4) Kolaborasi dalam pemberian analgetik (rasional : untuk
menghilangkan nyeri/mempermudah kerja sama dengan
intervensi terapi lain).
d) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan
kebutuhan metabolik sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan : pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan.
Kriteria evaluasi : mengidentifikasi faktor-faktor yang
menurunkan toleransi aktivitas, memperlihatkan adanya
kemajuan (khususnya tingkat yang telah tinggi dari
mobilisasi yang mungkin).
Intervensi :
(1) Monitor keterbatasan aktivitas kelemahan saat
beraktivitas.
Rasional: dengan mengetahui keterbatasan aktivitas
pasien dapat direncanakan tindakan yang tepat.
(2) Bantu pasien dalam melakukan gerak (ROM aktif dan
ROM pasif).
Rasional: agar pasien termotivasi melakukan gerak dan
aktivitas.
(3) Motivasi pasien agar mau melakukan mobilisasi bertahap
sedini mungkin.
Rasional: mempercepat kemandirian dan proses
penyembuhan pasien.
(4) Anjurkan pasien melakukan perawatan diri secara
bertahap.
Rasional: agar pasien dapat memenuhi ADLnya secara
mandiri.
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi.
Tujuan : pengetahuan pasien bertambah.
Kriteria evaluasi : menyatakan pemahaman proses penyakit,
prognosis pengobatan dan potensial komplikasi,
berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi :
(1) Kaji ulang tingkat pengetahuan pasien.
Rasional : membantu dalam memudahkan memberi
penjelasan).

(2) Anjurkan beraktivitas sesuai toleransi.


Rasional : mencegah kelemahan, meningkatkan
penyembuhan dan mempermudah kembali ke aktivitas
normal).
(3) Beri HE tentang penyakit dan perawatan di rumah
setelah operasi
Rasional : diharapkan pasien mengetahui dan paham
tentang penyakit serta cara perawatan setelah operasi).
d. Pelaksanaan
Menurut Gaffar, pelaksanaan merupakan pelaksanaan perencanaan
keperawatan oleh perawat dan klien. Tindakan ini termasuk
perawatan yang diprakarsai perawat, sebagai hasil dari diagnosa
keperawatan, dan pengobatan yang diprakarsai dokter sebagai hasil
diagnosa medis.
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk menilai keberhasilan dari tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan, maka hasil yang diharapkan sesuai dengan
rencana tujuan yaitu :
1) Pre Op
a) Nyeri terkontrol dan hilang
b) Suhu tubuh dalam batas normal (36oC-37oC)
c) Nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh
d) Konstipasi tidak terjadi
e) Ansietas teratasi
2) Post Op
a) Kekurangan volume cairan tidak terjadi
b) Infeksi tidak terjadi
c) Nyeri terkontrol atau berkurang
d) Pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan
e) Pengetahuan pasien bertambah
C. WOC
WOC Appendiksitis Post Appendiktomi
Etiologi
(infeksi bakterial, fekalit, tumor, benda asing)

Obstruksi

Mukus terbendung

Menekan dinding appendiks

Aliran limfe terganggu

Edema Komplikasi :
 Appendiksitis supuratif akut
Appendiks meradang Appendiksitis gangrenosa
Appendiksitis perforasi
Peritonitis
Pre Op Post Op

Demam Nyeri tekan pada perut Infeksi menyebar ke usus Defisit Kuman menyebar Mual Nyeri pada area Terdapat luka Pasien Pasien
kuadran kanan bawah  pengetahuan ke umbilikus Muntah luka post op post op pada tampak tampak
Iritasi usus  Turgor kulit Nadi
(titik Mc. Burney)  Rangsangan nyeri kurang elastis meningkat perut kuadran lemas bertanya-
Hipertermia Nyeri tekan dan nyeri Peningkatan produksi  Mukosa bibir kanan bawah tanya
lepas (tanda rovsing mukus dan sekretonik Ansietas Merangsang pusat kering
dan tanda Blumberg)  muntah
Penurunan peristaltik usus Anoreksia
Takikardia  Perasaan enek Nyeri akut
Penurunan bising usus Risiko tinggi Intoleransi Kurang
Risiko tinggi
Terdapat skibala pada perut terhadap aktivitas pengetahuan
terhadap
kuadran kiri bawah infeksi
Terdapat distensi abdomen Perubahan nutrisi kekurangan
Nyeri akut volume cairan
kurang dari
kebutuhan tubuh

Konstipasi
Sumber :( Brunner and Suddarth, 2001 ; Mansjoer & Doengoes ; 2000).
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. ( 2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC

Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa keperawatan. (Edisi 6). Jakarta : EGC.

Doenges, M.E. (2000). Rencana asuhan keperawatan. (Edisi 3). Jakarta : EGC.

Gaffar, J. (1999). Pengantar keperawatan profesional. Jakarta : EGC.

Mansjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran. (Edisi 3). Jakarta : Media Aesculapius FKUI.

Price, A. Sylvia. (2006). Patofisiologi. (Edisi 4). Jakarta : EGC.

Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. (2004). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai