Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEPRIBADIAN PSIKODINAMIK

TEORI EDUARD SPRANGER

Dosen Pengampu:

Dyta Setiawati, M.Psi, Psikolog

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Annisa Hayatun Fardah (2173201110037)

M. Yazidane Nurul Isa (2173201110047)

Muhammad Nazhfi Khairi (2173201110053)

Nur Annisa Adeliana (2173201110057)


PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

2021

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Teori Eduard Spranger” ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Kepribadian Psikodinamik, program studi S1 Psikologi,
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
laporan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Terutama yang terhormat Ibu Dyta
Setiawati, M.Psi, Psikolog selaku dosen pengampu mata kuliah Kepribadian Psikodinamik.

Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi sempurnanya laporan
ini. Semoga laporan ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Banjarmasin, 23 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

C. Tujuan.............................................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................3

A. Biografi...........................................................................................................................3

B. Teori Spranger.................................................................................................................3

C. Kritik.............................................................................................................................10

BAB III.....................................................................................................................................11

A. Kesimpulan...................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Supaya dapat memahami teori Spranger dengan lebih baik, perlulah orang
mengadakan orientasi sedikit dalam lapangan ilmu pengetahuan. Dengan mengadakan
orientasi mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan itu dapatlah orang menempatkan teori
Spranger itu pada tempat yang sewajarnya. Di dalam filsafat, ilmu pengetahuan dikenal
berbagai sistem penggolong-golongan atau klasifikasi ilmu pengetahuan. Salah satu di antara
sistem-sistem tersebut yang langsung berhubungan dengan apa yang dibicarakan dalam bab
ini ialah sistem penggolong-golongan ilmu pengetahuan menurut aliran Neo-Kantianisme
mazhab Baden.
Wilhelm Windelband (1848-1915), salah seorang pelapor mazhab Baden itu,
menggolong-golongkan ilmu-ilmu pengetahuan menjadi dua golongan, yaitu:
1. Ilmu-ilmu pengetahuan alamiah, yang disifatkannya sebagai ilmu ilmu pengetahuan
nomothetis.
2. Ilmu-ilmu pengetahuan kesejarahan, yang disifatkannya sebagai ilmu pengetahuan
ideografis.
Sejiwa dengan pendapat yang telah dikemukakan di atas itu ialah sejarah serta seorang
pelopor filsafat hidup yang anti-intelektualistis, pendapat Heinrich Rickert ( 1863-1936 ),
seorang ahli filsafat dan yang mempertahankan otonomi ilmu-ilmu pengetahuan kerohanian
di samping ilmu-ilmu pengetahuan alamiah. Dia membedakan alam semesta beserta isinya
menjadi dua, yaitu:
1. Alam kodrati (das Reich der Natur)
2. Alam kesejarahan (das Reich der Geschichte)
Alam kodrati itu dapat diterangkan, dapat di "erklären", sedangkan kehidupan jiwa
(Seelenleben) yang menjadi sumber struktur rohani dan sejarah tidak dapat diterangkan,
melainkan haruslah dipahami, di "verstehen".
Pendapat Rickert itu diikuti antara lain oleh Willhelm Dilthey. Atas dasar cara
pendekatan dan metode yang dua macam itu, maka Dilthey menggolong-golongkan ilmu-
ilmu pengetahuan menjadi dua golongan, yaitu:
1. Ilmu-ilmu pengetahuan alamiah (Naturwissenschaften), dengan metode
pokoknya menerangkan (erklaren).

1
2. Ilmu-ilmu pengetahuan kerohanian (Geisteswissenschaften), dengan metode
pokoknya memahami (verstehen).
Salah satu ilmu pengetahuan yang penting dalam golongan kedua itu ialah psikologi,
atau lebih tepatnya psikologi yang berdasar pada ilmu pengetahuan kerohanian
(Geisteswissenschaftliche Psychologie). Tokoh utama aliran psikologi ini dan yang oleh
banyak ahli dianggap sebagai juru bicara aliran tersebut adalah Eduard Spranger.

B. Rumusan Masalah

1. Biografi Eduard Spranger


2. Tipologi berdasarkan nilai kebudayaan

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui teori Eduard Spranger.


2. Untuk mengetahui bagaimana Tipologi berdasarkan nilai kebudayaan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi

Eduard Spranger (27 Juni 1882 - 17 September 1963) adalah


seorang filsuf dan psikolog Jerman. Seorang mahasiswa Wilhelm Dilthey, Spranger lahir
di Berlin dan meninggal di Tübingen. Ia dianggap sebagai seorang humanis yang
mengembangkan pedagogi filosofis sebagai tindakan 'pertahanan diri' terhadap teori
eksperimental yang berorientasi psikologi pada masa itu. Eduard Spranger, tokoh utama
aliran ini, adalah guru besar Ilmu Filsafat dan Ilmu Pendidikan di Universitas-universitas:
Leipzig, Berlin, Tubingen

Spranger adalah penulis buku Lebensformen (Diterjemahkan sebagai Tipe Manusia ),


yang terjual 28.000 eksemplar pada akhir 1920. Spranger berteori bahwa tipe kehidupan
manusia adalah struktur dalam kesadaran. Keyakinannya adalah bahwa tipe kepribadian
memiliki dasar dalam biologi, tetapi tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh biologi. Dia
menulis, "Pada tingkat yang lebih rendah, mungkin, jiwa murni ditentukan secara biologis.
Pada tingkat yang lebih tinggi, sejarah, misalnya, jiwa berpartisipasi dalam nilai-nilai objektif
yang tidak dapat disimpulkan dari nilai sederhana pelestarian diri." Dia mengkritik psikolog
yang mereduksi jiwa dan masyarakat menjadi elemen abstrak sains.Karakteristik lain dari
pemikiran Spranger adalah minatnya pada holisme, yang melibatkan penemuan bahwa
"segala sesuatu adalah bagian dari segala sesuatu yang lain," dan bahwa "totalitas pikiran
hadir dalam setiap tindakan." [2] Dia menegaskan bahwa perhitungan kuantitatif dari sensasi,
refleks, dan kutipan dari memori adalah unit yang tidak berarti, yang ketika disintesis, tidak
menambahkan keseluruhan yang bermakna yang kita semua jalani.

B. Teori Spranger

Pokok - pokok pikiran Spranger mengenai kepribadian manusia singkatnya adalah


sebagai yang dikemukakan berikut ini.

1. Dua Macam Roh (Geist)


Pertama-tama Spranger membedakan adanya dua macam roh (Geist), yaitu:
a. Roh subyektif atau roh individual (subjektive Geist, individuelle Geist), yaitu roh
yang terdapat pada manusia masing-masing (individual). Roh individual ini
merupakan struktur yang bertujuan.

3
 Roh individual itu merupakan struktur, karena roh individual itu harus dapat
dipahami kalau ditinjau sebagai anggota daripada struktur yang lebih tinggi,
yaitu kebudayaan.
 Roh individual itu bertujuan. Adapun tujuannya yaitu mencapai atau
menjelmakan nilai-nilai tertentu, dan karena itu juga hanya dapat dipahami
dengan jalan memahami sistem nilai-nilai itu. Struktur yang lebih tinggi
atau sistem nilai-nilai itu ialah roh obyektif.
b. Roh obyektif atau roh supra-individual , atau kebudayaan (Objektive Geist, Uber
individuelle Geist, Kultur), yaitu roh seluruh umat manusia, yang dalam
concretonya merupakan kebudayaan yang telah terjelma dan berkembang selama
berabad-abad bersama-sama manusia-manusia individual.
2. Hubungan antara Roh Subyektif dan Roh Obyektif

Roh subyektif dan roh obyektif itu berhubungan secara timbal balik. Roh subyektif
atau roh individual, yang mengandung nilai-nilai yang terdapat pada masing-masing individu,
dibentuk dan dipupuk dengan acuan roh obyektif, artinya roh individual itu terbentuk dan
berkembang dengan memakai roh obyektif sebagaimana norma.

Roh obyektif atau kebudayaan itu mengandung unsur-unsur yang telah mendapat
pengakuan umum sebagai hal-hal yang bernilai, karena itu diberi kedudukan yang tinggi dan
ditaruh di atas roh individual.

Individu tak dapat mengelak atau melepaskan diri dari pengaruh roh obyektif, tiap
individu mesti menerima pengaruh dari susunan dan keadaan-keadaan lingkungan sosial di
mana dia hidup . Dalam pada itu roh obyektif juga tidak dapat dipisahkan dari roh subyektif
atau roh individual; walaupun roh obyektif itu dalam batas tertentu dapat dinyatakan di luar
jiwa perseorangan, namun tidak dapat dibayangkan lepas dari (tanpa) roh subyektif. Sebab
individu-individulah yang dari abad menciptakan nilai-nilai kebudayaan itu. Nilai nilai
kebudayaan akan lenyap jika sekiranya manusia-manusia sebagai individu tidak
mendukungnya serta menghayatinya. Karena itu bagaimanapun juga dalam saling hubungan
antara roh subyektif dan roh obyektif itu roh subyektif tetap primer, dan roh obyektif mempu
nyai kedudukan sekunder, sebab, sekalipun manusia sangat tergantung kepada unsur-unsur
kebudayaan yang ada, akan tetapi dia tidak hanya pasif menerima saja, melainkan dia juga
aktif dan kreatif. Manusia menerima kebudayaan yang telah ada dan mengembangkan kebuda
yaan itu dengan penciptaan-penciptaan baru.

4
3. Lapangan-lapangan Hidup

Kebudayaan (Kultur) oleh Spranger dipandang sebagai sistem nilai-nilai, karena


kebudayaan itu tidak lain adalah kumpulan nilai nilai kebudayaan yang tersusun atau diatur
menurut struktur tertentu. Kebudayaan sebagai sistem atau struktur nilai-nilai ini oleh
Spranger digolong-golongkan menjadi enam lapangan nilai (Wertegebieten).

Keenam lapangan ini atau lapangan hidup itu masih dikelompok-kelompokkan lagi
menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Lapangan-lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu,


yang meliputi empat lapangan nilai, yaitu:
lapangan pengetahuan ( ilmu, teori)
1. Lapangan ekonomi
2. Lapangan kesenian
3. Lapangan keagamaan
b. Lapangan-lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota
masyarakat. Lapangan-lapangan ini menyangkut manusia dengan kekuatan cinta
(Macht der Liebe) dan cinta akan kekuasaan (Liebe zur Macht). Kelompok ini
mencakup dua nilai, yaitu:
1. Lapangan kemasyarakatan
2. Lapangan politik

Jadi menurut Spranger dalam kebudayaan itu terdapat adanya enam macam lapangan
nilai, atau yang disebut juga bentuk-bentuk kehidupan (Lebensformen).

1. Tipologi Spranger
a. Enam Tipe Manusia

Roh subyektif, sebagai struktur atau sistem nilai-nilai dalam masing-masing individu
yang terbentuk dan berkembang oleh pengaruh-pengaruh dasar, pendidikan dan lingkungan
dengan berpedoman kepada roh obyektif sebagai cita-cita yang harus dicapai atau dijelmakan
juga mengandung keenam nilai-nilai kebudayaan seperti yang telah dikemukakan di atas itu.
Walaupun roh subyektif itu mengandung keenam nilai kebudayaan itu, namun dalam
kenyataannya kerap kali hanya salah satu nilai sajalah yang dominan. Dan nilai yang
dominan yang memberi corak atau bentuk kepada kepribadiannya.

5
Dengan berdasarkan kepada dasar bahwa ada enam nilai kebudayaan yang ada pada
tiap individu, dan kenyataan bahwa biasanya hanya salah satu nilai saja yang dominan itu,
maka sampailah Spranger kepada penggolong-golongan manusia menjadi enam golongan,
atau enam tipe. Dalam hal ini haruslah diingat, bahwa tipe-tipe yang dikemukakan oleh
Spranger itu hanyalah merupakan tipe-tipe pokok atau tipe-tipe ideal (Grundtypen atau
idealtypen), artinya tipe-tipe yang hanya ada dalam teori, dan tak akan dijumpai dalam
kenyaman kehidupan. Akan tetapi menurut Spranger, dengan tipe-tipe ideal itu orang dapat
cepat menempatkan individu-individu yang dihadapinya paling dekat ke golongan atau tipe
yang mana.

b. Pencandraan Tipe-tipe

Dalam bukunya Lebensformen Spranger memberikan pencandraan (deskripsi) masing-


masing tipe itu secara luas. Akan tetapi kiranya akan terlalu jauhlah kalau di sini disajikan
uraian Spranger tersebut sampai mengunsur.

Secara garis besar dapatlah dikemukakan hal yang berikut ini. Seseorang itu corak
sikap hidupnya ditentukan oleh nilai kebudayaan mana yang dominan, yaitu nilai kebudayaan
mana yang olehnya dipandang sebagai nilai yang tertinggi (nilai yang paling bernilai). Ia
akan memandang segala sesuatu, jadi juga nilai-nilai kebudayaan yang lain , dengan
kacamata nilai yang dihargainya paling tinggi itu, yaitu dari kacamata nilai-nilai yang
dominan itu, sehingga nilai-nilai kebudayaan yang lain itu akan diwarnai juga oleh nilai yang
dominan itu.

1) Manusia Teori

6
Seorang manusia teori adalah seorang intelektualitas sejati, manusia ilmu. Cita-cita
utamanya ialah mencapai kebenarannya dan hakikat daripada benda-benda. Banyak kali
motifnya mengusahakan ilmu pengetahuan itu hanya semata-mata untuk ilmu pengetahuan
tersebut tanpa mempersoalkan faedah atau hasilnya; bagi orang-orang golongan tipe ini
berlakulah semboyan: La science pour la science.

Tujuan yang dikejar oleh manusia teori adalah pengetahuan yang obyektif, sedangkan
segi lain seperti misalnya soal-soal moral, keindahan, dan sebagainya terdesak ke belakang.
Ia adalah ahli pikir yang logis, dan memiliki pengertian-pengertian yang jelas serta membenci
segala bentuk kekaburan. Dalam kehidupan sehari-hari ia adalah seorang pencinta kebenaran,
konsekuen, dan nuchter . Jika sekiranya seorang guru besar termasuk tipe ini, maka dia akan
memandang bahwa pekerjaan memberi kuliah itu akan menghambat kemajuannya dalam
studi dan research. Jika sekiranya seorang ayah termasuk golongan tipe ini, maka ia akan
menganggap bahwa bersenda gurau dengan anak-anaknya adalah suatu perbuatan yang
membuang-buang waktu dan menghambat studinya.

Sikapnya terhadap nilai-nilai yang lain pun terpengaruh oleh nilai-nilai teori itu:

a) la asing terhadap utilisme yang menjadi pedoman dalam lapangan ekonomi;


kurang mengindahkan kesenangan hidup dan kurang menghargai kekayaan;
memang dia mengejar kekayaan, akan tetapi bukan kekayaan akan harta benda,
melainkan kekayaan akan pengetahuan yang benar.
b) Manusia teori tidak menaruh perhatian kepada masalah keindahan; sebagai
manusia teori dia menghendaki hal-hal yang berlaku umum dan obyektif,
sedangkan seniman-seniman justru menghendaki hal-hal yang individual;
mungkin juga dia mengembangkan rasa keindahannya, akan tetapi dalam bentuk
misalnya ilmu ukur atau keseragaman daripada alam.
c) Jika sekiranya manusia teori itu tidak asing terhadap keagamaan. maka besar
kemungkinannya dia akan meninjau masalah keaga- maan itu secara rasionalistis;
di sini akan kita temui apa yang disebut: "amor dei intelectualis".
d) Juga perhatiannya terhadap masyarakat tidak besar. Seringkali bersikap masa
bodoh terhadap lingkungan sosialnya, kalau dia bergaul maka akan dipilihnya
orang-orang yang sepaham, atau setidak-tidaknya orang-orang dari golongan
cendekiawan, sehingga pergaulannya itu dipandangnya berguna juga bagi
kemajuan studinya.

7
e) Sikapnya terhadap politik pun tidak berbeda dengan sikapnya terhadap nilai-nilai
yang lain; dia tidak ingin berkuasa, tidak giat. Kalau berbuat paling-paling dia
mengeritik atau melakukan po- lemik secara teoritis.
2) Manusia Ekonomi

Orang-orang yang termasuk golongan manusia ekonomi ini selalu kaya akan gagasan-
gagasan yang praktis, kurang memperhatikan bentuk tindakan yang dilakukannya, sebab
perhatiannya terutama tertuju kepada hasil daripada tindakannya itu, hasilnya bagi dirinya
sendiri. Manusia golongan ini akan menilai segala sesuatu hanya dari segi kegunaannya dan
nilai ekonomisnya; dia bersikap egosentris, hidupnya dan kepentingannya sendirilah yang
penting, dan orang- orang lain hanya menarik perhatiannya selama mereka masih berguna
baginya; penilaian yang dikemukakannya terhadap orang lain, yang dikenakannya terhadap
sesama manusia, terutama didasarkan kepada kemampuan kerja dan prestasinya.

Sikap jiwanya yang praktis itu memungkinkan dia dapat mencapai hanyak hal di
dalam hidupnya; dia mengejar kekayaan, dan dengan kekayaannya itu dia akan mencapai
yang diinginkannya.

3) Manusia Estetis

Manusia estetis menghayati kehidupan seakan-akan tidak sebagai pemain, tetapi


sebagai penonton; dia selalu seorang impresionis, yang menghayati kehidupan secara pasif;
disamping itu dapat juga dia seorang ekspresionis, yang mewarnai segala kesan yang
diterimanya dengan pandangan jiwa subyektifnya. Juga manusia estetis itu berkecenderungan
ke arah individualisme; hubungan dengan orang-orang lain kurang kekal. Apabila dia tidak
asing dari keagamaan, maka rasa keagamaannya itu mungkin akan memuncak pada
pendewaan terhadap keselarasan dalam alam. Baginya yang nomor satu adalah keindahan.

4) Manusia Agama

Menurut Spranger inti daripada hal keagamaan itu terletak dalam pencarian terhadap
nilai tertinggi daripada keberadaan ini; siapa yang belum mantap akan hal ini belumlah
mencapai apa yang seharusnya dikejarnya, dia belum mempunyai dasar yang kuat bagi
hidupnya. Sebaliknya siapa yang sudah mencapai titik tertinggi itu akan merasa bebas,
tenteram dalam hidupnya. Bagi seorang yang termasuk golongan tipe ini segala sesuatu itu
diukur dari segi artinya bagi kehidupan rohaniah kepribadian, yang ingin mencapai
keselarasan antara pengalaman batin dengan arti daripada hidup ini.

8
5) Manusia sosial

Sifat utama daripada manusia golongan tipe ini adalah besar kebutuhannya akan
adanya resonansi dari sesama manusia; butuh hidup di antara manusia-manusia lain dan ingin
mengabdi kepada kepentingan umum. Nilai yang dipandangnya sebagai nilai yang paling
tinggi adalah "cinta terhadap sesama manusia", baik yang tertuju kepada individu tertentu
maupun yang tertuju kepada kelompok manusia.

6) Manusia kuasa

Manusia kuasa bertujuan untuk mengejar kesenangan dan kesadaran akan


kekuasaannya sendiri; dorongan pokoknya adalah ingin berkuasa; semua nilai-nilai yang lain
diabdikan kepada nilai yang saru itu. Kalau manusia ekonomi mengejar penguasaan akan
benda-benda maka manusia kuasa mengejar penguasaan atas manusia.

c. Diferensiasi Tipe-tipe

Keenam tipe yang baru saja dikemukakan pencandraannya itu adalah tipe-tipe pokok
(Grundtypen). Spranger tidak berhenti dengan mengemukakan tipe-tipe pokok itu saja, tetapi
dia masih mengemukakan diferensiasi tipe-tipe dan kombinasi tipe-tipe itu.

a) Diferensiasi tipe-tipe Pada masing-masing tipe masih dapat diketemukan adanya


variasi lagi, yaitu berdasarkan kepada komponen-komponen yang paling
menentukan dalam tipe tersebut. Misalnya saja, manusia teori masih lagi dapat
dibedakan adanya tiga variasi, yaitu:
1) manusia teori empiris,
2) manusia teori sebagai rasionalis, dan
3) manusia teori sebagai kritisis.
b) Kombinasi tipe-tipe

Seperti telah dikemukakan, keenam tipe yang telah dibicarakan itu adanya hanya
di dalam teori dan tidak kita jumpai dalam kehidupan praktis. Dalam
kenyataannya, jadi dalam kehidupan praktis, yang biasa kita jumpai justru
kombinasi dari tipe-tipe teori dan tipe keagamaan, tipe teori dan tipe ekonomi,
dan sebagainya; ataupu kombinasi lebih dari dua tipe.

9
C. Kritik

Teori Spranger walaupun banyak mengandung kelemahan, namun dalam


kenyataannya besar pengaruhnya. Banyak ahli-ahli yang lebih kemudian mengambil konsep
Spranger sebagai bahan penyusunan konsepsinya. Pengaruh itu tidak terbatas pada lapangan
psikologi kepribadian saja, tetapi juga meluas ke lapangan psikologi yang lain-lain, seperti
misalnya pada lapangan psikologi pemuda, dan lebih dari itu juga meluas ke lapangan
pendidikan.

Disamping segi positifnya itu teori Spranger juga tidak luput dari kelemahan-
kelemahan.

1. Tipologi Spranger itu disusun secara dedukatif. Hasil dari pemikiran dedukatif itu
adalah baik sekali, akan tetapi sebaiknya deduksi tersebut diverifikasikan secara
induktif dengan data empiris; dan hal ini tidak ada dilakukan oleh Spranger.
2. Deduksi Spranger mengenai Lebensformen itu didasarkan pada kegiatan rohani
(Geistakt); akan tetapi hasil konsepsinya, yakni Lebensformen, ternyata bertinjauan
statis. Dengan demikian Lebensformen itu sukar dikenakan kepada kepribadian-
kepriba- dian manusia dalam kehidupan praktis, yang mempunyai dasar dinamis.
Lebensformen itu lebih mengatakan tentang "bagaimana individu itu adanya"
daripada mengatakan tentang "apa yang dikerjakan atau apa yang dapat dikerjakan
oleh individu itu".

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Edward Spranger adalah seorang filsuf dan psikolog berkebangsaan Jerman. Spranger
mencetuskan teori pedagogi filosofis sebagai mekanisme “pertahanan diri” terhadap teori
eksperimental yang berorientasi psikologi pada masa itu.

Spranger berteori bahwa tipe kehidupan manusia adalah struktur dalam


kesadaran. Keyakinannya adalah bahwa tipe kepribadian memiliki dasar dalam biologi, tetapi
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh biologi. Dia menulis, "Pada tingkat yang lebih
rendah, mungkin, jiwa murni ditentukan secara biologis. Pada tingkat yang lebih tinggi,
sejarah, misalnya, jiwa berpartisipasi dalam nilai-nilai objektif yang tidak dapat disimpulkan
dari nilai sederhana pelestarian diri.

Teori Spranger atau lebih dikenal dengan tipologi spranger membagi manusia menjadi
6 tipe. Yaitu manusia teori, manusia ekonomi, manusia estetis, manusia religius, manusia
sosial, dan manusia kuasa. Menurut Spranger, setiap tipe memiliki tingkah laku dasarnya
masing-masing dan berbeda satu sama lain.

11
DAFTAR PUSTAKA

Suryabrata, S. (2019). Psikologi Kepribadian. Depok: PT Raja Grafindo Persada.

12

Anda mungkin juga menyukai