Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Leukoplakia dan eritroplakia adalah dua gangguan dengan potensi ganas
paling umum pada rongga mulut. Prognosis dan kelangsungan hidup secara
keseluruhan pasien dengan kanker mulut tergantung pada deteksi dini lesi yang
mengidentifikasi pasien dengan risiko lebih tinggi dari normal atau dengan infiltrasi
awal sebelum penyakit metastasis. Leukoplakia dan eritroplakia secara tradisional
dikenal sebagai dua “lesi prakanker mukosa mulut”. Istilah “prakanker”
mendefinisikan semua lesi diklasifikasikan seperti memiliki “sifat prakanker”
menyiratkan bahwa semua dari mereka akhirnya akan menjadi ganas. Selama
bertahun-tahun diketahui bahwa bahkan mukosa normal secara klinis dapat
menunjukkan fitur displasia dan dalam beberapa kasus penyimpangan molekul
transformasi maligna awal dapat ditemukan pada mukosa pasien tanpa lesi klinis atau
displasia. Pandangan konsensus selanjutnya adalah untuk memperkenalkan istilah:
“gangguan berpotensi ganas” (PMD) mencerminkan keterlibatan mukosa yang lebih
umum pada pasien ini. Ini menjadi tantangan untuk memprediksi perilaku setiap lesi
ini tapi deteksi dini tetap menjadi kesempatan terbaik setiap pasien kanker mulut yang
akan bertahan hidup.10
Pada leukoplakia adalah diagnosis klinik-patologis yang hanya dapat
dilakukan setelah pemeriksaan histologi jaringan. Lesi mukosa putih lainnya seperti
keratosis gesekan, lesi lichenoid, lichen planus dan penyakit autoimun lainnya
berhubungan dengan lesi putih (discoid lupus erythematosis), stomatitis nikotin,
morsicatio, keratosis kantong tembakau, leukoedema dan kandidiasis hiperplastik
harus dikeluarkan. Tampilan putih semua lesi ini adalah efek gabungan peningkatan
produksi keratin permukaan, penebalan lapisan epitel dan resultan dikaburkan
vaskularisasi sub-epitel. Ini berarti bahwa biopsi wajib ketika diagnosis klinis tidak
dapat dibuat dengan pasti. 17
Leukoplakia dapat mempengaruhi lokasi mukosa apapun. Daerah berisiko
tinggi untuk transformasi maligna telah diidentifikasi sebagai dasar mulut, batas
lateral lidah dan langit-langit/area retromolar lembut. Secara klinis, dua jenis utama
leukoplakia diakui, yaitu: jenis homogen dan non-homogen. Diagnosis bentuk non-
homogen leukoplakia hanya dapat dilakukan secara retrospektif. Ini ditandai dengan
1
riwayat panjang leukoplakia verrucous berulang menyajikan di berbagai lokasi,
terlihat terutama pada wanita yang lebih tua tanpa riwayat tembakau dan paling
penting. PVL memiliki tingkat tinggi transformasi ganas.16
Pada eritroplakia adalah PMD dengan risiko transformasi ganas tertinggi
didefinisikan sebagai “bagian merah menyala yang tidak dapat ditandai secara klinis
atau patologis sebagai penyakit yang ditentukan lain”. Seperti halnya dengan
leukoplakia, diagnosis klinis eritroplakia tidak membawa konotasi mikroskopis dan
ini adalah diagnosis dengan pengecualian.16
Eritroplakia biasanya terlihat pada orang dewasa lebih dari 45 tahun yang
paling sering melibatkan langit-langit lunak, dasar mulut atau mukosa bukal.
Kuantifikasi jumlah warna merah dibandingkan daerah putih pada lesi non-homogen
(“erythroleukoplakia” atau leukoplakia berbintik versus “leukoerythroplakia” atau
eritroplakia berbintik) berlebihan karena hampir semua PMD dengan area merah akan
menunjukkan displasia epitel berat atau karsinoma microinvasive pada penilaian
mikroskopis area ini.10
Prognosis leukoplakia sangat bagus dan deformitas akibat operasi juga bisa
diminimalkan bila penyakit ditemukan pada stadium awal. Selain itu, kanker pada
mukosa mulut yang diasosiasikan dengan leukoplakia sebagai lesi prakankernya juga
menunjukkan prognosis yang sangat bagus.10

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
1. Rongga Mulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan. Terdiri
atas dua bagian. Bagian luar yang sempit (vesibuka) yaitu ruang diantara gusi
serta gigi dengan bibir dan pipi, dan bagian dalam yaitu rongga mulut yang
dibatasi di sisi-sisinya oleh tulang maxilaris dan semua gigi, dan disebelah
belakang bersambung dengan awal faring. Hampir seluruh bagian dari rongga
mulut dilapisi dengan epithelial yaitu dari jenis nonkeratinized stratified
squamous epithelial yang berfungsi untuk melindungi dari aktifitas yang abrasif
sewaktu proses digestif. Lapisan ini sentiasa dilembapi dengan sekresi saliva
secara terus menerus.3
Kelenjar Saliva merupakan kelenjar pencernaan aksesoris yang
menghasilkan saliva. Banyak kelenjar-kelenjar saliva minor yang berlokasi di
membran mukosa daerah palatum di dalam rongga mulut, akan tetapi terdapat 3
pasang kelenjar saliva di luar rongga mulut yang memproduksi sebagian besar
dari saliva yang dialirkan ke rongga mulut melalui saluran tertentu. Kelenjar
parotid merupakan kelenjar saliva terbesar, yang berada di bagian depan-bawah
dari daun telinga, di antara kulit dan otot masseter. Saliva yang diproduksi
kelenjar inii dialirkan melalui duktus parotid (Stensen) yang keluar di rongga
mulut berhadapan dengan gigi molar atas kedua. Kelenjar submandibular berada
di bawah mandibula, di sisi dalam dari rahang, ditutupi otot mylohioid. Saliva
dari kelenjar ini dialirkan melalui duktus submandibularis (Wharton’s), yang
keluar di dasar mulut di bagian lateral dari frenulum lingualis. Kelenjar
sublingualis berada di bawah membran mukosa dari bagian dasar mulut, dangan
saliva yang dikeluarkan melalui duktus sublingual (Rivinus’s duct) yang keluar di
dasar mulut pada area posterior dari papilla ductus submandibularis.3
Rongga mulut dibatasi secara anterior oleh gigi dan lidah sementara secara
posterior oleh oropharynx. Batas superior dibentuk oleh soft palate dan hard
palate. Lantai atau permukaan bawah rongga mulut dibentuk oleh mylohyoid
muscle yang dilapisi dengan membran mukosa. Lidah hanya melekat pada
mylohyoid muscle dan bukanlah batas dari permukaan bawah rongga mulut.
3
Gambar II.1. Anatomi Rongga Mulut

Mulut merupakan jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ
aksesori yang berperan dalam proses awal pencernaan. Secara umum terdiri dari 2
bagian yaitu:
1. Bagian luar (vestibula) yaitu ruang diantara gusi, gigi, bibir dan pipi
2. Bagian rongga mulut bagian dalam yaitu rongga yang dibatasi sisinya
oleh tulang maksilaris, palatum dan mandibularis disebelah belakang
bersambung dengan faring
Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis. Dibawahnya terletak
kelenjar-kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini sangat kaya akan
pembuluh darah dan jga memuat banyak ujung akhir syaraf sensori.3
2. Mukosa rongga mulut
Mukosa rongga mulut terdiri dari dua lapisan: sebuah epitel (epitel
skuamosa berlapis) dan lapisan jaringan ikat yang mendasari, yang merupakan
lamina propia. Mukosa membentuk lapisan rongga mulut dan menunjukkan
modifikasi daerah sesuai dengan kebutuhan fungsional. Palatal yang
terkeratinisasi dan gingiva memiliki fungsi pengunyahan. Permukaan dorsal
(superior) lidah adalah khusus berkaitan dengan indera perasa dan fungsi

4
mastikasi. Banyak taste bud terletak di epitel lidah, yang juga terkeratinisasi. Sisa
fungsi mukosa oral sebagai suatu lapisan. Epitel rongga mulut secara terus -
menerus digantikan oleh sel – sel basal yang membelah, bermigrasi ke
permukaan, dan akhirnya hilang selama fungsi normal berbicara dan mastikasi.
Di bawah area pilih dari mukosa oral adalah jaringan ikat longgar, sub mukosa.2
Mukosa oral mempunyai fungsi utama yaitu sebagai pelindung jaringan
yang lebih dalam pada rongga mulut. Fungsi lainnya, antara lain sebagai organ
sensoris, aktifitas kelenjar, dan sekresi. Sebagai lapisan terluar, oral mukosa akan
melindungijaringan rongga mulut dari lingkungan eksternal. Oral mukosa akan
melakukan proses adaptasi pada epitel dan jaringan ikat untuk menahan gaya
mekanis dan abrasi yang disebabkan aktifitas normal seperti mastikasi. Selain itu,
lapisan epitel mulut akan bertindak sebagai pelindung terhadap populasi
mikroorganisme yang tertinggal di rongga mulut yang dapat menyebabkan infeksi
bila masuk ke dalam jaringan.3
Fungsi sensoris oral mukosa akan memberikan informasi mengenai hal-hal
yang terjadi di rongga mulut. Dalam rongga mulut, reseptor akan berespon
terhadap suhu, sentuhan dan rasa sakit. Reseptor. tertentu dalam rongga mulut
juga akan berespon terhadap kebutuhan akan air. Reflek seperti menelan, muntah,
dan salivasi juga diinisiasi oleh reseptor-reseptor pada oral mukosa.3
3. Perkembangan dan struktur epiter rongga mulut
Epitel rongga mulut berasal dari ektoderm embrio dan seluruhnya
skuamosa berlapis. Seperti halnya epitel skuamosa berlapis tempat lain, sel - sel
bervariasi dari kolumnar kuboid atau rendah pada penghujung jaringan ikat
sampai skuamosa datar di permukaan. Sebagian besar permukaan mukosa rongga
mulut dilapisi oleh epitel, skuamosa berlapis nonkeratinized, kecuali pada
gingiva, palatum durum, dan permukaan dorsal lidah dimana epitelnya adalah
keratin. Dari jaringan ikat yang mendasari lamina propia ke permukaan, empat
lapisan di epitel nonkeratinized adalah: stratum basale (basal layer), stratum
spinosum (spinous layer), stratum intermedium (intermediate layer), dan stratum
superficiale (superfisial layer). Dalam epitel keratin juga terdapat empat lapisan
atau strata. Dua lapisan yang pertama - stratum basale dan stratum spinnosum
adalah sama seperti pada epitel nonkeratinized, dan dua lapisan berikutnya adalah
stratum granulosum (granular layer) dan stratum korneum (keratinized layer).

5
Gambar II.2. Struktur epitel rongga mulut

Epitel rongga mulut terdiri dari lapisan- lapisan, antara lain (Mujica V., et.al.,
2008).
1. Epitel Mukosa Mulut
a) Stratum Basale
Sel - sel dari stratum basale adalah kolumnar kuboid atau rendah dan
membentuk lapisan tunggal yang berada pada lamina basal pada pertemuan dari
epitel dan lamina propia. Epitel dari daerah mukosa mulut dalam keadaan
konstan pembaharuan, dan sel - sel basal menunjukkan aktivitas mitosis yang
paling banyak.
b) Stratum Spinosum
Stratum spinosum biasanya memiliki tebal beberapa sel, dan kadang -
kadang bentuk mitosis dapat dilihat di lapisan yang berdekatan dengan lapisan sel
basal. stratum basale dan lapisan pertama dari stratum spinosum kadang –
kadangdisebut sebagai stratum germinativus. Zona ini menumbuhkan sel - sel
epitel baru. Sel – sel dari stratum spinosum berbentuk seperti polihedron, dengan
proses sitoplasma pendek. Pada titik di mana proses - proses sel tetangga
bertemu, adhesi mekanik (desmosom) dapat dilihat coupling sel. Dibawah
mikroskop cahaya, tampilan normal dari sel - sel stratum spinosum biasanya
ditekankan oleh penyusutan artefak yang dihasilkan selama fiksasi rutin,
pewarnaan, dan mounting. Hal ini telah menyebabkan beberapa pengamat untuk
merujuk ke lapisan ini sebagai lapisan sel prickle. Sel - sel ini memiliki banyak

6
fibril intracytoplasmic (tonofibrils) yang menjorok menuju dan melekat pada
desmosom. Di lapisan atas dari stratum spinosum, sel mengandung inklusi
cytoplamic unik dalam bentuk butiran bulat padat. Karena hubungan intim
butiran dengan membran sel, mereka sering disebut sebagai membrane lapisan
granul. Butiran ini berfusi dengan membran sitoplasma sel dan mengeksteriorasi
isinya ke dalam ruang antar sel. Perbedaan morfologi telah ditunjukkan antara
lapisan membrane butiran pada epitel keratin dan nonkeratinized. Sifat dan fungsi
yang tepat dari butiran ini belum diketahui.
c) Stratum Granulosum
Sel - sel dari stratum granulosum datar dan ditumpuk di lapisan 3-5 sel
tebal. Lapisan ini menonjol dalam epitel keratin tetapi kurang atau tidak ada di
epitel nonkeratinized. Sel - sel lapisan ini memiliki banyak butiran keratohyaline
padat, relatif besar (0,5 ke 1mm) dalam sitoplasma mereka. Banyak mikrofilamen
erat dengan butiran. Dilihat di bawah mikroskop cahaya butiran basofilik (biru
dengan noda hematoxylin), dan dilihat di bawah mikroskop elektron mereka
padat (muncul hitam). Mereka yang terkait erat dengan ribosom. Ada banyak
mikrofilamen seluruh sel - sel dari lapisan ini. Granul keratohyaline membantu
untuk membentuk matriks untuk serat keratin banyak ditemukan di lapisan
superfisial. Baru - baru ini, banyak penelitian telah menunjukkan heterogenitas
besar dalam jenis cytokeratins disintesis dalam epitel mulut berbagai lokasi.
variasi dalam pola cytokeratin telah ditunjukkan dalam perubahan mukosa oral
patologis. Beberapa 27 cytokeratins telah diidentifikasi.
d) Stratum Korneum
Lapisan permukaan atau stratum korneum tersusun dari sel datar, merah
muda cerah diwarnai dengan eosin dan tidak mengandung inti, ribosom,
mitokondria dan granul keratohyaline. Pola pematangan sel untuk membentuk
squames anucleated dikenal sebagai orthokeratinization. Mukosa masticator
(misalnya bagian dari palatum yang keras dan banyak dari gingiva)
mengungkapkan variasi keratinisasi lapisan permukaan dimana memperlihatkan
inti pyknotic dan sebagian organel sel segaris. Proses ini dikenal sebagai
parakeratinisasi. Sel keratin menjadi padat dan dehidrasi dan mencakup lebih
besar luas permukaan daripada sel - sel basal dan sel prickle tetapi lebih kecil dari
sel - sel granular. Secara ultrastruktur, sel - sel dari lapisan cornified terdiri dari
filamen padat dikembangkan dari tonofilaments, diubah dan dilapisi oleh protein
7
dasar dari granul keratohyaline, filaggrin. Ada juga komponen kaya sulfur yang
disebut loricrin. Squames dehidrasi keratin dilepaskan dalam beberapa jam dan
digantikan oleh Sel - sel dari lapisan yang mendasarinya. Sel - sel epitel yang
pada akhirnya terkeratinisasi disebut keratinosit. Semua sel epitel memiliki
filamen intermediate terbuat dari keratin3
Berbeda dengan keratonosit, nonkeratinosit saat dilihat dengan mikroskop
cahaya, terdapat daerah jernih (halo) mengelilingi nucleus dank arena itu disebut
sel-sel yang jelas (clear cells) Sel-sel ini teridiri dari 4 tipe sel : Sel Langerhans,
Sel Merkel, Melanosit, dan Limfosit.3
a) Sel Langerhans
Sel ini mempunyai perpanjangan halus dari sitoplasma membrane yang
disebut dendritik. Mereka dapat dibedakan dengan keratonosit dengan desmosom
dan tonofilamen yang kurang pada sel sekitar sehingga membentuk halo. Sel
Langerhans ditemukan di lapisan atas basal mukosa mulut dan kulit. Berfungsi
pada respon imun, yaitu mengenali antigen yang memasuki epitelium dari luar
lalu memprosesnya, menyajikan ke sel limfosit T, dinamakan sel penyaji antigen
ke sel sistem limfoid. Ensim lisosom dalam sel Langerhans mengubah antigen
menjadi komponen peptida lalu mentransfer ke sel limfosit T Sel langerhans
dapat bermigrasi dari epitelium ke kelenjar limfe regional.
b) Sel Merkel
Ditemukan pada lapisan basal sepanjang rete pegs mukosa mulut dan kulit.
Tidak seperti sel langerhans dan melanosit, sel merkel tidak mempunyai dendritik
dan membentuk tonofilamen keratin, kadang desmosom dengan sel epitel di
dekatnya. Sel mengandung granula dalam sitoplasma, kadang terletak dekat fiber
saraf. Granula dalam sel berfungsi sebagai neurotransmitter antara sel merkel
dengan serabut saraf, dapat menerima/menyalurkan rangsang sensoris dan
merespon sentuhan (Merupakan reseptor sensoris yang merespon tekanan dan
sentuhan) Berhubungan erat dengan ujung saraf bebas dalam epitel. Saraf
sensoris pada mukosa mulut berakhir sebagai ujung saraf bebas yang menerima
rangsang panas, dingin, sentuhan, sakit, rasa.
c) Sel Melanosit
Terletak di antara sel-sel basal. Dibedakan dari sel keratinosit, berdasarkan
tidak adanya hemi-desmosom, desmosom, tonofibril. Bila pigmen melanin ada
pada jaringan ikat maka melanin berada dalam sel makrofag yang mengambil
8
melanosom yang dihasilkan melanosit di lapisan epitel Lokasi dan distribusi
melanin dalam rongga mulut bervariasi, umum pada gingiva, bukal, palatum
keras, lidah
2. Lamina Basalis
Sel basal melekat pada lamina basalis dengan perlekatan mekanis yang
dinamakan hemi- desmosom. Hemi-desmosom terdiri dari tonofilamen yang
menembus sitoplasma sel dan berakhir di lamina basalis.
Kelainan genetik dan penyakit autoimun menyebabkan kerusakan pada
lamina basal. Lepuh mukosa (pada penyakit pemfigus)memacu pembentukan
antibodi yang merusak komponen tertentu (bullous pemphigoid antegen collagen
XVII) pada lamina basal sehingga terjadi pemisahan epitel dari jaringan ikat pada
area lamina lucida.
3. Lamina Propia
Lamina Propria merupakan jaringan ikat yang teletak di bawah epitel
(pendukung epitel). Dibedakan dalam 2 lapisan yaitu lapisan papilar dan reticular.
Pada lapisan papilar, terdapat jaringan ikat yang menjorok ke arah epitel, fiber
kolagen sedikit dan susunan renggang, banyak kapiler. Pada lapisan retikular,
fiber kolagen tersusun padat paralel dengan permukaan. Pada masticatory mucosa
jumlah dan panjang papil bertambah. Pada lining mucosa terdapat lapisan
retikular tampak menonjol. Pada lamina propria ditemukan pembuluh darah yang
berasal dari lapisan sub mukosa. Suplai nutrisi epitel diperoleh dari pembuluh
darah lamina propria (epitel bersifat avascular

9
Gambar II.3 Epitel Mukosa Mulut

4. Klasifikasi Mukosa Mulut


Morfologi mukosa mulut bervariasi tergantung lokasi, dibagi menjadi tiga
tipe yang fungsional, yaitu lining mukosa, mastikatory, dan specialized mucosa
(Cebeci ARI, et.al., 2009)
a) Lining Mukosa (60%)
Lining mukosa melapisi semua jaringan lunak di rongga mulut kecuali
gingival, palatum keras, dan dasar mulut. Epitelnya gepeng bertingkat non
keratin, dan lamina propria nya terdiri serat kolagen, elastic, dan retikuler
ditemukan di jaringan ikat pendukung lainnya. Serat kolagen ini tidak setebal dan
serapat dengan yang ditemukan pada tipe lain dari mukosa mulut. Lining mukosa
lembut dan licin. Epitel mulut kurang berpigmen dari epitel kulit. Variasi
warnanya dari merah muda terang hingga merah muda gelap atau merah. Warna
tersebut dipengaruhi jaringan kapiler dan jumlah sel melanin dari sel epitel.
Submukosa berkaitan dengan sebagian besar lining mucosa yang terorganisasi
secara longgar dan memungkinkan untuk pergerakan bebas dari mukosa ke
jaringan dasar.3

10
b) Masticatory Mukosa (25%)
Masticatory mucosa melapisi gingival dan palatum keras. Di dalam mulut
yang tidak memiliki gigi atau sedikit gigi (edentulous mouth) ,masticatory
mucosa meliputi semua permukaan kunyah dari lengkung gigi. Epitelnya
berkeratin dan parakeratin. Jaringan ikat dari lamina propria terdiri dari serat
kolagen yang mengikat erat epitel ke tulang dasar dan lebih tebal juga lebih
terorganisasi dari serat yang ada di lining mukosa

c) Specialized Mucosa (15%)


Mukosa lidah menutupi bagian dorsal lidah. Epitel dari bagian anterior
lidah berkeratin, bertingkat. Epitel ditutupi oleh papilla. Sebagian besar papilla
ditunjukan di filiform papilla dengan epitel yang berkeratin. Sesekali papilla
fungiform terlihat di antara banyaknya papilla filiform, normalnya dilapisi oleh
epitel nonkeratin. Jaringan ikat di bawah epitel mengikat mukosa ke otot dari
lidah. Di bagian posterior lidah di depan sulkus terminalis terdapat papilla
sirkumvalata. Di bawah lapisan epitel khusus lidah ada lamina propria. Serat
jaringan ikat dari lamina propria menyebar dari mukosa hingga jauh di antara
bundel-bundel otot dari lidah

5. Warna Mukosa Mulut


Faktor yang mempengaruhi: (Patil S., et.al., 2013)
a) Pelebaran pembuluh darah kecil di jaringan ikat
b) Ketebalan lapisan epitel
c) Derajat keratinisasi
d) Jumlah pigmen melanin pada epitel
e) Mengindikasikan keadaan mukosa mulut:
f) Sehat : Merah muda
g) Radang : Merah (karena dilatasi pembuluh darah
Pada daerah merah bibir lebih merah karena epidermis lebih tipis dan pad
bagian dermis banyak plexus pembuluh darah. Pigmentasi endogen mukosa mulut
paling sering terjadi pada attached gingiva, palatum keras, mukosa bukal, lidah.
Warnanya bias dari coklat muda sampai hitam. Pigmentasi endogen disebabkan
melanin yang diproduksi oleh melanoblast.
Mukosa rongga mulut akan mengalami perubahan seperti hiperplasia atau
11
hiperkeratosis apabila terpapar dengan bahan-bahan iritan tertentu, dan bila
perubahan ini bersifat irreversibel, akan terjadinya karsinoma.
a) Karsinoma sel squamosal (KSS) rongga mulut
KSS rongga mulut merupakan suatu keganasan yang berasak dari epitel,
baik berasal dari muksa pada dinding rongga mulut, organ dalam mulut atau
kelenjar saliva. Sebanyak 95% dari seluruh kanker di rongga mulut adalah
karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Tingkat prevalensi kanker mulut
kebanyakannya ditemukan di negara seperti India karena penggunaan produk
tembakau yang berlebihan. Bagian rongga mulut yang paling dampak terkena
kanker mulut adalah lidah, bibir inferior dan dasar mulut. Kanker mulut dapat
timbul secara denovo atau dari daerah yang sebelumnya memiliki lesi atau
kondisi prekanker, yaitu lesi prakanker yang paling umum adalah leukoplakia dan
kondisi prekanker adalah lichen planus erosive. KSS rongga mulut merupakan
bagian dari kanker di dunia dengan distrivysi geografis yang luas dan secara
signifikan menyebabkan morbiditas maupun mortalitas

6. Bibir, Palatum dan Pipi


Bibir atau disebut juga labia, adalah lekukan jaringan lunak yang
mengelilingi bagian yang terbuka dari mulut. Bibir terdiri dari otot orbikularis
oris dan dilapisi oleh kulit pada bagian eksternal dan membran mukosa pada
bagian internal. Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir
bagian atas dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari
hidung pada bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan
batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah
terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian
lateral dan kebagian mandibula pada bagian inferior.12
Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis,
jaringan subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun
dari bagian superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion
merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitel-
epitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan
warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu, gambaran histologi juga
menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor. Folikel rambut dan kelejar
sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur tersebut
12
tidakditemukan pada bagian vermilion.12
Bibir dibentuk oleh orbicularis oris muscle dan dilapisi oleh keratinized
stratified squamous epithelium. Bibir memberikan warna kemerahan kerana
suplai darah yang banyak oleh pembuluh darah superfisial dan juga kurangnya
jumlah keratin pada lapisan epithelial luar. Permukaan bagian dalam bibir
memiliki lapisan epitel tipis dan agak cembung karena mengandung beberapa
kelenjar air liur kecil.12
Profil bibir atas dan bawah dapat menjelaskan kelainan gigi yang terjadi.
Misalnya, pada maloklusi kelas II atau disebut juga profil wajah burung dengan
kondisi gigi atas lebih maju daripada gigi bawah (lebih dari empat milimeter).
Hal ini dapat menyebabkan terjepitnya bibir bawah di antara gigi atas dan bawah.
Namun dapat diatasi dengan perwatan ortodontik atau bedah rahang.12
Palatum membentuk bagian atas dari rongga mulut dan berfungsi sebagai
pelindung untuk memisahkan ia dari rongga hidung. Dua per tiga dari bagian
anterior palatum adalah keras dan bertulang yang dikenal sebagai hard palate
manakala satu per tiga dari bagian posterior adalah lunak dan berotot yang
dikenal sebagai soft palate. Hard palate dibentuk oleh palatum processes of
maxillae dan horizontal plate of palatine bones. Ianya dilapisi oleh jaringan ikat
padat dan nonkeratinized stratified squamous epithelium. Lengkung pada soft
palate terdiri dari otot skeletal dan dilapisi oleh nonkeratinized stratified
squamous epithelium.12
Palatum durum atau hard palate menutupi sebagian besar langit-langit
mulut kita dan berperan penting dalam sistem pengunyahan. Fungsinya selain
memperjelas ucapan kita juga memperkuat melekatnya gigi tiruan. Torus
palatinus yaitu tonjolan di tengah-tengah palatum dengan ukuran yang bervariasi
sering terjadi. Hal ini selain menimbulkan rasa tidak nyaman saat pemakaian gigi
tiruan juga menyulitkan saat pemasangannya. Palatum molle atau soft palate
membagi dua daerah faring. Faring mengatur aliran udara melalui mulut dan
hidung saat bernafas dan berbicara12
Permukaan pipi sebelah dalam juga dilapisi mukosa yang melekat erat
dengan struktur otot di bawahnya. Permukaan pipi dekat area gigi molar 2 rahang
atas terdapat duktus (pintu keluar kelenjar air liur besar parotis). Hal ini dapat
menyebabkan banyaknya karang gigi di daerah tersebut. Daerah ini juga sering
ditemui sisi makanan terselip sehingga tertinggal antara pipi dan gigi. Hal inilah
13
yang dapat menyebabkan karies gigi. Apalagi, posisi gigi belakang yang tidak
harmonis dapat mengakibatkan terjadinya gigitan berulang pada permukaan
dalam pipi. Secara klinis hal ini dapat dilihat dengan adanya garis horizontal
berwarna keputihan. Pipi terminasi pada bibir atau labia yang membentuk bagian
anterior dari rongga mulut.13
a. Lidah
Lidah merupakan organ aksesori dari sistem digestif yang dibentuk oleh
otot skeletal dan dilapisi oleh stratified squamous epithelium. Secara embriologis,
lidah mulai terbentuk pada usia 4 minggu kehamilan. Lidah tersusun dari otot
lurik yang dilapisi oleh membran mukosa. Lidah beserta otot-otot yang
berhubungan dengan lidah merupakan bagian yang menyusun dasar dari rongga
mulut. Lidah dibagi menjadi dua bagian yang lateral simetris oleh septum median
yang berada disepanjang lidah. Lidah menempel pada tulang hyoid pada bagian
inferior, prosesusstyloid dari tulang temporal dan mandibular.3
Pada permukaan superior lidah terdapat papila yang mengandungi banyak
reseptor untuk deria rasa. Hanya filiform papillae yang dilapisi oleh keratinized
stratified squamous epithelium manakala bagian lain dari lidah dilapisi
seluruhnya oleh nonkeratinized stratified squamous epithelium. Selain dari deria
rasa, lidah juga berperan dalam pembentukan suara dan membantu dalam proses
mengunyah. Lidah akan mencampurkan bahan yang telah dimakan dan kemudian
akan menekannya pada palatum supaya menjadi bolus agar mudah untuk ditelan.3
Lidah dapat dibagi menjadi dua area. Area dua per tiga yang berbentuk V
terdiri dari tonjolan-tonjolan kecil yang disebut papilla. Papila adalah proyeksi
dari lamina propria yang ditutupi oleh epitel pipih berlapis. Sebagian dari papila
memiliki kuncup perasa, reseptor dalam proses pengecapan, sebagian yang
lainnya tidak. Namun, papilla yang tidak memiliki kuncup perasa memiliki
reseptor untuk sentuhan danber1ungsi untuk menambah gaya gesekan antara
lidah dan makanan, sehinggamempermudah lidah untuk menggerakkan makanan
di dalam rongga mulut. Secara histologi terdapat empat jenis papila yang dapat
dikenali sampai saat ini, yaitu :
1. Papila filiformis. papila filiformis mempunyai jumlah yang sangat
banyak di lidah. Tentuknya kerucut memanjang dan terkeratinasi, hal
tersebutmenyebabkan warna keputihan atau keabuan pada lidah. Papila
jenis ini tidak mengandung kuncup perasa.
14
2. Papila fungiformis. Papila fungiformis mempunyai jumlah yang lebih
sedikit dibanding papila filiformis. Papila ini hanya sedikit terkeratinasi
dan berbentuk menyerupai jamur dengan dasarnya adalah jaringan ikat.
Papila ini memiliki beberapa kuncup perasa pada bagian permukaan
luarnya. Papila ini tersebar di antara papila filiformis.
3. Papila foliata. Papila ini sedikit berkembang pada orang dewasa, tetapi
mengandung lipatan-lipatan pada bagian tepi dari lidah dan mengandung
kuncup perasa.
4. Papila sirkumfalata. Papila sirkumfalata merupakan papila dengan
jumlah paling sedikit, namun memiliki ukuran papila yang paling besar
dan mengandung lebih dari setengah jumlah keseluruhan papila di lidah
manusia.
Jika lidah diangkat, pada bagian bawah lidah akan terlihat lapisan tipis yang
disebut frenulum yang menyambungkan lidah dengan dasar mulut tepat di
tengahnya. Kadang terjadi di mana frenulum terlalu pendek dan ketat sehingga
tidak dapat mengangkat lidah, termasuk pembersihan gigi bawah juga menjadi
sulit. Hal ini biasanya diatasi dengan pengguntingan melalui pembedahan.

Gambar II.4 Anatomi Lidah


b. Gingiva
Gingiva adalah membran mukosa yang melapisi vestibulum dari rongga

15
mulut dan melipat diatas permukaan luar tulang alveolar. Saat mendekati gigi, ia
menyatu dengan tepian bawah lapis merah muda yang lebih kuat disebut gusi
atau gingiva yang merupakan bagian membrane mukosa yang terikat erat pada
periosteum krista tulang alveolar. Ia dilapisi epitel berlapis gepeng dengan banyak
papila jaringan ikat menonjol pada dasarnya. Epitel ini berkeratin ,tetapi dalam
lingkungan basah ini ia tidak memiliki stratum granulosum dan sel sel gepeng
lapis superfisialnya tetap berinti piknotik.12
Gingivae atau gusi terdiri dari dense irregular connective tissue yang
dilapisi oleh nonkeratinized stratified squamous epithelium yang menutupi
alveolar processes pada rahang atas dan bawah serta meliputi leher bagian gigi.
Permukaan internal bibir atas dan bawah kedua-duanya melekat pada gusi pada
lipatan nipis di bagian garis tengah yang dikenal sebagai labia frenulum.12
Gingiva berjalan melapisi tonjolan alveolar dan berakhir pada leher gigi.
Gingiva yang mengelilingi leher gigi direkatkan oleh cincin yang disebut
junctional epithelium. Gingiva yang sehat biasanya berwarna merah muda,
tergantung etnis individu. Makin gelap kulit seseorang, makin gelap pula warna
merah gingivanya. Konsistensinya padat dan melekat pada tulang alveolar di
bawahnya.12
Gingiva dibagi menjadi tiga area yaitu area paling atas disebut free
marginal gingiva yaitu gingiva yang tidak melekat pada tulang alveolar. Di
bawahnya adalah attached gingiva, yaitu area gingiva yang melekat pada tulang
alveolar dengan lebar yang bervariasi. Interdental gingiva adalah bagian gingiva
yang berada di antara gigi. Sulkus gingiva pula adalah kantung yang berjalan dari
marginal gingiva sampai junctional epithelium.12

B. Lesi pada Rongga Mulut


Lesi-lesi rongga mulut dapat disebabkan oleh faktor lokal dan luar. Faktor
lokal yang dapat menyebabkan lesi rongga mulut adalah iritasi kronis yang
disebabkan oleh tambalan yang kasar, radiks, karies gigi, permukaan gigi yang
tajam dan permukaan protesa yang kurang baik. Faktor luar yang dapat
menyebabkan lesi rongga mulut adalah kebiasaan buruk seperti merokok,
menyirih, mengunyah tembakau, pengkonsumsian alkohol; infeksi virus seperti
Human Pappiloma Virus (HPV), dan pendedahan ke sinar ultraviolet yang

16
berlebihan.3 Faktor-faktor ini dapat menyebabkan terjadi lesi radang, kista,
prekanker, neoplasma jinak dan neoplasma ganas.2,3
a) Radang
Radang merupakan suatu reaksi jaringan tubuh terhadap jejas (cedera).
Respon peradangan adalah salah satu mekanisme pertahanan alam paling penting
dan merupakan respon tubuh terhadap luka jaringan.1,2
Radang dapat dibagi menjadi radang akut dan radang kronis. Radang akut
merupakan respon langsung dan dini terhadap agen penyebab trauma jaringan.
Respon ini berlangsung relatif singkat, hanya berlangsung beberapa jam sampai
beberapa hari. Sel-sel yang terlibat dalam proses radang akut yaitu sel
polimorfonuklear/PMN (neutrofil, eosinofil, basofil) dan makrofag. 12 Adapun
faktor yang menyebabkan terjadinya radang akut adalah
(1). Infeksi (bakteri, virus, fungi dan parasit);
(2). Trauma (termal, radisasi, bahan kimia dan lain-lain);
(3). Nekrosis tisu (injuri kimia dan fisik);
(4) Reaksi imun (reaksi hipersensitivitas).2

Gambar II.5 Gambaran histopatologi radang akut yang mengandung sel


polimorfonuklear (neutrofil).

Radang akut terjadi apabila terdapat perubahan vaskular yang ditandai oleh
meningkatnya aliran darah sekunder yang menyebabkan dilatasi arteriolar dan
kapiler (eritemadan panas). Permeabilitas pembuluh darah meningkat, baik
melalui sel interendothelial dari venula atau sel injuri endotel langsung,

17
menghasilkan cairan eksudat ekstravaskular yang kaya protein (edema jaringan).
Leukosit, awalnya didominasi neutrofil, mengikuti endotelium melalui molekul
adhesi, kemudian meninggalkan mikrovaskular dan bermigrasi ke lokasi cedera
dengan pengaruh agen kemotaktik.1,3
Hal ini diikuti dengan proses fagositosis, pemusnahan, dan degradasi dari
agen. Cacat genetik atau fungsi lain dari leukosit menimbulkan infeksi berulang.
Hasil dari peradangan akut adalah penghapusan eksudat dengan pemulihan
arsitektur jaringan normal (resolusi), transisi ke peradangan kronis, atau
kehancuran jaringan mengakibatkan jaringan parut. 1
Berbeda dengan radang akut, radang kronis disebabkan oleh rangsang yang
menetap, seringkali berlangsung lama selama beberapa minggu atau bulan,
keadaannya tidak begitu nyeri, dan bisa mengarah pada pembentukan suatu
drainase melalui suatu sinus.2
Radang kronis dapat terjadi sesudah radang akut atau timbul sendiri. Jenis
radang akut yang paling sering berkembang menjadi radang kronis ialah jenis
radang akut supuratif. Sel-sel yang terlibat dalam proses radang kronis yaitu
limfosit, sel plasma dan makrofag lebih banyak ditemukan dan biasanya disertai
pula dengan pembentukan jaringan granulasi, yang menghasilkan fibrosis.2

Gambar II.6 Gambaran histopatologi radang kronis yang mengandungi


granuloma, limfosit, multinuclear giant cells dan epitheloid cells.

Radang kronis terjadi apabila respon host berkepanjangan terhadap stimulus


yang terus-menerus, yang disebabkan oleh mikroba yang resisten terhadap
eliminasi, respon imun tubuh terhadap antigen diri dan lingkungan, dan beberapa
zat beracun (silika). Hal ini ditandai dengan peradangan yang belum sembuh,
18
injuri pada jaringan, perbaikan oleh jaringan parut dan respon imun tubuh. Selular
yang masuk ke dalam jaringan terdiri dari makrofag, limfosit dan sel plasma
sehingga menyebabkan fibrosis sering menonjol. Ini ditambahi lagi dengan
mediasi oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag dan limfosit (limfosit T),
Interaksi dua arah antara sel ini cenderung untuk memperkuat dan
memperpanjang reaksi peradangan. Contoh radang kronis adalah inflamasi
granulomatosa, inflamasi fibrinosa, inflamasi purulen, inflamasi serosa dan
inflamasi ulseratif.2
Radang mulut granulomatik merupakan radang kronis yang menunjukkan
suatu proliferasi dan pertumbuhan jaringan seperti tuberkolosis rongga mulut,
morbus hansen (kusta), lues (sifilis), leprosy (lepra) dan aktinomikosis.3
Peradangan mengarah pada perkembangan kanker karena aktivitas leukosit,
termasuk produksi protein yang mengubah perilaku sel target (sitokin dan
kemokin), stimulasi pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) dan remodeling
jaringan. Sel-sel imun tubuh juga menghasilkan radikal oksigen yang dapat
menyebabkan mutasi pada Deoxyribonucleic Acid (DNA). Peradangan ini dapat
menginduksi karsinogenesis dan mengarah pada progresi dan metastasis. Aktivasi
faktor transkripsi oleh pro-inflamasi sitokin menghasilkan fenotip kanker yang
lebih agresif termasuk resistensi terhadap mekanisme kontrol pertumbuhan
normal, kemampuan angiogenetik dan metastasis. Tumor Associate Macrophage
(TAM), juga terkait dengan jalur inflamasi, telah diamati untuk menghasilkan
pro-angiogenik faktor dan pembuluh darah merekrut pada awal perkembangan
tumor. TAM juga meningkatkan laju pertumbuhan sel tumor dan menyebabkan
dissolusi jaringan ikat matriks di sekitar tumor. Perkara ini menyebabkan
pertumbuhan tumor dan menyebar.3

b) Kista Rongga Mulut


Kista didefinisikan sebagai rongga berlapis epitel yang patologis. Kista dari
rahang atas, rahang bawah, dan daerah perioral sangat bervariasi dari segi
histogenesis, perilaku, dan pengobatan. Kista rongga mulut dibagi menjadi kista
odontogenik, kista non-odontogenik, pseudocysts, dan kista jaringan lunak pada
leher.4
Menurut WHO (1992), kista odontogenik terdiri dari kista radikular, kista
dentigerus, kista lateral periodontal, kista gingival, kista erupsi, kista glandular
19
odontogenik, odontogenik keratosis dan kista odontogenik kalsifikasi. Kista non
odontogenik terdiri dari kista globulomaksilari, kista retensi, kista nasolabial,
kista median mandibular dan kista kanal nasopalatinus. Sedangkan, pseudocysts
terdiri dari aneurysmal bone cyst, traumatic bone cyst, static bone cyst dan focal
osteoporotic bone marrow defect. Yang terakhir, kista jaringan lunak pada leher
terdiri dari kista brankial, kista epidermoid dan kista thyroglossal.5
Dalam kedokteran gigi, kista yang sering terjadi adalah kista odontogenik
seperti kista radikular, dan kista dentigeru. Kista radikular atau juga dikenali
sebagai kista periapikal adalah kista yang paling umum terjadi dalam rongga
mulut. Kista ini merupakan peradangan lapisan epitel dari proliferasi residu epitel
odontogenik (sisa sisa sel Malassez) dalam ligamen periodontal.4,5
Secara patogenesis, kista radikular didahului dengan granuloma periapikal
yang disebabkan oleh peradangan kronis yang berhubungan dengan gigi non
vital. Sisa sisa dari sel Malassez dirangsang oleh peradangan kronis sehingga
terbentuknya kista. Kista terbentuk disebabkan oleh prolifaresi sel epitel. Kista
membesar karena terjadinya resorpsi tulang yang dipicu oleh prostaglandins,
interleukins dan proteinases dari sel inflamatori. Hal ini menyebabkan tekanan
osmotik meningkat di lumen.5
Secara histopatologi, kista radikular dibatasi oleh non-keratin epitel
skuamosa berlapis dengan ketebalan yang variabel. Transmigrasi sel inflamasi
melalui epitel sering terjadi dengan sejumlah besar leukosit polimorfonuklear dan
lebih sedikit jumlah limfosit yang terlibat. Infiltrat sel plasma dan russel body
intraseluler, mewakili akumulasi gamma globulin, sering ditemukan dan kadang-
kadang mendominasi gambaran mikroskopis. Benih granuloma juga terkadang
ditemukan dalam dinding kista periapikal menunjukkan hubungan antara apikal
dengan rongga mulut melalui saluran akar dan lesi karies.6

20
Gambar II.7 Gambaran mikroskopis kista radikular.

Kista dentigerous atau folikular adalah jenis kista odontogenik kedua yang
sering terjadi setelah kista periapikal. Menurut definisi, kista dentigerous melekat
pada leher serviks gigi (enamel-sementum junction) dan membungkus mahkota
gigi yang tidak erupsi 4
Secara patogenesis, kista dentigerous berkembang dari proliferasi sisa organ
enamel atau berkurang epitel enamel. Seperti kista lainnya, perluasan kista
dentigerous berkaitan dengan proliferasi epitel, pelepasan prostaglandins,
interleukins dan proteinase serta peningkatan osmolalitas cairan kista 6
Secara histopatologi, jaringan ikat fibros dinding kista dilapisi oleh epitel
skuamosa berlapis. Dalam kista dentigerous, lapisan epitel adalah lapisan yang
non keratin dan cenderung menjadi sekitar 4-6 lapisan. Di samping itu, terdapat
banyak sel mukosa, dan jarang, sel sebaceous yang ditemukan pada lapisan
epitel.6

Gambar II.8. Gambaran mikroskopis kista dentigerus.

Kista retensi terbagi kepada dua yaitu mukokel dan ranula. Kista retensi
sebagian besar ditemukan di bibir bawah, selain itu juga dapat di bibir atas, dasar
mulut, palatum, mukosa bukal, dan retromolar. Biasanya pasien mengeluh
pembengkakan tanpa nyeri yang sering kambuh. Trauma pada bibir/mulut yang
mengenai saluran kelenjar liur dapat mengakibatkan penyumbatan pada duktus
salivarius tersebut. Hasil penyumbatan ini adalah pelebaran setempat berisi cairan
musin yang disebut kista retensi. Mukokel bisa berdiameter 1-2 mm tetapi

21
umumnya 5-10 mm sedangkan ranula lebih besar. Gambaran histologik ranula
dan mukokel pada dasarnya sama, hanya berbeda pada tempat dan besarnya.1
Kista yang tidak diobati dapat berpotensi berubah menjadi neoplasma jinak
dan neoplasma ganas. Perkara ini dapat dilihat apabila kista dentigerus dapat
berubah menjadi ameloblastoma melalui transformasi epitel dan seterusnya
menjadi ameloblastic carcinoma.3
Beberapa kasus yang telah dilaporkan menunjukkan bahwa karsinoma sel
skumous kadang kadang bisa berasal dari lapisan epitel kista radikular dan kista
odontogenik lainnya. Eversole dkk. (1975), meneliti kasus karsinoma epidermoid
sentral dan karsinoma mukoepidermoid sentral, dan menemukan 75% kasus di
antaranya disertai dengan kista dan mempunyai resiko tinggi bertransformasi
menjadi ganas sehingga tidak sesuai untuk menganggap kista sebagai lesi pre-
kanker.5

c) Lesi prekanker
Lesi prekanker didefinisikan sebagai perubahan morfologi dari jaringan
dimana kanker cenderung terjadi pada jaringan yang normal. Lesi prekanker
adalah kondisipenyakit yang secara klinis belum menunjukkan tanda-tanda yang
mengarah pada lesi ganas, namun di dalamnya sudah terjadi perubahan-
perubahan patologis yang dapat menyebabkan terjadinya keganasan. Lesi ini
merupakan suatu reaksi akibat iritasi kronis yang secara mikroskopis dijumpai
perubahan sel berupa metaplasia dan displasia. Keparahan lesi prekanker
biasanya dilihat melalui stadium displasia lesi tersebut secara histologi. Displasia
terbagi kepada tiga stadium yaitu stadium ringan, sedang dan berat. Keadaan ini
masih bersifat reversibel dan iritasi kronis dihilangkan maka sel ini dapat kembali
ke bentuk normal tapi pada keadaan irirtasi yang terus menerus, sel displasia
dapat mengalami perubahan menjadi sel anaplasia yang dikategorikan sebagai
karsinoma.7
The WHO Collaboration Reference centre for Oral Precancerous centre
(2008) menyebutkan beberapa perubahan berikut sebagai bagian dari displasia
epitel yaitu hilangnya polaritas sel basal, adanya lebih dari satu lapisan sel yang
mempunyai bentuk basaloid, bertambahnya rasio nuklear-sitoplasmik,
processusrete berbentuk tetesan, lapisan epitel yang tidak teratur, bertambahnya
jumlah mitosis, tampak juga sejumlah mitosis abnormal juga terlibat, adanya hasil
22
mitosis pada beberapa bagian superfisial dari epithelium, pleomorpism seluler,
inti hipokromatik, nukleoli yang membesar, berkurangnya kohesi selular dan
keratinisasi dari sel tunggal atau kelompok sel pada lapisan sel spinal.4
Beberapa faktor yang merupakan etiologi dari lesi prekanker di rongga
mulut adalah: (1). Faktor lokal, penggunaan tembakau (menyirih/menyuntil,
merokok), alkohol, oral hygiene buruk, iritasi gigi tiruan, kandidiasis, sinar
matahari; dan (2). Faktor sistemik, defisiensi vitamin, anemia kekurangan zat
besi, sipilis. Kedua faktor di atas saling berkaitan dan secara bersamaan sebagai
agen/bahan yang mengiritasi dan merangsang perubahan sel normal jaringan
epitel ke bentuk abnormal.11 Istilah lesi pre-kanker digunakan untuk kelainan dari
mukosa mulut yang dapat berdegenerasi menjadi kanker mulut. Sebagian
karsinoma skuamous rongga mulut terlihat sebagai lesi yang secara klinis tidak
dapat dibedakan dari keratosis idiopati atau friksional. Antara lesi-lesi prekanker
yang berpotensi berubah menjadi kanker rongga mulut adalah: (1). Leukoplakia;
(2). Eritroplakia; (3). Sifilis Tertier; (4). Oral Submukus Fibrosis; (5). Kronik
Kandidiasis; (6). Liken Planus; (7). Discoid Lupus Erythematosus.6
Pada salah satu penelitian yang dilakukan oleh A. Ariyawardana dkk.
(2007) tentang prevalensi kanker rongga mulut dan lesi pre-kanker serta faktor
risiko yang berkaitan pada 16 orang pekerja ladang di Sri Lanka menunjukkan
bahwa sekitar 1159 orang terdeteksi menderita lesi rongga mulut. Kebanyakan
kasus ditemui pada golongan perempuan (57,9%) dengan rentang umur 41-55
tahun. Faktor yang menyebabkan terjadinya lesi rongga mulut adalah kebiasaan
buruk pekerja yaitu menyirih, merokok, dan pengkonsumsian alkohol dengan
proposi 92%, 31% dan 61%. Angka prevalensi kebiasaan buruk tergantung
kepada jenis kelamin dimana diketahui pada studi ini, perempuan paling banyak
menyirih manakala laki-laki paling banyak merokok dan mengkonsumsi alkohol.
Tidak ada proliferarive verrucous leukoplakia yang terdeteksi pada studi tersebut.
Golongan laki-laki (62,5%) lebih banyak menderita leukoplakia dibandingkan
golongan perempuan (33,7%). Namun demikian, lebih banyak perempuan (167
orang) menderita oral submucoses fibrosis dibandingkan dengan laki-laki (42
orang). Selain itu, lesi prekanker yang lain seperti eritroplakia, keratosis palatal
dan lichen planus turut ditemukan sebanyak 878 orang (6,72%). Sekitar 14 orang
dengan usia sekitar 40 tahun terdeteksi menderita karsinoma. Hal yang
menyebabkan terjadinya karsinoma tersebut adalah oral leukoplakia dengan
23
jumlah deteksi lebih dari 50%. 13 dari 14 kasus karsinoma dideritai oleh pekerja
yang mempunyai kebiasaan menyirih.

d) Neoplasma Rongga Mulut


Neoplasma adalah massa jaringan atau populasi sel abnormal dengan
kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara tidak terkendali. Neoplasma
didefinisikan sebagai massa abnormal dari jaringan yang terjadi ketika sel-sel
membelah lebih dari yang seharusnya atau tidak mati ketika mereka seharusnya
mati. Neoplasma dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat dan histogenesisnya.
Berdasarkan sifatnya neoplasma diklasifikasikan menjadi: (1). Neoplasma jinak
(benign) dan (2). Neoplama ganas (malignant). Neoplasma jinak, pertumbuhan
selnya lambat, bersifat ekspansi, berkapsul, tidak bermetastatis, derajat
differensiasinya tinggi, sitologi normal, mitosis sedikit dan jarang nekrosis.
Neoplasma ganas, pertumbuhannya cepat, bersifat ekspansi dan invasi, tidak
berkapsul, metastasis, differensiasinya bervariasi dari differensiasi baik sampai
anaplastik, hilangnya kutup, nuklear dan seluler yang pleomorfik, macam-macam
mitosis yang kebanyakan bersifat abnormal dan sering nekrosis.4
Berdasarkan histogenesis (jaringan asal), lesi neoplasma berasal dari: (1)
Epitel; (2). Mesoderm; (3). Jaringan saraf; dan (4) Pigmented Epithelium. Contoh
neoplasma yang berasal dari pelapis epitel permukaan tumor jinak adalah
papiloma, dan adenoma, sedangkan tumor jinak yang berasal dari mesoderm
adalah fibroma, myxoma, lipoma, kondroma, osteoma, hemangioma dan
limfangioma. Semua neoplasma ganas yang berasal dari pelapis epitel disebut
karsinoma, misalnya karsinoma sel skumosa, dan adenokarsinoma. Tumor ganas
yang berasal dari mesoderm adalah fibrosarkoma, liposarkoma, kondrosarkoma,
osteosarkoma, leimiosarkoma, rhabdomiosarkoma, hemangiosarkoma,
limfangiosarkoma. Semua tumor ganas jaringan limfoid adalah limfoma Hodgkin

C. Eritroplakia
1. Definisi Secara Umum
Eritroplakia didefinisikan sebagai bercak merah seperti beludru, menetap,
yang tidak dapat digolongkan secara klinis sebagai keadaan lain manapun. Istilah
ini seperti “leukoplakia (tidak mempunyai arti histologist ) tapi sebagian besar
arti eritoplakia didiagnosis secara histologis sebagai dysplasia epitel atau lebih

24
jelek lagi karena mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk menjadi
karsinoma. Eritroplakia dapat terjadi di setiap tempat di rongga mulut, orofaring,
dan dasar mulut. Merahnya lesi adalah akibat dari atrofi mukosa yang menutupi
submukosa yang banyak vaskularisasinya. Tepi lesi biasanya berbatas jelas.
Tidak ada predileksi jenis kelamin dan paling sering mengenai pasien-pasien
yang berusia diatas 60 tahun. Telah dikenal 3 varian klinis dari eritroplakia:
 Bentuk homogen, yang merahnya tampak rata
 Eritroleukoplakia, yang mempunyai bercak-bercak merah
yang bercampur dengan beberapa daerah leukoplakia
 Bercak leukoplakia, yang mengandung bintik-bintik atau granula-
granula putih yang menyebar di seluruh lesinya.
Plak atau patches berwarna merah terang beludru yang tidak dapat
dikarateristikan secara klinis atau patologis dikarenakan kondisi-kondisi lainnya.
Lesi erythroplakic mudah terlewat oleh dokter gigi. Erythroplakia lebih umum
terjadi dibandingkan dengan leukoplakia. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa mayoritas kasus erythroplakia (khususnya yang berada pada lidah, dasar
mulut, palatum lunak, dan anterior tonsillar pillars) memperlihatkan frekuensi
yang tinggi untuk perubahan premalignant dan malignant. Meskipun etiologi
eryhroplakia tidak pasti, namun mayoritas kasus erythroplakia berhubungan
dengan perokok berat, dengan atau tanpa konsumsi alcohol (Hasibuan S., 2004).
Patogenesis dari kelainan ini adalah adanya sejumlah keadaan yang
menghasilkan perubahan mukosa menjadi merah. Merahnya lesi ini adalah akibat
dari atrofi mukosa yang menutupi submukosa yang banyak vaskularisasinya. Tepi
lesi biasanya berbatas jelas.

2. Gambaran Klinis
Terdapat beberapa variasi klinis, namun belum ada klasifikasi yang
diterima secara global. Shear mendeskripsikan:
1) homogeneous erythroplakia, tampaknya merah rata.
2) erythroplakia interspersed with patches of leukoplakia,
mempunyai bercak-bercak merah yang bercampur dengan beberapa
daerah leukoplakia
3) granular or speckled erythroplakia. mengandung bintik-bintik atau

25
granula-granula putih yang menyebar diseluruh lesinya. Sebagian besar
dari lesi ini berbentuk ireguler, dan beberapa mengandung pulau
mukosa normal yang berada di dalam area-area erythroplakia,
fenomena ini telah dihubungkan dengan persatuan dari
sejumlah precancerous foci
Erythroplakia umumnya muncul pada pria usia lanjut, sekitar usia 60-70
tahun. Umumnya terdapat pada lantai mulut, ventral lidah, palatum lunak, dan
tonsillar fauces, semuanya merupakan area utama untuk perkembangan
carcinoma. Multiple lesions dapat terjadi. Hampir semua lesi ini asimtomatik.14

Gambar II.9. Gambaran klinis Eritroplakia

3. Gambaran histologi
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa 80-90% kasus
erythroplakia merupakan severe epithelial dysplasia, carcinoma in situ, atau

26
invasive carcinoma, secara histopatologis. Pada satu penelitian, tidak ada satupun
kasus erythroplakia yang merupakan benign keratosis

4. Diagnosa banding
1) Erythematous candidiasis,
2) area iritasi mekanis,
3) denture stomatitis,
4) lesi vaskular, dan
5) beberapa variasi dari lesi inflamasi nonspesifik
Dikarenakan warna kemerahan pada mukosa oral merupakan hal yang
wajar, maka area kemerahan erythroplakia seringkali tidak diindahkan oleh
dokter gigi. Diferensiasi erythroplakia dengan lesi inflamasi jinak mukosa oral
dapat dilakukan dengan menggunakan 1% solution of toluidine blue, secara
topikal dengan cara swab atau dibilas (kumur). Meskipun teknik ini kurang
efektif pada lesi keratotik, tetapi hasil untuk area dengan karsinoma awal
(erythroplakic dan lesi erythroplakic-leukoplakic) sangat baik, dengan hasil false-
negative under diagnosis) dan false-positive (overdiagnosis).9

D. Leukoplakia
a. Definisi secara umum
Leukoplakia merupakan lesi putih keratosis berupa bercak atau plak pada
mukosa mulut yang tidak dapat diangkat dari mukosa mulut secara usapan atau
kikisan dan secara klinis maupun histopatologis berbeda dengan penyakit lain di
dalam mulut serta tidak dapat dihubungkan dengan sebab fisik atau kimia kecuali
penggunaan tembakau.16
b. Etiologi
Etiologi leukoplakia belum diketahui dengan pasti sampai saat ini.
Menurut beberapa ahli klinik, predisposisi leukoplakia terdiri atas beberapa faktor
yang multipel yiatu: faktor lokal, faktor sistemik, dam malnutrisi vitamin.
a) Faktor Lokal
Biasanya merupakan segala macam bentuk iritasi kronis, antara lain:
I. Trauma
a) Trauma karena gigitan tepi atau akar gigi yang tajam

27
b) Iritasi dari gigi yang malposisi
c) Pemakaian protesa yang kurang baik sehingga
menyebabkan iritasi
d) Adanya kebiasaan menggigit jaringan mulut, pipi dan lidah
II. Kemikal atau Termal
a) tembakau
Terjadinya iritasi pada jaringan mukosa mulut tidak hanya
disebabkan oleh asap rokok dan panas yang terjadi pada waktu
merokok, tetapi dapat juga disebabkan oleh zat-zat yang
terdapat di dalam tembakau yang ikut terkunyah. Banyak
peneliti yang berpendapat bahwa pipa rokok juga merupakan
benda yang berbahaya, sebab dapat menyebabkan lesi yang
spesifik pada palatum yang disebut "Stomatitis Nicotine". Pada
lesi ini, dijumpai adanya warna kemerahan dan timbul
pembengkakan pada palatum. Selanjutnya, palatum akan
berwarna putih kepucatan, serta terjadi penebalan yang sifatnya
merata. Ditemukan pula adanya "multinodular" dengan bintik-
bintik kemerahan pada pusat noduli. Kelenjar saliva yang
membengkak dan terjadi perubahan di daerah sekitarnya.
Banyak penelitian yang kemudian berpendapat bahwa lesi ini
merupakan salah satu bentuk dari leukoplakia.
b) Alcohol
Telah banyak diketahui bahwa alkohol merupakan salah satu
faktor yang memudahkan terjadinya leukoplakia, karena
pemakaian alkohol dapat menimbulkan iritasi pada mukosa
c) Bakteri
Leukoplakia dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri,
penyakit periodontal yang disertai kebersihan mulut yang
kurang baik
b) Faktor Sistemik
Selain dari faktor yang terjadi secara lokal di atas, kondisi dari
membran mukosa mulut yang dipengaruhi oleh penyakit lokal maupun
sistemik berperan penting dalam meningkatkan efektifitas yang bekerja
secara local
28
a) Penyakit sistemik, penyakit sistemik yang behubungan dengan
leukoplakia antara lain adalah sifilis tertier, anemia sidrofenik, dan
xeroftalmia yang disebabkan pleh penyakit kelenjar saliva.
b) Bahan-bahan yang diberikan secara sistemik seperti alkohol, obat-
obat antimetabollit, dan serum antilimfosit spesifik
c) Faktor Malnutrisi Vitamin
Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia dan
keratinisasi dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel
mukosa respiratorius. Beberapa ahli menyatakan bahwa leukoplakia di
uvula merupakan manifestasi dari pemasukkan vitamin A yang tidak
cukup. Apabila kelainan tersebut parah, gambarannya mirip dengan
leukoplakia. Selain itu, pada percobaan dengan menggunakan binatang
tikus, dapat diketahui bahwa kekurangan vitamin B kompleks akan
menimbulkan perubahan hiperkeratotik.16
c. Patofisiologi
Pasien dengan idiopatik leukoplakia memiliki resiko tinggi untuk
berkembang menjadi kanker. Penelitian yang dilakukan oleh Downer dan kawan-
kawan pada sejumlah pasien leukoplakia, 4% -17% lesi bertransformasi menjadi
tumor maligna pada kurun waktu 20 tahun.21
Dasar perubahan molekular pada leukoplakia sampai saat ini masih belum
diketahui. Namun, beberapa data dari hasil penelitian pada premaligna
leukoplakia membuktikan bahwa perubahan epitel pada penyakit ini disebabkan
oleh transformasi displastik. Perubahan patologi yang utama pada leukoplakia
diperlihatkan oleh diferensiasi epitel yang abnormal dengan peningkatan
permukaan keratinisasi menghasilkan penampakan mukosa yang putih. Hal ini
diikuti pula oleh penebalan pada epitelium, bahkan epitel bisa menjadi atrofi atau
akantosis (perubahan lapisan tanduk).21
Banyak penelitian memperlihatkan adanya perubahan genetika akan
mempengaruhi perubahan pada ekspresi gen keratin, perubahan siklus sel, dan
peningkatan ekspresi sel yang kehilangan sifat heterozigotnya. Stres oksidatif dan
kerusakan DNA akibat produk nitrogen reaktif, seperti induksi nitrit oksida dan
mekanisme inflamasi, juga memiliki implikasi pada leukoplakia dan
transformasinya dari displasia menjadi karsinoma. Penelitian pada penanda
molekular memperlihatkan bahwa lesi jinak meningkat pada sel yang telah
29
mengalami cacat pada sel p53 dan pada antigen proliferation marker proliferating
cell nuclear.21

d. Gambaran Histopatologi

Pemeriksaan histopatologis akan membantu menentukan penegakan diagnosis


leukoplakia. Bila diikuti dengan pemeriksaan histopatologi dan sitologi, akan
tampak adanya perubahan keratinisasi sel epitelium, terutama pada bagian
superfisial.Secara mikroskopis, perubahan ini dapat dibedakan menjadi 5 bagian,
yaitu hiperkeratosis, hiperparakeratosis, akantosis, diskeratosis atau displasia,
carcinoma in situ.

Pada hiperkeratosis proses ini ditandai dengan adanya suatu peningkatan yang
abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum, dan pada tempat-tempat
tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya sejumlah ortokeratin pada daerah
permukaan yang normal maka akan menyebabkan permukaan epitel rongga
mulut menjadi tidak rata, serta memudahkan terjadinya iritasi. Parakeratosis
dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat timbulnya pengerasan pada
lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan normal dapat dijumpai di tempat-
tempat tertentu di dalam rongga mulut. Apabila timbul parakeratosis di daerah
yang biasanya tidak terdapat penebalan lapisan parakeratin maka penebalan
parakeratin disebut sebagai parakeratosis. Dalam pemeriksaan histopatologis,
adanya ortokeratin, parakeratin, dan hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan
antara satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang
lebih teliti lagi akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan
granularnya terlihat menebal dan sangat dominan. Sedangkan hiperparakeratosis
sendiri jarang ditemukan, meskipun pada kasus-kasus yang parah.

Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari lapisan
spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi parah disertai
pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan dari retepeg atau
hanya kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan stratum spinosum
tidak sama atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang berbeda dalam rongga
mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat tertentu dapat dianggap
normal, sedang penebalan tertentu pada daerah tertentu bisa dianggap abnormal.

30
Akantosis kemungkinan berhubungan atau tidak berhubungan dengan suatu
keadaan hiperortikeratosis maupun parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak
tergantung pada perubahan jaringan yang ada di atasnya.

Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu


displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara
displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat menunjukkan
adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma in situ. Kriteria
yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia epitel adalah: adanya
peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel secara individu;
adanya bentukan “epithel pearls” pada lapisan spinosum; perubahan
perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma; hilangnya polaritas dan
disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya pembesaran inti sel atau
nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan “giant nuclei”; pembelahan
inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta adanya basiler hiperplasia dan
karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.

Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan granuler.
Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal ini berbeda
dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan intra oral
kelainan tersebut tampak jelas. Pada umumnya, antara displasia dan carsinoma
in situ tidak memiliki perbedaan yang jelas. Displasia mengenai permukaan yang
luas dan menjadi parah, menyebabkan perubahan dari permukaan sampai dasar

Gambar II.10. Histopatologi Leukoplakia

31
e. Tanda dan Gejala
Leukoplakia ditandai dengan adanya plak putih yang tidak bisa
digolongkan secara klinis atau patologis ke dalam penyakit lainnya. Leukoplakia
merupakan lesi prakanker yang paling banyak, yaitu sekitar 85% dari semua lesi
prakanker.17
Lesi ini sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa lidah, bibir,
palatum, daerah dasar mulut, gingival, mukosa lipatan bukal, serta mandibular
alveolar ridge. Bermacam-macam bentuk lesi dan daerah terjadinya lesi
tergantung dari awal terjadinya lesi tersebut, dan setiap individu akan berbeda.17
Lesi awal dapat berupa warna kelabu atau sedikit putih yang agak
transparan, berfisura atau keriput dan secara khas lunak dan datar. Biasanya
batasnya tegas tetapi dapat juga berbatas tidak tegas.Lesi dapat berkembanga
dalam minggu sampai bulan menjadi tebal, sedikit meninggi dengan tekstur kasar
dan keras. Lesi ini biasanya tidak sakit, tetapi sensitif terhadap sentuhan, panas,
makanan pedas dan iritan lainnya.17
Selanjutnya leukoplakia dapat berkembang menjadi granular atau nodular
leukoplakia. Leukoplakia juga dapat berkembang dan berubah bentuk menjadi
eritroplakia. Terdapat dua tipe klinis leukoplakia, yaitu homogen dan non-
homogen.17
.a Leukoplakia Homogen
Dalam perkembangannya, leukoplakia dapat menjadi semakin meluas,
menebal, disebut leukoplakia homogen. Pada tipe ini, terutama berupa lesi
putih yang datar dan tipis. Lesi ini dapat terlihat sebagai retakan yang dangkal
dengan permukaan yang halus atau berkerut. Teksturnya konsisten. Tipe ini
biasanya asimptomatik

32
Gambar II.11 Leukoplakia homogeny

.b Leukoplakia non- Homogen


Terutama berupa lesi putih atau putih disertai merah (eritroplakia). Permukaan
lesi ireguler, bisa rata, nodular (speckled leukoplakia) atau exophytic
(exophytic atau verrucous leukoplakia). Pada verrucous leukoplakia,
permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna putih, tetapi tidak
mengkilat. Tipe leukoplakia ini biasanya disertai dengan keluhan ringan
berupa ketidaknyamanan atau nyeri yang terlokalisir

Gambar II.12 Leukoplakia non homogen

.c Proliferative verrucous leukoplakia


Merupakan tipe leukoplakia yang agresif yang hampir selalu berkembang
menjadi malignansi. Tipe ini ditandai dengan manifestasi multifokal dan
menyebar luas, sering terjadi pada pasien dengan faktor risiko yang tidak
diketahui. Secara umum, leukoplakia non-homogen memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk bertransformasi menjadi malignan, tetapi oral carcinoma dapat
berkembang dari berbagai jenis leukoplakia.

33
Gambar II.13 Proliferative verrucous leukoplakia

f. Diagnosis
Penegakan diagnosis leukoplakia masih sering mengalami kendala. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal seperti etiologi leukoplakia yang belum jelas serta
perkembangan yang agresif dari leukoplakia yang mula-mula hanya sebagai
hiperkeratosis ringan namun dapat menjadi karsinoma sel skuamosa dengan
angka kematian yang tinggi.17
Berdasarkan konsep yang diterima oleh World Health Organization maka
batasan leukoplakia adalah lesi yang tidak ada konotasi histologinya dan dipakai
hanya sebagai deskripsi klinis. Jadi definisinya adalah suatu penebalan putih yang
tidak dapat digosok sampai hilang dan tidak dapat digolongkan secara klinis atau
histologi sebagai penyakit-penyakit spesifik lainnya (contoh: seperti likhen

34
planus, lupus eritematosus, kandidiasis, white sponge naevus).17
Leukoplakia di diagnosis banding dengan lesi putih lain seperti likhen
planus, jamur, sifilis, leukoplakia berambut, atau karsinoma. Untuk
menyingkirkan diagnosis banding, maka pemeriksaan penunjang dapat dilakukan.
Pemeriksaan yang teliti pada seluruh rongga mulut dan nodus limfa pada leher
diperlukan untuk membuat diagnose yang akurat dari leukoplakia mulut. Tes
serological deperlukan untuk mengeksklusi sifilis sebagai factor etiologi. Jika lesi
mengandung nodul keras, atau terdapat ulserasi atau papillomatous, atau terfixasi
dengan jaringan dasarnya, maka diperlukan biopsy untuk mengeksklusi bahwa
lesi tersebut disebabkan oleh kanker. Terdapat juga lesi lain dengan etiologi yang
tidak diketahui yang mungkin akan menyulitkan penegakan diagnosis. Psoriasis
merupakan salah satunya, lesi ini memiliki gambaran seperti renda (lacelike),
mengkilat dan lebih superficial dibandingkan dengan leukoplakia. Yang kedua
adalah lichen planus, biasanya tampak sebagai spot putih kecil hingga besar dapat
juga berbentuk gelang (annular) atau papular.17,19

g. Diferential Diagnosis
Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa kelainan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya “diferensial diagnosis” atau diagnosis banding
untuk membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi leukoplakia atau bukan.
Pada beberapa kasus, leukoplakia tidak dapat dibedakan dengan lesi yang
berwarna putih di dalam rongga mulut tanpa dilakukan biopsy. Jadi, cara
membedakannya dengan leukoplakia adalah dengan pengambilan biopsi. Ada
beberapa lesi berwarna putih yang juga terdapat dalam rongga mulut, yang
memerlukan diagnosis banding dengan leukoplakia. Lesi tersebut antara lain:
syphililitic mucous patches; “lupus erythematous” dan ” white sponge nevus”;
infeksi mikotik, terutama kandidiasis; white folded gingivo stomatitis; serta
terbakarnya mukosa mulut karena bahan-bahan kimia tertentu, misalnya minuman
atau makanan yang pedas. Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu
dilakukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis,
karena lesi ini secara klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen
plannus” dan “white sponge naevus”. Untuk menentukan diagnosis yang tepat,
perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis,
karena lesi ini secara klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen
35
plannus” dan “white sponge naevus (Lesi putih keratotik)”.
a. Liken Planus
Liken planus merupakan suatu kelainan yang unik, yakni suatu
penyakit inflamasi yang berefek ke kulit, membran mukosa, kuku, dan rambut.
Liken planus tidak memiliki kecenderungan untuk menjadi suatu keganasan,
namun lesi ulseratif di mulut, terutama pada pria, memiliki kemungkinan yang
lebih besar untuk berlanjut menjadi ganas.
Liken planus dimulai dengan adanya makula eritema dan papul
keunguan selama beberapa minggu. Dalam waktu yang singkat, kadang-
kadang berkembang lesi yang multipel secara cepat dengan penyebaran awal
hanya beberapa papul. Tanda liken planus hanya ditemukan pada kulit dan
membran mukosa. Morfologi lesinya berupa, kecil, flat-miring, poligonal,
papul yang mengkilat, dengan frekuensi yang sering, tapi tidak selalu ada.
Liken planus predileksinya meliputi daerah fleksura pada pergelangan tangan,
lengan, dan pergelangan kaki, paha, punggung bawah, leher dan penyebaran
bertambah di membran mukosa mulut dan genitalia. Liken planus menyerang
selaput di mulut, vagina, esofagus, konjungtiva, uretra, hidung dan laring. Ciri
utamanya adalah eritem dan erosi pada lidah ; kadang-kadang ada plak putih
dengan rasa nyeri dan tidak nyaman.
Pada pemeriksaan histopatologi, di epidermis terlihat perubahan
berupa hiperkeratosis, akantosis tak teratur, penebalan stratum granulosum
setempat, degenerasi mencair membran basalis, dan hilangnya stratum basalis.
Striae Wickham mungkin ada hubungan dengan bertambahnya aktivitas fokal
liken planus dan tidak karena penebalan lapisan granular. Bentuk bula pada
liken planus sangat jarang terjadi, paling menonjol antara lamina basal dan
kerotinosis pada sitomembran basal

36
37
Gambar II.14 Oral Liken Planus

b. White sponge naevus (Lesi putih keratotik)


White sponge nevus adalah kelainan yg relatif tidak umum, yang
biasanya dijumpai pada waktu lahir atau pada anak kecil, tetapi menetap
seumur hidup. Ditandai oleh lesi-lesi mukosa yang tanpa gejala, putih berkerut
dan seperti busa. Sering kali lesinya memperlihatkan pola gelombang yang
simetris. Lokasi yang paling umum adalah di mukosa pipi, bilateral, dan
selanjutnya dimukosa bibir, linger alveolar dan dasar mulut. Keadaan ini dapat
mengenai seluruh mukosa mulut atau didistribusikan secara unilateral sebagai
bercak-bercak putih tertentu. Tepi gusi dan dorsal lidah hampir tidak pernah
terkena, meskipun palatum lunak dan ventral lidah umum terlibat. Ukuran
lesinya bervariasi dari satu pasien ke pasien lain dan dari waktu ke waktu.
White sponge nevus tidak menunjukkan predileksi ras dan jenis
kelamin, tetapi karena pola transmisi dominan autosomal dari keadaan ini,
maka banyak anggota keluarga dapat menderita kelainan tersebut. Daerah-
daerah mukosa ekstraoral yang dapat terlibat adalah rongga hidung,
esophagus, larings, vagina dan rectum.
Gambaran histopatologi : Lapisan stratified squamous epithelium
parakeratinisasi dan akantosis. Lapisan sel prickle mengandung sejumlah
besar sel vakuola yang tampak seperti tercuci dan jaringan ikat biasanya bebas
dari infiltrasi sel peradangan. Permukaan epithelium biasanya ditutupi oleh
mikroorganisme.
. Pada mulut, mukosa bukal merupakan daerah yang paling sering
terserang, walaupun lesi juga dapat mengenai lidah, dasar mulut, palatum,
mukosa labial, dan bahkan gingival, lesi biasanya bilateral

38
Gambar II.15 White sponge naevus

g. Klasifikasi
Ward dan Hendrick mendeskripsikan klasifikasi leukoplakia secara klinis
menjadi: 21
1. Acute leukoplakia
Onsetnya mulai dari hari, minggu hingga bulan. Lesi ini berkembang dengan
cepat, terdapat penebalan berupa kerucut, beberapa kasus menunjukkan
adanya ulserasi atau pembentukan papilloma. Leukoplakia jenis ini memiliki
kemungkinan lebih besar untuk menjadi malignan dibandingkan dengan
chronic leukoplakia.
2. Chronic leukoplakia
Onsetnya dapat terjadi selama sepuluh, lima belas, atau dua puluh tahun.
Leukoplakia tipe ini memiliki penampakan yang menyebar dan tipis, seperti
selaput putih pada permukaan dari membrane mucus. Pada palatum mungkin
didapatkan lesi merah kecil seukuran kepala peniti seperti kawah kecil. Di
bagian tengahnya terdapat tumpukan kapiler yang akan mengalami perdarahan
walau dengan trauma yang ringan. Leukoplakia jenis ini jarang menjadi ganas.
3. Tipe intermediate
Dapat dikatakan juga sebagai leukoplakia sub akut. Kemungkinan merupakan
bentuk awal dari leukoplakia kronik dan berada antara tipe akut dan kronik.

h. Penatalaksanaan
Penanganan leukoplakia dapat dibagi menjadi 2 tindakan, yaitu: 18
1. Penanganan medis
Tujuan dari penanganan ini adalah untuk mendeteksi dan mencegah perubahan
leukoplakia menjadi sel ganas. Bila leukoplakia masih berupa plak putih saja,
tidak diperlukan tindakan khusus untuk menanganinya. Terdapat beberapa
tindakan yang disarankan untuk dilakukan, akan tetapi hingga saat ini belum
ditemukan pengobatan definitif untuk penyakit ini. Beberapa tindakan yang
dapat dilakukan diantaranya:
a) Tunggu dan amati
b) Pemberian obat, misalnya agen antiinflamasi, vitamin, agen sitotoksik

39
c) Tindakan operasi, misalnya laser, scapel, cryosurgery, electrocautery, terapi
photodynamic Pasien juga harus menghindari faktor-faktor yang
menyebabkan leukoplakia seperti rokok dan alkohol. Penyakit ini dapat dapat
sembuh dengan sendirinya atau malah bertambah buruk dengan mengalami
displasia. Displasia pada lesi yang terdapat di daerah dengan resiko tinggi
kanker harus ditangani secara serius dan lesi harus segera diangkat.

2. Penanganan operasi
Tindakan operasi masih menjadi penanganan pilihan untuk leukoplakia kecil.
Electrocautery, cryosurgery dan laser sama-sama efektif, dimana proses ini
sangat tergantung kepada kemampuan patologis untuk mengevaluasi luas serta
derajat displasia yang terjadi. Pasien juga harus diperiksa secara berkala, kira-
kira setiap 2-3 bulan sekali karena tingkat kekambuhan penyakit yang sangat
tinggi. Pasien yang tidak mengalami kekambuhan selama 3 tahun tidak perlu
melakukan pemeriksaan berkala lagi, tapi pasien dengan residual leukoplakia
harus melakukan pemeriksaan berkala seumur hidup.18

i. Prognosis
Prognosis leukoplakia sangat bagus dan deformitas akibat operasi juga bisa
diminimalkan bila penyakit ditemukan pada stadium awal. Selain itu, kanker pada
mukosa mulut yang diasosiasikan dengan leukoplakia sebagai lesi prakankernya
juga menunjukkan prognosis yang sangat bagus.16,20

40
BAB III
LAPORAN KASUS

Kasus 1
(Leukoplakia verukosa proliferatif: Laporan kasus dan suatu tinjauan literatur
komprehensif, Versha Rani Giroh, et al., 2016)
Seorang pasien laki-laki berusi 50 tahun datang ke departemen dengan
keluhan utama sensasi panas/terbakar di dalam mulut sejak 15 hari. Menurut riwayat
yang diberikan oleh pasien, dia melihat adanya lesi di mulut 2 tahun yang lalu, yang
secara bertahap berkembang menjadi kondisi saat ini dan terkait dengan sensasi
panas/terbakar sejak 15 hari yang lalu. Tidak ada riwayat medis penyakit dahululu
yang relevan. Pasien memberikan suatu riwayat dahulunya yaitu pernah mengunyah
tembakau 2-3 kali sehari sejak umur 27 tahun.
Pada pemeriksaan intraoral, lesi merah dan putih homogen multifokal terdapat
di mukosa bukal 1/3 posterior kanan dan kiri [Gambar 1a dan 1b] dan melibatkan
hampir semua palatum [Gambar 2]. Ada pertumbuhan verukosa di sisi kiri posterior
palatum durum, berukuran sekitar 2 cm × 1 cm sekitar 1 cm dari garis tengah
[Gambar 1a dan 1b], dengan gingiva terkait dengan mandibula kiri premolar ke-2 dan
molar ke-1, edentulous alveolus mandibula kiri sehubungan dengan molar ke-2 dan
ke-3 dan bagian posterior dari mukosa bukal kiri. Pada palpasi, sebagian besar lesi
konsistensinya keras. Lesi yang non-scrapable sedikit lembut.
Karena lesi dan verukosa bersifat multifokal, diagnosis sementara PVL dibuat
dengan diagnosis banding yang dipertimbangkan yaitu adalah kandidiasis hiperplastik
kronis, plak tipe lichen planus oral, dan karsinoma verukosa. Biopsi insisi dilakukan
41
dari dua situs berbeda, yang mengungkapkan epitel skuamosa berlapis
orthokeratinized yang menunjukkan pleomorfisme nuklear dan seluler hingga dua
pertiga dari epitel, pembentukan butir keratin juga terlihat pada lapisan superfisial
epitel. Perubahan pada rasio N:C bersama dengan mitosis yang abnormal memberikan
kesan displasia berat sehingga mengindikasikan leukoplakia verukosa.

Gbr.1a. Leukoplakia verukosa prolferatif pada


mukosa bukal kanan dan palatum

Gbr.1b. Lesi merah dan putih non-homogen


multifokal terdapat di mukosa bukal 1/3 posterior

42
Gbr. 2. Lesi pada palatum

Diskusi
Istilah PVL diperkenalkan oleh Hansen dan mengklasifikasikan proses
patologis PVL menjadi 10 grade yaitu, mukosa mulut normal (0), leukoplakia
homogen (2), hiperplasia verukosa (4), karsinoma verukosa (6), karsinoma sel
skuamosa papiler (8), dan karsinoma terdiferensisasi jelek (10), di mana skor ganjil
merujuk ke status intermediate antara yang dimaksud oleh skor-skor yang berdekatan.
Sifat proliferatif PVL dijelaskan atas dasar tingginya tingkat bidang kanserisasi, yang
terlihat pada pasien PVL. Juga telah dilaporkan bahwa biasanya jeda waktu antara
tampilan tumor baru pada pasien yang sama menunjukkan bahwa mungkin memiliki
etiologi infeksius yang kemungkinan virus. Berbagai peneliti seperti Palefsky dkk.
(1995), Gopalakrishnan dkk. (1997) dan Eversole (2000). Namun Bagan dkk. (2004)
mendeteksi keberadaan virus epstein-barr bukannya human papillomavirus dalam
persen yang besar dari kelompok pasien mereka yang menunjukkan perannya dalam
PVL.
Hanya ada dua penelitian, satu oleh Ghazali dkk. dan lainnya oleh Gandolfo
dkk. yang menerapkan kriteria diagnostik untuk kasus mereka masing-masing,
meskipun ini hanya suatu transkripsi dari definisi Hansen. Dengan demikian, Ghazali
dkk. menetapkan kriteria sebagai berikut [Tabel 1].
Dalam rangka untuk membuat diagnosis PVL, mereka mengusulkan bahwa salah satu
dari dua kombinasi kriteria berikut yang disebutkan pada Tabel 2 harus dipenuhi:
 Tiga kriteria mayor (terdapat E di antara mereka) atau
 Dua kriteria mayor (terdapat E di antara mereka) + dua kriteria minor
Penelitian terkontrol acak pada PVL masih kurang, dan karenanya data yang

43
dipublikasikan dari jenis kasus retrospektif atau laporan kasus saja. Tidak ada
tatalaksana efektif yang dilaporkan, dan kekambuhan telah terlihat bahkan setelah
pengobatan. Schoelch dkk. melaporkan pengobatan laser menggunakan laser CO2 dan
Nd:YAG, tetapi menemukan tingkat kambuh yang tinggi (83%). Feƫtig dkk. juga
menemukan bahwa lesi kambuh akibat eksisi pisau bedah atau laser, dan banyak
berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa atau oral verukosa .
Femiano dkk. melaporkan suatu uji coba terbuka dari operasi pada 25 kasus
dengan PVL dibandingkan dengan 25 kasus lainnya yang diobati dengan operasi dan
methisoprinol antivirus ketika methisoprinol tampaknya menawarkan manfaat yang
signifikan, tapi hasil penelitian ini belum dikonfirmasi dalam penelitian lain. Dengan
demikian, lesi dapat di kendalikan dengan operasi, laser karbondioksida, dan terapi
fotodinamik.

Kesimpulan :
PVL adalah suatu kondisi progresif jangka panjang, dan cenderung menjadi

multifokal dengan perburukan progresif pada lesi, sehingga membuatnya sangat sulit

untuk dikontrol. Menurut literatur-literatur yang dilaporkan, penggunaan tembakau

tampaknya tidak memiliki pengaruh signifikan pada tampilan atau perkembangan

PVL karena lesi ini dapat terjadi baik pada perokok dan bukan perokok. Saat ini,

etiologi , diagnosis dan tatalaksana PVL masih belum jelas, yang mana masih

retrospektif, lambat dan kurang terdefinisi.

44
Kasus 2
(Leukoplakia Idiopatik – Laporan suatu Kasus Langka dan Tinjauan, SheSha
PraSad, et al., 2016)
Seorang pasien laki-laki berusia 78 tahun mendatangi bagian rawat jalan,
dengan keluhan lesi putih pada batas lateral kanan lidah yang sudah berlangsung
selama satu bulan. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan oral/mulut
menunjukan adanya plak putih keabu-abuan homogen pada perbatasan ventrolateral
kanan berukuran 4 cm x 2,5 cm [Tabel/Gbr-1&2]. Permukaan menunjukkan tampilan
cracked mud dan pada palpasi lesi terasa seperti menonjol dan kasar. Lesi tidak
lembut dan non-scrapable. Bibir, mukosa bukal, faring, dan jaringan lunak tambahan
mulut tampak normal. Limfadenopati tidak ada. Pasien itu tidak sedang dalam
pengobatan apa pun juga tidak memiliki kebiasaan terkait dengan tembakau.
Pemeriksaan gigi menujukkan adanya mahkota pada gigi 11, gigi 12 gigi 13, gigi 14,
gigi 15, gigi 16, gigi 44, gigi 45, gigi 46, gigi 47, gigi 34, dan gigi 35. Tidak ada
margin tajam yang jelas pada palpasi mahkota tersebut. Diagnosis sementara
leukoplakia (idiopatik) masih dipertimbangkan.
Pemeriksaan darah rutin dilaporkan dalam batas normal. Pengujian perwarnan
toluidin blue negatif. Biopsi dan insisi direncanakan dilakukan dengan menyertakan
mukosa normal dan yang terkena/terganggu.
Mengingat usia pasien, keratosis traumatik atau friksional juga termasuk
didalamnya. Pengikisan gigi (teeth wear) pada orang tua dapat menyebabkan
friksional keratosis pada bagian lateral lidah. Pasien ini memiliki mahkota di kuadran
posterior kanan tanpa margin atau tepi tajam yang mengesampingkan diagnosis
keratosis traumatik atau friksional. Kandidiasis hiperplastik oral adalah diagnosis
berikutnya yang dipertimbangkan, yang juga sering terlihat pada orang tua dengan
berbagai obat yang mereka konsumsi dan diabetes mellitus yang sering menyebabkan
xerostomia. Pasien ini bukan merupakan penderita diabetes atau tida dalam
pengobatan apa pun. Mukosa tampak normal dan terhidrasi baik yang menyingkirkan
adanya kandidiasis.
Cedera kimia yang mengakibatkan pada suatu tampilan plak putih juga
dipertimbangkan. Biasanya riwayat obat atau pengobatan yang diaplikasikan secara
lokal di daerah lesi sangat positif. Kasus ini tidak menunjukkan adanya riwayat
tersebut. Biopsi insisi mengungkapkan fitur-fitur histologis yang konsisten dengan
epitel skuamosa berlapis hiperplastik dengan infiltrasi sel inflamasi intra epitel yang
45
konsisten dengan leukoplakia [Tabel/Gbr-3]. Diagnosis leukoplakia idiopatik yang
diperoleh didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan klinis. Eksisi lesi total dilakukan
dan laporan kembali konsisten dengan leukoplakia
Pasien difollow up sekali dalam empat bulan untuk memeriksa adanya
rekurensi. Pasien tidak memperlihatkan tanda-tanda rekurensi bahkan setelah satu
tahun setelah eksisi [Tabel/Gbr-4].

Gambar 1. Permukaan lesi pada bagian lateral

Gambar 2. Permukaan lesi pada Gambar 3. epitel hiperplastik Gambar 4. Tidak


terjadi rekurensi
bagian ventrolateral menunjukkan pembentukan
setelah satu tahun
keratin yang begranul dan pasien di follow up
infiltrasi sel

46
Diskusi
Leukoplakia idiopatik (IL) merupakan kondisi yang jarang ditemui, yang
harus dibedakan dari leukoplakia yang terkait dengan tembakau. Van der Waal dkk.,
dalam sebuah penelitian melaporkan leukoplakia idiopatik memiliki insidensi 36%.
Manifestasi klinis lebih sering muncul pada lidah tetapi dapat berkembang pada
gingiva. Sapna dkk., melaporkan leukoplakia idiopatik pada gingiva pada seorang
laki-laki berusia 40 tahun selama empat bulan. Lesi ini umumnya diamati selalu pada
pasien wanita dengan epitel displasia yang dapat kambuh dan memiliki
kecenderungan menjadi ganas. Vechio dkk., melaporkan kasus di mana leukoplakia
idiopatik menetap selma 1,2 tahun pada permukaan dorsal lidah pada wanita berusia
76 tahun, yang berubah menjadi leukoplakia verukosa proliferatif dan pada akhirnya
menjadi karsinoma sel skuamosa. Leukoplakia oral secara umum adalah suatu
gangguan yang berpotensi menjadi ganas dengan keseluruhan 1% di seluruh dunia.
0,3% terlihat pada populasi India. IL menunjukkan kecenderungan yang lebih besar
untuk menjadi ganas dan penelitian telah menunjukkan bahwa potensi menjadi ganas
berkisar dari 0,13% hingga 36,4%. Vaander Waal dan Arduino melaporkan bahwa lesi
pada batas lateral lidah pada usia lanjut, terutama pria India dianggap berisiko lebih
besar untuk karsinogenesis. Arduino juga melaporkan bahwa lesi pada permukaan
ventrolateral lidah menunjukkan risiko lebih besar aneuploidi dan hilangnya
heterozigositas yang merupakan perubahan paling awal menuju keganasan.
Lesi yang muncul pada pasien ini dianggap sebagai idiopatik karena pasien
tidak memiliki kebiasaan terkait dengan tembakau. Penyebab-penyebab lain seperti
gesekan, trauma dari gigi tajam, cedera kimia, kandidiasis disingkirkan. Kasus yang
dibahas oleh Vechio dkk., menunjukkan tanda-tanda metamorfosis menjadi bentuk
verukosa sedangkan kasus ini tidak menunjukkan tanda-tanda seperti metamorfosis.
Seperti dijelaskan dalam sejumlah penelitian oleh Vaander Waal dan Arduino, kasus
ini memiliki semua faktor risiko yang memerlukan eksisi total pada lesi. Durasi lesi
adalah sekitar tujuh minggu sebelum eksisi dan telah menunjukkan tanda-tanda
regresi. Biopsi insisi menunjukkan temuan histopatologi epitel parakeratosis
hiperplastik dengan tidak ada tanda-tanda displasia. Namun, tanda-tanda ringan
displasia tercatat dalam spesimen kedua setelah eksisi total. Kasus ini difollow up
selama satu tahun dan tercatat tidak ada rekurensi sampai sekarang.
IL dianggap sebagai pra-ganas atau lesi yang berpotensi menjadi ganas yang
lebih agresif dibandingkan oral leukoplakia. Karena kurang lazim terjadi,
47
diagnosisnya menimbulkan tantangan besar bagi para praktisi. Diagnosis IL terutama
didasarkan pada eksklusi. Diagnosis yang akurat dapat ditegakkan hanya berdasarkan
riwayat seperti kebiasaan terkait konsumsi tembakau, penyakit sistemik, obat-obatan
dan secara konklusif dengan pemeriksaan histologis yang berhubungan dengan
riwayat dahulu

Kesimpulan
Kasus IL jarang dilaporkan dalam literatur. Penelitian lebih lanjut
menguraikan penyebab IL, predisposisi genetiknya, alasan kenapa lidah sebagai
daerah yang sering terlibat, alasan di balik peningkatan menjadi keganasan bila
dibandingkan dengan bentuk terkait konsumsi tembakau, dan mengapa populasi lanjut
usia lebih sering terkena meskipun tidak ada paparan terus-menerus terhadap setiap
kebiasaan terkait dengan konsumsi tembakau perlu dibahas. Laporan dan analisis
yang luas diperlukan untuk menjawab kemungkinannya

48
Kasus 3
(Entitas yang tetap dari rongga mulut – Suatu laporan kasus dari leukoplakia
verukosa proliferatif dengan tinjauan literatur, Versha Rani Giroh, et al., 2016)
Seorang pasien wanita berusia 48 tahun datang ke bagian kedokteran mulut
dan radiologi dengan keluhan utama rasa terbakar/panas di mulut sejak 3 bulan. Rasa
terbakar/panas terjadi selama dan setelah makan yang secara bertahap meningkat
selama periode waktu. Tidak ada riwayat penting lainnya yang dilaporkan oleh pasien.
Riwayat medis, sosial, gigi dan keluarganya tidak ada yang signifikan. Ada riwayat
positif penggunan mishri (tembakau yang dibakar yang diletakkan di atas gigi) 2-3
kali sehari selama sekitar 10-15 menit dan kemudian mulut dibilas dengan air sejak 13
tahun terakhir. Pemeriksaan ekstra-oral tidak ada yang signifikan.
Pada pemeriksaan intraoral, plak homogen keputihan multifokal terlihat di
seluruh mukosa bukal kanan dan kiri. Pada mukosa labial atas, sebuah plak keputihan
terlihat membentang dari 21 - 25 dan dari mukosa labial ke vestibule bukal. Beberapa
bintik keputihan terlihat pada mukosa labial bawah terutama di sisi kiri. Tidak ada
keterlibatan mukosa palatal terlihat. Area hiperpigmentasi terlihat di mukosa bukal
sebelah kanan dan kiri dan mukosa labial atas dan bawah. Lesi tampak berkerut tanpa
area eritematosa. Konsistensi lesi adalah kasar. Tidak ada pendarahan. Kedua gingiva
atas dan bawah juga terkena. Beberapa plak homogen tebal putih terlihat meluas dari
gingiva marginal, papila interdental, melekat gingiva ke vestibule. Plak tampaknya
mengkerut tanpa tanda-tanda area erosif. Skor Skala Analog Visual (VAS) yang
ditemukan sebesar 7. (Gambar. 1, 2, 3, 4)

49
Gbr 1. Mukosa labial atas & ginggiva Gbr.2. Mukosa buccal kiri

Gbr.3. Mukosa buccal kanan Gbr.4. Mukosa labial bawah & ginggiva

Gbr.5a. Histopatologi dengan Gbr. 5b. Histopatologi dengan


Pembesaran10x pembesaran 40x

50
Gbr.6a, 6b, 6c, 6d. Follow up pasien pada saat awal

Gbr.7a, 7b, 7c, 7d. Follow up pasien setelah kunjungan berikutnya setelah 1
bulan

51
Atas dasar temuan klinis dan riwayat, diagnosis sementara leukoplakia
verukosa proliferasi dibuat karena lesinya multifokal yang melibatkan mukosa bukal,
mukosa labial dan gingiva.
Biopsi insisi dilakukan dari mukosa bukal kanan dan kiri yang
mengungkapkan epitel sel skuamosa berlapis dengan rete ridge yang lebih luas,.
Beberapa fitur displastik seperti hiperplasia sel basal, acanthosis dengan intercellular
bridge menonjol diamati. Gambaran keseluruhan merupakan sugestif leukoplakia
verukosa. (Gambar. 5)
Pasien disarankan dan dikonseling untuk menghentikan kebiasaan penggunan
mishri. Pengobatan simtomatik diberikan kepadanya yang meliputi:
• Cap.Aquasol (Dioleskan di atas lesi 2- 3 kali sehari sesudah makan)
• Mucopain gel (Dioleskan di atas lesi 2-3 kali sehari sebelum makan)
Pasien diminta melakukan kunjungan kembali setelah satu bulan; skor VAS berkurang
menjadi 2. (Gambar. 6 dan Gambar. 7). Pasien di follow up secara konstan dengan
interval 3 bulan.
Diskusi
PVL (Leukoplakia Verukosa Proliferatif) merupakan suatu lesi yang
pertumbuhannya lambat, multifokal dan persisten dengan atau tanpa exophytic.
Gangguan ini memiliki kecenderungan untuk kambuh dengan potensi keganasan lebih
tinggi sekitar 70- 100%. Pada tahun 2007, Cabay dkk. mendefinisikan sebagai suatu
bentuk klinis yang berbeda dari oral leukoplakia yang dengan perjalanan klinis
progresif, perubahan fitur klinis dan histopatologis, dan berpotensi untuk berkembang
menjadi kanker. Etiopatogenesisnya belum pasti namun terdapat hubungan dengan
human papiloma virus yang telah dinyatakan oleh Eversole dkk. pada tahun 2000.
Began dkk. (2007) tidak menemukan adanya hubungan antara human Papilloma virus
dengan PVL. Pada tahun 2008, ia juga mencoba untuk membuat hubungan antara
virus Epstein-Barr. Selain itu, Kresty dkk. pada tahun 2008 menemukan
penyimpangan dalam gen p161NK4a dan P14ARF. Sifat proliferatif dari PVL bisa
disebabkan oleh peningkatan TGF-alpha (Transforming growth factor-alpha), seperti
yang dinyatakan oleh Kannan dkk.
Terdapat kecenderungan perbedaan pada perempuan dan usia rata-rata pada
saat diagnosis adalah lebih dari 60 tahun. Situs yang terlibat adalah mukosa

52
pengunyahan, gingiva, palatum, alveolar dan mukosa bukal.
Dua penelitian yang dilakukan oleh Ghazali dkk. dan Gandolfo dkk.
mengusulkan kriteria diagnostik untuk kasus mereka masing-masing. Mereka
mengusulkan agar salah satu kombinasi kriteria berikut yang disebutkan di bawah ini
harus dipenuhi.
Kriteria diagnostik umum untuk PVL
• Lesi dimulai sebagai leukoplakia homogen
• Dengan berjalannya waktu, beberapa area leukoplakia menjadi
verukosa
• Penyakit tersebut berkembang dengan perkembangan lesi terisolasi
atau konfluen multipel di situs yang sama atau berbeda
• Dengan berjalannya waktu, penyakit ini berkembang melalui tahap-
tahap histopatologi berbeda yang dilaporkan oleh Hansen dkk.
• Munculnya lesi baru setelah pengobatan
• Periode follow up tidak kurang dari satu tahun
Pada tahun 2009, Gandolfo dkk. memodifikasi kriteria sebagai:
1. Awalnya lesi tidak berbahaya yang dikarakteristikkan dengan suatu plak
homogen yang berkembang dari waktu ke waktu menjadi exophytic, difus, biasanya
lesi multifokal dengan pola pertumbuhan epitel verukosa; dan
2. Secara histopatologis, perubahan-perubahan PVL terjadi secara bertahap dari
sutu plak hiperkeratosis sederhana tanpa displasia menjadi hiperplasia verukosa,
karsinoma verukosa, atau OSSC.
Cerero-Lapiedra dkk. pada tahun 2010 telah mengusulkan kriteria minor dan
mayor untuk diagnosis PVL. Untuk diagnosis, kriteria berikut harus dipenuhi.
• Tiga kriteria mayor (ada E di antara mereka) atau
• Dua kriteria mayor (ada E di antara mereka) + dua kriteria minor
A. Kriteria mayor
a. lesi leukoplakia dengan lebih dari dua situs oral yang berbeda, yang paling
sering ditemukan di gingiva, prosesus alveolar dan palatum
b. Keberadaan area verukosa
c. lesi telah menyebar atau menarik perhatian selama perkembangan penyakit
d. Terdapat kekambuhan pada area yang dirawat sebelumnya
e. Secara histopatologi, dapat berupa hiperkeratosis epitel sederhana tanpa displasia

53
hingga hiperplasia verukosa, karsinoma verukosa atau karsinoma sel skuamosa
oral, apakah in situ atau infiltrasi

B. Kriteria minor
a. Lesi leukoplakia oral yang menempati minimal 3 cm saat menambahkan semua
area yang terkena (kumulatif)
b. Pasien adalah perempuan
c. Non-perokok
d. Evolusi penyakit lebih dari 5 tahun
Baru-baru ini, Carrad dkk., 2013 menyatakan bahwa kriteria myor A tidak
harus mencakup mukosa keratin sebagai situs yang paling sering tetapi juga
mempertimbangkan situs apapun dari mukosa mulut dalam kriteria.
Dalam laporan kasus ini, tiga kriteria mayor yaitu. A, C dan E dan kriteria
minor yaitu. a, b dan c sebagaimana ditetapkan oleh Cerero-Lapiedra dkk. ditemui,
sehingga sugestif leukoplakia verukosa proliferatif.
Tatalaksana PVL menjadi sulit dengan prognosis yang buruk. Pendekatan
terapi ditemukan kurang efektif. Modalitas pengobatan meliputi penguapan laser
karbon dioksida, cryotherapy, radiasi, kemoterapi dan retinoid. Schoelch dkk.
menggunakan CO2 dan laser nd: YAG tetapi tingkat kekambuhan masih cukup tinggi
(83%). Telah ditemukan bahwa lesi dapat kambuh bahkan setelah melakukan eksisi
atau laser. Vitamin A, analog vitamin A, dan nutrisi antioksidan (vitamin C, E, dan
beta karoten), telah menunjukkan tidak ada efek menguntungkan bila digunakan
dalam dosis terapi.
Prognosis buruk dengan kekambuhan tinggi dan 86,7% tingkat keganasan
terlihat pada kasus PVL.
Kesimpulan
PVL adalah lesi yang sulit untuk didiagnosa dan diobati karena tampilan klinis
yang bervariasi, karakteristik histologis dan resisten terhadap pengobatan. Pengobatan
dini dan agresif untuk lesi ini dianjurkan karena pola pertumbuhan, tingkat
kekambuhan dan tingkat menjadi keganas yang tinggi. Follow up panjang dan
menyeluruh untuk pasien ini, menyingkirkan setiap perubahan bentuk, ukuran, warna,
serta munculnya lesi baru diperlukan. Lebih banyak penelitian terkontrol acak
diperlukan dalam bidang tatalaksana untuk PVL.

54
Kasus 4
(Leukoplakia dan eritroplakia: Perspektif dokter dan putusan histopatologis -
Studi retrospektif, S.V Sreelatha, et al., 2016)
Laporan patologis dari 20 kasus pasien diambil dan secara detail yang
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Gambaran klinis, yang dicatat, termasuk
usia, jenis kelamin, situs, diagnosis klinis, dan temuan histopatologi mereka.
Kehadiran displasia epitel yang dinilai menggunakan gradasi WHO 2005. Mereka
dinilai sebagai: displasia ringan epitel, displasia epitel moderat, displasia epitel parah,
dan karsinoma in situ.
Sebanyak 20 kasus yang dipilih untuk studi yang memenuhi kriteria inklusi.
Usia berkisar 27-77 tahun, dengan usia rata-rata terjadinya terlihat melibatkan 54
tahun. Kelompok usia sering terkena adalah 40-60 tahun. predileksi terlihat pada rasio
laki-laki dan perempuan sampai 7: 3. Tabel 1 merangkum distribusi usia pasien dalam
kelompok studi. Presentasi klinis terlihat melibatkan satu situs, sering terkena adalah
mukosa bukal dan selanjutnya lidah. Pada 3 pasien, ia mengamati bahwa ada beberapa
keterlibatan situs. Situs keterlibatan ditunjukkan pada Tabel 2.
Dalam presentasi klinis, dari 20 kasus, 12 disajikan dengan leukoplakia
homogen [Gambar 1], 5 makhluk eritroplakia, dan 3 berbintik leukoplakia.

gambar 1: Ini menunjukkan leukoplakia homogen pada mukosa bukal kanan

Laporan Histopatologi dari 12 kasus leukoplakia homogen menunjukkan


hiperkeratosis di 9/12 [Gambar 2], dan displasia epitel ringan terlihat pada 3/12
[Gambar 3]. Laporan Histopatologi dari 5 kasus eritroplakia didiagnosis sebagai

55
displasia ringan di 3/5, displasia berat pada 1/5, dan 1 kasus SCC dilaporkan (1/5)
[Gambar 4]. Laporan histopatologi dari 3 kasus leukoplakia berbintik didiagnosis
displasia epitel sebagai ringan di 2/3 dan displasia parah di 1/3 seperti yang
digambarkan dalam Tabel 3.

gambar 2: Hiperkeratosis tanpa disertai dysplasia

gambar 3: fitur displastik dilihat di basal dan lapisan sel suprabasal dari strati ed epitel skuamosa
(H dan E, × 400)

56
gambar 4: Karsinoma sel skuamosa: Ini menunjukkan displastik epitel menyerang jaringan
ikat (H dan E, × 100)

Diskusi
Leukoplakia didefinisikan sebagai “Sebuah plak putih dengan risiko
dipertanyakan setelah penyakit atau gangguan dikecualikan (lainnya) yang tidak
memberikan risiko untuk kanker yang dikenal.” Leukoplakia dapat ada pada setiap
lokasi di rongga mulut. Leukoplakia dapat dibagi secara klinis sebagai jenis homogen
(gemuk, kurus, seragam putih) dan jenis non-homogen. Jenis non-homogen
didefinisikan sebagai erythroleukoplakia/berbintik (lesi putih dan merah) yang tidak
teratur atau nodular. Leukoplakia memiliki tingkat prevalensi sekitar 2%. Laju
transformasi ganas pada leukoplakia mulut bervariasi antara studi, mulai dari <1%
sampai 20%
Eritroplakia didefinisikan sebagai “bagian merah yang tidak dapat ditandai
secara klinis atau patologis sebagai penyakit yang didefinisikan lainnya.” Presentasi
klinis menjadi gemuk atau tertekan dengan permukaan halus atau granular.

57
Leukoplakia non-homogen (' erythroleukoplakia") muncul sebagai gabungan lesi
merah dan putih. Faktor etiologi penting yang dianggap adalah penggunaan tembakau
dan alkohol. Studi yang dilakukan di Selatan-dan Tenggara-Asia melaporkan tingkat
prevalensi eritroplakia bervariasi di kisaran 0,02% dan 0,83%.
Konsep pembangunan kanker mulut menjadi proses dua langkah yang
kehadiran awal lesi prekursor yang kemudian berkembang menjadi kanker telah
diterima. Leukoplakia oral dan eritroplakia adalah lesi prekursor terkenal maka tujuan
kami adalah untuk mencari korelasi klinikopatologi lesi ini prekursor umum.
Dalam penelitian kami, ada presentasi peningkatan terlihat pada laki-laki
dibandingkan perempuan dengan rasio laki-laki untuk perempuan yang 7: 3. Studi
[10]
yang dilakukan oleh Liu et al., Dietrich et al., dan Misra et al. juga menunjukkan
peningkatan kejadian pada laki-laki. Alasan untuk kejadian yang lebih besar pada laki-
laki adalah karena peningkatan penggunaan tembakau pada laki-laki.
Kami menemukan bahwa sebagian besar kasus disajikan dengan lesi yang
melibatkan satu situs yang terlihat pada mukosa bukal paling umum dan kemudian di
perbatasan lateral lidah. Hasil serupa terlihat dalam studi yang dilakukan oleh Misra
et al. dan Lee et al. tapi tidak sesuai dengan hasil Liu et al., di mana situs umum
keterlibatan adalah lidah.
Dalam penelitian kami, kasus yang paling umum adalah leukoplakia homogen
(12) diikuti oleh eritroplakia (5) dan leukoplakia berbintik (3). Temuan histopatologi
leukoplakia homogen terutama hiperkeratosis diikuti oleh displasia epitel ringan.
Dalam kasus didiagnosis sebagai leukoplakia berbintik, studi histopatologi
menunjukkan displasia ringan dan berat, dan di eritroplakia kasus, diagnosis
histopatologis yang adalah displasia ringan epitel, displasia epitel parah, dan satu
kasus SCC. Sebuah studi yang dilakukan, pada tahun 2006, oleh Holmstrup et al.
menunjukkan, dari 236 pasien, ada 39 kasus leukoplakia homogen, 46 kasus yang
leukoplakia non-homogen, dan 9 kasus yang eritroplakia. Displasia epitel terlihat di
71% kasus. 20% dari leukoplakia non-homogen menunjukkan perkembangan ganas
dan hanya 3% dari homogen leukoplakia dikembangkan keganasan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar kasus yang disajikan leukoplakia sebagai
homogen sementara eritroplakia adalah jarang yang mirip dengan penelitian
sebelumnya. Lee et al. melakukan penelitian, di mana 1.046 pasien dipilih yang
didiagnosis sebagai leukoplakia lisan, 408 kasus hanya menunjukkan hiperplasia
epitel, dan/atau hiperkeratosis, 477 kasus disajikan dengan displasia epitel. Dari 477
58
kasus, 200 kasus menunjukkan displasia ringan, 234 menunjukkan moderat, 43
menunjukkan berat, dan 135 kasus menunjukkan SCC invasif. Insiden keganasan
dalam penelitian kami terlihat hanya dalam satu kasus yang dalam kasus eritroplakia.
Temuan di atas memerlukan kebutuhan untuk mengambil biopsi dan diagnosis
histopatologis dari kasus yang secara klinis didiagnosis sebagai leukoplakia berbintik
dan eritroplakia. Dalam penelitian kami, tembakau adalah satu-satunya kebiasaan
yang tercatat sejak itu penelitian retrospektif beberapa file tidak memiliki informasi
rinci tentang durasi dan frekuensi kebiasaan. Tembakau adalah yang paling umum dari
kebiasaan direkam.

tabel 2 : Keterkaitan
Kesimpulan
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kejadian leukoplakia dan
eritroplakia lebih tinggi pada laki-laki dengan perbandingan 7:3. Usia presentasi biasa
terlihat dalam dekade kelima. Presentasi klinis umum menunjukkan leukoplakia
homogen. Bukti histopatologi menunjukkan berbagai presentasi mulai dari
hiperkeratosis epitel displasia dari berbagai kelas untuk SCC frank. Oleh karena itu,
kami akan menekankan bahwa tindak lanjut dari pasien dan konseling mengenai
penghentian faktor risiko yang langkah-langkah yang akan diambil dan biopsi adalah

59
standar emas untuk diagnosis atau untuk menyingkirkan keganasan, terutama dalam
kasus-kasus eritroplakia dan leukoplakia berbintik-bintik

Kasus 5
(Eritroplakia Oral dan Leukoplakia Berbintik-Bintik: Analisis retrospektif dari
13 kasus Elaini Sickert Hosni, et al, 2009)
Penelitian ini merupakan penelitian kohort historis cross-sectional meninjau
17.831 file pasien dengan lesi stomatologi dibiopsi dari tahun 1978 sampai tahun
2006. Pasien dengan diagnosis klinis eritroplakia atau leukoplakia berbintik dipelajari
lebih lanjut untuk mengumpulkan data usia, jenis kelamin, tembakau dan konsumsi
alkohol, dan rasa sakit, situs, ukuran, durasi dan fitur histopatologi lesi. Statistik
deskriptif digunakan untuk analisis data.
Di antara 17.831 kasus dalam register biopsi, 13 memenuhi persyaratan untuk
dimasukkan dalam penelitian ini. Dua kasus didiagnosis dengan eritroplakia homogen
(Gambar 1) dan sebelas didiagnosis dengan leukoplakia berbintik (Gambar 2). Lesi ini
terdiri dari 0,072% lesi oral pada semua pasien yang terlihat dalam klinik stomatologi.
Tabel 1 menunjukkan data. Laki-laki mendominasi dalam proporsi 1:3.3. Usia 13
pasien berkisar 33-71 tahun; usia rata-rata adalah 57 tahun (SD - 13.08). Langit-langit
lunak terlibat dalam 77% eritroplakia dan kasus leukoplakia berbintik (10 pasien);
pada 70% lesi (7 kasus) juga melibatkan langit-langit keras atau pilar tonsillary.
Diameter lesi berkisar antara 1,5 cm sampai 4 cm, rata-rata 2,58 cm (SD - 0,87).
Nyeri, dengan atau tanpa disfagia dilaporkan pada 61,5% pasien; pasien yang tersisa
tanpa gejala.
Perokok 69,2% dari 13 pasien. Semua pasien yang tersisa memiliki riwayat
merokok, yaitu, telah merokok selama setidaknya lima tahun tapi telah berhenti
merokok selama periode di mana lesi berkembang. Konsumsi alkohol berlebihan
dilaporkan pada 46% pasien. Infeksi candida tumpang tindih dengan lesi yang diduga
pada 61,5% pasien; dalam kasus ini, obat kumur nistatin oral diresepkan sebelum
biopsi insisi..
Bahan biopsi diambil dari bercak putih dan merah saat ini yang ada bersamaan
pada lesi. Beberapa derajat displasia terlihat pada semua bercak merah. Diagnosis
histopatologi kasus leukoplakia berbintik adalah displasia epitel pada 27% (n = 3)
(Gambar 3) Kasus dengan karsinoma in situ pada 18% (n = 2) kasus, dan karsinoma
60
invasif pada 55% (n = 6 ) kasus. Diagnosis displasia epitel dalam dua kasus
eritroplakia homogen. Diagnosis histopatologi dari bagian eritroplasik dalam kasus
leukoplakia berbintik adalah karsinoma sel skuamosa kelas II; dalam kasus yang
sama, bagian leukoplasik didiagnosa menderita akantosis dan hiperkeratosis.
Reseksi bedah lesi dilakukan pada empat dari delapan pasien dengan diagnosis
karsinoma in situ atau invasif; radioterapi dilakukan pada empat kasus lainnya.
Reseksi bedah dilakukan pada dua pasien dengan diagnosis displasia epitel. Dua
pasien lain terus dipantau secara klinis; lesi ini menurun sebagian setelah berhenti
merokok. Satu pasien tidak kembali untuk perawatan.

gambar 1: eritroplakia homogen terletak di langit-langit lunak. biopsi insisi menunjukkan ulkus

gambar 2: leukoplakia berbintik terletak di langit-langit lunak dan keras. Ahli topathology
mengungkapkan acanthosis dan hiperkeratosis di daerah leukoplasic, dan karsinoma invasif di daerah
erythroplasic (panah)

61
Diskusi
Eritroplakia dan leukoplakia berbintik-bintik adalah lesi mulut yang jarang
terjadi. Dari tahun 1978 sampai tahun 2006, 13 kasus dibiopsi dari 17.831 pasien
dengan lesi stomatologi memiliki eritroplakia homogen atau leukoplakia berbintik-
bintik. Prevalensi lesi dalam penelitian ini di bawah 0,4% yang dilaporkan oleh
Mallo-Pérez et al., mempelajari pasien usia lanjut ditetapkan. Kami mengulas pasien
pada semua kelompok umur. Lapthanasupkul et al. menyelidiki lesi oral prekursor
dalam kelompok pasien Thailand dan menemukan tingkat prevalensi 0,17%; ini
karena perbedaan regional terutama merokok.
Hasil analisis fitur klinis lesi ini sama dengan temuan yang dipublikasikan
oleh peneliti lain dalam hal jenis kelamin dan gejala pasien dan preferensi untuk
langit-langit lunak; dalam penelitian kami, 10 dari 13 kasus menunjukkan lesi pada
situs ini. Delapan dari 13 pasien berusia antara 6 dan 8 dekade, dan dua pasien berada
dalam dekade 5 kehidupan; ini sama dengan hasil yang dipublikasikan lainnya untuk
eritroplakia oral dan leukoplakia berbintik-bintik. Lesi dikembangkan pada pasien
lebih muda dalam dua kasus (berusia 33 dan 39 tahun); kedua pasien adalah perokok
dan mengkonsumsi alkohol. Histopatologi dalam kasus ini menunjukkan karsinoma
sel skuamosa. Meskipun terdapat faktor risiko utama, lesi pada subjek lebih muda
juga berhubungan dengan faktor-faktor yang melekat seperti mutasi genetik.
Faktor risiko karsinoma mulut, seperti penggunaan alkohol dan merokok, diet
kurang antioksidan (seperti vitamin C, E, dan beta-karoten), paparan karsinogen,
infeksi virus, dan faktor genetik dan keturunan dapat mempengaruhi bagaimana lesi
prakanker menjadi mapan dan berkembang. Dalam penelitian, kami tidak dapat
menganalisis faktor-faktor risiko lain selain merokok dan alkohol, karena kami
melakukan penyelidikan retrospektif file, banyak yang tidak mengandung informasi
tersebut. Merokok adalah paling umum dari faktor-faktor di atas bahwa kita mampu
untuk melakukan studi; terdapat riwayat merokok dalam semua kasus. Konsumsi
alkohol berhubungan dengan 46% kasus. Tidak ada pasien yang memiliki riwayat
paparan pendudukan karsinogen.
Tergantung pada diagnosis histopatologi, pendekatan pada pasien dengan
eritroplakia atau leukoplakia berbintik akan memantau beberapa pasien secara klinis
dan untuk melaksanakan biopsi insisi periodik. Strategi ini diterapkan untuk dua
62
pasien kami, karena mereka menujukkan leukoplakia berbintik luas dan diagnosis
histopatologi adalah displasia epitel ringan. Pasien-pasien ini memenuhi terapi,
termasuk kunjungan periodik pulang, biopsi berurutan, dan penghentian merokok dan
konsumsi alkohol. Eksisi bedah adalah pengobatan pilihan yang dibuat oleh sebagian
besar profesional kesehatan; ini dilakukan pada enam dari 13 kasus. Pengobatan lain
diusulkan, seperti: asam retinoat topikal dengan sistemik beta-karoten; terapi
photodynamic dengan metil aminolevulinate; dan cryosurgery atau penguapan dengan
radiasi laser karbondioksida. Pendekatan ini juga mencakup penghentian faktor risiko.
Dalam kasus yang telah berkembang ke karsinoma, operasi (diikuti atau tidak dengan
radioterapi), radioterapi, dan kemoterapi adalah pendekatan biasa.
Reichart & Philipsen menyatakan bahwa homogen eritroplakia merah jelas,
sementara terminologi lesi campuran membingungkan; terdapat keraguan tentang
bagaimana mengukur bercak merah dan putih. Penulis juga menyarankan bahwa
riwayat alami eritroplakia homogen tidak diketahui; tidak jelas apakah lesi
berkembang de novo atau dari leukoplakia yang sudah ada sebelumnya. Seperti
ditunjukkan di atas, berbagai sebutan telah digunakan untuk menggambarkan
keberadaan bercak putih dan merah. Kami memilih istilah " leukoplakia berbintik"
dalam penelitian ini untuk standarisasi nomenklatur; istilah yang saat ini digunakan
oleh WHO.
Kesimpulan
Fitur klinis dan patologis lesi yang dianalisis dalam penelitian ini mendukung
data dalam penelitian yang diterbitkan lainnya. Meskipun prevalensi rendah,
eritroplakia homogen dan leukoplakia berbintik menunjukkan fitur histopatologi
mulai dari displasia epitel untuk karsinoma invasif. Ini membenarkan penempatan lesi
antara lesi oral dengan potensi ganas tertinggi. Selain itu, terlepas dari histopatologi
dan terapi, monitoring berkala pasien ini dan penghentian faktor risiko adalah
tindakan penting dalam kasus tersebut.

63
Kasus 6
(Leukoplakia dan eritroplakia mukosa oral. SC Boy, 2012 )
Leukoplakia
Leukoplakia adalah diagnosis klinik-patologis yang hanya dapat dilakukan
setelah pemeriksaan histologi jaringan. Lesi mukosa putih lainnya seperti keratosis
gesekan, lesi lichenoid, lichen planus dan penyakit autoimun lainnya berhubungan
dengan lesi putih (discoid lupus erythematosis), stomatitis nikotin, morsicatio,
keratosis kantong tembakau, leukoedema dan kandidiasis hiperplastik harus
dikeluarkan.
Leukoplakia dapat mempengaruhi lokasi mukosa apapun. Daerah berisiko
tinggi untuk transformasi maligna telah diidentifikasi sebagai dasar mulut, batas
lateral lidah dan langit-langit/area retromolar lembut. Secara klinis, dua jenis utama
leukoplakia diakui, yaitu: jenis homogen dan non-homogen. Leukoplakia homogen
datar, tipis dan memiliki warna putih seragam jelas atau secara pasti meniru cat putih
yang disikat ke mukosa (Gambar 1). Leukoplakia non-homogen adalah heterogen,
datar dengan tampilan merah dan putih berbintik, nodular dengan tampilan lebih
granular (Gambar 2) dipandang sebagai perkembangan kecil polypoid atau verrucous
seperti kutil, “keriput” atau tampilan bergelombang. Lesi non-homogen, terutama
erythroleukoplakia (Gambar 3) harus dikelola dengan hati-hati. Jenis sub leukoplakia
verrucous yang disebutkan secara khusus adalah proliferasi leukoplakia verrucous
(PVL). Diagnosis bentuk non-homogen leukoplakia hanya dapat dilakukan secara
retrospektif. Ini ditandai dengan riwayat panjang leukoplakia verrucous berulang
menyajikan di berbagai lokasi, terlihat terutama pada wanita yang lebih tua tanpa
riwayat tembakau dan paling penting (Gambar 4). PVL memiliki tingkat tinggi
transformasiganas.

64
gambar 1: leukoplakia homogen kecil di dasar mulut
gambar 2: leukoplakia nodular pada permukaan depan dari dasar lidah mulut dan tulang alveolar
gambar 3: erythroleukoplakia dari langit-langit lunak

Pada penemuan awal lesi putih, klinisi bertujuan untuk menemukan penjelasan
adanya lesi. Jika penyebabnya jelas, iritasi mekanik lokal dengan rusaknya pemulihan,
mengingat pasien dalam dua sampai empat minggu. jika tidak ada perubahan dalam
tampilan klinis lesi terlihat setelah masa tunggu atau jika tidak ada penjelasan untuk
kehadirannya dapat ditemukan di tempat pertama, diagnosis leukoplakia dibuat dan
biopsi wajib. Peran analisis histologis leukoplakia ada dua: (1) untuk mengecualikan
patologi lain yang bertanggung jawab atas lesi putih dan (2) untuk mengevaluasi
keberadaan dan tingkat displasia epitel dalam lesi.
Secara mikroskopis, leukoplakia dibagi menjadi dengan dan tanpa displasia
epitel. Displasia epitel didefinisikan oleh adanya fitur arsitektur dan sitologi abnormal
tetapi juga tidak adanya invasi oleh sel-sel ganas. Adanya dysplasia pada leukoplakia
diyakini berhubungan dengan probabilitas lebih tinggi untuk berubah menjadi kanker
mulut yang meningkat berdasarkan kelas. Lesi non-displastik juga dapat berubah
menjadi kanker tetapi keberadaan dan tingkat keparahan displasia lesi saat ini tetap
menjadi penanda prediktif terbaik yang tersedia. Tingkat mikroskopis displasia
subjektif dan substansial variasi antar dan intra-observer dalam penafsiran kelas atau
adanya displasia telah terbukti.

65
Klasifikasi WHO mengakui lima tahap dilihat dari displasia: hiperplasia
skuamosa, displasia epitel ringan, sedang dan berat dan karsinoma in situ. Sistem
biner membagi displasia epitel menjadi “berisiko rendah” (tidak
ada/dipertanyakan/displasia ringan) dan “berisiko tinggi” (displasia sedang atau berat)
melengkapi sistem WHO dan terbukti unggul dalam korelasi dan reproduktifitas
antara patolog. Dimasukkannya penanda molekuler dalam gradasi displasia diusulkan
tetapi kebanyakan patolog menggunakan penilaian mikroskopik hanya cahaya.

gambar A: Pasien dengan PVL m dengan leukoplakia non-homogen yang melibatkan beberapa daerah
anatomi. Gambar B: pasien yang sama dengan karsinoma sel skuamosa pada tahap berikutnya.

66
gambar 5: eritroplakia di jaringan lunak

Erythroplakia
Eritroplakia adalah PMD dengan risiko transformasi ganas tertinggi
didefinisikan sebagai “ bagian merah menyala yang tidak dapat ditandai secara klinis
atau patologis sebagai penyakit yang ditentukan lain”. Seperti halnya dengan
leukoplakia, diagnosis klinis eritroplakia tidak membawa konotasi mikroskopis dan
ini adalah diagnosis dengan pengecualian.
Eritroplakia biasanya terlihat pada orang dewasa lebih dari 45 tahun yang
paling sering melibatkan langit-langit lunak, dasar mulut atau mukosa bukal.
Kuantifikasi jumlah warna merah dibandingkan daerah putih pada lesi non-homogen
(“erythroleukoplakia” atau leukoplakia berbintik versus “leukoerythroplakia” atau
eritroplakia berbintik) berlebihan karena hampir semua PMD dengan area merah akan
menunjukkan displasia epitel berat atau karsinoma microinvasive pada penilaian
mikroskopis area ini. Jika merujuk pada definisi, eritroplakia menunjukkan sebagai
datar, beludru makula merah soliter, area eritematosa tertekan di bawah level mukosa
mulut sekitarnya atau sebagai bagian seperti plak (Gambar 5). Presentasi biasanya
soliter eritroplakia membantu untuk membedakannya lesi merah yang lebih umum
lainnya seperti lichen planus erosif dan kandidiasis eritematosa.

gambar 6: A)Pasien datang dengan eritroplakia (panah) pada permukaan ventral lidah. B: pasien yang
sama dengan lesi menunjukkan toluidin serapan biru (panah). C: Kehilangan fluoresensi (panah) pada
pemeriksaan Velscope.

Aspek penting dalam pengelolaan lesi pra ganas

67
Standar terbaik untuk diagnosis dan manajemen tetap penilaian histopatologi
biopsi dari lesi yang mencurigakan. Ini tergantung pada kualitas biopsi diperoleh,
informasi klinis berhubungan dengan ahli patologi, interpretasi biopsi oleh seorang
ahli patologi luas dalam histologi mukosa mulut dan patologi dan tindakan benar oleh
dokter.
Struktur mikroskopis mukosa mulut bervariasi pada berbagai wilayah dan apa
yang dianggap normal berdasarkan ketebalan epitel dan fitur pada keratinisasi mukosa
langit-langit mulut akan didiagnosis sebagai displasia ketika terdapat pada daerah
mukosa tipis, non-keratinisasi permukaan ventral lidah atau dasar mulut. Status gigi,
adanya setiap iritasi lokal (restorasi retak atau gigi palsu), penyakit sistemik atau
genetik, kebiasaan pasien (morsicatio), riwayat penggunaan tembakau (serta jenis
tembakau yang digunakan) merupakan aspek terpenting yang perlu dipertimbangkan
bersama-sama dengan pemeriksaan mikroskopis. Ahli patologi hanya dapat
mengkonfirmasi tidak ada patologi lain yang ada dan mengomentari kehadiran dan
tingkat displasia atau infiltrasi setelah menggunakan semua informasi di atas untuk
dipertimbangkan secara hati-hati.
Pemilihan Lokasi biopsy
Hal penting untuk memilih situs biopsi yang akan menjadi wakil epitel
patologi paling signifikan dalam mukosa pada waktu itu. Jika dokter merasa tidak
nyaman dengan praktek menggunakan biopsi, pasien harus dirujuk sebagai seleksi
untuk kemudahan akses oleh dokter yang tidak mewakili area dengan risiko tertinggi
transformasi ganas dengan mengikuti manajemen sebagai hasilnya. Beberapa biopsi
dianjurkan pada pasien dengan keterlibatan mukosa besar atau luas. Setiap sampel
harus disampaikan secara terpisah, wadah diberi label dengan jelas.
Alat bantu diagnostik paling umum yang digunakan diakui untuk membantu dokter
dalam pemilihan situs biopsi yang paling tepat termasuk kumur biru Toluidine dan
jaringan autofluorescence (VELscope). Toluidin biru adalah pewarna penting dimana
noda asam nukleat digunakan sebagai bantuan untuk mengidentifikasi kelainan
mukosal selama bertahun-tahun. Pada prinsipnya, semakin tinggi isi DNA sel,
pewarnaan biru jaringan setidaknya harus menjadi panduan keputusan klinisi.
Jaringan autofluorescence bersandar pada prinsip bahwa paparan jaringan dengan
panjang gelombang eksitasi tertentu menghasilkan autofluorescence fluorophores
seluler, dipandang sebagai warna neon hijau muda. Dalam kasus jaringan abnormal,
terjadi perubahan dalam konsentrasi fluorophores yang menghasilkan perubahan
68
warna yang diamati biasanya sebagai hilangnya fluoresensi hijau (Gambar 6). Teknik
ini memiliki sensitivitas rendah karena penyerapan zat warna dan hilangnya
fluoresensi dalam jaringan meradang dan ulserasi akibat kelainan non-neoplastik.
Penting untuk menyadari bahwa modalitas ini hanya dapat digunakan sebagai
tambahan berarti dalam armamentarium dokter yang kompeten untuk menafsirkan lesi
klinis yang ada dan tidak pernah digunakan sebagai alat skrining

69
BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan

Lesi prekanker adalah kondisi penyakit yang secara klinis belum menunjukkan tanda-
tanda yang mengarah pada lesi ganas, namun di dalamnya sudah terjadi perubahan-perubahan
patologis yang dapat menyebabkan terjadinya keganasan. Lesi ini merupakan suatu reaksi
akibat iritasi kronis yang secara mikroskopis dijumpai perubahan sel berupa metaplasia dan
displasia.
Leukoplakia dan eritroplakia secara tradisional dikenal sebagai dua “lesi prakanker
mukosa mulut”. Istilah “prakanker” mendefinisikan semua lesi diklasifikasikan seperti
memiliki “sifat prakanker” yang dapat menjadi keganasan. Beberapa faktor yang merupakan
etiologi dari lesi prekanker di rongga mulut adalah: (1). Faktor lokal, penggunaan tembakau
(menyirih/menyuntil, merokok), alkohol, oral hygiene buruk, iritasi gigi tiruan, kandidiasis,
sinar matahari; dan (2). Faktor sistemik, defisiensi vitamin, anemia kekurangan zat besi,
sipilis. Kedua faktor di atas saling berkaitan dan secara bersamaan sebagai agen/bahan yang
mengiritasi dan merangsang perubahan sel normal jaringan epitel ke bentuk abnormal.
Eritroplakia didefinisikan sebagai bercak merah seperti beludru, menetap, yang tidak
dapat digolongkan secara klinis. 3 varian klinis dari eritroplakia: Bentuk homogen, yang
merahnya tampak rata, mempunyai bercak-bercak merah yang bercampur dengan beberapa
daerah dan bercaknya mengandung bintik-bintik atau granula-granula putih yang menyebar di
seluruh lesinya.
Leukoplakia merupakan lesi putih keratosis berupa bercak atau plak pada mukosa mulut,
Etiologi leukoplakia belum diketahui dengan pasti sampai saat ini. Menurut beberapa ahli
klinik, predisposisi leukoplakia terdiri atas beberapa faktor yang multipel yiatu: faktor lokal,
faktor sistemik, dam malnutrisi vitamin. Leukoplakia merupakan lesi prakanker yang paling
banyak, yaitu sekitar 85% dari semua lesi prakanker. Terdapat dua tipe klinis leukoplakia,
yaitu homogen dan non- homogeny. Penanganan leukoplakia dapat dibagi menjadi 2 tindakan
yaitu penanganan medis dan penanganan operasi.
70
Prognosis leukoplakia sangat bagus dan deformitas akibat operasi juga bisa diminimalkan
bila penyakit ditemukan pada stadium awal.

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Azmi MG, Mustafa M, Ahmad A. Prevalence of oral mucosal lesions in psoriatic


patients: A controlled study; J Clin Exp Dent. 2012; 4(5): pp.e287-9
2. Cawson RA, Odell EW. Oral Phatology and Oral Medicine. 8 th ed. Oxford: Elseiver,
2008: 277-280
3. Eroschenko, V P, Atlas Histologi di Fiore, edisi 11. EGC, Jakarta, 2010
4. Hasibuan S. 2004. Prosedur deteksi dan diagnosa kanker rongga mulut.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1159/1/fkg-sayuti2.pdf . 7 Juni 2012
5. J.J Pindorg. Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Tangerang : Binarupa Aksara Publisher;
2009, pp.238, 248, 246
6. Laskaris G. Pocket Atlas of Oral Diseases. 2nd ed. New York: Thieme, 2006: 2-3, 54-
55
7. Leticia MG, Jose Ribamar SBJ, Maria Carmen FN. Clinical evaluation of oral lesions
associated with dermatologic diseases. An Bras Dermatol; 2010: 85(2): 151-2
8. Martin S. Greenberg, Michael Glick, Jonathan A. Ship. Burket’s Oral Medicine 11th
ed. India : BC Decker Inc; 2008, pp.42, 53-6, 66
9. Michael W. Finkelstein. A Guide to Clinical Differential Diagnosis of Oral Mucosal
Lesions. Continuing Education Course; Jully 2013:.3, 41
10. Nada M Suliman, Anne N Astrom, Raouf W Ali, Hussein Salman, Anne C
Johannessen. Oral Mucosal Lesions In Skin Diseased Patients Attending A
Dermatologic Clinic: A Cross-Sectional Study In Sudan. BMC J Oral Health; 2011: 4-
5
11. Overdoff, D., 2002, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi revisi, hal 150-153, Hendarton
Natadidjaja (eds), Fakultas Kedokteran, Universitas Tri Sakti, Jakarta
12. Pearce, C. Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedic. Jakarta : Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
13. Pratiwi, R. 2005. Perbedaan Daya Hambat Terhadap Streptococcus mutans dari
Beberapa Pasta Gigi yang Mengandung Herbal. Vol. 38 No. 2 April – Juni : Maj. Ked.
Gigi: 64 - 67
14. Rizal MI. Transkriptom Saliva untuk Deteksi Dini Kanker Mulut. JITEKGI 2011;
8(2):32-35
15. Robert PL, Craig SM. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Jakarta:
Hipokrates; 2012, pp.2-5
16. Soukos N. Oral Leukoplakia, Idiopathic. In Medscape Reference. 2008.
http://emedicine.medscape.com/article/853864-overview#showall (diakses 31
Desember 2016)
17. Kai HL, Ajith DP. Oral white lesions: pitfalls of diagnosis. MJA volume 190 number
5. 2009; 190: p. 276
72
18. Burket. Lesi merah dan lesi putih pada mukosa mulut. Dalam Ilmu Penyakit Mulut,
Diagnosis dan terapi. Alih Bahasa : Drg. P. P. Sianita Kurniawan. Edisi kedelapan.
1994: 299-316.
19. Hasibuan S. Deteksi Dini dan Diagnosis Kanker Rongga Mulut. USU Digital Library.
2004

20. Ramadhan AG. Serba-serbi kesehatan gigi & mulut. Jakarta: Bukune; 2010. h. 48
21. Pinborg, J.J. 1991. Kanker dan Prakanker Rongga Mulut, alih bahasa drg.Lilian
Yuwono.Ed.ke-1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 21-93,125..

73

Anda mungkin juga menyukai