Anda di halaman 1dari 3

 alamkami

 Kalamwarta
 Kalamsastra
 Kalamkooperasi
 Kalamputu
 Kalamdulu
 Kalamgambar
 Kalammanca
 Kalampromo

April 9, 2020 kalamkopi Kalamdulu, Uncategorized

Apakah Ini Peredaman Pergerakan?


Oleh Juni Aldi Bambang Prakoso

Dilunakkan atau dihilangkan?


Pembungkaman suara rakyat adalah cara terbaik untuk melegitimasi kekuasaan sang penguasa.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, rezim Orde Baru banyak melakukan pembungkaman
terhadap suara yang mengancam kesetabilan kekuasaannya. Salah satu cara terbaik untuk
membungkam suara tersebut adalah dengan menghilangkan atau melunakkan suara yang
menggema merusak gendang telinga sang penguasa.

Jika karya adalah sebuah pemberontakan rasa, maka di sinilah kegelisahan-kegelisahan akan
bersuara. Seperti halnya Rhoma Irama, salah satu seniman yang menuliskan kegelisahannya ke
dalam lagu yang ia ramu sedemikian rupa agar suara hatinya dapat didengar oleh rakyat dan
penguasa dengan musik yang dinamakan dangdut, maka hal ini sangatlah tepat.

Musik dangdut sangat mendarah daging di masyarakat Indonesia. Perkembangannya pun sangat
pesat pada periode 1970-1990-an. Saat ini, dangdut tengah berjaya, bisa dilihat dari beberapa
indikator, seperti konser-konser, penjualan kaset, dan jumlah penggemarnya. Hal itu tampak
pada konser-konser dangdut yang diadakan selama periode 1970-an hingga 1990-an, baik di
dalam maupun luar negeri.

Dengan keberhasilan menarik hati rakyat, dangdut tampak cukup mengkhawatirkan sang
penguasa jika lagu-lagunya diisi dengan kritik-kritik terhadap mereka, seperti lagu-lagu Rhoma
Irama yang rilis dalam periode 1970-1980-an. Beberapa contohnya yakni lagu yang berjudul
”Judi”. Lagu tersebut mengkritik pemerintah yang melegalkan perjudian melalui porkas dan
SDSB. Lagu “Judi” rilis pada 1987. Kemudian, lagu “Hak Asasi Manusia” yang rilis pada
pertengahan tahun 80-an, mengkritik tegas penguasa yang membatasi suara-suara pada waktu
itu. Pembatasan suara itu berupa intimidasi hingga penghilangan. Cara rezim ini begitu picik.

Advertisement

Tetapi semua berubah ketika memasuki periode 1990-an. Rhoma bersama musik dangdut seolah
dapat dijinakkan pada era ini. Lagu-lagunya mulai melunak, alias lebih cenderung fungsinya
sebagai hiburan. Dangdut sangat dekat dengan rezim penguasa. Dengan kebijakannya, rezim
mewacanakan nasionalisasi dangdut. Dukungan rezim terhadap dangdut, terlihat pada peringatan
Hari Ulang Tahun Negara Republik Indonesia, 17 Agustus 1995. Peringatan tersebut
mengangkat tema: “Semarak Dangdut 50 Tahun Indonesia Emas”, serta dimeriahkan oleh
Rhoma dan Elvie, serta 29 penyanyi dangdut papan atas lain, seperti A. Rafiq, Iis Dahlia, Itje
Trisnawati, Lilis Carlina, Cucu Cahyati, Evie Tamala, Rita Sugiarto, Mansyur S., dan Fahmi
Sahab.

Penyisipan nama dangdut dalam peringatan nasional semacam itu jelas memperlihatkan peranan
Negara memajukan musik dangdut, sekaligus dukungan pemerintah terhadap wacana menjadikan
dangdut sebagai music nasional. Tetapi, lebih dari itu, nampak ada unsur politis di sini.
Sebelumnya, pada 1993 Rhoma Irama tercatat sebagai anggota MPR, hingga puncaknya 1996
Rhoma Irama menjadi juru kampanye Golkar. Hal itu tentu mengejutkan sekali. Apakah ini
upaya rezim meredam pergerakan rakyat melalui dangdut? Sebuah tanda tanya besar.

Gambar: miro.medium.com
Juni Aldi Bambang Prakoso, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang 2018

Anda mungkin juga menyukai