Anda di halaman 1dari 190

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWAJIBAN SERTIFIKASI

ISPO (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL) DALAM


KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN INVESTASI
SEKTOR PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DI INDONESIA (STUDI PADA PT. REA
KALTIM PLANTATION – JAKARTA)

TESIS

OLEH

MUTIARA PANJAITAN
107005145 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWAJIBAN SERTIFIKASI
ISPO (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL) DALAM
KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN INVESTASI
SEKTOR PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
DI INDONESIA (STUDI PADA PT. REA
KALTIM PLANTATION – JAKARTA)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

MUTIARA PANJAITAN
107005145 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


JUDUL : ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWAJIBAN
SERTIFIKASI ISPO (INDONESIAN
SUSTAINABLE PALM OIL) DALAM
KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN
INVESTASI SEKTOR PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT DI INDONESIA (STUDI PADA PT REA
KALTIM PLANTATION DI JAKARTA)

NAMA MAHASISWA : MUTIARA PANJAITAN


NOMOR POKOK : 107005145/HK
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui :
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS.


Ketua

Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH. Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum.
Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum.

Lulus tanggal : 02 Februari 2013

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada
Tanggal : 02 Februari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.
Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.
3. Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum.
4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum.

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWAJIBAN SERTIFIKASI
ISPO (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL) DALAM
KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN INVESTASI SEKTOR
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

DI INDONESIA

(STUDI PADA PT. REA KALTIM PLANTATION – JAKARTA)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.

Medan, 22 Februari 2013

Penulis,

MUTIARA PANJAITAN

NIM. 107005145/HK

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Baik Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO) adalah merupakan sistem sertifikasi perkebunan kelapa sawit yang secara
bersamaan menganut dan memperkenalkan asas berkelanjutan dan berkesinambungan serta
berwawasan lingkungan kepada Perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perbedaan yang
mendasar mengenai sertifikasi RSPO dan ISPO adalah dilihat dari sifatnya, dimana RSPO
bersifat sukarela (voluntary) sementara ISPO bersifat wajib (mandatory). Kewajiban ISPO
muncul sejak diundangkannya Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia. Bagi PT. Rea Kaltim Plantation yang telah mendapatkan sertifikat RSPO serta
sertfifikat lainnya yang berkaitan dengan pemenuhan perolehan minyak sawit lestari,
implementasi sertifikasi ISPO menjadi polemik yang secara finansial membebani
Perusahaan karena biaya sertifikasi dan kewajiban birokrasi untuk perolehan persetujuan
ISPO. Disamping hal tersebut, permasalahan mengenai kedudukan hukum Pengaturan ISPO
ini juga turut menjadi permasalahan yang perlu untuk dianalisa, mengingat adanya pendapat
yang mengatakan bahwa ISPO tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sedangkan
menurut Menteri Pertanian RI mengatakan bahwa ketentuan ISPO ini bersifat mengikat, dan
oleh karena itu, setiap perusahaan perkebunan harus tunduk kepada Pengaturan ISPO. Jenis
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis.
Menggunakan data yang didapat melalui library research dan field research. Data tersebut
adalah bahan hukum primer, sekunder, dan didukung bahan hukum tertier dalam bentuk
wawancara. Analisis bahan hukum menggunakan metode analisis kualitatif – abstraktif –
interpretatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan logika berfikir deduktif – induktif.

Kedudukan ISPO terhadap peraturan perundang-undangan adalah mengikat demi hukum


karena berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyebutkan bahwa peraturan dapat
dibentuk berdasarkan kewenangannya, dimana Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia ini adalah dibentuk berdasarkan tugas dan wewenang Kementerian Pertanian yang
mengatur untuk itu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaiknya peraturan perundang-undangan yang lebih


tinggi, setara Peraturan Presiden dapat memerintahkan untuk membentuk Pengaturan ISPO;
Seluruh kekurangan Pemerintah dalam menggalakkan sertifikasi ISPO harus dibenahi;
Sebaiknya pengusaha perkebunan kelapa sawit dalam menerapkan sertifikasi ISPO, tetap
memegang teguh komitmen dan pengawasannya terhadap regulasi ISPO.

Kata Kunci : Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Pengaturan Indonesian


Sustainable on Palm Oil (ISPO), dan Kedudukan Pengaturan ISPO.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Both Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) and the Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO) are equally defined as a palm oil certification system that adheres to the principles
of sustainable and environmentally sustain for all plantation company. RSPO certification is
a voluntary which differs from the ISPO which is compulsory (mandatory). ISPO obligations
arises from the enactment of the Minister of Agriculture. 19/Permentan/OT.140/3/2011
Guidelines on Sustainable Palm Oil Indonesia. PT Rea Kaltim Plantation as an RSPO
certified, the question is whether to implement the ISPO again or not. Not to mention the
problem of the legal status that ISPO setting, there is an argument that ISPO has no binding
legal force, while according to the Agriculture Ministry stated that the ISPO binding,
therefore, every Indonesian palm oil companies should become subject to the ISPO
requirement.

This research is a normative legal research in a descriptive analysis. Using data obtained
through library research and field research. The data are the primary legal materials,
secondary, and tertiary supported legal materials in the form of an interview. Analysis of
legal materials using qualitative analysis method - abstractive - interpretive. Inferences
made by deductive thinking logic - inductive.

ISPO notch the legislation is binding by law because under Article 8, paragraph (2) of Law
No. 12 In 2011, states that the rules can be established by the authority. ISPO binding
requirement is the duties and authority of the Ministry of Agriculture set up for it.

The results showed that: should the legislation of higher, equal to the Presidential Decree
may be ordered to form a setting ISPO; the failure of the Government in promoting ISPO
certification must be addressed; Should Indonesian oil palm companies in applying ISPO
certification, remained firm commitment and oversight the regulation of ISPO.

Keywords : Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable


Palm Oil (ISPO) Regulation, and Legal Position ISPO Regulation.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan

berkat dan kemurahan-Nya kepada penulis sehingga penulis masih diberikan

kesehatan serta kesempatan yanng baik untuk mengerjakan penelitian ini.

Pada penelitian ini, penulis dengan ketulusan dan kerendahan hati,

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

turut serta membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih

penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.),

sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister (S2)

dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

dan sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan masukan dan

motivasi yang tiada henti-hentinya kepada penulis untuk dapat

menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan tepat waktu;

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS., sebagai Ketua Komisi Pembimbing

yang telah dengan sabar dan penuh kepedulian senantiasa mengingatkan dan

mendukung serta mengarahkan penulis untuk menyelesaikan penelitian ini;

Universitas Sumatera Utara


5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum., sebagai Sekretaris Program

Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

sebagai Dosen Pembimbing III yang telah memberikan masukan, motivasi,

serta ide-ide yang berharga untuk menyempurnakan penyelesaian penulisan

penelitian ini;

6. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, sebagai Dosen Penguji yang telah

dengan sabar memberikan masukan serta motivasi demi kesempurnaan

penulisan;

7. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Dosen Penguji yang

juga turut serta memberikan motivasi dan tambahan ilmu pengetahuan dalam

penyelesaian penelitian ini;

8. Para Guru Besar dan Staff Pengajar yang telah memberikan tambahan ilmu

pengetahuan selama penulis menjalani studi di Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Jajaran Manajemen PT Rea Kaltim Plantation, yang telah memberikan waktu

dan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan tambahan informasi dan

data demi kesempurnaan penelitian ini;

10. Terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua saya Batara Panjaitan

dan Rukiah Napitupulu, yang telah mengajarkan arti kegigihan dan sikap

pantang menyerah serta terima kasih yang terdalam kepada kakak dan adik

penulis, Masniari Panjaitan, Marintan Panjaitan & Johanes Panjaitan yang

Universitas Sumatera Utara


memampukan dan memotivasi penulis dalam menghadapi semua kesulitan,

termasuk menyelesaikan penelitian ini;

11. Terima kasih sedalam-dalamnya juga turut penulis sampaikan kepada teman-

teman kuliah penulis yang telah memberikan motivasi dan keceriaan serta

mengajarkan indahnya persahabatan dan saling berbagi, sehingga penulis

mampu dengan penuh semangat menyelesaikan studi di Program Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Tidak ketinggalan Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada Staff dan Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, antara lain Ibu Niar, Ibu Ganti, Kak

Fitri, Kak Fika, Bang Udin, Bang Hendra dan staff lainnya yang lainnya yang

tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis, yang telah senantiasa

membantu penulis secara administrasi dan memberikan dorongan serta

motivasi demi penyelesaian penulisan ini.

Akhir kata penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta

pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Medan, 22 Februari 2013

Penulis

Mutiara Panjaitan

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Mutiara Panjaitan


Tmpt /Tgl Lahir : Pematang Siantar/ 26 September 1987
Alamat : Jalan Sei Bilah, No. 114 E, Medan, 20152
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Kristen Protestan
Nama Ayah : Batara Panjaitan
Nama Ibu : Rukiah Napitupulu
Suku / Bangsa : Batak / Indonesia
E-Mail : mutiara.panjaitan@yahoo.co.id

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. Pendidikan Dasar dan Menengah Umum


a. SD : Negeri IV Parapat
(1992-1998)
b. SMP : Negeri I Parapat
(1998-2001)
c. SMA : RK Budi Mulia Pematang Siantar
(2001-2004)

2. Pendidikan Tinggi
S1 : Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran Bandung
(2004-2008)

3. Pendidikan Tambahan
a. Pendidikan Profesi Legal Officer (Tahun 2008-2009)
b. Pendidikan Contract Drafting (Tahun 2009-2010)
c. Pendidikan Legal Due Deligence (Tahun 2011)
d. Pendidikan IPO (Initial Public Offering) Legal Preparation (Tahun 2012)
e. Pendidikan Supervisory & Management Skill (Tahun 2012)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... ........ vi
DAFTAR ISI ................................................................................. ......................... vii
DAFTAR TABEL ...................................................................... ........... ................ xi
DAFTAR BAGAN .................................................................................................. xii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 23
C. Tujuan Penelitian...................................................................... 24
D. Manfaat Penelitian.................................................................... 24
E. Keaslian Penelitian.................................................................... 25
F. Kerangka Teori dan Konsep...................................................... 26
1. Kerangka Teori................................................................ 26
2. Kerangka Konsep............................................................. 38
G. Metode Penelitian....................................................................... 42
1. Jenis dan Sifat Penelitian................................................. 43
2. Sumber Bahan Hukum..................................................... 44
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum............................... 45
4. Analisis Bahan Hukum.................................................... 46

BAB II : HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI


INDONESIA TERKAIT PENGATURAN KEWAJIBAN
SERTIFIKASI ISPO BAGI PERUSAHAAN
PERKEBUNAN.................................................................................... 48
A. Sejarah Singkat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)........... 49
B. Tujuan dan Sasaran Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) 53

Universitas Sumatera Utara


1. Tujuan ISPO....................................................................... 53
2. Sasaran ISPO..................................................................... 54
C. Pengaturan Kewajiban Sertifikasi ISPO Bagi Perusahaan
Perkebunan....................................... ........................................... 55
1. Sistem Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil
(ISPO) ............................................................................. 57
a. Penilaian Usaha Perkebunan Sebagai Prasyarat 57
b. Persyaratan Sertifikasi............................................. 59

c. Pelaku Usaha yang Dinilai....................................... 66


d. Persyaratan Lembaga Sertifikasi.............................. 67
e. Persyaratan Auditor Lembaga Sertifikasi................ 69
f. Badan Akreditasi...................................................... 71
g. Penerbitan Sertifikasi ISPO...................................... 72
h. Proses Pengakuan..................................................... 73
i. Proses Pengakuan Terhadap Sertifikasi Lain…....... 74
j. Keluhan/Pengaduan.................................................. 75
k. Mekanisme Pengakuan Lembaga Sertifikasi…....... 78
l. Mekanisme Sertifikasi ISPO.................................... 80
2. Sistem Sertifikasi Rantai Pasok........................................ 80
a. Ruang Lingkup........................................................ 81
b. Akreditasi dan Persetujuan...................................... 81
c. Persyaratan Sertifikasi............................................. 84
d. Proses Sertifikasi..................................................... 90
e. Model Perdagangan Rantai Pasok ISPO................ 90
3. Petunjuk Auditor ISPO................................................... 90
a. Panduan Audit Secara Umum............................... 90
b. Ketentuan Penilaian Khusus Berdasarkan
Persyaratan ISPO....................................................... 90
4. Organisasi Komisi Indonesian Sustainable Palm Oil
(Komisi ISPO).................................................................... 91
a. Susunan Organisasi dan Kelengkapan...................... 91
b. Tugas, Fungsi, dan Kedudukan................................ 92

Universitas Sumatera Utara


c. Keanggotaan............................................................. 93
D. Kedudukan Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 Dalam Hierarki Peraturan 95
Perundangan........................................ .........................................
1. Dasar Hukum Kewajiban ISPO.......................................... 95
2. Keterkaitan ISPO Dengan Peraturan Lainnya.................... 100
3. Analisis Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 Dalam Hierarki Peraturan
Perundangan........................................................................ 1012
E. Dampak Yuridis Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 yang Mewajibkan Sertifikasi
ISPO Terhadap Perkebunan di
Indonesia........................................................................................ 107

BAB III : KEWAJIBAN ISPO DALAM MENDUKUNG PERTUMBUHAN


INVESTASI DI INDONESIA............................................................. 111
A. Pertumbuhan Investasi di Indonesia Dalam Bidang Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit ............................................................. 111
1. Pertumbuhan Investasi Pra-Kemerdekaan.......................... 114
2. Pertumbuhan Investasi Pasca Kemerdekaan....................... 116
3. Pertumbuhan Investasi sejak diundangkannya Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal................................................................................... 124
B. Isu-Isu Lingkungan Dalam Bidang Usaha Perkebunan Kelapa
Sawit.............................................................................................. 130
C. Perbandingan RSPO dan ISPO..................................................... 133
D. Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Merupakan Alasan Kewajiban Sertifikasi Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO) ............................................. 136
E. ISPO Sebagai Upaya Dalam Mendukung Pertumbuhan Investasi
di Indonesia.......................................................... 139

Universitas Sumatera Utara


BAB IV : SERTIFIKASI ISPO DI PT. REA KALTIM PLANTATION
DALAM RANGKA MENINGKATKAN INVESTASI DI
INDONESIA................................................. 147
A. PT. Rea Kaltim Plantation Telah Mempunyai Sertifikasi
RSPO....................................... .......................................... 150
B. Kewajiban ISPO Bagi PT. Rea Kaltim Plantation Yang Sudah
Bersertifikasi RSPO................................................. 152
C. Analisis Implementasi ISPO.......................................................... 154
1. Hambatan Dalam Implementasi ISPO................................. 154
a. Kurangnya Sumber Daya Manusia Tim Penilai ISPO
dalam Melakukan Penilaian........................................ 154
b. Tidak Meratanya Dinas Pertanian Kabupaten/Kota
Untuk Urusan Sertifikasi ISPO................................... 155
c. Sistem Jaminan Mutu Tidak Dimiliki Perusahaan
Perkebunan Khususnya PT. Rea
Kaltim.......................................................................... 155
d. Tidak Adanya Bagian Manajemen Khusus
Mengurusi Sertifikasi ISPO pada Perusahaan
Perkebunan.................................................................. 157
2. Dampak-Dampak Dalam Sertifikasi ISPO.......................... 157

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 160


A. Kesimpulan ....................................... .......................................... 160
B. Saran....................................... ..................................................... 162

DAFTAR PUSTAKA....................................... .......................................................... 164

LAMPIRAN I : SURAT MOHON IZIN PENELITIAN...................................... 172

LAMPIRAN II : SURAT TANGGAPAN PENELITIAN....................................... 173

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Peraturan Perundang-Undangan Terkait ISPO 7

Tabel 2. Prinsip dan Kriteria ISPO 11

Tabel 3. Ekspor Minyak Kelapa Sawit (dalam 1.000 ton) 14

Tabel 4. Nilai dan Volume Ekspor Indonesia ke Uni Eropa (2008 – 2011) 21

Tabel 5. Perbandingan RSPO dan ISPO 134

Tabel 6. Perbedaan Sertifikasi ISPO pada PT. Rea Kaltim Melalui KPI 143

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Mekanisme Pengakuan Lembaga Sertifikasi 76

Bagan 2. Mekanisme Sertifikasi ISPO 78

Bagan 3. Susunan Organisasi Kelengkapan Komisi ISPO 92

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Baik Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO) adalah merupakan sistem sertifikasi perkebunan kelapa sawit yang secara
bersamaan menganut dan memperkenalkan asas berkelanjutan dan berkesinambungan serta
berwawasan lingkungan kepada Perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perbedaan yang
mendasar mengenai sertifikasi RSPO dan ISPO adalah dilihat dari sifatnya, dimana RSPO
bersifat sukarela (voluntary) sementara ISPO bersifat wajib (mandatory). Kewajiban ISPO
muncul sejak diundangkannya Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia. Bagi PT. Rea Kaltim Plantation yang telah mendapatkan sertifikat RSPO serta
sertfifikat lainnya yang berkaitan dengan pemenuhan perolehan minyak sawit lestari,
implementasi sertifikasi ISPO menjadi polemik yang secara finansial membebani
Perusahaan karena biaya sertifikasi dan kewajiban birokrasi untuk perolehan persetujuan
ISPO. Disamping hal tersebut, permasalahan mengenai kedudukan hukum Pengaturan ISPO
ini juga turut menjadi permasalahan yang perlu untuk dianalisa, mengingat adanya pendapat
yang mengatakan bahwa ISPO tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sedangkan
menurut Menteri Pertanian RI mengatakan bahwa ketentuan ISPO ini bersifat mengikat, dan
oleh karena itu, setiap perusahaan perkebunan harus tunduk kepada Pengaturan ISPO. Jenis
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis.
Menggunakan data yang didapat melalui library research dan field research. Data tersebut
adalah bahan hukum primer, sekunder, dan didukung bahan hukum tertier dalam bentuk
wawancara. Analisis bahan hukum menggunakan metode analisis kualitatif – abstraktif –
interpretatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan logika berfikir deduktif – induktif.

Kedudukan ISPO terhadap peraturan perundang-undangan adalah mengikat demi hukum


karena berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyebutkan bahwa peraturan dapat
dibentuk berdasarkan kewenangannya, dimana Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia ini adalah dibentuk berdasarkan tugas dan wewenang Kementerian Pertanian yang
mengatur untuk itu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaiknya peraturan perundang-undangan yang lebih


tinggi, setara Peraturan Presiden dapat memerintahkan untuk membentuk Pengaturan ISPO;
Seluruh kekurangan Pemerintah dalam menggalakkan sertifikasi ISPO harus dibenahi;
Sebaiknya pengusaha perkebunan kelapa sawit dalam menerapkan sertifikasi ISPO, tetap
memegang teguh komitmen dan pengawasannya terhadap regulasi ISPO.

Kata Kunci : Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Pengaturan Indonesian


Sustainable on Palm Oil (ISPO), dan Kedudukan Pengaturan ISPO.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Both Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) and the Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO) are equally defined as a palm oil certification system that adheres to the principles
of sustainable and environmentally sustain for all plantation company. RSPO certification is
a voluntary which differs from the ISPO which is compulsory (mandatory). ISPO obligations
arises from the enactment of the Minister of Agriculture. 19/Permentan/OT.140/3/2011
Guidelines on Sustainable Palm Oil Indonesia. PT Rea Kaltim Plantation as an RSPO
certified, the question is whether to implement the ISPO again or not. Not to mention the
problem of the legal status that ISPO setting, there is an argument that ISPO has no binding
legal force, while according to the Agriculture Ministry stated that the ISPO binding,
therefore, every Indonesian palm oil companies should become subject to the ISPO
requirement.

This research is a normative legal research in a descriptive analysis. Using data obtained
through library research and field research. The data are the primary legal materials,
secondary, and tertiary supported legal materials in the form of an interview. Analysis of
legal materials using qualitative analysis method - abstractive - interpretive. Inferences
made by deductive thinking logic - inductive.

ISPO notch the legislation is binding by law because under Article 8, paragraph (2) of Law
No. 12 In 2011, states that the rules can be established by the authority. ISPO binding
requirement is the duties and authority of the Ministry of Agriculture set up for it.

The results showed that: should the legislation of higher, equal to the Presidential Decree
may be ordered to form a setting ISPO; the failure of the Government in promoting ISPO
certification must be addressed; Should Indonesian oil palm companies in applying ISPO
certification, remained firm commitment and oversight the regulation of ISPO.

Keywords : Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable


Palm Oil (ISPO) Regulation, and Legal Position ISPO Regulation.

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah Kolonial Belanda pertama sekali memperkenalkan kelapa sawit

di Indonesia pada tahun 1848. Beberapa bijinya, yang didatangkan dari Mauritius

dan Amsterdam, ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di

tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an.

Pada saat bersamaan, tepatnya pertengahanabad ke-19 terjadi Revolusi Industri yang

mengakibatkan lonjakan permintaan terhadap minyak nabati. Dari sini kemudian

muncul ide untuk membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi

dari Bogor dan Deli, yang saat ini dikenal jenis sawit “Deli Dura”. Pada tahun 1911,

kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial di Hindia-

Belanda, dengan perintisnyabernama Adrien Hallet, seorang Belgia, yang belajar

banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budi daya yang dilakukannya diikuti oleh K.

Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu

perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama

berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan

mencapai 5.123 ha (lima ribu seratus dua puluh tiga hektar). Pusat pemuliaan dan

penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera

Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada tahun 1911-1912.

Universitas Sumatera Utara


Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang

Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih Dura Deli dari Rantau Panjang. Di

Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun

1910. 1Indonesia sendiri mulai melakukan ekspor minyak kelapa sawit pada tahun

1919 sebanyak 576 ton (lima ratus tujuh puluh enam ton) ke negara-negara Eropa,

kemudian mulai mengekspor minyak inti sawit sebanyak 850 ton (delapan ratus lima

puluh ton).

Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit di Indonesia

mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dibuktikan dengan prestasi

gemilang Indonesia yang mampu menggeser dominasi ekspor Negara Afrika yang

pada waktu itu menjadi negara penyuplai minyak sawit terbesar pada pasar

internasional. Hingga menjelang pendudukan Jepang, produksi merosot hingga

tinggal 1/5 (satu per lima) dari angka tahun 1940. Usaha peningkatan pada masa

Republik dilakukan dengan program Buruh Militer (BUMIL) yang tidak berhasil

meningkatkan hasil, hingga pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (yang

saat ini dikenal dengan Malaysia).

Memasuki pemerintahan Orde Baru, pembangunan diarahkan dalam rangka

menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai

sektor penghasil devisa. Pemerintah terus menggiring perkebunan kelapa sawit untuk

melakukan pembukaan dan perluasan lahan baru untuk perkebunan. Pada tahun 1980

luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 294 ha – 560 ha (dua ratus sembilan

1
Iyung Pahan, Panduan Lengkap Kelapa Sawit : Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga
Hilir, Cetakan Kelima, (Jakarta : Swadaya, 2008), hal. 42.

Universitas Sumatera Utara


puluh empat hektar sampai dengan lima ratus enam puluh hektar) dengan produksi

minyak sawit 721.172 ton (tujuh ratus dua puluh satu ribu seratus tujuh puluh dua

ton). Sejak saat itu, perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat,

terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah pada tahun

1986 yang melaksanakan program Perkebunan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun).

Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga

minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.

Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang

masih terpelihara baik, dengan ketinggian mencapai sekitar 12 m (dua belas meter),

dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika. 2

Kelapa sawit merupakan salah satu andalan komoditi pertanian di Indonesia

yang pertumbuhannya sangat cepat dan mempunyai peran strategis dalam

perekonomian nasional. Salah satu hasil olahan kelapa sawit adalah minyak sawit

mentah atau Crude Palm Oil (CPO). 3 CPO dan produk-produk turunannya, sebagai

komoditas paling menjanjikan pada pasar komoditi dunia, mampu menyumbang

devisa Pemerintah Indonesia dengan nilai ekspor mencapai US$. 19,7 miliar

(sembilan belas miliar tujuh ratus juta dollar Amerika Serikat) pada periode Januari –

November 2011. 4 Dunia Internasional seakan-akan tidak lepas memandang pengaruh

kelapa sawit pada sektor industri minyak dunia. Dengan kenyataan bahwa produksi

minyak nabati di seluruh dunia yang mencapai 150.000.000 ton (seratus lima puluh

2
Ibid.
3
Direktorat Jenderal Agro dan Kimia, Roadmap Industri Pengolahan CPO, (Jakarta :
Departemen Perindustrian RI, 2009), hal. 3.
4
Harian Sinar Harapan, “Moh. Ridwan : RI Jangan Tinggalkan Pasar Komoditas”, diterbitkan
Kamis, 05 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara


juta ton) pada tahun 2009, lebih dari 40.000.000 ton (empat puluh juta ton)

dihasilkan oleh kelapa sawit, yang notabene hanya dapat dibudidayakan di daerah

tropis Asia, Afrika dan Amerika Selatan. 5Hal ini menjadikan kelapa sawit sangat

penting bahwa produksi dan penggunaan minyak sawit harus dilakukan secara

berkelanjutan berdasarkan ekonomi kelayakan sosial dan lingkungan dengan tujuan

untuk dapat melanjutkan pemasokan dunia atas minyak nabati yang sangat

dibutuhkan tanpa merugikan pihak lain. 6

Dampak perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan hidup, antara lain :

musnahnya kearifan lokal, hutan, lahan, tanah adat yang tidak dapat berfungsi penuh.

Jelas saja hal ini berakibat buruk bagi keberlangsungan hidup. Tanah yang biasanya

digunakan untuk berladang, berkebun, mencari sayur-mayur, dan buah-buahan di

hutan, ditambah lagi hal tersebut dapat juga berdampak membawa masyarakat pada

kemiskinan dan kepunahan/mati, serta membawa juga eksploitasi kerusakan kawasan

hutan demi keuntungan korporasi belaka. Diketahui bahwa masyarakat setempat

menggantungkan hidupnya terhadap hutan dan seisinya, apalagi masyarakat yang

mempunyai ikatan emosional terhadap hutan dan hidup yang bersentuhan dengan

alam. 7

5
Oilworld & Annual 2010, dalam Suherwin, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Harga Crude Palm Oil (CPO) Dunia”, (Medan : Tesis, Sekolah Pascasarjana Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, 2012), hal. 1.
6
Sesuai dengan Bagian Menimbang huruf b. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa : “…pembangunan ekonomi
nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan”. Oleh
karena itu, pengembangan kelapa sawit dan produksi CPO harus berkelanjutan pula.
7
Harian Kompas, “Sumardjo : Akibat dari Perkebunan Kelapa Sawit”, diterbitkan Kamis, 05
Januari 2012.

Universitas Sumatera Utara


Oleh karena itu, pada tanggal 31 Agustus 2004, 47 (empat puluh tujuh)

organisasi telah menandatangani Statement of Intent (S.o.I) untuk membentuk suatu

wadah dengan tujuan mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk kelapa

sawit berkelanjutan melalui standar global yang kredibel danmelibatkan stakeholder.

Dilanjutkan dengan aksi yang dilakukan pada tanggal 08 April 2004, Roundtable on

Sustainable Palm Oil (RSPO) secara resmi ditetapkan berdasarkan Pasal 60 dari

Kode Sipil Swiss dengan struktur pemerintahan yang menjamin keterwakilan yang

adil dari semua pemangku kepentingan rantai suplai keseluruhan pelaku industri

kelapa sawit. Pusat dari asosiasi ini berada di Zurich, Swiss, Sekretariat berada di

Kuala Lumpur dengan Kantor Penghubung RSPO di Jakarta. RSPO pada hakikatnya

merupakan konkritisasi nilai-nilai yang selama ini sudah mengkristal dalam cara

pandang masyarakat internasional terhadap lingkungan hidup dan lingkungan sosial

perusahaan. Hal ini jelas terlihat dari prinsip-prinsip dan kriteria yang dikembangkan

oleh program RSPO itu sendiri. 8

Seluruh prinsip RSPO menggambarkan elaborasi harmonis antara Good

Corporate Governance (selanjutnya disebut GCG), Corporate Social Responsibility

(CSR) dan pembangunan yang berwawasan lingkungan atau pembangunan

berkelanjutan. Organisasi Non-Profit ini, menyatukan para pemangku kepentingan

dari 7 (tujuh) sektor industri kelapa sawit sampai dengan produsen minyak kelapa

sawit, pengolah minyak kelapa sawit atau pedagang, produsen barang konsumen,

pengecer, bank dan investor, lingkungan atau LSM Konservasi Alam dan Sosial,

8
Website Resmi RSPO, “Factsheet Indonesia – Mei 2012”,
www.rspo.org/file/RSPO_factsheet_indo_May2012.pdf., diakses pada 08 Agustus 2012.

Universitas Sumatera Utara


untuk mengembangkan dan menerapkan standar global untuk minyak sawit

berkelanjutan. 9 Namun, dalam perkembangan dan praktek di lapangan, dikarenakan

banyaknya aturan yang terdapat pada prinsip dan kriterianya, sehingga RSPO

dianggap hanya mengutamakan konsumen semata, yaitu pasar Eropa, sementara

kepentingan produsen tidak diperhatikan sama sekali. Perkembangan lainnya juga

terlihat pada timbulnya pemikiran bahwa pengembangan kelapa sawit di Indonesia

yang selalu berpedoman pada peraturan luar negeri yang terkadang tidak sesuai

dengan kondisi di Indonesia. RSPO dianggap tidak memberikan perlindungan

terhadap harga CPO akibat sensitifitas pasar Internasional yang lebih

memprioritaskan CPO yang bersertifikat RSPO. 10

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, serta dengan mengingat bahwa kelapa

sawit merupakan salah satu andalan komoditi pertanian di Indonesia yang memiliki

peran strategis dalam perekonomian nasional, maka Pemerintah Indonesia

menciptakan sendiri regulasi nasional pengembangan kelapa sawit yaitu Peraturan

Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT/140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan

Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)

dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan

(sustainable) yang disesuaikan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang

berlaku, secara garis besar dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

9
Website Resmi RSPO, “General Assembly RSPO ke-8 Berhasil Mencapai Kuorum”,
http://www.rspo.org/news_details.php?nid=84&lang=5., diakses pada 08 Agustus 2012.
10
Website Resmi Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, “Achmad Mangga
Barani : Indonesian Sustainable Palm Oil Segera Diberlakukan di 2010”,
http://www.ditjenbun.deptan.go.id., diakses pada 08 Agustus 2012.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1.
Peraturan Perundang-Undangan Terkait ISPO

No. Peraturan Perundang-Undangan Terkait ISPO


1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
5. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
6. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
7. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
8. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
9. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
10. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
11. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
12. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
13. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
14. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
15. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran Penggunaan
Pestisida
16. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengelolaan Pembinaan dan
Pengembangan Industri
17. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman
18. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman
19. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah
20. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan
21. Keputusan Presiden No. 84/P tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II
22. Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara
23. Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara
24. Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan
Usaha Perkebunan
25. Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian
Usaha Perkebunan
26. Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan
Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit
27. Peraturan Menteri Pertanian No. 61/Kpts/OT.140/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pertanian
Sumber : Bagian Mengingat Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang
Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable
Palm Oil – ISPO).

Berdasarkan peraturan di atas maka ISPO diwajibkan, begitu juga dengan

implementasinya harus tunduk secara garis besar terhadap peraturan di atas. Upaya

yang dilakukan Pemerintah adalah dengan disusunnya Sistem Minyak Kelapa Sawit

Universitas Sumatera Utara


Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). ISPO adalah

suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian

Pertanian yang bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar

dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden RI untuk

mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. 11

Dengan adanya pengaturan ISPO, diharapkan agar seluruh pelaku usaha

perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu meningkatkan kepedulian atas

pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan yang dapat berpengaruh

terhadap peningkatan daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia.

Pelaksanaan ISPO ini didasarkan kepada peraturan perundang-undangan di

Indonesia, yang sifatnya mandatory (kewajiban), sehingga secara hukum mengikat

bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia. 12Seperti ulasan sebelumnya, sebelum

Pemerintah Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai ISPO, pasar Internasional

telah lebih dahulu menilik mengenai ketentuan memproduksi kelapa sawit

berkelanjutan yang diramu dalam bentuk RSPO. 13Perbedaan RSPO dan ISPO ini

terletak pada sifat pengaturannya, untuk ISPO bersifat mandatory (kewajiban)

sedangkan RSPO bersifat voluntary (sukarela).

Sifat mandatory ISPO diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). Hal ini dapat

11
Latief Rachman, “Penerapan Standardisasi ISPO pada Perkebunan Kelapa Sawit”,
disampaikan pada Workshop di Hotel Harris, Jakarta, Kamis, 16 Juli 2012.
12
Ibid.
13
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, “Menimbang Relevansi Sertifikasi RSPO”, Jurnal
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Volume 31, Nomor 6, 2009, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara


dilihat pada Pasal 3, yang menyatakan bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa

Sawit dalam waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus

sudah melaksanakan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan ini”. Kekuatan

mengikat inilah yang menjadikan ISPO bersifat wajib (mandatory).

Sanksi apabila Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit tidak melakukan

implementasi ISPO adalah akan dikenakannya sanksi penurunan kelas kebun

menjadi Kelas IV. 14Kelas IV adalah kelas kebun yang kurang dalam hal ini kurang

dalam legalitas, kurang dalam manajemen kebun, kurang dalam pengolahan hasil,

kurang bersosial, kurang memperhatikan ekonomi wilayah, kurang memperhatikan

lingkungan, serta kurangnya pelaporannya. Apabila perusahaan perkebunan kelapa

sawit mengalami penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV, maka akan diberikan

peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 4 (empat) bulan. 15 Peringatan

itu adalah untuk memperbaiki seluruh aspek yang disebutkan di atas. Selain itu juga,

perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut tidak dapat mengekspor CPO-nya ke

luar negeri. 16

Dalam pelaksanaannya ISPO berlandaskan pada Pasal 3 ayat (4) UUD 1945

Amandemen ke-4, yang menyatakan bahwa : “Perekonomian nasional

diselenggarakan atas demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,

14
Pasal 4 Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT/140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO),
menyatakan bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Kelas I, Kelas II, atau Kelas III sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 belum mengajukan permohonan untuk
mendapatkan sertifikasi ISPO, dikenakan saksi penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV”.
15
Lampiran I Bagian II angka 2.1. Paragraf 2 dan 3. Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT/140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)
16
Harian Jambi Star, “Perusahaan Sawit Wajib Miliki Sertifikat ISPO”, diterbitkan Senin, 03
Desember 2012.

Universitas Sumatera Utara


berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi nasional”. Prinsip berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan maksudnya adalah upaya sadar dan terencana yang

memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi

pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,

kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa

depan. 17

Oleh karena itu, dibuatlah prinsip dan kriteria dari ISPO yang dapat dilihat

pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.
Prinsip dan Kriteria ISPO

Prinsip 1 : Sistem Perizinan dan Manajemen


Kriteria 1.1. Perizinan dan Sertifikasi. Pengelola perkebunan harus memperoleh perizinan serta
sertifikat tanah.
Kriteria 1.2. Pembangunan Kebun untuk Masyarakat Sekitar. Perusahaan perkebunan yang
memiliki IUP atau IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling
rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan.
Kriteria 1.3. Lokasi Perkebunan. Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan
lahan perkebunan telah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RUTWP) atau Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
(RUTWK) sesuai dengan perundangan yang berlaku atau kebijakan lain yang sesuai
dengan ketetapan yang ditentukan oleh pemerintah; atau
Kriteria 1.4. Tumpang Tindih dengan Usaha Pertambangan. Pengelola usaha perkebunan apabila
di dalam areal perkebunannya terdapat Izin Usaha Pertambangan harus diselesaikan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kriteria 1.5. Sengketa Lahan dan Kompensasi. Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa
lahan perkebunan yang digunakan bebas dari status sengketa dengan
masyarakat/petani di sekitarnya. Apabila terdapat sengketa maka harus diselesaikan
secara musyawaran untuk mendapatkan kesepakatan sesuai dengan peraturan
perundangan dan/atau ketentuan adat yang berlaku namun bila tidak terjadi
kesepakatan maka penyelesaian sengketa lahan harus menempuh jalur hukum.
Kriteria 1.6. Bantuan Badan Hukum. Perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola harus mempunyai
bentuk badan hukum yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Kriteria 1.7. Manajemen Perkebunan. Perkebunan harus memiliki perencanaan jangka panjang
untuk memproduksi minyak sawit lestari.

17
Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Universitas Sumatera Utara


Kriteria 1.8. Rencana dan realisasi pembangunan kebun dan pabrik.
Kriteria 1.9. Pemberian informasi kepada instansi terkait sesuai ketentuan yang berlaku dan
pemangku kepentingan lainnya terkecuali menyangkut hal yang patut dirahasiakan.
Prinsip 2 : Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit
Kriteria 2.1. Penerapan pedoman teknis budidaya.
Kriteria 2.1.1. Pembukaan lahan yang memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
Kriteria 2.1.2. Konservasi terhadap sumber dan kualitas air.
Kriteria 2.1.3. Perbenihan. Pengelola perkebunan dalam menghasilkan benih unggul bermutu
harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan baku
teknis perbenihan.
Kriteria 2.1.4. Penanaman pada lahan mineral. Pengelola perkebunan harus melakukan penanaman
sesuai baku teknis.
Kriteria 2.1.5. Penanaman pada Lahan Gambut. Penanaman kelapa sawit pada lahan gambut dapat
dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak
menimbulkan kerusakan fungsi.
Kriteria 2.1.6. Pemeliharaan Tanaman.
Kriteria 2.1.7. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pengelola perkebunan
harus menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sesuai Pedoman
Teknis.
Kriteria 2.1.8. Pemanenan. Pengelola perkebunan melakukan panen tepat waktu dan dengan tata
cara yang benar.
Kriteria 2.2. Penerapan pedoman teknis pengolahan hasil perkebunan.
Kriteria 2.2.1. Pengangkutan Buah. Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa TBS yang
dipanen harus segera diangkut ke tempat pengolahan untuk menghindari penurunan
kualitas.
Kriteria 2.2.2. Penerimaan TBS di Pabrik pengelola pabrik memastikan bahwa TBS yang diterima
sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
Kriteria 2.2.3. Pengolahan TBS. Pengolahan pabrik harus merencanakan dan melaksanakan
pengolahan TBS melalui penerapan praktek pengelolaan/pengolahan terbaik
(GHP/GMP).
Kriteria 2.2.4. Pengelolaan Limbah. Pengelola pabrik memastikan bahwa limbah pabrik kelapa
sawit dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kriteria 2.2.5. Pengelolaan Limbah B3. Limbah B3 merupakan limbah yang mengandung bahan
berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan konsentrasinya dan atau
jumlahnya dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, oleh karena itu
harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali.
Kriteria 2.2.6. Gangguan dari Sumber yang tidak Bergerak. Gangguan sumber yang tidak bergerak
berupa baku tingkat kebisingan, baku tingkat getaran, baku tingkat kebauan dan
baku tingkat gangguan lainnya ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek
kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta
kelestarian bangunan.
Kriteria 2.2.7. Pemanfaatan Limbah. Pengelola perkebunan/pabrik harus memanfaatkan limbah
untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan.
Prinsip 3 : Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Kriteria 3.1. Pabrik kewajiban pengelola kebun yang memiliki pabrik. Pengelola perkebunan
yang memiliki pabrik harus melaksanakan kewajiban pengelolaan dan pemantauan
lingkungan sesuai ketentuan yang berlaku.
Kriteria 3.2. Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL, UKL, dan UPL. Pengelola
perkebunan harus melaksanakan kewajibannya terkait AMDAL, UKL, dan UPL
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kriteria 3.3. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Pengelola perkebunan harus
melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

Universitas Sumatera Utara


Kriteria 3.4. Pelestarian bio-diversity. Pengelola perkebunan harus menjaga dan melestarikan
keanekaragaman hayati pada areal yang dikelola sesuai dengan ijin usaha
perkebunannya.
Kriteria 3.5. Identifikasi dan perlindungan kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi.
Pengelola perkebunan harus melakukan identifikasi kawasan yang mempunyai nilai
konservasi tinggi yang merupakan kawasan yang mempunyai fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber
daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa dengan tidak membuka untuk
usaha.
Kriteria 3.6. Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Pengelola usaha perkebunan harus
mengidentifikasi sumber emisi GRK.
Kriteria 3.7. Konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi. Pengelola perkebunan harus
melakukan konservasi lahan dan menghindari erosi sesuai ketentuan yang berlaku.
Prinsip 4 : Tanggung Jawab Terhadap Pekerja
Kriteria 4.1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Pengelola
perkebunan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3).
Kriteria 4.2. Kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja/buruh. Pengelola perkebunan
harus memperhatikan kesejahteraan pekerja dan meningkatkan kemampuannya.
Kriteria 4.3. Penggunaan pekerja anak dan diskriminasi pekerja (suku, ras, gender, dan agama).
Pengelola perkebunan tidak boleh mempekerjakan anak di bawah umur dan
melakukan diskriminasi.
Kriteria 4.4. Pembentukan Serikat Pekerja. Pengelola perkebunan harus memfasilitasi
terbentuknya Serikat Pekerja dalam rangka memperjuangkan hak-hak
karyawan/buruh.
Kriteria 4.5. Perusahaan mendorong dan memfasilitasi pembentukan koperasi pekerja.
Prinsip 5 : Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas
Kriteria 5.1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan. Pengelola perkebunan
harus memiliki komitmen sosial kemasyarakatan dan pengembangan potensi
kearifan lokal.
Kriteria 5.2. Pemberdayaan masyarakat adat/penduduk asli. Pengelola perkebunan berperan
dalam mensejahterakan masyarakat adat/penduduk asli.
Prinsip 6 : Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat
Kriteria 6.1. Pengembangan usaha lokal. Pengelola perkebunan memprioritaskan untuk memberi
peluang pembelian/pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat di sekitar kebun.
Prinsip 7 : Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan
Pengelola perkebunan dan pabrik harus terus-menerus meningkatkan kinerja (sosial, ekonomi, dan
lingkungan) dengan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung
peningkatan produksi.
Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Pertanian 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil –
ISPO).

Apabila dibandingkan prinsip dan kriteria ISPO dengan prinsip dan kriteria

RSPO adalah sama tapi tidak serupa. Pada sertifikasi ISPO, keahlian dan kompetensi

auditor menjadi ujung tombak perusahaan untuk melayani permintaan pengguna

jasa. Pertimbangannya, Komite ISPO menetapkan 7 (tujuh) prinsip, 41 (empat puluh

Universitas Sumatera Utara


satu) kriteria, dan 128 (seratus dua puluh delapan) indikator sebagai syarat

mendapatkan ISPO. 18 Sedangkan pada RSPO menetapkan 8 (delapan) prinsip, dan

39 (tiga puluh sembilan) kriteria, dan 236 (dua ratus tiga puluh enam) indikator

sebagai syarat untuk mendapatkan RSPO.

Selain karena isu lingkungan, distribusi CPO Indonesia yang didominasi oleh

pasar Eropamenjadi faktor utama kedua sertifikasi ini diberlakukan di Indonesia.

Perolehan sertifikasi tersebut dengan cara mengaplikasikan seluruh peraturan

perundang-undangan terkait dengan ISPO maupun RSPO. Barulah setelah itu,

dibuatkan indikator-indikatornya dan daftar cek list kebun yang akan diukur

seberapa besar kepatuhan kebun tersebut dengan ketentuan terkait ISPO maupun

RSPO. Setelah didapati besaran bentuk kepatuhan itu, barulah auditor/komite

sertifikasi memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. 19

Kesadaran Pemerintah Indonesia akan pentingnya menciptakan produk

kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan melalui kewajiban ISPO

adalah karena pada tahun 2006, Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar

dunia. Sebelumnya posisi Indonesia hanya di peringkat kedua di bawah Malaysia.

Industri kelapa sawit dan produk turunannya merupakan salah satu sumber

pendapatan dan sumber lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia. 20Minyak kelapa

sawit menjadi sumber pendapatan dan sumber lapangan pekerjaan terbesar

18
Majalah Sawit Indonesia, “Utamakan Mutu dan Pengalaman”, Edisi Juli – Agustus 2012.
19
Lampiran Peraturan Menteri Pertanian 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
20
Friedel Hütz-Adams, “Minyak Kelapa Sawit : Perkembangan dan Resiko dari Ledakan
Pasar Minyak Kelapa Sawit”, (Stuttgart, Wuppertal : Brot fur die Welt & Evangelische Mission,
2011), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara


dikarenakan minyak kelapa sawit yang ada di Indonesia diekspor ke negara-negara

lain di dunia. Untuk negara pengekspor minyak kelapa sawit dapat dilihat pada tabel

di bawah ini :

Tabel 3.
Ekspor Minyak Kelapa Sawit (Dalam 1.000 ton)
1982-1984 1992-1994 2003-2004 2010-2011
Dunia 4.536 10.113 21.610 37.440
Indonesia 435 1.815 7.856 18.000
Malaysia 2.981 6.291 11.602 16.100
Benin Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data 480
Papua Nugini Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data 426
Thailand Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data 312
Sumber : Friedel Hütz-Adams, “Minyak Kelapa Sawit : Perkembangan dan Resiko dari Ledakan
Pasar Minyak Kelapa Sawit”, (Stuttgart, Wuppertal : Brot fur die Welt & Evangelische
Mission, 2011), hal. 3.

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat peningkatan posisi Indonesia yang

melonjak naik menjadi produsen ekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada

musim panen 2009/2010 negara kepulauan yang mampu menghasilkan 21 (dua

puluh satu) juta ton minyak kelapa sawit, yaitu hampir separuh dari produksi minyak

kelapa sawit dunia yang berjumlah 45 (empat puluh lima) juta ton. Di samping

minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari perasan buah kelapa sawit, pada tahun

panen 2009/2010 juga terhitung 5,3 (lima koma tiga) juta ton minyak biji sawit yaitu

minyak dari perasan biji sawit yaitu minyak dari perasan biji sawit yang masuk ke

pasar dunia. Indonesia mendominasi pasar ini dengan 2,3 (dua koma tiga) juta ton

produksi, disusul Malaysia dengan angka 2,1 (dua koma satu) juta ton. Lebih dari

90% (sembilan puluh persen) ekspor dunia berasal dari Malaysia dan Indonesia.

Patut diamati bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekspor yang luar biasa

antara tahun 2003 dan 2010 yaitu berlipat ganda menjadi 16,2 (enam belas koma

Universitas Sumatera Utara


dua) juta ton (musim panen 2009/2010) dan berdasarkan perkiraan akan terus

meningkat. 21

Sebelum Pemerintah Indonesia memberikan perhatian khusus atas perolehan

minyak kelapa sawit berkelanjutan, mata dunia Internasional telah terlebih dahulu

terbuka. Muncul persepsi bahwa dikarenakan tingginya permintaan terhadap minyak

sawit Indonesia ke pasar Eropa, dibuatlah hambatan (barrier to entry) yang terlihat

legal oleh dunia Internasional dengan mewajibkan sertifikasi, baik CPO maupun

kebun penghasil buah kelapa sawit asal Indonesia yang ingin minyak sawitnya dijual

di pasar Eropa, wajib bersertifikasi RSPO. Dari kenyataan ini, muncul pertanyaan

dan persepsi mengapa pasar Eropa mewajibkan sertifikasi RSPO atas CPO dan

kebun kelapa sawit.

Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh kenyataan bahwa terdapat aspek

penting yang menjadi perhatian khusus dunia internasional terhadap produk kelapa

sawit, yaitu timbulnya kekhawatiran dunia Internasional bahwa tidak semua kelapa

sawit selalu diproduksi secara lestari. Praktek di lapangan, kerap kali terjadi

penggunaan api untuk melakukan pembukaan lahan dengan tujuan membangun

perkebunan kelapa sawit dalam skala besar, ditambah lagi dengan semakin maraknya

konflik sosial antara masyarakat adat dan petani di beberapa tempat karena praktek

yang dianggap sebagai perbuatan yang tidak mengindahkan isu lingkungan.

Sebagai contoh tidak mengindahkan isu lingkungan juga dapat dilihat pada

saat perkebunan melakukan replanting(penanaman kembali) kebun sawit,

kebanyakan pengelola perusahaan membakar sisa-sisa batang-batang sawit yang


21
Ibid., hal. 2-3.

Universitas Sumatera Utara


sudah lewat umurnya dan tidak produktif lagi demi mengurangi production cost

(biaya produksi). Pengelola perkebunan kelapa sawit tidak menyadari bahwa

tindakan pembakaran liar ini akan meningkatkan emisi karbon yang sangat

berpengaruh terhadap peningkatan panas bumi (global warming). Contoh lainnya

adalah, banyaknya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan penanaman

kelapa sawit pada areal gambut dan dapat melepas karbon yang berkontribusi

meningkatkan emisi karbon dunia. Dengan melihat kenyataan inilah, maka pasar

Eropa memberikan ketentuan bahwa perusahaan perkebunan yang tidak

mengindahkan RSPO, maka terhadap CPO yang dihasilkan Pabrik Kelapa Sawit

(selanjutnya disebut PKS) tersebut tidak laku dijual di pasar Eropa. 22Dunia

Internasional, khususnya pasar Eropa mewajibkan produk CPO yang dijual

bersertifikat RSPO dengan tujuan untuk konsentrasi terhadap pembangunan dan

perolehan produk kelapa sawit berkelanjutan dengan mengindahkan isu lingkungan

dan efisiensi.

Dalam tataran regulasi nasional Indonesia, selanjutnya ISPO dijadikan

sebagai standar pelestarian lingkungan pada industri kelapa sawit nasional harus

diterapkan secara penuh dan konsisten juga serentak. Penerapan ISPO ini, sebagai

upaya agar dapat meningkatkan posisi tawar CPO Indonesia di pasar Internasional.

Alasan ISPO tidak dijadikan standar di pasar Eropa adalah karena negara-negara

tujuan ekspor masih belum dapat mengakui ISPO sebagai standar internasional

mengenai kelestarian lingkungan. Maka dari itulah, untuk mendapatkan pengakuan

22
Majalah Tempo, “Persyaratan RSPO Dinilai Tak Adil Bagi Indonesia”, diterbitkan
Minggu, 14 November 2010.

Universitas Sumatera Utara


tersebut seharusnya ISPO diterapkan secara penuh, independen, konsisten serta tidak

menyimpang. Meskipun banyak perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat mengakui

RSPO, tetapi eskpor CPO Indonesia tidak hanya ke Eropa dan Amerika Serikat.

Ekspor CPO Indonesia ke dua zona ekonomi itu juga tidak banyak, jadi tidak akan

berpengaruh. 23

Industri minyak kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis, karena

berhubungan dengan sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak

berkembang di negara-negara tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Hasil

industri minyak kelapa sawit bukan hanya minyak goreng saja, tetapi juga bisa

digunakan sebagai bahan dasar industri lainnya seperti industri makanan, kosmetika

dan industri sabun. Prospek perkembangan industri minyak kelapa sawit saat ini

sangat pesat, dimana terjadi peningkatan jumlah produksi kelapa sawit seiring

meningkatnya kebutuhan masyarakat. Dengan besarnya produksi yang mampu

dihasilkan, tentunya hal ini berdampak positif bagi perekonomian Indonesia, baik

dari segi kontribusinya terhadap pendapatan negara, maupun besarnya tenaga kerja

yang terserap di sektor perkebunan kelapa sawit. Sektor ini juga mampu

meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar perkebunan sawit, dimana persentasi

penduduk miskin di areal ini jauh lebih rendah dari angka penduduk miskin nasional.

Boleh dibilang, industri minyak kelapa sawit ini dapat diharapkan menjadi motor

pertumbuhan ekonomi nasional. 24

23
Kantor Berita Antara, “Kelapa Sawit Indonesia Sudah Saatnya Terapkan ISPO”, diterbitkan
Rabu, 12 Oktober 2011.
24
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Op.cit., hal. 23.

Universitas Sumatera Utara


Oleh karena itu, industri kelapa sawit sangat berhubungan dengan investasi.

Sektor investasi industri kelapa sawit juga dapat meningkatkan taraf hidup

masyarakat sekitar. Hubungan industri kelapa sawit dengan investasi sudah pasti

pada penanaman modal yang dilakukan oleh Pemerintah, swasta, maupun Asing.

Ketiga pihak tersebut sudah pasti membuat suatu badan hukum untuk mengatur

pengorganisasian industri kelapa sawit. Bentuk badan hukumnya dapat berupa

Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Perseroan, ataupun Joint Ventures

Agreement (JvA). Penganggaran untuk membangun sebuah badan hukum yang

bergerak dalam bidang industri kelapa sawit sangat membutuhkan perizinan yang

begitu kompleks, sehingga pengurusan perizinan ini sangat penting dilakukan.

Kompleksitas ini belum lagi ditambah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri

Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Akibat dari dikeluarkannya ketentuan tersebut ISPO dijadikan sebagai suatu

keharusan yang diwajibkan oleh Pemerintah untuk diimplementasikan pelaksanaan

usaha perkebunan kelapa sawit. Ketentuan atas kewajiban itu adalah dengan

dimilikinya sertifikasi ISPO yang disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri

Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), yang

menyatakan bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling

lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha

sesuai dengan ketentuan peraturan ini”. Berbeda dengan RSPO yang bersifat

Universitas Sumatera Utara


voluntary atau sukarela, artinya perusahaan perkebunan dapat mengimplementasikan

RSPO dan bisa juga tidak. Tujuan pengimplementasian RSPO maupun ISPO ini

adalah agar CPO yang dihasilkan perusahaan perkebunan di Indonesia dapat dijual di

pasar Eropa. Penjualan CPO ke pasar Eropa karena selama ini banyak kampanye

negatif pasar dunia atas produk kelapa sawit Indonesia, bahwa produk kelapa sawit

Indonesia tidak memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup. Namun,

hal tersebut terbantahkan dengan diterbitkannya pengaturan ISPO sebagaimana dapat

dilihat pada prinsip dan kriteria ISPO. 25

Walaupun perlindungan lingkungan adalah isu penting yang dihembuskan

oleh pasar Eropa untuk menjual CPO di pasar dunia, tidak ada salahnya apabila

sertifikasi RSPO maupun ISPO ini tetap diimplementasikan oleh setiap perusahaan

perkebunan di Indonesia. Dengan begitu, isu lingkungan akan terbantahkan, serta

lingkungan juga akan semakin terjaga. Apabila daya dukung dan daya tampung suatu

lingkungan tempat perusahaan perkebunan itu berkurang maka perusahaan

perkebunan tersebut wajib untuk mengembalikan daya dukung dan daya

tampungnya. 26

25
Majalah Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan
RI, “Kampanye Negatif Kelapa Sawit Indonesia, Potensi Kelapa Sawit Indonesia, Kiat-Kiat
Menghadapi Kampanye Negatif Kelapa Sawit”, Edisi Juni 2011, hal. 8-9. Lihat juga : Ruslan Effendi,
“Analisis Daya Dukung Kelembagaan Perkebunan Kelapa Sawit Untuk Meningkatkan Daya Saing
dan Keberlanjutan Bisnis (Studi Kasus : PT. Mitra Inti Sejati Plantation di Propinsi Kalimantan
Barat)”, (Bogor : Tesis, Manajemen Bisnis – Institut Pertanian Bogor, 2011), hal. 1.
26
Suhadi Sukendar, “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
(Corporate Social Responsibility – CSR) Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas”, (Medan : Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, 2012), hal. 14.
Lihat juga : Angka 3 Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa : “Undang-undang ini
mwajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan

Universitas Sumatera Utara


Apabila melihat lagi sejarah gencarnya perhatian dunia Internasional

terhadap isu lingkungan ini, adalah dimulai pada tahun 1992, Konferensi Tingkat

Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil yang menegaskan konsep pembangunan

berkelanjutan (sustainability development) sebagai hal yang wajib diperhatikan tidak

hanya oleh negara tetapi terlebih oleh kalangan perusahaan yang kekuatan kapitalnya

semakin menggurita. Salah satu hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi tersebut,

antara lain : menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan

ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). 27 Oleh karena itu, dibuatlah standar minyak sawit berkelanjutan yang

disebut Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Indonesian Sustainable Palm Oil

(ISPO) lahir dikarenakan Indonesia keluar dari anggota RSPO. Hal ini dipicu karena

Indonesia tidak mau didikte oleh pasar Eropa karena tingginya permintaan CPO

Indonesia di pasar Eropa. Permintaan ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.
Nilai dan Volume Ekspor Indonesia ke Uni Eropa (2008 – 2011)

No. Uraian 2008 2009 2010 2011


1 Volume (000 ton) 4.364.793 4.791.756 4.069.146 3.985.439
2 Nilai (000 US$) 2.736.154 2.166.983 2.614.262 2.887.968

Sumber : Majalah Sawit Indonesia, “Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa Bisa Jadi Terancam
Turun”, diterbitkan Senin, 02 Juli 2012.

terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program
pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya
tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib
diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah
terlampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi”.
27
Website Resmi Kementerian Lingkungan Hidup, “Berikan Kesempatan Pada Bumi (Give
Earth A Chance)”, http://www.menlh.go.id/berikan-kesempatan-pada-bumi-give-earth-a-
chance/.,diakses pada 04 Desember 2012.

Universitas Sumatera Utara


Kebijakan pemerintah yang menetapkan ISPO sebagai kewajiban merupakan

solusi dari praktek budidaya sawit berkelanjutan. Alan Oxley memaparkan ISPO

sudah menjadi alternatif yang tepat disamping RSPO yang telah diikuti perusahaan

kelapa sawit dunia dari hulu sampai ke hilir. Pada 2011, Gabungan Pengusaha

Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat total volume ekspor CPO dapat

mencapai 16,5 (enam belas koma lima) juta ton. Dari jumlah ini, pengiriman ekspor

CPO Indonesia ke Uni Eropa turun menjadi 3,5 (tiga koma lima) juta ton pada tahun

2011 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 3,7 (tiga koma tujuh) juta ton. 28

Dasar hukum ISPO adalah Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), merupakan

Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang menjadi dasar

dalam mendorong usaha perkebunan kelapa sawit memenuhi kewajibannya sesuai

peraturan perundang-undangan, melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan

kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar. 29

Dengan adanya Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), yang

menetapkan bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling

28
Majalah Sawit Indonesia, “Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa Bisa Jadi Terancam
Turun”, diterbitkan Senin, 02 Juli 2012.
29
Alvi Syahrin, “Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan : Aspek Hukum
Lingkungan Hidup dalam Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Tinjauan terhadap
Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)”,
http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/10/05/40/#more-40., diakses pada 21 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara


lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha

sesuai dengan ketentuan Peraturan ini”. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa

aparatur Menteri Pertanian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan,

paling lambat 31 Desember 2014 harus bisa mewujudkan pelaku usahaperkebunan

dalam melakukan usaha perkebunan kelapa sawitnya menjadi Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia yang sistem usaha perkebunan kelapa sawitnya layak

dalam bidang ekonomi, sosial, dan ramah lingkungan didasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini sebenarnya mengatur yang

ditujukan kepada aparatur Menteri Pertanian yang tugas dan tanggung jawabnya di

bidang perkebunan untuk lebih mendorong dan memfasilitasi pelaku usaha

perkebunan kelapa sawit untuk membangun perkebunan kelapa sawit

berkelanjutan. 30

Masalah yang muncul adalah ketika sebuah perusahaan perkebunan kelapa

sawit sudah mengimplementasikan RSPO dengan biaya yang sangat besar. Apakah

perusahaan tersebut harus mengimplementasikan ISPO?Belum lagi, mengenai

prinsip dan kriteria ISPO yang dinilai sangat tidak bersahabat dengan investor.

Perusahaan perkebunan dimaksud adalah PT. Rea Kaltim Plantation. Dipandang dari

perspektif investasi, apabila PT. Rea Kaltim Plantation mengimplementasikan lagi

ISPO maka akan memakan biaya yang tidak sedikit, dan akan menghambur-

30
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


hamburkan anggaran perusahaan untuk hal yang sudah dilakukan. PT. Rea Kaltim

Plantation memperoleh sertifikasi RSPO pada 08 Juli 2011. 31

Relevansi ISPO dengan PT. Rea Kaltim adalah dikarenakan PT. Rea Kaltim

sudah memiliki sertifikat RSPO namun belum memiliki sertifikat ISPO, oleh karena

itu, perusahaan perkebunan swasta tersebut dapat dijadikan sebagai contoh dalam

penelitian ini. Selanjutnya penelitian ini adalah berjudul “Analisis Hukum Terhadap

Kewajiban Sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) Dalam Kaitannya

Dengan Pertumbuhan Investasi Sektor Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia”

dengan studi pada PT. Rea Kaltim Plantation di Jakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) yang

mewajibkan sertifikasi ISPO bagi perusahaan perkebunan dalam hierarki

peraturan perundang-undangan dan dampak yuridisnyaterhadap perusahaan

perkebunan di Indonesia?

2. Mengapa penerapan prinsip dan kriteria ISPO dapat dianggap sebagai upaya

untuk mendukung investasi di Indonesia?

31
Blog Resmi PT. Rea Kaltim Plantation, “RSPO Main Assessment”,
http://reakaltim.blogspot.com/2012/05/rspo-main-assessment.html., diakses pada 21 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara


3. Bagaimana sertifikasi ISPO di PT. Rea Kaltim Plantation dalam rangka

meningkatkan investasi di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada rumusan masalah di atas maka yang

menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan Peraturan Menteri Pertanian

No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)

yang mewajibkan sertifikasi ISPO bagi perusahaan perkebunan dalam

hierarki peraturan perundang-undangan dan dampak yuridisnya terhadap

perusahaan perkebunan di Indonesia;

2. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan penerapan prinsip dan kriteria

ISPO dapat dianggap sebagai upaya untuk mendukung investasi di Indonesia;

3. Untuk mengetahui dan menganalisis sertifikasi ISPO di PT. Rea Kaltim

Plantation dalam rangka meningkatkan investasi di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis;

Universitas Sumatera Utara


Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi

para akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan

manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum investasi

secara khusus di Indonesia.

2. Manfaat Praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Pemerintah/Badan Legislatif

dalam menentukan kebijakan maupun regulasi dalam upaya

pengembangan hukum nasional ke arah pengaturan Pembangunan

Perusahaan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian

Sustainable Palm Oil – ISPO);

b. Sebagai informasi dan inspirasi bagi praktisi bisnis dan hukum (para

stakeholders, serta Konsultan Hukum di Perusahaan-perusahaan

perkebunan) untuk memahami pengaturan Pembangunan Perusahaan

Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm

Oil – ISPO);

c. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat yang dapat mengambil poin-

poin atau modul-modul pembelajaran dari penelitian ini dan

diharapkan wacana pembangunan perkebunan kelapa sawit

berkelanjutan di Indonesia berkembang ke arah yang lebih baik.

Universitas Sumatera Utara


E. Keaslian Penelitian

Menurut data yang didapat dari pemeriksaan dan hasil-hasil judul penelitian

yang ada pada Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian yang berjudul : “Analisis Hukum

Terhadap Kewajiban Sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) Dalam

Kaitannya Dengan Pertumbuhan Investasi Sektor Perkebunan Kelapa Sawit di

Indonesia (Studi Pada PT. Rea Kaltim Plantation)” adalah belum pernah dilakukan

sama sekali.

Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan asli dan dapat dipertanggung

jawabkan keasliannya. Penulis bertanggung jawab apabila di kemudian hari dapat

dibuktikan bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dari penelitian

yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Lingkungan strategis dunia yang berkembang dengan sangat pesat sejak

berakhirnya Perang Dunia II telah mendorong bangsa-bangsa di dunia bersaing

dengan ketat dalam mengejar dan mempertahankan kemakmurannya. Berbagai

strategi pembangunan diterapkan untuk dapat meningkatkan dan mempertahankan

pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bersamaan dengan itu, tidak dapat dipungkiri

bahwa sumber daya alam baik di laut maupun di darat akan mengalami tekanan

pemanfaatan yang berlebihan. Apabila pemanfaatan ini melampaui daya dukungnya,

Universitas Sumatera Utara


tentu akan menimbulkan masalah lingkungan baik di tingkat lokal, regional,

nasional, maupun global.

Keadaan ini telah menimbulkan kesadaran pada umat manusia tentang

pentingnya kelestarian lingkungan bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Semenjak

dicanangkannya pernyataan tentang pentingnya kesadaran segenap pihak tentang

berbagai isu lingkungan global, disusul terbitnya buku “Our Common Future oleh

World Commission on Environment And Development”, istilah sustainable

development (pembangunan berkelanjutan) menjadi sangat populer, yaitu 32 :

“Sustainable development is development which meets the needs of the


present without comromising the ability of future generation to meet their
own needs.The word development in this definition implicates two important
aspects of the concept : It is omnidisciplinary, It cannot be limited to a
number of disciplines or areas, but it is applicable to the whole world and
everyone and everything on it, now and in the future. Secondly, there is no set
aim, but the continuation of development is the aim of the development. The
definition is based on two concepts :
a. The concept of needs, comprimising of the conditions for maintaining
an acceptable life standard for all people, and
b. The concept of limits, of the capacity of the environment to fulfill the
needs of the present and the future, determined by the state of
technology and social organisation”.

Hakekat pengertian tentang pembangunan berkelanjutan (ada pula yang

menyebutkan dengan istilah bertahan kelanjutan) pada dasarnya adalah :

pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini tanpa

mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhanmereka,

sebagai suatu proses perubahan dimana pemanfaatan sumberdaya, arah investasi,

orientasi pembangunan, dan perubahan kelembagaan selalu dalam keseimbangan dan

32
Gro Harlem Brundtland, Our Common Future, (New York : Oxford University Press,
1987), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


secara sinergis saling memperkuat potensi masa kini maupun masa mendatang untuk

memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. 33

Pengembangan kelapa sawit yang dilakukan di Indonesia dilakukan dengan

menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai dengan

berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan

pengembangan kelapa sawit. Sebagai Guidance untuk melaksanakan dan melakukan

penilaian tentang pembangunan kelapa sawit di Indonesia disusun Sistem Minyak

Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil–ISPO).

Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) adalah suatu kebijakan yang

diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian yang

bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut

berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk

mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.

Dengan adanya ketetapan ISPO, hal ini bertujuan untuk meningkatkan

kepedulian pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan serta meningkatkan

tingkat daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia. Karena ISPO

didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka

ketentuan ini merupakan mandatory(kewajiban) yang harus dilaksanakan bagi

pelaku usaha perkebunan di Indonesia.

Mengenai konsep mandatory (kewajiban) ini adalah terkait dengan konsep

kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang yang

33
Budihardjo dan Djoko Sujarto, Sustainable Development : Beberapa Catatan Tambahan ,
(Jakarta : Asosiasi SYLFF & Universitas Indonesia, 2006), hal. 47.

Universitas Sumatera Utara


bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan bertentangan/berlawanan hukum.

Sanksi dikenakan deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang

tersebut bertanggung jawab. Subjek responsibility dan subjek kewajiban hukum

adalah sama. Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab : pertanggung

jawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggung jawaban mutlak

(absolut responsibility). 34

Oleh karena itu, suatu badan hukum yang mengimplementasikan ISPO

adalah bertanggung jawab secara hukum terhadap Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). Maka badan

hukum itulah yang bertanggung jawab apabila terdapat kesalahan dalam penerapan

ISPO apalagi tidak mengindahkan Pasal 3 ketentuan tersebut. Sanksinya adalah

bahwa perusahaan perkebunan yang mengimplementasikan ISPO itu sendirilah yang

akan terkena imbasnya. Salah satu akibat dari tidak mengimplementasikan ISPO

adalah tidak dapat dijualnya CPO hasil perkebunan tersebut ke pasar Eropa.

Dikarenakan tidak lakunya CPO perusahaan yang mengimplementasikan ISPO maka

pendapatan perusahaan akan menurun pula. Tanggung jawab perusahaan perkebunan

kelapa sawit adalah untuk mengimplementasikan RSPO adalah sama dengan

kewajibannya dalam pemenuhan peraturan perundang-undangan lainnya yang

berlaku di Indonesia.

34
Hans Kelsen dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, (Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 61.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya untuk melihat Peraturan Menteri masuk ke hierarki peraturan

perundang-undangan yang mana, maka digunakanlah teori hierarki peraturan

perundang-undangan yaitu Stufenbau Theory. Stufenbau adalah mengenai

keberlakuan kaidah hukum. Keberadaan kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh

kaidah yang lebih tinggi dengan demikian kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah

abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku berdasarkan kaidah dasar atau

grundnorm. 35 Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid

Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von

stufenbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut, antara lain 36 :

1. “Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);

2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);

3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan

4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome

satzung)”.

Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam

hubungannya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal

dari bahasa Latin, atau kaidah dalam bahasa Arab, dan sering juga disebut pedoman,

patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia. Suatu norma itu baru ada apabila

terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara

bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Norma

35
Purnadi Purbacaraka dan M. Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan Keempat, (Bandung :
Citya Aditya Bakti, 1990), hal. 58-71.
36
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 223.

Universitas Sumatera Utara


hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga

yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral, adat, agama, dan

lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-

kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh sistem

hukum mempunyai suatu struktur piramidal, mulai dari yang abstrak (ideologi

negara dan undang-undang dasar) sampai yang konkret (peraturan-peraturan yang

berlaku). 37Teori stufenbau digunakan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

tata urutan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang

Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian

Sustainable Palm Oil – ISPO) masuk ke dalam tingkatan peraturan yang mana.

Dasar pertimbangan keluarnya Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), yaitu :

“a. Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal


33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, diselenggarakan
berdasarkan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan;

b. Pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sebagai bagian


dari pembangunan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan devisa
negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai
tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku
industri dalam negeri, serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya
alam secara lestari;

37
Stufenbau Theory dikembangkan oleh beberapa pemikir, antara lain : Merkl, Kelsen, Hart.
Pada intinya teori ini dimaksudkan untuk menyusun suatu hierarki norma-norma, sehingga berlapis-
lapis dan berjenjang-jenjang. Teori ini memang diterima juga di Indonesia, dokumen yang bersejarah
tentang hal ini adalah Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang berjudul : Memorandum DPRGR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata urutan (susunan) perundang-undangan
Republik Indonesia. Sumber : Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogjakarta : Kanisius, 1995), hal. 44.

Universitas Sumatera Utara


c. Tindaklanjut Pasal 2, Pasal 25, Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 44 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan”.

Saat keluarnya Peraturan Menteri Pertanian No.19/Permentan/OT.140/3/2011

tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian

Sustainable Palm Oil – ISPO), ketentuan yangmengatur tentang pembentukan

perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jika diperhatikan ketentuan Pasal 7

ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, yang mengatur mengenai : “Jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan adalah sebagai berikut :

“a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Maka Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang

Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian

Sustainable Palm Oil – ISPO) tidak termasuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan. Peraturan ini dapat menjadi jenis peraturan perundang-

undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, jika (sepanjang)

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (sebagaimana

Universitas Sumatera Utara


ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Akan tetapi, jika disimak ketentuan

perundang-undangan di bidang Perkebunan, baik yang berupa Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden, tidak ada diperintahkan membuat

Peraturan Menteri untuk mengatur tentang Perkebunan Berkelanjutan atau

Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. 38

Oleh karena itu, Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) perlu diuji

berdasarkan Stufenbau Theory yang menyatakan bahwa harus ada peraturan yang

mengatur diatasnya yang lebih tinggi lagi, atau dengan kata lain harus ada perintah

untuk membentuk suatu peraturan.

Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang

Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian

Sustainable Palm Oil – ISPO) tidak termasuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, maka Peraturan Menteri tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat, namun mempunyai keberlakuan untuk di lingkungan aparatur Menteri

Pertanian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan guna

mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Artinya, Peraturan Menteri

Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa


38
Alvi Syahrin, Op.cit.

Universitas Sumatera Utara


Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) digunakan

oleh aparatur Menteri Pertanian sebagai pedoman di lingkungan Kementerian

Pertanian dalam menyelenggarakan tugasnya untuk mewujudkan kebijakan

pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Sehingga, agar muatan

materi yang dimuat dalam Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) dapat

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, hendaknya diatur ke jenis dan hierarki

Peraturan Presiden. 39

Lalu dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden yang nantinya

memerintahkan untuk mengeluarkan Peraturan Menteri tersebut sudah jelas hal ini

untuk memenuhi Stufenbau Theory yang dipaparkan sebelumnya. Untuk teori

selanjutnya yang dipakai adalah teori hukum dalam pembangunan ekonomi terkait

dengan peningkatan investasi. Diharapkan dengan penerapan ISPO terhadap

perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia dapat meningkatkan

pertumbuhan investasi di Indonesia. Pertumbuhan investasi meningkat dikarenakan

Indonesia telah berkepastian hukum untuk menjawab isu lingkungan yang

didengung-dengungkan.

Teori hukum dalam pembangunan ekonomi pertama sekali dicetuskan oleh

Williams Burg dalam bukunya mengenai hukum dalam pembangunan terdapat 5

(lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat pertumbuhan

ekonomi yaitu stabilitas (stability), prediksi (predictability), keadilan (fairness),


39
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


pendidikan (education), dan pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the

special development abilities of the lawyer). 40

Burg’s menjelaskan bahwa unsur pertama dan kedua merupakan prasyarat

agar sistem perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Dalam hal ini, stabilitas

berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang

saling bersaing (conflict of interest), sedangkan prediksi merupakan suatu kebutuhan

untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan

perekonomian suatu negara. 41 Stabilitas (stability), maksudnya adalah bahwa hukum

itu harus stabil dan tidak cepat berubah. Prediksi (predictability), maksudnya adalah

bahwa setiap ketentuan yang akan keluar berikutnya sudah bisa disikapi dengan baik

oleh masyarakat. Keadilan (fairness), maksudnya adalah bahwa keadilan adalah

tujuan dari hukum itu sendiri. Pendidikan (education), maksudnya adalah bahwa

pendidikan hukum itu penting dalam menjalankan sebuah perusahaan. Lalu,

pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development abilities of

the lawyer), maksudnya adalah bahwa setiap bagian hukum perusahaan tersebut

haruslah memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan yang lainnya.

Stabilitas pada kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitannya dengan

peningkatan investasi di Indonesia dapat diartikan bahwa Peraturan-Peraturan

Menteri yang dikeluarkan oleh Aparatur Negara terkait agar tidak terus berubah-

ubah seiring dengan perkembangan perekonomian di Indonesia. Sewaktu belum ada

ISPO, RSPO digembor-gemborkan agar diterapkan pada semua perusahaan

40
Bismar Nasution, “Modul Perkuliahan : Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”,
(Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. 36.
41
Ibid., hal. 37-38.

Universitas Sumatera Utara


perkebunan, tetapi penerapan RSPO ini bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai

kesukarelaan setiap perusahaan perkebunan untuk mengimplementasinya secara

sukarela terhadap RSPO sendiri.

Prediksi hukum (predictability) diartikan bahwa setiap Peraturan Menteri

yang dikeluarkan itu berlaku bagi masyarakat dan setiap perusahaan perkebunan.

Keberlakuan itu harus bisa diperkirakan bagaimana keadaan perusahaan perkebunan

setelah diaplikasikannya peraturan tersebut. Hukum itu harus dapat diprediksi terkait

dengan kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitannya dengan peningkatan investasi di

Indonesia. Suatu hal yang harus dapat diprediksi disini adalah mengenai berapa dana

anggaran yang harus dikeluarkan untuk mengimplementasikan Peraturan Menteri

Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Kaitannya dengan PT. Rea Kaltim Plantation adalah bagaimana apabila PT. Rea

Kaltim Plantation telah menerapkan sertifikasi RSPO. Apakah dapat disamakan

dengan ISPO ataukah dapat menambah atau mengurangkan peraturan yang

diberlakukan kepada PT. Rea Kaltim Plantation terkait perubahan antara RSPO

dengan ISPO. Atau dengan kata lain, apakah PT. Rea Kaltim Plantation harus

mengimplementasikan sertifikasi ISPO walaupun sudah ada sertifikasi RSPO.

Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya dapat dijawab dengan menggunakan teori hukum

dalam pembangunan ekonomi tersebut.

Setelah sertifikasi ISPO mempunyai stabilitas dan keterprediksian, maka

selanjutnya adalah keadilan hukum (fairness). Mekanisme sertifikasi ISPO haruslah

Universitas Sumatera Utara


berkeadilan bagi perusahaan perkebunan – dalam hal ini PT. Rea Kaltim Plantation –

dan bagi masyarakat sekitar yang merasakan langsung dampak dari penerapan

sertifikasi ISPO dimaksud. Dampak langsung bagi masyarakat tersebut dapat dilihat

pada konsep Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan yang wajib juga

dianggarkan terkait dengan pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku

bagi penerapan ISPO yaitu Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas.

Pendidikan hukum (education) adalah bahwa setiap badan hukum harus

memiliki dasar hukum yang baik. Hukumitu berasal dari dalam diri badan hukum itu

sendiri bukan dari intervensi dari luar. Jika setiap badan hukum yang berhubungan

dengan sertifikasi ISPO memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) Bagian Hukum

yang mempunyai pendidikan hukum yang tinggi maka akan tercipta suatu

pemenuhan peraturan perundang-undangan baik peraturan perundang-undangan

yang baru keluar maupun peraturan perundang-undangan lama yang belum dipenuhi

oleh PT. Rea Kaltim Plantation.

Pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development

abilities of the lawyer), terkait dengan sertifikasi ISPO dalam peningkatan investasi

di Indonesia adalah bahwa antara PT. Rea Kaltim Plantation dengan Pemerintah

pastilah ada yang terhubung yaitu Bagian Hukum PT. Rea Kaltim Plantation dengan

setiap instansi pemerintahan terkait sertifikasi ISPO. Para Staf maupun Karyawan

pada Bagian Hukum di PT. Rea Kaltim Plantation harus memiliki integritas tinggi

Universitas Sumatera Utara


agar dapat menjalankan perusahaan dengan baik dan patuh terhadap peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dengan tercapainya hukum sebagaimana disebutkan di atas, maka akan

tercapai tujuan hukum dalam pembangunan ekonomi yang tidak lain adalah

kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat yang merata akan menciptakan

negara yang makmur (welfare state). 42 Apabila negara makmur maka akan

mengangkat harkat dan martabat bangsa kepada negara lain. Dengan demikian,

investasipun akan meningkat pula.

2. Kerangka Konsep

Dalam melakukan penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa istilah di bawah

ini sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan untuk

menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep, yaitu :

1. Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable

Palm Oil – ISPO) adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit

42
Welfare State bertujuan pada perlindungan pemerintah terhadap rakyat dari berbagai
kesulitan sebagai dampak tahap industrialisasi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pengorbanan rakyat
dalam tahap insutrialisasi, dimana hukum sama sekali tidak berpihak kepada rakyat, dan
“pembungkaman” hak-hak rakyat. Dalam tahap ini, tujuan pembangunan adalah terciptanya keadilan
sosial dan kesejahteraan rakyat. Implementasinya dalam pembangunan hukum adalah lahirnya
produk-produk hukum yang lebih berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat serta
perlindungan hak-hak kaum minoritas, seperti konsumen, buruh, dan kaum perempuan. Sumber :
Wallace Mendelson, “Law and The Development of Nations”, The Journal of Politics : The University
of Texas at Austin, Vol. 32, 1970, hal. 223.

Universitas Sumatera Utara


yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan pada

peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia; 43

2. Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah proses pengelolaan kebun

dan pabrik kelapa sawit untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang

ditetapkan guna produksi barang dan jasa secara terus-menerus dengan tidak

mengurangi inheren dan produktivitas masa depannya, serta tanpa

menimbulkan dampak yang tidak diinginkan terhadap lingkungan, biologi,

fisik, dan sosial; 44

3. Pertumbuhan Investasi adalah kondisi yang mencerminkan sejumlah faktor

yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan

insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara

produktif dan berkembang. Dengan demikian, pertumbuhan usaha atau

pertumbuhan investasi yang kondusif adalah pertumbuhan yang mendorong

investor melakukan investasi dengan biaya dan risiko serendah mungkin di

satu sisi, dan dapat menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi

mungkin di sisi lain; 45

43
Bagian I Pengertian Umum angka 6. Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
44
Website Resmi RSPO, “Dokumen Panduan : Prinsip dan Kriteria RSPO untuk Produksi
Minyak Sawit Berkelanjutan”, www.rspo.org., diakses pada 22 Juli 2012.
45
Stern dalam Shinta RI. Soekro, et.al., Sjamsul Arifin (ed.), Bangkitnya Perekonomian Asia
Timur Satu Dekade Setelah Krisis, (Jakarta : Tim Biro Hubungan dan Studi Internasional – Bank
Indonesia, 2008), hal. 172-173.

Universitas Sumatera Utara


4. Pembangunan Berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang

memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi

pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,

kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi

masa depan; 46

5. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup

untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan

keseimbangan antar keduanya; 47

6. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup

untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau

dimasukkan ke dalamnya; 48

7. Kewajiban Hukum adalah suatu kewajiban yang diberikan dari luar diri

manusia (norma heteronom). Kewajiban hukum dan kewajiban moral dapat

berpadu, dalam istilah Hegel, “Sittlicheit”. 49 Dalam tataran ini kewajiban-

kewajiban hukum telah diterima sebagai kewajiban-kewajiban moral. Dalam

pembahasan etika, Immanuel Kant menguraikan etika “imperatif kategoris”

dimana tunduk kepada hukum merupakan suatu sikap yang tanpa pamrih, dan

tidak perlu alasan apapun untuk tunduk kepada hukum. Untuk perbandingan

46
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
47
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
48
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
49
Bryan Magee, The Story of Philosophy, diterjemahkan Marcus Widodo, (Yogyakarta :
Kanisius, 2008), hal. 158-160.

Universitas Sumatera Utara


adapula yang dinamakan imperatif hipotetis, dimana kewajiban dilaksanakan

karena suatu alasan tertentu atau mengharapkan reward tertentu. 50 Kaitannya

dengan penelitian ini adalah bahwa kewajiban sertifikasi ISPO ditetapkan

berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140//3/2011

tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia

(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO); 51

8. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu

pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,

mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut dengan

bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk

mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat; 52

9. Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang

mengelola usaha perkebunan; 53 Dalam penelitian ini Pelaku Usaha

Perkebunan yang dijadikan sebagai subjek penelitian adalah PT. Rea Kaltim

Plantation.

50
Immanuel Kant dalam Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius,
2005), hal. 267-268.
51
Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140//3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)
mewajibkan setiap perusahaan perkebunan untuk melakukan sertifikasi ISPO.
52
Bagian I Pengertian Umum angka 1. Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
53
Bagian I Pengertian Umum angka 3. Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


10. Lembaga Sertifikasi adalah lembaga independen yang diakreditasi oleh

Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan mendapatkan pengakuan dari Komisi

ISPO; 54

11. Sertifikasi ISPO adalah suatu penetapan yang diberikan oleh Lembaga

Sertifikasi ISPO (menurut Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140//3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), yaitu :

PT. Mutuagung Lestari; PT. TUV Nord Indonesia; PT. Sucofindo; PT. SAI

Global Indonesia; PT. TUV Rheinland Indonesia). Penetapan tersebut dalam

bentuk diberikannya Sertifikat ISPO kepada perusahaan perkebunan yang

memohon untuk itu; 55

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif. 56 Dengan

demikian objek penelitiannya adalah norma hukum yang berlaku dibuat dan

ditetapkan oleh pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan

kebijakan yang terkait secara langsung dengan ”Analisis Hukum Terhadap

54
Bagian I Pengertian Umum angka 13. Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
55
Website Resmi ISPO, “Penunjukan Lembaga Sertifikasi ISPO”, http://ispo-org.or.id/.,
diakses pada 22 Juli 2012.
56
Adapun tahap-tahap dalam analisis juridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum
dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-
standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Sumber : Amirudin dan Zainal Asikin,
Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.

Universitas Sumatera Utara


Kewajiban Sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dalam Kaitannya

Dengan PertumbuhanInvestasi di Indonesia”.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan

menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam

melakukan pengkajian sertifikasi ISPO terhadap peningkatan investasi di Indonesia.

Pendekatan tersebut menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi

pengertian hukum pada bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu

mengabaikan atau memungkiri pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan

karena pendekatan seperti ini menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu

yang berlainan metodologi (sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu

hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok

bahasannya. 57

Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk

menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait

kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitannya dengan peningkatan investasi di

Indonesia.

57
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Cetakan Ketiga, (Bandung : Nusamedia
& Nuansa, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan

dan berdasarkan pada bahan hukum sekunder, maka sumber bahan hukum yang

digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :

1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

beserta Amandemen;

b. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

c. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

d. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

e. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

f. Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011

tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia

(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai

konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer

dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber

baik jurnal, buku-buku, makalah, serta karya ilmiah mengenai pasar modal

dan pencucian uang, berita, dan ulasan media, juga sumber-sumber lain yang

Universitas Sumatera Utara


relevan dengan kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitannya dengan

peningkatan investasi di Indonesia.

3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal

penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum

primer, khususnya kamus-kamus hukum dan ekonomi.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi

kepustakaan (library research) dengan alat pengumpulan berupa studi dokumen

yang dipandang relevan, dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan

Perpustakaan Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 58 Selanjutnya

yang dilakukan, digunakanlah teknik studi lapangan (field research) dengan alat

pengumpulan bahan hukum dengan cara melakukan wawancara untuk menunjang

bahan hukum primer sebagai bahan hukum pendukung yang diperoleh dari PT. Rea

Kaltim Plantation dengan pertimbangan bahwa perusahaan tersebut merupakan salah

satu perusahaan besar yang keberadaannya berdampak baik positif maupun negatif

terhadap masyarakat sekitar. Wawancara dilakukan dengan bagian Corporate

Secretary dan Legal Department PT. Rea Kaltim Plantation.

58
Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan
pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis
dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau
analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja
peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang
dikemukakan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010),
hal. 112-113.

Universitas Sumatera Utara


4. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan

sesuai dengan substansi yang diatur dengan mempertimbangkan relevansinya

terhadap rumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan

pengelompokan konsep hukum yang lebih umum, yaitu : kewajiban hukum,

kepastian hukum, pertumbuhan investasi yang kondusif, dan lain-lain. 59

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir

deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai

titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai

alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara

tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat

masalah dalam kewajiban sertifikasi ISPO dalam peningkatan investasi di Indonesia.

Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan

penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali

artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka deduktif –

induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang digunakan pada

awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan pembuktian teori

tersebut. 60

Penerapan deduktif – induktif adalah menggunakan teori yang disebutkan

dalam sub bab kerangka teoritis di atas untuk memecahkan permasalahan mengenai

59
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda, 2006), hal. 248,
dalam Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, Ed. 1, Cet. 3, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 144-145.
60
Ibid., hal. 26-29.

Universitas Sumatera Utara


kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitan dengan peningkatan investasi di Indonesia.

Sertifikasi ISPO dengan pemenuhan kewajiban terhadap Peraturan Menteri Pertanian

No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


BAB II

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


TERKAIT PENGATURAN KEWAJIBAN SERTIFIKASI ISPO BAGI
PERUSAHAAN PERKEBUNAN

Dalam lima tahun terakhir, terjadi pergeseran pasar (market) minyak nabati

dunia, dari sebelumnya didominasi konsumsi minyak kedelai yang diproduksi di

negara maju (Eropa) menjadi minyak sawit yang diproduksi di negara berkembang

(Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Nigeria, Ghana, dan lain-lain). Dari sisi suplai

tahun 2011, pasokan produksi Indonesia menjadi yang terbesar menggeser pasokan

Malaysia untuk konsumsi minyak sawit dunia. Harga minyak mentah (Crude Palm

Oil – CPO) yang naik di luar perkiraan juga membuat minyak sawit selalu menjadi

pembicaraan sebagai substitusi dalam bentuk biofuel. 61 Data-data tersebut

mengukuhkan bagaimana strategisnya komoditi kelapa sawit dalam perekonomian

Indonesia termasuk Propinsi Sumatera Utara.

Propinsi Sumatera Utara dalam sejarahnya adalah daerah yang pertama kali

(tahun 1911) mengelola komoditi kelapa sawit secara komersial/industri, dari

sebelumnya yang hanya berupa tanaman hias di Kebun Raya Bogor. Sekarang,

hampir seluruh kabupaten di Sumatera Utara melaksanakan budidaya perkebunan

kelapa sawit berupa perkebunan rakyat seluas 408.699 Ha (empat ratus delapan ribu

enam ratus sembilan puluh sembilan hektar), perkebunan swasta seluas 342.954 Ha

(tiga ratus empat puluh dua ribu sembilan ratus lima puluh empat hektar) dan

61
World Growth, “Manfaat Minyak Sawit Bagi Perekonomian Indonesia”, Laporan World
Growth, Februari 2011, hal. 5.

47
Universitas Sumatera Utara
perkebunan negara/BUMN seluas 296.093 Ha (dua ratus sembilan puluh enam ribu

sembilan puluh tiga hektar). 62

Jenis pekerjaan di perkebunan yang bersifat padat karya juga sangat

membantu penyerapan tenaga kerja di Sumatera Utara dengan struktur tenaga kerja

yang masih didominasi oleh pendidikan rendah. Sampai dengan saat ini, fokus

pemerintahtertuju kepada bagaimana meningkatkan kredibilitas produk sawit hingga

mampu melaksanakan pengelolaan dengan sistem keberlanjutan (sustainability).

Seiring dengan fokus itu, beberapa tahun lalu, diperkenalkan prinsip dan kriteria

RSPO. Puluhan perusahaan perkebunan di Indonesia memperoleh sertifikasi itu,

walaupun sifat pemenuhan RSPO adalah sukarela (voluntary). 63

RSPO adalah standar yang dibuat berdasarkan kesepakatan / roundtable para

pemangku kepentingan seperti konsumen, produsen, dan LSM lingkungan bertaraf

Internasional. RSPO yang bersekretariat di Kuala Lumpur ini menjadi wadah

komunikasi para pihak yang berkepentingan untuk menyamakan persepsi tentang

konsep keberlanjutan (sustainability) dari industri kelapa sawit. 64

A. Sejarah Singkat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)

Dalam launching ISPO di Medan satu tahun yang lalu, pemerintah

menekankan bahwa Sertifikasi ISPO bukanlah untuk mengganti/menyaingi

Sertifikasi RSPO. Prinsip dan kriteria ISPO muncul sebagai inisiatif dari pemerintah

62
Iyung Pahan, Op.cit., hal. 42.
63
Kantor Berita Antara, “Bayu Krisnamurthi : RSPO Bukan Satu-satunya Sistem Sawit
Berkelanjutan”, diterbitkan Kamis, 20 Juli 2012.
64
Bambang Sudrajat, “Menimbang Relevansi Sertifikasi RSPO”, Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Vol. 31, No. 6, 2009, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara


atas kesadaran/deklarasi bahwa pengelolaan sumber daya alam termasuk perkebunan

sawit harus dilakukan secara berkelanjutan (sustainable). Dalam hal terbitnya

pedoman ISPO ini, Menteri Pertanian menyatakan hal ini sebagai amanat konstitusi

dalam Pasal 33 ayat (3), UUD 1945, menyatakan bahwa : “Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. 65

Selanjutnya, ISPO juga diterbitkan sebagai upaya tindak lanjut dari latar

belakang pembentukan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa : “Pembangunan ekonomi

nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan”.

Lebih spesifik lagi, ISPO ini juga turut menjadi implementasi amanatdari

Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Perkebunan, yang menyatakan bahwa :

“Pembangunan perkebunan harus mampu meningkatkan pemanfaatan potensi

sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat secara

berkeadilan dan berkelanjutan, sehingga peran penting perkebunan akan semakin

meningkat”.

Secara garis besar, pedoman ISPO didasarkan 4 (empat) hal, yaitu :

1. Kepatuhan hukum;

65
Harian Medan Bisnis, “Henry Marpaung : Pengelolaan Kelapa Sawit Berpedoman ISPO”,
diterbitkan Selasa, 17 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara


2. Kelayakan usaha;

3. Pengelolaan lingkungan; dan

4. Hubungan sosial.

Hubungan sosial di atas, pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Sistem perizinan dan manajemen perkebunan;

2. Penerapan pedoman teknis budi daya dan pengelolahan kelapa sawit;

3. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan;

4. Tanggung-jawab terhadap pekerja;

5. Tanggung-jawab sosial dan komunitas;

6. Pemberdayaan ekonomi masyarakat; dan

7. Peningkatan usaha secara berkelanjutan.

Ketujuh prinsip itu dirinci ke dalam 27 (dua puluh tujuh) kriteria dan 117

(seratus tujuh belas) indikator yang lengkapnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri

Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Kewajiban Sertifikasi ISPO

Bagi Perusahaan Perkebunan.

Pada banyak perkebunan negara dan swasta besar, pemenuhan terhadap

prinsip tersebut sudah relatif memadai kecuali dalam beberapa kriteria, yaitu :

1. Mekanisme penanganan sengketa lahan dan kompensasi;

2. Mekanisme pemberian informasi;

3. Pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity);

4. Identifikasi kawasan yang mempunyai Nilai Konservasi Tinggi (NKT);

5. Mitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK); dan

Universitas Sumatera Utara


6. Realisasi tanggung jawab sosial perusahaan.

Sedangkan untuk prinsip-prinsip lainnya hanya memerlukan perbaikan secara

dokumentasi agar pemenuhan buktinya dapat ditunjukkan dan berlangsung

konsisten.

Seperti juga sistem-sistem sertifikasi lainnya seperti ISO 90001, 140001, dan

SMK3, tahapan yang harus dilakukan sebelum mengajukan sertifikasi yaitu perlu

dilakukannya pembenahan di lingkungan internal perusahaan. Langkah-langkah

yang dapat dilaksanakan adalah :

1. Melakukan pelatihan pemahaman prinsip dan kriteria ISPO kepada beberapa

staf yang dipersiapkan sebagai Tim Internal;

2. Para personal yang terlatih melakukan analisa kesenjangan (gap analysis)

untuk menguji tingkat pemenuhan perusahaan terhadap ISPO pada tahap

awal;

3. Perusahaan melakukan perbaikan berdasarkan prioritas yang ditetapkan; dan

4. Setelah perbaikan dianggap sudah memenuhi, perusahaan mengajukan

sertifikasi kepada badan sertifikasi sesuai pilihannya.

Ruang lingkup yang akan disertifikasi adalah mencakup kebun dan industri

Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sendiri. Dalam hal perusahaan menerima TBS selain

kebun sendiri, maka secara berkesinambungan Perusahaan berkewajiban untuk

mensosialisasikan ISPO kepada para pemasok TBS tersebut. Masa sertifikat ISPO

berlaku selama 5 (lima) tahun sebelum dilakukan penilaian ulang (re-assesment) dan

Universitas Sumatera Utara


sekali dalam setahun dilakukan audit pengawasan (survailance). Akhirnya, yang

menjadi kunci utama suksesnya implementasi ISPO ini adalah adanya komitmen dari

pemilik/top manajemen perkebunan sampai dengan tingkatan terbawah dari suatu

Perusahaan. Strategi tersebut di atas hanya bisa berjalan efektif jika pemilik/top

manajemen mempunyai komitmen penuh untuk memenuhi ISPO. Atas hal ini, ke

depannyaIndonesia dapat dengan bangga mengatakan kepada dunia bahwa semua

minyak sawit Indonesia adalah minyak sawit lestari, perkebunan minyak sawit yang

dikelola dengan mematuhi hukum, melaksanakan praktek perkebunan terbaik serta

memperhatikan lingkungan dan sosial. 66

B. Tujuan dan Sasaran Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)

1. Tujuan ISPO

Adapun Tujuan ISPO, antara lain :

1. Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari

pembangunan ekonomi Indonesia, memantapkan sikap dari bangsa Indonesia

untuk memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan sesuai tuntutan

masyarakat global; dan

2. Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan

fungsi lingkungan hidup.

ISPO bersifat wajib serta setiap pelanggaran terhadap ketentuan ini akan

ditindak. ISPO bertujuan untuk melindungi dan melestarikan kelapa sawit di pasar

66
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


global. Dalam penerapannya, ISPO berupa sertifikasi perkebunan milik perusahaan

besar baik swasta, BUMN maupun sertifikasi perkebunan rakyat.

2. Sasaran ISPO

Sasaran yang ingin ditempuh oleh Kementerian Pertanian adalah demi

tercapainya pengembangan kelapa sawit berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan. 67Di balik kewajiban penerapan sertifikasi ini terdapat tujuan mulia dari

pemerintah, menurut Wirawan Leksono, Kepala Divisi Pemasaran PT. Sucofindo

(Persero)yang menyatakan bahwa : “ISPO lahir dari keinginan dan komitmen

Indonesia untuk memiliki sistem sendiri tentang prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan dan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup bagi

perkebunan sawit”. 68Pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan, menurut

Brundtland Report PBB, 1987, mengatakan bahwa : “Berarti proses pengembangan

yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan

kebutuhan generasi masa depan”. 69 Hal ini berarti, pengembangan kelapa sawit

berkelanjutan mengacu kepada usaha dan manajemen Perusahaan yang wajib

dilakukan secara berkelanjutan dan terus menerus dalam jangka panjang, tanpa harus

merusak mengorbankan sumber daya yang sepatutnya dinikmati oleh generasi-

67
Bagian Menimbang huruf b. Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
68
Tabloid Agribisnis Dwimingguan Agrina, “Lima Penjaga Keberhasilan ISPO”, diterbitkan
Senin, 01 Oktober 2012.
69
United Nations, “Report of The World Commission on Environment and Development :
Our Common Future”, UN Documents, 1987, hal. 15.

Universitas Sumatera Utara


generasi mendatang, dengan cara menggunakan sumber daya alam secara bijak

dengan memperhatikan aspek-aspek hukum, sosial, manajemen dan lingkugan.

Pedoman ISPO sebagai dasar dalam mendorong usaha perkebunan kelapa

sawit adalah dengan mewajibkan Perusahaan untuk memenuhi kewajibannya sesuai

peraturan perundang-undangan, melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan

kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar. 70

Apabila dikaji lebih lanjut, ISPO dibuat hanyalah untuk menghalau

kampanye negatif tentang kelapa sawit di Indonesia. Kampanye tersebut mengatakan

bahwa kelapa sawit di Indonesia diproduksi dengan tidak lestari dan merusak

lingkungan. Oleh karena itu, Menteri Pertanian beserta jajarannya membuat

Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman

Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil

– ISPO). 71Pertanyaan selanjutnya adalah mengapaISPO justru dikeluarkan setelah

RSPO dikeluarkan. Hal ini tereksplisitkan bahwa ISPO adalah pengaturan ikutan dari

RSPO.

C. Pengaturan Kewajiban Sertifikasi ISPO Bagi Perusahaan Perkebunan

Pengaturan kewajiban sertifikasi ISPO bagi perusahaan perkebunan adalah

berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang

Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian

70
Pasal 2, Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
71
Sementara itu, menurut Suswono sebagai Menteri Pertanian RI, menyatakan bahwa :
“ISPO dibuat bukan karena tekanan negara lain, bukan karena ada RSPO, bukan karena adanya
kampanye negatif kelapa sawit, ISPO dibuat karena seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 yang
sudah diamandemen, yaitu Pasal 33. ISPO bersifat wajib dan setiap pelanggaran akan ditindak. ISPO
bertujuan untuk melindungi dan melestarikan kelapa sawit di pasar global”. Sumber : Majalah
Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Pertanian RI, Op.cit., hal. 9.

Universitas Sumatera Utara


Sustainable Palm Oil – ISPO). Ketentuan ini mewajibkan perusahaan perkebunan

untuk memiliki sertifikasi ISPO sebagaimana diatur dalam Pasal 3, menyebutkan

bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling lambat sampai

dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha sesuai dengan

ketentuan Peraturan ini”. Selanjutnya bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang

tidak melaksanakannya dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 4, menyatakan

bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Kelas I, Kelas II, atau Kelas III

sampai dengan batas waktu 31 Desember 2014 belum mengajukan permohonan

untuk mendapatkan sertifikasi ISPO, dikenakan sanksi penurunan kelas kebun

menjadi Kelas IV”.

Maksud dari penurunan kelas kebun tersebut di atas adalah dalam hal

penilaiannya, yaitu sebagai berikut 72 :

1. Kebun Kelas I (baik sekali);

2. Kebun Kelas II (baik);

3. Kebun Kelas III (sedang);

4. Kebun Kelas IV (kurang);

5. Kebun Kelas V (kurang sekali).

Konsekuensi dari penurunan kelas kebun adalah sulitnya perusahaan

perkebunan kelapa sawit untuk mengekspor CPO-nya ke pasar dunia. Untuk melihat

kebun tersebut berada pada kebun Kelas I, II, III, IV, atau V adalah dengan melihat

72
Sistem Sertifikasi, Penilaian Usaha Perkebunan Sebagai Prasyarat, Lampiran I, Peraturan
Menteri No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


kepatuhan terhadap aspek legalitas,manajemen kebun, pengolahan hasil, sosial,

ekonomi wilayah, lingkungan,serta pelaporannya. Contohnya mengenai legalitas,

hal-hal yang diperhatikan oleh penilai kebun adalah mengenai perizinan Hak Guna

Usaha terhadap suatu perkebunan tersebut. Apakah izin HGU-nya telah berakhir,

kapan berakhirnya, dan apakah sudah diajukan kembali untuk perpanjangannya.

Seluruh pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab oleh perusahaan perkebunan kelapa

sawit setelah penilai kebun mendatangi perusahaan tersebut.

1. Sistem Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)

a. Penilaian Usaha Perkebunan Sebagai Prasyarat

Setiap perusahaan yang melakukan usaha perkebunan di Indonesia wajib

memiliki izin usaha operasional baik berupa IUP, IUP-B, dan/atau IUP-P, ITUP,

danSPUP. Bagi perusahaan yang telah mempunyai izin, baik pada

tahappembangunan maupun tahap operasional, secara rutin akan dilakukanpenilaian

dan pembinaan usaha perkebunan. Penilaian ini dimaksudkanuntuk menjaga

kesinambungan dan kelangsungan usaha perkebunan sertamemantau sejauh mana

penerima izin telah melakukan dan mematuhikewajibannya. Bagi pelaku usaha

perkebunan tahap pembangunan,penilaian dilakukan Provinsi/Kabupaten 1 (satu)

tahun sekali sedangkanusaha perkebunan tahap operasional, penilaian dilakukan

setiap 3 (tiga)tahun sekali sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.

07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian UsahaPerkebunan. 73

73
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Penilaian usaha perkebunan dilakukan oleh petugas penilai yang

merupakanPegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas yang membidangi Perkebunan yang

telahdilatih dan mendapat sertifikat sebagai Penilai Usaha Perkebunan olehLembaga

Pelatihan Perkebunan (LPP) Yogyakarta. Petugas penilaibertanggung jawab secara

teknis dan juridis terhadap hasil penilaiannya.Aspek yang dinilai dalam penilaian

usaha perkebunan meliputi legalitas,manajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial,

ekonomi wilayah, lingkungan,serta pelaporan. Hasil penilaian tersebut berupa

penentuan kelas kebun bagikebun operasional, yaitu kebun Kelas I (baik sekali),

Kelas II (baik), Kelas III(sedang), Kelas IV (kurang) dan Kelas V (kurang sekali). 74

Untuk kebun Kelas I, Kelas II, dan Kelas III mengajukan permohonan

untukdilakukan audit agar dapat diterbitkan sertifikat Indonesian Sustainable

PalmOil (ISPO). Sedangkan bagi kebun yang tergolong Kelas IV

diberikanperingatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 4 (empat) bulan

dankebun Kelas V diberikan peringatan sebanyak 1 (satu) kali dengan selangwaktu 6

(enam) bulan. Apabila dalam jangka waktu peringatan tersebutperusahaan

perkebunan yang bersangkutan belum dapat melaksanakansaran tindak lanjut, maka

izin usaha perkebunannya dicabut. 75

Pertanyaan muncul ketika sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah

memiliki RSPO, apakah implementasi ISPO wajib dilakukan juga atau tidak. Setelah

dilakukan wawancara dengan Bagian Hukum PT. Rea Kaltim Plantaion mengatakan

bahwa : “Setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah memperoleh RSPO

74
Ibid.
75
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


juga wajib mengimplementasikan ISPO”. 76 Pernyataan tersebut didapat dari penilai

kebun kelapa sawit yang mendatangi PT. Rea Kaltim Plantation. Hal ini

mengakibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit harus mengeluarkan anggaran

yang sama bahkan lebih besar untuk merealisasikan ISPO tersebut. Apabila tidak

dilakukan maka akan dilakukan penurunan kelas kebun. Penurunan kelas kebun

sampai kepada kebun Kelas IV dapat berakibat pencabutan Izin Usaha Perkebunan

kelapa sawit. Jelas hal ini merupakan ketidakadilan bagi perusahaan kelapa sawit

yang sudah memiliki sertifikasi RSPO.

b. Persyaratan Sertifikasi

Persyaratan untuk mendapatkan sertifikat ISPO meliputi kepatuhanterhadap

aspek/segi hukum, ekonomi, lingkungan, dan sosial, sebagaimana diaturdalam

peraturan perundangan yang berlaku, yang disertai dengan sanksi bagi mereka

yangmelanggar. Ketentuan ini merupakan serangkaian persyaratan yang terdiridari

prinsip dan kriteria, dan panduan yang dipersyaratkan untuk pengelolaanperkebunan

kelapa sawit berkelanjutan dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), sertamemiliki ukuran

yang pasti dan tidak mentoleransi kesalahan. 77

Prinsip dan Kriteria ISPO Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan adalah 78 :

1. Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan

76
Wawancara dengan Bagian Hukum PT. Rea Kaltim Plantation pada 05 November 2012.
77
Sistem Sertifikasi, Penilaian Usaha Perkebunan Sebagai Prasyarat, Lampiran I, Peraturan
Menteri No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
78
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Dalam hal ini, pengelola perkebunan harus memiliki sertifikat tanah, IUP

atau IUP-B dan wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah

seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan. Selain itu, pengelola

perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan lahan perkebunan telah sesuai

dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Provinsi (RUTWP) atau Rencana

Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RUTWK) sesuai dengan perundangan

yang berlaku atau kebijakan lain yang sesuai dengan ketetapan yang ditentukan oleh

pemerintah. 79

Apabila di dalam areal perkebunannya terdapat Izin Usaha Pertambangan

harus diselesaikan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Artinya,

setiap pengelola perkebunan harus memastikan bahwa lahan perkebunan yang

digunakan bebas dari status sengketa dengan masyarakat/petani di sekitarnya.

Apabila terdapat sengketa maka harus diselesaikan secara musyawarah untuk

mendapatkan kesepakatan sesuai dengan peraturan perundangan dan/atau ketentuan

adat yang berlaku. Dam apabila tidak terjadi kesepakatan, maka penyelesaian

sengketa lahan harus menempuh jalur hukum. Perkebunan Kelapa Sawit yang

dikelola tersebut harus mempunyai bentuk badan hukum yang jelas sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Perkebunan juga harus memiliki perencanaan

jangka panjang untuk memproduksi minyak sawit lestari serta realisasi yang nyata

perihal pembangunan kebun dan pabrik. Segala informasi harus diberikan kepada

79
Kriteria 1.1 sampai dengan 1.3 Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


instansi terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan pemangku kepentingan

lainnya terkecuali menyangkut hal yang patut dirahasiakan yang tidak perlu

diberitahukan. 80

2. Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit

Penerapan teknis budidaya termasuk di dalamnya adalah pembukaan lahan

yang memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Konservasi terhadap sumber

dan kualitas air. Pengelola perkebunan dalam menghasilkan benih unggul bermutu

harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan baku teknis

perbenihan.Pengelola perkebunan harus melakukan penanaman sesuai baku

teknis.Penanaman kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan dengan

memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan

fungsi. Pengelola perkebunan juga harus memelihara tanamannya, mengendalikan

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menerapkan sistem Pengendalian

Hama Terpadu sesuai Pedoman Teknis. Apabila akan memanen kelapa sawit maka

pengelola perkebunan harus melakukan panen tepat waktu dan dengan tata cara yang

benar. 81

Dalam menerapkan pedoman teknis pengolahan hasil perkebunan, pengelola

perkebunan harus memastikan bahwa TBS yang dipanen harus segera diangkut ke

tempat pengolahan untuk menghindari penurunan kualitas TBS. Penerimaan TBS di

80
Kriteria 1.4 sampai dengan 1.9 Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
81
Kriteria 2.1 sampai dengan 2.1.8 Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


Pabrik pengelola pabrik juga wajib memastikan bahwa TBS yang diterima sesuai

dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, pengolahan pabrik harus

merencanakan dan melaksanakan pengolahan TBS melalui penerapan praktek

pengelolaan/pengolahan terbaik (GHP/GMP). Mengenai limbahnya, pengelola

pabrik harus memastikan bahwa limbah pabrik kelapa sawit dikelola sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Begitu juga dengan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

(B3) yang merupakan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun

yang karena sifat dan konsentrasinya dan atau jumlahnya dapat mencemarkan dan

atau merusak lingkungan hidup, oleh karena itu harus dilakukan upaya optimal agar

kualitas lingkungan kembali.Gangguan sumber yang tidak bergerak berupa baku

tingkat kebisingan, baku tingkat getaran, baku tingkat kebauan dan baku tingkat

gangguan lainnya ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan

terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian

bangunan.Pengelola perkebunan/pabrik harus memanfaatkan limbah untuk

meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan. 82

3. Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan

Dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan, pabrik kelapa

sawit berkewajiban melaksanakan kewajiban pengelolaan dan pemantauan

lingkungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kewajiban tersebut terkait analisa

dampak lingkungan AMDAL, UKL, dan UPL. Pengelola perkebunan harus

82
Kriteria 2.2 sampai dengan 2.2.7 Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


melaksanakan kewajibannya terkait AMDAL, UKL, dan UPL sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.Pengelola perkebunan juga harus melakukan

pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Selain itu, pengelola perkebunan harus

menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati pada areal yang dikelola sesuai

dengan ijin usaha perkebunannya. Selanjutnya, pengelola perkebunan harus

melakukan identifikasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi yang

merupakan kawasan yang mempunyai fungsi utama melindungi kelestarian

lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai

sejarah serta budaya bangsa dengan tidak membuka untuk usaha. Identifikasi juga

dilakukan terhadap sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Barulah konservasi lahan

dan menghindarkan erosi wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 83

4. Tanggung Jawab Terhadap Pekerja

Tanggung jawab terhadap pekerja dilakukan dengan menerapkan Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang dilakukan oleh

pengelola perkebunan. Lalu, kesejahteraan pekerja/buruh harus diperhatikan juga

dengan melakukan peningkatan kemampuan ekonomi para pekerja/buruh. Pengelola

perkebunan tidak boleh mempekerjakan anak di bawah umur dan melakukan

diskriminasi di antara pekerja/buruh. Untuk menghindari mempekerjakan anak di

bawah umur, pengelola perkebunan harus membentuk Serikat Pekerja. Pembentukan

serikat pekerja ini harus difasilitasi dalam rangka memperjuangkan hak-hak

83
Kriteria 3.1 sampai dengan 3.7 Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


karyawan/buruh. Setelah serikat pekerja terbentuk, pengelola perkebunan harus

mendorong dan memfasilitasi serikat pekerja untuk membuat koperasi pekerja. 84

5. Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas

Tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan harus dilakukan oleh

pengelola perkebunan dengan memiliki komitmen sosial kemasyarakatan dan

pengembangan potensi kearifan lokal. Hal ini dilakukan juga demi mewujudkan

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan seperti yang termaktub di dalam Pasal 74

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk melakukan

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan tersebut, masyarakat adat/penduduk asli

harus diberdayakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat. 85

6. Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat

Pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat dapat juga dilakukan dengan

memprioritaskan peluang pembeli/pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat di

sekitar kebun. Hal ini juga dilakukan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat

setempat. Contohnya seperti pengadaan kebutuhan kantor dapat dibeli pada

perusahaan-perusahaan setempat. 86

84
Kriteria 4.1 sampai dengan 4.5 Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
85
Kriteria 5.1 sampai dengan 5.2 Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
86
Kriteria 6.1 Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil – ISPO), Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


7. Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan

Usaha memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat itu juga harus

dilaksanakan dengan sistem keberlanjutan, oleh karena itu pengelola perkebunan

atau pabrik harus terus-menerus meningkatkan kinerja (sosial, ekonomi, dan

lingkungan) dengan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana aksi yang

mendukung peningkatan produksi. 87

Dari keseluruhan Prinsip ISPO di atas, hal yang paling sulit dilakukan adalah

prinsip pertama yaitu sistem perizinan dan manajemen. Hal ini dikarenakan adanya

ketidakpastian hukum yang masih saja membelenggu instansi terkait dengan

perizinan perkebunan. Jika ditinjau prinsip dan kriteria ISPO tersebut, maka ada 2

(dua) aksi yang dapat dilakukan oleh pengelola perkebunan/pabrik yaitu aksi internal

dan aksi eksternal. Aksi internal termasuk di dalamnya prinsip sistem perizinan dan

manajemen, penerapan pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit,

pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan tanggung jawab terhadap pekerja.

Sedangkan aksi eksternal yang dilakukan pengelola perkebunan maupun pabrik

adalah tanggung jawab sosial dan komunitas, pemberdayaan kegiatan ekonomi

masyarakat, serta peningkatan usaha secara berkelanjutan.

c. Pelaku Usaha yang Dinilai

Unit yang disertifikasi adalah kebun pemasok dan pabrik kelapa sawit

(PKS),terutama kebun miliknya sendiri, bila PKS mendapat pasokan dari

87
Kriteria 7.1 Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil – ISPO), Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


plasmayang berasal dari satu manajemen yang sama, TBS yang dihasilkan harus

memenuhikriteria ISPO dengan pengawasan sepenuhnya dari kebun inti, berdasarkan

lamanya waktu yang ditoleransi oleh Komisi ISPO. Bila PKS mendapatpasokan TBS

dari kebun swadaya, maka kebun inti harus memiliki kontrakkerjasama dengan

petani swadaya atau dengan pedagang pengumpul,yang mana kebun inti harus

membina petani dan pedagang pengumpul secara terusmenerus agar kebun swadaya

dapat memenuhi persyaratan. Kebun secara berkesinambungan juga harusdapat

menyampaikan rencana pencapaiannya agar petani dapat memasok TBSsesuai

Prinsip dan Kriteria ISPO (ISPO untuk petani swadaya akan disusunlebih lanjut). 88

Untuk mendapatkan sertifikat ISPO, kebun inti, plasma dan swadaya

harusterbebas dari masalah yang berkaitan dengan kepemilikan tanah/kebun seperti :

IUP, IUP-B, IUPP,Hak Guna Usaha (HGU), dan memenuhi seluruh

ketentuan/persyaratanISPO. 89 Oleh karena itu, kepastian hukum merupakan hal yang

paling diperlukan dalam proses sertifikasi ini. Hal ini dikarenakan setiap pemasok

dan kebun inti saling berkesinambungan. Artinya, apabila perizinan kebun pemasok

tidak tersedia, maka kebun inti secara hukum tidak boleh mengambil dan

menggunakan TBS-nya. Kepastian hukum tersebut adalah berupa IUP, IUP-B, IUPP,

dan Hak Guna Usaha (HGU) kebun tersebut.

88
Sistem Sertifikasi, Penilaian Usaha Perkebunan Sebagai Prasyarat, Lampiran I, Peraturan
Menteri No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
89
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


d. Persyaratan Lembaga Sertifikasi

Semua lembaga sertifikasi (Pihak ketiga yang netral) yang akan

melakukansertifikasi melalui cara audit pihak ketiga, harus mendapatkan

pengakuandari Komisi ISPO dengan persyaratan 90 :

(a) “Telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk


ruanglingkup Sistem Manajemen Mutu International Standard
Organization(ISO 9001) dan Sistem Manajemen Lingkungan (ISO
14001);
(b) Bagi lembaga sertifikasi luar negeri harus mendapatkan akreditasi
daribadan akreditasi yang telah melakukan kerjasama berupa
MutualRecognition Arrangement (MRA) dengan KAN;
(c) Bagi lembaga sertifikasi luar negeri, apabila badan akreditasi di
negaraasalnya belum menjalin kerjasama dengan KAN, maka
lembagasertifikasi luar negeri dimaksud harus memenuhi
persyaratansebagaimana yang berlaku untuk lembaga sertifikasi dalam
negeri;
(d) Lembaga sertifikasi pemohon harus dapat menunjukan
laporansurvailance terakhir dan membuktikan bahwa sertifikat akreditasi
yangdiperoleh dari KAN atau badan akreditasi lainnya masih berlaku;
(e) Lembaga Sertifikasi pemohon telah menerapkan sistem sertifikasi
yangmengacu ISO 17021-2006 dan/atau ISO Guide 65;
(f) Lembaga sertifikasi dan tim penilai (assessment team) harus
menjagaindepedensinya dari perusahaan atau anak perusahaan yang
dinilaiminimal selama lima tahun untuk menjaga konflik interes;
(g) Lembaga sertifikasi asing harus memenuhi peraturan perundangan
yangberlaku”.

Komisi ISPO menghimbau badan akreditasi (KAN dan badan akreditasi

lainyang mempunyai MRA dengan KAN) untuk melaporkan pengaduan

daripemangku kepentingan ISPO, yang berkaitan dengan kompetensi, prosesatau

hasil penilaian audit akreditasi. Sesuai dengan ISO/IEC 17011, badanakreditasi harus

dapat menyelesaikan setiap pengaduan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari,

90
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


apabila hal ini gagal dipenuhi, maka badan akreditasiharus segera melapor kepada

Sekretariat Komisi ISPO. 91

Dalam penerapannya untuk melengkapi secara teknis dan

menjaminkredibilitas yang diperlukan secara spesifik seperti Sistem Sertifikasi

RantaiPasok, maka penerapan haruslah diikuti dengan pemenuhan Prinsip dan

Kriteria ISPO. Prinsip danKriteria ISPO, ISO Guide 65 dan ISO Guide 66

merupakan persyaratanuntuk pengakuan (approval) Komisi ISPO.Untuk dapat

melakukan penilaian terhadap lembaga sertifikasi, maka lembaga sertifikasi tersebut

wajibmenyampaikan laporan kegiatan tahunan kepada Komisi ISPO

untukdievaluasi. 92

Artinya, lembaga yang melakukan sertifikasi ISPO juga harus mengikuti

kewajiban sertifikasi olehBadan Standardisasi Nasional (BSN), sehingga tercapailah

standardisasi yang baik bagi perkebunan kelapa sawit maupun pabrik kelapa sawit.

Adapun lembaga sertifikasi ISPO yang sudah melakukan standardisasi, yaitu :

1) “PT. Agung Mutu Lestari;


2) PT. Sucofindo (Persero);
3) PT. TUV NORD Indonesia;
4) PT. TUV Rheinland Indonesia;
5) PT. SAI Global Indonesia”. 93

e. Persyaratan Auditor Lembaga Sertifikasi

Dalam melaksanakan audit, Tim Auditor harus memiliki kompetensi

khusus,lead auditor dan timnya minimal mempunyai kualifikasi sesuai dengan

91
Ibid.
92
Ibid.
93
Harian Tempo, “Lima Lembaga Sertifikasi ISPO Diakui”, diterbitkan Selasa, 15 Mei 2012,
hal. B4.

Universitas Sumatera Utara


ISO19011:2002 Guidelines for Quality and/or Environment Management

SystemAuditing dengan penyesuaian khusus untuk sertifikasi ISPO. 94

Pada penilaian atau assesment ISPO diperlukan tim yang

mempunyaipengetahuan mengenai kebun kelapa sawit, minyak sawit, dan

peraturanperundangan terkait serta dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia

danmemahami bahasa lokal. 95

(a) Persyaratan Lead auditor sebagai berikut 96:

1. “Minimum berijazah Diploma III di bidang pertanian, lingkungan


danilmu sosial;
2. Minimum mempunyai pengalaman yang profesional di bidang
audit,misalnya pengelolaan minyak sawit, pertanian, ekologi dan
bidangilmu sosial;
3. Lulus dari pelatihan penerapan praktis dari ketentuan ISPO dan
carasertifikasi yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan yang
telahdiakui/ditunjuk Komisi ISPO;
4. Lulus dari pelatihan Lead Auditor ISO 9000/19011;
5. Semua anggota tim lainnya harus memiliki kemampuan
pengetahuanilmiah dan pengalaman yang cukup;
6. Memiliki keterampilan teknis dan kualifikasi yang berkaitan
denganproses sertifikasi, seperti dibuktikan dengan pengalaman
yangrelevan dalam skema sertifikasi lainnya;
7. Lulus dari pelatihan aplikasi praktis dari ISPO sertifikasi rantai
pasokdan teknik audit dasar yang diperlukan;
8. Memiliki keahlian komunikasi secara verbal maupun tertulis
denganklien;
9. Melakukan audit sekurang-kurangnya 15 hari dalam skema
sertifikasiyang serupa (termasuk penelusuran) sebanyak minimal 2
kali auditpada organisasi yang berbeda;
10. Khusus untuk sertifikasi rantai pasok, auditor harus
memilikipengalaman kerja lapangan dalam rantai pasokan makanan
atausetara berkaitan dengan yang diperlukan untuk proses sertifikasi”.

94
Sistem Sertifikasi, Penilaian Usaha Perkebunan Sebagai Prasyarat, Lampiran I, Peraturan
Menteri No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
95
Ibid.
96
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


(b) Tim auditor harus memiliki kemampuan menilai hal berikut ini 97:

1. “Pengetahuan khusus tentang kelapa sawit;


2. Good Agricultural Practices (GAP) and Good Manufacture
Practices(GMP);
3. Pengendalian Hama Terpadu (PHT);
4. Occupational Health & Safety Advisory Services (OHSAS),
Healthand Safety Insurance/Jaminan Kesehatan dan Keamanan;
5. Labour Welfare dan SA 8000;
6. Food Safety/Keamanan Pangan;
7. Masalah yang terkait sosial ekonomi;
8. ISO 14001 dan Standar Lingkungan lainnya”.

(c) Auditor lembaga sertifikasi harus mematuhi hal-hal sebagai berikut 98:

1. “Auditor dari lembaga sertifikasi tidak diizinkan untuk


melaksanakankegiatan apapun yang dapat mempengaruhi
kemandiriannya ataukerahasiaan perusahaan yang akan disertifikasi.
Tidak diizinkanbekerja sebagai auditor (sebagai karyawan atau
penasehat) untukkliennya selama 3 tahun terakhir;
2. Setiap orang atau institusi yang ditunjuk oleh lembaga sertifikasi
ataulembaga sertifikasi itu sendiri harus menghindari segala hal
yangdapat berpotensi mempengaruhi proses penilaian sertifikasi dan
ataumungkin dapat menjadi konflik kepentingan pada saat awal
sertifikasiISPO;
3. Setiap orang atau badan yang ditunjuk oleh badan yang
disertifikasiatau lembaga sertifikasi itu sendiri diwajibkan untuk
melaporkansegera setiap keadaan atau tekanan yang dapat
mempengaruhikebebasan atau kerahasiaannya kepada pimpinan
lembagasertifikasi;
4. Pimpinan lembaga sertifikasi harus menyampaikan laporan tersebutdi
atas dan memasukan dalam laporan proses sertifikasi serta
dalamcatatan klien;
5. Setiap orang atau institusi yang ditunjuk oleh lembaga sertifikasi
ataulembaga sertifikasi itu sendiri hanya akan terlibat dalam
pelayanandalam klien, jika lembaga sertifikasi tersebut dapat
menunjukkanbahwa mereka tidak terlibat dalam sertifikasi klien yang
samaterhadap SRP ISPO. Sebelum terlibat dengan klien, maka
segalakeraguan harus didiskusikan dengan Komisi ISPO”.

97
Ibid.
98
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Tim Auditor juga wajib memiliki sertifikasi terhadap dirinya. Hal ini sesuai

dengan ISO19011:2002 Guidelines for Quality and/or Environment Management

SystemAuditing dengan penyesuaian khusus untuk sertifikasi ISPO. Tujuannya

adalah agar audit terhadap perkebunan maupun pabrik kelapa sawit yang dilakukan,

dapat dilakukan dengan objektif. Hal ini akan mengakibatkan implementasi yang

dilakukan untuk sertifikasi ISPO berjalan dengan baik dan tanpa hambatan.

Objektifitas pada pelaksanaan sertifikasi berarti bahwa Tim Auditor yang melakukan

penilaian melakukan penilaian dengan jujur dan sesuai dengan kenyataan di

lapangan.

f. Badan Akreditasi

Badan akreditasi harus memenuhi syarat ISO 17011:2004

ConformityAssessment General; requirements for accreditation bodies

accreditionconformity audit bodies. Badan akreditasi harus bergabung

denganInternational Accreditation Forum (IAF), Multilateral

RecognitionArrangement (MLA) atau anggota dari International Social

andEnvironmental Accreditation and Labeling Alliance (ISEAL). Badan akreditasi

diharapkan untuk memberitahu Komisi ISPO jikaterdapat keluhan tentang lembaga

sertifikasi yaitu mengenai kompetensidalam proses akreditasi dan dalam kemampuan

pelaksanaan audit. Sesuai dengan ISO/IEC 17011 badan akreditasi harus

menanganikeluhan dalam waktu maksimal 60 hari. Jika badan akreditasi

Universitas Sumatera Utara


gagalmenyelesaikan keluhan ini dalam waktu yang telah ditentukan, makabadan

tersebut harus melaporkan kepada Sekretariat Komisi ISPO. 99

Badan akreditasi yang melakukan akreditasi juga harus distandardkan dengan

ISO 17011:2004, artinya adalah bahwa pengimplementasian ISPO ini dari hulu ke

hilir harus memiliki standardisasi nasional.

g. Penerbitan Sertifikasi ISPO

Proses penilaian untuk mendapatkan sertifikat ISPO sesuai ketentuansebagai

berikut 100:

1. “ISPO berlaku mandatory, temuan non compliance tidak dapat diterima


sampai dapat dibuktikan bahwa perbaikan telah dilaksanakan oleh pihak
perusahaan perkebunan dalam batas waktu tertentu.
2. Holding company yang memiliki beberapa perusahaan perkebunan dapat
menerbitkan sertifikat atas nama holding (grup), melalui proses sertifikasi
pabrik dan perkebunan atau pabrik dan grup perkebunan yangmenerapkan
sistem yang sama dan diawasi sepenuhnya oleh manajerholding;
3. Survailance dilakukan 1 (satu) tahun sekali selama masa berlakunyasertifikat,
survailance pertama dilakukan terhitung 1 (satu) tahun sejakdilaksanakan
audit terakhir;
4. Sertifikat berlaku 5 (lima) tahun, pelaksanaan penilaian
ulang/reasessmentberikutnya dilakukan sebelum waktu 5 (lima) tahun
ituberakhir”.

Sertifikasi diberikan apabila seluruh prinsip dan kriteria ISPO telah

dilaksanakan oleh perkebunan maupun pabrik kelapa sawit yang melakukan

sertifikasi ISPO. Sertifikat ini diberikan dengan terlebih dahulu dilakukannya

pemenuhan terhadap prinsip dan kriteria seperti termaktub di dalam Peraturan

99
Ibid.
100
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2012 tentang Pedoman Perkebunan

Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

h. Proses Pengakuan

Proses pengakuan sertifikat ISPO ditempuh sebagai berikut 101 :

1. “Laporan penilaian (audit) lembaga sertifikasi (sesuai format yang telah


ditentukan) disampaikan kepada Tim Penilai melalui Sekretariat
KomisiISPO;
2. Dalam melakukan penilaian laporan audit Tim Penilai ISPO dapat
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber antara lain beberapa
pemangku kepentingan yang terkait seperti masyarakat adat, asosiasi, pejabat
pemerintah setempat, LSM setempat, dan lain-lain;
3. Hasil penilaian Tim Penilai ISPO yang telah disetujui oleh Ketua Komisi
ISPO diumumkan melalui website dan hasil tersebut adalah final”.

Proses pengakuan sertifikat ISPO ini diumumkan melalui Website Resmi

ISPO dan bersifat final. Bersifat final berarti, sertifikat tersebut mengikat terhadap

perkebunan dan pabrik kelapa sawit yang disertifikasi. Hasil penelitian ditentukan

oleh Tim Penilai ISPO yang berarti Tim Penilai ISPO memiliki kewenangan untuk

mengumumkan apakah perkebunan dan pabrik kelapa sawit tersebut berhak atau

tidak terhadap untuk memperoleh sertifikat ISPO.

i. Proses Pengakuan Terhadap Sertifikasi Lainnya

Perusahaan yang mendapatkan sertifikat berkelanjutan dari organisasi

laindapat diakui oleh Komisi ISPO apabila 102 :

1. “Lembaga Sertifikasi yang melakukan penilaian/audit diakreditasi olehBadan


Akreditasi yang telah mempunyai MRA dengan Komisi ISPO;
2. Persyaratan teknis yang diacu setara (equivalence) dengan persyaratanISPO;

101
Ibid.
102
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


3. Belum memenuhi persyaratan ISPO, termasuk penilaian usahaperkebunan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, makadilakukan audit ulang
oleh Tim Penilai”.

Dalam hal perkebunan maupun pabrik kelapa sawit sudah mendapatkan

sertifikasi dari organisasi lain seperti contohnya sertifikat RSPO, maka lembaga

sertifikasi tersebut harus melakukan penilaian/audit yang diakreditasi oleh Badan

Akreditasi Nasional (BAN). Tetapi, yang terjadi adalah, dikarenakan prinsip, kriteria

dan indikatornya yang berbeda, mengakibatkan RSPO ini dianggap berbeda dengan

ISPO. Hal ini berdampak bahwa, Perusahaan yang telah memperolehRSPO, baik

terhadap perkebunan maupun terhadap pabrik kelapa sawit, maka sertifikasi ISPO

wajib tetap harus dilaksanakan kembali. Audit juga dilakukan oleh Tim Penilai

ISPO.

j. Keluhan/Pengaduan

Keluhan/pengaduan terhadap kinerja Lembaga Sertifikasiapabila ada, maka

BadanAkreditasi berkewajiban untuk dapat menyelesaikannya dalam waktu 30 (tiga

puluh) hari. ApabilaBadan Akreditasi tidak dapat menyelesaikan keluhan tersebut,

maka dalam waktu tersebut makaBadan Akreditasi harus melaporkannya ke Komisi

ISPO.Apabila terdapat pengaduan berkaitan dengan penilaian perusahaanperkebunan

kelapa sawit Indonesia berkelanjutan (sertifikasi ISPO),maka para pemangku

kepentingan dapat menyampaikan pengaduantersebut secara tertulis dilengkapi

dengan bukti –bukti terkait kepada Tim Penilai ISPOmelalui Sekretariat Komisi

ISPO.Komisi ISPO akan menyelesaikan pengaduan tersebut sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara


peraturandan perundangan yang berlaku. Terhadap permasalahan di luarkewenangan

Komisi ISPO, akan diserahkan kepada instansi yangberwenang di bidangnya untuk

diselesaikan sesuai dengan peraturanperundangan berlaku. 103

Keluhan tersebut dapat berupa lambatnya sertifikasi yang diberikan, tidak

adanya kepastian bagi perkebunan maupun pabrik kelapa sawit yang disertifikasi

apakah telah memenuhi sertifikasi ISPO atau tidak. Selanjutnya, keluhan mengenai

Tim Penilai ISPO juga dapat dilaporkan dalam haldilakukannya penilaian terhadap

hal-hal yang tidak berdasarkan prinsip dan kriteria ISPO. Pengaduan dapat

disampaikan kepada lembaga sertifikasi untuk selanjutnya diteruskan kepada Badan

Akreditasi.

k. Mekanisme Pengakuan Lembaga Sertifikasi

Mengenai mekanisme pengakuan lembaga sertifikasi dapat dilihat pada

bagan berikut ini :

103
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 1.
Mekanisme Pengakuan lembaga Sertifikasi

Sumber : Lampiran I, Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011


tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil – ISPO).

Perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun pabrik kelapa sawit, untuk

dapat ditentukan termasuk ke kebun Kelas I, II, atau III., maka dalam melakukan

sertifikasi ISPO, haruslah memenuhi persyaratan berupa perolehan IUP, IUP-B,

IUP-P, dan HGU. Selanjutnya permohonan tersebut akan diterima dan dilakukan

Universitas Sumatera Utara


pengecekan oleh Lembaga Sertifikasi Independen. Apabila tidak memenuhi

persyaratan permohonan, maka akan dikembalikan untuk dipenuhi terlebih dahulu.

Selanjutnya apabila permohonan lengkap maka dilanjutkan dengan melakukan

permohonan kepada KMSBI (Komisi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia) untuk

mendapatkan pengakuan ISPO. Pengecekan dokumen dilakukan guna memeriksa

kelengkapannya dan tingkat kepatuhannya. Apabila tidak lengkap, maka akan

dikembalikan untuk dilengkapi. Setelah seluruh persyaratan dilengkapi, barulah Tim

Penilai KMSBI melakukan pengakuan sesuai dengan prinsip dan kriteria ISPO untuk

diumumkan ke publik melalui Website Resmi ISPO. Barulah setelah itu, lembaga

sertifikasi menerbitkan sertifikat ISPO bagi perkebunan maupun pabrik kelapa sawit

yang memohonkan sertifikasi ISPO tersebut.

Tim Penilai KMSBI adalah sebuah komite yang terdiri dari wakil-wakil

institusi pemerintah seperti : Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan,

Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perdagangan, Kementerian

Perindustrian, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Standardisasi Nasional /

Komite Akreditasi Nasional (BSN/KAN). Fungsi KMSBI ini adalah mendorong dan

memfasilitasi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit untuk mampu menghasilkan

produk minyak sawit Indonesia berkelanjutan yang diterima oleh pasar baik di dalam

maupun luar negeri. 104

104
Tim ISPO Kementerian Pertanian, “Draft Ketentuan Pengelolaan Perkebunan Kelapa
Sawit Indonesia Berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)”, Kementerian Pertanian,
Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan dan Komisi Minyak Sawit Indonesia, draft tanggal 24 Juni
2010, hal. 8-9.

Universitas Sumatera Utara


l. Mekanisme Sertifikasi ISPO

Untuk mengetahui mekanisme sertifikasi ISPO yang dilakukan maka dapat

dilihat melalui alur bagan dibawah ini :

Bagan 2.
Mekanisme Sertifikasi ISPO

Sumber : Lampiran I, Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011


tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil – ISPO).

Keterangan 105 :

1. “Perusahaan perkebunan sawit yang telah mendapatkan penilaian Kelas


I,Kelas II atau Kelas III sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.
07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian UsahaPerkebunan,

105
Sistem Sertifikasi, Penilaian Usaha Perkebunan Sebagai Prasyarat, Lampiran I, Peraturan
Menteri No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


mengajukan permohonan sertifikasi ISPO kepada lembagasertifikasi yang
telah mendapatkan pengakuan dari Komisi ISPO.
2. Lembaga sertifikasi independen yang telah mendapatkan pengakuanKomisi
ISPO, melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dokumen.Dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja dokumen yang tidak lengkap ataumemenuhi syarat, akan
dikembalikan untuk diperbaiki dan dilengkapi.Bagi yang telah lengkap dan
memenuhi persyaratan akan ditindaklanjutidengan penilaian lapangan (audit)
untuk meyakini bahwa perusahaanperkebunan yang bersangkutan telah
menerapkan dan memenuhiseluruh persyaratan ISPO.
3. Hasil penilaian lembaga sertifikasi terhadap perusahaan perkebunanyang
telah memenuhi persyaratan ISPO, selambat-lambatnya dalamwaktu 3 (tiga)
bulan telah disampaikan oleh lembaga sertifikasi yangbersangkutan kepada
Komisi ISPO melalui sekretariat Komisi ISPO untukmendapatkan
pengakuan. Bagi yang tidak memenuhi persyaratan ISPOlembaga sertifikasi
akan meminta perusahaan perkebunan bersangkutanuntuk melakukan
tindakan perbaikan.
4. Sekretariat Komisi ISPO memeriksa kelengkapan dokumen permohonandan
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja dari tanggal diterima suratpermohonan
sesuai dengan stampel pos, bagi yang tidak lengkap akandikembalikan untuk
dilengkapi dan diperbaiki. Permohonan yang telahlengkap selanjutnya
diteruskan ke Tim Penilai ISPO untuk dimintakanpersetujuannya dalam
memberikan pengakuan.
5. Tim penilai ISPO melakukan verikasi terhadap seluruh dokumen
yangdisampaikan lembaga sertifikasi beserta aspek-aspek lainnya
berkaitandengan persyaratan ISPO dan dalam waktu 1 (satu) bulan
sudahmemutuskan, apakah dapat diakui atau ditolak.
6. Perusahaan yang dinilai telah memenuhi dan menerapkan persyaratanISPO
secara konsisten direkomendasikan kepada Komisi ISPO untukdiberikan
pengakuan (approval), sementara yang tidak akan ditolak dandiminta untuk
melakukan tindakan perbaikan.
7. Perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan Komisi ISPO
wajibmenerapkan persyaratan ISPO secara konsisten dan akan
diumumkankepada publik.
8. Lembaga sertifikasi pengusul menerbitkan sertifikat ISPO atas
namaperusahaan perkebunan kelapa sawit bersangkutan, selambat-
lambatnya7 (tujuh) hari kerja sesudah mendapatkan pengakuan Komisi
ISPO”.

Mekanisme sertifikasi ISPO ini adalah mekanisme yang wajib diikuti secara

konsisten oleh perkebunan maupun pabrik kelapa sawit yang hendak melakukan

sertifikasi ISPO. Adanya pemotongan atau ketidaksesuaian dalam pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara


mekanisme tersebut, dapat berakibat tidak dapat diperolehnya sertifikasi. Mekanisme

ini akan dilakukan dalam 5 (lima) tahun sekali, karena jangka waktu sertifikasi ISPO

yang berlaku selama 5 (lima) tahun.

2. Sistem Sertifikasi Rantai Pasok

a. Ruang Lingkup

Perusahaan kelapa sawit yang telah mendapatkan sertifikat sesuaipersyaratan

ISPO, dapat meningkatkan statusnya untuk memperoleh sertifikat rantai pasok yang

mampu telusur.Tujuan dari penerapan SSRP ISPO adalah menerapkan sistem legal

praktisyang dipercaya dan menjamin perdagangan minyak kelapa sawit

bersertifikatISPO. Untuk menjaga kredibilitas dari SSRP ISPO, perusahaan

harusmemenuhi persyaratan sebagai berikut 106:

1) “Semua fasilitas dalam rantai pasok minyak sawit harus


memenuhipersyaratan ISPO;
2) Perusahaan harus membuat pernyataan bahwa produksi, pengadaan
danpenggunaan minyak kelapa sawit bersertifikat telah memenuhipersyaratan
ISPO”.

Model rantai pasok dalam perdagangan minyak kelapa sawit yang

diadopsioleh ISPO adalah sebagai berikut 107:

1) “Segregasi (Segregation);

2) Keseimbangan Massa (Mass Balance);

3) Pesanan dan Klaim (Book and Claim)”.

SSRP ISPO ini mencakup 108:

106
Ibid.
107
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


1) “Akreditasi dan persetujuan persyaratan untuklembaga sertifikasi rantai

pasok;

2) Persyaratan Sertifikasi Rantai PasokISPO; dan

3) Persyaratan untuk Proses Sertifikasi Rantai Pasok ISPO”.

b. Akreditasi dan Persetujuan

1) Lembaga sertifikasi, Penjelasan mengenai lembaga sertifikasi mengacu pada

bagian Persyaratan Lembaga Sertifikasi.

2) Badan Akreditasi, Penjelasan mengenai badan akreditasi mengacu pada

bagian Badan Akreditasi.

c. Persyaratan Sertifikasi

1. Unit Sertifikasi

Unit sertifikasi adalah pabrik dan kebun yang memasok bahan bakuuntuk

pabrik. Bahan baku tersebut harus memenuhi persyaratan ISPOtermasuk petani atau

kebun lain yang memasok bahan baku kepabrik.Grup perusahaan perkebunan dapat

disertifikasi sesuai dengangrupnya apabila grup tersebut menerapkan cara

manajemen yangsama untuk seluruh anak perusahaannya. Rencana sertifikasi

grupperusahaan harus disampaikan kepada Lembaga Sertifikasi padawaktu

dilakukan audit pertama.Unit yang disertifikasi dinilai berdasarkan standar ISPO,

contohminimum yang harus diambil adalah 0,8√y, dilakukan pembulatan keatas,

sedangkan contoh yang diambil dalam melakukan surveilanceadalah 0,6√y dan juga

dilakukan pembulatan ke atas.Untuk mendapatkan sertifikat rantai pasok, perusahaan


108
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


yang telahmendapat sertifikat Prinsip dan Kriteria ISPO harus memenuhipersyaratan

SSRP ISPO. Lembaga sertifikasi yang disetujui olehKomisi ISPO akan melakukan

verifikasi persyaratan SSRP ISPO. 109

Apabila terdapat pihak lain yang ikut mendukung kegiatan produksiminyak

sawit lestari, misalnya pihak ketiga yang independen (antaralain sub kontraktor

untuk penyimpanan, transportasi atau kegiatanoutsourcing lainnya), perusahaan

pemegang sertifikat harus menjaminbahwa pihak ketiga tersebut telah memenuhi

persyaratan SSRPISPO.Lembaga sertifikasi harus melakukan verifikasi terhadap

semuakegiatan yang dilakukan oleh sub kontraktor yang terlibat denganperusahaan

bersertifikat sesuai dengan persyaratan SSRP ISPO.Dalam proses untuk

mendapatkan sertifikat, perusahaan harusmemastikan bahwa sub kontraktor yang

dipekerjakan harus memilikiperjanjian tertulis atau sub kontraktor tersebut telah

memiliki sertifikat.Dalam proses untuk mendapatkan sertifikat harus dipastikan

melaluiperjanjian tertulis bahwa pihak ketiga memiliki akses tidak terbatasterhadap

kegiatan yang terkait. Setelah memperoleh sertifikat,perusahaan harus mendaftarkan

dan membuat laporan sesuai dengansistem rantai pasok ke Komisi ISPO. 110

2. Pendaftaran

Pendaftaran ini bertujuan untuk mencatatkan segala kemungkinan-

kemungkinan terjadinya sengketa pertanahan yang sering terjadi. Dengan adanya

109
Ibid.
110
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


pencatatan transaksi ini,sehingga dapat dilakukan pelacakan kepada Sekretariat ISPO

apabila ada perubahan kepemilikan.

Pelaku disepanjang rantai pasok minyak kelapa sawit

berkelanjutanbersertifikat ISPO harus mendaftarkan transaksinya kepada

SekretariatISPO. Apabila terjadi perpindahan kepemilikan, maka akan diberi nomor

kodepelacakan.Pelaku pada rantai pasok harus mendaftar yang meliputi 111:

a. “Fasilitas pengolahan dimana pemiliknya sesuai dengan


spesifikasiyang tertera dalam persyaratan SSRP ISPO.
b. Pemilik yang memindahtangankan minyak kelapa sawit
berkelanjutanke pemilik lainnya tanpa diproses lebih lanjut harus
memastikan tidakterjadi perubahan volume (mempunyai volume yang
sama).
c. Pengusaha berkutnya yang merupakan pemilik fisik dari
produkminyak kelapa sawit, misalnya refinery dan/atau pengguna
akhirminyak kelapa sawit.
d. Pelaku usaha yang merupakan pedagang perantara dapatdikecualikan
dari pendaftaran”.

Perusahaan yang memiliki minyak sawit yang bersertifikat SSRP akandiberi

nomor atau kode oleh Komisi ISPO, yang selanjutnya merupakanbagian dari

dokumen pengiriman.Klaim terhadap minyak sawit berkelanjutan dan yang

bersertifikat ISPOharus mengacu kepada sertifikat yang sah, diterbitkan oleh

lembagasertifikasi yang ditunjuk Komisi ISPO. 112

Secara garis besar, Perusahaan yang telah memiliki SSRP ISPO, secara

berkesinambungan tetap dan wajib memilik komitmen baik dalam internalnya

maupun bagi pihak-pihak lainnya diluar dirinya untuk senantiasa melaksanakan

111
Ibid.
112
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


prinsip dan kriteria yang bertujuan untuk memperoleh produk turunan kelapa sawit

yang berkelanjutan.

d. Proses Sertifikasi

Lembaga sertifikasi yang diakui oleh Komisi ISPO harus menerapkan

seluruhketentuan hukum yang berlaku, untuk dapat memastikan sub kontraktoratau

entitas lain yang terlibat (misalnya dipekerjakan secara permanenatau lepasan seperti

auditor, pakar, konsultan, dll) memenuhipersyaratan SSRP ISPO.

Lembaga sertifikasi harus memastikan bahwa setiap proses

untukmendapatkan sertifikat SSRP dilengkapi dengan semua informasiyang

diperlukan untuk ISPO Sertifikasi Supply Chain Sistem, keluhan,termasuk standar,

indikator, auditor dan daftar periksa atau setara,dan dokumentasi lainnya. Lembaga

sertifikasi melaksanakan pelayanan sertifikasi harus terikatdalam suatu kontrak.

Sebelum mencapai kesepakatan untukmelanjutkan dengan penyediaan layanan, maka

mereka harusmemiliki catatan. Dalam kontrak akan ditentukan ruang lingkup

(modelrantai pasokan untuk diaudit), durasi dan biaya berkaitan dengan auditserta

merinci hak dan kewajiban dari lembaga sertifikasi sertakliennya. Kontrak tersebut

harus mencakup hak klien untukmengajukan keberatan terhadap proses audit, dan

hak ini harustercantum dalam prosedur. Perjanjian kontrak akan mencakupketentuan-

ketentuan yang relevan mengenai kerahasiaan danpernyataan kepentingan.

Dalam proses untuk mendapatkan sertifikat ISPO, perusahaanperkebunan

harus menjelaskan secara rinci tentang organisasi, sistemmanajemen dan kegiatan

Universitas Sumatera Utara


yang dianggap perlu diketahui oleh lembagasertifikasi. Kondisi ini menunjukkan

bahwa persyaratan SSRP ISPOtelah diintegrasikan ke dalam organisasi, sistem

manajemen dankegiatan perusahaan. Pemberian informasi harus mencakup

rinciandan laporan proses sertifikasi dari semua sistem sertifikasi lain yang diperoleh

oleh perusahaan dalam kegiatan sertifikasi lainnya(misalnya keamanan pangan,

kualitas, dll), termasuk rincian kontrakdengan lembaga sertifikasi lain yang terlibat

kegiatan sertifikasi.

Lembaga sertifikasi akan mempelajari setiap pengajuan sertifikasiuntuk

memastikan bahwa semua elemen terkait SSRP sepenuhnyamemenuhi tujuan Supply

Chain ISPO Certification Systems. Lembagasertifikasi akan menjelaskan masalah

apapun atau wilayah operasiyang meragukan dalam proses sertifikasi. Apabila sistem

organisasi, sistem manajemen dan sistem operasionalmendukung sertifikasi (sesuai

atas kebijakan dari lembaga sertifikasi)dipandang layak memenuhi seluruh ketentuan

SSRP ISPO, lembagasertifikasi akan merekomendasikan kegiatan tersebut telah

berjalansesuai penilaian in-situ.

Setelah memenuhi seluruh persyaratan administrasi, lembagasertifikasi

merencanakan pelaksanaan verifikasi. Lembaga sertifikasi meminta agar perusahaan

menentukan modelrantai pasokan yang dipilih dan menunjukan sistem organisasi,

sistemmanajemen, sistem operasional yang digunakan serta sertifikatlainnya yang

telah dimiliki (seperti keamanan pangan, kualitas, dan lain-lain).Hal tersebut akan

menentukan tingkat rincian dan perencanaankesesuaian penilaian yang diperlukan

sesuai persyaratan SSRPISPO. Lembaga sertifikasi harus dapat mensinkronkan

Universitas Sumatera Utara


danmengkombinasikan audit Rantai Pasokan ISPO dengan audit ditempat lain

(seperti keamanan pangan, kualitas, dan lain-lain), apabiladimungkinkan untuk

disesuaikan. Lembaga sertifikasi pelaksana audit akan mengakui sertifikat SSRPyang

diterbitkan oleh lembaga sertifikasi lainnya.

Para auditor dari lembaga sertifikasi harus mengikuti petunjuk ISO19011.

Audit on-site harus menilai kesesuaian sistem organisasi, sistemmanajemen dan

sistem operasional, termasuk dokumentasi seluruhkebijakan dan prosedur dengan

persyaratan sertifikasi SSRP ISPO.Terkait dengan catatan SSRP yang berhubungan

dengan penerimaan,pengolahan dan penyediaan minyak sawit bersertifikat yang

diberikankepada pelanggan yang ingin membuat klaim minyak sawitbersertifikat

ISPO, harus dilakukan pada audit selanjutnya. Jika hal initerjadi, peninjauan akan

meliputi semua catatan audit terakhir padaperiode persetujuan pertama. 113

Pada akhir audit on-site, auditor mengadakan pertemuan denganperwakilan

klien, termasuk manajemen.Klien harus diberitahukan bahwa mereka akan menerima

konfirmasitertulis mengenai registrasi sertifikasi rantai pasok ISPO dan

tanggalkadaluwarsanya. Pada saat pertemuan tersebut klien belum

mendapatkepastian perolehan sertifikat dan tidak dapat membuat klaim sampaiada

keputusan dari Komisi ISPO. Klien diberitahu mengenai tindakan apa yang harus

dilakukansebelum sertifikat diterbitkan. Klien diberitahu mengenai temuan tim audit

(compliances dan noncompliances) termasuk persyaratan yang belum dipenuhi atau

yangmungkin memerlukan tindakan lebih lanjut sebelum sertifikatditerbitkan. 114

113
Ibid.
114
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Hasil pertemuan meliputi daftar peserta pertemuan, penjelasan rincikegiatan

sertifikasi, informasi tambahan, hasil diskusi termasuktemuan tim audit yang bersifat

sementara menunggu tinjauan danpengambilan keputusan oleh perwakilan yang

ditunjuk lembagasertifikasi.Notulen pertemuan harus ditandatangani oleh auditor

independen danperwakilan manajemen yang ditunjuk perusahaan dari kegiatan

untukmendapatkan sertifikasi. 115

Sertifikasi multi lokasi dapat dilaksanakan apabila terdapat beberapasistem

rantai pasok dengan fasilitas pengolahan yang berbeda yangdikelola dalam satu

manajemen perusahaan.Pelaksanaan sertifikasi multi lokasi juga mengacu pada

peraturanyang sama.Pada pelaksanaan sertifikasi multi lokasi, auditor wajib 116 :

a. “Menetapkan bahwa sistem manajemen dibawah kendali klien telah


memenuhi semua fasilitas pengolahan sesuai SSRP ISPO;
b. Mengambil contoh kebun yang dilakukan secara random sampling,minimum
satu contoh dan penilaiannya didasarkan pada penilaianresiko;
c. Memastikan bahwa sistem manajemen telah sesuai dengan SSRPISPO dan
diterapkan di seluruh fasilitas dan audit dilakukan secaraacak”.

Auditor harus menyiapkan laporan mengenai proses sertifikasi SSRPISPO.

Semua non-conformances akan ditangani secara serius sebelumsertifikat dapat

diberikan oleh lembaga sertifikasi. Jika nonconformancestidak diselesaikan dalam

jangka waktu 3 (tiga) bulansetelah audit, maka audit ulang lengkap wajib dilakukan.

Lembagasertifikasi menilai efektivitas tindakan korektif dan atau tindakanpreventif

yang diambil sebelum menyelesaikan non- conformances. 117

115
Ibid.
116
Ibid.
117
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Non-conformances yang timbul setelah disertifikasi adalah masalahutama

yang harus ditangani secara serius karena beresikomengancam integritas dari

sertifikasi rantai pasok ISPO. Untukmenyelesaikan ketidaksesuaian diberikan waktu

maksimum 1 (satu)bulan. Lembaga sertifikasi akan menilai efektivitas dari

tindakankorektif ini dan atau tindakan preventif yang telah diambil.

Jikaketidaksesuaian tidak diselesaikan dalam waktu 1 (satu) bulan(jangka waktu

maksimum), maka dilakukan penundaan ataupenarikan sertifikat dan dilakukan audit

ulang secara penuh.Bilamana bukti objektif menunjukkan bahwa telah

terjadipenyimpangan oleh klien bersertifikat, maka tindakan harus diambil terhadap

minyak sawit bersertifikat yang telah atau akan segeradikirimkan, berupa penundaan

pengiriman hingga waktu yangditentukan. Pemberitahuan kepada Sekretariat Komisi

ISPO harusdilakukan dalam waktu 24 jam. 118

Jika tidak ada non-conformances pada audit atau rencana tindakanperbaikan

dapat menjamin perubahan yang menghilangkanketidaksesuaian, maka klien akan

direkomendasikan untukmelakukan sertifikasi ulang.Lembaga sertifikasi akan

mengeluarkan sertifikat yang memuatinformasi sebagai berikut 119 :

a. “Nama lembaga yang disertifikasi;


b. Alamat dari semua situs yang relevan untuk mendapatkansertifikat termasuk
keterangan lengkap dari penghubung denganperwakilan manajemen
perusahaan yang bertanggung jawabuntuk mengawasi proses sertifikasi;
c. Tanggal pengeluaran sertifikat dan tanggal kadaluwarsa;
d. Tandatangan pihak berwenang, atau wakil yang ditunjuk olehlembaga
sertifikasi;
e. Laporan lembaga sertifikasi tentang Proses Sertifikasi RantaiPasok;
f. Kontak informasi dan logo dari lembaga sertifikasi;
g. Kontak informasi dan jika mungkin logo badan akreditasi;

118
Ibid.
119
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


h. Nama dan logo ISPO;
i. Ruang lingkup perusahaan yang disertifikasi”.

Lembaga sertifikasi akan memberikan informasi yang relevan diwebsite

ISPO meliputi : nomor telepon dan faksimile, alamat emaildan lingkup sertifikasi

(model rantai pasok dan ruang lingkup operasitertutup), dengan menggunakan

formula/model isian yang telahdisediakan oleh ISPO.Lembaga sertifikasi akan

menyampaikan hasil/laporan audit keSekretariat ISPO untuk dinilai dan di masukkan

ke website ISPO,agar mendapat tanggapan publik. Diberikan waktu 10 (sepuluh)

harikerja untuk tanggapan dari para pemangku kepentingan sebelumsertifikat

diterbitkan. 120

Sertifikat periode pertama berlaku selama 12 (dua belas) bulan.Sebelum

sertifikat periode pertama berakhir, akan diadakan auditulang secara lengkap untuk

mempertahankan berlakunya sertifikattersebut selama 4 (empat) tahun ke depan.Pada

audit ulang, lembaga sertifikasi harus memverifikasi ringkasancatatan tahunan

perusahaan untuk menentukan jumlah minyakkelapa sawit yang diklaim bersertifikat

ISPO tidak melebihi jumlahminyak kelapa sawit yang dijual dalam jangka waktu

tertentu.Lembaga sertifikasi akan mengkonfirmasi jumlah yang dibeli dandiklaim

sebagai bagian dari laporan audit. 121

120
Ibid.
121
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


e. Model Perdagangan Rantai Pasok ISPO

Perdagangan minyak kelapa sawit berkelanjutan dalam rantai pasok

ISPOdapat dilakukan dengan model 122:

1. “Segregasi (Segregation), model ini memastikan bahwa minyak kelapa sawit


bersertifikat ISPO danturunannya yang diperdagangkan hanya berasal dari
sumber yangbersertifikat ISPO. Ini memungkinkan pencampuran minyak
kelapa sawitbersertifikat ISPO dari berbagai sumber.Model ini menjamin
bahwa semua produk fisik berasal dari perkebunandan pabrik yang
bersertifikat ISPO. Namun, minyak kelapa sawit tidakdapat dihubungkan
dengan perkebunan atau pabrik tertentu.
2. Keseimbangan Massa (Mass Balance), model ini hanya memantau secara
administratif seluruh perdaganganminyak kelapa sawit bersertifikat ISPO dan
turunannya di sepanjang rantaipasok, sebagai pemacu untuk perdagangan
utama minyak sawitberkelanjutan
3. Pesanan dan Klaim (Book and Claim), model ini menyediakan sertifikat
minyak kelapa sawit bersertifikat ISPOyang dapat diperjualbelikan sampai
kepada pasokan dasar minyak kelapasawit. Pelaku usaha perkebunan
kemudian dapat menawarkan minyakkelapa sawit bersertifikat ISPO dan
produk turunannya kepada konsumensecara langsung melalui website”.

3. Petunjuk Auditor ISPO

a. Panduan Audit Secara Umum

Panduan audit secara umum menggunakan ISO 19011-2002 atau SNI 19-

19011-2005 (Panduan audit sistem manajemen mutu dan/atau lingkungan). 123

b. Ketentuan Penilaian Khusus Berdasarkan Persyaratan ISPO

1. SSRP ISPO

Dalam penilaian Sertifikasi Rantai Pasok ISPO semua ketidaksesuaian(Non

Compliances/NC) dinyatakan Major (tidak dikenal Minor). Sertifikat Rantai Pasok

ISPO baru dapat diterbitkan setelah semuaketidaksesuaian (NC) diperbaiki atau

122
Ibid.
123
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


dilengkapi. Apabila NC tidak diselesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan

setelahhasil audit disepakati, maka audit lengkap wajib dilakukan. Survailance pada

sertifikasi Prinsip dan Kriteria ISPO merupakan praaudit Sertifikasi Rantai Pasok.

Masa berlaku sertifikat adalah 4 (empat) tahun. 124

2. Sertifikasi Prinsip dan Kriteria ISPO

Dalam penilaian sertifikasi Prinsip dan Kriteria ISPO semuaketidaksesuaian

(NC) dinyatakan Major (tidak dikenal Minor). Sertifikat Prinsip dan Kriteria ISPO

baru dapat diterbitkan setelah semuaketidaksesuaian (NC) diperbaiki atau dilengkapi.

Apabila NC tidak diselesaikan dalam jangka waktu 6 (enam) bulansetelah hasil audit

disepakati, maka audit lengkap wajib dilakukan.Masa berlaku sertifikat Prinsip dan

Kriteria ISPO adalah 5 (lima) tahun. 125

4. Organisasi Komisi Indonesian Sustainable Palm Oil (Komisi ISPO)

a. Susunan Organisasi dan Kelengkapan

Susunan organisasi dan kelengkapannya seperti bagan berikut :

124
Ibid.
125
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 3.
Susunan Organisasi dan Kelengkapan Komisi ISPO

Sumber : Lampiran I, Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011


tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil – ISPO).

b. Tugas, Fungsi, dan Kedudukan

Tugas Komisi ISPO mendorong dan memfasilitasi pelaku usaha

perkebunankelapa sawit untuk membangun perkebunan kelapa sawit

secaraberkelanjutan. Untuk menjalankan tugas tersebut, Komisi ISPO

dibantuSekretariat dan Tim Penilai.Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi ISPO

mempunyai fungsi, sebagai berikut 126:

1. “Mempertimbangkan dan membuat keputusan berkenaan


denganpemberian, penolakan, pemeliharaan, penangguhan dan
pencabutanpengakuan kepada lembaga sertifikasi dalam dan luar negeri
untukmelakukan sertifikasi ISPO di wilayah Indonesia;

126
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


2. Mempertimbangkan dan membuat keputusan berkenaan
denganpemberian, penolakan, pemeliharaan, penangguhan dan
pencabutanpengakuan sertifikat ISPO kepada Perusahaan Perkebunan
Kelapa SawitIndonesia;
3. Melakukan upaya-upaya dan kerjasama dengan pihak-pihak
terkait(pemerintah dan swasta) di dalam dan luar negeri dalam
rangkakeberterimaan Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia di
pasarinternasional seperti Uni Eropa (EU), EPA-USA, Malaysia, RSPO,
RSB(Roundtable on Sustainable Biofuel), GBEP (Global Bio-
EnergyPartnership);
4. Mengelola sistem sertifikasi ISPO; dan
5. Memberikan laporan kepada Menteri tentang Pengelolaan
PengembanganKelapa Sawit Indonesia Berkelanjutan”.

Komisi ISPO berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada

Menteri.Komisi ISPO dipimpin oleh seorang Ketua setingkat eselon I yang

membidangiperkebunan. 127

c. Keanggotaan

Keanggotaan Komisi ISPO terdiri atas pejabat setingkat eselon I

danstakeholder lainnya yang terkait dengan pembangunan perkebunan kelapasawit

di Indonesia.Tim Penilai mempunyai tugas sebagai berikut 128:

1. “Melakukan verifikasi terhadap lembaga sertifikasi untuk


memastikanlembaga sertifikasi yang bersangkutan mempunyai
kompetensi cukupdalam melakukan sertifikasi berdasarkan Prinsip dan
Kriteria ISPO;
2. Melakukan verifikasi terhadap hasil penilaian (audit) yang
dilakukanlembaga sertifikasi untuk memastikan Perusahaan Perkebunan
KelapaSawit telah memenuhi Prinsip dan Kriteria ISPO;
3. Menerbitkan rekomendasi kepada Komisi ISPO berkenaan
denganpemberian, penolakan, pemeliharaan, penangguhan dan
pencabutanpengakuan Komisi ISPO kepada lembaga sertifikasi untuk
melakukansertifikasi mengacu Prinsip dan Kriteria ISPO;

127
Ibid.
128
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


4. Menerbitkan rekomendasi kepada Komisi ISPO berkenaan
denganpemberian, penolakan, pemeliharaan, penangguhan dan
pencabutanpengakuan Komisi ISPO kepada Perusahaan Perkebunan
Kelapa Sawitmengacu Prinsip dan Kriteria ISPO; dan
5. Memberikan saran penyempurnaan terhadap Ketentuan
PengelolaanKelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia dan sistem
sertifikasinya”.

Tim Penilai berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada

KetuaKomisi ISPO.Keanggotaan Tim Penilai terdiri atas pejabat setingkat eselon II

danstakeholder lainnya yang terkait dengan pembangunan perkebunan kelapasawit

di Indonesia.Sekretariat mempunyai tugas sebagai berikut 129:

1. “Mengelola kegiatan Komisi ISPO di bidang pelayanan penilaian

sertifikasidalam rangka pengakuan Komisi ISPO; dan

2. Mengelola kegiatan Komisi ISPO di bidang keuangan, kepegawaian

danadministrasi lainnya”.

Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat mempunyai fungsi

administrasi,teknis/penelusuran, advokasi dan promosi, serta penyelesaian

sengketa.Untuk melaksanakan fungsi tersebut, Sekretariat dibantu oleh

koordinator,antara lain 130:

1. “Koordinator Administrasi mempunyai tugas di bidang


kepegawaian,keuangan, dan administrasi surat masuk dan keluar.
2. Koordinator Teknis/Penelusuran mempunyai tugas di bidang
penyiapandokumen penilaian teknis untuk dibahas oleh Tim Penilai
ISPO,pengawasan terhadap pengakuan sertifikasi ISPO dan pencatatan
minyaksawit yang dijual dengan mengunakan mekanisme rantai pasok.
3. Koordinator Advokasi dan Promosi mempunyai tugas di bidang
pemberianadvokasi hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan

129
Ibid.
130
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


perkebunan kelapasawit berkelanjutan dan mempromosikan ISPO baik
dalam negeri maupundunia internasional.
4. Koordinator Penyelesaian Sengketa mempunyai tugas di
bidangpenyelesaian keluhan/pengaduan berkaitan dengan penilaian
perkebunankelapa sawit berkelanjutan Indonesia dan menyerahkan
permasalahan diluar kewenangan Komisi ISPO kepada instansi terkait
untuk diselesaikansesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.

Sekretariat berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada

KetuaKomisi ISPO.Seluruh personil Sekretariat diangkat dan dan bertanggungjawab

kepadaKetua Komisi ISPO. 131

D. Kedudukan Peraturan Menteri Pertanian No.


19/Permentan/OT.140/3/2011 Dalam Hierarki Peraturan Perundangan

1. Dasar Hukum Kewajiban ISPO

Sebelum dibahas mengenai kedudukan Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) di dalam hierarki

peraturan perundang-undangan, terlebih dahulu harus diketahui mengenai definisi

hukum dan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya mengarah mengenai

teori hierarki peraturan perundang-undangan. Mengenai definisi hukum, akan

dikemukakan oleh beberapa ahli hukum di bawah ini :

Menurut AH. De Wild, sebagai ahli hukum yang mendefinisikan hukum,

yaitu : “Hukum bukanlah kosmos kaidah yang otonom. Lebih dari itu adalah bahwa

hukum merupakan kompleks kaidah, hukum tidaklah gejala netral. Hukum berada

131
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


dalam jalinan problem dan dinamika kemasyarakatan. Hukum dan fenomena sosial

diletakkan pada fenomena yang sama”. 132

Menurut D. Schindler, sebagai ahli hukum yang mendefinisikan hukum,

menyatakan bahwa 133 :

“Hukum memiliki suatu kesatuan empat momen. Masing-masing momen


memiliki sifat dialektikal, yang berarti bahwa pertentangan-pertentangan itu
dipikirkan dalam hubungan antara yang satu dengan lainnya. Adapun 4
(empat) momen hukum tersebut adalah :
1. Momen normatif-formal adalah bentuk-bentuk hukum: aturan, keputusan,
dan asas hukum. Hukum di sini dipandang sebagai penataan hukum yang
berkaitan dengan hal mewujudkan ketertiban, perdamaian, harmoni,
kepastian hukum;
2. Memiliki suatu sifat faktual-formal merujuk pada kekuasaan. Dalam
kedua momen tersebut, aspek-aspek formal ditampilkan ke muka. Tetapi
antara keduanya memiliki perbedaan dalam cara beradanya.
3. Momen normatif-materil. Hukum itu terdapat suatu sisi (aspek) etikal.
Terdapat kaidah-kaidah yang berlaku yang isinya untuk hukum relevan.
Hukum dan etika tidak dipisahkan satu dari yang lainnya.
4. Momen faktual-materil berkaitan dengan keperluan dan kebutuhan vital.
Pikiran ditekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan yang minimal
diperlukan bagi keberadaan (eksistensi) manusia.
Jika semua momen-momen tersebut disatukan, maka dapat dikemukakan
bahwa hukum itu adalah suatu penataan yang mencoba mempengaruhi
perilaku manusiawi sedemikian rupa, sehingga pemenuhan keperluan dan
kebutuhan-kebutuhan vital dapat diupayakan dengan cara yang adil”.

Selanjutnya mengenai perundang-undangan, dalam bahasa Inggris disebut

legislation, dalam bahasa Belanda disebut wetgeving, dan dalam bahasa Jerman

disebut gezetzgebung yang memiliki dua arti :

1. “Diartikan sebagai proses pembentukan atau proses membentuk peraturan

negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;

132
Prasetijo Rijadi dan Sri Priyati, Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai
Implementasi, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hal. 28.
133
JJ. H. Bruggink, B. Arief Sidharta (alih bahasa), Refleksi Tentang Hukum : Pengertian-
Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya, 2011), hal. 39.

Universitas Sumatera Utara


2. Diartikan sebagai keseluruhan peraturan negara, yang merupakan hasil

pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun

daerah”. 134

Berdasarkan pengamatan terhadap opini dan pandangan para ahli hukum

tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum adalah himpunan undang-undang

dan kaidah-kaidah untuk mengatur dan memaksa masyarakat.

Hans Kelsen mengembangkan sebuah teori hukum murni (general theory of

law and state). Aliran teori hukum murni merupakan suatu pengembangan dari teori

mazhab positivisme, yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum

dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman, inti ajaran teori hukum

murni adalah 135 :

“Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan adalah untuk


mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan. Teori hukum
adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai
hukum yang seharusnya. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan
ilmu alam. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada
hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum. Teori hukum adalah
formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang
khusus. Hubungan antara teori dan sistem yang khas dari hukum positif
adalah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata”.

Selain ajaran hukum murni, Hans Kelsen mengemukakan teori hierarki

norma hukum (stufenbau theory – stufenbau des recht). Ajaran stufenbau

berpendapat bahwa :

“Sistem hukum itu merupakan suatu hierarki dari hukum. Pada hierarki itu,
suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi

134
Ade Saptomo, dalam Prasetijo Rijadi dan Sri Priyati, Loc.cit., hal. 48.
135
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 57-58.

Universitas Sumatera Utara


dan ketentuan tertinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat
hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah merupakan konkretisasi dari ketentuan
yang lebih tinggi”.

Hans Nawiansky menyempurnakan stufenbau theory yang dikembangkan

oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Nawiansky mengembangkan teori tersebut dan

membuat tata susunan norma hukum negara (die stufenordnung der rechtsnormen)

dalam 4 (empat) tingkatan, yaitu 136 :

1. “Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) atau grundnorm


(menurut teori Kelsen);
2. Staatsgrundgezets (aturan dasar/pokok negara);
3. Verordnung dan autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan
otonomi).
Menurut teori Kelsen-Nawiansky, grundnorm atau staatsfundamentalnorm
adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan (presupposed), tidak tertulis; ia
tidak ditetapkan (gezets), tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum
positif, berada di luar namun terjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan
hukum positif, sifatnya meta-juristic”.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, dapat dilihat bahwa

Indonesia sudah menerapkan hierarki norma hukum (stufenbau theory) yang

dicetuskan Hans Kelsen dan dikembangkan Hans Nawiansky. Meskipun teori ini

sudah lahir jauh hari sebelum Indonesia lahir, namun hierarki dimaksud masih

relevan serta menjadi acuan yang diterapkan dalam sistem perundang-undangan di

Indonesia. Penerapan stufenbau tersebut dapat dilihat dalam Ketetapan MPR No.

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

136
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, (Yogyakarta : Kanisius, 1997), hal. 39.

Universitas Sumatera Utara


Undangan. 137 Seiring perjalanan dan perkembangan negara dan politik, kemudian

dikeluarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-

Undangan dan diperbaharui lagi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 138

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengenai kedudukan pedoman

perkebunankelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang mengatakan bahwa

dikarenakan pedoman tersebut tidak diperintahkan oleh suatu perundang-undangan

yang berada di atasnya, maka untuk pengaturan dariperaturan tersebut tidak termasuk

ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Tetapi di dalam Pasal 8

ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, adanya frase “atau dibentuk

berdasarkan kewenangannya” adalah memberikan kepastian hukum bagi Peraturan

Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 yang dibuat oleh Kementerian

137
Pasal 2, Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa : “Tata urutan peraturan perundang-undangan
merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia adalah : 1) Undang-Undang Dasar 1945; 2) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3) Undang-Undang; 4) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu); 5) Peraturan Pemerintah; 6) Keputusan Presiden; 7) Peraturan Daerah”.
Pasal 4 ayat (1), Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa : “Sesuai dengan tata urutan peraturan
perundang-undangan ini maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan aturan hukum yang lebih tinggi”.
Pasal 4 ayat (2), Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa : “Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung,
Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan ini”.
138
Pasal 7 ayat (1), Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, menyatakan bahwa : “Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri
atas : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d)
Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; dan g) Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota”.

Universitas Sumatera Utara


Pertanian yang mempunyai kewenangan untuk mengatur aspek-aspek yang terkait

dengan tugas dan wewenang Kementerian Pertanian.

2. Keterkaitan ISPO Dengan Peraturan Lainnya

Keterkaitan ISPO dengan peraturan perundang-undangan lainnya adalah

terletak dari sistem sertifikasinya. Untuk mengimplementasikan perundang-

undanganitu harus dilakukan audit terhadap pemohon, yaitu perusahaan perkebunan

serta industri pabrik kelapa sawit. Berbagai peraturan perundangan Indonesia

merupakan landasan dalam penerapan Sistem Pembangunan Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), antara

lain :

1). Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria;

2). Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;

3). Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya;

4). Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;

5). Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

6). Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

7). Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

8). Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

9). Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

Universitas Sumatera Utara


10). Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

11). Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

12). Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan;

13). Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup;

14). Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

15). Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran

Penggunaan Pestisida;

16). Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengelolaan

Pembinaan dan Pengembangan Industri;

17). Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman;

18). Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman;

19). Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, Hak Milik, Hak Pakai

Atas Tanah;

20). Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan

Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan;

21). Keputusan Presiden No. 84/P tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu

II;

22). Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi

Kementerian Negara;

23). Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi

Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I

Universitas Sumatera Utara


Kementerian Negara;

24). Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang

Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan;

25). Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang

Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan;

26). Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang

Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit;

27). Peraturan Menteri Pertanian No. 61/Kpts/OT.140/10/2010 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Kementerian Pertanian; dan lain-lain.

Selanjutnya, dari peraturan perundang-undangan terkait tersebut di atas,

diambillah indikator-indikator penentusebagai indikator terpenuhi atau tidak

terpenuhinya persyaratan oleh Tim Penilai ISPO terhadap perkebunan maupun

pabrik kelapa sawit yang melakukan sertifikasi ISPO. Indikator tersebut terdiri dari

128 (seratus dua puluh delapan indikator).

3. Analisis Peraturan Menteri Pertanian No.19/Permentan/OT.140/3/2011


Dalam Hierarki Peraturan Perundangan

Masih terdapat satu pengaturan yang belum memenuhi persyaratan untuk

dijadikan dan dianggap sebagai sumber hukum, yaitu Peraturan Menteri Pertanian

No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). Hal ini

dikarenakan tidak ada pengaturan di atasnya yang memerintahkan untuk itu.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa :

(1) “Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perkwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat;

(2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.

Oleh karena itu, menurut Alvi Syahrin, menyebutkan bahwa 139 :

“Pedoman yang dikeluarkan Menteri Pertanian tersebut mengenai


perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia adalah tidak termasuk ke
dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Apabila
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka
peraturan ini dapat menjadi jenis peraturan perundang-undangan yang
mengikat dan diakui keberadaannya”.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengenai kedudukan pedoman

perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia dapat dikatakan bahwa

dikarenakan pedoman tersebut tidak diperintahkan oleh suatu perundang-undangan

yang berada di atasnya untuk pengaturannya maka Peraturan Menteri Pertanian No.

139
Alvi Syahrin, “Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan : Aspek Hukum
Lingkungan Hidup dalam Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Tinjauan terhadap
Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)”, Op.cit.

Universitas Sumatera Utara


19/Permentan/OT.140/3/2011 yang mewajibkan sertifikasi ISPO terhadap

perkebunan di Indonesia adalah tidak termasuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan. Tetapi di dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 12

Tahun 2011, ada frase “atau dibentuk berdasarkan kewenangannya”. Oleh karena itu,

Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 adalah sebuah

pengaturan yang dibentuk berdasarkan kewenangan Menteri Pertanian. Maka, Pasal

8 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan tepatnya frase “atau dibentuk berdasarkan kewenangannya”

adalah terpenuhi.

Oleh karena itu, Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 adalah mengikat secara hukum karena berdasarkan

Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan menyatakan bahwa peraturan yang dibentuk berdasarkan

kewenangan pejabat terkait adalah mengikat dan berlaku secara hukum.

Selain itu juga, berdasarkan pendapat A. Hamid S. Attamimi, yang

menyatakan bahwa 140 :

“Hanya perkembangannya yang datang kemudian menyebabkan dikenalnya


pembentukan peraturan negara berdasarkan fungsi reglementer dan
berdasarkan fungsi eksekutif. Sementara pada umumnya, kewenangan
pengaturan yang timbul dari fungsi reglementer dan eksekutif itu selalu
didasarkan pada peraturan negara yang lebih tinggi dalam wujud kewenangan
atribusi ataupun delegasi”

140
A. Hamid S. Attamimi dalam Arif Christiono Soebroto, “Kedudukan Hukum
Peraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas”, (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia : Biro Hukum
BAPPENAS, Tanpa Tahun), hal. 2.

Universitas Sumatera Utara


Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

menurut Maria Farida Indrati S., menyatakan bahwa 141 :

“Pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang


diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan kepada suatu lembaga
negara/ pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan
batas-batas yang diberikan.

Delegasi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan


ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan
yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan yang
dinyatakan dengan tegas maupun tidak”.

Bertitik tolak dari hal tersebut, maka pada hakikatnya kewenangan

pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan merupakan kewenangan yang bersifat pelimpahan (delegated

authority) karena kewenangan asli (original authority) pembentukan peraturan

perundang-undangan ada pada badan legislatif. Pendelegasian kewenangan legislatif

kepada pemerintah (eksekutif), dalam hal ini Kementrian Pertanian, membuat

pejabat pemerintah atau pejabat administrasi Negara memiliki kewenangan legislatif

seperti halnya pembentuk undang-undang asli (badan legislatif). 142

Kebijakan yang ditetapkan pejabat administrasi negara berdasarkan

kewenangannya yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, kemudian

141
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (1) : Jenis, Fungsi, Materi Muatan,
(Yogyakarta : Kanisius, 2007), hal. 105-106. Menyatakan bahwa : “Tidak semua Menteri mempunyai
kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, oleh karena Menteri
Koordinator, dan Menteri Negara tidak merupakan lembaga-lembaga pemerintah dalam perundang-
undangan. Menteri yang dapat membentuk peraturan yang mengikat umum adalah Menteri
Departemen, sedangkan Menteri Koordinator dan Menteri Negara hanya dapat membuat peraturan
yang bersifat intern, dalam lingkungannya sendiri, jadi tidak berwenang membentuk peraturan yang
mengikat umum”.
142
Arif Christiono Soebroto, Op.cit., hal. 3.

Universitas Sumatera Utara


dituangkan dalam berbagai bentuk-bentuk hukum yang ada di Indonesia termasuk

dalam golongan peraturan perundang-undangan.

Di Indonesia, bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang disebut

mengikat berdasarkan kewenangannya ini antara lain adalah Peraturan

Presiden/Peraturan Menteri/ Peraturan Badan yang dibentuk dengan undang-undang

atau pemerintah atas perintah dari Undang-undang.

Lebih lanjut, jika ingin mengetahu apakah Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 ini benar mengikat dan termasuk dalam hierarki

pertauran perundang-undangan adalah dikaji dari Definisi peraturan perundang-

undangan yang menyatakan:“Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau

pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan

Perundang-undangan”. Definisi tersebut terdiri dari 3 (tiga) ciri, yaitu:

1. “Peraturan Tertulis;
2. Memuat Norma Hukum yang mengikat secara umum;
3. Dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang adalah
pejabat/lembaga yang berwenang untuk membuat aturan tertulis
berdasarkan kewenangan atribusi atau delegasi oleh UUD atau UU atau
peraturan perundang-undangan yang lain”.

Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 adalah

peraturan tertulis karena telah diberitakan dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia. Selanjutnya Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 ini juga memuat norma hukum yang mengikat secara

umum yaitu pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dan dibentuk

Universitas Sumatera Utara


oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang yaitu Menteri Pertanian Republik

Indonesiayang didelegasikan kewenangan Presiden Republik Indonesia sebagai

Kepala Negara Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden perihal

pengangkatan Menteri Pertanian tersebut. Oleh karena itu, sejak didelegasikan

kewenangan Presiden kepada Menteri Pertanian tersebut, maka Menteri Pertanian

sudah berhak untuk menentukan berbagai macam pengaturan yang tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Peraturan

Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 adalah mengikat pada

perusahaan-perusahaan perkebunan baik perusahaan swasta, Badan Usaha Milik

Negara (BUMN), maupun Perusahaan Daerah bidang perkebunan.

E. Dampak Yuridis Peraturan Menteri Pertanian No.


19/Permentan/OT.140/3/2011 yang Mewajibkan Sertifikasi ISPO
Terhadap Perkebunan di Indonesia

Suswono sebagai Menteri Pertanian RI mengeluarkan pernyataan

sebagaimana dikutip di bawah ini 143 :

“Awal Maret nanti sudah dimulai proses sertifikasi ISPO, sertifikasi ISPO
akan dilakukan khusus sertifikasi bagi perusahaan perkebunan. Sedangkan
untuk perkebunan rakyat akan diatur dalam peraturan tersendiri. Pada tanggal
31 Desember 2012 ini seluruh perusahaan sawit di Indonesia harus sudah
mengantongi sertifikasi ISPO. Karena itu, perusahaan perkebunan dapat
segera melakukan sertifikasi.

Perusahaan perkebunan sawit yang dapat mengajukan permohonan sertifikasi


ISPO harus memenuhi beberapa persyaratan. Misalnya, sudah mendapat
penilaian sebagai kebun kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Penilaian ini sesuai

143
Harian Media Indonesia, “Sertifikasi ISPO Dimulai Maret 2012”, diterbitkan pada Selasa,
28 Februari 2012.

Universitas Sumatera Utara


dengan Permentan No. 7 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha
Perkebunan.

Penilaian usaha perkebunan dilakukan petugas dinas yang membidangi


perkebunan di propinsi dan kabupaten/kota yaitu satu tahun sekali untuk
kebun tahap pembangunan. Sedangkan untuk kebun tahap operasional
penilaian dilakukan tiga tahun sekali.

Tahun ini pemerintah akan melakukan penilaian usaha perkebunan. Hasilnya


akan sangat menentukan keberhasilan penerapan ISPO. Untuk
memperkenalkan ISPO di pasar internasional dan negara-negara tujuan
ekspor utama, pemerintah akan melakukan sosialisasi ke Eropa seperti
belanda, Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat, serta negara-negara
pembelian lainnya. Dengan demikian diharapkan ISPO dapat menjadi brand
image minyak sawit Indonesia di pasar interasional.

ISPO berbeda dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), ISPO


disusun berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan
berbagai terkait. Misalnya Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan,
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Badan Pertanahan Nasional. Karena itu seluruh ketentuan
di dalam ISPO harus ditaati karena masing-masing ketentuan tersebut ada
sanksinya”.

Dampak yuridis Pasal 3, Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 yang mewajibkan sertifikasi ISPO terhadap

perkebunan di Indonesia adalah sertifikasi ISPO menjadi wajib dan mengikat kepada

perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Selanjutnya, apabila tidak

dilaksanakan maka dapat diberlakukan sanksi yang tertera dalam Pasal 4 ketentuan

tersebut yaitu mengenai sanksi penurunan kelas-kelas kebun. Apabila penurunan

kelas kebun terjadi, maka penjualan kelapa sawit suatu perusahaan akan menjadi

menurun pula dikarenakan terjadinya penurunan kepercayaan konsumen atas pabrik

kelapa sawit yang mengelolaTBS dari kebun yang diturunkan kelasnya tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Tujuan dari sertifikasi ISPO ini menurut Kementerian Pertanian adalah untuk

mendorong usaha perkebunan kelapa sawit memenuhi kewajibannya sesuai

peraturan perundang-undangan, melindungi, mempromosikan usaha perkebunan

kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar. 144 Tetapi menurut

perusahaan perkebunan, sertifikasi ISPO adalah salah satu bentuk pungutan yang

dilegalkan oleh Pemerintah. Pungutan dalam artian kewajiban sertifikasi ISPO sudah

pasti membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Lebih detail lagi adalah adanya

fakta yang diketahui bahwa ISPO ini tidak diakui di pasar Eropa, tidak seperti

RSPOyang secara global diakui keberadaannya. 145 Hal ini menjadi dilema bagi

pelaku usaha perkebunan kelapa sawit untuk mengimplementasikan dan

melaksanakan ISPO.

Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 yang

mewajibkan sertifikasi ISPO terhadap perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah

dibentuk berdasarkan kewenangan Menteri Pertanian yang mengatur hal tersebut.

Maka, konsekuensinya adalah bahwa pengaturan ISPO tersebut mengikat kepada

setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang secara hukum berlaku secara sah

terhadap seluruh perusahaan perkebunan dan industri kelapa sawit.

Kewajiban sertifikasi ini dianggap sebagai sesuatu yang mengikat dan

berdampak hukum terhadap perusahaan, karena ketentuannya telah ditetapkan

melalui produk hukum Peraturan Menteri Pertanian. Sanksi dan ketentuannya telah

144
Pasal 2, Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
145
Harian Kontan, “Bernadette Christina Munthe : Hanya Eropa yang Menuntut RSPO”,
diterbitkan Selasa, 06 Desember 2011.

Universitas Sumatera Utara


tegas disampaikan, oleh karena itu, mau tidak mau, Perusahaan tetap harus

melakukan penyesuaian, pemenuhan terhadap kepatuhan regulasi, pendaftaran,

perolehan sertifikasi sampai dengan melakukan monitoring dan pengawasan sebagai

bentuk komitmen yang nyata dalam upaya untuk menciptakan produk kelapa sawit

yang berkelanjutan.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

KEWAJIBAN ISPO DALAM MENDUKUNG PERTUMBUHAN INVESTASI


DI INDONESIA

Indikator yang mendukung pertumbuhan investasi adalah kelembagaan

terpadu, infrastruktur yang baik, kesehatan dan pendidikan yang memadai, besarnya

pasar serta lingkungan makro ekonomi, dan masih banyak lagi.

Setelah mengetahui kedudukan dan dampak yuridis Peraturan Menteri

Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) yang

mempunyai kedudukan akibat dari wewenang dan tugas Kementerian Pertanian

untuk mengatur pembangunan berkelanjutan dalam bidang kelapa sawit. Namun,

dampaknya terhadap pelaku usaha perkebunan adalah kurang memihak kepada

pelaku usaha perkebunan dikarenakan keberadaan RSPO terlebih dahulu.

Selanjutnya akan dibahas kewajiban ISPO dikaitkan dengan pertumbuhan investasi

di Indonesia.

A. Pertumbuhan Investasi di Indonesia Dalam Bidang Usaha Perkebunan


Kelapa Sawit

Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal bagi

perusahaan untuk membeli barang modal dan perlengkapan produksi untuk

menambah kemampuan produksi barang dan jasa dalam perekonomian. Pertambahan

jumlah barang modal memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih

banyak barang dan jasa di masa yang akan datang. Faktor-faktor utama yang

111
Universitas Sumatera Utara
menentukan tingkat investasi adalah suku bunga, prediksi tingkat keuntungan,

prediksi mengenai kondisi ekonomi ke depan, kemajuan teknologi tingkat

pendapatan nasional dan keuntungan perusahaan. 146

Menurut Sadono Sukirno, tingkat investasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu 147 :

1. “Ramalan mengenai keadaan yang akan datang;


2. Tingkat bunga;
3. Perubahan dan perkembangan teknologi;
4. Tingkat pendapatan nasional, dan perubahan-perubahannya; dan
5. Keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan”.

Oleh karena itu, pertumbuhan investasi yang baik bagi perkebunan kelapa

sawit di Indonesia adalah dapat diukur melalui tingkat pendapatan perusahaan-

perusahaan perkebunan kelapa sawit. Apabila pengusaha perkebunan kelapa sawit

menginvestasikan modalnya, maka harus melakukan pertimbangan-pertimbangan

penanaman modal, yaitu 148 :

1. “Risiko menanam modal;


2. Ketersediaan infrastruktur;
3. Rentang birokrasi;
4. Transparansi dan kepastian hukum;
5. Alih teknologi;
6. Jaminan dan perlindungan investasi;
7. Ketenagakerjaan;
8. Keberadaan sumber daya alam;
9. Akses pasar;
10. Insentif perpajakan; dan
11. Mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif”.

146
Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Teori Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada,2004), hal. 122.
147
Ibid., hal. 122.
148
Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di
Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hal. 4-8.

Universitas Sumatera Utara


Untuk melihat pertumbuhan investasi di Indonesia dalam hal perkembangan

perkebunan kelapa sawit, perlu dilihat melalui sejarahnya. Sejarah investasi di

Indonesia pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2 (dua) periode, pertama adalah pada

kurun waktu pra-kemerdekaan, yang dimulai pada abad ke-17, yang seiring dengan

adanya revolusi industri di Eropa maka dalam masa tersebut berdatangan investor

Eropa ke Indonesia meskipun sifatnya mendekati cara penjajahan daripada investasi

sebenarnya, karena mereka memerlukan koloni-koloni untuk memperoleh bahan

mentah bagi industrinya yang sekaligus untuk memasarkan hasil produksinya. 149

Adapun sektor yang dimasuki modal asing (Belanda) adalah perkebunan

kelapa sawit, teh, karet, dan seterusnya, sektor pertambangan. Menyusul kemudian

adanya hak atas tanah yang diberikan oleh Belanda kepada Negara Eropa lain,

sehingga muncullah perkebunan Inggris, Amerika, yang kemudian juga berinvestasi

di bidang otomotif (General Motor).

Dengan adanya pendudukan Jepang pada tahun 1942, investasi terhenti sama

sekali dan telah terjadi kemerosotan aset maupun kemampuan modal investor secara

drastis. Pada era pasca kemerdekaan yang dimulai dari tahun 1945,penataan

ketentuan peraturan perundang-undangan tentang investasi diawali dengan Rencana

Urgensi Perekonomian (RUP) 1949, Undang-Undang No. 78 Tahun 1958 tentang

Penanaman Modal Asing yang berhasil sedikit demi sedikit menarik investor asing

baik dari Amerika maupun Jepang, namun dengan tindakan nasionalisasi sepihak,

Undang-Undang tersebut tidak berarti lagi. Kemandegan investasi terjadi lagi,

149
I. A. Budhivaya, “Bahan Kuliah Hukum Investasi : Pokok-Pokok Pemahaman Penanaman
Modal Langsung Serta Lingkup Hukum Investasi di Indonesia”, (Surabaya : Fakultas Hukum
Universitas Narotama, tanpa tahun), hal. 30.

Universitas Sumatera Utara


sampai dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman

Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal

Dalam Negeri. 150 Barulah selanjutnya dikeluarkan Undang-Undang No. 25 Tahun

2007 tentang Penanaman Modal.

1. PertumbuhanInvestasi Pra Kemerdekaan

Sejak diambil-alihnya Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) oleh

Pemerintah Belanda pada tahun 1799, investasi di Indonesia pertama kali dikenal

melalui kebijakan yang memperkenankan masuknya modal asing Eropa untuk

menanamkan modalnya di bidang perkebunan pada tahun 1870, dengan dasar

dikeluarkannya “Agrarische Wet”. 151 Dengan peraturan tersebut maka modal asing

yang berasal dari negara Eropa yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah

Belanda diizinkan untuk melakukan usahanya di Indonesia terbatas di sektor

perkebunan yang berada di pedalaman yang tidak diusahakan oleh pemerintah

Belanda, melalui pengawasan yang ketat dari pemerintah daerah jajahan. Dalam

perkembangannya investasi di bidang perkebunan karet, dan kelapa sawit, semakin

dibuka untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia. Sedangkan, bidang usaha lain,

150
Ibid., hal. 30-31.
151
Agrarische Wet 1870 sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia-Belanda di Jawa.
Latar belakang dikeluarkannya Agrarische Wet antara lain karena kesewenangan pemerintah
mengambil-alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan
tanam paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari
tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta. Agrarische Wet
memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk dijamin sementara tanah tak
bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. Agrarische Wet ini dapat dikatakan mengawali berdirinya
sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda. Agrarische Wet sering disebut dengan Undang-
Undang Gula 1870, sebab kedua undang-undang itu menimbulkan hasil dan konsekuensi besar atas
perekonomian di Jawa. Lihat : Boedi Harsono, Hukum Agraria Jilid I, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2005).

Universitas Sumatera Utara


pertambangan, perdagangan, dan seterusnya masih tetap dikuasai oleh pemerintah

Belanda, demikian juga sektor pertanian yang masih dilindungi. 152

Namun, pada pertengahan abad ke-19 sektor yang dibuka untuk penanaman

modal asing makin diperluas, dengan diberlakukan ketentuan bahwa modal Eropa

diizinkan untuk menyewa (pacht) tanah yang belum digarap dengan jangka waktu 25

(dua puluh lima) tahun. 153 Sampai tahun 1900-an terus dilakukan penarikan investasi

dari Eropa, namun hampir seluruhnya di bidang perkebunan dan pertanian, sampai

pada tahun 1920 hanya tercatat 2 (dua) industri besar, yaitu : British American

Tobacco (BAT – pabrik rokok) dan General Motor (pabrik perakitan mobil), tentu

saja disamping pabrik-pabrik gula sebagai proses akhir perkebunan tebu, pabrik

tekstil untuk perkebunan kapas, penggilingan padi, kilang minyak kelapa atau sawit

yang berkapasitas kecil. 154

Komposisi investasi sampai dengan tahun 1942 tersebar di berbagai bidang

usaha, antara lain : gula 15% (lima belas persen); karet 17% (tujuh belas persen);

pertanian lain 13% (tiga belas persen); pertambangan 19% (sembilan belas persen);

pengangkutan sarana umum 14% (empat belas persen); dan sektor manufaktur 2%

(dua persen). Pada saat pendudukan Jepang pada tahun 1942 – 1945, kegiatan

152
I. A. Budhivaya, Op.cit., hal. 31.
153
Isu terpenting dalam Agrarische Wet 1870 adalah pemberian hak erfpacht, semacam Hak
Guna Usaha yang memungkinkan seseorang menyewa tanah terlantar yang telah menjadi milik negara
yang selama maksimum 75 (tujuh puluh lima) tahun sesuai kewenangan yang diberikan eigendom
(kepemilikan), selain dapat mewariskannya dan menjadikan agunan. Ada 3 (tiga) jenis hak erfpacht,
yaitu : 1) Hak untuk perkebunan dan pertanian besar, maksimum 500 bahu dengan harga sewa
maksimum lima florint per bahu; 2) Hak untuk perkebunan dan pertanian kecil bagi orang Eropa
“miskin” atau perkumpulan sosial di Hindia-Belanda, maksimum 25 bahu dengan harga sewa satu
florint per bahu (tetapi pada tahun 1908 diperluas menjadi maksimum 500 bahu); 3) Hak untuk rumah
tetirah dan pekarangannya (estate) seluas maksimum 50 bahu. Lihat : Boedi Harsono, Op.cit.
154
I. A. Budhivaya, Op.cit., hal. 31-32.

Universitas Sumatera Utara


investasi praktis terhenti. Pada periode penjajahan tersebut, mulai terasa

penghancuran perekonomian Indonesia terutama di sektor industri manufaktur.

Banyak peralatan industri yang dikirim ke luar Indonesia, demikian juga tenaga

kerjanya. Selain itu juga adanya pelarangan impor bahan mentah atau bahan baku

industri dalam jumlah besar. 155

2. Pertumbuhan Investasi Pasca Kemerdekaan

Ketika Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya dari kekuasaan Jepang

pada tanggal 17 Agustus 1945, dalam kaitannya dengan penanaman modal,

sebenarnya pada saat itu pulalah secara yuridis, Indonesia telah memperoleh

legalitasnya untuk mengatur ketentuan perundang-undangan penanaman modalnya.

Namun, kondisi politik dan perekonomiannya, serta berbagai permasalahan

kenegaraan yang harus dihadapi masih belum memungkinkan untuk secara serius

memfokuskan perhatian kepada penanaman modal. 156

Sampai pada tahun 1949, pada saat kemerdekaan (kedaulatan Indonesia

mendapat pengakuan dari Belanda), keadaan penanaman modal asing masih stagnan.

Perusahaan-perusahaan yang tersisa hanyalah warisan kolonial Belanda yang

merupakan penanaman modal asing. Namun, pada tahun itu telah digagas suatu

upaya untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional antara lain dengan

pembuatan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP dimaksudkan sebagai salah

satu perwujudan dari kebijakan umum di bidang ekonomi, serta dimaksudkan pula

155
Ibid., hal. 31-32.
156
Ibid., hal. 32.

Universitas Sumatera Utara


untuk memberikan arahan kegiatan pemerintah dalam sektor industri, pertanian, serta

memungkinkan untuk perusahaan-perusahaan. Hal ini mengartikan adanya

pengaturan penanaman modal. 157

Menurut Glass Burner, mengenai RUP, menyatakan bahwa : “Rencana

tersebut sebagai usaha yang bercorak nasionalistik, untuk mengurangi

ketergantungan bangsa terhadap ekonomi asing”. Disamping itu, menurut Yahya A.

Muhaimin, berpendapat bahwa : “RUP tersebut merupakan program yang

menginginkan pendekatan secara pragmatis, dan bertujuan ganda yang meningkatkan

industri kecil dan para pengusaha pribumi”. 158

Namun, dalam kabinet sendiri masih terdapat pertentangan pendapat di antara

kaum moderat, yang mempunyai konsep bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur

selama perusahaan-perusahaan swasta bermanfaat bagi kepentingan sosial, dan

peranan modal asing harus tetap merupakan faktor yang menentukan dalam

perekonomian nasional, sampai perusahaan-perusahaan pribumi dapat dibangun.

Sementara itu di pihak lainnya, adalah kelompok radikal, menghendaki suatu

perekonomian nasional harus dirombak secara mendasar. 159

Pada tahun 1953, pemerintah menyusun RUU Penanaman Modal Asing, yang

dirancang sebagai persyaratan minimum untuk penanaman modal guna mendorong

masuknya modal asing pada beberapa bidang usaha tertentu. Sampai tahun 1956,

157
Didy Ika Supryadi, “Sejarah Ekonomi Indonesia Sejak Orde Lama Hingga Pemerintahan
Reformasi”, http://www.scribd.com/doc/51139549/SISTEM-EKONOMI-INDONESIA., diakses pada
11 Oktober 2012.
158
Glass Burner, dalam Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik, (Jakarta : LP3ES, 1991), hal.
25.
159
I. A. Budhivaya, Op.cit., hal. 33.

Universitas Sumatera Utara


RUU PMA tersebut masih dalam proses pembahasan dan mengalami beberapa

penyempurnaan oleh Kabinet, dan barulah pada tahun 1958 disetujui oleh

Parlemen. 160

Pada garis besarnya Undang-Undang No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman

Modal Asing menetapkan dan mengatur hal-hal sebagai berikut 161 :

a. “Menjadi dasar dibentuknya Badan Penanaman Modal Asing (BPMA)


yang mengurus keperluan penanaman modal asing di Indonesia;
b. Tidak mencegah pemilikan mayoritas modal oleh pihak asing, namun
usaha patungan akan diprioritaskan;
c. Dimungkinkan untuk transfer keuntungan (ke negara lain), namun
kursnya tidak ditetapkan, yang artinya pemerintah yang akan
mengendalikan”.

Namun, Undang-Undang No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing

tersebut tidak efektif lagi karena pemerintah melakukan tindakan-tindakan

nasionalisasi secara sepihak, tanpa adanya kompensasi bagi investor asing yang

disepakati bersama, sebagai berikut 162 :

a. “Pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun


1959;
b. Menyusul kemudian pada tahun 1963, sebagai dampak dari konfrontasi
dengan Malaysia, maka investasi modal dari Malaysia dan Inggris juga
dinasionalisasi;
c. Pada tahun 1965, dilakukan nasionalisasi pada perusahaan-perusahaan
Amerika”.

Sebagai akibatnya, karena ternyata pemerintah Indonesia (swasta nasional)

belum siap untuk menjalankan perusahaannya sendiri, maka berdampak pula pada

160
Ibid., hal. 33-34.
161
Ibid., hal. 34.
162
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


stagnasi perekonomian nasional, dan dari sisi lain menyebabkan tidak ada modal

asing yang bersedia berinvestasi di Indonesia. 163

Pada tahun 1966, berdasarkan pendapat dari Muhammad Sadli, yang

kemudian menjadi penasihat ekonomi pemerintah pada saat itu, mengemukakan

bahwa 164 :

a. “Keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang menanamkan modalnya


di Indonesia akan mempunyai efek katalisator atas pertumbuhan
selanjutnya ekonomi Indonesia;
b. Tuduhan yang seringkali didengar dengan perekonomian bekas kolonial
bahwa perusahaan-perusahaan modal asing menghambat pertumbuhan
perusahaan-perusahaan pribumi akan dapat dihindarkan;
c. Proses pembangunan ekonomi pada akhirnya akan menuju ke
industrialisasi, yang merupakan hasil pembangunan”.

Pendapat tersebut dapat diterima oleh pemerintah, dan pemerintah

mengalihkan perhatiannya kepada sumber-sumber modal asing berupa hutang luar

negeri, yang akan dimanfaatkan untuk memperbaiki kerusakan serta melengkapi

infrastruktur, serta mengimpor komoditi secara besar-besaran untuk menanggulangi

inflasi, serta membuka peluang yang luas bagi penanaman modal asing yang

dilandasi undang-undang penanaman modal asing yang akomodatif. 165

Pemerintah Indonesia telah menyimpulkan adanya persoalan-persoalan

penanaman modal asing dari Konferensi Jenewa yang diadakan pada bulan

November 1967, sebagai berikut 166 :

a. “Kebijaksanaan

163
Ibid.
164
Thee Kian Wie (Editor), Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an,
(Jakarta : Buku Kompas, Desember 2005), hal. 106-111.
165
I. A. Budhivaya, Loc.cit., hal. 35.
166
Ibid., hal. 35-36.

Universitas Sumatera Utara


1) Kebijakan PMA yang bersifat overall dirasa lebih baik daripada
unilateral deals yang bersifat adhoc dalam mempertimbangkan
permintaan investor PMA.
2) Perlu ada jaminan terhadap perubahan yang sewenang wenang dalam
ketentuan perundang undangan, utamanya bagi bahan produksi
import.
3) Persyaratan yang diberlakukan terhadap investor asing harus cukup
kompetitif dibandingkan negara lain.

b. Jangka Waktu
Beberapa industri yang kapital dan labor intensif dalam pertambangan
dan manufacture diperlukan jangka waktu lebih dari 30 tahun, yang
dianggap terlalu singkat dibandingkan resiko usahanya, dilain pihak
transfer tehnologi juga tidak dapat dilakukan.

c. P a j a k :
1) Pajak keuntungan sebesar 60% dinilai terlalu tinggi, apabila
ditetapkan menjadi 25% akan menjadi menarik bagi investor.
2) Perijinan untuk boleh mentransfer pandapatan pekerja asing
maksimum 20% dengan maksimum nilai US$.400 / bulan dianggap
terlalu rendah, hal tersebut akan menghalangi highly skilled managers
and technicians yang akan masuk ke Indonesia.
3) Perlu penyederhanaan ketentuan perpajakan (secara paket dan bukan
setiap kegiatan di potong pajak sendiri-sendiri).

d. Peraturan Perburuhan :
Perlu dibuatkan peraturan yang “wajar dan seimbang”, tidak saja hak
buruh melainkan juga kewajiban kewajibannya.

e. Perlakuan terhadap Investor Asing


1) Dihindari adanya diskriminasi perlakuan antara investor PMA dan
PMDN
2) Diperlukan “proteksi” bagi industri yang belum berproduksi.

f. Hak atas tanah


Diperlukan ketentuan ketentuan “khusus” yang berkaitan dengan hak atas
tanah bagi PMA.

g. Infrastruktur
Perlu direalisir infrastruktur yang diperlukan bagi kelancaran PMA,
namun terintegrasi dengan infrastruktur umum.

h. Pertumbuhan Usaha

Universitas Sumatera Utara


Diusahakan suatu “pertumbuhan yang nyaman” bagi pengusaha PMA,
dengan meniadakan prosedure yang “berbelit” dalam perijinan serta
pengembangan usahanya.

i. Peraturan peraturan tentang perusahaan


Diperlukan peraturan perusahaan yang “up to date” agar mempermudah
para investor melaksanakan kegiatan usahanya”.

Dari pengenalan permasalahan di atas, serta sebagai pelaksanaan dari Tap

MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi,

Keuangan, dan Pembangunan, antara lain menyebutkan :

a. Pasal 9, menyatakan bahwa :

“Pembangunan ekonomi, berarti utamanya adalah mengolah ekonomi


potensial menjadi ekonomi riil, melalui penanaman modal, penggunaan
tehnologi, penambahan pengetahuan, peningkatan ketrampilan
penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen”.

b. Pasal 10, menyatakan bahwa :

“Penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan lebih lanjut,


harus berdasarkan kemampuan serta kesanggupan rakyat Indonesia
sendiri, dengan memanfaatkan potensi modal luar negeri, tehnologi, dan
ketrampilan, tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri”.

Maka disusun dan dipersiapkan Undang Undang Penanaman modal, yang

kemudian diundangkan pada tanggal 10 Januari 1967, adalah Undang-Undang No.1

Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Sebagai catatan dalam waktu yang

hampir bersamaan juga disusun Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri,

yang karena Undang-Undang Penanaman Modal Asing dianggap lebih penting dan

mendesak, maka Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri baru

Universitas Sumatera Utara


diundangkan pada tahun 1968 adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang

Penanaman Modal Dalam Negeri.

Sementara itu, menurut Sumantoro, menyebutkan bahwa 167 :

a. “Kebijakan pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Penanaman


Modal Asing tersebut disertai pertimbangan agar dalam pembangunan
sumber sumber dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk menutup
kekurangan modal dalam negeri, tanpa menimbulkan ketergantungan luar
negeri.

b. Hadirnya modal, tehnologi, dan keahlian manajemen luar negeri tersebut


diharapkan dapat membantu mempercepat pembangunan nasional dalam
bentuk pemberian lapangan kerja , peralihan tehnologi serta peningkatan
produksi pada umumnya”.

Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu

pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta

rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama

adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan

pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang

sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut

ditambah lagi dengan penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)

secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara-negara

Barat. Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF,

dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang

disebut Inter-Government Group on Indonesia (IGGI), yang terdiri atas sejumlah

Negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai

pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam waktu yang relatif pendek setelah


167
Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta : Universitas Indonesia Press., 1986), hal. 104.

Universitas Sumatera Utara


melakukan perubahan sistem politiknya secara drsatis, dari yang ‘pro’ menjadi ‘anti’

komunis, Indonesia bisa mendapat bantuan dana dari pihak Barat. Pada saat itu

memang Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang sangat anti komunis dan

sedang berusaha secara serius melakukan pembangunan ekonominya yang kelihatan

jelas di mata kelompok Negara Barat.

Dalam rangka mendukung tercapainya tujuan pengembangan agribisnis

kelapa sawit, dukungan kebijakan yang berasal dari sektor lain dan kebijakan

pemerintah daerah sangat diperlukan. Adapun beberapa dukungan yang diharapkan

dari instansi terkait lainnya adalah sebagai berikut 168 :

a. “Dukungan Sarana dan Prasarana


1) Pembangunan jalan-jalan penghubung, produksi, dan koleksi (usaha
tani) pada kebun-kebun kelapa sawit. Dukungan ini terutama
diharapkan dari Departemen PU/KIMPRASWIL dan Pemerintah
Daerah;
2) Penyediaan kebutuhan pupuk dan obat-obatan tepat waktu, jumlah
dan jenis. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen
Perindustrian, dan Kantor Menteri Negara BUMN;
3) Alat pengolahan di sentra produksi kelapa sawit yang mampu
mengefisiensikan biaya transportasi dan meningkatkan kualitas
produk. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen
Perindustrian dan Pemerintah Daerah;
4) Adanya dukungan ketersediaan terminal/pelabuhan agribisnis untuk
mendekatkan sentra produksi dengan pasar. Dukungan ini terutama
diharapkan dari Departemen Perhubungan, Kantor Menteri Negara
BUMN, dan Pemerintah Daerah;
5) Ketersediaan sumber energi kelistrikan di sentra-sentra produksi
kelapa sawit. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen
Energi dan Sumberdaya Mineral, Kantor Menteri Negara BUMN, dan
Pemerintah Daerah.

b. Kebutuhan Deregulasi dan Regulasi


1) Penurunan atau penghapusan pajak (pajak pertambahan nilai dan
pajak penghasilan) yang menjadi beban pelaku usaha di sektor

168
Didiek H. Goenadi, et.al., “Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit di
Indonesia”, (Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Juli 2005), hal. 36-37.

Universitas Sumatera Utara


perkebunan kelapa sawit. PPN yang dalam implementasinya menjadi
beban biaya yang ditanggung pengolah primer (CPO), pengekspor
dan pelaku industri pengolahan hilir (minyak goreng, oleokimia dan
lainnya) akan ditransmisikan melalui mekanisme harga ke pelaku di
bawahnya yang akhirnya bermuara menjadi beban ke petani.
Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen Keuangan;
2) Harmonisasi tarif, yaitu menerapkan tarif impor lebih tinggi untuk
produk-produk olahan kelapa sawit dan substitusinya. Dukungan ini
terutama diharapkan dari Departemen Keuangan dan Departemen
Perdagangan;
3) Insentif investasi terutama pada industri hilir kelapa sawit, seperti
biodiesel, berupa keringanan pajak (tax holiday), perpanjangan HGU,
kemudahan investasi terutama dalam hal perijinan, penghapusan
retribusi, dan pemberian subsidi (khusus untuk konsumen bio diesel).
Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen Keuangan,
Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Penanaman modal,
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Pemerintah
Daerah;
4) Dukungan dan fasilitas pendanaan dari pemerintah melalui skim
kredit khusus yang dapat dimanfaatkan pelaku agribisnis kelapa sawit
terutama petani. Dukungan ini terutama diharapkan dari Departemen
Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Negara Usaha Kecil,
Menengah dan Koperasi;
5) Dalam rangka pengembangan agribisnis kelapa sawit, dukungan dana
melalui pungutan ekspor, seperti cess masa lalu, perlu dihidupkan
kembali. Potensi nilai tambah dari pengembangan produk dapat
diaktualisasi dengan tersedianya dana untuk penelitian, perluasan,
peremajaan, dan kegiatan lainnya yang memadai. Pengaturan
pungutan dana cess ini berdasarkan Undang-Undang tentang
Pendapatan Negara Bukan Pajak. Dukungan ini terutama diharapkan
dari Departemen Keuangan;
6) Penciptaan pertumbuhan investasi yang kondusif melalui penciptaan
rasa aman dan kepastian hukum bagi para investor. Dukungan ini
terutama diharapkan dari Departemen yang menangani masalah
hukum, Kejaksaan Agung dan Kepolisian”.

3. Pertumbuhan Investasi sejak diundangkannya Undang-Undang No. 25


Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Pertumbuhan investasi setelah diundangkannya Undang-Undang No. 25

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang lahir pada tanggal 26 April 2007

Universitas Sumatera Utara


berusaha mengakomodir perkembangan zaman dimana peraturan sebelumnya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Jo. Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang

Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 Jo. Undang-

Undang No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dirasa sudah

tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Dalam Undang-Undang No. 25

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam

modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk

melakukan kegiatan usaha di Indonesia.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal berlaku bagi

penanaman modal di semua sektor wilayah Indonesia, dengan ketentuan hanya

terbatas pada penanaman modal langsung, dan tidak termasuk penanaman modal

tidak langsung atau portofolio sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 beserta

Penjelasannya. Pengaturan ini menyatakan bahwa penanam modal dalam negeri

adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik

Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan

modal dalam negeri. Penanam modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk

melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh

penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun

yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing

terkesan adanya upaya untuk menarik investor agar menanamkan modalnya di

Indonesia. Namun demikian, tanpa disadari bahwa kondisi tersebut akan menjadikan

Universitas Sumatera Utara


bangsa Indonesia bagaikan penjajahan baru. Disadari atau tidak, dengan fasilitas

yang diberikan kepada penanam modal asing menjadikan bangsa Indonesia bagaikan

pembantu di negaranya sendiri. Kenapa disebut sebagai pembantu di negaranya

sendiri, dikarenakan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

memberikan kemudahan-kemudahan kepada investor asing, antara lain 169 :

1. “Pengertian modal asing;


Pengertian penanaman modal asing pada undang-undang yang lama,
didefinisikan sebagai direct investment. Dalam Undang-Undang No. 25
Tahun 2007, modal asing tidak hanya diartikan direct investment, tetapi
juga meliputi pembelian saham (portofolio). Dengan demikian pintu
masuk penanaman modal asing lebih diperluas dalam Undang-Undang
No. 25 Tahun 2007.

2. Pihak investor;
Dalam pengaturan penanaman modal yang lama, hanya pihak asing yang
berbentuk badan hukum yang dapat melakukan penanaman modal asing
(Pasal 3 ayat 1), sedangkan pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
membuka kesempatan bagi Negara, Perseorangan, Badan Usaha, Badan
Hukum yang berasal dari luar negeri dapat menanamkan modalnya di
Indonesia.

3. Perlakuan yang sama terhadap investor;


Dalam undang-undang penanaman modal yang lama tidak ada frase
“perlakuan yang sama”. Perlakuan yang sama diberikan dan diatur dalam
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007. Pemerintah memberikan perlakuan
yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara
maupun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perlakuan sebagaimana
dimaksud tersebut tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara
yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.

4. Pelayanan satu pintu;


Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing
memberikan kemudahan pelayanan perizinan satu pintu kepada investor
asing. Dengan demikian terdapat kepastian hukum yang dalam
pengaturan penanaman modal yang lama tidak disebutkan.

169
Rahayu Hartini, “Analisis Yuridis UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal”,
Jurnal Humanity, Vol. IV, No. 1, September 2009, hal. 51.

Universitas Sumatera Utara


5. Perizinan dan kemudahan masuknya tenaga kerja asing;
Dalam undang-undang penanaman modal asing yang lama, tenaga kerja
asing tidak mudah untuk didatangkan. Tenaga kerja asing hanya boleh
didatangkan untuk mengisi jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga
kerja Indonesia. Sedangkan pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2007,
tenaga kerja asing lebih mudah masuk ke Indonesia. Memang tenaga
kerja Indonesia harus tetap diutamakan, namun, investor tetap
mempunyai hak untuk menggunakan tenaga kerja ahli Warga Negara
Asing untuk jabatan dan keahlian tertentu.

6. Pajak;
Pengaturan penanaman modal asing yang lama memberikan fasilitas
berupa keringanan pajak yaitu tax holiday bagi investor asing. Sedangkan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tidak hanya fasilitas pajak saja
namun juga fasilitas fiskal. Fiskal cakupannya lebih luas daripada pajak
karena pajak hanyalah bagian dari fiskal. Hal ini lebih menguntungkan
bagi investor asing.

7. Negative list; dan


Pengaturan penanaman modal yang lama memberikan batasan terhadap
usaha mana saja yang tidak dapat diberikan kepada investor asing,
sehingga jenis usaha yang diatur tersebut mutlak tidak dapat diberikan
kepada investor asing. Kelonggaran dapat ditemukan pada Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007, karena tidak mencantumkan jenis usaha
yang masuk ke dalam negative list. Negative list tersebut kemudian diatur
oleh pemerintah dengan Peraturan Presiden. Ini berarti jenis usaha yang
dapat diberikan kepada investor asing lebih fleksibel dan lebih terbuka.

8. Peranan daerah.
Kesempatan bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia juga terbuka lebih luas, karena dalam Undang-Undang No. 25
Tahun 2007, Pemerintah Daerah diberi otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman
modal berdasarkan asas otonomi dan tugas bantuan”.

Sebenarnya strategi untuk menarik investor ke Indonesia tidak perlu

mengobral semurah-murahnya kekayaan alam kepada investor asing. Apabila

dicermati dengan jernih dalam praktek, kurangnya minat investor asing untuk

menanamkan modalnya di Indonesia lebih cenderung disebabkan karena faktor

Universitas Sumatera Utara


birokrasi, faktor keamanan, dan faktor lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Adanya birokrasi yang membingungkan ditambah dengan aparat yang melakukan

kutipan liar dalam mengurus perizinan, sering terjadinya unjuk rasa di berbagai kota,

dan penyelesaian sengketa yang terlalu lama jika harus melalui pengadilan itulah

yang sesungguhnya yang perlu dibenahi. Apabila Undang-Undang No. 25 Tahun

2007 terus diberlakukan bukan hal yang mustahil dalam jangka panjang para investor

akan menguasai objek-objek vital perekonomian Indonesia sedangkan bangsa

Indonesia akan menjadi pengemis di rumahnya sendiri.

Beralih ke kelapa sawit, pelaku industri dan pemerintah harus belajar dan

menggunakan praktek-praktek yang berkelanjutan, pemerataan dan ramah

lingkungan. Semua perusahaan yang diberikan izin di Indonesia haruslah memiliki

sertifikasi ISPO, perusahaan yang sudah lebih dahulu mensertifikasikan RSPO

haruslah diberikan waktu untuk bergabung dengan ISPO. 170

Pembersihan lahan harus menghormati hak-hak hukum yang berlaku serta

“pembebasan dan persetujuan sebelumnya” dari pemilik lahan harus diperoleh

sebagai pertentangan dari kebiasaan yang selama ini dilakukan dengan cara

merambah dan merampas lahan. Perkebunan kelapa sawit harus dibangun di lahan-

lahan tidur. Jangan ada lagi hutan yang dikonversi untuk perkebunan. Metode

pembakaran tidak bisa dipergunakan untuk pembersihan lahan. 171

170
Ratna Keumala (Alih Bahasa), “Tanaman ‘Emas’? Kelapa Sawit Pasca Tsunami di Aceh”,
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Eye on Aceh, September 2007, hal. 6.
171
Ibid., hal. 6-7.

Universitas Sumatera Utara


Perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahannya harus mengurangi

penggunaan bahan-bahan kimia dengan pertumbuhan dan tahap pengolahan, dan

memastikan berjalannya petunjuk ramah lingkungan. Janjang harus dibuat menjadi

pupuk kompos untuk dipergunakan daripada dibakar. Perkebunan kelapa sawit dan

pengelola fasilitas pengolahan harus membayar upah pekerja sesuai dengan standar

dan kondisi, serta memberikan perlengkapan kenyamanan kerja bagi para pekerja.

Pemerintah lokal dan kelompok masyarakat sipil harus membangun kapasitas petani

perkebunan rakyat dalam membentuk koperasi dagang agar bisa menuntut harga dari

tandan buah segar yang adil, dan memastikan bahwa mereka tidak terlalu bergantung

pada perusahaan untuk membeli hasil panen mereka agar bisa diproses. 172

Kepemilikan fasilitas pabrik kelapa sawit mini bagi perkebunan rakyat yang

dikelola oleh koperasi petani harus didorong. Program pendidikan yang didukung

oleh pemerintah tentang bahaya dari penggunaan, tinggal berdekatan, dan memakan

berbagai jenis makanan yang mengandung pestisida dan herbisida, juga harus

dijadikan prioritas. 173

Unsur yang sangat penting dalam sistem hukum investasi adalah sinkronisasi

peraturan perundang-undangan. Untuk melaksanakan undang-undang secara

konsisten diperlukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan baik secara

horizontal maupun vertikal. Sinkron dengan ketentuan vertikal adalah peraturan

perundang-undangan yang diterbitkan tidak bertabrakan dengan peraturan

perundang-undangan lain yang sederajat. Salah satu faktor yang menjadi

172
Ibid., hal. 7.
173
Ibid., hal. 7.

Universitas Sumatera Utara


pertimbangan sebelum melakukan kegiatan penanaman modal adalah adanya

transparansi dan kepastian hukum. Bagi calon investor, adanya transparansi dalam

proses dan tata cara penanaman modal akan menciptakan suatu kepastian hukum

serta menjadikan segala sesuatunya menjadi mudah diperkirakan (predictable).

Sebaliknya, tidak adanya transparansi dan kepastian hukum akan membingungkan

calon investor yang sering kali mengakibatkan biaya yang cukup mahal. 174 Oleh

karena itu, Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2012 harus

berkepastian hukum dan dapat diprediksi. Pengaturan tentang pedoman ISPO

tersebut seharusnya dibuat dalam bentuk peraturan yang lebih tinggi lagi dari

Peraturan Menteri. Hal ini dikarenakan peraturan menteri dapat berubah-ubah seiring

dengan pergantian menteri.

B. Isu-Isu Lingkungan Dalam Bidang Usaha Perkebunan Kelapa Sawit

RSPO merupakan prakarsa berbagai pengambil keputusan di dunia mengenai

minyak sawit. Para anggota RSPO, dan para peserta dalam aktivitas-aktivitas RSPO

berasal dari berbagai latar belakang berbeda, yang meliputi perusahaan perkebunan,

pabrikan dan pengecer produk-produk minyak kelapa sawit, Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup dan LSM Sosial serta dari berbagai negara

penghasil atau pengguna minyak sawit. Tujuan utama RSPO adalah “untuk

meningkatkan pertumbuhan dan penggunaan minyak sawit yang berkelanjutan

melalui kerja sama dalam mata rantai pemasokan dan membuka dialog antara para

pengambil keputusannya”.
174
Ida Bagus Rahmadi Supancana, Op.cit., hal. 5.

Universitas Sumatera Utara


Tentunya menjadi pertanyaan mengapa palm oil (minyak sawit) menjadi

perhatian utama. Perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab utama pencemaran

air, tanah dan udara akibat penggunaan kimia, pertanian, pestisida, herbisida dan

pupuk kimia, lingkungan hidup, pembukaan dan konversi hutan, pengeringan dan

kanalisasi lahan dan hutan gambut. Pada 2006 Wetlands International dan Delft

Hidraulics meluncurkan sebuah laporan PEAT-CO2 di mana dalam satu dekade

(1997-2006) rata rata 1400 megaton emisi CO2 per tahun berasal dari pembakaran

dan drainase. Emisi karbon akan makin meningkat di masa yang akan datang bila

melihat sebaran perizinan dan rencana pembukaan kelapa sawit di seluruh

Kalimantan dan Sumatera, misalnya di Kalimantan Barat 706,379.06 Ha (tujuh ratus

enam ribu tiga ratus tujuh puluh sembilan koma nol enam hektare), Riau 792,618.08

Ha (tujuh ratus sembilan puluh dua ribu enam ratus delapan belas koma nol delapan

hektare) dan Kalimantan Tengah 239,388.93 Ha (dua ratus tiga puluh sembilan ribu

tiga ratus delapan puluh delapan koma sembilan puluh tiga hektare). Sementara itu,

di Provinsi Papua sudah diprediksikan lahan yang telah dialokasikan untuk

perkebunan sawit seluas 1,7 juta hektar (satu koma tujuh hektare). 175

Akibat emisi karbon semakin meningkat setiap tahunnya maka perusahaan

yang tidak mengindahkan RSPO, minyak sawit yang dihasilkan Pabrik Kelapa Sawit

(selanjutnya disebut PKS) tidak laku dijual di pasar Eropa. Tidak lakunya CPO

Indonesia di pasar Eropa merupakan suatu ketidakadilan. Tidak adilnya terlihat dari

berubahnya semangat awal adanya RSPO yang kini tidak lagi sebagai nilai tambah

175
Marcus Colchester, “Masyarakat Punya Hak Menerima dan Menolak Investor Kelapa
Sawit”, disampaikan pada Lokakarya Kelapa Sawit di Hotel Matoa, 16 September 2008.

Universitas Sumatera Utara


bagi harga jual CPO. Menurut Suswono, sebagai Menteri Pertanian, menyatakan

bahwa 176 :

“Kesepakatan dalam RSPO tidak fair bagi Indonesia, sebab perusahaan yang
sudah memiliki sertifikat RSPO tidak mendapatkan harga premium sesuai
kesepakatan awal. Untuk mendapatkan sertifikat RSPO biayanya tidak murah
sehingga menimbulkan high cost bagi CPO tapi ternyata tetap tidak
mendapatkan harga premium.

RSPO hanyalah sebuah indikasi dari persoalan politik dagang, apalagi


Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia dengan luas kebun CPO
7,9 juta hektar. Tahun 2009, Indonesia menghasilkan 18,6 juta ton CPO.
Karena itulah, Standar Perkebunan Sawit Indonesia yang Berkelanjutan
(Indonesia Sustainable Palm Oil – ISPO) yang direncanakan pada awal 2011
sudah bisa distandarisasikan supaya bisa diakui secara internasional”.

Walaupun Pemerintah menjamin untuk menetapkan standarisasi dari

Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) tapi tetap saja salah satu yang

menguntungkan adalah pasar Eropa. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi

adalah dengan menambah lahan. Tetapi hal ini sulit dilakukan karena kebanyakan

lahan perkebunan sulit untuk dibebaskan tanahnya. Cara lain adalah dengan

menggunakan RSPO. Keberlanjutan lingkungan adalah salah satu hal yang mutlak

perlu untuk dipertahankan daya dukung dan daya tampungnya. Dengan demikian

alasan-alasan kerentanan lingkungan dapat menjadi alasan penolakan investasi oleh

masyarakat lokal dan penolakan produk oleh masyarakat internasional. Oleh karena

itu, RSPO merupakan pilihan yang harus diambil oleh industri minyak sawit dewasa

ini. Dalam konteks ini RSPO bukan semata-mata sebagai “tameng” yang

melegitimasi ketaatan hukum dan kepedulian sosial dan lingkungan industri minyak

176
Majalah Tempo, “Persyaratan RSPO Dinilai Tak Adil Bagi Indonesia”, diterbitkan
Minggu, 14 November 2010.

Universitas Sumatera Utara


sawit, lebih dari itu RSPO memang patut untuk dipenuhi guna mensinergikan tujuan

ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan. Tidak ada salahnya untuk menerapkan

peraturan perundangan yang berlaku secara terus-menerus.

Meskipun tidak ada sanksi hukum bagi industri minyak sawit yang tidak

mengikuti RSPO, namun terpenuhinya prinsip-prinsip RSPO, dimana salah satunya

adalah pemenuhan peraturan perundangan, merupakan salah satu indikator bahwa

industri sawit yang mengikuti RSPO telah dikelola secara legal. Pemenuhan prinsip

dan kriteria RSPO penting bagi perusahaan untuk meminimalisir risiko pelanggaran

hukum dengan mengetahui secara dini potensi-potensi terjadi pelanggaran hukum

dari aktivitas produksi.

C. Perbandingan RSPO dan ISPO

Industri sawit telah menjadi rezim tersendiri semenjak booming komoditi ini

dalam dua dekade terakhir. Indonesia, bersama Malaysia, menjadi pusaran ekspansi

industri sawit dunia. Minyak sawit, tidak hanya untuk kebutuhan makanan,

komestik, hingga pakan ternak, tetapi diperkirakan sebagai kandidat utama energi

alternatif terbarukan, menggantikan energi fosil yang menipis. Mata dunia mengarah

ke Industri kelapa sawit karena signifikansinya dalam pertumbuhan ekonomi di satu

sisi, tetapi biaya sosial dan lingkungan yang harus dikorbankan untuk menopangnya

sangat besar di sisi lain. Kalangan pasar dan konsumen global merespon dengan

RSPO, dan pemerintah Indonesia merespon dengan membentuk ISPO. 177

177
Harian Analisa, “Saurlin Siagian : Menakar RSPO dan ISPO”, diterbitkan Senin, 04 Juni
2012.

Universitas Sumatera Utara


RSPO diimplementasikan oleh perusahaan perkebunan secara mandatory

bukan voluntary. Namun, sertifikasi RSPO diperlukan guna menunjang

pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, begitu juga dengan ISPO.

ISPO memiliki sanksi penurunan kelas kebun apabila tidak diimplementasikan. 178

Selain perbedaan pada prinsip penerapannya, RSPO dan ISPO memiliki

perbandingan-perbandingan lain, sebagai berikut :

Tabel 5.
Perbandingan RSPO dan ISPO

RSPO ISPO
Standar yang disusun oleh asosiasi nirlaba pemangku Standar yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian
kepentingan terkait kelapa sawit atas desakan konsumen No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011
Uni Eropa. Di luar Uni Eropa, belum ada tuntutan yang diterbitkan dalam rangka pemenuhan sustainability
konsumen untuk menerapkan sustainability seperti RSPO. sebagai amanah UUD 1945.
Tidak ada prasyarat bagi perusahaan perkebunan kelapa Ada prasyarat yakni penilaian usaha perkebunan (Kelas I,
sawit untuk sertifikasi RSPO. Kelas II, dan Kelas III) hanya yang dapat mengajukan
permohonan sertifikasi ISPO.
RSPO memiliki 8 prinsip, 39 kriteria, dan 139 indikator ISPO memiliki 7 prinsip, 41 kriteria, dan 126 indikator.
(65 indikator mayor dan 74 indikator minor). Tidak ada indikator mayor dan minor, karena seluruh
indikator merupakan hal-hal yang diminta peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia sehingga bersifat
wajib dipenuhi.

Sumber : Data Sekunder yang diolah, terdiri dari : 1) RSPO, “Prinsip dan Kriteria RSPO Untuk
Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan”, Dokumen Panduan, Naskah Final untuk
Kelompok Kerja Kriteria RSPO, Maret 2006; 2) dan Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

RSPO dan ISPO memiliki perbedaan mendasar, sertifikasi RSPO merupakan

tuntutan dan keinginan konsumen negara maju sehingga korporasi secara sukarela

(voluntary) mengubah cara produksi komoditinya, sementara sertifikasi ISPO adalah

kewajiban (mandatory) bagi produsen sawit oleh pemerintah Indonesia. Ditinjau dari

segi bangunan organisasi, ISPO harus banyak belajar dari RSPO, meski tentunya
178
Pasal 4 Jo. Pasal 3, Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang
Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, menyatakan bahwa : “Perusahaan
Perkebunan Kelapa Sawit Kelas I, Kelas II, atau Kelas III sampai dengan batas waktu 31 Desember
2014 belum mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat ISPO, dikenakan sanksi
penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV”.

Universitas Sumatera Utara


sekedear meng-copy bangunannya. RSPO telah melalui diskusi panjang membangun

prinsip, kriteria dan indikator, serta mekanisme kelembagaan, keterlibatan para

pihak, akuntabilitas, hingga penyelesaian konflik. ISPO masih belum menunjukkan

bangunan organisasinya hingga saat ini. Cara paling awam untuk mengetahui

perkembangan ISPO adalah dengan mengunjungi halaman website-nya yang tidak

menunjukkan perkembangan yang berarti.

Persamaan RSPO dan ISPO adalah sama-sama berbicara mengenai

pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Selain itu, badan ini juga

sama-sama membutuhkan auditor mahal yang membebani produsen kelapa sawit.

Tercatat bahwa auditor masing-masing organisasi juga tumpang tindih. Auditor

semacam Sucofindo, TUV, dan SAI Global adalah auditor yang dipakai oleh ISPO

yang sudah lebih dulu minta oleh RSPO untuk mengaudit anggota-anggotanya yang

ingin mendapatkan sertifikat sawit berkelanjutan di Indonesia.

Di atas kertas, institusi, sistem, dan regulasi meningkat, tetapi bagaimana

praktek di lapangan. Setiap tahun, termasuk di tahun jeda ekspansi sawit ini (2011

dan 2012), fakta menunjukkan laju pengrusakan hutan tidak pernah berhenti. Hingga

Juni 2011, ekspansi sawit sudah mencapai 11,5 juta hektar, meroket dari sekitar 7,5

juta tahun 2009. 179

179

DatajumlahkonflikakibatoperasiperkebunankelapasawitinidiolahdaridatabasekonflikSawitWatch,sebu
ahjaringanorganisasinon-
pemerintahdanindividu,didirikantahun1998,yangprihatindenganmakinmeluasnyadampakpembanguna
nperkebunankelapasawitterhadapketidakadilansosialdanpenurunankualitaslingkunganhidupdiIndonesi
a.KegiatanutamaSawitWatchadalahmelakukaninvestigasikasusdanrisetkebijakan;memantaukebijakan,
programdankeuangannasionaldaninternasionalpadasektorkelapasawit;kampanyepenyadaranpublik;fasi
litasidanpendampinganmasyarakat. Lihat : Andiko dan Norman Jiwab, Panduan Dasar Bagi Aktifis

Universitas Sumatera Utara


Komunitas lokal tergusur karena pencaplokan tanah untuk perkebunan sawit,

menimbulkan peningkatan konflik agraria di seantero nusantara. 180 Tahun 2007

konflik yang berkaitan dengan perkebunan sawit tercatat 514 kasus (lima ratus empat

belas kasus), bandingkan dengan jumlah konflik tahun 2010 yang meningkat menjadi

633 kasus (enam ratus tiga puluh tiga kasus). 181 Dari sekitar 4 juta (empat juta) buruh

kebun sawit skala besar, hanya sepertiga yang berstatus buruh tetap, selebihnya

adalah buruh harian lepas, dan kernet yang tidak terdokumentasi, tidak digaji layak,

serta bekerja dengan basis target. 182

Pada akhirnya, secanggih apapun organisasi, sistem dan mekanisme yang

dibangun RSPO dan ISPO, baik domestik maupun internasional, masih sulit

menaruh kepercayaan, ketika hutan masih terus dicederai, hak-hak buruh kebun dan

masyarakat lokal masih termarjinalkan. Tidak lupa, proyek Dinas Pertanian bernama

ISPO ini, tidak menjadi korupsi baru di negeri ini. 183

D. Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Merupakan


Alasan Kewajiban Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)

Apabila diperhatikan Bagian Menimbang Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

dan Masyarakat : Memahami dan Memantau Pelaksanaan Peraturan dan Hukum oleh Perusahaan
Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, (Bogor : Sawit Watch, Januari 2012), hal. 1.
180
Achmad Sodiki, “Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha Untuk Sebesar-
Besar Kemakmuran Rakyat”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema
Penanganan dan Penyelesaian Konflik Agraria sebagai Kewajiban Konstitusi, yang diselenggarakan
oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta, 13 Maret 2012, hal. 7.
181
Ibid.
182
Website Resmi Kementerian BUMN, “Saurlin Siagian : Rejim Minyak Sawit, Menakar
RSPO dan ISPO”, http://www.bumn.go.id/ptpn8/galeri/artikel/rejim-minyak-sawit-menakar-rspo-dan-
ispo/., diakses pada 18 Oktober 2012.
183
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) maka dapat

dilihat frase “…pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sebagai bagian

dari pembangunan ekonomi…”. Pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai

upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan

ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan

hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa

kini dan generasi masa depan.

Dalam peraturan perundang-undangan jelas dapat dilihat bahwa sertifikasi

ISPO adalah demi pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tetapi

apabila ditanyakan kepada setiap perusahaan perkebunan maka dapat diketahui

bahwa alasan perusahaan perkebunan tersebut adalah dikarenakan agar kelas

kebunnya tidak diturunkan. Adanya sanksi tersebut menyebabkan perusahaan

perkebunan mengimplementasikan sertifikasi ISPO, bukan didasarkan kepada

kesadaran perusahaan perkebunan itu sendiri. 184

Dalam hal pelaksanaan Good Corporate Governance(GCG) pada perusahaan

perkebunan secara tidak langsung juga mencerminkan untuk melaksanakan ISPO.

Karena prinsip-prinsip GCG, antara lain 185 :

1. “Transparansi (transparancy) merupakan hal penting dilakukan, sehingga


semua pihak berkepentingan mengetahui apa yang telah dan akan terjadi.
Laporan tahunan perusahaan harus memuat berbagai informasi yang
diperlukan. Demikian pula dengan perusahaan go public. Persyaratan untuk

184
Harian Investor Daily, “Sejumlah Perusahaan Kantongi ISPO”, diterbitkan Rabu, 28
Desember 2011.
185
Johny Sudharmono, Be G2C Good Governed Company : Panduan Praktis Bagi BUMN
Untuk Menjadi G2C – Good Governed Company dan Mengelolanya Berdasarkan Suara Hati,
(Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004), hal. 50.

Universitas Sumatera Utara


ini antara lain disusun oleh Komite Nasional Bagi Pengelola Perusahaan yang
Baik (KNPPB);

2. Keadilan (fairness) dipersyaratkan adanya perlindungan untuk hak minoritas.


Perlakuan yang sama dan adil pada semua pemegang saham, melarang
kecurangan insider trading, dan lain-lain. KNPPB mensyaratkan minimal
20% (dua puluh persen) direksi berasal dari luar yang tidak ada hubungan
dengan pemegang saham dan direksi;

3. Akuntabilitas (accountability) ada pengawasan yang efektif berdasarkan


keseimbangan kekuasaan antara pemegang saham, komisaris, dan direksi.
Ada pertanggung-jawaban dari komisaris dan direksi, serta ada perlindungan
hukum untuk karir karyawan. Perlu ditetapkan beberapa kali rapat dalam
kurun waktu tertentu, serta berbagai sistem pengawasan yang lain;

4. Tanggung jawab (responsibility), perlu dipastikan adanya kepatuhan


perusahaan pada peraturan dan undang-undang yang berlaku. Misalnya dalam
Perseroan Terbatas yang sudah terbuka perlu adanya sekretaris perusahaan.
Ada lagi yang menambahkan asas disiplin, independensi, dan social-
awareness, check and balances, dan social involvement;

5. Etika kerja. GCG lebih banyak mengatur komisaris dan direksi, namun
prinsip-prinsip GCG harus diangkat menjadi etika kerja perusahaan.
Diperlukan penerapan prinsip-prinsip GCG dalam perilaku kerja karyawan
perusahaan”.

Tujuan akhir dari penerapan GCG ini adalah untuk pematuhan peraturan

perundang-undangan bagi perusahaan perkebunan dan untuk meningkatkan

kesejahteraan semua pihak yang berhubungan dengan stakeholders. Apabila

perusahaan perkebunan kelapa sawit menerapkan GCG secara tidak langsung, maka

perusahaan tersebut berkewajiban pula untuk menerapkan ISPO dalam rangka

melakukan compliance terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam

bidang perkebunan kelapa sawit. Termasuk di dalamnya adalah Peraturan Menteri

Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2012 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

Universitas Sumatera Utara


E. ISPO Sebagai Upaya Dalam Mendukung Pertumbuhan Investasi di
Indonesia

Walaupun RSPO sudah ada terlebih dahulu, tetapi tujuan ISPO yang dibuat

Pemerintah adalah agar regulasi ini dapat mendukung pertumbuhan investasi di

Indonesiayang akan menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa Indonesia lebih

mengedepankan isu-isu lingkungan. Pemerintah telah menetapkan aturan bahwa

sertifikasi ISPO wajib hukumnya bagi semua perusahaan perkebunan sawit di

Indonesia. ISPO merupakan tuntutan pengembangan kelapa sawit berkelanjutan yang

didasarkan pada peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia, dan

berpartisipasi dalam mitigasi emisi gas rumah kaca, termasuk juga untuk merespon

tuntutan pasar global. 186

Meski ISPO wajib bagi semua perusahaan dan pengusaha perkebunan sawit,

akan tetapi, terdapat sejumlah prasyarat penting yang wajib diikuti oleh perusahaan

perkebunan agar memperoleh sertifikasi ISPO. Persyaratan dimaksud di antaranya

diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, khususnya

Pasal 17 ayat (1), menyatakan bahwa : “Setiap pelaku usaha budidaya perkebunan

dengan luasan tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan

kapasitas tertentu, wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP). Kemudian juga

harus memenuhi Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007

tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

186
Majalah Tropis, “Cara Praktis Kantongi ISPO”, http://majalahtropis.com/palm-oil/palm-
oil1., diakses pada 10 Desember 2012.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya ketentuan tersebut harus pula sejalan dimana setiap 3 (tiga) tahun

sekali, kebun dinilai lagi untuk mendapatkan kelas kebun. Penilaian kebun ini

meliputi aspek legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial, ekonomi

wilayah, lingkungan serta pelaporan terakhir. Dengan mengacu pada ketentuan di

atas, maka jelas bila perusahaan perkebunan belum memperoleh kelas kebun, jelas

pula belum bisa disertifikasi. Penilaian kebun sebagai prasyarat mendapatkan ISPO

dilakukan oleh petugas penilai yang berasal dari PNS dan bersertifikasi. Perusahaan

perkebunan yang layak diklarifikasi mempunyai kebun Kelas 1, untuk penilaian baik

sekali, Kelas 2 baik, dan Kelas 3 sedang. Ada pula Kelas 4 artinya kurang dan Kelas

5 kurang sekali. Untuk katergori Kelas 1, Kelas 2, dan Kelas 3 dapat mengajukan

permohonan untuk dilakukan audit agar dapat diterbitkan sertifikat ISPO.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya pertumbuhan investasi yang

kondusif, antara lain 187 :

1. “Faktor Suku Bunga Pinjaman;


Tingkat suku bunga pinjaman yang rendah, kompetitif dan stabil akan
menarik minat investor untuk melakukan eskpansi atau pembukaan usaha
baru karena terjadi pengurangan beban bunga. Dalam hal ini,
BI rate dijadikan sebagai suku bunga acuan bagi penetapan suku bunga
simpanan dan pinjaman. Tingkat suku bunga Bank Indonesia yang rendah
akan berimbas pada rendahnya suku bunga kredit karena suku bunga
simpanan sebagai basis sumber dana perbankan juga akan berada pada
posisi yang lebih rendah.

2. Faktor Tingkat Pendapatan;


Tingginya tingkat pendapatan per kapita mencerminkan tingginya
kemampuan atau daya beli masyarakat.Pertumbuhan pendapatan

187
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Faktor Kunci Meningkatnya Investasi di
Indonesia”, Asisten Bidang Ekonomi Makro, Keuangan dan Ketahanan Pangan, diterbitkan Kamis, 06
Desember 2012.

Universitas Sumatera Utara


masyarakat memberikan daya tarik yang cukup besar bagi para investor
karena menunjukkan tingginya daya beli masyarakat.

3. Faktor Pertumbuhan dan Ukuran Kelas Menengah;


Salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap keputusan investasi
adalah ukuran pasar domestik direpresentasikan oleh jumlah kelompok
kelas menengah.Kelompok kelas menengah yang terus tumbuh
menjanjikan pasar yang cukup besar sehingga menarik minat para
investor untuk melakukan ekspansi atau membuka usaha baru.

4. Faktor tingkat inflasi yang rendah dan stabil;


Inflasi yang tinggi dan fluktuatif mengambarkan ketidakstabilan dan
kegagalan pengendalian kebijakan makro ekonomi. Tingkat inflasi yang
tinggi dan fluktuatif membuat investor dihadapkan pada situasi
ketidakpastian usaha yang memicu peningkatan resiko proyek dalam
investasi.

5. Faktor Regulasi Pemerintah.


Pertumbuhan investasi yang kondusif memerlukan peran serta
pemerintah, tidak hanya melalui pengendalian indikator ekonomi makro
namun juga melalui peraturan perundangan berupa insentif fiscal dan non
fiskal. Salah satu peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah untuk
menarik investasi adalah PP 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau
Daerah Tertentu. Melalui peraturan ini, Pemerintah memberikan insentif
fiskal berupa fasilitas pajak penghasilan badan yang meliputi:
(1) Tambahan pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah
Penanaman Modal;
(2) Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
(3) Pengurangan tarif Pajak Penghasilan atas penghasilan dividen yang
dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri;
(4) Perpanjangan masa kompensasi kerugian”.

Dalam mengembangkan sektor perkebunan, Pemerintah telah mencanangkan

Visi Perkebunan 2020, yaitu “Komoditi Pangan Perkebunan Sebagai Sumber

Universitas Sumatera Utara


Kesejahteraan dan Kemakmuran Bangsa”. Dimana Pemerintah akan melakukan 8

(delapan) kegiatan utama, yaitu 188 :

1) “Revitalisasi Perkebunan;
2) Intensifikasi Tanaman Perkebunan Rakyat;
3) Dukungan Penyediaan Lahan;
4) Dukungan Penyediaan Benih Unggul;
5) Dukungan Infrastruktur;
6) Pengembangan Riset dan Pengembangan;
7) Penyediaan Pembiayaan; dan
8) Meningkatkan Penerapan Pembangunan Berkelanjutan”.

Terkait dengan Visi Perkebunan 2020 tersebut, pemerintah dalam sektor

industri perkebunan kelapa sawit telah melakukan upaya demi terwujudnya salah

satu visi perkebunan tersebut yaitu dengan memberlakukan Peraturan Menteri

Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/ 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). Peraturan

ini diharapkan menjadi jawaban atas keraguan pasar dunia atas produk kelapa sawit

Indonesia bahwa produk kelapa sawit Indonesia juga memperhatikan kaidah-kaidah

pelestarian lingkungan hidup.

ISPO berkaitan dengan pertumbuhan investasi dikarenakan selama bertahun-

tahun, sektor perkebunan telah memainkan peranan penting dalam perekonomian

Indonesia dan merupakan salah satu sektor andalan dalam menghasilkan devisa dan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara berkembang, dimana

pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan merupakan masalah yang

mendesak, sub-sektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan.

188
“Seminar ISPO 2011 – Kelangsungan Industri Perkebunan Pasca Diberlakukannya
Permentan No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia”,
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


Dari komoditas kelapa sawit saja, Negara telah memperoleh pendapatan dari

Pungutan Ekspor CPO sebesar US$. 12,4 miliar dan memberikan lapangan kerja

sekitar 3,5 juta kepala keluarga mulai dari on-farm sampai off-farm. 189

Sejalan dengan kajian terhadap pertumbuhan investasi Perusahaan

perkebunan kelapa sawit di Indonesia, secara spesifik Peraturan Menteri Pertanian

No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 juga harus dianggap mampu mendukung investasi

yang dilakukan PT. Rea Kaltim Plantation. Kajian ini dapat dilihat dengan penerapan

berupa KeyPerformance Indicator (KPI) oleh PT. Rea Kaltim Plantation, yang

berpatokan pada 4 (empat) prinsip utama dalam mengukur pertumbuhan

investasinya, yaitu antara lain 190 :

1. “Pencapaian Produksi Tandan Buah Segar (TBS);


2. Penjualan Crude Palm Oil (CPO);
3. Kualitas TBS yang didasarkan:
- Tingginya OER (Oil Extraction Rate)
- Rendahnya FFA (Fruit Fatty Acid)
4. Regulation Compliance”.

Untuk melihat penerapan ISPO pada PT Rea Kaltim Plantation melalui KPI

dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 6.
Pasca Implementasi Sertifikasi ISPO pada PT. Rea Kaltim Plantation Berdasarkan KPI
Mature CPO
FFB Production YPH Oil / Hectare OER FFA
Year Hectare Production
(mt) (mt) (mt/ha) (%) (%)
(HA) (mt)
2009 14,303.43 272,990.30 19.09 65,374.15 4.57 24.00 2.91

189
“Seminar ISPO 2011 – Kelangsungan Industri Perkebunan Pasca Diberlakukannya
Permentan No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia”,
diselenggarakan di Grand Aston Cityhall Medan – Sumatera Utara oleh Pusat Informasi Training dan
Informasi Seminar serta Inhouse Training Indonesia pada tanggal 28-29 September 2011.
190
Wawancara dengan Maharlika Wiedhayaka sebagai Corporate Secretary PT. Rea Kaltim
Plantation pada 19Januari 2013.

Universitas Sumatera Utara


2010 14,303.43 262,238.72 18.33 59,528.19 4.16 22.70 3.07
2011 14,245.81 264,482.15 18.57 61,862.37 4.34 23.39 3.37
Actual
14,229.31 315,000.00 22.14 74,812.50 5.26 23.75 2.91
2012
Keterangan :
Mature Hectare : Luas Areal pada 1 (satu) anak Perusahaan
FFB Produksi : Produksi Fresh Fruit Bunch (Tandan Buah Segar)
YPH : Yield Per Hectar (TBS yang dihasilkan dalam metric Ton)
CPO Production : Produksi CPO
Oil/ Ha : CPO Metrik Ton/ Hektar
OER : Ekstraksi Minyak (semakin tinggi, semakin baik)
FFA : Free Fatty Acid (Tingkat Keasaman Minyaksemakin rendah semakin baik)
Sumber : Data Sekunder dari PT. Rea Kaltim.

Indikator ke-4 (empat) yang mengharuskan mengenai pemenuhan terhadap

ketentuan hukum juga dapat dilihat dari dikategorikannya PT. Rea Kaltim Plantation

sebagai perkebunan kelapa sawit kelas I (satu) pada tahun 2012 oleh Dinas

Perkebunan Kabupaten Kutai Kartanegara. Lihat saja pada tabel di atas bahwa luas

areal perkebunan kelapa sawit PT. Rea Kaltim Plantation berkurang beberapa hektar

namun, penghasilan TBS-nya meningkat dari 264 (dua ratus enam puluh empat) ton

menjadi 315 (tiga ratus lima belas) ton. Dengan demikian CPO yang dihasilkan juga

meningkat dari 61 (enam puluh satu) ton menjadi 74 (tujuh puluh empat) ton. Hal ini

menjadi salah satu indikator yang secara langsung memberikan pemahaman bahwa

PT. Rea Kaltim Plantation telah memenuhi ketentuan perundang-undangan

khususnya peraturan mengenai perkebunan kelapa sawit sehingga secara tidak

langsung dapat meningkatkan produksi TBS untuk dijadikan CPO.

Dari keempat indikator tersebut, dapat dilihat adanya peningkatan kwalitas,

peningkatan efektifitas produk CPO, serta secara internal peningkatan kesadaran

terhadap regulasi dan ketentuan perundang-undangan yang telah dialami oleh PT

Universitas Sumatera Utara


Rea Kaltim Plantation sejak implementasi sertifikasi ISPO pada tahun 2011. Jika

dilihat lebih spesifik lagi, ke-4 (empat) poin tersebut secara signifikan mampu

meningkatkanperformance Perusahaan yang secara langsung juga mampu

meningkatkan investasi dan pendapatan Perusahaan

Tabel 7.
Perkembangan Investasi Perkebunan Sawit Indonesia Pra dan Pasca Implementasi ISPO
ISPO
PRA PASCA
Tidak dikenalnya klasifikasi Kelas Kebun. Klasifikasi Kelas Kebun telah dikenal.
Kepastian hukum bidang perkebunan belum terwujud. Perwujudan kepastian hukum dibentuk melalui penerapan
ISPO yang banyak mengakomodir peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dengan tidak terwujudnya kepastian hukum investor Investor mulai melirik pasar perkebunan kelapa sawit di
enggan untuk masuk ke Indonesia. Indonesia.

Sumber : Data Sekunder yang diolah, terdiri dari : 1) RSPO, “Prinsip dan Kriteria RSPO Untuk
Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan”, Dokumen Panduan, Naskah Final untuk
Kelompok Kerja Kriteria RSPO, Maret 2006; 2) dan Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO); dan 3) bahan-bahan hukum yang
berkaitan.

Untuk melihat perkembangan investasi perkebunan kelapa sawit sebelum

(pra) dan sesudah (pasca) diimplementasikannya ISPO perlu melihat dalam rentang

waktu 5 (lima) tahun agar didapat penelitian yang objektif. Namun, disini dalam hal

ISPO belum diterapkan secara maksimal, perkembangan investasi perkebunan kelapa

sawit Indonesia sebelum diimplementasikan ISPO, antara lain : tidak dikenalnya

klasifikasi Kelas Kebun; kepastian hukum bidang perkebunan belum terwujud; dan

dengan demikian apabila tidak terwujud kepastian hukum maka investor-pun akan

enggan untuk masuk ke Indonesia. Tetapi sebaliknya, apabila ISPO sudah diterapkan

secara maksimal dan sudah diberlakukan klasifikasi Kelas Kebun, maka kepastian

hukum akan tercipta. Dengan terciptanya kepastian hukum juga akan mengundang

investor untuk masuk ke pasar Perkebunan Kelapa Sawit.

Universitas Sumatera Utara


Dikarenakan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011

baru diundangkan pada tanggal 29 Maret 2011 dan baru diberlakukan intensif pada

tanggal 31 Desember 2014, maka sulit sekali untuk melihat perkembangan investasi

perkebunan kelapa sawit Indonesia pra dan pasca implementasi ISPO.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

SERTIFIKASI ISPO DI PT. REA KALTIM PLANTATION DALAM


RANGKA MENINGKATKAN INVESTASI DI INDONESIA

Pengembangan kelapa sawit yang dilakukan di Indonesia dilakukan dengan

menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai dengan

berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan

pengembangan kelapa sawit. Sebagai guidance untuk melaksanakan dan melakukan

penilaian tentang pembangunan kelapa sawit di Indonesia disusun Sistem Minyak

Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).

ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam hal ini

Kementerian Pertanian yang bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit

Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen

Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi

perhatian terhadap lingkungan.

Dengan adanya ketetapan ISPO, hal ini bertujuan untuk meningkatkan

kepedulian pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan serta meningkatkan

tingkat daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia. Hal ini dikarenakan

147
Universitas Sumatera Utara
ISPO didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia, maka ketentuan ini merupakan mandatory atau kewajiban yang harus

dilaksanakan bagi perusahaan perkebunan di Indonesia. Pemerintah membuat aturan

ini agar perkebunan kelapa sawit patuh terhadap kaidah-kaidah terkait dengan

keberlangsungan lingkungan hidup. Pada aturan tersebut, Pemerintah juga

menyiapkan sanksi jika perusahaan sawit tidak memenuhi ISPO. Ancaman terberat

adalah pencabutan izin usaha.

Sebelum mengajukan sertifikasi, perlu melakukan pembenahan di internal

perusahaan. Langkah-langkah yang dapat digunakan adalah 191 :

1. “Melakukan pelatihan pemahaman prinsip dan kriteria ISPO kepada beberapa


staf yang dipersiapkan sebagai Tim Internal;
2. Para personel yang terlatih melakukan analisa kesenjangan (gap analysis)
untuk menguji tingkat pemenuhan perusahaan terhadap ISPO pada tahap
awal;
3. Perusahaan melakukan perbaikan berdasarkan prioritas yang ditetapkan;
4. Setelah perbaikan dianggap sudah memenuhi, perusahaan mengajukan
sertifikasi kepada badan sertifikasi pilihannya”.

Ruang lingkup yang disertifikasi adalah kebun sendiri dan Pabrik Kelapa

Sawit (PKS), perusahaan berkewajiban mensosialisasikan ISPO kepada para

pemasok TBS dari perkebunan lain jika menerima TBS selain kebun sendiri. Masa

sertifikat ISPO berlaku selama 5 (lima) tahun sebelum dilakukan penilaian ulang (re-

assesment) dan sekali dalam setahun dilakukan audit pengawasan (survailance).

Akhirnya, yang menjadi kunci utama sukses implementasi ISPO ini adalah

komitmen pemilik/top manajemen perkebunan. Strategi tersebut di atas hanya bisa

191
Harian Medan Bisnis, “Pengelolaan Kelapa Sawit Berpedoman ISPO”, diterbitkan Selasa,
17 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara


berjalan efektif jika pemilik/top manajemen mempunyai komitmen penuh untuk

memenuhi ISPO. Maka ke depan dengan bangga dapat dikatakan kepada dunia

bahwa semua minyak sawit Indonesia adalah minyak sawit lestari, perkebunan

minyak sawit yang dikelola dengan mematuhi hukum, melaksanakan praktek

perkebunan terbaik serta memperhatikan lingkungan dan sosial. Ujian sesungguhnya

program ini tetap pada penerimaan (market acceptance), beberapa tahun ke depan

akan dilihat respon konsumen terhadap konsep pengelolaan kelapa sawit

berkelanjutan yang diprakarsai Indonesia ini. 192

Implementasi ISPO pada perusahaan perkebunan diwajibkan berdasarkan

Pasal 3 Jo. Pasal 4 Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011

tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian

Sustainable Palm Oil – ISPO), yang menyatakan bahwa : “Perusahaan Perkebunan

Kelapa Sawit Kelas I, Kelas II, atau Kelas III sampai dengan batas waktu 31

Desember 2014 belum mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat ISPO,

dikenakan sanksi penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV”.

Peraturan yang mewajibkan tersebut di atas adalah harus dipatuhi bagi setiap

perusahaan perkebunan kelapa sawit. Tidak terkecuali bagi perusahaan perkebunan

kelapa sawit yang sudah mendapatkan sertifikasi RSPO. ISPO memuaskan

pemerintah Indonesia, yang pada prinsip dan kriterianya dapat mentransfer

kewajiban-kewajiban hukum pemerintah menjadi kewajiban swasta.

192
Harian Medan Bisnis, “Henry Marpaung : Pengelolaan Kelapa Sawit Berpedoman ISPO”,
Op.cit.

Universitas Sumatera Utara


A. PT. Rea Kaltim Plantation Telah Mempunyai Sertifikasi RSPO

PT. Rea Kaltim Plantation adalah sebuah perusahaan perkebunan kelapa

sawit dan pengolahannya yang terletak di Kalimantan Timur, didirikan pada bulan

Februari 1993. PT. Rea Kaltim Plantation merupakan perusahaan penghasil CPO dan

Palm Kernel (PK) memiliki 6 (enam) sub-wilayah kebun dan 2 (dua) pabrik

pengolahan kelapa sawit. Program kemitraan pengelolaan kebun kelapa sawit inti-

plasma dalam satu atap telah dikembangkan oleh perusahaan untuk mensejahterakan

masyarakat di sekitar kebun perusahaan. Program kemitraan pengelolaan kebun

kelapa sawit inti-plasma dalam satu atap tersebut dilakukan dengan bekerjasama

dengan koperasi-koperasi yang beranggotakan para petani plasma di desa sekitar

kebun. Perusahaan dan kegiatan administrasi koperasi-koperasi tersebut dilakukan

oleh para pengurus koperasi yang telah mendapatkan pelatihan dari perusahaan.

Bahan baku pabrik pengolahan kelapa sawit berasal dari 6 (enam) sub-wilayah kebun

dan Program Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), suatu program

pengembangan masyarakat yang dikembangkan oleh perusahaan. 193

Bagi PT. Rea Kaltim Plantation yang sudah mendapatkan sertifikasi RSPO

pada tanggal 08 Juli 2011 juga wajib untuk mengimplementasikan ISPO. Untuk

implementasi ISPO dibutuhkan dana yang tidak sedikit, padahal kebanyakan

indikatornya mirip dengan RSPO. Oleh karena itu, PT. Rea Kaltim Plantation telah

mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku dan sesuai dengan prinsip dan kriteria

RSPO juga.

193
Surat Control Union Certification perihal Proses Konsultasi dengan Stakeholder PT. Rea
Kaltim Plantation Berdasarkan Interpretasi Nasional Indonesia RSPO P&C tanggal 21 Januari 2011.

Universitas Sumatera Utara


Pada tahun 2011 – 2012, PT. Rea Kaltim Plantation dimasukkan dalam tahap

sosialisasi dan uji coba terhadap ISPO bersama-sama dengan 10-25 perusahaan

diantaranya : PT. Perkebunan Nusantara XIII (Persero), PT. Perkebunan Nusantara

III (Persero), SMART, Padangan Halaban, PT. Perkebunan Nusantara V (Persero),

Ivomas Tunggal, PT. Perkebunan Nusantara VI (Persero), Sime Indo Agro, Sumber

Indah Perkasa (smart), Gunung Sejahtera (smart), Agricinal Am Plantation (Wilmar),

Sari Adhrtya Loka (Asian Agro Lestari), Aek Tarum (Sampoerna), dan lain

sebagainya. 194

Sekarang ini, PT. Rea Kaltim Plantation sering dihubungi oleh Komisi

Penilai Perkebunan ISPO untuk mengikuti sosialisasi dan pelatihan dalam

mengimplementasi ISPO. Maka oleh karena itu, PT. Rea Kaltim Plantation mengutus

perwakilannya untuk mengikuti sosialisasi dan pelatihan tersebut. Karena apabila hal

ini tidak diikuti maka akan menjadi permasalahan di kemudian hari dalam

mengimplementasikan ISPO. Menurut Maharlika Wiedhayaka sebagai Corporate

Secretary PT. Rea Kaltim Plantation, menyatakan bahwa : “Apabila ditilik lebih

dalam lagi, ISPO adalah salah satu kutipan pemerintah yang harus diderita oleh

sektor swasta”. 195

Alasan ISPO dikatakan sebagai kutipan pemerintah yang dilegalisasi adalah

dikarenakan untuk menerapkan sertifikasi ISPO diperlukan biaya yang tidak sedikit.

Sementara itu, ada juga pengaturan sertifikasi RSPO yang kebanyakan indikatornya

194
Hendra Septiawan, “ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil)”,
http://hends86.wordpress.com/category/palm-oil/., diakses pada 21 Oktober 2012.
195
Wawancara dengan Maharlika Wiedhayaka sebagai Corporate Secretary PT. Rea Kaltim
Plantation pada 05 November 2012.

Universitas Sumatera Utara


sama dengan indikator ISPO. Jelas disini, ISPO adalah percontohan dari RSPO.

Terkait dengan RSPO yang sudah ada lebih dahulu, ISPO mirip dengan aturan RSPO

tetapi terdapat perbedaan dimana ISPO merupakan mandatory (kewajiban) yang

harus dijalankan pelaku usaha, sedangkan RSPO bersifat sukarela (voluntary) yang

tidak wajib diikuti pelaku usaha perkebunan dan petani sawit di Indonesia. Namun,

hal ini menjadi acuan bagi ekspor-impor sawit dunia. ISPO tetap mengacu kepada

RSPO namun menyesuaikan dengan keadaan geografis di Indonesia.

B. Kewajiban ISPO Bagi PT. Rea Kaltim Plantation Yang Sudah


Bersertifikasi RSPO

PT. Rea Kaltim Plantation sebagai perusahaan perkebunan wajib

mengimplementasikan ISPO walaupun sudah memiliki sertifikat RSPO. Hal ini

dikarenakan RSPO dan ISPO merupakan sertifikasi yang berbeda. Kewajiban ISPO

ini merupakan SIM bagi para pengusaha sawit, bersifat mandatory supaya mereka

memiliki pedoman dalam menjalankan kegiatan sawit lestari. 196 Dikarenakan sifat

mandatory – kewajiban inilah ISPO memiliki sanksi yaitu penurunan kelas kebun

yang pada akhirnya berujung pada pencabutan izin usaha perkebunan. Apabila izin

usaha perkebunan dicabut, PT. Rea Kaltim Plantation tidak akan dapat lagi untuk

berusaha dalam bidang usaha perkebunan.

Kewajiban PT. Rea Kaltim Plantation untuk mensertifikasikan ISPO adalah

berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011

tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian

196
Kementerian Pertanian, “Bayu Khrisnamurthi : ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil)”,
disampaikan dalam Acara Publik ISPO di Jakarta, 04 Januari 2011.

Universitas Sumatera Utara


Sustainable Palm Oil – ISPO). Hal ini dikarenakan PT. Rea Kaltim Plantation adalah

sebuah perusahaan perkebunan. Jadi, wajiblah baginya untuk mengimplementasikan

ISPO. Para pelaku usaha perkebunan memiliki waktu sampai dengan tanggal 31

Desember 2014 untuk mendapatkan sertifikat ISPO dengan ketentuan jika tidak

menyesuaikannya maka dapat dikenakan sanksi penurunan kelas kebun menjadi

Kelas IV bahkan dapat dicabut izin usaha perkebunannya.

Masalah kepastian hukum terkait ISPO adalah menjadi faktor utama dalam

pengembangan industri kelapa sawit, karena ekspansi industri kelapa sawit ini dapat

terjamin apabila lahan terjamin ketersediaannya yang dipengaruhi hukum agraria

yang baik pula. Pengembangan industri sawit membutuhkan investasi besar, karena

banyaknya aset lahan yang menjadi persoalan dari ketidakpastian hukum. Untuk tata

ruang, sudah 3 (tiga) tahun berjalan belum jelas juga. Jadi, apabila kebun tanaman

kelapa sawit masuk kawasan hutan, pengusaha menjadi khawatir karena alas hak dari

perkebunannya tidak berkepastian hukum. Sumatera Utara sebagai salah satu

contohnya yang menggunakan Hak Guna Usaha untuk perkebunan kelapa sawit.

Tetapi masih menerima tuduhan menggunakan kawasan hutan. Apabila hukum

berkepastian maka akan membuat prospek kelapa sawit menjadi lebih cerah dan

baik.

Universitas Sumatera Utara


C. Analisis Implementasi ISPO

1. Hambatan Dalam Implementasi ISPO

a. Kurangnya Sumber Daya Manusia Tim Penilai ISPO dalam


Melakukan Penilaian

Di beberapa daerah, penilaian kelas kebun masih menemui sejumlah kendala.

Misalnya, banyak perusahaan yang berminat melakukan klarifikasi, tetapi mereka

belum mendapat kelas kebun karena terbatasnya petugas penilai. Ada juga beberapa

kabupaten, petugas penilainya belum tersedia. Kedua kondisi ini menjadi salah satu

hambatan perusahaan-perusahaan perkebunan yang akan mengaplikasikan atau ingin

mengimplementasikan sertifikasi ISPO pada kebun mereka. 197

Mengenai ruang lingkup ISPO, pertama, unit disertifikasi adalah kebun

pemasok dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Kebun pemasok adalah inti, plasma di

bawah satu manajemen (inti). Kebun inti, plasma dan swadaya harus tidak

bermasalahan dengan kepemilikan lahan. Selanjutnya, PKS yang mendapatkan

pasokan Tandan Buah Segar (TBS) dari kebun swadaya (pedagang), maka kebun inti

harus memiliki kontrak kerjasama dan membinanya untuk memenuhi persyaratan

ISPO. Standar ISPO petani swadaya dan supply chain akan disusun lebih lanjut.

Untuk mendapatkan sertifikat ISPO, kebun inti, plasma dan swadaya harus tidak

bermasalah dengan kepemilikan tanah/kebun seperti : IUP, IUP-B, IUP-P, Hak Guna

Usaha (HGU), dan memenuhi seluruh ketentuan/persyaratan ISPO.

197
Wawancara dengan Arifin Lambaga sebagai Presiden Direktur PT. Mutuagung Lestari
selaku perusahaan yang sudah diakreditasi untuk melakukan penilaian terhadap Sertifikasi ISPO, pada
tanggal 28 September 2011.

Universitas Sumatera Utara


Apabila perusahaan tersebut telah mendapatkan penilaian Kelas 1, Kelas 2

dan Kelas 3, selanjutnya dilakukan aplikasi untuk memeriksa dokumen-dokumen

sesuai dengan persyaratan yang tertera di dalam ISPO. Dokumennya sangat banyak

dan juga menjadi salah satu kendala di dalam sertifikasi karena ada beberapa

prasyarat yang tidak ada sebelumnya. Setelahnya dilakukan evaluasi dokumentasi,

bila lolos dilakukan audit lapangan. Audit lapangan biasanya dilakukan 4-5 hari

tergantung pada luasan yang akan diaudit dan juga pada lokasi yang akan diaudit.

Setelah itu auditor membuat komprehensif dan dikirimkan kepada Komisi

ISPO. Komisi ISPO inilah yang kemudian menetapkan apakah pemohon memenuhi

Kriteria ISPO atau tidak. Apabila terpenuhi, Komisi ISPO akan memberitahukan

kepada lembaga sertifikasi untuk diterbitkan sertifikatnya. Dengan sejumlah

prasyarat yang ada maka perusahaan perkebunan kelapa sawit jelas harus

mengumpulkan dan mengidentifikasi semua hal yang berkaitan dengan persyaratan.

Dimana ada persyaratan harus ada kelas kebun. Untuk mendapatkan kelas kebun

dapat menghubungi Dinas Kabupaten, namun bila Dinas Kabupaten belum ada,

dapat langsung ke Dinas Provinsi.

b. Tidak Meratanya Dinas Pertanian Kabupaten/Kota Untuk Urusan


Sertifikasi ISPO

Hambatan selanjutnya bagi Pemerintah dalam melakukan sertifikasi ISPO

adalah ada beberapa kabupaten hasil pemekaran, belum memiliki Dinas ini, sehingga

dibutuhkan koordinasi dengan provinsi. Jumlah dinas pertanian ada di 33 (tiga puluh

tiga) provinsi. Untuk provinsi yang baru dimekarkan tidak terdapat dinas pertanian.

Universitas Sumatera Utara


Hal ini dikarenakan provinsi yang baru tersebut sedang mempersiapkan perangkat

kerja daerahnya. 198

c. Sistem Jaminan Mutu Tidak Dimiliki Perusahaan Perkebunan

Selain hambatan di atas, hambatan selanjutnya adalah kebanyakan

perusahaan perkebunan tidak memiliki sistem jaminan mutu perusahaan. Sistem

jaminan mutu dilakukan dengan cara membuat daftar inventaris seluruh peraturan-

peraturan yang ada, untuk selanjutnya dilakukan pengecekan satu per satu. Mulai

dari HGU, Izin Perkebunan dan seterusnya. Selanjutnya dilihat pula kelengkapannya,

termasuk masalah AMDAL, yang kerap kurang diperhatikan. 199 Apabila perusahaan

yang bersangkutan sudah memiliki sertifikat ISO 9001 maka akan lebih mudah lagi

dalam mendapatkan ISPO. Perusahaan bisa dengan mudah mencapai penilaian yang

objektif dan mendapatkan target proses, yang dikendalikan melalui manajemen mutu

9001. Sedangkan objektifnya sama seperti apa yang dipersyaratkan di dalam ISPO.

Oleh karena itu, sebenarnya kombinasi antara ISO 9001 dengan ISPO itu adalah

sangat baik. Kemudian tahap berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah

sosialisasi dan rencana pelatihan. Terutama pelatihan tenaga-tenaga yang terkait

langsung dengan penerapan ISPO.

198
Website Resmi Kementerian Pertanian, “Daftar Alamat Kantor Dinas
Provinsi/Kabupaten/Kota Lingkup Kementerian Pertanian”, www.deptan.go.id., diakses pada 10
Desember 2012.
199
Wawancara dengan Arifin Lambaga sebagai Presiden Direktur PT. Mutuagung Lestari
selaku perusahaan yang sudah diakreditasi untuk melakukan penilaian terhadap Sertifikasi ISPO, pada
tanggal 28 September 2011.

Universitas Sumatera Utara


d. Tidak Adanya Bagian Manajemen Khusus Mengurusi Sertifikasi ISPO
pada Perusahaan Perkebunan

Kemudian hambatan selanjutnya yang dihadapi Pemerintah dalam melakukan

sertifikasi ISPO adalah tidak adanya bagian manajemen yang khusus mengurusi

sertifikasi ISPO pada perusahaan perkebunan. Bagian ini dibutuhkan agar sistem

yang ada terdokumentasi. Terakhir operasional organisasi sesuai dengan

perencanaan, penerapan, pemeriksaan, pemantauan, evaluasi dan tindak

lanjut. Banyak hal yang harus dipantau, mulai dari masalah lingkungan, berkaitan

juga masalah keamanan dan keselamatan kerja. Komunikasi dengan masyarakat,

juga memerlukan penanganan. Biasanya di dalam struktur organisasi dibentuk

bagian khusus untuk menangani masalah penerapan sustainability. 200

2. Dampak-Dampak Dalam Sertifikasi ISPO

Hambatan-hambatan yang sudah dikemukakan di atas, antara lain seperti :

a. Kurangnya Sumber Daya Manusia Tim Penilai ISPO dalam melakukan

penilaian;

b. Tidak meratanya Dinas Pertanian Kabupaten/Kota Untuk Urusan Sertifikasi

ISPO;

c. Sistem jaminan mutu yang tidak dimiliki setiap perusahaan perkebunan;

d. Tidak adanya bagian manajemen yang khusus mengurusi sertifikasi ISPO di

dalam suatu perusahaan perkebunan; dan lain sebagainya.

200
Wawancara dengan Arifin Lambaga sebagai Presiden Direktur PT. Mutuagung Lestari
selaku perusahaan yang sudah diakreditasi untuk melakukan penilaian terhadap Sertifikasi ISPO, pada
tanggal 28 September 2011.

Universitas Sumatera Utara


Menyoroti kendala umum penerapan sertifikasi ISPO, menunjuk faktor

budaya kerja yang masih berorientasi pada produksi, serta belum menjadikan sistem

manajemen sebagai acuan. Menunjuk faktor budaya kerja yang masih berorientasi

pada produksi, serta belum menjadikan sistem manajemen sebagai acuan. Apabila

ISO:9001 dapat dijadikan satu alat di dalam mengelola kegiatan, maka akan menjadi

sangat baik karena sudah mencakup semua sistem, semua bahagian dan semua peran

dari masing-masing bagian .

Berikutnya, mengenai pemahaman dan interpretasi standar. Hal ini

diperlukan agar semua pihak mengetahuinya. Selanjutnya sistem dokumentasi yang

kurang, juga keterbatasan sumber daya manusia. Seharusnya sumber daya manusia

yang ada harus betul-betul memahami, bagaimana suatu sistem itu dijalankan. Lalu

koordinasi antar bagian, alokasi dana serta kendala lainnya yang bila diinventarisir

cukup banyak. Terakhir, solusi dari penerapan sertifikasi ISPO, harus ada komitmen

kuat dari top manajemen. Ketika komitmen itu bisa diperoleh maka semuanya

mudah diatasi.

Kedua, kepedulian untuk standar ISPO. Jadi, hal ini menyangkut masalah

pemahaman, pelatihan-pelatihan, sosialisasi kepada semua level di perusahaan.

Ketiga, menunjuk wakil manajemen yang bertanggung jawab dan antusias menjamin

sistem berjalan dan diterapkan dengan baik. Membuat perencanaan pelatihan untuk

setiap tim dan bagian, misalnya pelatihan pedoman, prosedur pengendalian rekaman.

Karena walaupun ISPO berorientasi hasil, tetapi untuk mencapai hasil ini dibutuhkan

sistem. Salah satunya yang dapat digunakan adalah ISO 9001. Mulai menerapkan

Universitas Sumatera Utara


sistem yang terdokumentasi, pencatatan, evaluasi sistem secara berkala, serta tindak

lanjut dari hasil evaluasi.

Pada akhirnya, penerapan ISPO tidak hanya sebatas pada pemenuhan

persyaratan tetapi juga dapat dijadikan sebuah sistem untuk membantu perusahaan

dalam melakukan pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang lestari, baik secara

lingkungan, sosial maupun ekonomi. ISPO merupakan tolok ukur pengelolaan

perkebunan kelapa sawit yang menerapkan kaidah-kaidah legal, lingkungan, sosial

dan praktek pengelolaan kebun terbaik.

Apabila setiap elemen terkait sertifikasi ISPO mampu melakukan berbagai

upaya terencana, terpadu dan menjadi komitmen yang bersama maka kelapa sawit

akan menjadi sumber kesejahteraan dan kemakmuran yang pada gilirannya akan

menjadi persembahan Indonesia kepada dunia secara lestari.

Seluruh hambatan-hambatan tersebut di atas dapat berdampak kepada tidak

berjalannya sertifikasi dengan baik. Ditambah lagi dengan mutu integritas SDM bagi

petugas penilai perkebunan. Hal ini dapat menyebabkan ISPO hanya dijadikan

sebagai kutipan bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab karena dapat

dikatakan sertifikasi ISPO tersebut hanyalah sebagai acuan untuk melakukan

pengutipan-pengutipan liar.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut :

1. Kedudukan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011

adalah mengikat demi hukum. Sifatnya yang mengikat ini dianalisa dari Pasal

7 dan Pasal 8 (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yang menyebutkanfrase “atau dibentuk

berdasarkan kewenangannya”, yang berartiPeraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/3/2011 ini digunakan oleh aparatur Menteri Pertanian

sebagai pedoman di lingkungan Kementerian Pertanian dalam

menyelenggarakan tugasnya untuk mewujudkan kebijakan pengembangan

perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang diwajibkan kepada seluruh

Perusahaan perkebunan kelapa sawit sehingga mengikat berdasarkan tugas

dan wewenang Kementerian Pertanian yang mengatur untuk itu.

2. Sertifikasi ISPO ini mendorong pertumbuhan investasi dan pengembangan

Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk

mengimplementasikan pengembanganusaha dan manajemennya kearah

sistem yang berkelanjutan dan berkesinambungan dalam jangka panjang. Hal

160

Universitas Sumatera Utara


ini terlihat dari tujuan dan sasaran pembentukan ISPO dalam menciptakan

perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,

yang berarti adalah kewajiban Perusahaan untuk memperhatikan aspek-aspek

hukum, sosial, manajemen dan lingkungan yang secara paralel akan sangat

berpengaruh terhadap investasi dan produktifitas Perusahaan.Apabila

Perusahaan perkebunan telah menerapkan prinsip dan kriteria ISPO ini

dengan baik, maka pasar dunia akan melirik Indonesia sebagai penghasil

CPO yang mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan

pembangunan berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, secara langsung

pertumbuhaninvestasi di Indonesia akan semakin baik dan kondusif dalam

bidang bisnis kelapa sawit.

3. Implementasi ISPO yang dilakukan oleh PT Rea Kaltim Plantation bertujuan

untuk meningkatkan nilai/ value investasinya di Indonesia. Hal ini dapat

diketahui, setelah dengan diterapkannya sertifikasi ISPO ini, PT Rea Kaltim

Plantation merasakan bahwa pemenuhan kewajiban ini walaupun

memberatkan Perusahaan dari sisi finansial dan pemenuhan birokrasi, namun

pada akhirnya mendorong peningkatan kwalitas dan produktifitas produk

CPO yang dihasilkan serta meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya

pemenuhan hukum. Hal ini sejalan dengan peningkatan yang dirasakan pada

penilaian Key Performance Indicator (KPI) yang diterapkannya sebagai tolak

ukur pertumbuhan investasi pada PT Rea Kaltim Plantation. Secara internal,

ISPO juga memberikan pemahaman dan komitmen yang menyeluruh bagi

Universitas Sumatera Utara


seluruh organ Perusahaan untuk menjadikan ISPO ini sebagai sebuah sistem

untuk membantu dan mendukung PT. Rea Kaltim Plantation dalam

melakukan pengelolaan perkebunan kelapa sawit lestari, baik secara

lingkungan, sosial maupun ekonomi serta menghasilkan minyak kelapa sawit

lestari yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta ramah lingkungan.

B. Saran

Berdasarkan analisis dan kesimpulan di atas, selanjutnya diajukan saran

sebagai berikut :

1. Pedoman yang dikeluarkan Menteri Pertanian tersebut mengenai perkebunan

kelapa sawit berkelanjutan Indonesia adalah sudah mengikat dan berkekuatan

hukum. Tetapi sebaiknya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

setara Peraturan Presiden dapat memerintahkan untuk itu sehingga peraturan

ini dapat menjadi jenis peraturan perundang-undangan yang mengikat dan

diakui keberadaannya berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan.

Sebaiknya bagi pemerintah agar dapat dikeluarkan peraturan yang berada di

atasnya yang lebih mengikat lagi bukan berdasarkan kewenangan

Kementerian Pertanian saja.

2. Sebaiknya seluruh kekurangan-kekurangan pemerintah dalam menggalakkan

sertifikasi ISPO bagi perusahaan perkebunan harus ditutupi, seperti

kekurangan SDM, sebaiknya dialokasikan SDM yang bermutu dan mengerti

mengenai sistem implementasi ISPO. Terkait Dinas Pertanian yang tidak

Universitas Sumatera Utara


selalu ada di setiap Kabupaten/Kota sebaiknya pemerintah membuat dinas-

dinas tersebut agar dapat mengintegrasikan seluruh kegiatan implementasi

ISPO bagi perusahaan perkebunan.

3. Sebaiknya pengusaha perkebunan kelapa sawit dalam menerapkan sertifikasi

ISPO, tetap memegang teguh komitmen dan pengawasannya terhadap

regulasi ISPO ini. Salah satu tindak lanjut secara lanjut yang dapat dilakukan

oleh Perusahaan perkebunana adalah dengan memiliki suatu bagian

manajemen yang mengurusi perihal sertifikasi ISPO ini secara spesifik. Hal

ini untuk menunjang dan memudahkan petugas penilai perkebunan di setiap

Dinas Pertanian untuk dapat bekerja sama dalam mengimplementasikan

ISPO bagi perusahaan perkebunan tersebut.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainuddin., Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta :


Rajawali Press, 2010.

Andiko dan Norman Jiwab, Panduan Dasar Bagi Aktifis dan Masyarakat :
Memahami dan Memantau Pelaksanaan Peraturan dan Hukum oleh
Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, Bogor : Sawit Watch,
Januari 2012.

Asshiddiqie, Jimly., dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta
: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Bruggink, JJ. H., B. Arief Sidharta (alih bahasa), Refleksi Tentang Hukum :
Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Bandung : Citra Aditya,
2011.

Brundtland, Gro Harlem., Our Common Future, New York : Oxford University
Press, 1987.

Budihardjo dan Djoko Sujarto, Sustainable Development : Beberapa Catatan


Tambahan , Jakarta : Asosiasi SYLFF & Universitas Indonesia, 2006.

Budhivaya, I. A., “Bahan Kuliah Hukum Investasi : Pokok-Pokok Pemahaman


Penanaman Modal Langsung Serta Lingkup Hukum Investasi di Indonesia”,
Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Narotama, tanpa tahun.

Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,


dan Ilmu Sosial Lainnya, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta : Kencana, 2009.

Colchester, Marcus., “Masyarakat Punya Hak Menerima dan Menolak Investor


Kelapa Sawit”, disampaikan pada Lokakarya Kelapa Sawit di Hotel Matoa,
16 September 2008.

Darmodiharjo, Darji., dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan


Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1995.

164

Universitas Sumatera Utara


Effendi, Ruslan., “Analisis Daya Dukung Kelembagaan Perkebunan Kelapa Sawit
Untuk Meningkatkan Daya Saing dan Keberlanjutan Bisnis (Studi Kasus :
PT. Mitra Inti Sejati Plantation di Propinsi Kalimantan Barat)”, (Bogor :
Tesis, Manajemen Bisnis – Institut Pertanian Bogor, 2011.

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Roadmap Industri Pengolahan CPO,
Jakarta : Departemen Perindustrian, 2009.

Goenadi, Didiek H., et.al., “Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
Sawit di Indonesia”, Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Juli 2005.

Harsono, Boedi., Hukum Agraria Jilid I, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2005.

Hartini, Rahayu., “Analisis Yuridis UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman


Modal”, Jurnal Humanity, Vol. IV, No. 1, September 2009.

Huijbers, Theo., Filsafat Hukum, Yogjakarta : Kanisius, 1995.

Hütz-Adams, Friedel., “Minyak Kelapa Sawit : Perkembangan dan Resiko dari


Ledakan Pasar Minyak Kelapa Sawit”, Stuttgart, Wuppertal : Brot fur die
Welt & Evangelische Mission, 2011.

Indrati, Maria Farida S., Ilmu Perundang-Undangan (1) : Jenis, Fungsi, Materi
Muatan, Yogyakarta : Kanisius, 2007.

Kelsen, Hans., Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,


diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong,
Cetakan Ketiga,Bandung : Nusamedia & Nuansa, 2007.

Kementerian Pertanian, “Bayu Khrisnamurthi : ISPO (Indonesian Sustainable Palm


Oil)”, disampaikan dalam Acara Publik ISPO di Jakarta, 04 Januari 2011.

Keumala, Ratna (Alih Bahasa)., “Tanaman ‘Emas’? Kelapa Sawit Pasca Tsunami di
Aceh”, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Eye on Aceh, September
2007.

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, “Menimbang Relevansi Sertifikasi RSPO”,


Jurnal Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Volume 31, Nomor 6,
2009.

Magee, Bryan., The Story of Philosophy, diterjemahkan oleh Marcus Widodo,


Yogyakarta : Kanisius, 2008.

Universitas Sumatera Utara


Mendelson, Wallace., “Law and The Development of Nations”, The Journal of
Politics : The University of Texas at Austin, Vol. 32, 1970.

Muhaimin, Yahya A., Bisnis dan Politik, Jakarta : LP3ES, 1991.

Nasution, Bismar., “Modul Perkuliahan : Peranan Hukum Dalam Pembangunan


Ekonomi”, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,
2011.

Pahan, Iyung., Panduan Lengkap Kelapa Sawit : Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir, Cetakan Kelima, Jakarta : Swadaya, 2008.

Purbacaraka, Purnadi., dan M. Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan Keempat,


Bandung : Citya Aditya Bakti, 1990.

Rachman, Latief., “Penerapan Standardisasi ISPO pada Perkebunan Kelapa Sawit”,


disampaikan pada Workshop di Hotel Harris, Jakarta, Kamis, 16 Juli 2012.

Rijadi, Prasetijo., dan Sri Priyati, Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai
Implementasi, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Faktor Kunci Meningkatnya Investasi di


Indonesia”, Asisten Bidang Ekonomi Makro, Keuangan dan Ketahanan
Pangan, diterbitkan Kamis, 06 Desember 2012.

“Seminar ISPO 2011 – Kelangsungan Industri Perkebunan Pasca Diberlakukannya


Permentan No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia”, diselenggarakan di Grand Aston Cityhall Medan –
Sumatera Utara oleh Pusat Informasi Training dan Informasi Seminar serta
Inhouse Training Indonesia pada tanggal 28-29 September 2011.

Sodiki, Achmad., “Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha Untuk
Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat”, Makalah disampaikan dalam Seminar
Nasional dengan tema Penanganan dan Penyelesaian Konflik Agraria sebagai
Kewajiban Konstitusi, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), Jakarta, 13 Maret 2012.

Soebroto, Arif Christiono., “Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah


Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas”,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia : Biro
Hukum BAPPENAS, Tanpa Tahun.

Universitas Sumatera Utara


Soeprapto, Maria Farida Indrati., Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Yogyakarta : Kanisius, 1997.

Sudharmono, Johny., Be G2C Good Governed Company : Panduan Praktis Bagi


BUMN Untuk Menjadi G2C – Good Governed Company dan Mengelolanya
Berdasarkan Suara Hati, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004.

Sudrajat, Bambang., “Menimbang Relevansi Sertifikasi RSPO”, Warta Penelitian


dan Pengembangan Pertanian, Vol. 31, No. 6, 2009.

Suherwin, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Crude Palm Oil


(CPO) Dunia”, Medan : Tesis, Sekolah Pascasarjana Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, 2012.

Sukendar, Suhadi., “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan


Perusahaan (Corporate Social Responsibility – CSR) Berdasarkan Pasal 74
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, Medan :
Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2012.

Sukirno, Sadono., Makro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo


Persada,2004.

Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta : Universitas Indonesia Press., 1986.

Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010.

Supancana, Ida Bagus Rahmadi., Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi


Langsung di Indonesia, Bogor : Ghalia Indonesia, 2006.

Suseno, Franz Magnis., Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 2005.

Tim ISPO Kementerian Pertanian, “Draft Ketentuan Pengelolaan Perkebunan Kelapa


Sawit Indonesia Berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil - ISPO)”,
Kementerian Pertanian, Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan dan Komisi
Minyak Sawit Indonesia, draft tanggal 24 Juni 2010.

United Nations, “Report of The World Commission on Environment and


Development : Our Common Future”, UN Documents, 1987, hal. 15.

Wie, Thee Kian (Editor)., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai
1990-an, Jakarta : Buku Kompas, Desember 2005.

Universitas Sumatera Utara


World Growth, “Manfaat Minyak Sawit Bagi Perekonomian Indonesia”, Laporan
World Growth, Februari 2011.

Internet

Blog Resmi PT. Rea Kaltim Plantation, “RSPO Main Assessment”,


http://reakaltim.blogspot.com/2012/05/rspo-main-assessment.html., diakses
pada 21 Juli 2012.

Majalah Tropis, “Cara Praktis Kantongi ISPO”, http://majalahtropis.com/palm-


oil/palm-oil1., diakses pada 10 Desember 2012.

Supryadi, Didy Ika., “Sejarah Ekonomi Indonesia Sejak Orde Lama Hingga
Pemerintahan Reformasi”, http://www.scribd.com/doc/51139549/SISTEM-
EKONOMI-INDONESIA., diakses pada 11 Oktober 2012.

Syahrin, Alvi., “Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan : Aspek Hukum


Lingkungan Hidup dalam Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
(Tinjauan terhadap Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)”,
http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/10/05/40/#more-40., diakses pada 21
Juli 2012.

Website Resmi Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, “Achmad


Mangga Barani : Indonesian Sustainable Palm Oil Segera Diberlakukan di
2010”, http://www.ditjenbun.deptan.go.id., diakses pada 08 Agustus 2012.

Website Resmi ISPO, “Penunjukan Lembaga Sertifikasi ISPO”, http://ispo-


org.or.id/., diakses pada 22 Juli 2012.

Website Resmi Kementerian BUMN, “Saurlin Siagian : Rejim Minyak Sawit,


Menakar RSPO dan ISPO”,
http://www.bumn.go.id/ptpn8/galeri/artikel/rejim-minyak-sawit-menakar-
rspo-dan-ispo/., diakses pada 18 Oktober 2012.

Website Resmi Kementerian Lingkungan Hidup, “Berikan Kesempatan Pada Bumi


(Give Earth A Chance)”, http://www.menlh.go.id/berikan-kesempatan-pada-
bumi-give-earth-a-chance/., diakses pada 04 Desember 2012.

Website Resmi Kementerian Pertanian, “Daftar Alamat Kantor Dinas


Provinsi/Kabupaten/Kota Lingkup Kementerian Pertanian”,
www.deptan.go.id., diakses pada 10 Desember 2012.

Universitas Sumatera Utara


Website Resmi RSPO, “Dokumen Panduan : Prinsip dan Kriteria RSPO untuk
Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan”, www.rspo.org., diakses pada 22 Juli
2012.

Website Resmi RSPO, “Factsheet Indonesia – Mei 2012”,


www.rspo.org/file/RSPO_factsheet_indo_May2012.pdf., diakses pada 08
Agustus 2012.

Website Resmi RSPO, “General Assembly RSPO ke-8 Berhasil Mencapai Kuorum”,
http://www.rspo.org/news_details.php?nid=84&lang=5., diakses pada 08
Agustus 2012.

Media Massa

Harian Analisa, “Saurlin Siagian : Menakar RSPO dan ISPO”, diterbitkan Senin, 04
Juni 2012.

Harian Investor Daily, “Sejumlah Perusahaan Kantongi ISPO”, diterbitkan Rabu, 28


Desember 2011.

Harian Jambi Star, “Perusahaan Sawit Wajib Miliki Sertifikat ISPO”, diterbitkan
Senin, 03 Desember 2012.

Harian Kompas, “Sumardjo : Akibat dari Perkebunan Kelapa Sawit”, diterbitkan


Kamis, 05 Januari 2012.

Harian Kontan, “Bernadette Christina Munthe : Hanya Eropa yang Menuntut


RSPO”, diterbitkan Selasa, 06 Desember 2011.

Harian Medan Bisnis, “Henry Marpaung : Pengelolaan Kelapa Sawit Berpedoman


ISPO”, diterbitkan Selasa, 17 Juli 2012.

Harian Medan Bisnis, “Pengelolaan Kelapa Sawit Berpedoman ISPO”, diterbitkan


Selasa, 17 Juli 2012.

Harian Media Indonesia, “Sertifikasi ISPO Dimulai Maret 2012”, diterbitkan pada
Selasa, 28 Februari 2012.

Harian Sinar Harapan, “Moh. Ridwan : RI Jangan Tinggalkan Pasar Komoditas”,


diterbitkan Kamis, 05 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara


Kantor Berita Antara, “Bayu Krisnamurthi : RSPO Bukan Satu-satunya Sistem Sawit
Berkelanjutan”, diterbitkan Kamis, 20 Juli 2012.

Kantor Berita Antara, “Kelapa Sawit Indonesia Sudah Saatnya Terapkan ISPO”,
diterbitkan Rabu, 12 Oktober 2011.

Majalah Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian


Perdagangan RI, “Kampanye Negatif Kelapa Sawit Indonesia, Potensi
Kelapa Sawit Indonesia, Kiat-Kiat Menghadapi Kampanye Negatif Kelapa
Sawit”, Edisi Juni 2011.

Majalah Sawit Indonesia, “Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa Bisa Jadi Terancam
Turun”, diterbitkan Senin, 02 Juli 2012.

Majalah Sawit Indonesia, “Utamakan Mutu dan Pengalaman”, Edisi Juli – Agustus
2012.

Majalah Tempo, “Persyaratan RSPO Dinilai Tak Adil Bagi Indonesia”, diterbitkan
Minggu, 14 November 2010.

Tabloid Agribisnis Dwimingguan Agrina, “Lima Penjaga Keberhasilan ISPO”,


diterbitkan Senin, 01 Oktober 2012.

Peraturan Terkait

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XXIII/MPRS/1966 tentang


Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan
Pembangunan.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000 tentang Sumber


Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.

Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman


Perizinan Usaha Perkebunan.

Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2009 tentang Pedoman


Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit.

Peraturan Menteri Pertanian No. 36/Permentan/OT.140/7/2009 tentang Persyaratan


Penilai Usaha Perkebunan.

Universitas Sumatera Utara


Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable
Palm Oil – ISPO).

Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – Amandemen.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4411.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4724.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4756.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai