Anda di halaman 1dari 16

KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number.

2, December 2014 139

KANZ PHILOSOPHIA
Volume 4 Number 2, December 2014 Page 139-154

STUDI KRITIS TERHADAP TEORI IDENTITAS PIKIRAN-OTAK MARIO BUNGE:


PERSPEKTIF NEO-SADRIAN
Cipta Bakti Gama
Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra
Email: cipta.bg2@gmail.com

ABSTRACT
The aim of this research is to conduct a critical analysis of Mario Bunge’s view that mental reality
is identical with the reality of brain function known as mind-brain identity theory. The analysis
is performed using Neosadrian perspective, i.e. a new form of Mulla Sadra’s philosophy which is
developed by Tabataba‘i and his disciples. The author tries to elucidate the main claims held by
Bunge and to launch some critiques upon those claims. The main conclusions achieved through this
research include the following. Firstly, mind-brain identity theory cannot be accepted. Secondly,
current development of scientific studies corroborating certain relations between brain and mental
states does not justify the validity of the identity theory, also does not falsify its opposition. Thirdly,
a religious-sufistical philosophy, such the Neosadrian, can be consistent with current development
of scientific research.

Keywords: Mind-brain identity theory, Mario Bunge, Neo-Sadrian, science, religious-sufistical


philosophy.

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kritis atas pandangan Mario Bunge bahwa
realitas pikiran identik dengan realitas fungsi otak, yang dikenal dengan teori identitas pikiran-
otak. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan sudut pandang Neosadrian, yaitu bentuk
baru filsafat Mulla Sadra yang dikembangkan oleh Tabataba‘i dan murid-muridnya. Penulis mencoba
menguraikan sejumlah klaim utama yang dipegang oleh Bunge tentang teori identitas tersebut dan
melancarkan kritik terhadapnya. Sejumlah kesimpulan utama yang bisa dicapai melalui penelitian
ini mencakup hal-hal berikut. Pertama, teori identitas pikiran-otak tidak bisa diterima. Kedua,
perkembangan studi saintifik yang menguatkan adanya relasi antara status otak dan status mental
tidak menjustifikasi validitas teori identitas pikiran-otak, juga tidak memfalsifikasi dualitas esensi
keduanya. Ketiga, filsafat yang bercorak religius-sufistik seperti Neo-Sadrian bisa konsisten dengan
perkembangan sains mutakhir.

Kata-kata Kunci: teori identitas pikiran-otak, Mario Bunge, Neo-Sadrian, sains, filsafat religius-
sufistik.
140 Studi Kritis terhadap Teori Identitas Pikiran-Otak Mario Bunge .........

Pendahuluan dan ahli logika di Universitas McGill asal


Argentina yang juga pernah menjadi professor
Ada dua konteks diskursus yang saling fisika teoretis di negeri asalnya, adalah salah
berhubungan, yang menjadikan pembicaraan satu tokoh yang membela pandangan dunia
klasik tentang hakikat pikiran (mind), otak, materialis dan teori identitas pikiran dan otak
jiwa, tubuh, realitas transendental, agama, (2010, 160-162). Baginya, dualisme pikiran
sufisme, dan sains menjadi tetap relevan untuk dan otak (atau jiwa dan raga) tidak konsisten
saat ini: pertama, teologis; dan kedua, filosofis. dengan metode riset saintifik secara umum dan
Dalam diskursus teologis, seperti dijelaskan perkembangan riset saintifik mutakhir secara
oleh John Hick (2006, 55), salah satu tapal khusus (148-15). Ia juga menyatakan bahwa
batas baru tentang hubungan agama dan hanya teori-teori materialislah yang konsisten
sains adalah tantangan neurosains terhadap dengan metode dan perkembangan sains,
pengalaman religius. Perkembangan hasil dan teori identitas pikiran dan otak adalah
penelitian para neurosaintis tentang struktur yang paling konsisten di antara beragam teori
otak dan fungsi-fungsinya telah mengungkap materialis tersebut (160-162).
adanya hubungan erat antara fungsi otak dan Tentunya, pengikut agama apapun yang
status pikiran, termasuk pengalaman mistis- percaya dengan adanya realitas transendental
religius. Dengan kata lain, hasil-hasil riset (imaterial) di balik penampakan kosmos ini
tersebut telah sampai pada kesimpulan bahwa tidak akan bisa menerima klaim seperti yang
pengalaman mistis-religius seperti kesaksian diajukan oleh Bunge. Hanya saja, dalam dua
atas kesatuan realitas terdalam dari kosmos diskursus ini, persoalannya bukan sekedar
berhubungan dengan fungsi tertentu dari menerima atau menolak suatu klaim hanya
otak (Bdk. McNamara 2009). Secara filosofis, karena bertentangan dengan suatu keyakinan.
capaian seperti ini sering ditafsirkan secara Secara teologis ada pembicaraan panjang dan
materialis, di antaranya dengan pandangan ragam posisi tentang metode pengetahuan dan
bahwa secara ontologis otak dan pikiran hubungan agama dan sains.1 Secara filosofis
adalah realitas yang sama namun dilihat dari juga ada ragam pandang dan argumen tentang
sudut pandang berbeda; suatu klaim yang hakikat pikiran dan otak, atau jiwa dan tubuh
diistilahkan dengan teori identitas pikiran- (Bdk. Maslin 2001).
otak (mind-brain identity theory; dia juga Dalam konteks diskursus seperti
menyebut istilah lain psychoneural identity ini, penulis akan memaparkan lebih jauh
theory). Yang menarik adalah menurut pandangan Bunge tentang realitas pikiran dan
John Searle, sebagaimana dikutip John Hick kritiknya atas dualisme jiwa-raga. Kemudian,
(2006, 55), mayoritas ahli di bidang filsafat, berangkat dari posisi teologis dan filosofis yang
psikologi, sains kognitif, dan disiplin-disiplin bersifat mistis-sufistik namun tidak anti sains,
pengetahuan lainya yang terkait dengan penulis akan mengajukan suatu analisis kritis
pikiran menganut pandangan materialis atas pandangan Bunge tersebut. Analisis kritis
seperti ini. ini penulis lancarkan dengan menggunakan
Mario Bunge (1919-), seorang filosof sudut pandang filsafat Neo-Sadrian2, yaitu

1
Tentang topik Islam dan sains sebagai salah satu topik utama teologi kontemporer (kalam jadid),
telah dikupas, salah satunya oleh ‘Abd al-Jabbar al-Rifa’i (t.t.). Adapun pemetaan diskursus kontemporer
tentang Islam dan sains telah dikemukakan, salah satunya, oleh Nidhal Guessoum (2011).
2
Istilah Neo-Sadrian dengan pengertian seperti ini adalah istilah yang penulis pinjam dari Ali Akbar
Rashad (1999, 1:73-88 ), direktur Islamic Thought and Culture Institute, Iran.
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 2, December 2014 141

suatu bentuk baru atau tafsir kontemporer dan ketika kematian ada, kita tidak ada.” Di
atas filsafat Mulla Sadra (1571/72-1640/41) awal era modern posisi ini dibela oleh Thomas
yang dikembangkan oleh para filosof Islam Hobbes (1588-1679), Baron d’Holbach
kontemporer seperti Muhammad Husein (1723-89), dan Julien de La Mettrie (1709-
Tabataba‘i (1892-1981) dan murid-muridnya, 51) dengan manusia mesinnya (L’Homme
seperti Murtada Mutahari (1919-50), Abdullah machine) (Maslin 2001, 72). Bunge (2010,
Jawadi Amuli (1933-), Muhammad Taqi 160-161) menerima klaim ini sekalipun ia
Misbah Yazdi (1934-), dan Hasan Zadeh Amuli memandangnya sebagai hipotesis murni,
(1928-) (Bdk. Eshkevari 2012; Labib 2005). bukan suatu teori yang seharusnya dihasilkan
melalui sistem deduksi-hipotetis.
Pikiran menurut Mario Bunge Agar tampak lebih jelas, penulis
Klaim utama yang dipegang Bunge akan memposisikannya sebagai postulat3
tentang kategori ontologis dari pikiran adalah sebagaimana berikut.
bahwa pikiran merupakan properti emergen
dari sistem saraf pusat. Klaim ini ia rumuskan POSTULAT 1.1. Untuk setiap proses pikiran M,
ada suatu proses N pada sistem saraf pusat,
lebih jauh sebagai teori identitas pikiran-otak
dengan M = N.
(mind-brain identity theory). Selain itu, Bunge
melancarkan sejumlah kritik atas dualisme Postulat ini ekivalen dengan pernyataan
pikiran dan otak. Penjelasan tentang dua poin berikut (Bunge 2010, 161):
ini, teori identitas dan kritiknya atas dualisme, POSTULAT 1.1.1. Untuk setiap fungsi pikiran F,
adalah sebagai berikut. ada suatu sistem saraf pusat B dengan aksi F.

Konsekuensi logis dari postulat 1.1.1 adalah


1. Teori Identitas Pikiran dan Otak
turunan berikut:.
Inti rumusan teori identitas pikiran dan
TURUNAN 1.1. Jika B rusak atau tidak ada,
otak menyatakan bahwa “untuk setiap proses maka F terganggu atau tidak ada.
pikiran M ada suatu proses N pada sistem
saraf pusat (otak), dengan M = N” (Bunge Dalam hal ini Bunge (2010, 160)
2010, 160-161). Teori ini dipopulerkan menyertakan beberapa contoh: penglihatan
pada awal 1950-an dengan tokoh utama U. adalah fungsi spesifik dari sistem visual pada
T. Place, J. J. C. Smart, dan David Armstrong. otak; merasa takut adalah fungsi spesifik dari
Klaim yang dibela oleh teori ini sebenarnya sistem yang berpusat di bagian otak yang
berakar jauh pada pandangan para materialis disebut amygdala; mengambil keputusan
di era Yunani klasik seperti Epicurus (342- adalah suatu fungsi spesifik dari bagian otak
270 SM). Ia berkata, “Dengan kesepakatan yang disebut prefrontal cortex, dan seterusnya.
warna menjadi ada, dengan kesepakatan Istilah fungsi di sini berarti proses dari suatu
pahit menjadi ada, dengan kesepakatan manis entitas konkrit. Dengan kata lain, bagi Bunge
menjadi ada, namun pada realitasnya semua setiap status pikiran pada contoh tersebut
itu hanyalah atom-atom dan ruang vakum (melihat, merasa takut, dan mengambil
(void).” Di era berikutnya Lucretius (98-55 keputusan) identik dengan status/fungsi
SM) yang merupakan pengikut Epicurus juga sistem saraf pusat tertentu (status korteks
berkata, “Ketika kita ada, kematian tidak ada; visual, status amigdala, dan status korteks

3
Bunge (2003, 27; 220) menjelaskan bahwa “postulat” atau “aksioma” adalah “asumsi awal yang eksplisit
dalam suatu teori atau argumentasi”.
142 Studi Kritis terhadap Teori Identitas Pikiran-Otak Mario Bunge .........

prefrontal). Ia juga memandang bahwa jika dipredikasikan dalam kedua premis di atas
masing-masing status sistem saraf pusat hanya merujuk pada aspek subjektif dari
terganggu, maka setiap status pikiran yang suatu entitas, yaitu “diketahui secara langsung
identik dengannya akan terganggu pula. atau tidak”. Padahal sebenarnya, menurutnya,
Bunge berkata bahwa yang dimaksud “properti” seperti itu bukanlah properti riil dari
dengan “identitas” dalam teori ini sama dengan entitas itu sendiri, yang bisa dijadikan dasar
yang digunakan dalam matematika: a = b jika untuk menunjukan dua entitas sebagai identik
dan hanya jika a dan b adalah dua nama yang atau tidak. Ini karena seringkali dua entitas
berbeda untuk satu item yang sama. Juga, jika itu “diketahui” oleh suatu subjek sebagai tidak
a = b, maka b = a; jika a = b dan b = c, maka a = identik atas dasar deskripsi tertentu, padahal
c (Bdk. Bunge & Ardila 1987, 13; Maslin 2001, pada realitasnya identik (149). Intinya, bagi
74-75). Dengan kata lain, identitas tersebut Bunge, Hukum Leibniz tidak bisa diterapkan
bukanlah identitas konseptual, yaitu konsep untuk properti seperti “diketahui secara
status/peristiwa/proses pikiran M identik langsung atau tidak” (Churchland 1999).
dengan konsep status/peristiwa/proses otak Ia kemudian melancarkan delapan kritik,
B; melainkan identitas referensial, yaitu objek yang menurutnya fatal, atas dualisme. Penulis
riil yang ditunjuk oleh status/peristiwa/ akan memadatkan kedelapan kritik tersebut
proses pikiran M identik dengan objek riil menjadi empat poin sebagai berikut:
yang ditunjuk oleh status/peristiwa/proses Pertama, dualisme itu samar (fuzzy)
otak B. Sehingga, ketika dinyatakan bahwa secara konseptual. Menurutnya istilah “status
“proses penglihatan adalah proses yang terjadi pikiran” yang digunakan oleh para dualis tidak
pada korteks visual di otak”, tidak berarti jelas, karena setiap “status” adalah status
bahwa konsep “proses penglihatan” identik dari “entitas konkrit”. Ia juga berkata bahwa
dengan konsep “proses pada visual korteks”, istilah “interaksi antara pikiran dan otak” yang
melainkan sekedar keidentikan realitas/ digunakan para dualis merupakan oksimoron.
referen yang ditunjuk oleh kedua konsep yang Baginya, ex hypothesi, entitas imaterial dan
berbeda tersebut. material tidak dapat saling memengaruhi. Jadi
bagaimana bisa dinyatakan ada “interaksi”
2. Kritik Bunge atas Dualisme Pikiran dan antara keduanya? Ia juga mengatakan
Raga bahwa konsep “aksi” sendiri hanya dapat
Bagi Bunge (2010, 149), inti argumen didefinisikan secara jelas jika merujuk kepada
yang mendukung posisi dualisme pikiran entitas konkrit (material) (Bunge 2010, 149).
dan raga terdapat dalam dua premis berikut: Kedua, dualisme tidak bisa diuji melalui
Permis 1, aku memiliki pengetahuan langsung eksperimen (experimentally irrefutable),
tentang status pikiranku; dan premis 2, karena tidak ada seorang pun yang dapat
aku tidak memiliki pengetahuan langsung memanipulasi entitas imaterial. Ia berkata
tentang status otakku. Oleh karenanya, atas bahwa hanya objek (entitas) material yang
dasar Hukum Leibniz tentang identitas, bisa dapat berubah dan bereaksi atas instrumen-
disimpulkan bahwa status pikiranku berbeda instrumen material. Otak adalah objek seperti
dari status otakku. ini, tidak seperti jiwa imaterial (149).
Bunge berpandangan bahwa argumen di Ketiga, dualisme tidak sejalan
atas mengandung falasi, yaitu bahwa “diketahui (inconsistent) dengan hasil-hasil riset saintifik
secara langsung atau tidak” bukanlah properti mutakhir seperti psikologi perkembangan,
pikiran dan otak yang sedang diperdebatkan. etologi kognitif, psikologi komparatif, arkeologi
Properti dari pikiran dan otak seperti yang kognitif, dan bedah otak; bertentangan dengan
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 2, December 2014 143

hukum saintifik yang telah mapan, seperti Filsafat Neo-Sadrian: Rekonstruksi Filsafat
hukum kekekalan energi; juga mengisolasi Mulla Sadra
psikologi dari banyak disiplin saintifik Istilah “filsafat Neo-Sadrian” yang
lainnya. Menurutnya, psikologi perkembangan akan penulis jadikan sudut pandang dalam
menunjukan bagaimana kognisi, emosi, dan kajian ini penulis pinjam Ali Akbar Rashad.
kecakapan sosial berkembang sejalan dengan Dalam World Congress on Mulla Sadra yang
perkembangan otak individu pada konteks diselenggarakan di Teheran pada tahun
sosial. Etologi, khususnya primatologi, 1999, ia mengajukan makalah yang berjudul
juga menunjukan bahwa manusia memiliki Neo-Sadrian Philosophical Discourse (Bdk.
kesamaan kemampuan pikiran tertentu Rashad 1999, 1:73-88). Dalam makalah
dengan hewan-hewan yang memiliki tersebut ia menggunakan istilah “Neo-Sadrian
kedekatan dalam perjalanan evolusinya. school” untuk menyebut gerakan revitalisasi
Psikologi perbandingan dan arkeologi kognitif filsafat yang diprakarsai oleh Tabataba‘i dan
juga menunjukan bahwa kemampuan pikiran murid-muridnya. Istilah tersebut ia gunakan
manusia telah berevolusi sejalan dengan karena sekalipun gerakan ini melakukan
perubahan biologis dan sosiologis. Bedah rekonstruksi, reformulasi, dan reedisi filsafat
otak menunjukan bahwa ada pasien yang Mulla Sadra (Ḥikmah Muta‘āliyyah), namun
pikirannya terganggu dan gagal disembuhkan tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar
oleh psikoterapi, namun berhasil sembuh dan elemen-elemen fundamental dalam
setelah melalui bedah otak. Hukum kekekalan sistem filsafat tersebut (84).
energi dalam fisika juga bertentangan Menurut S. H. Nasr (1979, 93), inti dari
dengan asumsi adanya entitas imaterial yang filsafat Mulla Sadra sendiri adalah “suatu
beraksi pada raga, karena mengimplikasikan perspektif baru dalam tradisi intelektual
adanya energi tambahan di dunia fisik yang Islam yang didasarkan pada sintesis dan
ditransfer oleh aksi entitas imaterial tersebut. harmonisasi dari segala perspektif dalam
Lalu, psikologi, menurutnya, tidak dapat tradisi ini yang ada sebelumnya (interpretasi
berkolaborasi dengan disiplin ilmu lainnya teks wahyu, sufisme, filsafat Peripatetik, dan
jika mengasumsikan pikiran sebagai entitas filsafat Illuminatif—pen.).” Hal serupa juga
imaterial, karena tak satu disiplin siantifik pun dinyatakan oleh Fazlur Rahman (1975, 13).
yang mendikotomikan “fungsi” dari “objek Kedua peneliti tersebut juga menguraikan
material penyandangnya”(150). prinsip-prinsip utama dalam filsafat Sadrian
Keempat, dualisme bersifat kontra- yang mencakup, di antaranya, prinsipalitas
produktif. Ia menumbuhkan berbagai eksistensi, singularitas eksistensi, gradasi
pendekatan tidak saintifik seperti hal hal eksistensi, kesatuan intelek dan intelijibel,
supranatural, takhayul, parapsikologi, gerak trans-substansial, kebangkitan jasmani
psikoanalisis, dan memetik. Dalam sebagian dan rohani, pengetahuan Tuhan yang
kasus tumbuhnya bidang-bidang seperti universal dan partikular (Nasr 2003, 2:915-
ini, menurut Bunge, juga menghambat 928; Rahman 1975). Peneliti lainnya, Hasan
perkembangan studi saintifik yang Moalimi (t.t., 35), menyatakan bahwa prinsip
berhubungan dengan pikiran, seperti utama dalam filsafat ini mencakup sepuluh
psikologi biologis, neurologi, psikiatri, prinsip berikut: (1) prinsipalitas eksistensi;
psikoneurofarmakologi, dan neuroteknologi (2) gradasi eksistensi; (3) efek sebagai wujud
(151). relatif dari kausa; (4) simplisitas adalah
segala realitas; (5) gerak trans-substansi; (6)
kesatuan (identitas) intelek, inteleksi, dan
144 Studi Kritis terhadap Teori Identitas Pikiran-Otak Mario Bunge .........

intelijibel; (7) gerak trans-substansi pada Setelah penulis meneliti pandangan para
proses penyempurnaan jiwa; (8) jiwa bersifat filsuf aliran ini—dengan fokus utama pada
material di awal aktualisasi dan imaterial Hasan Zadeh Amuli— dalam pembahasan
dalam kontinuitasnya; (9) singgularitas dua istilah tersebut, penulis menyimpulkan
personal pada realitas eksistensi; dan (10) bahwa terdapat cukup banyak prinsip yang
pengetahuan detil Tuhan. penting dan relevan dengan topik ini, yang
Sebagaimana telah disinggung bisa diklasifikasi ke dalam tiga kategori umum,
sebelumnya, prinsip-prinsip dasar filsafat yaitu: (1) jiwa sebagai substansi imaterial; (2)
Sadrian dipertahankan oleh gerakan filsafat relasi jiwa dan raga; dan (3) persepsi (idrāk)
Neo Sadrian. Menurut A. A. Rashad (1999, sebagai suatu daya jiwa.
85), pembaharuan filsafat Sadrian oleh
gerakan ini dilakukan pada tiga aspek: (a) 1. Jiwa sebagai Substansi Imaterial
forma dan struktur, (b) metode pembahasan, Dalam ‘Uyūn Masā’il al-Nafs Hasan
dan (c) cakupan. Dari sisi forma dan struktur, Zadeh Amuli (1385 H.S., 93) berkata, “Jiwa
tidak seperti dalam tradisi filsafat Islam adalah kesempurnaan primer dari raga
sebelumnya, epistemologi dibahas secara natural instrumental yang memiliki potensi
khusus dan diposisikan di awal pembahasan kehidupan.”1 Pernyataan ini akan penulis
filsafat. Ini seperti yang ditunjukan dalam posisikan sebagai definisi berikut.
buku Ushūl-e Falsafeh dan Āmūzesy-e Falsafeh.
Jawadi Amuli, yang merupakan salah satu DEFINISI. 2.1. Jiwa adalah kesempurnaan
primer dari raga natural instrumental yang
murid Tabataba‘i, di sisi lain mengatakan
memiliki potensi kehidupan.
bahwa Tabataba‘i mengorganisasikan filsafat
Mulla Sadra secara “matematis” (85). Dari
Penjelasan istilah: yang dimaskud dengan
aspek metode pembahasan, pembaharuan
“kesempurnaan primer” (kamāl awwal) adalah
mencakup tiga hal, yaitu: pertama,
“faktor penentu aktualisasi suatu spesies
penghindaran dari kebingungan antara
menjadi dirinya”, seperti rasionalitas untuk
argumen rasional (burhān) dengan argumen
spesies manusia (dengan asumsi bahwa esensi
mistis (syuhūd); kedua, genealogi persoalan;
spesies manusia adalah hewan rasional).
dan ketiga, perbandingan dengan berbagai
Istilah kesempurnaan primer bisa dibedakan
tradisi filsafat. Kemudian, dari aspek cakupan,
dari istilah “kesempurnaan sekunder” (kamāl
pembaharuan tersebut berupa eliminasi ilmu
tsānin), yaitu faktor penentu aktualisasi aksiden
medis dan fisika kuno dan menggantikannya
dari suatu spesies, misalkan “cerdas” bagi
dengan berbagai prinsip yang diambil dari
spesies manusia. Kemudian, yang dimaksud
sains kontemporer; pengembangan beberapa
dengan “raga” (jism) adalah substansi yang
argumen; dan perluasan topik seperti
memiliki tiga dimensi. Batasan “natural”
epistemologi, filsafat pikiran, filsafat moral,
(thabī‘ī) diberikan untuk mengecualikan “raga
dan lainnya (85-86).
artifisial” (shinā‘ī). Sontoh raga natural adalah
otak manusia; sedangkan contoh raga artifisial
Prinsip-prinsip Teori Pikiran Neo-Sadrian
adalah gambar/boneka otak manusia. Selain
Istilah “pikiran” atau “mind” penulis
itu, batasan “instrumental” (ālin) juga
padankan dengan istilah “dzihn” yang identik
diberikan untuk menunjukan bahwa raga yang
dengan “nafs” (jiwa) pada filsafat Neo-Sadrian.
dimaksud terbatas pada raga yang menjadi

1
Hasan Zadeh Amuli mengatakan bahwa definisi ini berasal dari Aristoteles. Ungkapan asli Amuli sendiri
tentang definisi di atas sebagai berikut: “kamālu awwalin li jismin thabī‘iyyin ālīyyin dzī ḥayātin bilquwwāh.”
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 2, December 2014 145

instrumen dari aktivitas tertentu yang disebut Terkait hal ini, T. M. Yazdi (1990, 2:160)
dengan aktivitas jiwa, seperti: otak, jantung, berkata bahwa beragam argumen tentang
dan hati. Terakhir, batasan “memiliki potensi imaterialitas jiwa dapat diklasifikasikan ke
kehidupan” maksudnya adalah potensi dalam dua kategori: pertama, argumen yang
untuk tumbuh (numuw), menyerap nutrisi didasarkan pada analisis atas pengetahuan
(taghdziyyah), berkembang-biak (tawlīd), presentatif pada “aku subjek yang
bergerak intensional (ḥarakah irādiyyah), memersepsi” (anā al-mudrik); dan kedua,
atau memersepsi (idrāk) (Amuli 1385 H.S., 93- argumen yang didasarkan pada imaterialitas
103). fenomena psikis (zhawāhir nafsāniyyah).
Merujuk pada penjelasan Ibn Sina (980- Dari dua kategori ini, kontinuitas, simplisitas,
1037), al-Hillī (1250-1325), Ibn Rusyd (1126- dan ketakmusnahan jiwa dibuktikan dengan
1198), dan al-Fakhr al-Razi (1149-1209), pengetahuan presentatif setiap subjek sebagai
H.Z. Amuli mengatakan bahwa sekalipun “aku yang memersepsi”, seperti ditunjukan
istilah kesempurnaan primer bagi suatu oleh argumen pertama hingga ketiga.
genus (seperti: raga instrumental) mencakup Kemudian, berangkat dari berbagai fenomena
makna “forma” (shūrah) bagi suatu materi psikis, atau juga dapat disebut “objek pikiran/
(māddah), namun jiwa sebagai kesempurnaan persepsi” (mudrakāt), seperti objek inderawi
primer berbeda dengan forma ragawi (maḥsūsāt), objek fantasi (mutakhayyalāt),
seperti itu. Perbedaan terletak pada bahwa objek estimasi (mawhūmāt), dan objek
setiap forma ragawi hanya eksis di dunia inteleksi (ma‘qūlāt) yang dapat direkoleksi
eksternal saling bergantung dengan materi, oleh jiwa sekalipun raga yang kita gunakan
baik di awal kemunculannya ataupun untuk untuk memperoleh objek tersebut di awal
keberlangsungan eksistensinya (1385 H.S, 94- aktualisasinya telah rusak; argumen keempat
100). Komposisi koeksistensif antara forma membuktikan bahwa keberlanjutan eksistensi
dan materi seperti ini yang membentuk suatu objek persepsi tersebut tidak tergantung
substansi yang disebut dengan raga. Bagi H.Z. pada raga —dengan kata lain, objek persepsi
Amuli, jiwa berbeda dengan raga dan memiliki bersifat imaterial.
aspek independensi dari raga. Ini di satu sisi. Di Selanjutnya, H. Z. Amuli (1385 H.S.,
sisi lain, ia memandang bahwa sekalipun raga 207) menyatakan bahwa “jiwa adalah suatu
instrumental yang memiliki potensi kejiwaan substansi.” Penulis akan memposisikan klaim
hanyalah raga komposit (murakkab)—dengan tersebut sebagai teorema berikut:
kata lain, suatu konstruksi ragawi (mizāj)
(Amuli 1385 H.S., 93) — hanya saja, baginya, TEOREMA 2.2. Jiwa adalah suatu substansi.
jiwa bukanlah konstruksi ragawi itu sendiri
(194-205). Penulis akan menempatkan H. Z. Amuli (251) berkata bahwa
dua klaim tersebut dalam teorema (yang substansialitas jiwa bisa dijustifikasi oleh
di sini penulis sepadankan dengan istilah argumen-argumen tentang imaterialitas jiwa.
“nazhariyyāt”) berikut: Menurutnya argumen tentang keberbedaan
jiwa dari raga sebenarnya menunjukan tiga
TEOREMA 2.1. Jiwa berbeda dengan raga aspek: eksistensi jiwa, keberbedaan dan
(atau konstruk ragawi) dan memiliki aspek
independensi jiwa dari raga (imaterialitas
independensi darinya.
jiwa), juga substansialitas jiwa. Ia juga
berpandangan bahwa argumen tentang
H. Z. Amuli mengajukan sangat banyak
imaterialitas fenomena pikiran yang bersifat
argumen untuk menjustifikasi klaim tersebut.
fantasi menunjukan bahwa jiwa adalah
146 Studi Kritis terhadap Teori Identitas Pikiran-Otak Mario Bunge .........

substansi yang simpel (non-komposit). sebelumnya, H. Z. Amuli memberikan banyak


contoh tentang interaksi jiwa dan raga ini,
2. Relasi Jiwa dan Raga seperti pengaruh kondisi tubuh terhadap
Di antara relasi paling mendasar tentang status jiwa (lapar dan haus misalkan);
jiwa dan raga dalam filsafat Neo-Sadrian adalah pengaruh emosi dan fantasi terhadap status
bahwa jiwa bergantung pada kesiapan raga di bagian tertentu dari tubuh (bulu merinding
awal aktualitasnya, namun independen dari ketika memikirkan Tuhan misalkan); dan
raga dalam kontinuitas eksistensinya. Prinsip lain-lain. Ia juga menjelaskan bahwa interaksi
ini dinyatakan dengan “al-nafs jismāniyyah al- ini terjadi karena jiwa dan raga sebenarnya
ḥudūts wa rūḥāniyyah al-baqā’” (Amuli 1385 merupakan satu eksistensi dengan perbedaan
H.S., 273-308). Penulis akan menempatkan tingkat gradasi saja. Ia berkata, “Sebenarnya
klaim ini dalam dua teorema berikut: tubuh adalah ruh atau jiwa yang meraga”
(Amuli 1385 H.S., 263-272). Tidak ada contoh
TEOREMA 2.3. Awal aktualisasi jiwa tergantung spesial yang ia ajukan sebenarnya. Hanya saja,
pada kesiapan raga. dari sudut pandang dualisme interaksionis,
TEOREMA 2.4. Kontinuitas jiwa yang telah contoh-contoh yang sejalan dengan persepsi
aktual tidak tergantung pada kesiapan raga.
awam (common sense) tersebut dipandang
mengkonfirmasi klaim seperti yang
Dengan prinsip kontraposisi, dari
dirumuskan dalam teorema 2.6 di atas.
teorema 2.3 dapat diturunkan teorema 2.5.
Terakhir, teorema 2.4 menyatakan bahwa
berikut:
kontinuitas eksistensi jiwa yang telah aktual
tidak bergantung pada raga. Teorema ini lebih
TEOREMA 2.5. Jika raga tidak siap, maka jiwa
dipertegas oleh H. Z. Amuli (1385 H.S., 405)
tidak akan aktual.
dengan pernyataannya bahwa jiwa (yang telah
aktual) tidak rusak dengan rusaknya raga dan
Yang penting untuk dicatat adalah bahwa
jiwa (yang telah aktual) tidak mungkin rusak.3
teorema 2.3 dan 2.5 tidak berimplikasi pada
pasivitas jiwa seperti dalam pandangan TEOREMA 2.7. Kerusakan raga tidak
epifenomenalis, melainkan hanya menunjukan menyebabkan kerusakan jiwa yang telah aktual
bahwa setiap status jiwa hanya bisa aktual jika dan jiwa yang telah aktual tidak mungkin
menjadi rusak.
ada konstruk raga tertentu yang menyandang
potensialitasnya. Secara eksplisit, H. Z.
Ia menyatakan bahwa sebenarnya klaim
Amuli (1385 H.S., 263) sendiri menyatakan
seperti ini merupakan implikasi logis dari
bahwa jiwa dan raga itu berinteraksi.2 Oleh
imaterialitas jiwa.
karena itulah posisi yang ia pegang dapat
dikategorikan sebagai dualis-interaksionis.
3. Persepsi (Idrāk) sebagai Suatu Daya Jiwa
Inti klaim posisi ini akan penulis tempatkan di
teorema berikut:
Dalam kategorisasi jiwa berdasarkan daya-
TEOREMA 2.6. Jiwa dan raga berinteraksi.
dayanya, filosof Neo-Sadrian—yang diwakili
Merujuk pada banyak pemikir
oleh H. Z. Amuli, hampir secara keseluruhan

2
Pernyataan aslinya adalah sebagai berikut: “‘aynun fī ta’atstsuri kulli wāḥidin min al-nafis wal badani
‘an al-ākhor.”
3
Pernyataan aslinya adalah sebagai berikut: “inna al-nafsa lā tafsudu bifasādi badanihi al-‘unshūriy, wa
anna al-fasād ‘alayhā muḥāl muthlaqan, fa-al-nufūs al-syakhsyiyyah wa ’inlam takun ’azaliyyahtan wa lakinnahā
abadiyyatun bāqiyyatan bibaqā’i fā‘ilihā al-azaliy al-abadiy.”
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 2, December 2014 147

sejalan dengan pandangan Peripatetik Islam.


Ia mengatakan bahwa daya-daya utama jiwa DEFINISI. 2.2. Untuk setiap persepsi, ia bersifat
adalah sebagai berikut: 1. tumbuh, 2. menyerap inderawi, jika dan hanya jika ia menggunakan
nutrisi, 3. berkembang biak, 4. bergerak sesuai alat indera, objeknya individual, dan objeknya
kehendak, 5. mengindera objek eksternal, memiliki bentuk (konkrit).
6. fantasi, 7. estimasi, dan 8. inteleksi. Jiwa DEFINISI. 2.3. Untuk setiap persepsi, ia
dengan daya nomor satu, dua, dan tiga disebut bersifat fantasi, jika dan hanya jika ia tidak
jiwa tumbuhan; dengan tambahan daya menggunakan alat indera, objeknya individual
nomor empat sampai tujuh disebut dengan (juz’ī), dan objeknya memiliki bentuk (konkrit).
jiwa hewan; dan dengan tambahan daya DEFINISI. 2.4. Untuk setiap persepsi, ia
nomor delapan disebut dengan jiwa manusia. bersifat estimasi, jika dan hanya jika ia tidak
Daya nomor lima hingga delapan disebut juga menggunakan alat indera, objeknya individual,
dengan daya persepsi (idrāk) (Amuli (1385 dan objeknya tidak memiliki bentuk (abstrak).
H.S., 331-334). Karena daya yang terakhir ini DEFINISI. 2.5. Untuk setiap persepsi, ia
merupakan daya yang paling berhubungan bersifat intelijibel, jika dan hanya jika objeknya
dengan dunia pikiran, maka penulis akan universal (kullī).
memfokuskan bagian ini untuk mengulas
beberapa prinsip penting yang dipegang Sebagai contoh, persepsi yang didapatkan
oleh para filosof Neo-Sadrian tentang daya seseorang ketika ia merasa dahaga adalah
persepsi. Penulis akan memulainya dengan persepsi estimasi, karena bersifat partikular,
dua postulat berikut: abstrak, dan tanpa memfungsikan alat indera.
Kemudian ketika ia melihat ada segelas air, ia
POSTULAT. 2.1. Setiap persepsi (idrāk) adalah memperoleh pengetahuan inderawi, karena
daya jiwa. bersifat partikular, konkrit, dan melalui
POSTULAT. 2.2. Untuk setiap persepsi, ia fungsi alat indera (mata). Jika suatu saat ia
bersifat inderawi (hissī), fantasi (khayālī), membayangkan kembali segelas air yang ia
estimasi (wahmī), atau intelijibel (‘aqlī). lihat tadi, maka ketika itu ia memiliki persepsi
fantasi, karena bersifat partikular, konkrit, dan
Tentang postulat 2.2, H. Z. Amuli (1385 tanpa penggunaan alat indera. Setelah itu, jika
H.S., 331-334), mengomentari Ibn Sina, ia berpikir bahwa minum air menghilangkan
menyatakan bahwa klasifikasi tersebut dahaga, maka ia memiliki persepsi intelijibel,
sekedar mengikuti kebiasaan pembahasan karena objeknya bersifat universal (tidak
(‘alā sabīl al-wadh‘). Sekalipun demikian, partikular).
penulis melihat bahwa untuk menerima Pluralitas daya persepsi yang dimiliki jiwa
klasifikasi tersebut bukanlah suatu hal yang di atas tidak menunjukan bahwa realitas jiwa
sulit karena hanya berupa deskripsi atas itu divisibel dan komposit. Sebagaimana telah
pengalaman presentatif setiap manusia; dan dijelaskan sebelumnya, bagi para filosof Neo-
oleh karenanya dapat diposisikan sebagai Sadrian realitas jiwa itu bersifat indivisibel
postulat. dan simpel (non-komposit). Mereka berkata
Untuk meringkas penjelasan para bahwa seluruh ragam daya tersebut adalah
filosof Neo-Sadrian tentang makna istilah satu jiwa (al-nafs kull al-quwā). Mereka juga
yang ada pada postulat 2.2, penulis akan mengatakan bahwa subjek dan segala objek
menempatkannya pada definisi-definisi persepsi realitasnya adalah tunggal (ittiḥād
berikut: (Bdk. Amuli 1385 H.S.; 1990, 2:173- ‘ālim wa ma‘lūm) (Amuli 1385 H.S., 335-341;
180) 409-410). Dua klaim ini akan penulis posisikan
148 Studi Kritis terhadap Teori Identitas Pikiran-Otak Mario Bunge .........

sebagai teorema berikut: dari kesatuan suatu substansi dan aksiden-


aksidennya.
TEOREMA 2.8. Seluruh ragam daya persepsi Terakhir, para filosof Neo-Sadrian
realitasnya identik dengan jiwa yang tunggal.
menyatakan bahwa kausa efisien dari
TEOREMA 2.9. Seluruh objek persepsi eksistensi setiap objek persepsi (shūrah
realitasnya identik dengan subjek pemersepsi. ‘ilmiyyah) adalah suatu entitas imaterial
yang disebut dengan intelek aktif (‘aql fa‘‘āl)
Tentang pluralitas daya dan objek (Tabataba‘i 1418 H, 180-181; 1424 H, 307-
persepsi yang identik dengan jiwa sebagai 308; Amuli 1385 H.S., 411-423). Tabataba‘i
subjek pemersepsi yang singular—seperti (1418 H, 180-181; 1424 H, 307-308)
dinyatakan oleh dua teorema di atas, T. M. berkata, “Tentang sumber limpahan forma
Yazdi (1990, 2:232) menjelaskan dua poin pengetahuan. Sumber limpahan (mufīdh)
pernting. Pertama, realitas subjek dan objek setiap forma intelijibel adalah suatu substansi
persepsi pada pengetahuan presentatif intelek imaterial.” Klaim ini akan penulis
setiap diri tentang eksistensi dirinya sendiri tempatkan pada teorema berikut:
adalah identik secara total. Kedua, realitas
subjek dan objek persepsi pada pengetahuan TEOREMA 2.10. Kausa efisien untuk eksistensi
setiap objek persepsi adalah intelek aktif.
representatif di satu sisi bersifat identik
sebagaimana identitas substansi dan aksiden,
Penjelasan istilah: kausa efisien (‘illah
dan di sisi lain bersifat identik sebagaimana
fā‘ilah) adalah salah satu dari empat kausa
identitas eksistensi yang bergradasi.
Aristotelian, yaitu: kausa material, kausa
Untuk memperjelas dua poin dari T. M.
formal, kausa efisien, dan kausa final. Dari
Yazdi di atas, ada tiga prinsip umum yang perlu
keempat kausa tersebut, kausa efisien dan
diklarifikasi. Pertama, realitas itu singular dan
final dikategorikan sebagai kausa eksternal
bergradasi. Kedua, komposisi antara substansi
(‘illah khārijiyyah), sedangkan kausa material
dan aksiden dari setiap entitas riil hanya
dan formal dikategorikan sebagai kausa
bersifat konseptual. Seperti dalam contoh
internal (‘illah dākhiliyyah). Selain itu, setiap
“tembok putih”. Realitas dari tembok putih
kausa eksternal (termasuk kausa efisien) dari
adalah satu, dengan kata lain realitas tembok
sisi langsung-tidak-hubungannya dengan efek
dan realitas warna putih untuk entitas tembok
dapat dibagi ke dalam dua jenis: kausa dekat
putih bersifat identik. Analisis akal-lah yang
(‘illah qarībah) jika langsung terhubung; dan
mengurai entitas tembok putih ke dalam
kausa jauh (‘illah ba‘īdah) jika terhubung
substansi tembok yang menyandang aksiden
melalui kausa perantara (Tabataba‘i 1418
warna putih. Ketiga, setiap aksi dan kualitas
H, 111-112; 1424 H, 204-205). Ghulam
adalah aksiden.
Ridha Fayyadhi, salah satu komentator buku
Dengan tiga prinsip umum tersebut,
Nihāyah al-Ḥikmah, mengatakan bahwa
poin kedua dari T. M. Yazdi di atas dapat
yang dimaksud dengan “sumber limpahan”
ditafsirkan bahwa ketunggalan realitas jiwa
dalam pernyataan Tabataba‘i—yang dikutip
dan ragam daya persepsi yang dimilikinya
sebelumnya, adalah kausa dekat; dan yang
merupakan manifestasi dari ketunggalan
dimaksud dengan “forma pengetahuan” di situ
eksistensi dan keragaman gradasinya. Selain
adalah pengetahuan representatif (Fayyadhi
itu, karena persepsi merupakan aksi jiwa dan
t.t., 4:973). Dengan demikian, pembicaraan
objek persepsi merupakan kualitas jiwa, maka
Tabataba‘i tidak terbatas pada objek persepsi
kesatuan jiwa dengan aksi persepinya dan
(pengetahuan) intelijibel saja, melainkan
dengan kualitasnya merupakan manifestasi
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 2, December 2014 149

seluruh objek persepsi representatif. Lalu, referen yang identik, seperti identitas referen
“substansi intelek imaterial” yang menjadi dari dua konsep berbeda “bintang pagi” dan
kausa dekat dari keberadaan objek-objek “bintang senja”, yaitu: “planet Venus”. Dengan
pengetahuan representatif ini yang disebut kata lain, menurutnya realitas (referen) dari
dengan “akal aktif”. pernyataan “saya sakit” dengan “amigdala
Untuk menjustifikasi klaim di atas, otak saya bekerja” adalah sama total (identik);
Tabataba‘i (1424 H., 307-308) mengajukan referen dari pernyataan “saya membayangkan
argumen yang intinya sebagai berikut. Jiwa dan segelas air” dan pernyataan “korteks visual
setiap objek persepsi (forma pengetahuan) saya bekerja” adalah sama; demikian pulan
yang merupakan kualitas jiwa adalah entitas referen pernyataan “saya memilih” dan
imaterial. Aktualisasi setiap objek persepsi pernyataan “koteks prefrontal saya bekerja”
pada jiwa adalah efek dari suatu kausa efisien adalah sama.
dekat. Kausa efisien dekat tersebut bisa Teori seperti ini jelas berkontradiktori
diandaikan berupa jiwa itu sendiri, entitas dengan teori pikiran dalam filsafat Neo
material di luar jiwa, atau entitas imaterial Sadrian. Hasan Zadeh Amuli berkata bahwa
di luar jiwa. Pengandaian pertama mustahil pikiran yang merupakan suatu daya jiwa
benar karena entitas apapun tidak mungkin itu realitasnya berbeda dari raga, berbeda
menjadi kausa dan efek pada saat yang sama dari konstruk ragawi (mizāj), dan memiliki
dan dari sisi yang sama. Pengandaian kedua aspek independensi dari raga (lihat teorema
juga mustahil benar karena setiap entitas 3.6). Argumen-argumen yang menjustifikasi
material berada pada tingkat eksistensi teorema ini dapat diajukan untuk menunjukan
yang lebih rendah dibandingkan dengan kesalahan klaim Bunge dengan beberapa
entitas imaterial dan setiap kausa efisien pengembangan sebagaimana poin-poin
memiliki tingkat eksistensi yang lebih tinggi berikut ini.
dari efeknya. Jadi, kausa efisien dekat dari Poin pertama, pikiran sebagai daya jiwa
aktualitas setiap objek persepsi pada jiwa yang terwujud dalam pengalaman presentatif
pasti merupakan entitas imaterial yang lebih setiap individu sebagai “aku subjek yang
tinggi tingkat eksistensinya dari jiwa, yaitu memersepsi” dan terwujud dalam “fenomena
suatu susbtansi intelek yang disebut dengan objek terpersepsi” menunjukan bahwa pikiran
intelek aktif. memiliki properti tidak berdegenerasi,
tidak memiliki ekstensi tiga dimensi, dan
Analisis Kritis atas Teori Pikiran Mario selalu hadir dalam kesadaran diri. Properti
Bunge dari Perspektif Neo-Sadrian seperti ini tidak dimiliki oleh raga apapun
termasuk otak (sistem saraf pusat). Setiap
1. Analisis atas Teori Identitas Pikiran dan raga atau forma ragawi akan berdegenerasi
Otak (korup/musnah), tidak selalu hadir dalam
kesadaran diri, dan memiliki bentangan tiga
Klaim utama teori identias pikiran dan dimensi. Untuk memperjelas poin ini, penulis
otak yang dipegang Bunge menyatakan bahwa akan menguraikan satu-persatu premisnya
“untuk setiap proses pikiran M, ada suatu [Catatan: terma “raga” yang bersifat umum
proses N pada sistem saraf pusat, dengan M = akan penulis spesifikasi pada “psikon”, yaitu
N” (lihat postulat 1.1). Dalam penjelasannya, bagian otak tertentu yang merupakan sistem
Bunge juga menyatakan bahwa yang dimaksud sel saraf dengan konektifitas variatif, agar
dengan identitas adalah bahwa M dan N relevan dengan klaim Bunge].
merupakan dua konsep yang berbeda dengan
150 Studi Kritis terhadap Teori Identitas Pikiran-Otak Mario Bunge .........

Premis 1. Tak satu pun “aku” berdegenerasi perkembangan sains yang sejati.
(musnah). Secara umum penulis memandang bah-
Premis 2. Setiap psikon berdegenerasi.
Premis 3. Tak satu pun “aku” tidak selalu hadir
wa tak satupun dari kritik tersebut bersifat
dalam kesadaran diri. murni filosofis. Kritik pertama bersifat
Premis 4. Setiap psikon tidak selalu hadir semantik, sedangkan tiga kritik sisanya ber-
dalam kesadaran diri. hubungan dengan prinsip saintisme yang
Premis 5. Tak satupun “aku” memiliki
bentangan tiga dimensi.
ia pegang. Satu-satunya argumen filosofis
Premis 6. Setiap psikon memiliki bentangan yang ia ajukan adalah kritiknya atas satu
tiga dimensi. argumen dualis untuk mendukung klaim
bahwa properti pikiran dan raga itu berbeda,
Silogisme dari premis mayor 2 dan premis dengan premis 1: “aku memiliki pengetahuan
minor 1; premis mayor 4 dan premis minor 3; langsung tentang status pikiranku”; dan
juga premis mayor 6 dan premis minor 5 akan premis 2: “aku tidak memiliki pengetahuan
menghasilkan kesimpulan yang sama: “Aku langsung tentang status otakku”. Menurutnya
bukan psikon”. Kesimpulan ini sejalan dengan argumen seperti ini mengandung falasi,
teorema 2.1. karena perbedaan properti pikiran dan otak
Poin kedua, seperti telah disinggung sebagai “yang diketahui langsung atau tidak”
sebelumnya, Bunge sendiri menyatakan bah- bukanlah poin perdebatan antara dualis dan
wa teori identitas sebenarnya merupakan monis-materialis, dan bahwa properti seperti
hipotesis murni, bukan seperti teori yang ini bukanlah properti riil dari pikiran dan
seharusnya dideduksi dari premis-premis raga sebagai entitas riil. Ia juga berkata bahwa
yang aksiomatik atau telah teruji secara baik subjek dapat memersepsi satu entitas dengan
secara saintifik. Dengan kata lain, sebenarnya beragam bentuk pengetahuan.
teori ini mirip dengan dogma. Hanya saja, Jawaban lebih detil untuk kritik-kritik
ia memandang bahwa teori ini lebih baik Bunge tersebut dari sudut pandang filsafat
diterima dibanding dengan teori lainnya yang Neo-Sadrian dapat dijelaskan dalam poin-poin
idealistik atau dualistik, karena sejalan dengan berikut:
ontologi materialisme dan perkembangan Pertama, silogisme yang dikritik oleh
sains kontemporer. Poin ini juga berhubungan Bunge tidak sama dengan satupun argumen
erat dengan kritik Bunge atas dualisme, jadi keberbedaan properti jiwa dan raga dalam
akan penulis bahas di bagian terakhir bab ini filsafat Neo-Sadrian, seperti yang telah penulis
ketika menganggapi kritik tersebut. jelaskan di bab empat dan di bagian lain bab
ini. Dengan kata lain, kritik Bunge tersebut
2. Analisis atas Kritik Bunge terhadap tidak mengenai satupun premis yang penulis
Dualisme Pikiran dan Otak (Jiwa dan Raga) ajukan untuk membuktikan keberbedaan jiwa
dan raga dari kerangka Neo-Sadrian.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Namun demikian, ada persamaan antara
delapan kritik utama Bunge atas dualisme premis dalam silogisme di atas dengan premis-
pikiran dan raga, dapat dipadatkan menjadi premis yang penulis ajukan sebelumnya, yaitu
empat poin, yaitu: (1) tentang kesamaran modus epistemologis yang mendasari semua
konsep dualisme; (2) tentang ketakterujian premis tersebut. Modus epistemologis tersebut
dualisme secara eksperimental; (3) tentang adalah bahwa semua premis tentang properti
inkonsistensi dualisme dengan sejumlah pikiran didasarkan pada pengalaman subjektif
hasil riset saintifik mutakhir; dan (4) (pendekatan orang pertama), sedangkan
tentang kontraproduktifnya dualisme bagi tentang properti raga (psikon) didasarkan
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 2, December 2014 151

pada pengalaman objektif (pendekatan orang itu. Dengan prinsip prinsipalitas, singularitas,
kedua). Bunge menolak perbedaan modus dan gradasi eksistensi ia bisa lebih mudah
epistemologis seperti ini untuk dijadikan menjelaskan interaksi tersebut. Lebih dari
dasar klaim tentang perbedaan properti itu, ia menjelaskan interaksi tersebut dengan
ontologis antara entitas yang diketahui prinsip gerak trans-substansi (ḥarakah
melaluinya. Persoalannya adalah bahwa jawhariyyah). Poin ini memerlukan tempat
realitas subjektif pikiran dari satu individu lain untuk menguraikannya (Bdk. al-Walid
tidak dapat ditangkap oleh pihak kedua secara 2012, 49-53).
objektif. Karenanya, wajar jika sebagian filosof Ketiga, tentang ketakterujian klaim
kontemporer, seperti John Searle, memandang dualisme secara eksperimental. Jika yang ia
bahwa perbedaan tersebut sebenarnya bukan maksud adalah bahwa klaim bahwa esensi
sekedar epistemologis, melainkan ontologis raga berbeda dari esensi pikiran, maka
(Blackmore 2004, 373). sebenarnya hal sama berlaku bagi klaim monis
Pandangan terakhir ini sejalan dengan bahwa esensi raga identik dengan esensi
prinsip Neo-Sadrian bahwa perbedaan antara pikiran. Namun jika yang ia maksud adalah
pengetahuan presentatif dan representatif bahwa objek subjektif pikiran tidak dapat
bukan hanya merupakan perbedaan modus diuji melalui eksperimen, maka tergantung:
epistemologis, melainkan juga menunjukan (1) jika yang ia maksud eksperimen adalah
kategori ontologis dari objek yang diketahui, eksperimen objektif, tentu memang tidak
“eksistensi” untuk yang pertama, dan bisa, namun ini tidak juga menunjukan bahwa
“esensi” untuk yang kedua. Dengan kata monisme benar; (2) jika yang ia maksud adalah
lain, perbandingan antara kategori ontologi eksperimen subjektif, maka klaim tersebut
pikiran dan psikon pada dasarnya merupakan salah. Fisiopsikologi sejak dahulu menjalankan
perbandingan antara eksistensi yang satu dan eksperimen terhadap pengalaman internal
esensi yang lainnya. subjek (Bdk. Revonsuo 2010).
Kedua, tentang kesamaran konsep Keempat, tentang inkonsistensi dualisme
dualisme. Klaim seperti ini tidak dapat diterima. dengan temuan-temuan saintifik mutakhir.
Sebelumnya penulis telah menguraikan Di sini, penulis melihat bahwa Bunge yang
bagaimana bentuk dualisme interaksionis biasanya sangat rigid dengan kejelasan konsep
yang dipertahankan oleh para filosof Neo- justru menggunakan konsep yang sangat
Sadrian diajukan melalui konsep-konsep yang ambigu: “inkonsistensi”. Apakah maksudnya
terdefinisikan dan terformulasikan secara inkonsistensi adalah “kontradiksi” ataukah
jelas. “kontrari”? Klaim utama dualis adalah bahwa
Persoalan bagaimana entitas material “seluruh pikiran adalah esensi yang berbeda
dan imaterial berinteraksi sebenarnya bukan dari esensi raga” (proposisi A), atau “seluruh
persoalan baru. Dahulu Descartes mengklaim pikiran memiliki properti esensial yang tidak
bahwa ada bagian otak tertentu yang menjadi dimiliki satu pun raga” (proposisi B). Jika
mediatornya, yaitu pineal gland. Sebelum ada temuan saintifik yang berkontradiktori
itu Ibn Sina juga mengatakan bahwa harus dengan klaim tersebut, maka temuan tersebut
ada mediator, namun bukan pineal gland, harus berupa klaim bahwa “sebagian pikiran
melainkan suatu raga halus (semacam bukanlah esensi yang berbeda dari esensi
uap) yang ia sebut “al-rūḥ” di otak (Ibn Sina raga” (proposisi C) atau “sebagian pikiran tidak
1417 H/1375 H.S., 357). Mulla Sadra—yang memiliki properti esensial yang tidak dimiliki
diikuti oleh para filosof Neo-Sadrian, tidak satu pun raga” (proposisi D). Jika ada temuan
memandang perlu adanya mediator seperti saintifik yang berkontrari dengan klaim
152 Studi Kritis terhadap Teori Identitas Pikiran-Otak Mario Bunge .........

utama dualis, maka temuan tersebut harus monis-materialis. Etos saintifik itu tidak
berupa klaim bahwa “tak satu pun pikiran mensyaratkan materialisme, khususnya
yang merupakan esensi yang berbeda dari dilihat dari sudut pandang filosofis.
esensi raga” (proposisi E), atau “tak satupun
pikiran yang memiliki properti esensial yang Kesimpulan
tidak dimiliki oleh satu pun raga” (proposisi Sejak awal penulis telah menyatakan
F). Adakah temuan saintifik yang menyatakan bahwa teori identitas pikiran dan otak tidak
klaim seperti dalam proposisi C, D, E, dan F?! akan dapat diterima oleh para pemeluk agama
Tak satu pun bidang pengetahuan apapun yang percaya pada adanya realitas
yang disebutkan Bunge sebagai tidak imaterial pada pengalaman mistis. Hanya saja,
konsisten dengan dualis—yaitu psikologi sekali lagi, persoalannya dalam diskursus
perkembangan, etologi kognitif, psikologi teologi dan filsafat yang rasional adalah
komparatif, arkeologi kognitif, dan bedah otak, setiap klaim itu tidak dapat sekedar ditolak
mengajukan salah satu dari keempat klaim di atau diterima hanya karena bertentangan
atas. Semua bidang saintifik tersebut hanya dengan kepercayaan yang dianut, melainkan
memegang asumsi “adanya korelasi antara harus disertai proses penalaran rasional yang
pikiran dan organ tubuh atau entitas material” melibatkan berbagai argumen. Pemaparan
sehingga “studi tentang pikiran dapat didekati sebelumnya telah menunjukan bahwa teori
dengan observasi atas bagian tubuh tertentu identitas pikiran dan otak yang dianggap
atau entitas material tertentu”. Sebagaimana sebagai prinsip yang paling sesuai dengan
telah dijelaskan sebelumnya, asumsi seperti perkembangan saintifik mutakhir seperti
ini bisa diterima oleh para dualis termasuk diklaim oleh Mario Bunge bisa dikritisi secara
versi Neo-Sadrian. rasional dari sudut pandang filsafat religius-
Kelima, tentang dualisme yang sufistik seperti yang menjadi corak filsafat
kontraproduktif secara saintifik. Klaim ini Neo-Sadrian. Lebih dari itu, uraian sebelumnya
tidak dapat diterima. Fakta bahwa banyak juga menunjukan bahwa pada dasarnya filsafat
saintis yang menganut dualisme atau varian yang bercorak religius-mistis (sufistik) seperti
nonmaterialis lainnya, menunjukan bahwa dalam contoh filsafat Neo-Sadrian tetap dapat
dualisme atau posisi non-materialisme lainnya sejalan dengan perkembangan riset saintifik
bisa produktif secara saintifik. Salah satu mutakhir.
peraih nobel neurofisiologis, suatu bidang
yang sering dipuji Bunge dalam studi pikiran,
adalah John Eccles, seorang dualis Popperian
(Bdk. Popper & Eccles 1985). Salah satu tokoh
bedah otak yang menemukan metode rekoleksi
memori dengan stimulasi temporal lobe dalam
proses pembedahan, Wilder Penfield, juga
adalah seorang dualis interaksionis. Sekalipun
ontologi dualisme pikiran dan raga memang
tidak bertentangan dengan pendekatan non-
saintifik atas studi pikiran, seperti pada kasus
parapsikologi, psikoanalisis, supranatural,
memetik, dan takhayul yang disebutkan oleh
Bunge, namun ini tidak berarti bahwa studi
non-saintifik tidak akan ada dalam kerangka
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 2, December 2014 153

DAFTAR RUJUKAN York: Palgrave Macmillan.

al-Rifa‘i, Abd al-Jabbar, ed. t.t. al-Ijtihād al- Ibn Sina. 1417 H/1375 H.S. al-Nafs min Kitāb
Kalāmī: Manāhij wa Ru’yā Mutanāwi‘ah fī al-Syifā’, ta‘līq: Hasan Zadeh Amuli. Qom:
al-Kalām al-Jadīd. Beirut: Dar al-Hadi. Markaz al-Nasyr-Maktab al-I‘lam al-Islami.
Labib, Muhsin. 2005. Para Filosof sebelum dan
al-Walid, Kholid. 2012. Perjalanan Jiwa menuju sesudah Mullā Shadrā. Jakarta: Al-Huda.
Akhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Shadra
Jakarta: Sadra Press. Maslin, K. T. 2001. An Introduction to the
Amuli, Hasan Zadeh. 1385 H.S. ‘Uyūn Masā’il Philosophy of Mind. Cambridge: Polity
al-Ḥikmah wa Sarḥ al-‘Uyūn fī Syarḥ al- Press.
‘Uyūn. Teheran: Mu’assasah Intisyarat McNamara, Patrick. 2009. The Neuroscience of
Amir Kabir. Religious Experience. Cambridge: CUP.
Blackmore, Susan. 2004. Consciousness: An Moalemi, Hasan. t.t. Ḥikmat Muta’āliyah. Qom:
Introduction. Oxford: OUP. Markaz Nasyr-e Hājir.
Bunge, Mario, & Ruben Ardila. 1987. Philosophy
of Psychology. New York: Springer-Verlag. Nasr, Seyyed Hossein. 1979. Ṣadr al-Dīn
Shīrāzī and His Transcendent Theosophy:
Bunge, Mario. 2010. Matter and Mind: A Background, Life, and Works. Tehran:
Philosophical Inquiry. Dordrecht: Springer. Imperial Iranian Academy of Philosophy.
--------. 2003. Philosophical Dictionary. New --------. 2003. “Mulla Sadra: Ajaran-ajarannya”,
York: Prometheus Books. dalam S. H. Nasr & Oliver Leaman (ed.),
Churchland, Paul M. 1999. Matter and Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
Consciousness. Cambridge: The MIT Press Bandung: Mizan.

Eshkevari, Mohammad Fana‘i. 2012. An Popper, Karl R., & John Eccles. 1985. The Self
Introduction to Contemporary Islamic and Its Brain. Berlin: Springer-Verlag.
Philosophy, terj. Ingris oleh Mostafa Hoda’i. Rahman, Fazlur. 1975. The Philosophy of Mullā
London: MIU Press. Sadrā. Albany: SUNNY Press.
Fayyadhi, Ghulam Ridha. t.t. Syarḥ Nihāyah Rashad, Ali Akbar. 1999. “Neo-Sadrian
al-Ḥikmah. Jil. 4. Qom: Markaz Intisyārāt Philosophical Discourse,” dalam Sadra
Mu’assasah Omuzesyi wa Pezuhesyi Imam Islamic Philosophy Research Institute
Khomeini. (SIPRIn), Mulla Sadra and Transcendent
Guessoum, Nidhal. 2003. Islam’s Quantum Philosophy. Jil.1. Tehran: SIPRIn
Question: Reconciling Muslim Tradition and Publication.
Modern Science. London: I.B. Tauris.
Revonsuo, Antti. 2010. Consciousness:
Hammadah, Tarrad. 2003. Mabāhits fī al- The Science of Subjectivity. New York:
Falsafah al-Islāmiyyah al-Mu‘āshshirah. Psychology Press.
Beirut: Dar al-Muhajjah al-Baidha.
Tabataba‘i, Muhammad Husein. 1418 H.
Hick, John. 2006. The New Frontier of Religion Bidāyah al-Ḥikmah. Qom: t.p.
and Science: Religious Experience, ---. 1424 H. Nihāyah al-Ḥikmah. Qom:
Neuroscience, and the Transcendent. New
154 Studi Kritis terhadap Teori Identitas Pikiran-Otak Mario Bunge .........

Muassasah al-Nasyr al-Islami.


Yazdi, Muhammad Taqi Misbah. al-Manhaj al-
Jadīd fī Ta‘līm al-Falsafah, terj. Muhammad
Abd al-Mun‘im al-Khaffani. Jil. 2. Beirut:
Dar al-Ta‘āruf li al-Matbu‘at, 1990.

Anda mungkin juga menyukai