Anda di halaman 1dari 12

BIOGRAFI

RHOMA IRAMA
SANG RAJA DANGDUT

Disusun Oleh :
Asep Ervandi
Kelas : XI IPA-2

SMA NEGERI 5 GARUT


Jl. Cikopo – Pameungpeuk – Garut
2017

1
2
Profil dan Biografi Rhoma Irama.
Dalam dunia musik tanah air,
khususnya musik dangdut, Nama
Rhoma Irama sudah tidak asing lagi
ditelinga orang-orang. Ia dikenal
sebagai Raja Dangdut Indonesia
karena piawai dalam menyanyikan
musik dangdut. Raden Oma Irama
yang populer dengan nama Rhoma Irama lahir di Tasikmalaya, 11
Desember 1946, Pria ‘ningrat’ ini merupakan putra kedua dari
empat belas bersaudara, delapan laki-laki dan enam perempuan
(delapan saudara kandung, empat saudara seibu dan dua saudara
bawaan dari ayah tirinya). Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya,
seorang komandan gerilyawan Garuda Putih, memberinya nama
‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara Irama Baru asal
Jakarta yang pernah diundangnya untuk menghibur pasukannya di
Tasikmalaya. Sebelum pindah ke Tasikmalaya, keluarganya tinggal di
Jakarta dan di kota inilah kakaknya, Haji Benny Muharam dilahirkan.

Kehidupan Rhoma Irama


Sebelum pindah ke Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan
di kota inilah kakaknya, Haji Benny Muharam dilahirkan. Setelah
beberapa tahun tinggal di Tasikmalaya, keluarganya termasuk

1
kakaknya, Haji Benny Muharam, dan adik-adiknya, Handi dan Ance,
pindah lagi ke Jakarta lalu tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri,
kemudian pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di sinilah mereka
menghabiskan masa remaja sampai tahun 1971 lalu pindah lagi ke
Tebet.
Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya
terhenti setiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-
lagu. Masuk kelas nol, ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada
lagu semakin besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2
SD, ia sudah bisa membawakan lagu-lagu Barat dan India dengan
baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan ibunya,
dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Lata
Maagiskar. Selain itu, ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah
yang dinyanyikan Umm Kaltsum.
Munculnya bakat bermusik
Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih
memainkan seruling dan menyanyikan lagu-lagu Cianjuran, sebuah
kesenian khas Sunda. Selain itu, pamannya yang bernama Arifin
Ganda suka mengajarinya lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih
kecil. Pengalamannya menyanyikan lagu-lagu India sewaktu masih
sekolah dasar, lagu-lagu pop dan rock Barat hingga akhir 1960-an
lalu beralih ke musik Melayu, menjadikan lagu dan musik yang
dibawakannya di atas panggung lebih dinamis, melodis dan menarik.

2
Karena usia Rhoma dengan kakaknya Benny tidak berbeda jauh,
mereka selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan
kakaknya yang lebih sering malas ikut mengaji di surau atau rumah
kyai, Rhoma selalu mengikuti pengajian dengan tekun. Setiap kali
ayah ibunya bertanya apakah kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu
menjawab ya. Ke sekolahpun mereka berangkat bersama-sama.
Dengan berboncengan sepeda, keduanya berangkat dan pulang ke
sekolah di SD Kibono, Manggarai.
Di bangku SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma
adalah murid yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas
untuk menyanyi. Dan uniknya, Rhoma tidak sama dengan murid-
murid lain yang suka malu-malu di depan kelas. Rhoma menyanyi
dengan suara keras hingga terdengar sampai ke kelas-kelas lain.
Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma tidak
menyanyikan lagu anak-anak atau lagu kebangsaan, melainkan lagu-
lagu India.
Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian penyanyi senior,
Bing Slamet karena melihat penampilan Rhoma yang mengesankan
ketika menyanyikan sebuah lagu Barat dalam acara pesta di
sekolahnya. Suatu hari ketika Rhoma masih duduk di kelas 4, Bing
membawanya tampil dalam sebuah show di Gedung SBKA (Serikat
Buruh Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan pengalaman yang
membanggakan bagi Rhoma.

3
Sejak itu, meski belum berpikir untuk menjadi penyanyi, Rhoma
sudah tidak terpisahkan lagi dari musik. Dengan usaha sendiri, ia
belajar memainkan gitar hingga mahir. Karena saking tergila-gilanya
dengan gitar, Rhoma sering membuat ibunya marah besar. Setiap
kali ia pulang sekolah, yang pertama dia cari adalah gitar. Begitu pula
setiap kali ia keluar rumah, gitar hampir selalu ia bawa.
Pernah suatu kali, ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi
Rhoma lebih suka memilih bermain gitar. Akibat ulahnya itu, ibunya
merampas gitarnya lalu melemparkannya ke arah pohon jambu
hingga pecah. Kejadian itu membuat sedih Rhoma karena gitar
adalah teman nomor satu baginya.
Musik dan Rhoma Irama
Dalam perkembangannya dalam mendalami musik, Rhoma mulai
menyadari bahwa meskipun ayah dan ibunya – pasangan berdarah
ningrat – adalah penggemar musik, mereka tetap menganggap dunia
musik bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan atau dijadikan
sebuah profesi. Ibunya sering meneriakkan ‘berisik’ setiap kali ia
menyanyi dan beranggapan bahwa musik akan menghambat
sekolahnya. Kenyataan ini membuat bakat musik Rhoma justru
semakin berkembang dari luar rumah karena di dalam rumah ia
kurang mendapat dukungan.
Sewaktu Rhoma masih kelas 5 SD tahun 1958, ayahnya meninggal
dunia. Sang ayah meninggalkan delapan anak, yaitu, Benny, Rhoma,

4
Handi, Ance, Dedi, Eni, Herry, dan Yayang. Ketika kakaknya, Benny
masih duduk di kelas 1 SMP, ibunya menikah lagi dengan seorang
perwira ABRI, Raden Soma Wijaya, yang masih ada hubungan famili
dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya ini membawa dua anak dari
istrinya yang terdahulu dan setelah menikah dengan Ibu Rhoma,
sang ibu melahirkan dua anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup, suasana di rumahnya feodal.
Sehari-hari ayah dan ibunya berbicara dengan bahasa Belanda.
Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tata krama
tertentu. Para pembantu harus memanggil anak-anak dengan
sebutan Den (raden). Anak-anak harus tidur siang dan makan
bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan menghukum mereka
dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan, misalnya
bermain hujan atau membolos sekolah.
Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong
cukup kaya bila dibandingkan dengan masyarakat sekitar.
Rumahnya mentereng dan mereka memiliki beberapa mobil seperti
Impala, mobil yang tergolong mewah di zaman itu. Rhoma juga selalu
berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal itu tidak lagi kental setelah ayah tiri-nya
hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan dari ayah tiri inilah,
di samping pamannya, Rhoma mendapat ‘angin’ untuk menyalurkan

5
bakat musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat-alat
musik akustik berupa gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya dunia
musik. Rhoma juga suka adu jotos dengan anak-anak lain.
Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat
itu cenderung mengelompok dalam geng, dan satu geng dengan geng
lainnya saling bermusuhan, atau setidaknya saling bersaing. Dengan
demikian, perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.
Di Bukitduri tempat tinggalnya, hampir setiap kampung di daerah itu
terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukit
Duri Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan
sebagainya. Dari Bukitduri Puteran, dan dari Manggarai banyak anak
muda yang bergabung dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling
bermusuhan sehingga keributan selalu hampir terjadi setiap kali
mereka bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah teman-
temannya hampir selalu menjadikan Rhoma sebagai pemimpin.
Tentu saja, bila gengnya bentrok dengan geng lain, Rhomalah yang
diharapkan tampil paling depan, untuk berkelahi. Meskipun pernah
menang beberapa kali, Rhoma juga sering mengalami babak belur,
bahkan pernah luka cukup parah karena dikeroyok 15 anak di
daerah Megaria.

6
Ketika ia masuk SMP, tempat-tempat berlatih silat semakin marak.
Tetapi, bagi Rhoma, ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing, karena
sejak kecil ia sudah mendapat latihan dari ayahnya dan beberapa
guru silat lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat
Betawi dan Cimande) pada Pak Rohimin di Kebun Jeruk, Jakarta
Barat. Rhoma juga pernah belajar silat Sigundel di Jalan talang, selain
beberapa ilmu silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng,
para anggota geng saling menjajal ilmu silat yang telah mereka
pelajari.
Karena kebandelannya itulah maka Rhoma beberapa kali harus
tinggal kelas, sehingga karena malu maka ia acapkali berpindah
sekolah. Kelas Tiga SMP dijalaninya di Medan. Ketika itu ia dititipkan
di rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian ia sudah
pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.
Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Sewaktu
bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas
lewat jendela karena ingin bermain musik dengan teman-temannya
yang sudah menunggunya di luar. Kegandrungannya pada musik dan
berkelahi di luar dan dalam sekolah membuatnya acapkali keluar
masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah
tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, St Joseph di Solo, dan
akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, tak jauh dari
rumahnya.

7
Rhoma Irama Menjadi Pengamen Jalanan
Di masa SMA lah Rhoma sempat melewati masa-masa sangat pahit.
Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan Kota Solo. Di sana dia
ditampung di rumah seorang pengamen bernama Mas Gito.
Sebenarnya, sebelum ‘terdampar’ di Solo, ia berniat hendak belajar
agama di Pesantren Tebuireng Jombang. Namun, karena tidak
membeli karcis, Rhoma, Benny kakaknya, dan tiga orang temannya,
Daeng, Umar, dan Haris harus main kucing-kucingan dengan
kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus gelisah karena
takut ketahuan lalu diturunkan di tempat sepi, mereka akhirnya
memilih turun di Stasiun Tugu Jogja. Dari Jogja, mereka naik kereta
lagi menuju Solo.
Di Solo, Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya
sekolah diperolehnya dari mengamen dan menjual beberapa potong
pakaian yang dibawanya dari Jakarta. Namun, karena di Solo
sekolahnya tidak lulus, Rhoma harus pulang ke Jakarta dan
melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun
1964. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Sosial Politik
Universitas 17 Agustus, tapi hanya bertahan satu tahun karena
ketertarikan Rhoma kepada dunia musik sudah terlampau besar.

8
Menjadi Penyanyi Dangdut Terkenal dan Berdirinya Soneta
Band
Pada tahun tujuh puluhan, Rhoma sudah menjadi penyanyi dan
musisi ternama setelah jatuh bangun dalam mendirikan band musik,
mulai dari band Gayhand tahun 1963. Tak lama kemudian, ia pindah
masuk Orkes Chandra Leka, sampai akhirnya membentuk band
sendiri bernama Soneta yang sejak 13 Oktober 1973 mulai berkibar.
Bersama grup Soneta yang dipimpinnya, Rhoma tercatat pernah
memperoleh 11 Golden Record dari kaset-kasetnya.
Tahun 1972, ia menikahi Veronica yang kemudian memberinya tiga
orang anak, Debby (31), Fikri (27) dan Romy (26). Tetapi sayang,
Rhoma akhirnya bercerai dengan Veronica bulan Mei 1985 setelah
sekitar setahun sebelumnya Rhoma menikahi Ricca Rachim –
partner-nya dalam beberapa film seperti Melodi Cinta, Badai di Awal
Bahagia, Camellia, Cinta Segitiga, Melodi Cinta, Pengabdian,
Pengorbanan, dan Satria Bergitar. Hingga sekarang, Ricca tetap
mendampingi Rhoma sebagai istri.
Kesuksesannya di dunia musik dan dunia seni peran membuat
Rhoma sempat mendirikan perusahaan film Rhoma Irama Film
Production yang berhasil memproduksi film, di antaranya
Perjuangan dan Doa (1980) serta Cinta Kembar (1984).

9
SUMBER :
http://www.biografiku.com/2011/09/biografi-rhoma-irama-sang-
raja-dangdut.html

10

Anda mungkin juga menyukai