Laporan-BPL-UROLOGI UNSOED
Laporan-BPL-UROLOGI UNSOED
Asisten :
Rina Riyatul Mustaghfiroh (G1A008066)
Kelompok 2.5 :
Zahra Ibadina S. G1A009082
Maulana Rizqi Yuniar G1A009089
Nugroho Rizki P G1A009114
Nurul Arsy M G1A009120
Rendha Fatima R. G1A009123
R. Caesar K1A005027
Pemeriksaan urin tidak hanya dapat memberikan fakta – fakta tentang ginjal
dan saluran urin, tapi juga mengenai faal berbagai organ dalam tubuh seperti : hati,
saluran empedu, pancreas, kortek adrenal, dll.
Jika kita melakukan urinalisis dengan memakai urin kumpulan sepanjang 24
jam pada seseorang, ternyata susunan urin itu tidak banyak berbeda dari susunan urin
24 jam berikutnya. Akan tetapi kalau kita mengadakan pemeriksaan dengan sampel –
sampel urin dari orang itu pada saat – saat yang tidak menentu di waktu siang atau
malam, akan kita lihat bahwa susunan sampel urin dapat berbeda jauh dari sampel
lain. Itu sebabnya maka penting sekali untuk memilih sampel urin sesuai dengan
tujuan pemeriksaan. Untuk pemeriksaan ini diperlukan pengumpulan sampel urin
yang cermat agar tidak mempengaruhi hasilnya. Saat ini banyak cara yang digunakan
untuk mengumpulkan sampel urin, masing-masing cara memiliki kelemahan
tersendiri.
Pemeriksaan urin merupakan bagian penting pemeriksaan laboratorik. Salah
satu kegunaannya ialah untuk mendiagnosis adanya infeksi di saluran kemih. Infeksi
saluran kemih (ISK) merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman
dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung
kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. (Gandasoebrata, 2007)
BAB II
ISI
f. Ph :6
(Dijelaskan pada pemeriksaan kimiawi)
2. Pemeriksaan Mikroskopis
a. Alat dan bahan
Alat : Tabung reaksi, sentrifugator, objek glas, mikroskop
Bahan : urin
b. Cara Pemeriksaan
1. Pusingkan 10 – 15 ml urin yang dicampur dengan baik dengan
kecepatan 1500 – 2000 rpm selama 5 – 10 menit.
2. Buang filtratnya, sisakan 0,5 ml selanjutnya kocok dengan hati – hati
supaya sedimen larut dan tercampur rata.
3. Teteskan pada kaca obyek lalu tutup dengan kaca penutup secara hati
– hati dan jangan ada gelembung udaranya.
4. Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 x untuk melihat
unsur sedimen dan pembesaran 400 x untuk identifikasi unsur – unsur
yang ada.
c. Penilaian Hasil
Unsur-unsur yang ada dalam sedimen
A. Unsur Organik
1. Epitel :
a. Squamus : bentuk polymorf, sitoplasma lebar, inti satu.
Asal : kandung kemih, urethra,kontaminasi Vagina.
b. Polygonal / bulat : inti besar bulat, sitoplasma bergranula.
Asal : Ren ( tubulus )
c. Epitel berekor : inti besar bulat, sitoplasma seperti berekor.
Asal : Ureter,pelvis renis,prostat,vesika urinaria.
d. Kontaminasi : Vagina, sel – sel tumor.
2. Eritrosit :
Dalam urin hipotonik : Eritrosit membengkak, bila Hb keluar tampak
bayangan sel dan disebut “ Ghost Cell “
Hipertonik / Alkalis : bentuk krenasi.
Normal : 1–3sel/LPB atau sampai 2500 eritrosit/ml urin.
Sumber kesalahan :
- Yeast / jamur : ukuran tak sama kadang bentuk spora.
- Tetes lemak : butiran tak sama larut dalam ether.
- Tak tampak karena sel hemolisis.
- Tertutup unsur lain yang lebih banyak
3. Leukosit:
Bentuk bulat dan berinti satu atau lebih, sitoplasma bergranula atau
tanpa granula.
Normal : Wanita : kurang dari 15 sel / LPB.
Laki – laki : kurang dari 5sel/LPB.(sampai 3000/ml)
4. Torak / silinder :
Dibentuk dalam lumen tubulus ginjal, ada tiga bentuk : kecil, sedang,
besar.
Macam – macam silinder :
a. Silinder Hialin : transparan bentuk bulat tepi tegas.
Normal : 0 – 1 / LPK.
b. Silinder Granula : -granula kasar : granula besar – besar irreguler.
-granula halus : granula kasar yang mengalami
degenerasi,pendek lebar, oval.
c. Silinder Epitel : bahan dasar silinder hialin, didalamnya berisi
sel epitel yang terperangkap pada saat
pembentukan silinder.
d. Silinder Leukosit : hialin berisi leukosit.
e. Silinder Eritrosit :dengan pembesaran lemah tampak padat
kekuningan tegas, bila eritrosit penuh matriks
silinder tidak kelihatan.
f. Silinder sel dan campuran silinder : silinder dengan isi bermacam –
macam sel darah atau sel lain.
g. Silinder lilin ( waxy cast ) : sangat refraktil kekuningan, berasal
dari silinder yang mengalami
degenerasi, bentuk besar.
h. Silinder lemak ( oval fat bodies ) : asal dari sel tubulus, yang
mengalami degenerasi lemak.
Dapat dibuktikan dengan
SUDAN III.
Kesalahan penilaian :
1. Benang mucus : bentuk panjang seperti pita ujung mengecil.
2. Silinder : benang mucus yang ekornya berkelok – kelok.
3. Rambut.
4. Hife / jamur : bercabang – cabang, saling berhubungan dan
berspora.
B. Unsur Anorganik:
i. Tak patologis :
Kristal dalam urin asam seperti : - Kristal urat.
- Kristal oksalat.
- Kristal sulfat.
d. Hasil Praktikum
Ditemukan Epitel squamos dan Kristal Ca Oxalat
Epitel squamos Ca Oxalat
e. Pembahasan
Pada pemeriksaan mikroskopis urin dalam praktikum ditemukan :
1. Epitel Squamus dengan bentuk bentuk polymorf, sitoplasma lebar, inti
satu. Berasal dari kandung kemih, urethra, Vagina. Dari hasil temuan
epitel tersebut dalam urin. Urin dinyatakan normal.
2. Kristal Ca oxalat terdapat dalam pemeriksaan dalam praktikum dan
dapat dinyatakan normal karena Kristal tersebut tidak bersifat
patologis.
3. Pemeriksaan Kimiawi
a. Derajat Keasaman (pH)
1. Alat dan bahan
Alat: kertas hisap yang mengandung macam indicator (methyl red dan
bromthymol biru), standar indicator universal pH, pipet tetes dan objek
glas
Bahan: Urin jernih
2. Cara Pemeriksaan
a. Letakan sepotong kertas indicator universal pada objek glas
kemudian tetesi urin
b. Bandingkan dengan standar warna yang tersedia
3. Penilaian Hasil
Normal pH urin adalah 4,6-8,5
Urin 24 jam pH rata-rata 6,2
4. Hasil Praktikum
Pada praktikum didapatkan pH urin 6
5. Pembahasan
Jika dilihat pada nilai normal,urin yang kami periksa termasuk pada pH
yang normal. Karena pH urin yang kami dapat adalah 6 sedangkan nilai
normal dari pH urin adalah 4,6-8,5.
pH adalah derajat keasaman air seni. pH urine pada orang normal adalah
4,8 – 7,4. pH di bawah 7,0 disebut asam (acid) dan pH di atas 7,0
dinamakan basa (alkali). Beberapa keadaan dapat menyebabkan pH
urine menjadi basa , misalnya : vegetarian, setelah makan, muntah
hebat, infeksi saluran kencing oleh bakteri Proteus atau Pseudomonas,
urine yang disimpan lama, terapi obat-obatan tertentu, atau gangguan
proses pengasaman pada bagian tubulus ginjal. Sebaliknya, pH urine
bisa menjadi rendah atau asam dapat dijumpai pada : diabetes, demam
pada anak, asidosis sistemik, terapi obat-obatan tertentu.
Penetapan pH diperlukan pada gangguan keseimbangan asam basa,
kerena dapat memberi kesan tentang keadaan dalam badan. pH urin
normal berkisar antar 4,6-8,5. Selain itu penetapan pH pada infeksi
saluran kemih dapat memberi petunjuk ke arah etiologi. Pada infeksi
oleh Escherichia coli biasanya urin bereaksi asam, sedangkan pada
infeksi dengan kuman Proteus yang dapat merombak ureum menjadi
amoniak akan menyebabkan urin bersifat basa. Dalam pengobatan batu
karbonat atau kalsium fosfat urin dipertahankan asam, sedangkan untuk
mencegah terbentuknya batu urat atau oksalat pH urin sebaiknya
dipertahankan basa. Urin akan menjadi lebih asam jika mengkonsumsi
banyak protein,dan urin akan menjadi lebih basa jika mengkonsumsi
banyak sayuran. Urine yang telah melewati temperatur ruangan
untuk beberapa jam dapat menjadi alkali karena aktifitas bakteri. pH
urin tergantung pada diet, keseimbangan asam-basa, keseimbangan
cairan dan fungsi ginjal. Pada alkalosis respiratorik, ginjal mereabsorpsi
sedikit bikarbonat, yang menyebabkan ekskresi asam menjadi lebih
rendah. Hilangnya bikarbonat membantu kompensasi terhadap alkalosis
dan menyebabkan pH urin menjadi basa.
3. Penilaian Hasil
Negatif : Tetap biru jernih atau sedikit kehijau-hijauan dan agak
keruh.
Positif 1 : Hijau kekuning-kuningan dan keruh.( Sesuai dengan 0,5 – 1
% glukosa )
Positif 2 : Kuning keruh ( 1 – 1,5 % glukosa )
Positif 3 : Jingga atau warna lumpur keruh ( 2 – 3,5 % Glukosa )
Positif 4 : Merah keruh ( lebih dari 3,5 % glukosa )
4. Hasil Praktikum
Larutan manjadi Hijau kekuningan dan keruh.
5. Pembahasan
Pada pemeriksaan reduksi untuk memeriksa kadar glukosa dalam
urin digunakan reagen berupa benedict, dimana diketahui bahwa
benedict mengandung tembaga (III) sitrat alkali (kupri sitrat) yang
berwarna biru karena adanya ion tembaga (III), selain itu dalam reagen
benedict juga terkandung Trisodium sitrat dan Sodium karbonat.
Dengan tereduksinya larutan benedict, oleh glukosa atau zat-zat lain,
warna biru hilang dan terbentuk presipitat jingga merah dari tembaga II
oksida. Warna campuran yang tereduksi bervariasi dari hijau sampai
merah, karena lebih banyak glukosa yang mereduksi reagen ini maka
lebih banyak ion tembaga (III) yang dikonversi menjadi tembaga II
oksida. (Baron,2001)
Sistem transfer glukosa di dalam tubulus proksimal merupakan
salah satu contoh yang baik. Umumnya glukosa tidak tampak dalam
urin, karena pada dasarnya semua glukosa yang difiltrasi akan
direabsorbsi dalam tubulus proksimal. Namun, bila muatan yang
difiltrasi melebihi kemampuan tubulus mereabsorbsi glukosa, maka
akan terjadi eksresi glukosa dalam urin. Pada manusia dewasa, transpor
maksimum glukosa rata-rata sekitar 320 mg/menit, sedangkan muatan
glukosa yang difiltrasi hanya sekitar 125 mg/ml. (Guyton,1997)
Dengan suatu peningkatan GFR yang besar dan atau konsentrasi
glukosa plasma yang meningkatkan muatan glukosa yang difiltrasi di
atas 320 mg/menit, kelebihan glukosa yang difiltrasi tidak direabsorbsi
tetapi lewat ke dalam urin. Hal ini dapat secara normal dapat timbul bila
konsentrasi glukosa darah meningkat diatas 180 mg/dl, suatu kadar yang
disebut sebagai nilai ambang darah untuk timbulnya glukosa dalam urin.
Bila kadar glukosa darah meningkat menjadi 300-500 mg/dl maka
dalam urin setiap hari akan dilepaskan sebanyak 100 gam atau lebih
glukosa. (Guyton,1997)
Glukosa dalam urin akan menimbulkan efek osmotik yang akan
menarik H2O bersamanya, menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai
oleh poliuria (sering berkemih). Cairan yang berlebihan dari tubuh
menimbulkan diuresis osmotik yang menyebabkan dehidrasi yang pada
gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena
volume darah turun mencolok. (Guyton,1997)
Setelah Praktikum hasil yang diperoleh adalah larutan manjadi
berwarna Hijau dan sedikit kekuningan serta ada kekeruhan yang
didalamnya. Berarti jika dicocokan dengan skala intepretasi, glokasa
yang diperiksa positif mengandung glukosa yaitu pada level positif 1
yang mengandung 0,5-1 % glukosa dalam urin probandus.
Seperti telah dijelaskan pada dasar teori pada subbab sebelumnya,
jika ada gukosa di dalam urin, berarti probandus tersebut telah
mengalami glukosuria. Pada orang normal tidak didapati glukosa dalam
urin. Glukosuria dapat terjadi karena peningkatan kadar glukosa dalam
darah yang melebihi kepasitas maksimum tubulus untuk mereabsorpsi
glukosa seperti pada diabetes mellitus, tirotoksikosis, sindroma Cushing,
phaeochromocytoma, peningkatan tekanan intrakranial atau karena
ambang rangsang ginjal yang menurun seperti pada renal glukosuria,
kehamilan dan sindroma Fanconi. Penyebab glukosuria antara lain
sebagai berikut,
a) Hiperglikemia disertai dengan kelemahan toleransi glukosa
b) Hiperglikemia sementara
c) Ambang ginjal yang rendah bagi glukosa. (Baron,2001)
6. Aplikasi Klinis
a. Diabetes Melitus (DM)
Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolik yng ditandai
dengan hiperglikemia dikarenakan defek sekresi insulin, defek fungsi
insulin maupun keduanya. Dalam jangka panjang, hiperglikemia
pada diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ lain
seperti ginjal, mata, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Gejala dari
hiperglikemia antara lain poliuri, polidipsi, polifagi. Proses
pathogenesis DM berbeda sesuai dengan klasifikasinya ( Sudoyo,
2006).
Ada empat klasifikasi dari DM:
1) Diabetes Tipe 1
Merupakan DM yang dikarenakan adanya kerusakan pada
sel β pankreas. Biasanya kerusakan tersebut dikarenakan destruksi
autoimun pada sel β pancreas. Adanya reaksi imun tersebut
bereaksi pada adanya autoantibodi sel islet, autoantibody insulin,
autoantibody GAD65 dan autoantibody tirosin fosfatase IA-2 and
IA-2β. Pada DM tipe 1 juga ditemukan adanya hubungan antara
HLA dengan gen DQA dan DQB ( Sudoyo, 2006).
2) Diabetes Tipe 2
DM tipe 2 sering menyerang orang yang obesitas. Karena
dalam status obesitas sering menyebabkan resistensi insulin.
Biasanya pasien sulit terdeteksi karena mengalami kondisi
hiperglikemia yang bertahap. Pada pasien DM tipe 2 kadar insulin
ditemukan normal atau bahkan meningkat. Pasien yang pernah
memiliki diabetes gestasional, hipertensi atau dislipidemia
memiliki kecenderungan untuk menjadi DM tipe 2 ( Sudoyo,
2006).
3) Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional didefinisikan sebagai
intoleransi glukosa dengan onset ketika dalam masa kehamilan.
Tetapi penurunan toleransi glukosa terjadi secara normal selama
kehamilan, biasanya pada trimester ketiga ( Sudoyo, 2006).
Wanita hamil cenderung menjadi hipoglikemi saat tidur
dan makan, hal ini disebabkan fetus mengambil glukosa secara
terus menerus melalui plasenta. Tingkat hormone peptid dan
steroid dari plasenta meningkat dan memberikan peningkatan
resistensi insulin pada jaringan, maka insulin diperluakan dalam
jumlah yang berlebih. Apabila insulin ibu tidak cukup maka
terjadi fetal hiperglikemia (Moore, 2009)
4) Diabetes Spesifik Tipe Lain
i. Defek genetik dari sel β.
ii. Defek genetik pada fungsi insulin.
c. Pemeriksaan Protein
1) Metode Rebus
a. Alat dan bahan
Alat : Tabung Reaksi, lampu Spiritus, pipet tetes
Bahan : Urin jernih, Reagen Asam Asetat 6%
b. Cara Pemeriksaan
1. Masukan urin kedalam tabung reaksi 2/3 penuh.
2. Miringkan dan panaskan bagian permukaan urin di atas api
spirtus sampai mendidih selama 30 detik.
3. Amati hasilnya dan bandingkan dengan bagian bawah yang tidak
dipanasi sebagai kontrol negatif.
4. Apabila terjadi kekeruhan teteskan 3 – 5 tetes asam asetat 6 %.
Jika kekeruhan hilang urin menghandung protein, bila
kekeruhan menetap kemungkinan protein positif.
5. Panasi lagi sampai mendidih, berilah penilaian pada kekeruhan
yang menetap tadi.
c. Penilaian Hasil
Negatif ( - ) : Jernih.
Positif 1 ( + ) : Kekeruhan minimal, protein 10 – 50 mg %.
Positif 2 ( ++ ) : Kekeruhan nyata, butiran halus protein 50-200
mg %.
Positif 3 ( +++ ) : Gumpalan nyata protein > 200 – 500 mg %.
Positif 4 ( ++++ ) : Gumpalan besar,mengendap,Protein>500 mg%.
Positif palsu : Kekeruhan yang timbul oleh obat yang
dikeluarkan lewat urin.
Negatif palsu : Urin terlalu encer.
d. Hasil Praktikum
Setelah dipanaskan pertama : urin menjadi keruh
Setelah diteteskan asam asetat: urin tetap keruh
Setelah dipanaskan yang kedua: tetap keruh
Penilaian : Positif 4(++++) terdapat gumpalan besar, mengendap
(protein >500mg%)
e. Pembahasan
Pemeriksaan protein pada praktikum kali ini adalah untuk
mengetahui adanya protein dalam urin. Ada 2 metode yang
dilakukan untuk menguji adanya protein dalam urin probandus yaitu
metode rebus dan metode Sulfosalisilat. Dari kedua metode yang
telah dilakukan diperoleh hasil protein positif 4 (++++) gumpalan
besar mengendap protein. Hasil tersebut menunjukkan bahwa urin
probandus mengandung protein. Pengeluaran protein dalam urin
biasanya menandakan penyakit ginjal (nefritis). Namun pengeluaran
protein tidak selalu dapat dikatakan nefritis karena dengan aktivitas
yang berlebihan misalnya ketika sedang berolahraga dapat juga
terjadinya proteinuria.
Dari temuan ini dimungkinkan probandus dalam keadaan
aktivitas yang tinggi sehingga ketika pemeriksaan ditemui adanya
protein dalam urin.Dalam pemeriksaan protein ini juga dapat
ditemui hasil positif palsu dan negatif palsu, dikatakan protein palsu
dapat disebabkan oleh hematuria, tingginya substansi molekular,
infus polivinilpirolidon (pengganti darah), obat (lihat pengaruh
obat), pencemaran urine oleh senyawa ammonium kuaterner
(pembersih kulit, klorheksidin), urine yang sangat basa (pH > 8).
Sedangkan negatif palsu dapat disebabkan oleh urine yang sangat
encer, urine sangat asam (pH di bawah 3). (Sherwood, 2001)
2) Metode Sulfosalisilat
a. Alat dan bahan
Alat : 2 Tabung Reaksi, lampu Spiritus, pipet tetes
Bahan : Urin, Sulfosalisilat
b. Cara Pemeriksaan
1. Sediakan 2 tabung reaksi masing-masing diisi dengan 2 ml urin
jernih.
2. Tambahkan pada tabung pertama 8 tetes lar utan asam
Sulfosalisilat 20 % kocok.
3. Bandingkanlah isi tabung pertama dengan yang kedua; kalau
tetap sama jernihnya hasil test berarti negatif.
4. Jika tabung pertama lebih keruh daripada tabung kedua,
panasilah tabung pertama diatas api sampai mendidih dan
kemudian dinginkan.
a) Jika kekeruhan tetap ada pada waktu proses pemanasan dan
tetap ada setelah didinginkan kembali, berarti test positif.
b) Jika kekeruhan itu hilang pada saat pemanasan, tetapi muncul
setalah dingin, mungkin sebabnya protein Bence Jones.
c. Penilaian Hasil
Negatif ( - ) : Jernih.
Positif 1 ( + ) : Kekeruhan minimal, protein 10 – 50 mg %.
Positif 2 ( ++ ) : Kekeruhan nyata, butiran halus protein 50-200
mg %.
Positif 3 ( +++ ) : Gumpalan nyata protein > 200 – 500 mg %.
Positif 4 ( ++++ ) : Gumpalan besar,mengendap,Protein>500
mg%.
Positif palsu :Bila kekeruhan yang timbul hilang dengan
pemanasan,urin mungkin mengandung urat atau karbonat.
Negatif palsu : Urin terlalu encer. Protein Bence Jones.
d. Hasil Praktikum
Setelah diberi sulfosalisilat: tabung pertama berubah menjadi keruh
Kemudian dipanaskan. Pada saat dipanaskan kekeruhan tetap ada.
Kemudian didinginkan, setelah didinginkan kembali, urin tetap
keruh. Selain keruh terdapat gumpalan besar dan mengendap maka
urin menunjukan positif 4 (++++).
e. Pembahasan
Biasanya tidak ada protein yang terdeteksi pada urinalisis. Adanya
protein dalam urine disebut proteinuria. Proteinuria menunjukkan
kerusakan pada ginjal, adanya darah dalam air kencing atau infeksi
kuman. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan proteinuria
adalah : penyakit ginjal (glomerulonefritis, nefropati karena
diabetes, pielonefritis, nefrosis lipoid), demam, hipertensi, multiple
myeloma, keracunan kehamilan (pre-eklampsia, eklampsia), infeksi
saluran kemih (urinary tract infection). Proteinuria juga dapat
dijumpai pada orang sehat setelah kerja jasmani, urine yang pekat
atau stress karena emosi.
Urinyang terlalu lindi, misalnya urin yang mengandung ammonium
kuartener dan urin yang terkontaminasi oleh kuman, dapat
memberikan hasil positif palsu dengan cara ini. Proteinuria dapat
terjadi karena kelainan prerenal, renal dan post-renal. Kelainan pre-
renal disebabkan karena penyakit sistemik seperti anemia hemolitik
yang disertai hemoglobinuria, mieloma,makroglobulinemia dan
dapat timbul karena gangguan perfusi glomerulus seperti pada
hipertensi dan payah jantung. Proteinuria karena kelainan ginjal
dapat disebabkan karena kelainan glomerulus atau tubuli ginjal
seperti pada penyakit glomerulunofritis akut atau kronik, sindroma
nefrotik, pielonefritis akut atau kronik, nekrosis tubuler akut dan
lain-lain.
B. PEMERIKSAAN URIN KHUSUS
1. Pemeriksaan Bilirubin
a. Tes Busa
1) Alat dan reagen
Alat : tabung reaksi.
Reagen: -
2) Cara pemeriksaan :
1. Kocoklah kuat-kuat kira-kira 5 ml urin segar dalam tabung reaksi.
2. Amati busa yang timbul.
3) Penilaian hasil :
(+) : bila timbul buih warna kuning.
(-) : buih tak berwarna / putih.
Catatan :
( + ) palsu : - bila konsentrasi urobilin tinggi.
- Obat-obatan misalnya : acriflavin, pyridium.
b. Tes Fouchet
1) Alat dan reagen :
Alat :1. tabung reaksi.
2. kertas saring.
3. corong.
Reagen : Fouchet, yang terdiri dari :
Larutan 25 gr trichloracetat dalam 100 ml aquadest dicampur
dengan 10 ml larutan ferrichlorida 10%.
2) Cara pemeriksaan :
1. Campurkan 5 ml urin segar dengan 5 ml larutan bariumchlorida
10% kemudian disaring.
2. Angkat kertas saring dari corong dan biarkan agak kering.
3. Teteskan 2 – 3 tetes reagen Fouchet ke atas presipitat pada kertas
saring dan amati hasilnya.
3) Penilaian hasil :
* negatif ( - ) :bila tak terjadi perubahan warna.
* positif ( + ) :bila timbul warna hijau yang makin lama makin jelas
dan menjadi biru hijau
Sensitifitas : hasil ( + ) pada kadar 0,15 – 0,20 mg% Bi dalam urin.
b. Cara pemeriksaan
1. Urin sebanyak 5 ml dicampur dengan 10 tetes reagen erhlich dalam
tabung reaksi
2. Campuran urin dan reagen didiamkan selama 3-5 menit dan dibiarkan
tegak pada rak tabung reaksi
3. Hasil diamati dan cocokkan dengan penilaian hasil
c. Penilaian hasil
Negatif = tidak terjadi perubahan warna
Positif = timbul warna merah
Negatif palsu = pada kadar protein tinggi, sulfonamide
Positif palsu = adanya indol, skatol, makanan berklorofil
Ekskresi normal = 4mg/24 jam
d. Hasil praktikum
Pada praktikum kali ini didapatkan hasil positif pada campuran urin dan
reagen yaitu terjadi perubahan warna menjadi warna merah samar-samar dan
menjadi keruh.
e. Pembahasan
Pemeriksaan Urobilinogen adalah salah satu dari pemeriksaan-
pemeriksaan yang paling sensitif untuk menentukan kerusakan hepar,
penyakit hemotilik dan infeksi berat. Pada tahap hepatitis awal, kerusakan
sel-sel hepar sedang atau toksisitas sedang, kadar urin urobilinogen akan
meningkat walaupun tidak ada perubahan dalam nilai bilirubin. Nilai
urobilinogen pada kerusakan hepar berat akan turun karena cairan empedu
yang diproduksi sedikit. Pemeriksaan urobilinogen adalah salah satu dari
pemeriksaan yang dilakukan selama urinalisis (Kee, 1997).
Empedu yang sebagian besar dibentuk dari bilirubin terkonjugasi
mencapai area duodenum, tempat bakteri dalam usus mengubah bilirubin
menjadi urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen berkurang kadarnya
ketika sudah mencapai feses, sejumlah besarnya lagi kembali ke hati
mengikuti aliran darah, di sini urobilinogen diproses ulang menjadi empedu,
dan kira-kira sejumlah 1 % diekskresikan kedalam urine melalui ginjal
(Price, 2006).
Peningkatan ekskresi urobilinogen dalam urin terjadi apabila fungsi hepar
menurun atau terdapat kelebihan urobilinogen dalam saluran gastrointestinal
yang melebihi batas kemampuan hepar untuk melakukan ekskresi.
Urobilinogen meninggi dijumpai pada :
1. Destruksi hemoglobin berlebihan (iktrerik hemolitika atau anemia
hemolitik)
2. Kerusakan parenkim hepar (toksik hepar, hepatitis infeksiosa, sirosis
hepatis, keganasan pada hepar)
3. Penyakit jantung dengan bendungan kronik
4. Obstruksi usus
5. Mononukleosis infeksiosa
6. Anemia sel sabit
Sedangkan kadar uronilinogen menurun dijumpai pada :
1. Ikterik obstruktif
2. Kanker pankreas
3. Penyakit hati yang parah (jumlah empedu yang dihasilkan sedikit)
4. Penyakit inflamasi yang parah
5. Kolelitiasis
6. Diare yang berat
Hasil yang positif juga dijumpai pada orang yang setelah berolahraga
disebabkan oleh kelelahan atau sembelit, dan orang yang sehat yang dapat
mengeluarkan urobilinogen dalam jumlah yang sedikit (Price, 2006).
b. Cara pemeriksaan
1. Masukkan 5 ml urin ke dalam tabung reaksi dan tetesi 4-5 tetes larutan
lugol
2. Setelah tercampur diamkan larutan selama 5 menit
3. Setelah 5 menit beri 5 ml reagen schlesinger lalu dikocok dan disaring
4. Hasil saringan diamati
c. Penilaian hasil
Negatif = tidak tampak fluorosensi hijau
Positif = tampak fluorosensi hijau
d. Hasil Praktikum
Pada praktikum yang sudah dilakukan didapatkan hasil negatif yaitu
tidak tampak adanya fluorosensi hijau pada kertas saringan.
e. Pembahasan
Pemeriksaan urobilin dilakukan untuk mendeteksi urin yang berubah
warna, dan biasanya berwarna cokelat karena urobilinogen telah berubah
menjadi urobilin melalui oksidasi. Untuk dasar melaksanakan pemeriksaan
urobilin sebenarnya sama yaitu untuk membantu mendekteksi adanya
kerusakan hepar baik dari penurunan fungsinya atau abnormalitas bentuk
sehingga menyebabkan kelainan klinis (Rubenstein, 2005).
Pemeriksaan urobilin untuk menilai kadar ekskresi urobilinogen yang
sudah teroksider, kalau hasil positif berarti menunjukkan ekskresi
urobilinogen teroksidasi meningkat dan mempunyai makna yang sama
seperti peningkatan pada urobilinogen sebelum teroksidasi.
c. Penilaian hasil
Negatif = tidak terjadi perubahan warna
Positif = timbul warna merah anggur atau ungu
d. Hasil praktikum
Pada praktikum ini didapatkan hasil untuk pemeriksaan benda keton adalah
negatif yaitu tidak terjadi perubahan warna
e. Pembahasan
Badan keton (aseton, asam asetoasetat, dan asam β-hidroksibutirat)
diproduksi untuk menghasilkan energi saat karbohidrat tidak dapat
digunakan. Asam asetoasetat, dan asam β-hidroksibutirat merupakan bahan
bakar respirasi normal dan sumber energi penting terutama untuk otot
jantung dan korteks ginjal. Apabila kapsitas jaringan untuk menggunakan
keton sudah mencukupi maka akan diekskresi ke dalam urin, dan apabila
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan keton telah melampaui batas,
maka akan terjadi ketonemia. Benda keton yang ditemukan di dalam urin
terutama adalah aseton dan asam asetoasetat (Sacher, 2004).
Benda keton utama yang terbentuk pada ketosis yaitu aseton (2 % dari
total), asam asetoasetat (20%), dan β-hidroksibutirat (78%). Tetapi pada tes
Gerhard ini lebih sensitif terhadap asam asetoasetat. Pada praktikum ini
didapatkan hasil negatif, hasil positif memiliki makna klinis yang
menunjukkan keadaan ketonuria oleh kurangnya intake karbohidrat dan
ditemukan pada :
1. Dekompensasi metabolik pada penderita Diabetes Mellitus
2. Penderita kelaparan dengan diet rendah karbohidrat tinggi lemak
3. Demam tinggi
4. Hiperemis gravidarum
5. Over dosis insulin
b. Cara Kerja
Pemeriksaan ini bersifat semikuantitatif, cara pemeriksaan sebagai berikut,
1. Masukkan dalam 2 tabung reaksi masing-masing 3 ml urin untuk tes dan
control.
2. Masukkan dalam tabung tes 3 ml reagen Sulkowitch, campur dan biarkan
selama 2 – 3 menit.
3. Amati hasilnya
c. Penilaian Hasil
Normal : Tampak kekeruhan ringan sampai timbul presipitat halus hal ini
sesuai dengan ekskresi kalsium kira-kira 25 – 35 mg Ca / 100 ml
urin. Ekskresi normal : 50 – 400 mg/24 jam urin ( 2,5 – 20
meq/24 jam ) (Tim PK, 2011).
Negatif : Terjadi penurunan ekskresi kalsium pada beberapa bentuk
hipokalsemi seperti pada : Hipoparatiroidisme, Gangguan
absorbsi Ca dan Fosfat (Tim PK, 2011).
Positif kuat : Ekskresi bertambah pada keadaan :
1. Hiperparatiroidisme primer
2. Overdosis diet vit D
3. Gangguan tulang
4. Hipertiroidisme
5. Hiperkalemia idiopatik ( LIGHTWOOD )
6. Penyakit ginjal dengan hiperparatiroidisme sekunder kadang
disertai nefrolitiasis.
7. Diet tinggi alkali dan tinggi susu (Tim PK, 2011).
d. Hasil Praktikum
Larutan terjadi kekeruhan ringan.
e. Pembahasan
Kalsium adalah suatu unsur kimia yang digunakan sebagai zat gizi
pada manusia, yang digolongkan ke dalam mineral. Ion kalsium sangat
dibutuhkan oleh tubuh, karena mempunyai berbagai fungsi yang sangat
penting dalam tubuh manusia, dari sistem syaraf untuk meneruskan impuls,
sampai pada sistem skeletal yang akan berpengaruh terhadap protein aktin
dan miosin. Selain itu garam kalsium fosfat membentuk tulang dan gigi.
Kalsium juga berperan dalam pembekuan darah (Dorland, 1998).
Sekitar 10 g kalsium disaring oleh ginjal setiap hari dalam keadaan
normal. Ekskresi kalsium urin bervariasi sesuai dengan konsentrasi kalsium
serum dan beban kalsium tubuh total. Dengan diet yang mengandung 0,5-
1,0 g kalsium per hari, orang normal mengekskresikan 200-400 mg
kalsium. Peningkatan kalsium dalam makanan menyebabkan peningkatan
ekskresi, tetapi penurunan asupan dari makanan tidak banyak memengaruhi
kadar dalam urin. Pengukuran ekskresi kalsium menjadi penting dalam
evaluasi pasien dengan batu ginjal dan pasien yang dicurigai
hiperparatiroidisme (Sacher dan McPherson, 2004).
Ekskresi kalsium paling tinggi tepat setelah makan dan paling rendah
pada malam hari. Apabila terdapat kekhawatiran mengenai hiperkalsemia
progresif, uji harus dilakukan pada spesimen pagi yang pertama, saat
angka-angka biasanya normal dan peningkatan mudah dideteksi.
Sebaliknya, pasien yang khawatir akan hipokalsemia sebaiknya diperiksa
setelah makan, pada keadaan ini seharusnya terdapat banyak kalsium
(Sacher dan McPherson, 2004).
Lewatnya urin yang mengandung kalsium dalam jumlah berlebihan
biasanya berkaitan dengan peningkatan kalsium dalam plasma. Kategori
penyebab utama mencakup peningkatan asupan kalsium atau vitamin D,
peningkatan kalsium dari tulang (misal pada hiperparatiroidisme) dan
penurunan reabsorbsi kalsium dari tubulus ginjal (Sacher dan McPherson,
2004).
Tabel. Filtrasi dan Ekskresi Mineral Biasa oleh Ginjal per Hari
Difiltrasi Ekskresi
Rentang
dan urin
(mEq/L)
direabsorbsi (mg/kg/hari)
Kalsium 150 3 5-12
Magnesium 35 1,5 2-18
Fosfat 87 1,3 20-50
(Sacher dan McPherson, 2004)
Pemeriksaan kalsium darah dalam urin digunakan untuk mendeteksi
ekskresi kalsium selama 24 jam (Tim PK, 2009). Syarat pemeriksaan
adalah:
a. Persiapan penderita: diet rendah kalsium dalam waktu 72 jam
b. Sampel: urin tampung 24 jam atau 12 jam, jernih, bersifat asam, bila
perlu urin disaring dan di asamkan dengan asam acetat glacial (Tim PK,
2011).
Metode pemeriksaan : Sulkowicth (Tim PK, 2011).
Prinsip pemeriksaan tes Sulkowicth:
Urin dicampur reagen Sulkowicth (bufer oksalat) akan timbul
kekeruhan atau endapan kalsium oksalat. Kekeruhan yang timbul
berbanding lurus dengan kadar kalsium urin (Tim PK, 2009). Sebuah jurnal
menjelaskan bahwa kalsium akan terpresipitasi oleh oksalat pada pH 4,8
sampai 5,2. Oleh sebab itu, urin hendaknya diasamkan terlebih dahulu
(Shohl dan Pedley, 1921).
Pada urin yang telah diberi reagen Sulkowicth setelah 3 menit
didiamkan, tampak kekeruhan pada setangah sampai bagian atas dari
campuran tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa ada kalsium dalam
urin probandus yang diperiksa. Hal tersebut normal, karena urin normal
juga mengandung kalsium. Namun untuk mengetahui kadar kalsium di
dalam urin tersebut, belum bisa diketahui pada pemeriksaan ini. Namun
pemeriksaan yang dilakukan ini tidak seratus persen benar, karena ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil yang didapatkan, antara
lain:
a. Ketidakakuratan dalam mengukur sampel maupun reagen pada saat
praktikum.
b. Urin yang dipakai adalah urin sewaktu, bukan urin tampung 24 jam
atau 12 jam
c. Probandus mengkonsumsi makanan yang berkalsium tinggi sebelum
atau dalam waktu 72 jam sebelum pemeriksaan.
d. Kurang bersihnya alat-alat praktikum, sehingga memungkinkan
adanya bahan-bahan kontaminan yang mengganggu hasil praktikum.
e. Adanya subjektivitas dalam pengamatan hasil praktikum
Aplikasi klinis yang berhubungan dengan pemeriksaan benda keton ini
adalah batu kalsium. Batu jenis ini paling sering dijumpai, yaitu kurang
lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini
terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran dari kedua unsur
tersebut. Faktor terjadinya batu kalsium adalah:
a. Hiperkalsiuri, yaitu kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 200-
300 mg/24 jam, terdapat 3 macam penyebab terjadinya hiperkalsiuri,
antara lain:
1) Hiperkalsiuri absorptif yang terjadi karena adanya peningkatan
absorbsi kalsium melalui usus.
2) Hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal.
3) Hiperkalsiuri resorptif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi
kalsium tulang, yang banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer
atau pada tumor paratiroid.
b. Hiperoksaluri, yaitu ekskresi oksalat urin yang melebihi 45 g per hari.
Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan
pada usus sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak
mengonsumsi makanan yang kaya akan oksalat, seperti teh, kopi instan,
minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna
hijau terutama bayam.
c. Hiperurikosuria, yaitu kadar asam urat di dalam urin yang melebihi 850
mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urin bertindak sebagai inti
batu atau nidus untuk terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber asam
urat di dalam urin berasal dari makanan yang banyak mengandung purin
maupun berasal dari metabolisme endogen.
d. Hipositraturia, yaitu kadar sitrat yang rendah dalam urin. Hal ini
menyebabkan sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat,
sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Dalam
hal ini, sitrat berperan sebagai penghambat pembentukan batu kalsium.
Hipositraturia dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom
malabsorbsi, atau pemakaian tiazid dalam jangka lama.
e. Hipomagnesuria, yaitu kadar magnesium yang rendah dalam urin.
Seperti halnya sitrat, magnesium berperan sebagai penghambat
pembentukan batu. Hipomagnesuria dapat ditemukan pada penyakit
inflamasi usus yang diikuti dengan gangguan malabsorbsi (Purnomo,
2009).
BAB III
KESIMPULAN