Anda di halaman 1dari 6

Nama : Rio Samuel Sinarta Sinurat

NIM : 26922001
Tugas : Manajemen Aset Jalan

Soal : Apabila ada pemeliharaan jalan dengan KPBU, coba identifikasikan apa resiko yang
terjadi dan siapa yang akan menanggung resikonya.

Jawab : Menurut pendapat saya, berdasarkan Surat Edaran Direktur Jendral Bina Marga
Nomor 13/SE/Db/2021 tentang Manual Manajemen Proyek KPBU-AP Preservasi Jalan yaitu
Manual ini dapat digunakan sebagai petunjuk pelaksanaan oleh Para Pelaksana Kegiatan
Preservasi Jalan dengan Skema KPBU-AP. Dalam pelaksanaannya, BUP, PJPK, Tim
Pemantauan dan Tim Pengelolaan (di bawah koordinasi Balai) merupakan pengguna utama
manual ini serta perlu mengidentifikasi beberapa sektor dan bagian yang memerlukan
pengembangan dan perbaikan. Dengan diterbitkannya MMP KPBU ini, Para Pelaksana
Kegiatan Preservasi Jalan dengan Skema KPBU-AP, didorong untuk melaksanakan
manajemen kegiatan dengan baik agar persiapan dan pelaksanaan Proyek KPBU dapat
diselesaikan dengan tertib administrasi. Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU)
adalah manual manajemen proyek yang dijadikan acuan oleh para penyelenggara KPBU agar
dapat melaksanakan proyek tepat waktu, tepat mutu, tepat biaya, berwawasan lingkungan, dan
tertib administrasi.

Hampir sekitar 50% sumber pendanaan untuk program penyelenggaraan jalan periode 2020-
2024 berasal dari APBN Ditjen Bina Marga yang dialokasikan untuk pembangunan dan
preservasi jalan nasional berikut kegiatan dukungan manajemen dan teknisnya. Sumber
terbesar kedua adalah dari skema KPBU/PINA sekitar 30% yang dialokasikan untuk kegiatan
pembangunan, preservasi, dan pengoperasian jalan bebas hambatan (tol) serta pembangunan
jembatan bentang panjang dengan mekanisme pengembalian investasi melalui user pay/tol.
Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) Availability Payment (AP) yang
berbasis kinerja yang mendorong kinerja pemeliharaan jalan perlu diperluas. Skema KPBU-
AP juga mendukung kualitas jalan melalui keterpaduan penyelenggaraan jalan dan
pengoperasian jembatan timbang untuk mengendalikan perilaku pembebanan berlebih di jalan
(Over Dimension Over Loading).
Dengan terbatasnya anggaran dalam Preservasi Jalan, Ditjen Bina Marga mengusulkan
preservasi beberapa ruas jalan nasional non tol dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha (KPBU). Berdasarkan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan
Infrastruktur jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal termasuk salah satu infrastruktur
yang dapat dilakukan dengan menggunakan skema KPBU. Metode pengembalian investasi
yang ditetapkan untuk penyelenggaraan jalan non tol adalah dengan menggunakan Pembayaran
Ketersediaan Layanan atau Availability Payment (AP). Melalui metode KPBU AP ini risiko
pendapatan berada di Pemerintah, sehingga ada kepastian tingkat pengembalian investasi bagi
Badan Usaha Pelaksana (“BUP”). Hal ini sejalan dengan kondisi jalan nasional non tol yang
tidak menghasilkan pendapatan dari masyarakat pengguna jalan.

Tujuan skema KPBU dengan mekanisme Pembayaran Ketersediaan Layanan adalah agar BUP
dapat menyelesaikan kegiatan preservasi infrastruktur jalan nasional non tol dengan tepat
waktu, tepat biaya dan menghasilkan aset infrastruktur jalan sesuai dengan kualitas yang
dipersyaratkan dalam perjanjian KPBU. Besaran Pembayaran Ketersediaan Layanan dapat
dikurangi jika BUP tidak memenuhi indikator kinerja yang telah ditetapkan. Pada akhir masa
layanan, BUP bertanggung jawab untuk menyerahkan aset infrastruktur jalan nasional non tol
dalam kondisi yang baik dan layak untuk diteruskan masa operasinya sebagaimana diatur
dalam perjanjian KPBU. Jalan Nasional Non Tol yang diajukan untuk menggunakan skema
KPBU dengan metode pengembalian investasi berupa Pembayaran Ketersediaan Layanan
memiliki beberapa kriteria, yaitu:
a. Jalan non tol yang terpilih merupakan lintas utama pertumbuhan ekonomi nasional, atau
jalan nasional yang merupakan misi utama untuk pertahanan nasional;
b. Jalan non tol yang pembangunan dan/atau pemeliharaannya membutuhkan tingkat
manajerial yangmumpuni sehingga tercapai efisiensi yang tinggi; dan
c. Jalan non tol yang memerlukan peningkatan pelayanan yang efektif menopang fungsi
utamanya, terutama dalam konsistensi dan ketersediaannya (segera dan berkelanjutan).

Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (KPBU)


merupakan kerjasamaantara Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya
oleh Menteri, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan
memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. KPBU sendiri bertujuan untuk:
a. Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam Penyediaan Infrastruktur
melalui pengerahan dana swasta;
b. Mewujudkan penyediaan infrastruktur yang berkualitas, efektif, efisien, tepat sasaran, dan
tepat waktu;
c. Menciptakan iklim investasi yang mendorong keikutsertaan Badan Usaha dalam penyediaan
infrastrukturberdasarkan prinsip usaha secara sehat;
d. Mendorong digunakannya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam
hal tertentumempertimbangkan kemampuan membayar pengguna; dan/atau
e. Memberikan kepastian pengembalian investasi Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
melaluimekanisme pembayaran secara berkala oleh Pemerintah kepada Badan Usaha.

Struktur Manajemen Risiko di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan


Rakyat terdiri atas Unit Pemilik Risiko (UPR), Unit Kepatuhan Internal (UKI), dan Inspektorat
Jenderal. UPR pada Kegiatan Preservasi Jalan Lintas Timur Sumatera dengan Skema KPBU,
terdiri atas 4 tingkat yaitu:

1. Tingkat Kementerian disebut UPR Kementerian


a. Pemilik Risiko: Menteri
b. Pengelola Risiko: Sekretaris Jenderal

2. Tingkat Unit Organisasi (Eselon I) disebut UPR-T1;


a. Pemilik Risiko: Pejabat Pimpinan Tinggi Madya Unit Organisasi
b. Pengelola Risiko: Sekretaris Unit Organisasi

3. Tingkat Unit Kerja Eselon II atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) setingkat Eselon II/Eselon
III disebut UPR-T2;
a. Pemilik Risiko: Pimpinan Unit Kerja Eselon II atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) tingkat
Eselon II/Eselon III.
b. Pengelola Risiko: Pejabat yang ditunjuk oleh Pimpinan Unit Kerja Eselon II atau Unit
Pelaksana Teknis.

Tugas dan tanggung jawab Unit Pemilik Risiko meliputi:


a. Menetapkan register risiko dan rencana respon berdasarkan sasaran organisasi;
b. Melaksanakan, memantau, dan mereviu penerapan Manajemen Risiko;
c. Menyusun Laporan Penerapan Manajemen Risiko dan menyampaikan secara berjenjang
kepada pimpinantingkat lebih tinggi dengan tembusan kepada UKI dan Inspektorat Jenderal;
d. Mengintegrasikan manajemen risiko ke dalam pencapaian kinerja dengan menetapkan dan
mendelegasikanpelaksanaan respon;
e. Melakukan monitoring dan evaluasi atas efektivitas penerapan Manajemen Risiko dalam
lingkup unit kerja UPR yang bersangkutan; dan
f. UPR - T1 dapat membentuk UKI UPT apabila diperlukan.

4. Tingkat Satuan Kerja dibawah Unit Pelaksana Teknis disebut UPR-T3. Pemilik dan
Pengelola Risiko adalahKepala Satuan Kerja.

Tugas dan tanggung jawab Unit Pemilik Risiko meliputi:


a. Menetapkan register risiko dan rencana respon berdasarkan sasaran organisasi;
b. Melaksanakan, memantau, dan mereviu penerapan Manajemen Risiko;
c. Menyusun Laporan Penerapan Manajemen Risiko dan menyampaikan secara berjenjang
kepada pimpinantingkat lebih tinggi dengan tembusan kepada UKI dan Inspektorat Jenderal;
d. Mengintegrasikan manajemen risiko ke dalam pencapaian kinerja dengan menetapkan dan
mendelegasikanpelaksanaan respon;
e. Melakukan monitoring dan evaluasi atas efektivitas penerapan Manajemen Risiko dalam
lingkup unit kerja UPR yang bersangkutan; dan
f. UPR - T1 dapat membentuk UKI UPT apabila diperlukan.

Berkaitan dengan Kegiatan Preservasi Jalan Lintas Timur Sumatera dengan Skema KPBU,
potensi peristiwa risikoberdasarkan Perjanjian Kerja Sama antara lain:
1. Risiko kegagalan penyerahan tanah lokasi proyek;
2. Risiko kegagalan menyelesaikan pekerjaan Perencanaan Teknis (RTT);
3. Risiko kegagalan menyelesaikan pekerjaan konstruksi;
4. Risiko kegagalan pemenuhan Indikator Kinerja Jalan (IKJ);
5. Risiko kejadian Cidera Janji Badan Usaha;
6. Risiko keterlambatan pembayaran Ketersediaan Layanan (AP);
7. Risiko kejadian Cidera Janji PJPK;
8. Risiko kejadian Cidera Janji akibat Kahar; dan
9. Risiko kegagalan menyerahkan Jaminan Serah Terima dari BUP untuk memenuhi
kewajibannya dalam melaksanakan perbaikan dan/atau perkuatan struktur jalan dan Fasilitas
UPPKB yang diwajibkan, sebelum serah terima akhir pekerjaan.

Identifikasi Risiko dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1) Identifikasi Risiko dari UPR tingkat lebih tinggi relevan untuk ditetapkan sebagai Risiko
sesuai tugas dan fungsi UPR yang bersangkutan (top-down), dengan mekanisme sebagai
berikut:
a. Apabila sasaran organisasi dan Risiko UPR tingkat lebih tinggi relevan bagi UPR
bersangkutan sesuai tugas dan fungsinya, sasaran organisasi dan Risiko UPR tingkat lebih
tinggi ditetapkan dalam register risiko UPR bersangkutan.
b. Apabila sasaran organisasi UPR tingkat lebih tinggi tidak relevan, namun Risikonya relevan
bagi UPR bersangkutan sesuai tugas dan fungsinya, Risiko UPR tingkat lebih tinggi ditetapkan
dalam register risiko UPR bersangkutan.

2) Identifikasi Risiko berdasarkan sasaran organisasi UPR yang bersangkutan dengan


mengidentifikasi kejadian, penyebab, dan dampak Risiko dengan merujuk antara lain:
a. Laporan hasil pengawasan/pemeriksaan internal, eksternal, dan Aparat Penegak Hukum
yaitu berkaitandengan informasi kerugian, pelanggaran, kegagalan, atau kesalahan pada suatu
organisasi;
b. Laporan Loss Event Database (LED), yaitu dokumen yang berisi catatan kejadian kerugian
yang pernahterjadi baik pada tahun berjalan maupun tahun sebelumnya;
c. Pendapat ahli, yaitu pandangan dari ahli terkait suatu Risiko;
d. Data pembanding (Benchmark data), yaitu data terkait Risiko tertentu dari UPR atau
organisasi lain yangrelevan; dan
e. Setiap Sasaran Organisasi harus memiliki minimal 1 (satu) kejadian Risiko dan 1 (satu)
kejadian Risikohanya dapat digunakan pada satu Sasaran Organisasi.

3) Identifikasi Risiko berdasarkan masukan atau register risiko UPR level di bawahnya
(bottom-up). UPR dapat mengusulkan suatu Risiko dinaikkan menjadi Risiko pada UPR yang
lebih tinggi apabila Risiko tersebutmemerlukan koordinasi antar UPR selevel dan/atau Risiko
tersebut tidak dapat ditangani oleh UPR tersebut. Pengusulan Risiko yang akan dinaikkan
menjadi Risiko pada UPR yang lebih tinggi (bottom-up) sebagaiberikut:
a. Pemilik Risiko mengusulkan Risiko yang akan dinaikkan kepada Pengelola UPR yang lebih
tinggi.
b. Pengelola UPR yang lebih tinggi menyampaikan analisis untuk pertimbangan penetapan
Risiko tersebutoleh Pimpinan UPR.
c. Pemilik Risiko menetapkan diterima atau tidaknya usulan tersebut.

4) Identifikasi Risiko terkait kegiatan atau paket pekerjaan konstruksi dilakukan sesuai lingkup
dan durasipelaksanaan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Dalam hal kegiatan berdurasi kurang dari 1 (satu) tahun, Risiko diidentifikasi sesuai rencana
pelaksanaandalamperiode tersebut.
b. Dalam hal kegiatan berdurasi lebih dari 1 (satu) tahun (tahun jamak), Risiko diidentifikasi
setiap tahunsesuai rencana pelaksanaan tahunan
c. Risiko atas kegiatan yang berdurasi paling sedikit 6 (enam) bulan dituangkan dalam register
risiko UPR;
d. Risiko yang berdurasi kurang dari 6 (enam) bulan dapat tidak dituangkan dalam register
risiko UPR,namun harus tetap dikelola oleh unit pelaksana kegiatan terkait.

Anda mungkin juga menyukai