Anda di halaman 1dari 32

EMOSI, STRES & KESEHATAN,

ADIKSI, RASA TAKUT, AGRESIVITAS

Dosen Pengampu:
Ghea Amalia Arpandy, M.Psi, Psikolog

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Annisa Hayatun Fardah (2173201110037)
Meisa Devi (2173201110049)
Zahratun Nisa (2173201110066)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Emosi, Stres & Kesehatan, Adiksi, Rasa Takut, Agresivitas” dengan baik
dan lancar.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Biopsikologi Prodi S1 Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Banjarmasin.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ghea Amalia Arpandy, M.Psi,
Psikolog selaku dosen pengampu mata kuliah Biopsikologi yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan serta wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman
kelompok yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kita semua.

Penulis

Buntok, 26 April 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3
A. Emosi ........................................................................................ 3
B. Stres & Kesehatan ..................................................................... 8
C. Adiksi ....................................................................................... 16
D. Rasa Takut ................................................................................ 18
E. Agresivitas ................................................................................ 21
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 27
A. Kesimpulan ............................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 29

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan manusia tidak terlepas dari yang namanya
emosi baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Dinamika emosional manusia
memiliki beragam macam bentuknya yang dipahami melalui biologis maupun
psikologis. Emosi mencakup perubahan mental dan fisik secara kompleks dimana
gejala psikologisnya meliputi perasaan, proses kognitif, ekspresi yang muncul,
reaksi tingkah laku khusus yang terjadi dalam merespon situasi yang diterima
secara signifikan.
Stres dapat dikatakan pengalaman yang subjektif, sehingga setiap individu
dapat memiliki respon yang berbeda-beda terhadap stres. Stres yang dialami oleh
individu biasanya disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang
menyebabkan ketidaknyamanan. Untuk mencegah situasi agar tidak berdampak
serius dan merugikan maka diperlukannya kesehatan untuk mengendalikan stres.
Sesuatu yang berlebihan dapat menimbulkan kecanduan atau adiksi. Adiksi
termasuk kedalam suatu gangguan yang bersifat kronis. Aktivitas adiksi dilakukan
untuk mendapatkan rasa nikmat dan lega bagi penderitanya. Kesenangan yang ingin
terus diulang hingga mendatangkan kerugian.
Rasa takut ditimbulkan karena suatu perasaan yang biasa dialami oleh setiap
orang ketika merasa tertekan dan pergulatan batin. Rasa takut sering berhubungan
erat saat orang merasa takut akan sesuatu. Agresivitas yakni kecenderungan
berperilaku yang ditunjukan pada makhluk hidup maupun benda mati dengan
maksud melukai, menyakiti, mencelakakan atau merusak dengan menimbulkan
kerugian secara fisik atau psikologis pada seseorang yang tidak ingin dirugikan
atau mengakibatkan kerusakan pada benda.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana komponen emosi dalam biopsikologi?
2. Bagaimana penjelasan stress dan kesehatan dalam biopsikologi?
3. Bagaimana mekanisme adiksi dalam biopsikologi?
4. Bagaimana komponen rasa takut dalam biopsikologi?

1
5. Bagaimana mekanisme agresivitas dalam biopsikologi?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan tentang emosi dalam biopsikologi.
2. Untuk menjelaskan tentang stress dan kesehatan dalam biopsikologi
3. Untuk menjelaskan mekanisme adiksi dalam biopsikologi
4. Untuk menjelaskan tentang rasa takut dalam biopsikologi
5. Untuk menjelaskan tentang agresivitas dalam biopsikologi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Emosi
Emosi terdiri dari perasaan seperti kasih, kegembiraan, kebahagiaan,
ketakutan, kemarahan, sukacita, kejutan, misalnya yang mewarnai persepsi kita dan
menambah kekayaan dalam dunia pribadi kita. Emosi menurut definisi adalah
evaluasi kognitif, perubahan subjektif, rangsangan otonom dan saraf, serta impuls
untuk bertindak. Emosi memiliki beberapa aspek termasuk kognisi, perasaan,
tindakan, dan perubahan fisiologis. Istilah 'emosi' berasal dari bahasa Latin emovere
berarti bergerak atau mengganggu. Kata ini sangat tepat karena emosi memang
menggerakkan kita untuk bertindak dan memberi tanda bahwa sesuatu yang penting
sedang terjadi pada diri kita.
Situasi emosional membangkitkan dua cabang sistem saraf otonom yakni
sistem saraf simpatik dan parasimpatik. Sistem saraf simpatik mempersiapkan
tubuh untuk menghadapi situasi yang berbahaya. Sedangkan sistem saraf
parasimpatik meningkatkan organ dan proses lainnya yang bertujuan menghemat
energi agar menyiapkan untuk peristiwa berikutnya.
Darwin mengembangkan teori evolusi dari ekspresi emosional bahwa
tanggapan emosional tertentu, seperti ekspresi wajah manusia, cenderung
menyertai keadaan emosi yang sama dalam semua spesies. Darwin percaya bahwa
ekspresi emosi, seperti perilaku lainnya, adalah hasil dari evolusi.
1. Komponen Emosi
Emosi memiliki empat komponen:
(1) Penilaian kognitif tentang peristiwa yang merangsang
(2) Perubahan fisiologis pada organ dalam atau organ utama tubuh
(3) Kesediaan untuk bertindak
(4) Perasaan yang bersifat subjektif.
Karena semua tanggapan ini melibatkan otak, emosi adalah topik penting
dalam psikologi biologi. Namun, mencoba menjelaskan bagaimana mesin saraf
otak dapat menimbulkan sensasi emosi menghadirkan tantangan yang unik. Tetapi
itu juga satu dengan banyak potensi manfaat sebagai gangguan emosional dapat

3
mengakibatkan kecemasan dan stres, yang mendukung kondisi perilaku dan
penyakit lainnya. Dengan memahami psikologi biologis emosi, kita tidak hanya
memperoleh wawasan yang jauh lebih dalam ke dalam sifat manusia, tetapi juga
dalam posisi yang lebih kuat untuk membantu mereka dengan masalah emosional
dan perilaku.
2. Rangsangan dan Emosi
Ketika kita mengalami emosi yang signifikan, sejumlah perubahan tubuh
terjadi yang menyerupai respon fight or flight, yang diatur oleh pembagian simpatik
dari sistem saraf otonom (ANS). Perubahan ini dapat mencakup, misalnya, detak
jantung yang cepat, pernapasan yang meningkat, pupil mata yang melebar dan
telapak tangan yang berkeringat.
Teori James-Lange menyatakan bahwa setiap jenis emosi dikaitkan dengan
serangkaian perubahan fisiologis tertentu yang dimulai sebelum mereka dialami
sebagai emosi.

Rangsangan sensorik yang merangsang emosi diterima dan ditafsirkan oleh


korteks, yang memicu perubahan dalam organ visceral. Melalui sistem saraf
otonomik dan dalam otot rangka melalui sistem saraf somatik. Kemudian, respon
otonomik dan somatik memicu pengalaman dari emosi di otak. Pada dasarnya teori
ini tentang hubungan sebab akibat antara pengalaman emosi dan ekspresinya. James
dan Lange menyatakan bahwa aktivitas dan perilaku otonom dipicu oleh peristiwa

4
emosional (misalnya, detak jantung yang cepat dan melarikan diri) menghasilkan
perasaan emosi, bukan sebaliknya.

Sebaliknya, teori Cannon-Bard tidak hanya mengusulkan bahwa kita


mampu mengalami emosi sebelum perubahan tubuh yang menyertainya terjadi,
tetapi bahwa semua emosi menghasilkan respon fisiologis yang sama.

Teori Cannon-Bard memandang pengalaman emosional dan ekspresi emosi


sebagai proses paralel yang tidak memiliki kausal langsung. Menurut teori Cannon-
Bard, pengalaman emosional benar-benar terlepas dari umpan balik tersebut.
Teori Schachter-Singer juga mengusulkan bahwa hanya ada satu respon
fisiologis dasar, tetapi menentukan sifat emosi dengan menggabungkan penilaian
kognitif atas keadaan tubuh dan lingkungan kita.

Aktivitas sistem saraf otonomik dipicu oleh aktivitas di daerah otak tertentu,
termasuk hipotalamus menjadi struktur otak yang penting dalam banyak motif

5
biologis dan sistem limbik. Misalnya, pada tahun 1930-an, Philip Bard
memperlihatkan bahwa lesi dari hipotalamus menyingkirkan amarah (misalnya
desis dan suara erangan) pada kucing, sedangkan lesi kortex otak cenderung
memicu perilaku seperti ini.
Hasil ini menunjukkan bahwa korteks serebral menghambat hipotalamus
dalam ekspresi perilaku emosional. Hipotalamus juga merupakan bagian dari
wilayah otak yang dikenal sebagai sistem limbik, yang berisi sejumlah struktur lain
yang turut mempengaruhi perilaku emosi. Yang penting adalah amigdala.
Misalnya, pada akhir tahun 1930-an, Kluver dan Bucy menunjukkan bahwa
luka dari amigdala memiliki efek dramatis pada penurunan agresi dan ketakutan
pada monyet rhesus. Stimulasi listrik dari struktur ini juga telah diperlihatkan untuk
menginduksi ketakutan dan agresi pada manusia (misalnya kasus Julia).
Kedua jalur subkortikal (tidak sadar) dan jalur kortikal (sadar) telah
diperlihatkan untuk mempengaruhi aktivitas saraf di amigdala, dengan jalur
terdahulu yang menyediakan tanggapan 'alarm' dengan cepat. Lobus frontal adalah
bagian lain yang dikenal mempengaruhi emosi. Hal ini paling dramatis terlihat pada
kasus Phineas Gage, seorang pekerja rel kereta api, yang pada tahun 1848
mengalami kecelakaan yang mengerikan sewaktu tongkat besi sepanjang 100 cm
terlempar ke bagian depan otaknya.
Meskipun Gage dianggap sebagai pekerja teladan, dalam tahun-tahun
setelah kecelakaan ia digambarkan sebagai 'kotor, tidak senonoh, kasar dan vulgar,
sedemikian rupa sehingga masyarakat tidak bisa menerima orang baik'. Luka pada
cuping bagian depan dan jalurnya (psiko pembedahan) juga telah digunakan untuk
mengobati berbagai bentuk penyakit mental yang parah, termasuk depresi dan
obsesi. Belum lama ini, sejumlah obat telah dikembangkan untuk mengatasi
problem emosi, termasuk benzodiazepin untuk mengatasi kekhawatiran.

4. Ekspresi dan Emosi

6
Pada tahun 1960-an Ekman dan rekannya melakukan studi dengan
menganalisis ratusan film dan foto orang-orang yang mengalami berbagai emosi
nyata. Mereka menyusun sebuah atlas berisi ekspresi wajah yang biasanya
dikaitkan dengan berbagai emosi. Sebagai contoh menghasilkan ekspresi wajah
terkejut, model diperintahkan untuk menarik alis ke atas, mengerutkan dahi mereka,
dan membuka mata lebar, sehingga bagian putih mata di bawah iris, untuk
mengendurkan otot diseputar mulutnya, dan menjatuhkan rahang.

a. Universalitas ekspresi wajah.


Ekspresi wajah dalam sebuah kultur cenderung menunjukan bahwa orang
dari budaya berbeda memang membuat ekspresi-ekspresi wajah yang serupa dalam
situasi-situasi yang serupa dan bawa mereka dapat dengan benar mengidentifikasi
makna emosional berbagai ekspresi wajah yang ditunjukan oleh orang dari
budayanya sendiri.
a. Ekspresi wajah primer
Ekman dan Friesen menyimpulkan bahwa ekspresi wajah dari enam emosi
yang utama yaitu kejutan, kemarahan, kesedihan, jijik, ketakutan, dan kebahagiaan.
Semua ekspresi wajah lain dari emosi murni terdiri atas campuran yang dapat
diprediksi.
b. Hipotesis wajah primer

7
Hipotesis bahwa ekspresi wajah kita mempengaruhi pengalaman emosional
kita disebut hipotesis umpan balik wajah. Dalam sebuah tes hipotesis umpan balik
wajah, Rutledge dan Hupka menginstruksikan subjek untuk membuat salah satu
dari dua pola singkatan wajah sementara mereka melihat serangkaian slide, pola-
pola itu bersesuaian dengan wajah bahagia atau marah meskipun subjek tidak
menyadarinya. Subjek mengatakan bahwa slide itu membuat mereka lebih bahagia
dan tidak begitu marah ketika mereka membuat wajah bahagia dan kurang bahagia
dan lebih marah ketika mereka membuat wajah marah
c. Kontrol ekspresi wajah yang disengaja
Kita dapat mengontrol otot wajah kita secara sengaja, maka dimungkinkan
untukmenghambat ekspresi wajah asli dan menggantinya dengan ekspresi wajah
palsu. Ada duacara untuk membedakan antara ekspresi wajah asli dengan wajah
palsu , pertama mikroekspresi, ekspresi wajah yang sangat singkat. Sebuah emosi
riil seringkali menerobosdiantara ekspresi wajah palsu. Mikro ekspresi hanya
berlangsung sekitar 0,95 detik, tetapidengan latihan, mereka dapat dideteksi tanpa
bantuan fotografi gerak lambat. Kedua, seringkali ada perbedaan subtil antara
ekspresi wajah asli dan palsu yang dapat dideteksi oleh pengamat ahli.
d. Ekspresi wajah: perspektif mutakhir
Hasil studi Ekhnam tentang ekspresi wajah dimulai sebelum perekaman
video lazimdigunakan. Sekarang perekaman video memberikan akses yang nyaris
tak terbatas ke berbagai ekspresi wajah alamiah sebagai respons terhadap berbagai
situasi kehidupn nyata,yang direkam secara langsung. Sebagai hasilnya, sekarang
menjadi jelas bahwa ekspresiwajah primer ekham jarang muncul dalam bentuk
murni, mereka adalah ekspresi-ekspresiideal dengan banyak variasi subtil.
Ketidakseimbangan memunculkan pandangan bahwasemua emosi positive
memiliki ekspresi yang wajah sama.

B. Stres & Kesehatan


Stres atau cemas merupakan unsur kejiwaan yang menggambarkan
perasaan, keadaan emosional yang dimiliki oleh seseorang pada saat menghadapi
kenyataan atau kejadian dalam hidupnya. Lazarus dan Folkman (1984)
menyatakan, stres adalah sebuah hubungan antara individu dengan lingkungan yang

8
dinilai oleh individu tersebut sebagai hal yang membebani atau sangat melampaui
kemampuan seseorang dan membahayakan kesejahteraannya.

Kartono (1995) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan yang


ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai dengan tanda somatif yang
menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem saraf otonom. Menurut Rippetoe-
Kilgore, stres adalah kondisi yang dihasilkan ketika seseorang berinteraksi dengan
lingkungannya yang kemudian merasakan suatu pertentangan, apakah itu riil
ataupun tidak, antara tuntutan situasi dan sumber daya sistem biologis, psikologis
dan sosial, dalam terminologi medis, stres akan mengganggu sistem homeostasis
tubuh yang berakibat terhadap gejala fisik dan psikologis. Baik secara mental,
fisiologi tubuh, anatomi, atau fisik. (Rippetoe-Kilgore, Mark and Lon, 2006)

1. Stres dan Sindrom Adaptasi Umum

Hans Selye (1979) mempopulerkan konsep stres, mendefinisikannya


sebagai respons tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap permintaan yang diajukan
padanya. Ketika Selye berada disekolah kedokteran, ia memperhatikan bahwa
pasien dengan berbagai macam penyakit memiliki banyak kesamaan: Mereka
mengalami demam, kehilangan nafsu makan, menjadi tidak aktif, mengantuk
hampir sepanjang hari, dorongan seks menurun, dan sistem kekebalan tubuh
mereka menjadi lebih aktif. Kemudian, ketika melakukan penelitian laboratorium,
ia menemukan bahwa tikus yang terkena suntikan apa pun, serta panas, dingin,
sakit, kurungan, atau melihat kucing, merespons dengan peningkatan denyut
jantung, laju pernapasan, dan sekresi adrenal. Selye menyimpulkan bahwa segala
ancaman terhadap tubuh, di samping efek spesifiknya, mengaktifkan respons umum
terhadap stres, yang disebutnya sindrom adaptasi umum, terutama karena aktivitas
kelenjar adrenal. Pada tahap awal, yang disebutnya alarm, kelenjar adrenal
melepaskan hormon epinefrin, sehingga merangsang sistem saraf simpatik untuk
untuk menyiapkan tubuh untuk aktivitas darurat singkat. Kelenjar adrenal juga
melepaskan hormon kortisol, yang meningkatkan glukosa darah, memberi tubuh
energi ekstra, dan hormon aldosteron, yang penting untuk menjaga garam darah dan
volume darah. Untuk mempertahankan energi untuk aktivitas darurat, tubuh
sementara menekan aktivitas yang kurang mendesak, seperti gairah seksual.

9
Selama tahap kedua, resistensi, respons simpatik menurun, tetapi kelenjar
adrenal terus mengeluarkan kortisol dan hormon lain yang memungkinkan tubuh
mempertahankan dengan cara apa pun yang bisa dilakukan, seperti dengan
mengurangi aktivitas untuk kewaspadaan yang berkepanjangan. Tubuh beradaptasi
dengan situasi berkepanjangan menghemat energi. Tubuh juga memiliki cara
beradaptasi dengan dingin atau panas yang berkepanjangan, oksigen rendah, dan
sebagainya.

Setelah stres yang intens dan berkepanjangan, tubuh memasuki tahap ketiga,
kelelahan. Selama tahap ini, individu lelah, tidak aktif, dan rentan karena sistem
saraf dan kekebalan tubuh tidak lagi memiliki energi untuk mempertahankan
respons mereka. Penyakit yang berhubungan dengan stres dan masalah kejiwaan
tersebar luas di masyarakat industri, mungkin karena perubahan dalam jenis
tekanan yang kita hadapi. Di masa lalu evolusi kita, tahap alarm mempersiapkan
nenek moyang kita untuk bertarung atau melarikan diri. Hari ini, seperti yang
dikemukakan Robert Sapolsky (1998), banyak dari krisis kita berkepanjangan,
seperti bekerja di bawah pimpinan yang dominan, membayar tagihan dengan
penghasilan yang tidak memadai, atau merawat kerabat dengan masalah kesehatan
kronis. Aktivasi yang lama dari sindrom adaptasi umum dapat menyebabkan
kelelahan.

Konsep stres Selye menentukan perubahan apa pun dalam kehidupan


seseorang, termasuk peristiwa yang menguntungkan dan tidak menguntungkan.
Bruce McEwen (2000, hlm. 173) mengusulkan definisi alternatif yang lebih baik
untuk sebagian besar tujuan: "peristiwa yang ditafsirkan sebagai ancaman bagi
seorang individu dan yang menimbulkan respons fisiologis dan perilaku."
Meskipun definisi ini berbeda dari Selye, gagasannya tetap, yaitu banyak peristiwa
dapat memicu stres, dan tubuh bereaksi terhadap semua jenis stres dengan cara yang
sama. Namun, seperti yang dikemukakan Jerome Kagan (2016), para psikolog telah
bersedia untuk mendefinisikan stres dalam istilah yang luas dan tidak jelas yang
berkisar dari peristiwa yang mengancam jiwa hingga masalah singkat
ketidaknyamanan. Akibatnya, studi penelitian tentang stres kadang-kadang
mencapai kesimpulan yang bertentangan tentang efek pada gairah sistem saraf
simpatik, kewaspadaan, memori, respons imun, atau kesehatan.

10
2. Stres dan Sumbu Korteks Hipotalamus-Hipofisis Adrenal

Stres mengaktifkan dua sistem tubuh. Salah satunya adalah sistem saraf
simpatik, yang mempersiapkan tubuh untuk respons darurat pertarungan atau
penerbangan singkat. Sistem lainnya adalah aksis HPA, yang terdiri dari
hipotalamus, kelenjar hipofisis, dan korteks adrenal. Aktivasi hipotalamus manusia
menginduksi kelenjar hipofisis anterior untuk mengeluarkan hormon
adrenokortikotropik (adrenocorticotropic hormone ACTH), yang pada gilirannya
merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol, yang meningkatkan
aktivitas metabolisme, meningkatkan kadar gula dalam darah, dan meningkatkan
kewaspadaan (lihat Gambar 11.20). Banyak peneliti menyebut kortisol sebagai
"hormon stres" dan menggunakan pengukuran tingkat kortisol sebagai indikasi
tingkat stres seseorang baru-baru ini. Dibandingkan dengan sistem saraf otonom,
sumbu HPA bereaksi lebih lambat, tetapi mendominasi respons terhadap stresor
berkepanjangan seperti hidup dengan orang tua atau pasangan yang kasar.

Stres yang melepaskan kortisol memobilisasi energi tubuh untuk melawan


situasi yang sulit, tetapi hasilnya tergantung pada jumlah dan durasi. Stres singkat
atau sedang meningkatkan perhatian dan pembentukan memori, terutama di
amigdala, yang penting untuk mempelajari ketakutan (Sapolsky, 2015). Ini
meningkatkan kinerja pada keterampilan kebiasaan dan tugas-tugas yang relatif
sederhana, tetapi merusak kinerja yang membutuhkan pemikiran yang kompleks
dan fleksibel (Arnsten, 2015). Stres juga meningkatkan aktivitas sistem kekebalan
tubuh, membantunya melawan penyakit (Benschop dkk., 1995). Namun, stres
berkepanjangan merusak aktivitas kekebalan dan memori (Mika dkk., 2012). Untuk
mengetahui alasannya, kita mulai dengan ikhtisar sistem kekebalan.

3. Sistem Kekebalan

Sistem kekebalan terdiri dari sel-sel yang melindungi tubuh terhadap virus,
bakteri, dan pengganggu lainnya. Sistem kekebalan seperti pasukan polisi: Jika
terlalu lemah, "penjahat" (virus dan bakteri) menjadi liar dan membuat kerusakan.
Jika menjadi terlalu kuat dan tidak selektif, ia mulai menyerang warga negara yang
taat hukum" (sel tubuh sendiri). Ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel

11
normal, kita menyebut hasilnya penyakit autoimun. Myasthenia gravis dan
rheumatoid arthritis adalah contoh penyakit autoimun.

Sistem kekebalan terdiri dari sel-sel yang melindungi tubuh terhadap virus,
bakteri, dan pengganggu lainnya. Sistem kekebalan seperti pasukan polisi: Jika
terlalu lemah, "penjahat" (virus dan bakteri) menjadi liar dan membuat kerusakan.
Jika menjadi terlalu kuat dan tidak selektif, ia mulai menyerang warga negara yang
taat hukum" (sel tubuh sendiri). Ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel
normal, kita menyebut hasilnya penyakit autoimun. Myasthenia gravis dan
rheumatoid arthritis adalah contoh penyakit autoimun.

4. Leukosit

Komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah leukosit, umumnya


dikenal sebagai sel darah putih. Kami membedakan beberapa jenis leukosit,
termasuk sel B, sel T, dan sel pembunuh alami (lihat Gambar 11.21):

a. Sel B, yang sebagian besar matang di sumsum tulang, mengeluarkan


antibodi, yang merupakan protein berbentuk Y yang menempel pada
antigen tertentu, sama seperti kunci yang cocok dengan gembok. Setiap sel
memiliki protein permukaan yang disebut antigen (molekul penghasil
antibodi), dan Anda memiliki antigen unik Anda sendiri. Sel B mengenali
antigen "diri", tetapi ketika mereka menemukan antigen asing, mereka
menyerang sel. Serangan semacam ini membela tubuh terhadap virus dan
bakteri, tetapi juga menyebabkan penolakan transplantasi organ dari donor
yang tidak kompatibel, kecuali dokter mengambil langkah-langkah khusus
untuk meminimalkan serangan. Setelah tubuh membuat antibodi terhadap
pengganggu tertentu, ia "mengingat" si pengganggu dan dengan cepat
membangun lebih banyak jenis antibodi yang sama jika menemukan
pengganggu itu lagi.
b. Sel T matang di kelenjar timus. Beberapa jenis sel T menyerang penyusup
secara langsung (tanpa mengeluarkan antibodi), dan beberapa membantu sel
T atau sel B lainnya untuk berkembang biak.

12
c. Sel-sel pembunuh alami, jenis leukosit lain, menyerang sel-sel tumor dan
sel-sel yang terinfeksi virus. Di sisi lain, setiap sel B atau T menyerang jenis
antigen asing tertentu, sel pembunuh alami menyerang semua pengganggu.

Sebagai tanggapan terhadap infeksi, leukosit dan sel-sel lain menghasilkan


protein kecil yang disebut sitokin (misalnya, Interleukin-1, atau IL-1) yang
memerangi infeksi. Sebagai tanggapan terhadap infeksi, leukosit dan sel-sel lain
Sitokin juga merangsang saraf vagus dan memicu pelepasan prostaglandin yang
melintasi pembatas darah-otak dan merangsang hipotalamus untuk menghasilkan
demam, kantuk kurang energi, kurang nafsu makan, dan hilangnya dorongan
seksual (Maier & Watkins, 1998; Saper, Romanovsky, & Scammell, 2012). Ingat
pengamatan Selye bahwa sebagian besar penyakit menghasilkan gejala yang
serupa, seperti demam, kehilangan energi, dan sebagainya. Di sini kita melihat
penjelasannya. Aspirin dan ibuprofen menurunkan demam dan tanda-tanda
penyakit lainnya dengan menghambat prostaglandin.

Perhatikan bahwa gejala penyakit ini sebenarnya adalah bagian dari cara
tubuh melawan penyakit. Kebanyakan orang menganggap demam dan kantuk
sebagai sesuatu yang dilakukan penyakit pada mereka, tetapi kenyataannya, demam
dan kantuk adalah strategi yang dikembangkan untuk memerangi penyakit. Seperti
dibahas di Bab 9, demam sedang membantu melawan banyak infeksi. Tidur dan
tidak aktif adalah cara menghemat energi, sehingga tubuh dapat mencurahkan lebih
banyak energi untuk serangan kekebalan terhadap pengganggu. Nafsu makan yang
berkurang dapat membantu dengan mengurangi kebutuhan untuk aktivitas, dan
dengan mengurangi glukosa darah, bahan bakar pilihan untuk banyak
mikroorganisme (Saper dk., 2012).

5. Efek Stres pada Sistem Kekebalan

Sistem saraf memiliki lebih banyak kendali daripada yang kita duga tentang
sistem kekebalan. Studi tentang hubungan ini, yang disebut
psikoneuroimmunologi, membahas bagaimana pengalaman mengubah sistem
kekebalan tubuh dan bagaimana sistem kekebalan pada gilirannya memengaruhi
sistem saraf pusat.

13
Menanggapi pengalaman stres yang singkat, sistem saraf mengaktifkan
sistem kekebalan tubuh untuk meningkatkan produksi sel-sel pembunuh alami dan
sekresi sitokin. Kadar sitokin yang meningkat membantu memerangi infeksi, tetapi
mereka juga memicu prostaglandin yang mencapai hipotalamus. Tikus yang
mengalami kejutan yang tak terhindarkan menunjukkan gejala yang menyerupai
penyakit, termasuk kantuk, nafsu makan berkurang, dan suhu tubuh meningkat. Hal
yang sama berlaku untuk orang-orang yang berada di bawah tekanan besar (Maier
& Watkins, 1998). Bahkan, melihat gambar yang sangat menjijikkan dapat
mengaktifkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan suhu tubuh (Stevenson
dkk., 2012). Singkatnya, jika Anda telah mengalami banyak tekanan dan mulai
merasa lesu atau gejala penyakit lainnya, satu kemungkinan adalah bahwa gejala
tersebut adalah reaksi terhadap stres, yang bekerja melalui sistem kekebalan tubuh.

Respons stres yang berkepanjangan menghasilkan gejala yang mirip dengan


depresi dan melemahkan sistem kekebalan tubuh (Lim, Huang, Grueter, Rothwell,
& Malenka, 2012; Segerstrom & Miller, 2004). Hipotesis yang mungkin adalah
peningkatan kortisol yang lama mengarahkan energi ke arah peningkatan
metabolisme dan karenanya mengurangi energi dari mensintesis protein, termasuk
protein dari sistem kekebalan tubuh. Sebagai contoh, pada tahun 1979, di
pembangkit listrik tenaga nuklir Three Mile Island, sebuah kecelakaan besar hampir
tidak terelakkan. Orang-orang yang terus hidup di sekitarnya vagus dan memicu
pelqendah dari normal. Mereka juga mengeluhkan tekanan emosional dan
menunjukkan selama tahun berikutnya memiliki tingkat sel B, sel T, dan sel
pembunuh alami yang lebih angsang hipotalamus untuk gangguan kinerja pada
tugas mengoreksi bacaan (Baum, Gatchel, & Schaeffer, 1983; di Antartika
menemukan bahwa periode 9 bulan dingin, kegelapan, dan isolasi sosial
mengurangi fungsi sel T menjadi sekitar setengah dari tingkat normal (Tingate,
Lugg, Muller, Stowe, & Pierson, 1997).

Dalam satu penelitian, 276 sukarelawan mengisi kuesioner panjang tentang


peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dan kemudian menerima suntikan virus
flu biasa dalam dosis sedang. Hipotesisnya adalah mereka yang memiliki respons
imun terkuat dapat melawan hawa dingin, tetapi yang lain akan menyerah. Orang
yang melaporkan pengalaman stres singkat tidak lebih berisiko terserang flu

14
daripada orang yang melaporkan tidak ada stres. Namun, untuk orang yang
melaporkan stres berlangsung lebih dari sebulan, semakin lama itu berlangsung,
semakin besar risiko terkena penyakit (S. Cohen dkk., 1998).

Stres yang berkepanjangan juga dapat merusak hipokampus. Kortisol yang


dihasilkan dari stres meningkatkan aktivitas metabolisme di hipokampus, membuat
sel-selnya lebih rentan terhadap kerusakan oleh bahan kimia beracun atau stimulasi
berlebih (Sapolsky, 1992). Tikus yang terpapar stres tinggi-seperti dimasukkan ke
dalam jala penahan kawat selama 6 jam sehari selama 3 minggu-menunjukkan
penyusutan dendrit di hipokampus dan gangguan dalam jenis memori yang
bergantung pada hipokampus (Kleen, Sitomer, Killeen, & Conrad, 2006).

6. Mengatasi Stres

Individu bervariasi dalam reaksi mereka terhadap pengalaman stres sebagai


akibat dari kecenderungan genetik dan pengalaman sebelumnya. Ketangguhan
(resilience) kemampuan untuk pulih dengan baik dari pengalaman yang traumatis-
berkonda dengan dukungan sosial yang kuat, sudut pandang optimistis, dan
penilaian kembali situa sulit. Faktor-faktor tersebut pada gilirannya berkorelasi
dengan kemampuan untuk secara cepat mengaktifkan respons stres dan kemudian
dengan cepat menonaktifkannya (Bots Charney, & Feder, 2016). Berhasil
mengatasi peristiwa-peristiwa yang membuat stres mempersiapkan seseorang
untuk menghadapi peristiwa-peristiwa selanjutnya, meskipun sejarah peristiwa-
peristiwa yang sangat buruk membuat seseorang terlalu lelah untu bertahan (Seery,
Leo, Lupien, Kondrak, & Almonte, 2013).

Cara-cara untuk mengendalikan respons stres meliputi rutinitas pernapasan


khusus meditasi, dan pengalih perhatian, serta, tentu saja, mencoba mengatasi
masalah olahraga, medit yang menyebabkan stres. Dukungan sosial adalah salah
satu metode paling ampuh untuk mengatasi stres (coping). Orang yang menerima
pelukan lebih sering memiliki risiko infeksi yang lebilt rendah (Cohen, Janicki-
Deverts, Turner, & Doyle, 2015), Orang yang merasa ditolak memiliki peningkatan
risiko (Murphy, Slavich, Chen, & Miller, 2015) Setelah kematian pasangan, orang
yang lebih tua memiliki risiko serangan jantung atau stroke yang meningkat pesat
untuk beberapa bulan ke depan (Carey dkk., 2014). Dalam sebuah penelitian,

15
wanita yang menikah dan merasa bahagia diberi kejutan yang cukup menyakitkan
di pergelangan kaki mereka. Dalam berbagai pencobaan, mereka memegang tangan
suaminya, seorang pria yang tidak mereka kenal, atau tidak seorang pun.
Memegang tangan suami mengurangi respons yang ditunjukkan oleh fMRI di
beberapa area otak termasuk korteks prefrontal. Memegang tangan seorang pria tak
dikenal mengurangi respons sedikit, rata-rata, tetapi tidak sebanyak memegang
tangan suami (Coan, Schaefer, & Davidson, 2006), Seperti yang diharapkan,
respons otak berhubungan dengan laporan diri orang bahwa dukungan sosial dari
orang yang dicintai membantu mengurangi stres. Ketangguhan tidak mudah
diselidiki. Idealnya, kami ingin mempelajari sejumlah besar orang sehat secara fisik
dan mental sebelum, selama, dan setelah serangkaian pengalaman yang sangat
menegangkan, dan membandingkannya dengan orang-orang serupa yang
menghadapi lebih sedikit stres. Dan kami ingin memastikan bahwa kami apat
melacak keberadaan setiap orang selama beberapa tahun. Kedengarannya seperti
igas yang sangat sulit bagi siapa pun, kecuali untuk militer. Pada tahun 2009,
Angkatan arat AS memulai sebuah studi tentang orang-orang muda yang sehat yang
memasuki nas militer, banyak di antaranya akan terkena tekanan serius selama
beberapa tahun ke pan. Angkatan darat memilkiki kemampuan yang hebat dalam
melacak setiap prajurit di mana pun dan kapan pun, dan itu menjadi jaminan untuk
melakukan studi lanjutan pada setiap subjek. Hasil awal menunjukkan bahwa faktor
risiko mirip dengan yang sebelumnya diidentifikasi dalam populasi sipil, seperti
perasaan tertekan (Ursano dkk., 2016). Angkatan darat masih melanjutkan studi
tersebut.

C. Adiksi
Adiksi adalah suatu gangguan yang bersifat kronis dan menyebabkan
ketergantungan, ditandai dengan perbuatan kompulsif yang diulang-ulang oleh
seseorang untuk memuaskan diri pada aktivitas tertentu. Penyakit adiksi pada
kronis utamanya berkaitan dengan brain reward, motivasi, sirkuit terkait, serta
memori. Istilah ini sering digunakan untuk menyebut ketergantungan terhadap
Napza (narkotika, alkohol, psikotropik, dan zat adiktif lain), tetapi tidak jarang
digunakan juga untuk menyebut ketergantungan pada masalah judi, kompulsif,
makan, dan lainnya. Disfungsi ini akan mengakibatkan manisfestasi dari segi

16
biologis serta psikologisnya. Hal ini terjadi pada seseorang yang mengejar rasa puas
dan lega dengan menggunakan zat-zat tertentu seperti administrasi amfetamin dan
kokain meningkatkan tindakan neurotransmiter dopamine, menghasilkan efek yang
menyenangkan. Efek opiat dan alkohol adalah juga rangsangan dan gangguan.
Diperkirakan oleh kebanyakan peneliti bahwa efek yang menyenangkan adalah
efek yang menimbulkan kecanduan, melalui penguatan melalui proses kimia. Bagi
para pecandu, bahaya kecanduan jangka panjang diabaikan demi kesenangan
jangka pendek. Namun, selain kecanduan fisik, ada proses ketergantungan
psikologis, yang didorong oleh keinginan untuk disingkirkan dari situasi yang
menyakitkan.
Seperti penyakit kronis lainnya, adiksi sering mengalami relaps dan remisi
sehingga tanpa perbaikan dan perbuahan perilaku, adiksi akan selalu
mempengaruhi neurotansmisi dan interaksi didalam struktur reward otak, termasuk
didalamya nucleus accumbens, anterior cingulate cortex, basal forebrain, dan
amygdala sehingga terjadi perubahan motivasi dan menjadi perilaku adiktif. Selain
itu, adiksi juga mempengaruhi neurotransmis dan interaksi antara korteks, sirkuit
hippocampal dan struktur reward otak (makanan, alcohol, zat tertentu, seks, dll)
yang akan memicu respon biologis serta perilaku yang menimbulkan craving lalu
berkembang menjadi perilaku adiktif.
Penggunaan istilah ketergantungan fisik, penyalahgunaan dan keadaan
putus zat dapat dilihat pada DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders) IV-TR. Pada kasus efek adiksi pada narkoba menimbulkan konsekuensi
kecanduan tingkat kerusakan yang tinggi pada spesies manusia. Alkohol
menyebabkan kerusakan liver dan sirosis, perdarahan otak dan kerusakan otak
(sindrom Korsakoff), sindroma alkohol foetal pada bayi ibu pecandu alkohol, dan
kerusakan pada korban kecelakaan mobil yang tidak bersalah akibat mabuk.
Kokain dan obat - obatan 'ilegal' lainnya sering menyebabkan psikosis,
kerusakan otak (khususnya apabila terkontaminasi sebagai 'obat perangsang ') dan
kematian akibat overdosis; Pecandu yang menyuntikkan dan berbagi jarum
mengandung risiko HIV; Bayi mungkin lahir dengan kerusakan otak dan kemudian
mengalami problem fisiologis dan psikologis; Dan banyak kejahatan telah
diidentifikasi berasal dari penyediaan dan akuisisi jenis obat ini. Merokok sangat

17
meningkatkan peluang terkena kanker paru, penyakit jantung, dan stroke; Wanita
yang merokok sering kali melahirkan bayi-bayi yang lebih kecil. Mereka yang
kecanduan judi berisiko bangkrut dan kehilangan status, teman dan keluarga yang
terkait. Dampak dari kecanduan dapat berdampak luas.

D. Rasa Takut
1. Pengertian Rasa Takut

Rasa takut pada Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007: 64) artinya
perasaan tidak tentram, khawatir, serta gelisah. Ketakutan adalah ganguan psikologi
yg berisafat wajar dan dapat muncul kapan dan dimanapun. Setiap orang pernah
menggalami ketakutan menggunakan tingkat yang berbeda beda. Rasa takut biasa
timbul dikarenakan ada suatu keadaan yang harus dihadapi atau diselesaikan. Rasa
takut artinya kekuatan yang besar buat menggerakan tingkah laku baik tingkah laku
normal ataupun tingkah laris yg menyimpang, yangg terganggu serta keduanya
adalah pernyataan, penampilan, penjelmaan, serta pertahanan terhadap rasa takut
yang muncul. Darajat (2003: 94) berkata rasa takut artinya manifestasi berasal
berbagai proses emosi yg bercampur baur, yg terjadi waktu orang sedang
mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan Batin (pertarungan).
Dimana tekanan perasaan (putus harapan) merupakan suatu keadaan asal banyak
sekali proses emosi yang bercampur yang dapat merusak seorang buat mencapai
tujuan yg diinginkan. Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) yang mengemukakan
bahwa rasa takut adalah suatu perasaan subyektif tentang ketegangan mental yg
menggelisahkan menjadi reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu
dilema atau tak adanya rasa safety.

Suharyadi berpendapat bahwa rasa takut akan ada waktu peserta didik
merasa tidak siap mental dan tak bisa mengontrol emosinyapada saat mengadapi
suatu persoalan pada lingkungan yang tak kondusif. sesuai beberapa pendapat
diatas, bisa disimpulkan bahwa rasa takut artinya tanda-tanda emosi yang
menyampaikan perasaantidak nyaman, rasa cemas, rasa khawatir, rasa gelisah, rasa
tidak menyenangkan akan sesuatu yang akan terjadi yg dirasa mengancam, yang
bisa disebabkan dari lingkungan atau keadaan yang tidak aman dan menyebabkan

18
perasaan tertekan (putus harapan) yang bisa mengganggu seseorang buat menerima
tujuan yang diinginkan.

2. Penyebab Rasa Takut

Terdapat beberapa teori yg menyebabkan keluarnya rasa takut, diantaranya


adalah teori menurut Stuart serta Sundeen (1998:30), yaitu:

a. Teori Psikoanalitis

Rasa takut ialah perseteruan emosional yang terjadi di 2 elemen kepribadian


yaitu id serta superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif,
sedangkan superegomencerminkan hati nurani dan dikendalikan sang tata cara
budaya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yg bertentangan tadi,
serta fungsi ketakutan ialah mengingatkan ego bahwa terdapat bahaya.

b. Teori Interpersonal

Rasa takut timbul dari perasaan takut terhadapketidaksetujuan serta


penolakan interpersonal. Rasa takut pulabekerjasama dengan perkembangan syok,
mirip perpisahan dan kehilangan, yang mengakibatkan kerentanan tertentu.

c. Teori perilaku

Rasa takut artinya produk tekanan mental yaitu segalasesuatu yang


Mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. rasa
takut disebut menjadi suatu dorongan yang dipelajari sesuai harapan dalam diri buat
menghindari kepedihan. Para pakar meyakini bahwa adanya korelasi timbal pulang
antara permasalahan dan rasa takut, yaitu permasalahan mengakibatkan rasa takut,
serta rasa takut menyebabkan perasaan tidak berdaya, yg pada gilirannya
menaikkan permasalahan yg dirasakan.

d. Teori Biologis

Teori biologis menunjukkan bahwa kesehatan umum individu dan riwayat


rasa takut pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisposisi rasa takut.Rasa
takut mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan
kemampuan individu untuk mengatasi stres.

19
3. Gejala – Gejala Rasa Takut

Menurut Stuart dan Sundeen (1998: 52) rasa takut dapat diekspresikan
secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku.

a. Gejala rasa takut fisiologis, diantaranya adalah kardiovaskular (jantung


berdebar dan rasa ingin pingsan), pernafasan (sesak nafas, tekanan pada
dada, dan sensasi tercekik), neuromuscular (insomnia, mondar-mandir, dan
wajah tegang), gastrointestinal (nafsu makan hilang, mual, dan diare),
saluran perkemihan (tidak dapat menahan kencing), dan kulit (berkeringat,
wajah memerah, dan rasa panas dingin padakulit).
b. Gejala ketakutan perilaku yang meliputi kognitif dan afektif. Perilaku
kognitif diantaranya adalah perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa,
salah memberikan penilaian, hambatan berfikir, kehilangan objektivitas,
bingung, takut, dan mimpi buruk. Perilaku afektif diantaranya adalah mudah
terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ngeri, risi, rasa bersalah, dan
malu.

Chassin, L. (2000: 93), berpendapat pada kitab yang berjudul Abnormal


Psychology bahwa ada empat tipe tanda-tanda rasa takut, yaitu: Somatik simptoms,
emotional symptoms, cognitive simptoms, serta behavioral symptoms.

a. Somatik, yaitu gejala rasa takut yg bekerjasama dengan gerakan secara


sadar, mencakup: Merinding, otot tegang, denyut jantung meningkat,
bernapas tidak teratur, menarik nafas, pupil melebar, asam lambung
meningkat, air liur menurun serta lain sebagianya.
b. Emosional, yaitu tanda-tanda ketakutan yang berhubungan menggunakan
emosi, meliputi: rasa takut, kecemasan, rasa diteror, gelisah, dan lekas
murka.
c. Kognitif, yaitu tanda-tanda rasa takut yg bekerjasama dengan faktor
kognitif, meliputi: Antisipasi dari bahaya, konsentrasi terganggu, rasa
khawatir, suka termenung, kehilangan kontrol, rasa takut mangkat , dan
berpikir tidak realistic
d. Tingkah Behavioral, mencakup: Melarikan diri, menghindari, membeku,
dan lain sebagianya.

20
E. Agresivitas
1. Pengertian Agresivitas

Definisi proaktif menurut pendapat Baron dan Richardson adalah segala


bentuk sikap yg dimaksudkan buat menyakiti atau melukai makhluk hayati lain yg
terdorong buat menghindari perlakuan itu. Selanjutnya berdasarkan pendapat Mac
Neil dan Stewart yang mengungkapkan bahwa perilaku agresif adalah suatu sikap
atau suatu tindakan yang diniatkan buat mendominasi atau berperilaku secara
destruktif, melalui kekuatan verbal juga kekuatan fisik, yang diarahkan pada objek
target perilaku agresif. Objek target sikap mencakup lingkungan fisik, orang lain
serta diri sendiri.dua pada psikologi serta ilmu sosial lainnya, pengertian proaktif
merujuk pada sikap yang dimaksudkan buat membentuk objeknya mengalami
bahaya atau kesakitan. Motif primer perilaku agresif mampu jadi merupakan
harapan menyakiti orang lain buat mengekspresikan perasaan-perasaan negatif,
mirip di proaktif permusuhan, atau impian mencapai tujuan yang diinginkan
melalui tindakan proaktif, seperti pada agresif instrumental.tiga dari pendapat
Kartono agresi artinya suatu ledakan emosi dan kemarahan-kemarahan hebat,
perbuatan-perbuatan yang menimbulkan permusuhan yang ditujukan kepada
seorang atau suatubenda.

Menurut Buss serta Perry serangan ialah sikap atau kecenderungan sikap yg
niatnya buat menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis.Sedangkan
berdasarkan Robert Baron dalam kitab Psikologi Sosial yg di kutip oleh Tri
Dayakisni dan Hudainah menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu
yg ditujukan buat melukai atau mencelakakan individu lain yg tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut. Definisi asal Baron mencakup empat faktor
tingkah laris,yaitu: tujuan buat melukai atau mencelakakan, individu yg menjadi
pelaku, individu yang menjadi korban serta ketidakinginan sikorban mendapatkan
tingkah laku sipelaku. berdasarkan beberapa definisi yg sudah diungkapkan pada
atas, dapat disimpulkan bahwa proaktif merupakan tindakan yang dilakukan buat
menyakiti atau melukai orang lain atau Mengganggu benda dengan unsur
kesengajaan baik secara fisik maupun psikis.

21
2. Bentuk-Bentuk dari sikap Agresivitas

Para ahli yang mengatakan tipe agresivitas, diantaranya berdasarkan Buss


sebagaimana yg dikutip oleh Tri Dayakisni dan Hudainah mengelompokkan agresi
pada delapan jenis, yaitu:

a. Proaktif fisik aktif yang dilakukan secara langsung: tindakan serangan fisik
yang dilakukan individua atau grup dengan cara berhadapan secara
eksklusif menggunakan individua atau kelompok lain yg menjadi targetnya
serta terjadi hubungan fisik secara langsug, misalnya memukul, mendorong,
serta menendang.
b. Agresif fisik aktif yang dilakukan secara tidak pribadi:tindakan agresi fisik
yg dilakukan oleh individu atau grup lain dengan cara tidak berhadapan
secara langsung dengan individua atau kelompok lain yang menjadi
targetnya, contohnya mencuri atau merusak barang target, menghabiskan
kebutuhan yg diharapkan target.
c. Agresif fisik pasif yang dilakukan secara langsung: tindakan serangan fisik
yg dilakukan oleh individu atau kelompok menggunakan cara berhadapan
menggunakan individua atau grup lain yang sebagai targetnya, tetapi tidak
terjadi kontak fisik secara eksklusif, misalnyatidak memberi kesempatan
target berkembang,keluar ruang ketika target masuk.
d. Agresif fisik pasif yg dilakukan secara tidak langsung: tindakan agresi fisik
yang dilakukan oleh individu atau gerombolan dengan cara tidak
berhadapan dengan individu atau gerombolan lain yang sebagai targetnya
dan tidak terjadi hubungan fisik secara langsung, misalnya menolak buat
mengerjakan perintah orang lain.
e. Proaktif mulut aktif yang dilakukan secara langsung: tindakan agresi lisan
yg dilakukan oleh individua atau grup dengan cara berhadapan secara
pribadi dengan individua atau kelompok lain, misalnya meneriaki,
menyoraki, mencaci, membentak orang lain.
f. Agresif ekspresi aktif yang dilakukan secara tak eksklusif: tindakan agresi
mulut yg dilakukan sang individua atau grup menggunakan cara tak
berhadapan secara lagsung dengan individu atau grup lain yang sebagai
targetnya, misalnya menyebar berita ihwal orang lain.

22
g. Proaktif lisan pasif yang dilakukan secara pribadi: tindakan agresi mulut
yang dilakukan oleh individu atau gerombolan dengan cara berhadapan
menggunakan individua tau grup lain tetapi tak terjadi kontak verbal secara
langsung, contohnya tidak menjawab telepon.
h. Agresif mulut pasif yang dilakukan secara tidak pribadi: tindakan agresi
ekspresi yg dilakukan oleh individua atau kelompok dilakukan dengan cara
tidak berhadapan dengan individua atau grup lain yg menjadi tergetnya serta
tidak terjadi hubungan lisan secara pribadi, contohnya membiarkan rumor
tentang target berkembang, tidak memberikan info yg diperlukan target
berdasarkan Buss dan Perry mengelompokkan agresivitas ke pada empat
bentuk serangan, yaitu: serangan fisik, serangan mulut, agresi dalam bentuk
kemarahan (anger) serta agresi pada bentuk kebencian (hostility).

Keempat bentuk agresivitas ini mewakili komponen sikap insan, yaitu komponen
motorik, afektif, dan kognitif. agresi fisik agresi fisik yaitu tindakan agresi yg
bertujuan untuk menyakiti, merusak, atau membahayakan orang lain melalui respon
motoridalam bentuk fisik. misalnya,memukul, mendorong, menendang,
Mengganggu barang orang lain.

2. Agresi lisan

Ialah komponen motorik, mirip melukai dan menyakiti orang lain melalui
verbalis. contohnya memberikan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan, menyebar
gosip, mencaci-maki, membentak, serta mengejek.

3. Agresi murka

Merupakan emosi atau afektif mirip munculnya kesiapan psikologis buat


bertindak agresif. contohnya kesal, hilang kesabaran, dan tidak mampu mengontrol
rasa murka.

4. Sikap permusuhan

Sikap permusuhan yaitu tindakan yang mengekspresikan kebencian,


permusuhan, antagonisme, ataupun kemarahan yang sangat kepada pihak lain.
seperti benci dan curiga pada orang lain, iri hati dan merasa tidak adil dalam
kehidupan.sesuai penerangan pada atas, peneliti menggunakan bentuk-bentuk

23
agresif yg dikemukakan sang Buss yg nantinya akan digunakan sebagai acuan pada
pembuatan alat ukur dalam penelitian ini.

5. Faktor-Faktor terjadinya perilaku Agresivitas.

Tri Dayakisni serta Hudainah menyebutkan faktor-faktor tentang


agresivitas, antara lain ialah:

a. Provokasi

Bisa mencetuskan agresi karena pancingan itu sang pelaku agresi dipandang
menjadi ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif buat meniadakan
bahaya yang diisyaratkan sang ancaman itu.

b. Deindividuasi

Mengarahkan sesorang di keleluasaan pada melaksanakan tingkah laris


serangan sehingga serangan yg dilakukan lebih intens.Khususnya impak dari
pnggunaan tehnik-tehnik serta senjata terkini yang membentuk tindakan agresi
menjadi tindakan non-emosional sehingga serangan yang diakukannya lebih intens.

c. Kekuasaan dan kepatuhan

Peranan kekuasaan menjadi pengarah kemunculan serangan tak bisa


dipisahkan berasal keliru satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan.
Bahkan kepatuhan itu sndiri diduga memliki dampak yg bertenaga terhadap
kesamaan serta pengaruh serangan yang bertenaga. berdasarkan Taylor, Peplau &
Sears munculnya perilaku agresif berkaitan erat menggunakan rasa marah yang
terjadi dalam diri seseorang. Rasa marah bisa ada dengan sebab-sebab menjadi
berikut:

1) Adanya serangan dari orang lain. misalnya saat datang-datang seorang


menyerang serta mengejek dengan perkataan yang menyakitkan. Hal ini
bisa secara refleks menyebabkan sikap agresi terhadap versus.
2) Terjadinya frustrasi pada diri seseorang. Frustrasi adalah gangguan atau
kegagalan pada mencapai tujuan. keliru satu prinsip dalam psikologi, orang
yang mengalami frustrasi akan cenderung membangkitkan perasaan
agresifnya.

24
3) Keadaan tersebut bisa saja terjadi sebab manusia tidak mampu menahan
suatu penderitaan yang menimpa dirinya.
4) Ekspektasi pembalasan atau motivasi buat balas dendam. Intinya Jika
seseorang yang marah bisa buat melakukan balas dendam, maka rasa
kemarahan itu akan semakin akbar serta kemungkinan buat melakukan
serangan pula bertambah akbar.

Kemarahan itu disebabkan karena kontrol keputusan yang rendah, sehingga


seseorang gagal menafsirkan peristiwa dan tidak mampu memperhatikan segi-segi
positif secara subjektif. Selain faktor pada atas, berdasarkan pendapat Baron dan
Byrne mengungkapkan beberapa faktor yg mempengaruhi seseorang melakukan
agresivitas, yaitu:

a) Faktor-faktor Sosial

Faktor-faktor sosial ialah faktor-faktor yg terkait menggunakan sosial


individu yang melakukan perilaku agresif, antara lain artinya:

(1) Frustasi, yang artinya suatu pengalaman yang tak menyenangkan, dan
frustasi bisa mengakibatkan serangan.
(2) Pancingan pribadi, merupakan tindakan sang orang lain yg cenderung
memicu serangan di diri si penerima, tak jarang sebab tindakan tadi
dipersepsikan berasal berasal maksud yang jahat.
(3) Serangan yang dipindahkan, bahwa agresi dipindahkan terjadi karena orang
yang melakukannya tidak ingin atau tidak bisa melakukan agresi terhadap
asal provokasi awal.
(4) Pemaparan terhadap kekerasan di media, dimana bisa menaikkan
kecenderungan seorang buat terlibat pada serangan terbuka.
Keterangsangan yang semakin tinggi, bahwa agresi muncul karena adanya
emosi dan kognisi yg saling berkaitan satu sama lain.
(5) Keterangsangan seksual serta agresi, dimana keterangsangan seksual tidak
hanya mempengaruhi serangan melalui timbulnya afek (contohnya mood
atau perasaan) positif serta negatif. namun jua bisa mengaktifkan skema
atau paradigma lainnya yang kemudian dapat memunculkan sikap nyata
yang diarahkan di sasaran spesifik.

25
b) Faktor-faktor eksklusif

Berikut adalah ialah trait atau karakteristik yang memicu seorang


melakukan sikap proaktif:

(1) Pola perilaku Tipe A serta Tipe B. Pola perilaku tipe A memiliki karakter
sangat kompetitif, selalu terburu-buru, dan mudah tersinggung dan agresif.
Sedangkan pola sikap tipe B memberikan karakteristik seorang yg sangat
tidak kompetitif, yang tidak selalu melawan waktu, dan yang tidak praktis
kehilangan kendali.
(2) Bias Atributional Hostile, merupakan kecenderungan buat mempersepsikan
maksud atau motif hostile dalam tindakan orang lain waktu tindakan ini
dirasa ambigu.
(3) Narsisme serta ancaman ego, individu menggunakan narsisme yangtinggi
memegang pandangan hiperbola akan nilai dirinya sendiri. Mereka bereaksi
menggunakan tingkat serangan yg sangat tinggi terhadap umpan kembali
berasal orang lain yang mengancam ego mereka yang besar.
(4) Perbedaan gender, pria umumnya lebih agresif daripada wanita,namun
perbedaan ini berkurang pada konteks adanya provokasi yang kuat. laki-laki
lebih cenderung buat menggunakan bentuk eksklusif berasal serangan,
namun wanita cenderung memakai bentuk agresi tidak langsung.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Emosi merupakan perubahan mental dan fisik secara kompleks dimana
gejala psikologisnya meliputi perasaan, proses kognitif, ekspresi yang muncul,
reaksi tingkah laku khusus yang terjadi dalam merespon situasi yang diterima
secara signifikan. Berbagai komponen emosi tidak selalu terjadi bersamaan. Juga,
tampaknya tidak ada emosi yang berhubungan dengan aktivitas di satu area otak.
Stres adalah kondisi yang dihasilkan ketika seseorang berinteraksi dengan
lingkungannya yang kemudian merasakan suatu pertentangan, apakah itu riil
ataupun tidak, antara tuntutan situasi dan sumber daya sistem biologis, psikologis
dan sosial, dalam terminologi medis, stres akan mengganggu sistem homeostasis
tubuh yang berakibat terhadap gejala fisik dan psikologis. Baik secara mental,
fisiologi tubuh, anatomi, atau fisik. Orang berbeda dalam ketahanannya terhadap
stress, berdasarkan genetika, dukungan sosial, dan pengalaman sebelumnya.
Adiksi adalah suatu gangguan yang bersifat kronis ditandai dengan
perbuatan kompulsif yang diulang-ulang oleh seseorang untuk memuaskan diri
pada aktivitas tertentu. Penyakit adiksi pada kronis utamanya berkaitan dengan
brain reward, motivasi, sirkuit terkait, serta memori.
Rasa takut adalah manifestasi dari proses emosi yang bercampur baur,
terjadi saat orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan
batin. Dimana tekanan perasaan (putus harapan) merupakan suatu keadaan yang
dapat merusak seseorang dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Rasa takut
merupakan bagian perasaan subyektif tentang ketegangan mental yang
menggelisahkan, reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu dilema atau
tak adanya rasa safety.
Agretivitas ialah sikap atau kecenderungan sikap yg niatnya buat menyakiti
orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. perilaku agresif adalah suatu sikap
atau suatu tindakan yang diniatkan buat mendominasi atau berperilaku secara
destruktif, melalui kekuatan verbal juga kekuatan fisik, yang diarahkan pada objek

27
target perilaku agresif. Objek target sikap mencakup lingkungan fisik, orang lain
serta diri sendiri.

28
DAFTAR PUSTAKA

Buss. AH. & Perry, M. 1992. Journal of Personality and Psychology, edisi 63, 3.
Hayward, Sheila. 1997. Biopsychological: Phsychological Psychology. Hampshire:
Macmillan Education.
Kalat. J. W. 2020. Biopsikologi edisi 13. Jakarta: Salemba Humanika
Pinel, John P.J, Barnes, Steven J. 2018. Biopsychology, 10th Edition. England:
Pearson Education Limited.
Soejipto, 2007. Berbagai Macam Adiksi dan Penatalaksanaannya. Indonesian
Psychological Journal, 23(1), 84-91.
Sulianti Ambar, Basri Maulana.H, Gumelar Gulam. Tinjauan Biopsikologi Pada
Kasus Disleksia Anak Yang Dilahirkan Oleh Ibu Yang Mengalami Stres
Psikis Berat. Jurnal Psikologi Integratif. Vol. 4, No. 2, 2016. 83-94.
Toates, Frederick. 2011. Biological Psychology, 3rd Edition. England:
Pearson Education.
Wickens, Andrew. 2005. Foundations of Biopsychology, 2nd Edition. England:
Pearson Education.

29

Anda mungkin juga menyukai