Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK

BLOK NEFRO URINARY


“PEMERIKSAAN URIN RUTIN DAN URIN KHUSUS”

Asisten :
Rina Riyatul Mustaghfiroh (G1A008066)

Kelompok 2.5 :
Zahra Ibadina S. G1A009082
Maulana Rizqi Yuniar G1A009089
Nugroho Rizki P G1A009114
Nurul Arsy M G1A009120
Rendha Fatima R. G1A009123
R. Caesar K1A005027

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2011
BAB I
PENDAHULUAN

Pemeriksaan urin tidak hanya dapat memberikan fakta – fakta tentang ginjal
dan saluran urin, tapi juga mengenai faal berbagai organ dalam tubuh seperti : hati,
saluran empedu, pancreas, kortek adrenal, dll.
Jika kita melakukan urinalisis dengan memakai urin kumpulan sepanjang 24
jam pada seseorang, ternyata susunan urin itu tidak banyak berbeda dari susunan urin
24 jam berikutnya. Akan tetapi kalau kita mengadakan pemeriksaan dengan sampel –
sampel urin dari orang itu pada saat – saat yang tidak menentu di waktu siang atau
malam, akan kita lihat bahwa susunan sampel urin dapat berbeda jauh dari sampel
lain. Itu sebabnya maka penting sekali untuk memilih sampel urin sesuai dengan
tujuan pemeriksaan. Untuk pemeriksaan ini diperlukan pengumpulan sampel urin
yang cermat agar tidak mempengaruhi hasilnya. Saat ini banyak cara yang digunakan
untuk mengumpulkan sampel urin, masing-masing cara memiliki kelemahan
tersendiri.
Pemeriksaan urin merupakan bagian penting pemeriksaan laboratorik. Salah
satu kegunaannya ialah untuk mendiagnosis adanya infeksi di saluran kemih. Infeksi
saluran kemih (ISK) merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman
dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung
kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. (Gandasoebrata, 2007)
BAB II
ISI

A. PEMERIKSAAN URIN RUTIN


1. Pemeriksaan Makroskopis
a. Warna : Kuning Tua
1) Penilaian :
Normal : kuning muda sampai tua tergantung besarnya diuresis dan
beberapa zat pelarut dalam urin terutama urobilin dan urochrom.
Kelainan warna :
Tak patologis : berasal dari makanan atau obat ( pewarna )
Patologis : Seperti teh : bilirubin.
Hijau : biliverdin, Ps. aeruginosa.
Merah : darah, B. prodigiosus.
Putih keruh : pus.
Putih susu : chylus.
Coklat : hematin, billirubin.
2) Interpretasi Hasil  normal
3) Pembahasan
Pemeriksaan terhadap warna urin mempunyai makna karena kadang-
kadang dapat menunjukkan kelainan klinik. Warna urin dinyatakan
dengan tidak berwarna, kuning muda, kuning, kuning tua, kuning
bercampur merah, merah, coklat, hijau, putih susu dan sebagainya.
Warna urin dipengaruhi oleh kepekatan urin, obat yang dimakan
maupun makanan. Pada umumnya warna ditentukan oleh kepekatan
urin, makin banyak diuresa makin muda warna urin itu. Warna normal
urin berkisar antara kuning muda dan kuning tua yang disebabkan oleh
beberapa macam zat warna seperti urochrom, urobilin dan porphyrin.
Biladidapatkan perubahan warna mungkin disebabkan oleh zat warna
yang normal ada dalam jumlah besar, seperti urobilin menyebabkan
warna coklat. Disamping itu perlu dipertimbangkan kemungkinan
adanya zat warna abnormal, seperti hemoglobin yang menyebabkan
warna merah dan bilirubin yang menyebabkan warna coklat. Warna urin
yang dapat disebabkan oleh jenis makanan atau obat yang diberikan
kepada orang sakit seperti obat dirivat fenol yang memberikan warna
coklat kehitaman pada urin.

b. Kekeruhan : Ada Kristal


1) Penilaian
Kekeruhan urin dinyatakan dengan : jernih, agak keruh, keruh atau
sangat keruh. Kekeruhan dapat timbul:
1. Sejak dikemihkan :
a. Urin mengandung kristal dalam jumlah besar.
Kekeruhaan ini dapat dihilangkan dengan menambah asam encer.
b. Urin mengandung bakteri dalam jumlah banyak biasanya disertai
unsur–unsur lain dalam sedimen. Kekeruhan ini akan menetap.
c. Unsur dalam sedimen bertambah :
* Eritrosit : urin keruh seperti cucian daging.
* Leukosit : warna putih keruh dengan percobaan
Donne akan membentuk massa yang
sangat kental.
* Sel – sel epitel : ditemukan berbagai macam sel.
d. Chylus dan lemak : keruh menyerupai susu encer.
Adanya chylus dibuktikan dengan
menambahkan ether pada sampel
sampai menjadi jernih. Lemak yang
ada dapat juga dilihat dengan cara
meneteskan campuran urin – ether
pada kertas saring maka akan tampak
bercak berminyak pada kertas saring
tersebut.
e. Benda – benda koloid : Sukar diketahui jenis koloid dan
sebabnya ada didalam urin. Tak
tampak pada pemeriksaan
mikroskopik dan tidak dapat larut
dalam ether.

2. Kekeruhan yang timbul sesudah dibiarkan :


a. Nabecula.
b. Kristal urat : terbentuk pada urin asam / dingin, kekeruhan /
endapanberwarna putih atau merah jambu. Ciri : kekeruhan
hilang bila dipanaskan.
c. Amorf fosfat dan karbonat pada urin basa.
Ciri : kedua zat larut bila diasamkan sedangkan karbonat akan
melarut dengan pembentukan gas karbon dioksida.
d. Bakteri – bakteri mungkin bukan dari dalam tubuh tetapi
merupakan perkembangan bakteri dari penampungan yang
kotor.
Ciri : bakteri tampak banyak disertai penambahan unsur –
unsure sedimen.
2) Interpretasi Hasil  Abnormal
3) Pembahasan
Kekeruhan dinyatakan dengan salah satu pendapat seperti jernih, agak
keruh, keruh atau sangat keruh. Biasanya urin segar pada orang normal
jernih. Kekeruhan ringan disebut nubeculayangterdiri dari lendir, sel
epitel dan leukosit yang lambat laun mengendap. Dapat pula disebabkan
oleh urat amorf, fosfat amorf yang mengendap dan bakteri dari botol
penampung. Urin yang telah keruh pada waktu dikeluarkan dapat
disebabkan oleh chilus, bakteri, sedimen seperti epitel, leukosit dan
eritrosit dalam jumlah banyak

c. Buih : putih, lama menghilang


1) Penilaian
Normal : putih jernih dan cepat hilang.
Abnormal : putih, jernih lama baru hilang/tak mau hilang
kemungkinan urin mengandung protein. Dibuktikan dengan
pemeriksaan protein urin.Warna kekuningan kemungkinan urin
mengandung bilirubin.
2) Interpretasi hasilabnormal

d. Bau : urin (asam, amoniak)


1) Penilaian
Bau perlu diperhatikan kemungkinan bau abnormal.
Bau urin normal oleh asam – asam organik yang mudah menguap.
Bau abnormal :
1. Oleh makanan yang mengandung zat – zat atsiri, seperti jengkol,
petai, durian, asperse. Mudah dapat dikenal dan bau itu ada dari
semula.
2. Oleh obat – obatan seperti terpentin, menthol, dsb. Telah ada dalam
urin segar.
3. Bau Amoniak oleh perombakan bakteri dari ureum. Biasanya terjadi
pada urin yang dibiarkan tanpa bahan pengawet.
4. Bau Ketonuria menyerupai bau buah – buahan atau bunga setengah
layu.
5. Bau busuk bila sejak dikemihkan mungkin berasal dari perombakan
zat – zat protein misal pada keganasan saluran kemih, bisa juga
terjadi akibat pembusukan urin yang mengandung banyak protein
diluar tubuh.
2) Interpretasi Hasil  normal
3) Pembahasan
Untuk menilai bau urin dipakai urin segar, yang perlu diperhatikan
adalah bau yang abnormal. Bau urin normal disebabkan oleh asam
organik yang mudah menguap. Bau yang berlainan dapat disebabkan
oleh makanan seperti jengkol, pate, obat-obatan seperti mentol, bau
buah-buahan seperti pada ketonuria. Bau amoniak disebabkan
perombakan ureum oleh bakteri dan biasanya terjadi pada urin yang
dibiarkan tanpa pengawet. Adanya urin yang berbau busuk dari semula
dapat berasal dari perombakan protein dalam saluran kemih umpamanya
pada karsinoma saluran kemih.

e. Berat Jenis : 1.015


1) Interpretasi Hasil  Normal
2) Pembahasan
Pemeriksaan berat jenis urin bertalian dengan faal pemekatan ginjal,
dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan memakai falling
drop, gravimetri, menggunakan pikno meter, refraktometer dan reagens
pita'. Berat jenis urin sewaktu pada orang normal antara 1,003 -- 1,030.
Berat jenis urin herhubungan erat dengan diuresa, makin besar diuresa
makin rendah berat jenisnya dan sebaliknya. Makin pekat urin makin
tinggi berat jenisnya, jadi berat jenis bertalian dengan faal pemekat
ginjal. Urin sewaktu yang mempunyai berat jenis 1,020 atau lebih,
menunjukkan bahwa faal pemekat ginjal baik. Keadaan ini dapat
dijumpai pada penderita dengan demam dan dehidrasi. Sedangkan berat
jenis urin kurang dari 1,009 dapat disebabkan oleh intake cairan yang
berlebihan, hipotermi, alkalosis dan kegagalan ginjal yang menahun

f. Ph :6
(Dijelaskan pada pemeriksaan kimiawi)
2. Pemeriksaan Mikroskopis
a. Alat dan bahan
Alat : Tabung reaksi, sentrifugator, objek glas, mikroskop
Bahan : urin

b. Cara Pemeriksaan
1. Pusingkan 10 – 15 ml urin yang dicampur dengan baik dengan
kecepatan 1500 – 2000 rpm selama 5 – 10 menit.
2. Buang filtratnya, sisakan 0,5 ml selanjutnya kocok dengan hati – hati
supaya sedimen larut dan tercampur rata.
3. Teteskan pada kaca obyek lalu tutup dengan kaca penutup secara hati
– hati dan jangan ada gelembung udaranya.
4. Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 x untuk melihat
unsur sedimen dan pembesaran 400 x untuk identifikasi unsur – unsur
yang ada.

c. Penilaian Hasil
Unsur-unsur yang ada dalam sedimen
A. Unsur Organik
1. Epitel :
a. Squamus : bentuk polymorf, sitoplasma lebar, inti satu.
Asal : kandung kemih, urethra,kontaminasi Vagina.
b. Polygonal / bulat : inti besar bulat, sitoplasma bergranula.
Asal : Ren ( tubulus )
c. Epitel berekor : inti besar bulat, sitoplasma seperti berekor.
Asal : Ureter,pelvis renis,prostat,vesika urinaria.
d. Kontaminasi : Vagina, sel – sel tumor.
2. Eritrosit :
Dalam urin hipotonik : Eritrosit membengkak, bila Hb keluar tampak
bayangan sel dan disebut “ Ghost Cell “
Hipertonik / Alkalis : bentuk krenasi.
Normal : 1–3sel/LPB atau sampai 2500 eritrosit/ml urin.
Sumber kesalahan :
- Yeast / jamur : ukuran tak sama kadang bentuk spora.
- Tetes lemak : butiran tak sama larut dalam ether.
- Tak tampak karena sel hemolisis.
- Tertutup unsur lain yang lebih banyak
3. Leukosit:
Bentuk bulat dan berinti satu atau lebih, sitoplasma bergranula atau
tanpa granula.
Normal : Wanita : kurang dari 15 sel / LPB.
Laki – laki : kurang dari 5sel/LPB.(sampai 3000/ml)
4. Torak / silinder :
Dibentuk dalam lumen tubulus ginjal, ada tiga bentuk : kecil, sedang,
besar.
Macam – macam silinder :
a. Silinder Hialin : transparan bentuk bulat tepi tegas.
Normal : 0 – 1 / LPK.
b. Silinder Granula : -granula kasar : granula besar – besar irreguler.
-granula halus : granula kasar yang mengalami
degenerasi,pendek lebar, oval.
c. Silinder Epitel : bahan dasar silinder hialin, didalamnya berisi
sel epitel yang terperangkap pada saat
pembentukan silinder.
d. Silinder Leukosit : hialin berisi leukosit.
e. Silinder Eritrosit :dengan pembesaran lemah tampak padat
kekuningan tegas, bila eritrosit penuh matriks
silinder tidak kelihatan.
f. Silinder sel dan campuran silinder : silinder dengan isi bermacam –
macam sel darah atau sel lain.
g. Silinder lilin ( waxy cast ) : sangat refraktil kekuningan, berasal
dari silinder yang mengalami
degenerasi, bentuk besar.
h. Silinder lemak ( oval fat bodies ) : asal dari sel tubulus, yang
mengalami degenerasi lemak.
Dapat dibuktikan dengan
SUDAN III.
Kesalahan penilaian :
1. Benang mucus : bentuk panjang seperti pita ujung mengecil.
2. Silinder : benang mucus yang ekornya berkelok – kelok.
3. Rambut.
4. Hife / jamur : bercabang – cabang, saling berhubungan dan
berspora.
B. Unsur Anorganik:
i. Tak patologis :
Kristal dalam urin asam seperti : - Kristal urat.
- Kristal oksalat.
- Kristal sulfat.

Kristal dalam urin basa seperti : - Fosfat amorf.


- Triple fosfat.
- Ca.Carbonat.
ii. Patologis :
Cystine : bentuk heksagonal refraktil tidak berwarna.
Tyrosine : seperti jarum warna kuning.
Leucine : kecoklatan seperti berminyak bentuk radial
dan konsentris.
Sulfa : kecoklatan asimetris seperti kipas atau
bulat bergaris radial.
C. Unsur lain :
 Spermatozoa.
 Bakteri : bila berasal dari kontaminasi dan berkembang biak
maka tampak bakteri banyak, leukosit sedikit / normal.
 Kapang : karena kontaminasi luar : bentuk kecil, ovoid ukuran
tak sama, warna hijau kekuningan dan berinti.
 Parasit : Trichomonas, larva cacing.

d. Hasil Praktikum
Ditemukan Epitel squamos dan Kristal Ca Oxalat
Epitel squamos Ca Oxalat

e. Pembahasan
Pada pemeriksaan mikroskopis urin dalam praktikum ditemukan :
1. Epitel Squamus dengan bentuk bentuk polymorf, sitoplasma lebar, inti
satu. Berasal dari kandung kemih, urethra, Vagina. Dari hasil temuan
epitel tersebut dalam urin. Urin dinyatakan normal.
2. Kristal Ca oxalat terdapat dalam pemeriksaan dalam praktikum dan
dapat dinyatakan normal karena Kristal tersebut tidak bersifat
patologis.

3. Pemeriksaan Kimiawi
a. Derajat Keasaman (pH)
1. Alat dan bahan
Alat: kertas hisap yang mengandung macam indicator (methyl red dan
bromthymol biru), standar indicator universal pH, pipet tetes dan objek
glas
Bahan: Urin jernih

2. Cara Pemeriksaan
a. Letakan sepotong kertas indicator universal pada objek glas
kemudian tetesi urin
b. Bandingkan dengan standar warna yang tersedia

3. Penilaian Hasil
Normal pH urin adalah 4,6-8,5
Urin 24 jam pH rata-rata 6,2

4. Hasil Praktikum
Pada praktikum didapatkan pH urin 6

5. Pembahasan
Jika dilihat pada nilai normal,urin yang kami periksa termasuk pada pH
yang normal. Karena pH urin yang kami dapat adalah 6 sedangkan nilai
normal dari pH urin adalah 4,6-8,5.
pH adalah derajat keasaman air seni. pH urine pada orang normal adalah
4,8 – 7,4. pH di bawah 7,0 disebut asam (acid) dan pH di atas 7,0
dinamakan basa (alkali). Beberapa keadaan dapat menyebabkan pH
urine menjadi basa , misalnya : vegetarian, setelah makan, muntah
hebat, infeksi saluran kencing oleh bakteri Proteus atau Pseudomonas,
urine yang disimpan lama, terapi obat-obatan tertentu, atau gangguan
proses pengasaman pada bagian tubulus ginjal. Sebaliknya, pH urine
bisa menjadi rendah atau asam dapat dijumpai pada : diabetes, demam
pada anak, asidosis sistemik, terapi obat-obatan tertentu.
Penetapan pH diperlukan pada gangguan keseimbangan asam basa,
kerena dapat memberi kesan tentang keadaan dalam badan. pH urin
normal berkisar antar 4,6-8,5. Selain itu penetapan pH pada infeksi
saluran kemih dapat memberi petunjuk ke arah etiologi. Pada infeksi
oleh Escherichia coli biasanya urin bereaksi asam, sedangkan pada
infeksi dengan kuman Proteus yang dapat merombak ureum menjadi
amoniak akan menyebabkan urin bersifat basa. Dalam pengobatan batu
karbonat atau kalsium fosfat urin dipertahankan asam, sedangkan untuk
mencegah terbentuknya batu urat atau oksalat pH urin sebaiknya
dipertahankan basa. Urin akan menjadi lebih asam jika mengkonsumsi
banyak protein,dan urin akan menjadi lebih basa jika mengkonsumsi
banyak sayuran. Urine yang telah melewati temperatur ruangan
untuk beberapa jam dapat menjadi alkali karena aktifitas bakteri. pH
urin tergantung pada diet, keseimbangan asam-basa, keseimbangan
cairan dan fungsi ginjal. Pada alkalosis respiratorik, ginjal mereabsorpsi
sedikit bikarbonat, yang menyebabkan ekskresi asam menjadi lebih
rendah. Hilangnya bikarbonat membantu kompensasi terhadap alkalosis
dan menyebabkan pH urin menjadi basa.

b. Pemeriksaan Reduksi gula dalam Urin (Metode Benedict)


1. Alat dan Bahan
A. Alat
a. Lampu spiritus.
b. Penjepit tabung.
c. Pipet tetes.
d. Tabung reaksi.
B. Bahan
Reagen Benedict berisi :Cupri Sulfat, Trisodium Sitrat, Sodium
Karbonat
2. Cara Pemeriksaan
a) Masukanlah 5 ml reagen Benedict kedalam tabung Reaksi.
b) Teteskan sebanyak 5 – 8 tetes ( jangan lebih ) urin kedalam tabung
itu.
c) Panaskan diatas api selama 5 menit.
d) Angkatlah tabung, kocoklah isinya dan bacalah hasil reduksi

3. Penilaian Hasil
Negatif : Tetap biru jernih atau sedikit kehijau-hijauan dan agak
keruh.
Positif 1 : Hijau kekuning-kuningan dan keruh.( Sesuai dengan 0,5 – 1
% glukosa )
Positif 2 : Kuning keruh ( 1 – 1,5 % glukosa )
Positif 3 : Jingga atau warna lumpur keruh ( 2 – 3,5 % Glukosa )
Positif 4 : Merah keruh ( lebih dari 3,5 % glukosa )

4. Hasil Praktikum
Larutan manjadi Hijau kekuningan dan keruh.
5. Pembahasan
Pada pemeriksaan reduksi untuk memeriksa kadar glukosa dalam
urin digunakan reagen berupa benedict, dimana diketahui bahwa
benedict mengandung tembaga (III) sitrat alkali (kupri sitrat) yang
berwarna biru karena adanya ion tembaga (III), selain itu dalam reagen
benedict juga terkandung Trisodium sitrat dan Sodium karbonat.
Dengan tereduksinya larutan benedict, oleh glukosa atau zat-zat lain,
warna biru hilang dan terbentuk presipitat jingga merah dari tembaga II
oksida. Warna campuran yang tereduksi bervariasi dari hijau sampai
merah, karena lebih banyak glukosa yang mereduksi reagen ini maka
lebih banyak ion tembaga (III) yang dikonversi menjadi tembaga II
oksida. (Baron,2001)
Sistem transfer glukosa di dalam tubulus proksimal merupakan
salah satu contoh yang baik. Umumnya glukosa tidak tampak dalam
urin, karena pada dasarnya semua glukosa yang difiltrasi akan
direabsorbsi dalam tubulus proksimal. Namun, bila muatan yang
difiltrasi melebihi kemampuan tubulus mereabsorbsi glukosa, maka
akan terjadi eksresi glukosa dalam urin. Pada manusia dewasa, transpor
maksimum glukosa rata-rata sekitar 320 mg/menit, sedangkan muatan
glukosa yang difiltrasi hanya sekitar 125 mg/ml. (Guyton,1997)
Dengan suatu peningkatan GFR yang besar dan atau konsentrasi
glukosa plasma yang meningkatkan muatan glukosa yang difiltrasi di
atas 320 mg/menit, kelebihan glukosa yang difiltrasi tidak direabsorbsi
tetapi lewat ke dalam urin. Hal ini dapat secara normal dapat timbul bila
konsentrasi glukosa darah meningkat diatas 180 mg/dl, suatu kadar yang
disebut sebagai nilai ambang darah untuk timbulnya glukosa dalam urin.
Bila kadar glukosa darah meningkat menjadi 300-500 mg/dl maka
dalam urin setiap hari akan dilepaskan sebanyak 100 gam atau lebih
glukosa. (Guyton,1997)
Glukosa dalam urin akan menimbulkan efek osmotik yang akan
menarik H2O bersamanya, menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai
oleh poliuria (sering berkemih). Cairan yang berlebihan dari tubuh
menimbulkan diuresis osmotik yang menyebabkan dehidrasi yang pada
gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena
volume darah turun mencolok. (Guyton,1997)
Setelah Praktikum hasil yang diperoleh adalah larutan manjadi
berwarna Hijau dan sedikit kekuningan serta ada kekeruhan yang
didalamnya. Berarti jika dicocokan dengan skala intepretasi, glokasa
yang diperiksa positif mengandung glukosa yaitu pada level positif 1
yang mengandung 0,5-1 % glukosa dalam urin probandus.
Seperti telah dijelaskan pada dasar teori pada subbab sebelumnya,
jika ada gukosa di dalam urin, berarti probandus tersebut telah
mengalami glukosuria. Pada orang normal tidak didapati glukosa dalam
urin. Glukosuria dapat terjadi karena peningkatan kadar glukosa dalam
darah yang melebihi kepasitas maksimum tubulus untuk mereabsorpsi
glukosa seperti pada diabetes mellitus, tirotoksikosis, sindroma Cushing,
phaeochromocytoma, peningkatan tekanan intrakranial atau karena
ambang rangsang ginjal yang menurun seperti pada renal glukosuria,
kehamilan dan sindroma Fanconi. Penyebab glukosuria antara lain
sebagai berikut,
a) Hiperglikemia disertai dengan kelemahan toleransi glukosa
b) Hiperglikemia sementara
c) Ambang ginjal yang rendah bagi glukosa. (Baron,2001)
6. Aplikasi Klinis
a. Diabetes Melitus (DM)
Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolik yng ditandai
dengan hiperglikemia dikarenakan defek sekresi insulin, defek fungsi
insulin maupun keduanya. Dalam jangka panjang, hiperglikemia
pada diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ lain
seperti ginjal, mata, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Gejala dari
hiperglikemia antara lain poliuri, polidipsi, polifagi. Proses
pathogenesis DM berbeda sesuai dengan klasifikasinya ( Sudoyo,
2006).
Ada empat klasifikasi dari DM:
1) Diabetes Tipe 1
Merupakan DM yang dikarenakan adanya kerusakan pada
sel β pankreas. Biasanya kerusakan tersebut dikarenakan destruksi
autoimun pada sel β pancreas. Adanya reaksi imun tersebut
bereaksi pada adanya autoantibodi sel islet, autoantibody insulin,
autoantibody GAD65 dan autoantibody tirosin fosfatase IA-2 and
IA-2β. Pada DM tipe 1 juga ditemukan adanya hubungan antara
HLA dengan gen DQA dan DQB ( Sudoyo, 2006).
2) Diabetes Tipe 2
DM tipe 2 sering menyerang orang yang obesitas. Karena
dalam status obesitas sering menyebabkan resistensi insulin.
Biasanya pasien sulit terdeteksi karena mengalami kondisi
hiperglikemia yang bertahap. Pada pasien DM tipe 2 kadar insulin
ditemukan normal atau bahkan meningkat. Pasien yang pernah
memiliki diabetes gestasional, hipertensi atau dislipidemia
memiliki kecenderungan untuk menjadi DM tipe 2 ( Sudoyo,
2006).
3) Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional didefinisikan sebagai
intoleransi glukosa dengan onset ketika dalam masa kehamilan.
Tetapi penurunan toleransi glukosa terjadi secara normal selama
kehamilan, biasanya pada trimester ketiga ( Sudoyo, 2006).
Wanita hamil cenderung menjadi hipoglikemi saat tidur
dan makan, hal ini disebabkan fetus mengambil glukosa secara
terus menerus melalui plasenta. Tingkat hormone peptid dan
steroid dari plasenta meningkat dan memberikan peningkatan
resistensi insulin pada jaringan, maka insulin diperluakan dalam
jumlah yang berlebih. Apabila insulin ibu tidak cukup maka
terjadi fetal hiperglikemia (Moore, 2009)
4) Diabetes Spesifik Tipe Lain
i. Defek genetik dari sel β.
ii. Defek genetik pada fungsi insulin.

c. Pemeriksaan Protein
1) Metode Rebus
a. Alat dan bahan
Alat : Tabung Reaksi, lampu Spiritus, pipet tetes
Bahan : Urin jernih, Reagen Asam Asetat 6%

b. Cara Pemeriksaan
1. Masukan urin kedalam tabung reaksi 2/3 penuh.
2. Miringkan dan panaskan bagian permukaan urin di atas api
spirtus sampai mendidih selama 30 detik.
3. Amati hasilnya dan bandingkan dengan bagian bawah yang tidak
dipanasi sebagai kontrol negatif.
4. Apabila terjadi kekeruhan teteskan 3 – 5 tetes asam asetat 6 %.
Jika kekeruhan hilang urin menghandung protein, bila
kekeruhan menetap kemungkinan protein positif.
5. Panasi lagi sampai mendidih, berilah penilaian pada kekeruhan
yang menetap tadi.

c. Penilaian Hasil
Negatif ( - ) : Jernih.
Positif 1 ( + ) : Kekeruhan minimal, protein 10 – 50 mg %.
Positif 2 ( ++ ) : Kekeruhan nyata, butiran halus protein 50-200
mg %.
Positif 3 ( +++ ) : Gumpalan nyata protein > 200 – 500 mg %.
Positif 4 ( ++++ ) : Gumpalan besar,mengendap,Protein>500 mg%.
Positif palsu : Kekeruhan yang timbul oleh obat yang
dikeluarkan lewat urin.
Negatif palsu : Urin terlalu encer.

d. Hasil Praktikum
Setelah dipanaskan pertama : urin menjadi keruh
Setelah diteteskan asam asetat: urin tetap keruh
Setelah dipanaskan yang kedua: tetap keruh
Penilaian : Positif 4(++++)  terdapat gumpalan besar, mengendap
(protein >500mg%)

e. Pembahasan
Pemeriksaan protein pada praktikum kali ini adalah untuk
mengetahui adanya protein dalam urin. Ada 2 metode yang
dilakukan untuk menguji adanya protein dalam urin probandus yaitu
metode rebus dan metode Sulfosalisilat. Dari kedua metode yang
telah dilakukan diperoleh hasil protein positif 4 (++++)  gumpalan
besar mengendap protein. Hasil tersebut menunjukkan bahwa urin
probandus mengandung protein. Pengeluaran protein dalam urin
biasanya menandakan penyakit ginjal (nefritis). Namun pengeluaran
protein tidak selalu dapat dikatakan nefritis karena dengan aktivitas
yang berlebihan misalnya ketika sedang berolahraga dapat juga
terjadinya proteinuria.
Dari temuan ini dimungkinkan probandus dalam keadaan
aktivitas yang tinggi sehingga ketika pemeriksaan ditemui adanya
protein dalam urin.Dalam pemeriksaan protein ini juga dapat
ditemui hasil positif palsu dan negatif palsu, dikatakan protein palsu
dapat disebabkan oleh hematuria, tingginya substansi molekular,
infus polivinilpirolidon (pengganti darah), obat (lihat pengaruh
obat), pencemaran urine oleh senyawa ammonium kuaterner
(pembersih kulit, klorheksidin), urine yang sangat basa (pH > 8).
Sedangkan negatif palsu dapat disebabkan oleh urine yang sangat
encer, urine sangat asam (pH di bawah 3). (Sherwood, 2001)

2) Metode Sulfosalisilat
a. Alat dan bahan
Alat : 2 Tabung Reaksi, lampu Spiritus, pipet tetes
Bahan : Urin, Sulfosalisilat

b. Cara Pemeriksaan
1. Sediakan 2 tabung reaksi masing-masing diisi dengan 2 ml urin
jernih.
2. Tambahkan pada tabung pertama 8 tetes lar utan asam
Sulfosalisilat 20 % kocok.
3. Bandingkanlah isi tabung pertama dengan yang kedua; kalau
tetap sama jernihnya hasil test berarti negatif.
4. Jika tabung pertama lebih keruh daripada tabung kedua,
panasilah tabung pertama diatas api sampai mendidih dan
kemudian dinginkan.
a) Jika kekeruhan tetap ada pada waktu proses pemanasan dan
tetap ada setelah didinginkan kembali, berarti test positif.
b) Jika kekeruhan itu hilang pada saat pemanasan, tetapi muncul
setalah dingin, mungkin sebabnya protein Bence Jones.

c. Penilaian Hasil
Negatif ( - ) : Jernih.
Positif 1 ( + ) : Kekeruhan minimal, protein 10 – 50 mg %.
Positif 2 ( ++ ) : Kekeruhan nyata, butiran halus protein 50-200
mg %.
Positif 3 ( +++ ) : Gumpalan nyata protein > 200 – 500 mg %.
Positif 4 ( ++++ ) : Gumpalan besar,mengendap,Protein>500
mg%.
Positif palsu :Bila kekeruhan yang timbul hilang dengan
pemanasan,urin mungkin mengandung urat atau karbonat.
Negatif palsu : Urin terlalu encer. Protein Bence Jones.

d. Hasil Praktikum
Setelah diberi sulfosalisilat: tabung pertama berubah menjadi keruh
Kemudian dipanaskan. Pada saat dipanaskan kekeruhan tetap ada.
Kemudian didinginkan, setelah didinginkan kembali, urin tetap
keruh. Selain keruh terdapat gumpalan besar dan mengendap maka
urin menunjukan positif 4 (++++).
e. Pembahasan
Biasanya tidak ada protein yang terdeteksi pada urinalisis. Adanya
protein dalam urine disebut proteinuria. Proteinuria menunjukkan
kerusakan pada ginjal, adanya darah dalam air kencing atau infeksi
kuman. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan proteinuria
adalah : penyakit ginjal (glomerulonefritis, nefropati karena
diabetes, pielonefritis, nefrosis lipoid), demam, hipertensi, multiple
myeloma, keracunan kehamilan (pre-eklampsia, eklampsia), infeksi
saluran kemih (urinary tract infection). Proteinuria juga dapat
dijumpai pada orang sehat setelah kerja jasmani, urine yang pekat
atau stress karena emosi.
Urinyang terlalu lindi, misalnya urin yang mengandung ammonium
kuartener dan urin yang terkontaminasi oleh kuman, dapat
memberikan hasil positif palsu dengan cara ini. Proteinuria dapat
terjadi karena kelainan prerenal, renal dan post-renal. Kelainan pre-
renal disebabkan karena penyakit sistemik seperti anemia hemolitik
yang disertai hemoglobinuria, mieloma,makroglobulinemia dan
dapat timbul karena gangguan perfusi glomerulus seperti pada
hipertensi dan payah jantung. Proteinuria karena kelainan ginjal
dapat disebabkan karena kelainan glomerulus atau tubuli ginjal
seperti pada penyakit glomerulunofritis akut atau kronik, sindroma
nefrotik, pielonefritis akut atau kronik, nekrosis tubuler akut dan
lain-lain.
B. PEMERIKSAAN URIN KHUSUS
1. Pemeriksaan Bilirubin
a. Tes Busa
1) Alat dan reagen
Alat : tabung reaksi.
Reagen: -

2) Cara pemeriksaan :
1. Kocoklah kuat-kuat kira-kira 5 ml urin segar dalam tabung reaksi.
2. Amati busa yang timbul.

3) Penilaian hasil :
(+) : bila timbul buih warna kuning.
(-) : buih tak berwarna / putih.
Catatan :
( + ) palsu : - bila konsentrasi urobilin tinggi.
- Obat-obatan misalnya : acriflavin, pyridium.

4) Hasil dan Pembahasan


Hasil yang didapat setelah tes busa adalah timbulnya buih berwarna
putih setelah pengocokan. Tes busa adalah suatu metode sederhana
yang dapat dilakukan dalam pemeriksaan urobilin. Percobaan ini perlu
diikuti pemeriksaan bilirubin dalam serum untuk memperkuat dugaan
adanya bilirubin urin. (Laboratorium Patologi Klinik FK UNSOED,
2011)
Hasil dirasa sudah akurat karena praktikan telah melaksanakan
prosedur pengocokan dengan benar sesuai instruksi panduan dan
asisten. Hasil tes busa ini menandakan urin dengan konsentrasi
urobilin yang normal.
5) Aplikasi Klinis
1. Malaria
Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
protozoa parasit yang merupakan golongan Plasmodium, dimana
proses penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Protozoa
parasit jenis ini banyak sekali tersebar di wilayah tropik, misalnya
di Amerika, Asia dan Afrika (Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UI, 2002).
Masa tunas / inkubasi penyakit ini dapat beberapa hari sampai
beberapa bulan yang kemudian barulah muncul tanda dan gejala
yang dikeluhkan oleh penderita seperti demam, menggigil, linu
atau nyeri persendian, kadang sampai muntah, tampak pucat /
anemis, hati serta limpa membesar, air kencing tampak keruh /
pekat karena mengandung Hemoglobin (Hemoglobinuria), positif
pada tes busa urobilin, terasa geli pada kulit dan mengalami
kekejangan (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002).
2. Keracunan Sinkofen
Sinkofen adalah suatu obat anti rematik yang apabila digunakan
dalam jangku waktu yang lama dapat menyebabkan degenerasi
hati, urobilinuria (positif pada tes busa), jaundice, indigesti, lemas,
hepatomegaly yang bersifat ireversibel (Departemen Farmakologi
FK UI, 2002).

b. Tes Fouchet
1) Alat dan reagen :
Alat :1. tabung reaksi.
2. kertas saring.
3. corong.
Reagen : Fouchet, yang terdiri dari :
Larutan 25 gr trichloracetat dalam 100 ml aquadest dicampur
dengan 10 ml larutan ferrichlorida 10%.

2) Cara pemeriksaan :
1. Campurkan 5 ml urin segar dengan 5 ml larutan bariumchlorida
10% kemudian disaring.
2. Angkat kertas saring dari corong dan biarkan agak kering.
3. Teteskan 2 – 3 tetes reagen Fouchet ke atas presipitat pada kertas
saring dan amati hasilnya.

3) Penilaian hasil :
* negatif ( - ) :bila tak terjadi perubahan warna.
* positif ( + ) :bila timbul warna hijau yang makin lama makin jelas
dan menjadi biru hijau
Sensitifitas : hasil ( + ) pada kadar 0,15 – 0,20 mg% Bi dalam urin.

4) Hasil dan Pembahasan


Hasil yang didapat setelah tes Fouchat adalah tidak adanya perubahan
warna setelah pengocokan. Tes Fouchet / Horison adalah metode
pemeriksaan bilirubin dengan berprinsip, bilirubin dalam urin
dipekatkan / diendapkan di atas kertas saring dengan bariumchlorida.
Dengan reagen Fouchet bilirubin akan teroksidasi dan berubah menjadi
biliverdin yang berwarna hijau (Laboratorium Patologi Klinik FK
UNSOED, 2011).
Hasil dirasa sudah akurat karena praktikan telah melaksanakan prosedur
pengocokan dengan benar sesuai instruksi panduan dan asisten. Hasil tes
busa ini menandakan urin dengan konsentrasi bilirubin yang normal.
5) Aplikasi Klinis
1. Sirosis hepatis
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang mengenai
seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat
disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena infeksi akut dengan
virus hepatitis dimana terjadi peradangan sel hati yang luas dan
menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi ini menyebabkan
terbentuknya banyak jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan
berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel parenkim hati yang masih
sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan berubah disertai
terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran
darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal.
Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi
tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan. Penyebab sirosis hati
beragam. Selain disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B ataupun
C, juga dapat diakibatkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan,
berbagai macam penyakit metabolik, adanya gangguan imunologis ,
dan sebagainya. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan Kadar
Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih
menurun (leukopenia), dan trombositopenia. Pada sirosis hepatis
didapatkan pemeriksaan laboratorium antara lain kenaikan SGOT,
SGPT dan gamma GT akibat kebocoran dari sel-sel yang rusak.
Namun, tidak meningkat pada sirosis inaktif. Kadar albumin rendah
terjadi bila kemampuan sel hati menurun. Kadar biluribin
meningkat baik dalam darah maupun urin. Kadar kolinesterase
(CHE) yang menurun kalau terjadi kerusakan sel hati. Masa
protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi hati.
Pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan
ketidakmampuan sel hati membentuk glikogen. Pemeriksaan
marker serologi petanda virus untuk menentukan penyebab sirosis
hati seperti HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-RNA, dan
sebagainya. Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus
meninggi atau >500-1.000 berarti telah terjadi transformasi ke arah
keganasan yaitu terjadinya kanker hati primer (hepatoma) (Hadi,
2002).
2. Hepatitis B
Penyebab hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong dalam
kelas Hepadna dan mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Jika
diamati dengan mikroskop elektron, dapat dilihat adanya 3 patikel
yang berbeda dalam darah penderita yaitu partikel berbentuk bulat
dan batang yang tidak mengandung asam nukleat dan 1 lagi partikel
yang mengandung asam nukleat. Partikel yang tidak mengandung
asam nukleat diduga hanya memiliki lapisan lipoprotein luar dari
HBV sedangkan partikel yang mengandung asam nukleat diduga
merupakan virion lengkap HBV yang disebut partikel dane.
Komponen lapisan luar disebut Hepatitis B survace antigen
(HbsAg) di dalam intyi terdaoat genome dari HBV yaitu sebagian
dari molekul tunggal dari DNA spesifik yang sirkular. Di dalam inti
HBV juga mengandung enzim yaitu DNA polimerase. Di samping
itu juga ditemukan Hepatitis Be Antigen (HbeAg). Antigen ini
hanya ditemukan pada penderita degan HbsAg positif. Kenaikan
bilirubin pada penderita ini juga menyebabkan jaundice dan
terdapat biluribin dalam darah maupun urin (Hadi, 2002).

2. Pemeriksaan Urobilinogen (Tes Ehrlich)


a. Alat dan reagen
Alat = tabung reaksi
Reagen = Ehrlich yang terdiri dari :
a. Paradimethylamino-benzaldehida 2 gr
b. Asam hidrochlorida pekat 20 ml
c. Aquades 80 ml

b. Cara pemeriksaan
1. Urin sebanyak 5 ml dicampur dengan 10 tetes reagen erhlich dalam
tabung reaksi
2. Campuran urin dan reagen didiamkan selama 3-5 menit dan dibiarkan
tegak pada rak tabung reaksi
3. Hasil diamati dan cocokkan dengan penilaian hasil

c. Penilaian hasil
Negatif = tidak terjadi perubahan warna
Positif = timbul warna merah
Negatif palsu = pada kadar protein tinggi, sulfonamide
Positif palsu = adanya indol, skatol, makanan berklorofil
Ekskresi normal = 4mg/24 jam
d. Hasil praktikum
Pada praktikum kali ini didapatkan hasil positif pada campuran urin dan
reagen yaitu terjadi perubahan warna menjadi warna merah samar-samar dan
menjadi keruh.

e. Pembahasan
Pemeriksaan Urobilinogen adalah salah satu dari pemeriksaan-
pemeriksaan yang paling sensitif untuk menentukan kerusakan hepar,
penyakit hemotilik dan infeksi berat. Pada tahap hepatitis awal, kerusakan
sel-sel hepar sedang atau toksisitas sedang, kadar urin urobilinogen akan
meningkat walaupun tidak ada perubahan dalam nilai bilirubin. Nilai
urobilinogen pada kerusakan hepar berat akan turun karena cairan empedu
yang diproduksi sedikit. Pemeriksaan urobilinogen adalah salah satu dari
pemeriksaan yang dilakukan selama urinalisis (Kee, 1997).
Empedu yang sebagian besar dibentuk dari bilirubin terkonjugasi
mencapai area duodenum, tempat bakteri dalam usus mengubah bilirubin
menjadi urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen berkurang kadarnya
ketika sudah mencapai feses, sejumlah besarnya lagi kembali ke hati
mengikuti aliran darah, di sini urobilinogen diproses ulang menjadi empedu,
dan kira-kira sejumlah 1 % diekskresikan kedalam urine melalui ginjal
(Price, 2006).
Peningkatan ekskresi urobilinogen dalam urin terjadi apabila fungsi hepar
menurun atau terdapat kelebihan urobilinogen dalam saluran gastrointestinal
yang melebihi batas kemampuan hepar untuk melakukan ekskresi.
Urobilinogen meninggi dijumpai pada :
1. Destruksi hemoglobin berlebihan (iktrerik hemolitika atau anemia
hemolitik)
2. Kerusakan parenkim hepar (toksik hepar, hepatitis infeksiosa, sirosis
hepatis, keganasan pada hepar)
3. Penyakit jantung dengan bendungan kronik
4. Obstruksi usus
5. Mononukleosis infeksiosa
6. Anemia sel sabit
Sedangkan kadar uronilinogen menurun dijumpai pada :
1. Ikterik obstruktif
2. Kanker pankreas
3. Penyakit hati yang parah (jumlah empedu yang dihasilkan sedikit)
4. Penyakit inflamasi yang parah
5. Kolelitiasis
6. Diare yang berat
Hasil yang positif juga dijumpai pada orang yang setelah berolahraga
disebabkan oleh kelelahan atau sembelit, dan orang yang sehat yang dapat
mengeluarkan urobilinogen dalam jumlah yang sedikit (Price, 2006).

3. Pemeriksaan Urobilin (Tes Schlesinger)


a. Alat dan Reagen
1. Alat = tabung reaksi, pipet tetes
2. Reagen = reagen schlesinger, larutan lugol

b. Cara pemeriksaan
1. Masukkan 5 ml urin ke dalam tabung reaksi dan tetesi 4-5 tetes larutan
lugol
2. Setelah tercampur diamkan larutan selama 5 menit
3. Setelah 5 menit beri 5 ml reagen schlesinger lalu dikocok dan disaring
4. Hasil saringan diamati

c. Penilaian hasil
Negatif = tidak tampak fluorosensi hijau
Positif = tampak fluorosensi hijau
d. Hasil Praktikum
Pada praktikum yang sudah dilakukan didapatkan hasil negatif yaitu
tidak tampak adanya fluorosensi hijau pada kertas saringan.

e. Pembahasan
Pemeriksaan urobilin dilakukan untuk mendeteksi urin yang berubah
warna, dan biasanya berwarna cokelat karena urobilinogen telah berubah
menjadi urobilin melalui oksidasi. Untuk dasar melaksanakan pemeriksaan
urobilin sebenarnya sama yaitu untuk membantu mendekteksi adanya
kerusakan hepar baik dari penurunan fungsinya atau abnormalitas bentuk
sehingga menyebabkan kelainan klinis (Rubenstein, 2005).
Pemeriksaan urobilin untuk menilai kadar ekskresi urobilinogen yang
sudah teroksider, kalau hasil positif berarti menunjukkan ekskresi
urobilinogen teroksidasi meningkat dan mempunyai makna yang sama
seperti peningkatan pada urobilinogen sebelum teroksidasi.

4. Pemeriksaan Benda Keton (Tes Gerhard)


a. Alat dan reagen
Alat = tabung teaksi
Reagen = Na nitroprusid 3 tetes, NH3 jenuh 1 cc, NH3 sulfat 1 cc
b. Cara kerja
1. Masukkan urin 5 ml ke dalam tabung reaksi
2. Beri masing-masing larutan reagen sesuai jumlah tetesan yang sudah
disediakan
3. Dicampur dan perhatikan apabila ada endapan
4. Saring dan filtratnya beri reagen lagi dan amati hasilnya

c. Penilaian hasil
Negatif = tidak terjadi perubahan warna
Positif = timbul warna merah anggur atau ungu

d. Hasil praktikum
Pada praktikum ini didapatkan hasil untuk pemeriksaan benda keton adalah
negatif yaitu tidak terjadi perubahan warna

e. Pembahasan
Badan keton (aseton, asam asetoasetat, dan asam β-hidroksibutirat)
diproduksi untuk menghasilkan energi saat karbohidrat tidak dapat
digunakan. Asam asetoasetat, dan asam β-hidroksibutirat merupakan bahan
bakar respirasi normal dan sumber energi penting terutama untuk otot
jantung dan korteks ginjal. Apabila kapsitas jaringan untuk menggunakan
keton sudah mencukupi maka akan diekskresi ke dalam urin, dan apabila
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan keton telah melampaui batas,
maka akan terjadi ketonemia. Benda keton yang ditemukan di dalam urin
terutama adalah aseton dan asam asetoasetat (Sacher, 2004).
Benda keton utama yang terbentuk pada ketosis yaitu aseton (2 % dari
total), asam asetoasetat (20%), dan β-hidroksibutirat (78%). Tetapi pada tes
Gerhard ini lebih sensitif terhadap asam asetoasetat. Pada praktikum ini
didapatkan hasil negatif, hasil positif memiliki makna klinis yang
menunjukkan keadaan ketonuria oleh kurangnya intake karbohidrat dan
ditemukan pada :
1. Dekompensasi metabolik pada penderita Diabetes Mellitus
2. Penderita kelaparan dengan diet rendah karbohidrat tinggi lemak
3. Demam tinggi
4. Hiperemis gravidarum
5. Over dosis insulin

5. Pemeriksaan Kalsium(Tes Sulkowitch)


a. Alat Dan Bahan
1. Alat
a. Tabung reaksi
b. Kertas saring + corong
2. Bahan
a. Sulkowicth, dengan susunan :
1. Asam oksalat 2,5 gr
2. Amonium oksalat 2,5 gr
3. Asam acetate glacial 5,0 ml
4. Aquadest ad 150 ml

b. Cara Kerja
Pemeriksaan ini bersifat semikuantitatif, cara pemeriksaan sebagai berikut,
1. Masukkan dalam 2 tabung reaksi masing-masing 3 ml urin untuk tes dan
control.
2. Masukkan dalam tabung tes 3 ml reagen Sulkowitch, campur dan biarkan
selama 2 – 3 menit.
3. Amati hasilnya

c. Penilaian Hasil
Normal : Tampak kekeruhan ringan sampai timbul presipitat halus hal ini
sesuai dengan ekskresi kalsium kira-kira 25 – 35 mg Ca / 100 ml
urin. Ekskresi normal : 50 – 400 mg/24 jam urin ( 2,5 – 20
meq/24 jam ) (Tim PK, 2011).
Negatif : Terjadi penurunan ekskresi kalsium pada beberapa bentuk
hipokalsemi seperti pada : Hipoparatiroidisme, Gangguan
absorbsi Ca dan Fosfat (Tim PK, 2011).
Positif kuat : Ekskresi bertambah pada keadaan :
1. Hiperparatiroidisme primer
2. Overdosis diet vit D
3. Gangguan tulang
4. Hipertiroidisme
5. Hiperkalemia idiopatik ( LIGHTWOOD )
6. Penyakit ginjal dengan hiperparatiroidisme sekunder kadang
disertai nefrolitiasis.
7. Diet tinggi alkali dan tinggi susu (Tim PK, 2011).

d. Hasil Praktikum
Larutan terjadi kekeruhan ringan.
e. Pembahasan
Kalsium adalah suatu unsur kimia yang digunakan sebagai zat gizi
pada manusia, yang digolongkan ke dalam mineral. Ion kalsium sangat
dibutuhkan oleh tubuh, karena mempunyai berbagai fungsi yang sangat
penting dalam tubuh manusia, dari sistem syaraf untuk meneruskan impuls,
sampai pada sistem skeletal yang akan berpengaruh terhadap protein aktin
dan miosin. Selain itu garam kalsium fosfat membentuk tulang dan gigi.
Kalsium juga berperan dalam pembekuan darah (Dorland, 1998).
Sekitar 10 g kalsium disaring oleh ginjal setiap hari dalam keadaan
normal. Ekskresi kalsium urin bervariasi sesuai dengan konsentrasi kalsium
serum dan beban kalsium tubuh total. Dengan diet yang mengandung 0,5-
1,0 g kalsium per hari, orang normal mengekskresikan 200-400 mg
kalsium. Peningkatan kalsium dalam makanan menyebabkan peningkatan
ekskresi, tetapi penurunan asupan dari makanan tidak banyak memengaruhi
kadar dalam urin. Pengukuran ekskresi kalsium menjadi penting dalam
evaluasi pasien dengan batu ginjal dan pasien yang dicurigai
hiperparatiroidisme (Sacher dan McPherson, 2004).
Ekskresi kalsium paling tinggi tepat setelah makan dan paling rendah
pada malam hari. Apabila terdapat kekhawatiran mengenai hiperkalsemia
progresif, uji harus dilakukan pada spesimen pagi yang pertama, saat
angka-angka biasanya normal dan peningkatan mudah dideteksi.
Sebaliknya, pasien yang khawatir akan hipokalsemia sebaiknya diperiksa
setelah makan, pada keadaan ini seharusnya terdapat banyak kalsium
(Sacher dan McPherson, 2004).
Lewatnya urin yang mengandung kalsium dalam jumlah berlebihan
biasanya berkaitan dengan peningkatan kalsium dalam plasma. Kategori
penyebab utama mencakup peningkatan asupan kalsium atau vitamin D,
peningkatan kalsium dari tulang (misal pada hiperparatiroidisme) dan
penurunan reabsorbsi kalsium dari tubulus ginjal (Sacher dan McPherson,
2004).
Tabel. Filtrasi dan Ekskresi Mineral Biasa oleh Ginjal per Hari
Difiltrasi Ekskresi
Rentang
dan urin
(mEq/L)
direabsorbsi (mg/kg/hari)
Kalsium 150 3 5-12
Magnesium 35 1,5 2-18
Fosfat 87 1,3 20-50
(Sacher dan McPherson, 2004)
Pemeriksaan kalsium darah dalam urin digunakan untuk mendeteksi
ekskresi kalsium selama 24 jam (Tim PK, 2009). Syarat pemeriksaan
adalah:
a. Persiapan penderita: diet rendah kalsium dalam waktu 72 jam
b. Sampel: urin tampung 24 jam atau 12 jam, jernih, bersifat asam, bila
perlu urin disaring dan di asamkan dengan asam acetat glacial (Tim PK,
2011).
Metode pemeriksaan : Sulkowicth (Tim PK, 2011).
Prinsip pemeriksaan tes Sulkowicth:
Urin dicampur reagen Sulkowicth (bufer oksalat) akan timbul
kekeruhan atau endapan kalsium oksalat. Kekeruhan yang timbul
berbanding lurus dengan kadar kalsium urin (Tim PK, 2009). Sebuah jurnal
menjelaskan bahwa kalsium akan terpresipitasi oleh oksalat pada pH 4,8
sampai 5,2. Oleh sebab itu, urin hendaknya diasamkan terlebih dahulu
(Shohl dan Pedley, 1921).
Pada urin yang telah diberi reagen Sulkowicth setelah 3 menit
didiamkan, tampak kekeruhan pada setangah sampai bagian atas dari
campuran tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa ada kalsium dalam
urin probandus yang diperiksa. Hal tersebut normal, karena urin normal
juga mengandung kalsium. Namun untuk mengetahui kadar kalsium di
dalam urin tersebut, belum bisa diketahui pada pemeriksaan ini. Namun
pemeriksaan yang dilakukan ini tidak seratus persen benar, karena ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil yang didapatkan, antara
lain:
a. Ketidakakuratan dalam mengukur sampel maupun reagen pada saat
praktikum.
b. Urin yang dipakai adalah urin sewaktu, bukan urin tampung 24 jam
atau 12 jam
c. Probandus mengkonsumsi makanan yang berkalsium tinggi sebelum
atau dalam waktu 72 jam sebelum pemeriksaan.
d. Kurang bersihnya alat-alat praktikum, sehingga memungkinkan
adanya bahan-bahan kontaminan yang mengganggu hasil praktikum.
e. Adanya subjektivitas dalam pengamatan hasil praktikum
Aplikasi klinis yang berhubungan dengan pemeriksaan benda keton ini
adalah batu kalsium. Batu jenis ini paling sering dijumpai, yaitu kurang
lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini
terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran dari kedua unsur
tersebut. Faktor terjadinya batu kalsium adalah:
a. Hiperkalsiuri, yaitu kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 200-
300 mg/24 jam, terdapat 3 macam penyebab terjadinya hiperkalsiuri,
antara lain:
1) Hiperkalsiuri absorptif yang terjadi karena adanya peningkatan
absorbsi kalsium melalui usus.
2) Hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal.
3) Hiperkalsiuri resorptif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi
kalsium tulang, yang banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer
atau pada tumor paratiroid.
b. Hiperoksaluri, yaitu ekskresi oksalat urin yang melebihi 45 g per hari.
Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan
pada usus sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak
mengonsumsi makanan yang kaya akan oksalat, seperti teh, kopi instan,
minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna
hijau terutama bayam.
c. Hiperurikosuria, yaitu kadar asam urat di dalam urin yang melebihi 850
mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urin bertindak sebagai inti
batu atau nidus untuk terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber asam
urat di dalam urin berasal dari makanan yang banyak mengandung purin
maupun berasal dari metabolisme endogen.
d. Hipositraturia, yaitu kadar sitrat yang rendah dalam urin. Hal ini
menyebabkan sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat,
sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Dalam
hal ini, sitrat berperan sebagai penghambat pembentukan batu kalsium.
Hipositraturia dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom
malabsorbsi, atau pemakaian tiazid dalam jangka lama.
e. Hipomagnesuria, yaitu kadar magnesium yang rendah dalam urin.
Seperti halnya sitrat, magnesium berperan sebagai penghambat
pembentukan batu. Hipomagnesuria dapat ditemukan pada penyakit
inflamasi usus yang diikuti dengan gangguan malabsorbsi (Purnomo,
2009).
BAB III
KESIMPULAN

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan didapatkan :


1. Berdasarkan hasil pemeriksaan urin rutin (pemeriksaan Makroskopis),
didapatkan hasil : Warna kuning tua(normal), Kekeruhan terdapat Kristal
(abnormal), Bau ammoniak,asam (normal), Buih putih jernih dan lama
menghilang (abnormal), Berat jenis 1015 dan pH 6.
2. Pada hasil pemeriksaan mikroskopis didapatkan sedimen Ca oksalat dan epitel
squamosa
3. Pada pemeriksaan kimiawi didapatkan hasil pH=6, pemeriksan reduksi gula
dalam urin didapatkan hasil positif 1 berwarna kuning kehijauan dan keruh.
Pemeriksaan protein dengan 2 metode didapatkan hasil positif 4 yang terlihat
terdapat gumpalan besar yang mengendap.
4. Berdasarkan hasil pemeriksaan urin khusus didapatkan : Pemeriksaan
Bilirubin pada Tes Busa Hasil : buih tidak berwarna/putih  (-), pada Tes
Fauchet/Horison Hasil : tidak terjadi perubahan warna  (-), Pemeriksaan
urobilinogen pada Tes Ehrlich (Wallace-diamond) Hasil : terjadi perubahan
warna menjadi merah samar-samar dan tidak jernih lagi (keruh)  (+),
Pemeriksaan urobilin pada Tes Schlesinger Hasil : tidak tampak fluorosensi
hijau  (-), Pemeriksaan benda keton Hasil : tidak terjadi perubahan warna
 (-), Pemeriksaan kalsium Hasil : tampak kekeruhan ringan sampai timbul
presipitat halus  normal.
5. Aplikasi klinis yang ditemukan adalah : glukosuria, proteinuria, diabetes
mellitus, ketoasidosis, hiperkalemia, sirosis hepatis, hiperkalsiuri.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, D.N. 1995. Kapita Selekta Patologi Klinik -Ed-4. Jakarta : EGC.
FK UI Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 2002. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Hlm 1754-
1755
Gandasoebrata, R. 2007. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta :Dian Rakyat.
Guyton and Hall. 1997. Pembentukan Urin oleh Ginjal : II. Pemrosesan Filtrat
Glomerulus di Tubulus. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.9. Jakarta: EGC.
421.
Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: PT. Alumni. Hlm 500-505
Kee Lefever J. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan
Implikasi Keperawatan. Jakarta : EGC.
Kumala, Poppy ; dkk. 1998. Dorland’s pocket medical dictionary. Jakarta : EGC
Moore, Thomas. 2009. Diabetes Mellitus and Pregnancy, viewed 27 December 2009
< http://emedicine.medscape.com/article/127547-overview>
Price A. Sylvia, Wilson. 2006. Patofisiologi volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC.
Purnomo, Basuki B. 2009. Batu Saluran Kemih: Dasar-Dasar Urologi. Edisi Kedua.
Jakarta: Sagung Seto, 59-60.
Rubenstein et all. 2005. Lecture Notes ; Kedokteran Klinis edisi Keenam. Jakarta :
Erlangga.
Sacher A. Ronald, McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium Edisi 11. Jakarta : EGC.
Sacher, R.A. dan McPherson, R.A. 2004. Gangguan Asam-Basa: Tinjauan Kinis
Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: EGC, 333. Shohl, Alfred
T. dan Pedley, Frank G. 1921. Rapid and Accurate for Calcium in Urine : The
Journal of Biology Chemistry.
Sacher, R.A. dan McPherson, R.A. 2004. Penilaian Laboratorium Cairan Tubuh:
Tinjauan Kinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: EGC, 610.
Sudoyo Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alvi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Tim PK. 2011. Pemeriksaan Urin Rutin dan Pemeriksaan Urin Khusus: Buku
Petunjuk Praktikum Patologi Klinik Blok Nefro – Urinarius. Purwokerto:
Laboratorium PK.

Anda mungkin juga menyukai