Lelucon Orde Baru
Lelucon Orde Baru
Perubahan kebijakan politik anti barat setelah G30S/PKI memberi ruang gerak yang
cukup untuk kemajuan Industri musik di Indonesia. Setelah PKI menjadi partai terlarang,
ABRI melakukan operasi-operasi penangkapan yang membutuhkan bantuan rakyat. Untuk itu
ABRI memandang perlu untuk berintegrasi dengan rakyat. Salah satu media integrasi adalah
musik. Kemudian ABRI mengadakan berbagai pertunjukan musik yang saat itu dikenal
sebagai panggung prajurit yang di koordinasikan BKS-kostrad (Badan Kerjasama Seniman-
Komando Strategis Tjadangan Angkatan Darat).
Kehadiran penyanyi dan musisi bersama tentara dalam panggung prajurit
dimaksudkan sebagai alat integrasi ABRI dan rakyat dalam operasi penangkapan anggota-
anggota komunis di daerah-daerah.
Kebijakan BKS-Kostrad mengajak penyanyi dan musisi yang semasa pemerintahan
Soekarno dilarang merupakan suatu upaya pembalikan nilai-nilai. Secara Politis pembalikan
nilai-nilai tersebut memperlihatkan telah lemahnya Pemerintahan Soekarno dan munculnya
suatu kekuatan orde baru, dengan ABRI sebagai pilar utamanya. Sama seperti Soekarno dan
PKI yang menjadi kan musik sebagai alat politik,demikian ABRI di jaman orde baru melihat
musisi dan penyanyi sebagai alat revolusi yang harus berpolitik.
Sebetul nya ABRI dan musisi saling memerlukan untuk kepentingannya massing-
masing, musisi memerlukan ABRI untuk mengungkapkan kebebasan ekspresi yang
terpendam di masa orde lama. Karena ABRI tidak mempermasalahkan musik Barat atau
bukan terhadap jenis musik yang ditampilkan dalam suatu panggung. Selain itu dengan
dekatnya musisi dan ABRI telah dirasakan memberikan jaminan keamanan bagi musisi.
Runtuhnya Partai Komunis Indonesia dan masa transisi pemerintahan dari Soekarno
ke Soeharto telah menimbulkan keraguan di masyarakat terhadap boleh dan tidaknya
menyanyikan musik/lagu-lagu Barat. Hal itu nampak dalam Kolom Lingkaran Musik di harian
Sinar Harapan yang menulis,”Apakah sekarang ini kita boleh membawakan lagu berirama
beat-beat-an lagi, atau unsur-unsur musik yang merusak?” (Sinar Harapan 19 Desember
1965)
Pementasan-pementasan musik panggung prajurit yang diselenggarakan ABRI
membawakan lagu-lagu populer dan merencanakan kedatangan grup Blue Diamonds dari
belanda yang pada pertengahan tahun 1960-an populer di Eropa,Asia,dan Amerika Serikat.
Ini menimbulkan keraguan pada masyrakat,sebab,grup Blue Diamonds dianggap sebagai
unsur jenis musik yang merusak. Para Pemain grup ini adalah kelahiran Depok dan Cimahi
Jawa Barat.
Untuk lebih menegaskan bahwa ABRI tidak anti kebudayaan Barat maka ABRI,melalui
BKS-Kostrad,mengadakan serangkaian pertunjukan musik yang pada saat pemerintahan
Soekarno dilarang.
Perkembangan situasi politik yang tidak menunjukan kecendrungan anti Barat telah
menyebabkan berkembangnya lagu dan musik berirama Barat. Banyak penyanyi dan musisi
memainkan lagu- lagu Barat yang populer. Terutama lagu- lagu The Beatles. Hal itu
berdampak mundurnya band- band yang memainkan lagu- lagu daerah. Tahun 1967-an
bermunculan kembali band- band yang menyanyikan lagu- lagu Barat, seperti yang ditulis
oleh Pranadjaja;
“Bagaikan tumbunhnya tjendawan dimusim hudjan bermuntjulanlah ber-ratus2 bahkan
mungkin beribu- ribu Band2 El-Gi (Electric Guitar) jang umumja dilakukan oleh golongan
teenagers, bahkan sampai golongan anak2. Band2 serupa itu tidak sadja tumbuh subur di
kota2 besar, bahkan sampai di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan pun terdapat
Band2 jang menggairahkan ini”.
Pranadjaja. “Keroncong beat dan perkembangan musik di Indonesia”.
Pelarangan- pelarangan terhadap artis pada masa pemerintahan Soeharto tidak
dinyatakan secara jelas, atau tidak ada pembatasan menurut garis besar seperti orde-lama.
Akan tetapi, beberapa pelarangan masih terjadi dalam beberapa segi. Pertama segi yang
dianggap mengancam atau mengkritik status quo penguasa. Misalnya pelarangan terhadap
Rhoma Irama tampil di TVRI, karena Rhoma Irama ikut aktif dalam kampanye Partai
Persatuan Pembangunan suatu partai yang dianggap sebagai lawan politik pemerintah yaitu
Partai Golongan Karya(Golkar). Kedua, menyangkut kritikan- kritikan terhadap
penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Misalnya Bimbo mengalami pelarangan untuk
dapat tampil di TVRI karena lagunya Tante Soen dianggap mengkritik gaya hidup ibu- ibu
pejabat Indonesia. Meskipun TVRI berdalih bahwa pelarangan tersebut disebabkan Rhoma
Irama dan grup Bimbo berambut gondrong, opini yang berkembang di masyarakat bahwa
kedua penyebab itulah yang yeng menyebabkan kedua penyanyi dilarang tampil di TVRI.
Musisi lainya pada saat Orde baru yang dikenakan peringatan pemerintah ataupun
pemanggilan polisi karena kritikan nya terhadap kondisi sosial dan pemerintah yang
berkuasa adalah Mogi Darusman, Iwan Fals, Harry Roesli, dan Doel Soembang.
Tidak adanya kebijakan yang membatasi musik secara nasional terlihat dalam suatu
pelarangan konser musik rock di Jawa Tengah, oleh Gubernur Ismail. Kota yang menerapkan
larangan itu hanya di kota Semarang saja. Pementasan musik rock masih berlangsung di
kota- kota Jawa Tengah lainnya, seperti di Solo. Larangan itu juga tidak berlaku sama sekali
bagi daerah lain di Indonesia.
Kebijakan pemerintah orde baru yang tidak membatasi kebudayaan Barat dan
pengaturan yang ketat terhadap musik, telah menjadikan situasi yang kondusif bagi industri
musik di Indonesia. Situasi politik yang kondusif itu di dukung pula oleh perkembangan
teknologi komunikasi, RRI, TVRI, serta media massa cetak.