Anda di halaman 1dari 3

Merawat Infrastruktur

Oleh Herry Vaza | Rabu, 4 Mei 2016 | 6:14

Herry Vaza, Penulis Kepala Pusjatan Balitbang


Kementerian PUPR

Berita Terkait
 Sektor yang Berkaitan dengan Infrastruktur
 Inkindo: Infrastruktur Harus Tahan Bencana
 Menyoal Penyelenggara Infastruktur dan Penyelenggara Siaran
 Jangan Kendor Bangun Infrastruktur
 Menkeu: Infrastruktur Bisa Menahan Perlambatan Ekonomi
Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu fokus utama pemerintahan Jokowi-JK. Sejumlah
proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan jembatan, sumber daya air, hingga energi
digenjot untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Anggaran yang disiapkan cukup besar. Pada 2016, anggaran yang difokuskan untuk membenahi
infrastruktur sekitar Rp 216 triliun.

Meskipun masih jauh dari target biaya infrastruktur yang diperkirakan mencapai Rp 5.000-6.000 triliun
untuk lima tahun, pemerintah terus melakukan pembangunan infrastruktur di kawasan-kawasan
pengembangan prioritas sebagai stimulan ekonomi.

Tidak hanya di Jawa, tapi juga di pulau-pulau lain, dari Sabang hingga Merauke. Dari pengembangan
infrastruktur tersebut, salah satu yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana sistem
perencanaan dan perawatan proyek-proyek infrastruktur tersebut.

Bukan sebuah kebetulan bila kita kerap disebut sebagai bangsa yang piawai membangun berbagai
bentuk proyek infrastruktur, tetapi kurang cakap dalam melakukan perawatan dan pemeliharaan.

Bisa dibayangkan bila ini benar- benar terjadi secara masif, infrastruktur yang sudah dirintis dengan
biaya besar dan kerja ekstra, hanya dalam beberapa tahun --sebelum mencapai umur teknisnya--
justru menjadi beban karena tidak ada perawatan dan pemeliharaan yang berarti sesuai standar yang
berlaku.

Manajemen Jembatan
Dari sekian banyak jenis infrastruktur, pembangunan dan perawatan jembatan merupakan salah satu
elemen yang paling vital. Seperti pada infrastruktur jembatan, manajemen pemeriksaan jembatan
sudah menggunakan sistem BMS (Bridge ManagementSystem) 1992. Sistem manajemen ini
dikembangkan Direktorat Jenderal Bina Marga pada 1992 untuk pelaksanaan manajemen jembatan
pada jalan nasional dan provinsi.

Melalui sistem tersebut, pemerintah dengan mudah melakukan pengawasan terhadap jembatan yang
berada di jalan nasional dan provinsi. Itu karena berbagai indikator teknis menjadi pertimbangan
dalam menilai peringkat (rating) dan rencana perawatan suatu jembatan.

Tapi selang lebih dari 25 tahun, BMS 1992 perlu ada penyempurnaan. Mengapa? Karena saat ini
telah terjadi berbagai perubahan signifikan yang secara langsung maupun tak langsung berpengaruh
kepada sistem penanganan jembatan.

Beban barang per km yang diangkut di Indonesia semakin meningkat sehingga menyebabkan
jembatan memburuk lebih cepat dari sebelumnya.

Belum lagi desentralisasi yang memindahkan berbagai kewenangan kebijakan dari pemerintah pusat
ke daerah. Imbasnya adalah pada jembatan. Sebab, pengelolaan anggaran untuk pembangunan
da pemeliharaan jembatan kemudian didelegasikan ke tingkat provinsi maupun kabupaten. Alhasil,
tidak semua provinsi atau kabupaten/ kota yang memandang BMS 1992 menjadi panduan penting
dalam sistem perencanaan dan perawatan jembatan.

Dari sisi BMS 1992 sendiri, elemen-elemen nonstruktural seperti pagar (railing) jembatan, dek aspal,
dan sebagainya menjadi bagian dan memberi kontribusi dalam pemeringkatan kondisi struktur
jembatan.

Padahal itu tidak secara langsung berkontribusi pada kegagalan struktur jembatan. Juga bagi
kebutuhan peningkatan kualitas dan kapasitas rekomendasi sebagai sistem peringatan dini serta
dasar dari pemrograman dan perencanaan jembatan.

Menurut Miyamoto, A et al (2009), sistem pengawasan jembatan harus memungkinkan tidak hanya
mengevaluasi kinerja jembatan, tetapi juga saran dan strategi rehabilitasi dengan memperhitungkan
keterbatasan dana yang tersedia untuk konstruksi/pemeliharaan jembatan. Sedangkan Ryall (2010)
menyatakan bahwa sistem manajemen jembatan harus memiliki masukan informasi yang relevan
tentang jembatan itu sebanyak mungkin.

Dua pendapat ahli tersebut dapat menjadi rujukan penting bahwa memang sistem manajemen
jembatan harus antisipatif terhadap perubahan pada sisi kebiasaan pengguna dan sisi struktural.
Modifikasi terhadap BMS 1992 menjadi penting, mengingat alasan-alasan tersebut. Sudah saatnya
pula BMS 1992 diperbarui agar bisa mengikuti perkembangan teknologi informasi.

Efektif dan Efisien


Di dunia, keruntuhan jembatan lebih banyak karena akibat bencana banjir (40%), beban berlebih
(25%), tidak teridentifikasi (13%), gerusan/scouring (7%), kurang pemeliharaan (6%), usia (3%), dan
selebihnya karena kesalahan manusia, kurangnya pengetahuan, serta kesalahan desain yang
masingmasing berkontribusi 1%.

Adapun di Indonesia, dengan jumlah jembatan sekitar 100 ribu yang didominasi jembatan gelagar
beton, modifikasi terhadap BMS 1992 dengan membuat penyederhaan sistem inspeksi jembatan
yang didukung peralatan instrumentasi, pemeriksaan melalui visual selama ini akan tervalidasi.

Dengan cara ini, pemeriksaaan jembatan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Lewat
sistem validasi tersebut, akurasi dalam pengumpulan data jembatan dan data lain yang relevan bakal
meningkat, sehingga perawatan jembatan lebih mudah dan terarah.
Lewat modifikasi ini, beberapa kendala dalam penggunaan system BMS 1992 yang ada, seperti
ketersediaan anggaran dan SDM, hasil pemeriksaan dalam menemukan elemen yang cacat dan
menentukan rating elemen yang bersifat subjektif dapat diminimalisasi.

Oleh karena itu, diusulkan memodifikasi sistem tersebut dengan pemanfaatan teknologi melalui
peralatan/instrumentasi. Dengan cara ini, hasilnya lebih andal, waktu lebih efisien, dan SDM yang
lebih sedikit. Bahkan, dalam beberapa tahapan, sistem tersebut dapat menggantikan inspeksi visual
atau menggeser waktu inspeksi. Untuk dapat menggunakan system modifikasi ini, inspektur dari
pemerintah daerah memerlukan kompetensi yang memadai untuk memberikan data inspeksi
jembatan yang baik, dengan menyediakan kursus inspeksi jembatan secara periodik yang dilakukan
pemerintah pusat.

Melalui inspeksi ini, elemen jembatan nilai ‘0’, dan ‘1’, yang dikategorikan ‘tidak ada cacat’ dan ‘cacat
kecil’, bisa dilewati untuk inspeksi visual berikutnya. Sedangkan untuk nilai ‘2’, ‘3’, dan ‘4’,
dikategorikan sebagai rusak, sehingga tingkat dan lokasi kerusakannya perlu diketahui dan
dibutuhkan inspeksi secara visual.

Cara yang lebih efektif dan efisien dalam menentukan nilai elemen struktural dari modifikasi BMS
1992 dapat menjadi alternatif basis sistem pemeliharaan jembatan pada masa mendatang.

Pemerintah daerah juga dapat menyediakan anggaran pemeliharaan jembatan yang lebih tepat dan
efisien sehingga anggaran infrastruktur dapat digunakan lebih luas lagi. Tentu kita tidak ingin terjadi
jembatan ambruk gara-gara kurangnya pengawasan dan pemeliharaan.

*) Penulis Kepala Pusjatan Balitbang Kementerian PUPR

Anda mungkin juga menyukai