Anda di halaman 1dari 7

DANGDUTNYA RHOMA IRAMA:

Kemempelaian Musik (Melayu-Rock) dan Dakwah

Sulaiman Harahap[1]
Abstract

The author will explain the history of dangdut music and teach his religion (dakwah)
by Rhoma Irama with Soneta Group. This paper will focus on the change, development
and hybridization of Malaya music to be Dangdut dynamic (Rock) by Rhoma Irama.
Rhoma Irama with dangdut music can survive and succeeds in the music industry
and to be the most popular music in Indonesia. Dakwah in Dangdut Rhoma Irama
write in the lyrics of the song is argumentative, communicative, and inspire people.
Success in the music industry also affects Dangdut films and political campaigns are
conducted Rhoma Irama. This paper also describe about various reactions and the
influence of dangdut music.

Key Words:
Music, Dangdut, Rhoma Irama, and Soneta

Rhoma Irama[2], seniman dan pedakwah yang konsekuen karena telah 40 tahun silam,
sejak Soneta[3] berdiri pada 11 Desember 1970, sosok bersuara merdu dan gemar
bersilat ini terus berlagu dangdut. Lagu dangdut Rhoma Irama khas, terutama dari segi
lirik dan musikalitasnya. Liriknya khas karena bermuatan dakwah. Dangdutnya khas
karena berdinamika rock.

Sedari awal, idealisme berdangdut Rhoma Irama bersama Soneta bukan semata untuk
hiburan, tetapi sebagai alat penyampai pesan-pesan moral, kritik sosial, dan nilai-nilai
agama (Islam). Konsepsi Rhoma Irama dalam bermusik dakwah bermomentum pada
13 Oktober 1973. Kala itu, Rhoma Irama bersama tujuh anggota[4]Soneta berikrar
bahwa musik mereka berasaskan amar makruf nahi munkar (mengajak kebaikan,
menjauhi keburukan). Hal ini sejalan dengan jargon Soneta hingga kini, The Voice of
Moslem.

Tanda terkini dari kedisiplinan bermusik Rhoma Irama tercatat pada Senin, 26 Juli 2010
lalu. Di salah satu studio Megablitz, Grand Mal Indonesia, Rhoma Irama meluncurkan
album baru Soneta bertajuk Azza. Sejatinya, album ini hanya terdapat satu lagu baru,
yakni Azza. Selebihnya adalah lagu-lagu lama didaur-ulang, seperti lagu Kehilangan,
Keramat, Rana Duka, Tabir, Kepalsuan, Sebujur Bangkai, 1001 Macam, Patah Hati serta satu
lagu Gala-Gala yang merupakan versi bahasa Indonesia dan aransemen Rhoma Irama
dari lagu India, Jana-Jana. Kata Azza adalah potongan kata Azzawajallah yang berarti
memuliakan Tuhan

Lirik Berpetuah

Tema dakwah spiritualistik memang kerap disuntikkan Rhoma Irama dalam


menggarap lagu dangdutnya, antara lain, lagu Laillahaillallah yang bermuatan kesaksian
keesaan Tuhan, dalam album musik untuk film Raja Dangdut (1978) dan album khusus
bertajuk Haji (1983). Kemudian, lagu Setete Air Hina dalam album Renungan dalam
Nada (1983) yang mengutip surat Ath-Thariq ayat 5 – 7, yang mengajak menjauhi sikap
sombong karena manusia berasal dari proses biologis yang ’hina’. kemudian, lagu Lima,
memuat petuah dari hadits Nabi Muhammad SAW mengenai peringatan menjaga
lima hal baik dalam hidup sebelum lima yang buruk datang, dalam album musik
untuk film Cinta Segitiga (1979).

Tak hanya tema spritualistik Rhoma Irama berdakwah, hal-ihwal lain pun juga
digarapnya, diantaranya, lagu yang mengulas persoalan perilaku negatif masyarakat,
seperti kebiasaan begadang, berjudi, mabuk-mabukan, menggunakan narkoba, dan
lainnya. Selain itu, ada pula tema seputar demokrasi, integralistik, kesenjangan sosial,
perubahan zaman, kepemudaan, citra wanita, dan percintaan pun digunakan dalam
menyusun lirik lagu dangdutnya.

Lain dari itu, dari sekian jubel pertunjukan dangdut Rhoma Irama bersama Soneta,
mayoritasnya pertunjukan tersebut bermuatan tema atau misi dakwah tertentu.
Diantaranya adalah tema pemantapan keimanan umat, penguatan ukhuwah
islamiyah dan kebangsaan, penggalangan dana dari/untuk umat Muslim,
kesetiakawanan sosial, penyuluhan-penyuluhan tertentu (semisal, kampanye
antinarkotika, penyuluhan dan penyadaran kenakalan remaja serta bahaya pergaulan
bebas), dan lainnya.

Avantgarde Musik Melayu

Dangdut Rhoma Irama bukan musik musiman. Dangdutnya sejalan dengan perubahan
dan mempengaruhi zaman. Terbukti dengan musikalitasnya yang terus bermutakhir
dan liriknya yang kritis dan berpesan moral. Kata lainnya, dangdut Rhoma Irama
bersemangat pembaruan. Laiknya Islam, yang selalu menuntut pembaruan demi
menjawab problema zaman.

Proses pembaruan musik Melayu konvensional dilakukan Rhoma Irama secara


bertahap. Mulai dari penggantian alat-alat musik konvensional musik Melayu (lama)
dengan alat-alat musik elektrik. Menggunakan bentuk panggung yang lebih megah
dengan tata lampu berkekuatan ratusan ribu watt, sistem suara berkekuatan puluhan
ribu watt, hingga penggunaan asap panggung. Sedangkan dari segi penampilan, tata
busana yang dikenakan mewah namun sopan dan cenderung mahal serta dihiasi
penampilan di atas panggung secara teatrikal atau serempak saat bernyanyi. Hal ini
tidak lain adalah pengutipan ciri-ciri berpanggung pada musik dan musisi rock.

Perjalanan dangdut Rhoma Irama bersama Soneta yang mengusung musik dakwah
bukanlah sepak terjang musiman belaka. Terhitung sejak pertama kali sukses di
blantika musik dengan album Begadang, Penasaran (1974-1975), Rupiah, Darah
Muda (1975) Musik, 135.000.000 (1976), dan puluhan album lainnya (mulai dari album
utuh, soundtrack film, singel, kompilasi, hingga aransemen ulang), Rhoma Irama
bersama Soneta dari waktu ke waktu terus memassa. Bahkan menjadi ikon budaya pop
atau budaya massa di Indonesia.

Ditambah lagi, Rhoma Irama bersama Soneta juga merambahi dunia film dengan
sederet film-film musikal dangdut yang laris dan diperanutamakan olehnya serta
diilustrasikan musik Soneta. Film musikal dangdut yang dimainkan Rhoma Irama
mencapai 24 judul[5]. Kini, yang terbaru adalah ”Dawai 2 Asmara” yang beredar sejak
September 2010 lalu. Dan, yang akan tayang pada musim libur Lebaran 2011 nanti
dengan judul Sajadah Ka’bah. Kemudian, dangdut dan dakwah Rhoma Irama pun juga
bergelut di panggung politik. Persebaran musik dan penampilan Rhoma Irama
merambah pula ke luar negeri, mulai dari Singapura, Brunei, Malaysia, Jepang, India,
hingga Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Proyek pembaruan dalam musik dan materi lirik dangdut Rhoma Irama dimulai sejak
paruh pertama 1970-an. Pembaruan tersebut terjadi pada jati musik Melayu.
Peremajaan musik Melayu dilakukannya pada situasi dan kondisi dalam negeri tengah
berubah, dari Orde Lama yang radikal-kiri dan kontra Barat menjadi Orde Baru
pragmatis-kanan yang pro Barat. Peta politik ini berdampak domino masuknya unsur-
unsur budaya populer Barat ke Indonesia, khususnya musik rock.

Implikasi negatif dari lancarnya budaya Barat yang ditelan mentah-mentah kawula
muda, terutama di kota-kota besar di Indonesia, menjadikan mereka gemar hura-hura,
bermabuk-mabukan, menggunakan narkotika, pergaulan bebas, dan lainnya. Ingin
bergaya Hippies, namun menanggalkan akarnya. Sedangkan pada masyarakat Dangdut
terjadi degradasi estetis dan pemiskinan daya lirik berupa gejala erotisme dalam gerak
di atas panggung dan vulgarisasi bahasa lirik yang melulu cinta dan mengisyaratkan
’aktualisasi’ cinta.

Pada era sebelumnya, 1950-an hingga 1960-an, dangdut yang masih disebut musik
Melayu, dikenal dengan lirik yang sopan dan bermuatan ajaran Islam dan tradisi
Melayu. Antara lain dicontohkan oleh lagu-lagu P. Ramlee yang tidak sedikit mengajak
orang berbicara ketauhidan. Begitu jua lagu-lagu Mashabi,
seperti Renungkanlah, walaupun bertema cinta namun sopan. Demi mengembalikan
citra musik Melayu menjadi sopan dalam lirik dan penampilan serta menanggapi
persoalan gejolak kaum muda kala itu yang berbudaya snobis, Rhoma Irama pun
menggunakan syair berpetuah, argumentatif (dari kitab suci dan observasi),
komunikatif, dan optimistik. Lirik yang berdaya demikian ditujukan bagi
pengembangan mental umat. Lalu dari segi penampilan, Rhoma Irama berperilaku
selaiknya seorang muslimin yang sopan nan kharismatik kala di atas pentas.

Reaksi dan Pengaruh

Sebagai seniman muslim, Rhoma Irama menghajatkan bakat musiknya teruntuk


menyempurnakan pengabdian vertikal kepada Tuhan dan perjuangan horisontal
kepada umat. Namun, pada prakteknya, rumus ini tidak mulus. Beragam rintangan
menghadang. Antara lain, perseteruan Rhoma Irama dengan beberapa musisi Rock
pada ketika Rhoma Irama menyuntikan dinamika musik Rock dalam musik Melayu di
sekitar awal 1970-an.

Bahkan, tuduhan Rhoma Irama menjual ayat-ayat suci Al-Qur’an pun pernah terlampir
padanya. Tuduhan ini berujung pada sidang pertanggungjawaban dan argumentasinya
di hadapan para ulama sekitar Desember 1983. Selain itu, pelarangan tampil di TVRI
juga sempat dirasakannya selama 11 tahun (1977-1988). Pelarangan ini diduga karena
kecenderungan politik Rhoma Irama pada Pemilu 1977 dan 1982 ke Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), yang berasas Islam sebelum berganti asas Pancasila pada Pemilu
selanjutnya (1987).

Dibalik rintangan dan halangan, tidak sedikit buah dari perjuangan dan doa Rhoma
Irama dalam berdangdut dakwah. Sosok berjulukan Satria Bergitar ini tidak hanya jadi
idola bagi penggemarnya, namun ia juga menjadi patron bagi pengikut setia lagu
dakwahnya. Berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film-film Rhoma
Irama, William H. Frederick memprediksikan, hingga pertengahan 1980-an, Rhoma
Irama mempunyai penggemar dan pengikut sekitar 15 juta jiwa. Dalam data sensus
1982, jumlah penduduk Indonesia saat itu sekitar 146 juta jiwa. Berarti, jumlah
penggemar dan pengikut Rhoma Irama berkisar 10% penduduk Indonesia.

Berdasarkan data itu, maka tidak heran Rhoma Irama disebut ikon budaya paling
populer di Indonesia pada kala itu. Bahkan, beberapa media cetak luar negeri pun
memberi predikat khusus. Majalah Asiaweek dalam artikel “Superstar with a Message”
(edisi 16 Agustus 1985) menyebut Rhoma Irama sebagai Southeast Asia
Superstar. Majalah Entertaiment dari Amerika Serikat, pada Februari 1992 mentitelkan
Rhoma Irama sebagai Indonesian Rocker. Sedangkan di dalam negeri, salah satu
penghargaan terhadap Rhoma Irama diberikan ”Anugerah Dangdut TPI” 1997,
berlangsung di Istora Senayan, dengan kategori ”Penyanyi Dangdut Legenda”.

Renungan dalam Nada

Pemassaan dangdut dakwah dan figur seniman muslim Rhoma Irama bersama Soneta
telah berdampak luas baik horisontal, yakni memuai di kalangan masyarakat urban
dan pedesaan yang secara ekonomi berstatus menengah ke bawah, dan juga vertikal,
yakni memuai di kalangan pendidikan tinggi atau universitas (mahasiswa), golongan
militer, hingga birokrat negara.

Dan hingga kini, legenda hidup berusia 64 tahun itu masih terus bernada dan dakwah
bersama Soneta di blantika musik Tanah Air. Bahkan, pada tahun ini, Rhoma Irama dan
Soneta akan meluncurkan album baru dengan seluruhnya adalah lagu-lagu baru.
Rhoma Irama pun turut memprakarsai dan mendukung penuh regenerasi Soneta yang
diestafetkan kepada grup musik yang divokaliskan oleh anaknya, yakni Sonet2 (Ridho
Rhoma) dan SonetRock (Vicky).

Hal Ini membuktikan bahwa Rhoma Irama tak lelah alias konsisten dalam melakukan
perjuangan dan doa dalam bermusik. Maka, bila ditanyakan kepada Anda, laikkah
untuk dibanggakan musik dan sosok Rhoma Irama sebagai aset budaya dan seniman
pejuang nasional Kita?

Pustaka Acuan:

Wawancara:

Rhoma Irama. Wawancara lisan pada


Jumat, 16 April 2010, pukul 14. 08: 38 dan wawancara tulisan pada 3 Mei 2010.

Buku:

Kartanegara, EH (ed.). Musisiku 2. Jakarta: Penerbit Republika. 2009.

Lockard, Craig. A. Dance


of Life: Popular Music and Politics in Southeast Asia. Honolulu: University
of Hawai’i Press. 1998.
Mack, Dieter. Apresiasi
Musik: Musik Populer. (cetakan pertama). Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama. 1995.

Jurnal dan Majalah:

Frederick, William H.. Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects
of Contemporary Indonesian Popular Culture. Indonesia, No 34. 1982.

Khusyairi, Johny Alfian. Geneologi Dangdut: Sebuah Upaya Melacak


Keaslian Dangdut. Jurnal Mozaik: Jurnal Kebudayaan dan Kemasyarakatan. Vol, 1, no. 1,
Januari-Juni 2003.

“Rhoma Irama, Dangdut Bukan Musik Musiman”. Aktuil, No. 14, Tahun XII, 5 Mei
1980.

Tempo, 30 Juni 1984.

Sasongko, A Tjahjo dan Nug Katjasungkana. Pasang Surut Musik Rock di


Indonesia. Prisma, No. 10. Oktober 1991.

Karya tidak terbit:

Susilo, Y. Edhi. Sejarah dan Perkembangan Musik Dangdut. Laporan Penelitian pada
Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. 1998.

[1] Komunikasi lebih lanjut, silakan kontak HP: 082214488852 atau via email di
sulaimanharahap19@gmail.com.

[2] Nama
Irama berasal dari nama sandiwara Sunda yang digemari kedua orang tuanya, yakni
sandiwara Irama Baru yang dibintangi aktor ternama Tan Tjeng Bok dan aktris
Fifi Young. Sedangkan kata Oma
disematkan di depan nama Irama dikarenakan di kala kecil ia kerap memanggil
ibunya dengan sebutan Oma. Akhirnya kata Oma pun disematkan di depan kata Irama
menjadi Oma Irama. Lalu pada 1976, setelah Oma Irama berpulang dari haji (1975)
ia menambahkan predikat (H)aji dan status sosialnya sebagai ningrat—pesanan
dari ayahnya sebelum meninggal untuk dipakai pada nama—ditambahkanlah (R)aden,
sehingga namanya berubah dan menjadi begitu tenar dengan sebutan R.H.Oma Irama
atau lebih sering disamarkan menjadi Rhoma Irama. Tempo, 30 Juni 1984,
hal. 31

[3] Soneta adalah bentuk Kesusastraan Italia


yang lahir sejak kira-kira pertengahan abad ke-13 di kota Florence. Kemudian
menyebar ke seluruh Eropa, termasuk Inggris dan Belanda. Bentuk sastra ini
masuk ke Indonesia pada 1920-an dibawa oleh para pemuda Indonesai yang menuntut
ilmu di Belanda. Bentuk sastra ini beciri, 14 baris, 2 x 4 quatrin dan 2 x 3
tarzina, berumus abba, abba, cdc, cdc. Abdullah Ambary. Intisari Sastra
Indonesia. Bandung: Djatnika. 1983. hal. 40. Rhoma Irama memilih nama ini
karena di waktu Sekolah Menengah Atas (SMA) ia sangat suka dengan bentuk syair
Soneta, kemudian ia terapkan dalam menuliskan syair lagu-lagunya. Wawancara
dengan Rhoma Irama Jumat, 16 April 2010, 14. 08: 38

[4] Ke tujuh orang tersebut memegang


instrumen, yakni rythm gitar oleh Wympy, bas elektrik oleh Herman
(kemudian diganti Popong pada 1976), mandolin oleh Nasir, perkusi (gendang dan
drum) oleh Kadir (kemudian diganti Chofiv pada 1976), tamborin dan timpani oleh
Ayub, synthesizer[4] atau keyboard
oleh Riswan, dan instrumen tiup suling bambu oleh Hadi. Di masa kemudian,
digunakan pula instrumen tiup, seperti saksofon tenor oleh Yanto, Saksofon Alto
oleh Farid, dan terompet oleh Dadi. Selain itu ditambah pula vokal pendukung
empat orang wanita yang disebut Soneta Femina.

[5] Selama kurang lebih 17 tahun, Rhoma


Irama bergelut seni peran. Puluhan film yang dibintanginya antara lain Penasaran
(1976), Gitar
Tua, Darah Muda (1977), Berkelana, Berkelana II, Begadang, Raja Dangdut (1978), Cinta
Segitiga, Camelia(1979), Perjuangan dan Doa, Melody Cinta (1980), Badai Diawal
Bahagia (1981), Satria Bergitar, Cinta Kembar(1984), Pengabdian, Kemilau Cinta di Langit
Jingga (1985), Menggapai Matahari, Menggapai Matahari II (1986), Nada-nada
Rindu (1987), Bunga Desa (1988), Jaka Swara (1990), Nada dan Dakwah (1991), dan Tabir
Biru (1993).

Anda mungkin juga menyukai