Laporan Penelitian
Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Berat
dengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Agus Junaidi, Suwarman, Tatang Bisri ............................................................................... 87–93
Laporan Kasus
Tinjauan Pustaka
Abstrak
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi dari cedera otak traumatik (COT)
berat, dapat disebabkan karena neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspirasi, dan emboli paru.
Penelitian ini untuk mengetahui korelasi skor GCS pada cedera otak traumatik berat dengan kejadian dan derajat
ARDS. Penelitian observasional prospektif cross sectional pada 32 orang pasien COT derajat berat di rumah sakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung sejak Mei 2015 sampai September 2015. Pengambilan data dilakukan secara consecutive
sampling. Parameter yang dicatat dalam penelitian ini antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, GCS, rentang waktu,
diagnosis, kejadian ARDS, dan derajat ARDS. Analisis korelasi linear dua variabel dihitung berdasarkan analisis
korelasi Spearman dan korelasi ETA. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara skor GCS pada COT berat
dengan kejadian ARDS dengan kekuatan korelasi searah, moderat, (r=0,402), bermakna (p<0.05) dan derajat beratnya
ARDS dengan kekuatan korelasi searah, kecil (r=0,389), bermakna (p<0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah
semakin rendah skor GCS pada COT berat maka akan semakin besar kejadian ARDS dan semakin berat derajat ARDS.
Kata kunci: Acute respiratory distress syndrome, cedera otak traumatik, glasgow coma scale
Correlation Glasgow Coma Scale (GCS) Score on Severe Head Injury with the Insidence
and Degree of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Abstract
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is one of the complications of severe traumatic brain injury (TBI),
it can be caused by neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspiration, and pulmonary embolism. This
study was determine the correlation glasgow coma scale score on severe head injury with insidence and degree
of acute respiratory distress syndrome. This study was using prospective observational cross-sectional method
in 32 patients with severe TBI at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung on May 2015 untill September
2015. Data collection was performed by consecutive sampling. Parameters were recorded in this study include
age, gender, weight, GCS, time scales, diagnosis, incidence and degrees of ARDS. Linear correlation analysis
was calculated based on two variables Spearman correlation analysis and correlation ETA. The results showed a
correlation between GCS score on severe COT with the incidence of ARDS with the strength of the correlation
moderate (r=0.402), significantly (p<0.05), one direction and degrees of ARDS with the strength of the correlation
small (r=0.389), significantly (p<0.05), one direction. The conclusions of this study is the lower the GCS score on
severe COT will lead to greater the incidence and the degree of ARDS.
Key words: Acute respiratory distress syndrome, traumatic brain injury, glasgow coma scale
87
88 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
atau uji kolmogorv smirnov untuk mencari Tabel 2. Perbandingan Proporsi Kejadian ARDS
kekuatan hubungan dan uji analisis korelasi untuk berdasarkan GCS
mencari kekuatan dan arah korelasi. Kriteria Kejadian ARDS
Gullford digunakan sebagai penentu kekuatan GCS Ya Tidak Nilai p
korelasi penelitian ini.
3 3 (42,9%) 4 (57,1%) 0,022**
III. Hasil 4 3 (60,0%) 2 (40,0%)
5 0 (0,0%) 3 (100,0%)
Usia termuda adalah 18 tahun dan tertua 59 6 0 (0,0%) 4 (100,0%)
tahun. Rentang waktu pasien dari kejadian COT 7 0 (0,0%) 4 (100,0%)
hingga mendapatkan tindakan medik adalah 1–13 8 1 (11,1%) 8 (88,9%)
Keterangan: Nilai p pada variabel kategorik dengan uji chi-
kuadrat. Dengan alternatif uji kolmogorov smirnov apabila
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian
syarat dari chi-kuadrat tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan
Variabel n (%) R a t a - r a t a Median berdasarkan nilai p<0,05. Tanda ** menunjukkan nilai
(SD) p<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik;
Usia pasien 31,37 25,50 GCS glasgow coma scale; ARDS acute respiratory distress
(tahun) (12,94) syndrome
Berat badan (Kg) 56,59 (6,81) 56,00
Jenis kelamin Tabel 4. Analisis Kolerasi antara GCS dan Kejadian
Laki-laki 19 (59,4%) ARDS
Perempuan 13 (40,6%) Angka Kejadian
jam. Rentang GCS skor adalah pasien dengan otak. Ketika COT terjadi, autoregulasi akan
COT derajat berat atau GCS 3–8 (Tabel 1). menjadi terganggu sehingga menyebabkan
Angka kejadian ARDS paling tinggi terjadi peningkatan CBF, dan menyebabkan peningkatan
pada GCS 3 dan 4. Hanya seorang pasien ICP.10 Peningkatan ICP akan mengakibatkan
dengan GCS 8 yang mengalami ARDS. berkurangnya perfusi dan aliran darah ke otak
Berdasarkan hasil uji kolmogorov smirnov sehingga dapat menyebabkan iskemia yang akan
menunjukkan bahwa hasil tersebut bermakna mengakibatkan cedera otak iskemik sekunder.11
secara statistika (p<0,05; Tabel 2). Pasien
dengan GCS 3 dan 4 mengalami ARDS derajat Tekanan intrakranial yang meningkat di luar
berat terbanyak sedangkan GCS 8 hanya 1 batas dari mekanisme kompensasi menyebabkan
orang. Berdasarkan uji kolmogorov smirnov CPP terganggu, iskemia jaringan otak, refleks
menunjukkan bahwa hasil tersebut bermakna cushing, penurunan CBF, dan peningkatan CO2
secara statistika (p<0,05; Tabel 3). sehingga dapat menimbulkan efek vasodilatasi
di pusat vasomotor. Pusat vasomotor memulai
Menggunakan uji korelasi ETA diperoleh nilai r respons sistem saraf simpatik yang menyebabkan
sebesar 0,402. Mengacu pada kriteria Gullford peningkatan MAP sebagai respons kompensasi
korelasi ini menunjukkan korelasi yang cukup tubuh untuk meningkatkan CPP.12 Berdasarkan
kuat antara GCS dan kejadian ARDS (Tabel penyebabnya COT terbagi menjadi dua yaitu
4). Menggunakan uji korelasi rank spearman primer dan sekunder. Cedera otak traumatik
diperoleh nilai r sebesar 0,389. Mengacu pada primer terjadi langsung sebagai akibat mekanik
kriteria Gullford korelasi ini menunjukkan pada saat kecelakaan sedangkan COT sekunder
korelasi yang kecil atau tidak erat antara GCS dan muncul selama beberapa menit hingga beberapa
derajat ARDS (Tabel 5). hari yang disebabkan kombinasi oleh kerusakan
ekstrakranial secara sistemik dan perubahan
III. Pembahasan secara fisika dan biokimia intrakranial.12
Cedera otak primer melibatkan gangguan fisik
Acute respiratory distress syndrome adalah suatu struktur intrakranial. Cedera tersebut meliputi
sindrom dengan berbagai faktor risiko yang kerusakan parenkim otak seperti memar,
memicu terjadinya kejadian akut insufisiensi hematoma, laserasi, dan cedera aksonal difus.
sistem respirasi. Saat ini definisi ARDS yang Cedera otak traumatik mengaktivasi beberapa
digunakan adalah definisi Berlin. Terdapat tiga jalur biokimia yang saling berhubungan, yang
kategori eksklusif ARDS yaitu ringan, sedang, berperan terhadap kerusakan jaringan otak lebih
dan berat.8 Penggunaan istilah ALI dihilangkan lanjut. Cedera intrakranial sekunder sebagian
didalam konsensus ini.9 besar dimediasi melalui peningkatan aktivitas
rangsangan neurotransmiter, pembentukan anti
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin oksidan, dan produksi pro-inflamasi sitokin,
rendah skor GCS pada cedera otak traumatik yang berkontribusi terhadap kerusakan sel
maka kejadian ARDS semakin tinggi dan saraf dan kematian sel. Pembentukan edema
meningkatkan derajat beratnya ARDS (Tabel 2 serebral, peningkatan ICP, gangguan terhadap
dan Tabel 3). Konsep utama pengaturan fungsi sawar darah otak (blood brain barrier/BBB)
otak normal adalah mengatur tekanan perfusi dan perubahan dalam reaktivitas serebrovaskular
serebral (cerebral perfusion pressure/CPP) yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
yang adekuat. Tekanan perfusi serebral adalah sekunder jaringan saraf.12 Setelah terjadi COT,
tekanan arteri rata-rata dikurangi dengan tekanan neurotransmiter dilepaskan dalam jumlah besar
intrakranial (intracranial pressure/ICP). Pada oleh tubuh yang mengakibatkan peningkatan
otak normal aliran darah otak (cerebral blood aktivas metabolik dan deplesi adenosin tri phosfat
flow/CBF) diatur konstan pada tekanan arteri rata- (ATP). Kegagalan energi menyebabkan gangguan
rata (mean arterial pressure/MAP) antara 60– homeostasis ion dan masuknya natrium dan
150 mmHg, yang dikenal sebagai autoregulasi kalsium yang tidak terkendali ke dalam neuron,
Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik 91
Beratdengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS)
yang kemudian terjadi edema sitotoksik dan Kuman-kuman penyebab terseringnya adalah
depolarisasi sel. Depolarisasi sel mengakibatkan kuman yang berada pada saluran napas atas
pelepasan neurotransmiter seperti glutamat. yang berkolonisasi. Penelitian sebelumnya
Glutamat memperantarai peningkatan kalsium menyebutkan bahwa terjadi 40–64% pasien
dalam intraselular. Akumulasi kalsium dalam COT berat mengalami pneumonia dan pasien
sel mengaktifkan beberapa enzim intraselular dengan GCS skor terendah memiliki risiko lebih
menyebabkan kerusakan intraselular yang lebih tinggi mengalami pneumonia.15 Pasien dengan
parah dan kematian sel.12 COT berat juga berhubungan dengan ventilator
acquired pneumonia (VAP) sebagai akibat
Cedera otak traumatik berhubungan dengan sekunder penggunaan lama intubasi dan ventilasi
pelepasan inflamasi sitokin diikuti oleh infiltrasi mekanis. VAP umumnya berkembang setelah
dan akumulasi sel inflamasi. Mediator- mediator 5 hari. Umumnya kuman-kuman penyebabnya
inflamasi ini mengakibatkan cedera otak sekunder adalah bakteri gram negatif dan multiresisten.15
dengan menon-aktifkan asam arakidonat, jalur Pasien dengan COT berat yang menggunakan
koagulasi, mengganggu BBB, dan menginduksi ventilasi mekanis berisiko VAP dikarenakan
produksi nitrat oksida (NO). Nitrat oksida beberapa faktor sebagai berikut seperti tingkat
menyebabkan vasodilatasi yang berlebihan, yang penurunan kesadaran, mulut yang kering dan
menyebabkan gangguan autoregulasi. Selain terbuka, mikroaspirasi akibat sekresi. Pasien
itu, NO berkontribusi untuk pembentukan anti dengan COT berat cenderung menggunakan
oksidan dan glutamat.12 Pada sebuah penelitian ventilasi mekanik.14
yang dilakukan pada 102 tikus ditemukan
bahwa pada kasus dengan COT berat atau fatal Penyebab ARDS lainya yaitu NPE. Patogenesis
didapatkan migrasi besar-besaran sel-sel inflamasi NPE tidak sepenuhnya dipahami. Neurogenic
khususnya neutrofil dan makrofag pada alveoli. pulmonary edema berkaitan dengan stimulasi
Hal ini disebabkan teraktivasinya mediator- berlebihan pada sistem saraf otak (central
mediator inflamasi yang telah disebutkan diatas.13 nerves system/CNS) pada aktivitas sympatho-
Tingkat kesadaran adalah hal empiris yang adrenal yang menyebabkan vasokonstriksi
paling dapat diandalkan dalam mengukur perifer, peningkatan aliran balik vena,
gangguan fungsi otak setelah COT. Memberikan menimbulkan hipertensi sistemik, peningkatan
informasi tentang kemampuan fungsional afterload ventrikel kiri dan berkurangnya stroke
dari korteks serebral, beserta jaras naik pada volume ventrikel kiri, dan kemudian darah
reticular activating system (RAS) di batang otak. akan terakumulasi dalam sirkulasi paru yang
Menurunnya tingkat kesadaran menunjukkan mengakibatkan hipertensi kapiler paru dan
adanya gangguan fungsi korteks serebral, edema.12 Mediator utama dalam stress response
gangguan transmisi rangsangan sensorik oleh pada sistem saraf simpatis adalah katekolamin.
batang otak atau RAS. Pasien yang koma Sebuah penelitian menyebutkan terdapat
umumnya terjadi kerusakan pada batang otak, korelasi antara GCS dengan katekolamin plasma
kerusakan korteks serebral bilateral atau global dimana terdapat peningkatan 4 sampai 5 kali
yang berat.12 Cedera otak langsung, penekanan pada GCS 3 dan 4.15 Katekolamin endogen
terhadap tingkat kesadaran, ketidakmampuan menyebabkan penekanan selektif terhadap
dalam proteksi jalan napas, gangguan sistem imunitas seluler melalui imunoinhibitor sitokin,
pertahanan tubuh, mobilitas berkurang, dan yang kemudian menyebabkan adanya keadaan
cedera sekunder fisiopatologis adalah penyebab immunocompromised setelah COT. Secara
utama komplikasi paru.14 keseluruhan efek dari beragam mekanisme yang
Pneumonia adalah komplikasi yang umum terjadi menyebabkan penurunan terhadap sistem
terjadi pada COT berat. Pneumonia terjadi pada imun tubuh. Penekanan sel T-helper terjadi
60% pasien. Pasien dengan COT berat beresiko dalam waktu 24 jam setelah COT dan penekanan
mengalami aspirasi isi lambung. Pneumonia imunitas selular ini berkorelasi dengan tingkat
sering terjadi pada 5 hari pertama setelah COT. infeksi yang tinggi pada minggu pertama setelah
92 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
COT. Pada penelitian sebelumnya mengatakan injury in patients with traumatic injrys: utility
bahwa infeksi merupakan komplikasi yang of a panel of biomarkers for diagnosis and
sering terjadi yaitu 50–65% pada pasien COT, pathogenesis: J Trauma. 2010;68(5):1121–7.
dimana hampir setengahnya terjadi pada saluran
napas bawah.15 Dengan demikian, berdasarkan 3. Salim A, Martin M, Brown C, Inaba K,
mekanisme-mekanisme yang disebutkan diatas. Browder T, Rhee P, dkk. The presence of the
Kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut adult respiratory distress syndrome does not
mengakibatkan adanya peningkatan kejadian worsen mortality or discharge disabilty in
dan beratnya ARDS pada pasien dengan COT blunt trauama patients with severe traumatic
berat. Terutama pada kasus pasien skor GCS brain injury. Care Injured. 2008;39:30–5.
yang rendah. Walaupun korelasi yang diperoleh
secara statistik hanya kecil. Dalam penelitian 4. Oddo M, Ndoum M, Frangos S, Mackenzie
ini juga ditemukan bahwa semua pasien yang L, Chen I, Kofke Wa, dkk. Acute lung
mengalami ARDS mendapatkan diagnosis injury is an independent risk factor for brain
tambahan pneumonia. Ditemukan keunikan hipoxia after severe traumatic brain injury.
pada 1 kasus pasien GCS 8 mengalami ARDS, Neurosurgery. 2010;67:338–44.
sebagai catatan pasien ini adalah pasien yang
paling lama mendapatkan tindakan medik yaitu 5. Chung P, Khan F. Traumatic brain injury
13 jam. Sehingga perlu dipelajari lebih lanjut (TBI): overview of diagnosis and treatment.
bagaimana hubungannya antara pneumonia dan J Neurol Neurophysiol. 2013;5(1):182–92.
lama mendapatkan tindakan medik pada kasus
cedera otak traumatik. 6. Rubenfeld GD. Acute respiratory distress
syndrome: the Berlin definiton. J Am Med
IV. Simpulan Associat. (Online Journal) 2012 (diundah
tanggal 10 Maret 2015). Tersedia dari:http ://
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat jama.jamanetwork.com.
disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara skor
GCS pada COT berat dan ARDS. Membuktikan 7. Pneumatikos I, Papaionnou VE. Editorial.
kepada kita bahwa diperlukan tindakan dan The new Berlin definition: What is, finally,
perlakuan khusus dalam penanganan pasien the ARDS ?. Pneumon. 2012;25(4):365–8.
COT berat, terutama untuk kasus skor GCS
rendah. Pemberian antibiotik profilaksis 8. Ferguson ND, Fan E, Camporota L, Antonelli
direkomendasikan dan keterlambatan tindakan M, Anzueto A, dkk. The Berlin definition of
medik pada kasus COT berat memberikan ARDS: an expanded rationale, justification,
hasil akhir yang buruk. Karenanya diperlukan and supplementary material. Intens Care
penelitian selanjutnya untuk mencari hubungan Med. 2012;38:1573–82.
dan korelasi yang lebih kuat agar tercapai tujuan
dari penelitian yaitu, mencegah dan mengurangi 9. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S,
risiko ARDS dan akhirnya tercapai hasil luaran Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Review
yang baik. article. Acute respiratory distress syndrome:
new definition, current and future therapeutic
Daftar Pustaka options. J Thorac Dis. 2013;5(3):326–34.
1. Mascia L. Acute lung injury in patients with 10. Heegaar W, Biros M. Traumatic brain injury.
severe brain injury: a double hit model. Emerg Med Clin N Am. 2007;25:655–78.
Neurocritical Care. 2009;11(3):417–26.
11. Smith M. Monitoring intracranial pressure
2. Fremont RD, Koyama T, Calfee CS, Wu W, in traumatic brain injury. Anesth Analg
Dossett LA, Bossert FR, dkk. Acute lung 2008;106:240–8.
Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik 93
Beratdengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS)
12. Sande A, West C. Traumatic brain 14. Lee K, Rincon F. Review article. Pulmonary
injury:a review of pathophysiology and complication in patients with severe brain
management. J Veterinary Emerg Crit Care. injury. Crit Care Res Prac. 2012;10:1–8.
2010;20(2):177–90.
15. Lim HB, Smith M. Systemic complications
13. Kalsotra A, Zhao J, Anakk S, Dash PK, after head injury: a clinical review.
Strobel HW. Brain trauma leads to enhanced Anaesthesia. 2007;62:474–82.
lung inflammation and injury: evidence for
role of P4504Fs in resolution. J Cereb Blood
Flow Metabol. 2007;27:963–74.
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel
dan Lumbrokinase
RR Sinta Irina*), Nazaruddin Umar*), Hasanul Arifin*), Margaritta Rehatta, Siti Chasnak Saleh**)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Sumatera Utara-RSUP H.Adam Malik Medan,
**) Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
Abstrak
Perdarahan intrakranial spontan pada terapi antikoagulan rivaroxaban mulai sering ditemukan, apalagi
bila dikombinasi dengan antiplatelet clopidogrel maupun fibrinolitik lumbrokinase merupakan hal yang
sering ditemukan pada penderita trombosis. Perdarahan intrakranial spontan terbanyak adalah perdarahan
intracerebral. Perdarahan spontan epidural (EDH) akut merupakan hal yang jarang ditemukan, biasanya terjadi
karena ada penyakit yang mendasarinya. Penatalaksanaan pada kasus ini berdasarkan patofisiologinya dan
melibatkan multidisiplin ilmu lainnya. Seorang laki-laki, 26 tahun berat badan 80 kg yang didiagnosa deep
vein thrombosis (DVT) mengalami penurunan kesadaran mendadak, pupil anisokor 4 mm/1mm ketika sedang
beraktivitas. Tidak dijumpai riwayat cedera kepala. Setelah diresusitasi didapatkan hasil head CT-scan dengan
EDH temporoparietal dextra 50 cc, dilakukan dekompresi craniektomi dan evakuasi EDH. Setelah 10 jam
pasca operasi terjadi gejolak hemodinamik dan dilakukan head CT-scan ulang dan didapatkan EDH 80 cc dan
minimal perdarahan intracerebral. Dilakukan redo craniektomi. Pasca operasi dirawat di ICU dengan koreksi
faktor koagulasi. Pasien kembali komposmentis GCS 15 dengan gejala sisa hemiparese sinistra sementara.
Kata Kunci: terapi kombinasi rivaroxaban, clopidogrel dan lumbrokinase, perdarahan EDH spontan, koreksi
faktor koagulasi
Abstract
Spontaneous intracranial hemorrhage on anticoagulant therapy rivaroxaban lately often found, especially when
combined with clopidogrel antiplatelet or fibrinolytic lumbrokinase is often found in patients with thrombosis.
Spontaneous intracranial hemorrhage is most widely occured is intracerebral hemmorrhage. Spontaneous epidural
hemorrhage (EDH) acute is a uncommon, usually occur because there is an underlying disease. Treatment on the case
based on patophysiology and involves a multidisciplinary peer other sciences. A young man, 26 years old weight
80 kg which was diagnosed with deep vein thrombosis (DVT) awareness of sudden decline, the pupil anisokor
4 mm/1mm while activity. No head trauma history. After resuscitation, head Ct-scan with EDH temporoparietal
dextra 50 cc, carried out the evacuation EDH and decompression craniektomi. After 10 hours of post-operative
haemodynamic turmoil happened and done a head ct-scan and obtained EDH 80 cc and minimal intracerebral
hemorrhage. Do redo craniektomi. Post-operative hospitalized in ICU with correction factor for coagulation.
The patient recovers conciousness into composmentis GCS 15 with sequelae hemiparese sinistra temporary.
Key words: combination therapy rivaroxaban, clopidogrel and lumbrokinase, spontaneus EDH acute, treatment
coagulation factor
94
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi 95
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase
I. Pendahuluan Anamnesa
Pasien mengeluh nyeri pada kedua tungkai bila
Perdarahan spontan sering terjadi pada pemakaian beraktivitas sejak 2 minggu terakhir dan memberat
obat oral antikoagulan dan antiplatelet seperti sejak kedua tungkainya membengkak 10 hari
rivaroxaban dan clopidogrel, apalagi dengan terakhir sebelum terjadi penurunan kesadaran.
pemakaian kombinasi dua obat tersebut.1 Lokasi Dari bagian Penyakit Dalam pasien didiagnosa
perdarahan sering tidak dapat diduga. Angka dengan DVT dan vaskulitis vena saphena magna
kejadian terjadi perdarahan spontan di saluran dextra dan sinistra dan diterapi dengan obat
cerna 100-200 per 100.000 kasus.2 Pasien dengan metilprednisolon 1 mg/kg BB, antikoagulan
perdarahan intrakranial akut didapatkan 20% rivaroxaban 2x15 mg (sudah dimakan selama 3
memakai antikoagulan oral, dan 30% terapi hari), fibrinolitik lumbrokinase dan antiplatelet
antiplatelet oral.3 Kasus perdarahan epidural clopidogrel 75 mg masing-masing baru satu
spontan non trauma sangat jarang ditemukan. kali dimakan. Walaupun terasa nyeri pada kedua
Laporan kasus yang ditemukan sampai dengan tungkai pasien masih bisa beraktivitas seperti
tahun 2010 hanya 19 kasus.4 Penatalaksanaan biasa. Penyakit penyerta lainnya disangkal oleh
anestesi dengan pasien perdarahan intrakranial pasien. Riwayat cedera kepala tidak dijumpai.
akut oleh karena pemakaian antikoagulan dan Ditengah sedang beraktivitas pasien mengeluh
antiplatelet memerlukan penanganan perioperatif nyeri kepala hebat secara tiba-tiba, pusing,
menyeluruh sehingga penyebab perdarahan bisa mual, muntah dan kejang kemudian penurunan
diatasi segera. Preoperatif dengan resusitasi yang kesadaran mendadak.
benar, intraoperatif dan perawatan pascaoperatif
baik akan menghasilkan outcome yang baik Pemeriksaan Fisik
untuk mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Kesadaran awal komposmentis, mengeluh
nyeri kepala hebat, pusing, mual dan muntah
II. Kasus sebanyak 5 kali, tekanan darah 200/100 mmHg,
laju nadi 120 x/menit, berangsur-angsur turun
Seorang laki-laki berusia 26 tahun, berat badan tekanan darah 180/100 mmHg, dan pada 5 menit
80 kg dengan diagnosis deep vein thrombosis kemudian tekanan darah 160/90 mmHg pasien
(DVT) pada kedua tungkai bawah di RSUP H. kejang dan kesadaran menurun menjadi GCS 9
Adam Malik Medan tiba-tiba terjadi penurunan (E2M5V2). Pupil anisokor 4 mm/1mm. Reflek
kesadaran ketika sedang beraktivitas lima cahaya melambat. Kedua tungkai bawah terlihat
belas menit sebeumnya. Pasien mengeluh nyeri bengkak dan adanya banyak petechie. Setelah
kepala hebat, pusing, mual dan muntah dan terjadi penurunan kesadaran tekanan darah
terjadi kejang. Ditemukan lucid interval. Pasien 200/100 mmHg, laju nadi 130 x /menit. Kemudian
terjatuh di kamar mandi oleh karena pingsan, dan dilakukan resusitasi sesuai ABCDE neuroanestesi
sempat sadar 5 menit setelah itu. Tidak dijumpai dan tekanan darah 130/70 mmHg. Laju nadi
adanya riwayat cedera kepala. Segera dilakukan 100 x/menit suhu 360C, saturasi oksigen 99%.
resusitasi ABCDE neuronestesi dan dilakukan
pemeriksaan head CT-scan didapatkan gambaran Pengelolaan Anestesi
epidural hemorrhage (EDH) temporoparietal Penatalaksanaan preoperatif dengan melakukan
dextra sebesar lebih kurang 50 cc dan midline resusitasi segera ketika terjadi kegawatan
shift lebih dari 5 mm. Kemudian dilakukan kenaikan tekanan intrakranial secara tiba-
kraniektomi evakuasi EDH cito. Beberapa jam tiba. Ketika pasien mulai mengeluh sakit
setelah kraniektomi terjadi gejolak hemodinamik kepala, pusing, mual dan muntah pasien segera
dan segera dilakukan head CT-scan ulang. dibaringkan dengan posisi head up 30o dan
Didapatkan gambaran epidural hemorrhage diberi oksigen nasal kanul 2 liter per menit dan
temporoparietal dextra dan segera dilakukan redo dipasang infus. Tekanan darah awal didapatkan
kraniektomi. 200/100 mmHg dan laju nadi 120 x/menit, dan
berangsur menurun tekanan darah menjadi
96 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
kembali. Cofact yang merupakan prothrombin Sedasi adalah suatu bagian penting dari terapi
complex mempunyai efek menurunkan nilai pasien dengan gangguan serebral, terutama yang
INR.11 Pasien juga ditransfusi fresh frozen memerlukan ventilasi mekanis. Tujuan utama
plasma dan Cryopresipitate untuk mengatasi sedasi adalah untuk fasilitasi pengobatan intensif,
gangguan koagulasi darah. Direkomendasikan terutama ventilasi mekanis; untuk kenyamanan
pada Guideline Blood Transfusion untuk pasien dan mencegah peningkatan tekanan
mengatasi perdarahan yang mengancam jiwa intrakranial. Sedasi digunakan dexmedetomidine
untuk memberikan (prothrombin Complex/PCC) 6 cc/jam (0,3 mikro/kgBB/jam) yang mempunyai
50–100% faktor prothrombin complex dengan efek menurunkan aliran darah otak dengan
1–2 ml/ kg BB. vasokonstriksi otak dan menurunkan metabolisme
otak.11,13 Dexmedetomidine merupakan suatu
Tujuan terapi di ICU untuk pasien dengan superselektif alpha2 adrenergik. Obat tersebut
serebral akut adalah untuk memberikan kondisi mempunyai efek sedatif dan analgesia, dan
yang baik bagi pemulihan otak primer seraya anesthesia sparing effect, menurunkan kebutuhan
mencegah setiap kerusakan otak sekunder yang obat anestesi intravena, anestetika inhalasi dan
berhubungan dengan peningkatan tekanan narkotik analgetik. Dexmedetomidine dapat
intrakranial, hipotensi atau hipertensi, hipoksemia menurunkan tekanan darah dan denyut jantung.
dan hiperkarbia. 6,12 Pascaoperasi pasien dirawat Efek sedasi tidak disertai dengan efek depresi
di ICU dengan bantuan ventilator, posisi head up nafas oleh karena itulah dexmedetomidine
300 dan sedasi adekuat untuk menjamin pasokan sangat berguna untuk sedasi analgesi pascabedah
oksigen ke otak dan mencegah terjadinya agitasi dan pasien dirawat di ICU. Setelah beberapa
yang bisa menyebabkan tekanan intrakranial penelitian, dexmedetomidine telah disetujui
semakin meningkat. Posisi kepala netral dan di Amerika pada tahun 1999 dan telah
head up 15–300 dilakukan sebagai usaha digunakan untuk analgesia dan sedasi di ICU.
untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan Dexmedetomidine juga mempunyai efek proteksi
memperbaiki drainase vena serebral. Posisi ini otak.12 Efek neuroproteksi otak disebabkan
dapat memicu terjadinya hipotensi yang akan karena menghambat iskemia yang diakibatkan
dapat memperburuk perfusi yang sudah terganggu. pelepasan norepinefrin karena dexmedetomidine
Melakukan ventilasi kendali mencegah hipoksia menurunkan level norepinefrin saat bangun dari
dan mempertahankan keadaan normokapnea anestesi. Dexmedetomidine mencegah kematian
bertujuan untuk megendalikan sementara aliran sel neuron setelah iskemia fokal dan daerah yang
darah otak sehingga dapat menurunkan TIK. mengalami iskemik turun 40% dibandingkan
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi 101
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase
dengan plasebo. Dexmedetomidine mempertinggi dan menaikkan aliran darah ke otak.14 Isovolemik
pembuangan glutamin melalui metabolisme atau hemodilusi hipervolemia (hematokrit
oksidatif pada astrosit. Alpha 2 agonists 33%) menunjukkan aliran darah otak tanpa
menurunkan konsumsi oksigen perioperatif.19,20 ada gangguan penghantaran oksigen.15 Pasien
Pada pasien ini analgetik diberikan fentanyl diberikan paracetamol 1 gr/8jam sebagai analgetik
secara kontinyu 0,2 mikro/kgBB/jam dan juga untuk menjaga suhu normal. Suhu juga
dikombinasi dengan dexmedetomidine sehingga dipertahankan tetap normal bahkan lebih baik
menghasilkan sedasi adekuat.11 Analisa gas darah di bawah normal. Penurunan temperatur tubuh
pasien diperiksa secara berkala untuk mencegah akan memperlambat metabolisme serebral. Hal
terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia.13 ini berarti menurunkan aliran darah otak.14 Sejak
pascaoperasi (H–0) pada pasien ini diberikan
Pasien ditransfusi dengan PRC dan WB sampai juga semax nasal drops 6 gtt/4 jam sebagai
mencapai Hb sekitar 10 gr/dL. Hemoglobin neuroprotektif. Semax (H-Met-Glu-His-Phe-
dipertahankan sekitar 10 g/dL untuk menjamin Pro-Gly-Pro-OH) adalah sintetis analog dari
hematokrit minimal 35% oleh karena hematokrit adrenocorticotropic hormone 4-10 fragmen
mempengaruhi aliran darah otak secara nyata. (ACTH4-10). Salah satu komponen penting
Nilai hematokrit 35%–50% akan menjamin dalam cedera kepala adalah kematian sel
pasokan oksigen. Pada nilai yang lebih tinggi saraf akibat apoptosis. Peranan semax sebagai
akan menaikkan kapasitas oksigen dengan ACTH 4–10Pro8Gly9Pro10 merupakan salah
kenaikan kekentalan darah dan menurunkan satu neuroprotektor diketahui menghambat
aliran darah ke otak. Pada hematokrit di bawah jalur apoptosis. Semax tersebut mempunyai
35% akan menurunkan kapasitas pengangkutan efek neuroprotectif dan nootropic sehingga
oksigen dan terjadi penurunan kekentalan darah banyak dipakai di klinis untuk terapi penyakit-
102 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
penyakit sistem syaraf pusat (stroke iskemik, 3. Arne L, Waltrand P. Intracerebral hemorrhage
dyscirculatory encephalopathy, atrophi nervus associated with antithrombotic treatment.
opticus dan lain-lain). Banyak penelitian yang Lancet Neurology 2013 April, 12(4):394.
menyatakan keberhasilan dari pemberian semax
ini.16 Setelah 12 jam pasca operasi redo craniotomi 4. Rajput D, Kamboj R. Is management of
oleh sejawat internist hematologi diberikan spontaneus intracranial extradural hematoma
terapi heparin dengan dosis kecil 500 IU per hari in chronic renal failure is different with
diberikan secara kontinyu untuk penanganan traumatic extradural hematoma. Indian
DVT dengan monitoring ketat agar tidak terjadi Journal Neurotrauma 2010,7 (1):81–4.
komplikasi perdarahan pascaoperasi.18
Setelah faktor-faktor yang mengancam telah 5. Robert G, Bradley S. Oral anticoagulant
teratasi dengan baik maka segera dilakukan and intracranial hemorrhages. Stroke AHA
penyapihan dari ventilator. Pada pasien ini faktor- Journal 1995;26:1471
faktor tersebut adanya ancaman perdarahan
kembali karena terganggunya koagulasi darah. 6. Stutz H, Charchaflieh J. Postoperative
Pasien dilakukan proses penyapihan pada hari and intensive care including head injury
H-1 post operasi redo craniotomi dan diekstubasi and multisystem sequelae. Dalam: Cotrell
pada H-II pagi hari setelah pasien sadar baik. J, Young W, eds. Cottrell and Young’s
Namun pasien mendapatkan sequele hemiparese Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby
sinistra akibat perdarahan intraserebral minimal Elsevier; 2010, 410–12.
dan bersifat sementara, dan kembali berangsur
pulih dengan resorbsi perdarahan intraserebral 7. Murthy T, Bhatia P. Secondary brain injury
dan fisioterapi rutin juga relatif tidak didapatkan prevention and intensive care management.
gangguan kognitif yang dinilai secara GOS, Indian Journal of Neurotrauma; 2005,2
GOSE, dan MMSE pada bulan ke-5 pasca (1),7–12.
pembedahan.
8. Garber S, Sivakumar W. Neurosurgical
IV. Simpulan complications of direct thrombin inhibitor
catastrophic hemmorrhage after mild
Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan traumatic brain injury in a patient receiving
intrakranial spontan akibat komplikasi terapi dabigatran. J. Neurosurgery 2012, 1–4
antikoagulan rivaroxaban, lumbrokinase dan
antiplatelet clopidogrel meliputi preoperasi, 9. Kaatz, Kaudes PA, Garca DA, Spyropolous
intraoperasi dan pascaoperasi. Preoperasi dengan AC, Crowther M, Doukteis JD, et al. Guidance
penanganan resusitasi segera akan mendapatkan of the emergent reversal of oral thrombin and
outcome yang baik. Penanganan di ICU juga factor Xa inhibitors. Am J Hematology 2012;
dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Good 87: S 141–2145
team, good work.
10. Dagmar K, Michael B. Effect co-
Daftar Pustaka administration of rivaroxaban and clopidogrel
on bleeding time, pharmacodynamics
1. Mark l, Gary R. Hemmorrhagic complications and pharmacokinetics, a phase 1 study,
of anticoagulant treatment. CHEST Pharmaceuticals 2012, 5, 279–96
2001,119:1088.
11. Roodhevel F, Ligtenberg. INR reduction
2. Athanios P, Stamatis M. Gastrointestinal after prothrombin complex concentrate (Co-
bleeding in patients receiving antiplatelet and fact) administration comparison of INR
anticoagulant therapy. Hellenic J. Cardiology outcomes in different patient categories at the
2014,55:499. emergency department. Internasional Journal
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi 103
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase
of Emergency Medicine 2013, 6:14,1–4. 17. Lam A, Winn H. Management of acute head
injury. Dalam: Albin M, eds Textbook of
12. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan Neuroanesthesia with Neurosurgical and
Critical Care: Cedera Otak Traumatik. edisi Neuroscience Perspectives, USA: McGraw
1, Bandung: Fakultas Kedokteran Unversitas Hill;1997, 1138–40.
Padjadjaran; 2012, 242–53.
18. Scales D, Cambrin J. Prophylactic
13. Layon J, Gabrielli A. Elevated intracranial anticoagulati on to prevent venous
pressure. Dalam: Textbook of Neurointensive thromboembolism in traumatic intracranial
Care. Philadelphia: Saunders; 2004, 715–19. hemmorrhage, a decision analysis. Biomed
Central: Critical Care 2010, 2–10
14. Petrozza P, Prough D. Postoperative and
intensive care. Dalam: Cotrell JE, Smith 19. Bloor BC, Ward DS, Belleville JP, Maze
D, eds. Anesthesia and Neurosurgery. M. Effect of intravenous dexmedetomidine
Philadelphia: Mosby; 2001, 624–41. in humans, hemodynamics changes.
Anesthesiology 1992; 77: 1134–42
15. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi 2,
Bandung: Bagian Anestesiologi dan Terapi 20. Villela NR, Nascimento P. Dexmedetomidine
Intensif FK Unpad; 2011, 8-9. in anesthesioloy. Rev Bras Anesthesiology
2003;53(1):97–113
16. Kolomin T, Shadrina M. A new generation
of drugs syntetic peptides based on naturally
regulatory peptides. Neuroscience and
Medicine Journal 2013;4: 223–52.
Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus Perdarahan
Intraserebral Traumatika
Buyung Hartiyo Laksono*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri****)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – RSUD. Dr Saiful
Anwar Malang, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana –
RSUP. Sanglah Denpasar, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada – RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, ****)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Traumatic brain injury (TBI) menyumbang 70% kematian akibat trauma. Penyebab yang tersering adalah
kecelakaan lalu lintas 49%. Tehnik minimal invasif cukup berkembang pada beberapa dekade ini, demikian
juga pada bidang bedah saraf. Tujuan utama tatalaksana anestesia adalah immobilisasi intraoperatif, stabilitas
kardiovaskuler, minimal komplikasi pascaoperasi, fasilitasi intraoperatif neurologi monitoring, kolaborasi
tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan rapid emergence untuk pemeriksaan neurologis dini. Kasus
laki-laki 50 tahun dengan perdarahan intraserebral (ICH) direncanakan operasi minimal invasive neuroendoscopy
evakuasi hematom. Posisi selama operasi adalah true lateral yang juga menjadi perhatian tersendiri. Komplikasi
akibat posisi harus dihindari karena rentan mempengaruhi luaran operasi. Operasi berjalan selama 3 jam dengan
luaran optimal. Beberapa masalah penting menjadi perhatian khusus selama operasi dan pascaoperasi. Prinsip
tatalaksana anestesi pada minimal invasif yang harus dicapai adalah pemeriksaan dan perencanaan preoperatif
yang baik, kontrol hemodinamik serebral untuk menjamin tekanan perfusi otak (cerebral perfusion presure/CPP)
optimal, immobilisasi penuh, dan dapat dilakukan rapid emergence untuk menilai status neurologis. Komunikasi
antara operator dan ahli anestesi penting untuk keberhasilan kasus ini.
Kata kunci: perdarahan intraserebral traumatik, minimal invasif neurosurgery, posisi true lateral
Abstract
Traumatic brain injury (TBI) accounted for 70% of deaths from trauma. The most common causes of traffic
accidents is 49%. Minimally invasive techniques sufficiently developed in the past few decades, as well as
in the field of neurosurgery. The main objective is the treatment of immobilization intraoperative anesthesia,
cardiovascular stability, minimal postoperative complications, facilitating intraoperative neurological monitoring,
collaborative management of an increase in intracranial pressure (ICP) and the rapid emergence of early
neurological examination. The case of a man 50 years with intracerebral hemorrhage (ICH) minimally invasive
surgery neuroendoscopy planned evacuation of hematoma. Position during operation is true lateral is also a
concern in itself. Complications due to the position should be avoided because it is vulnerable affect the outcome
of the operation. Operations run for 3 hours with optimal outcomes. Some important issue is of particular concern
during surgery and postoperatively. Procedural principle in minimally invasive anesthesia to be achieved is the
examination and good preoperative planning, cerebral hemodynamic control to ensure optimal cerebral perfussion
pressure (CPP), full immobilization, and can do rapid emergence to assess the neurological status. Communication
between the operator and the anesthetist is important to the success of this case.
Keywords: traumatic intracerebral hemorrhage, minimally invasive neurosurgery, true lateral position.
104
Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive 105
Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika
tambahan, gerak dada simetris, tidak ada tanda- 2,5 mg, fentanyl 100 µg titrasi, lidokain 80 mg,
tanda pneumothoraks. Jejas pada daerah bahu propofol 100 mg titrasi, rocuronium 60 mg,
kanan, dengan nyeri tekan dan kemerahan pada satu menit sebelum tindakan intubasi diberikan
kulit. Sirkulasi hangat, kering, merah. capilarry tambahan propofol 30 mg. Preoksigenasi selama
refill test (CRT) <2 detik. Laju nadi: 70x/menit. 5 menit sebelum intubasi. Intubasi sleep apneu
Tekanan darah 130/80 mmHg dengan mean dilakukan menggunakan laryngoscope macintosh
arterial pressure (MAP) 96 mmHg. Auskultasi dengan pipa endotrakhea (endotracheal tube/
suara jantung S12 single, murmur (–), gallop (–). ETT) non kinking nomor 7.5, kedalaman ETT
Pemeriksaan neurologis derajat kesadaran GCS 20 cm pada tepi bibir. Dilakukan fiksasi yang
3–5–6 pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+ baik. Monitor diposisikan stat selama induksi.
normal, sensorik dan motorik dalam batas normal. Anestesi pemeliharaan diberikan sevoflurane
Jejas lecet pada bahu kanan, jejas di tempat lain dengan aliran oksigen dan N2O (3:1) kombinasi
tidak didapatkan. Nyeri tekan tidak didapatkan. syringe kontinyu propofol (2–10mg/KgBB/jam),
Terpasang kateter urin produksi 1cc/kgbb/ ditambahkan suplemen fentanyl intermitten dan
jam jernih. Temperatur aksila terpantau 37 0C. vecuronium kontinyu 0,06 mg/KgBB/jam. Setelah
intubasi dilakukan pemasangan tambahan jalur
Status Preoperatif intravena. Ventilasi kontrol dengan mesin anestesi
Pasien didiagnosa status fisik ASA 3 dengan monitoring EtCO2 target PaCO2 normocapnea
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) hari dengan konfirmasi analisa gas darah. Setelah
ke 2 karena perdarahan intraserebral (ICH) dilakukan penilaian hemodinamik telah stabil,
regio temporooccipital sinistra dan fraktur maka dipersiapkan pasien diposisikan miring kiri
tertutup calvicula 1/3 lateral dextra. Pasien atas (true lateral). Pada posisi miring diberikan
direncanakan untuk dilakukan tindakan pading axillary roll pada ketiak, dan beberapa
endoscopic neurosurgery evakuasi ICH dan titik tumpu lainnya. Posisi kepala difiksasi
platting clavicula. Persiapan preoperatif pasien dengan bantal donut yang sesuai. Pada sela kaki
dipuasakan dan premedikasi dengan pemberian kanan dan kiri diberi bantal. Dipastikan tidak
ranitidin dan ondancentron sebelum pembedahan. terjadi bendungan vena jugularis, perfusi perifer
ekstremitas dan pengembangan pernafasan baik.
Pengelolaan Anestesi
Pasien masuk kedalam kamar operasi pukul 08.00. Monitoring selama operasi dilakukan evaluasi
Pasien dilakukan induksi dengan prinsip proteksi terhadap tekanan darah sistolik, diastolik, arteri
otak melalui kombinasi pemberian midazolam rerata, laju nadi, end tidal CO2, saturasi oksigen,
gelombang EKG, temperatur aksila pemasangan Dilanjutkan operasi platting clavicula oleh
stetoskop prekordial, produksi urine melalui bedah orthopedi dengan merubah posisi pasien
kateter urine dan balans cairan. Dilakukan join kembali supine. Sebelum posisi dipastikan
operasi antara sejawat bedah saraf dan bedah keamanan dan stabilitas jalan nafas, pernafasan
orthopedi. Operasi berjalan pararel dengan bedah dan hemodinamik. Operasi berjalan total 2 jam
saraf dimainkan terlebih dahulu. Dilakukan untuk minimal invasive evakuasi ICH dan 1 jam
minimal invasive endoscopic evakuasi dari ICH. untuk platting clavicula. Perdarahan total 200 cc.
Boor hole dilakukan tepat diatas lokasi ICH, Selama operasi tekanan darah relatif stabil dengan
yang kemudian diperlebar dan diperdalam sesuai sistolik antara 100-130 mmHg dan diastolik 62–
ukuran alat scope 6 mm untuk mencapai lokasi 90 mmHg. Frekuensi nadi antara 55–70 x/menit.
ICH. Dilakukan evakuasi hematoma dan rawat Temperatur terjaga rentang 36–35 0C. Cairan
perdarahan dengan bantuan kamera video. Secara masuk sebanyak ± 1700cc terdiri dari NaCl 0,9%
langsung dipastikan lokasi sudah bersih dari 1000cc, ringerfundin 500cc dan mannitol 200cc.
perdarahan kemudian ditutup. Irigasi memakai Cairan keluar dari perdarahan sebanyak 200cc
normal salin dengan ketinggian level irigasi dan urin 1500 cc.
kurang dari 1 meter. Setiap tahap operasi dilihat
dan dikomunikasikan bersama. Pascaoperasi
Pascaoperasi dilakukan evaluasi ulang
perdarahan, adekuat pada pernafasan dan kondisi
Foto thoraks: Cor dan pulmo dalam normal, tidak hemodinamik. Setelah evaluasi dalam batas
tampak pneumo ataupun hemato thorak, fraktur normal maka dilakukan rapid emergence pada
clavicula 1/3 lateral dextra. pasien setelah pemberian reversal. Evaluasi GCS
pascaoperasi kembali ke GCS awal sebelum
operasi. Pasien dirawat di ICU. Perawatan
dan observasi pascaoperasi di ICU selama 1
hari, kondisi stabil dan CT Scan kontrol tidak
didapatkan perdarahan ulang. Tanda-tanda
komplikasi dini juga tidak didapatkan. Pasien
pindah ke ruangan dengan GCS 4–5–6 tanpa
defisit neurologis.
III. Pembahasan
Gambar 4. Posisi Pasien selama Operasi Grafik 1. Profil Tanda Vital dan Monitoring selama
Operasi
evakuasi dengan tehnik minimal invasif, hal homeostasis cerebral tersebut dapat beresiko
ini yang harus menjadi perhatian khusus bagi menyebabkan kerusakan otak irreversibel dan
seorang ahli anestesi. Pembedahan kasus gangguan hemodinamik berat yang bila tidak
neurologi secara endoskopik telah memiliki diatasi dengan baik akan menyebabkan tehnik
sejarah yang panjang hingga melewati satu bedah tersebut tidak lagi seperti minimal invasif
abad. Pada periode tersebut, berbagai prosedur yang diharapkan. Pemahaman tentang perubahan
neuroendoskopik telah ditemukan, namun fisiologis yang disebabkan oleh prosedur tersebut
meskipun terus dilakukan pengembangan tehnik berperan penting dalam penanganan pasien yang
endoskopik baik dalam hal fungsi dan indikasinya, optimal.9,10
illuminasi dan magnifikasi yang rendah membuat
neuroendoskopi tetap sulit dan tidak mungkin Neuroendoskopi berhasil digunakan untuk
dikerjakan dalam praktek rutin hingga akhir ventriculostomy, biopsi atau reseksi tumor,
tahun 1980. Akan tetapi, setelah ditemukannya penestrasi atau evakuasi kista, evakuasi
teknologi lensa, elektronik dan fiber optik yang perdarahan intraventrikel dan koagulasi plexus.
baru, dimana menghasilkan endoskopi generasi Tehnik tersebut sangat bermanfaat pada terapi
baru yang mempunyai illuminasi dan resolusi hidrocephalus non communican dengan cara
yang lebih jelas, neuroendoskopi mengalami ventriculostomy.1,9,10 Untuk kasus-kasus trauma
kemajuan menjadi terapi rutin dalam bidang masih jarang kecuali ada pertimbangan khusus.
bedah saraf.9 Literatur pada penggunaan kasus trauma juga
minimal. Kemungkinan pada kasus ini operator
Pada awalnya, neuroendoskopi hanya dikerjakan juga ragu apakah ICH yang terjadi murni akibat
pada endoscopic third ventriculostomy (ETV) primer trauma atau spontan karena kelainan
untuk terapi hidrocephalus obstruktif dan masih pada pembuluh darah otak contohnya AVM
merupakan prosedur neuroendoskopik terbanyak. pecah. Idealnya adalah dilakukan CT angiografi
Saat ini penggunaan neuroendoskopi meningkat sebelum penentuan tehnik operasi. Tujuan
untuk semua tipe penyakit yang diterapi secara utama tatalaksana anestesia adalah immobilisasi
bedah saaraf, baik sebagai pendekatan bedah intraoperatif, stabilitas kardiovaskuler, minimal
primer atau sebagai tambahan misalnya prosedur- komplikasi pascaoperasi, fasilitasi intraoperatif
prosedur endoskopik yang sering digunakan neurologi monitoring, kolaborasi tatalaksana
di departemen bedah saraf. Perkembangan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan rapid
tehnologi lebih lanjut, misalnya tehnologi robotik, emergence untuk pemeriksaan neurologis dini.
endoskopik yang terkendali dan penemuan tehnik Peningkatan tekanan intrakranial harus dideteksi
bedah saraf baru, diharapkan untuk meningkatkan dan diterapi sedini mungkin. Monitoring dan
penggunaan tehnik tersebut di kemudian hari.1,9 komunikasi yang baik merupakan hal yang
Implementasi tehnik bedah baru tersebut akan penting.1,9,10 Target ini yang harus dicapai oleh ahli
memperbaiki pilihan terapi, yang umumnya anestesi agar luaran operasi optimal. Tatalaksana
disebut sebagai bedah invasif minimal. Oleh pada kasus ini dicapai dengan adekuat anestesi
karena tehnik endoskopi dalam intervensi dan pemberian pelumpuh otot kontinyu. Selama
intrakranial hanya menyebabkan kerusakan operasi hemodinamik dijaga stabil dan pemberian
minimal pada jaringan otak yang sehat, tehnik obat-obatan secara titrasi. Peningkatan TIK
tersebut mempunyai keuntungan besar. Selain dikelola sejak awal dengan pemilihan obat-obatan
itu, beberapa intervensi mempunyai hasil yang mempunyai sifat proteksi otak, mannitol
yang lebih baik bila dikerjakan dengan tehnik dan posisi kepala head up 300. Target tatalaksana
endoskopi. Akan tetapi, beberapa dari intervensi dikombinasikan dengan tatalaksana anestesi pada
tersebut, manipulasi bedah secara langsung pasien trauma kepala yaitu meningkatkan perfusi
pada struktur cerebral dengan tehnik endoskopi serebral dan oksigenasi, mencegah kerusakan
mempunyai resiko karena dapat mengganggu otak sekunder dan memberikan kondisi optimal
tekanan intrakranial, perfusi cerebral dan selama operasi.5 Hipnotik intravena dan inhalasi
oksigenasi secara bermakna. Gangguan pada rutin digunakan dalam bedah saraf. Pada kasus
110 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 6. Posisi True Lateral dengan Ganjalan Gambar 7. Posisi True Lateral dengan Pemasangan
Bantal Axillary Roll
Dikutip dari: Schubert A.12 Dikutip dari: Schubert A.12
ini digunakan kombinasi penggunaan inhalasi menimbulkan kondisi imbalance elektrolit yaitu
dan intravena. Pertimbangan biaya juga menjadi hiperkalemia. Anandh dkk dalam penelitiannya
perhatian karena batasan cakupan klaim. N2O pada 20 pasien terjadi peningkatan kalium serum
sebaiknya tidak digunakan untuk menghindari 0.82±0.55 mmol/L.10 Pada prosedur kasus ini
peningkatan tekanan intrakranial karena resiko digunakan normal salin sehingga kejadian post
emboli udara vena (venous air embolism/VAE) operatif hiperkalemia tidak terjadi. Tetapi dari
dan resiko difusi gelembung udara ventrikel. litertur penggunaan normal salin mempunyai
Hiperventilasi ringan dapat dilakukan untuk efek merusak komposisi liquor serebrospinal
menurunkan volume intrakranial.9 pada penggunaan lama. Tinggi cairan yang
menggunakan passive gravity diusahakan kurang
Pemberian mannitol juga mempunyai tujuan yang dari 1 meter seperti pada operasi ini, karena
sama. Tatalaksana kasus ini diberikan mannitol penelitian menunjukkan diatas 1 meter dapat
untuk menurunkan volume intrakranial. Oleh menyebabkan kenaikan TIK.9
karena rapid emergence merupakan salah satu
tujuan utama, direkomendasikan penggunaan Monitoring TIK selama tindakan dari literatur
remifentanyl selama prosedur yang dikombinasi dianjurkan kontinyu, baik memakai insersi
dengan hipnotik intravena atau inhalasi. kateter atau ultrasonografi. Jika tidak ada maka
Permasalahan di Indonesia preparat remifentanyl hemodinamik beat to beat bisa digunakan
masih terbatas. Fentanyl kontinyu menjadi sebagai alternatif. Perhatian khusus lain adalah
pilihan. Perhatian pada termoregulasi harus terjadi masif bradikardi sampai henti jantung
selalu dilakukan terutama pada pasien anak- akibat manipulasi yang merangsang posterior
anak yang beresiko mengalami hipotermi selama hipothalamus. Kejadian ini terutama endoskopi
neuroendoskopi karena besarnya pertukaran pada kasus ventriculostomi. Pada evakuasi
cairan irigasi dengan cairan cerebrospinal hematoma seperti kasus ini perhatian khusus
ventrikel dan karena lokasi operasi yang basah. lebih kepada terjadinya perdarahan pada vassa
Sehingga pemantauan temperatur kotinyu intraserebral, sehingga pandangan operator
ideal untuk dilakukan. Karena keterbatasan terganggu. Regulasi tensi dan komunikasi antara
probe temperatur core maka kami lakukan operator dan ahli anestesi penting. Persiapan
pemantauan temperatur perifer kontinyu aksila. emergency open craniotomy tetap harus
Selain termoregulasi, yang berhubungan dengan diantisipasi jika minimal invasif gagal.5,9,10 Defisit
irigasi adalah jenis cairan yang digunakan. neurologis sementara, contohnya pada pasien
Ahli anestesi harus tahu jenis cairan yang yang terlambat bangun, kebingungan, kehilangan
digunakan. Penggunaan ringer lactat (RL) ingatan, disfungsi papil sementara, atau hemiplegia
Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive 111
Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika
7. Martiniuc C, Dorobat GH. Polytrauma with 10. Fabregas N, Craen RA. Endoscopic and
severe traumatic brain injury. Romanian stereotactic neurosurgery. Current Opinion in
Neurosurgery. 2010;17(1):108–13. Anaesthesiology. 2004;17:377–82.
8. Lovell MR, Echemendia RJ, Barth JT, Collins 11. Patel SJ, Wen DY, Haines SJ. Posterior fossa:
MU. Traumatic brain injury in sports: an surgical consideration. Dalam: Cottrell JE,
international neuropsychological perspective Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery,
reviews. The NSZ J Head Trauma Rehabil. edisi-4, Missouri; Mosby, Inc; 2001, 319–33.
2005;20(1):110–3.
12. Schubert A. Positioning injuries in anesthesia:
9. Kalmar AF, Dewaele F. Anaesthetic an update. Advances in Anesthesia. 2008;
management of patients undergoing 26,:31–65.
intraventricular neuro-endoscopic
procedures. Dalam: Signorelli F, ed.
Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera Kepala Berat
Radian Ahmad Halimi*), Nazaruddin Umar**), Margaritta Rehata ***), Siti Chasnak Saleh***)
*) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Melinda-2 Bandung, **) Departemen Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Suamtra Utara/RS Adam Malik Medan, ***) Departemen Anestesiologi
dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS. Dr. Soetomo Surabaya
Abstrak
Cedera otak traumatika (COT) merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbesar di Amerika dan negara
industri lainnya di dunia. Anak dari usia balita hingga remaja yang mengalami cedera otak berat biasanya akan
dapat menghadapi kecacatan yang signifikan selama beberapa dekade. Seorang anak laki-laki berumur 3 tahun
dengan diagnosa cedera kepala berat akibat perdarahan subdural di temporo occipital kiri dan fraktur terdepresi
yang disebabkan karena jatuh dari ketinggian tiga meter, direncanakan dilakukan kraniektomi dekompresi karena
terjadi penurunan kesadaran signifikan. Berbagai komplikasi dan permasalahan terjadi yakni perdarahan masif
intraoperatif, edema otak kongestif disertai demam pascaoperasi di ruang perawatan intensif, hingga akhirnya
pasien dapat pindah ke ruang perawatan biasa dan dilakukan rawat jalan. Penanganan COT berat memerlukan
kemampuan seorang ahli anestesi dalam melakukan resusitasi otak dengan ABCDE neuroanestesi, kontrol
terhadap hipertensi intrakranial, neuroproteksi dan neurorestorasi.
Abstract
Traumatic brain injury (TBI) is the largest cause of death and disability in the United States and other industrialized
countries in the world. Young age patient who suffered severe TBI typically face significant disability for decades.
A 3 years old boy with diagnosis of severe TBI as a result of subdural hemorrhage in the left temporo occipital
and fracture depressed due to fall from a height of three meters, was planed to perform decompresive craniectomy
because decreased conciouseness significantly.Various complications and problems occur, intraoperative masive
bleeding, postoperative diffuse brain edema with persistent hyperthermia on the intensive care unit, until the
patient can be moved to a regular ward and can be done outpatient. The management of severe head injury
requires the ability of an anesthesiologist in performing brain resuscitation with ABCDE neuroanesthesia, control
of intracranial hypertension and neurorestoration.
113
114 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Pemeriksaan CT Scan
resusitasi dan pemberian darah serta plasma menurun walau telah diberikan parasetamol
hemodinamik dapat kembali stabil walau telah intravena. Saat dilakukan pemeriksaan pupil
terjadi periode syok yang cukup lama kurang mata ditemukan tanda-tanda lateralisasi berupa
lebih 1 jam hingga dokter bedah saraf dapat pupil anisokor dan keluarnya jaringan otak dari
mengontrol perdarahan tersebut. Setelah terjadi bekas jahitan operasi serta permukaan kulit yang
syok, terjadi pembengkakkan otak akibat sempat distensi akibat peningkatan massa volume otak
terjadinya fase hipotensi yang cukup lama pada daerah bekas dilakukannya kraniektomi
hingga diputuskan untuk dilakukan kraniektomi sehingga diputuskan untuk dilakukan second tier
(tulang tengkorak tetap dibiarkan terbuka) untuk therapy dengan coma barbiturate, pemberian
dekompresi. manitol ulangan, kortikosteroid dan dilakukan
pemeriksaan CT-scan ulang. Pada pemeriksaan
Pengelolaan Pascabedah CT-scan ulang didapatkan peningkatan
Pasien dipindahkan ke ruang perawatan ICU dan pembengkakkan pada otak. Pada hari perawatan
dilakukan kontrol terhadap fungsi pernafasan ke-7 di ICU terjadi penurunan suhu yang disertai
menggunakan ventilasi mekanik dengan obat mengecilnya volume otak yang terlihat dari
pelumpuh otot sampai kadar hemoglobin permukaan kulit yang meregang serta hilangnya
terkoreksi dengan pemberian produk darah. tanda-tanda lateralisasi (pupil kembali isokor),
Dilakukan pemberian manitol ulangan, dilakukan dan kemudian dilakukan penyapihan alat
hiperventilasi dengan EtCO2 30–35 mmHg. bantu nafas. Pada hari perawatan ke-10 di ICU
Dilakukan strategi perlindungan otak dengan kesadaran pasien meningkat hingga GCS 9t
sedasi menggunakan thiopental. Diberikan dan dilakukan ekstubasi karena telah memenuhi
proton pump inhibitor, dilakukan head up 300 dan kriteria untuk ekstubasi. Pada hari perawatan ke-
diberikan obat analgetika parasetamol intravena 12 pasien pindah ke ruangan dengan kondisi GCS
serta dilakukan monitoring tanda-tanda vital 12 disertai kelemahan pada anggota gerak badan
ketat. bagian kiri, namun pasien telah mendapat nutrisi
Pada hari perawatan ke-3 di ICU kesadaran melalui oral. Pada hari perawatan ke-18 pasien
pasien membaik hingga GCS 7t namun masih dipulangkan dari rumah sakit dan direncanakan
belum dapat dilakukan penyapihan ventilasi rawat jalan. Pasien juga direncanakan untuk
mekanik karena mulai terjadi peningkatan suhu dilakukan fisioterapi rutin.
hingga 38,50C dan laju nafas pasien meningkat.
Pada hari perawatan ke-4 di ICU terjadi III. Pembahasan
penurunan kesadaran dengan peningkatan
suhu tubuh hingga 400 Celcius dan tidak Trauma kepala pediatrik memerlukan pendekatan
116 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
terhadap organ-organ tubuh lainnya untuk (barbiturat) karena dapat menurunkan cerebral
meminimalisir morbiditas dan mortalitas. Ukuran blood flow (CBF) dan cerebral metabolic
kepala anak yang kecil merupakan daerah yang rate (CMRO2) yang sesuai dengan dosis yang
paling sering mengalami kerusakan saat terjadinya diberikan. Pemberian barbiturat dalam dosis yang
trauma, dan organ-organ lain dapat terkena tinggi akan menurunkan CBF dan CMRO2 hingga
dampaknya. Algoritma bantuan hidup dasar harus 40% (penurunan maksimal) dari kondisi bangun.
segera dilakukan untuk memastikan jalan nafas Efek barbiturat menurunkan CBF dan CMRO2
yang aman, dan fungsi respirasi sirkulasi yang akan menyebabkan penurunan TIK. Menurut
adekuat. Pada anak kecil memiliki rasio kepala beberapa penelitian, barbiturat memberikan efek
dan badan yang lebih besar dibandingkan dewasa proteksi otak yang disebabkan karena selain efek
maka mekanisme cedera primer akibat trauma depresi metaboliknya. Thiopental bekerja dengan
yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan yang memblokade flux Na, K, dan kalsium, membuang
luas.3 radikal bebas, memblokade terjadinya kejang,
meningkatkan aliran darah regional.4 Pada kasus
Terapi yang dilakukan adalah melakukan ini trauma yang hebat akibat jatuh dari ketinggian
ABCDE neuroanestesi dengan menjaga jalan menyebabkan terjadinya kerusakan otak yang
nafas, menjaga sistem pernafasan pasien dengan luas diantaranya perdarahan subdural, kontusio
melakukan ventilasi mekanik, melakukan otak, dan fraktura terdepresi yang mengenai
resusitasi cairan untuk menjaga tekanan darah pembuluh darah yang berada dibawahnya,
agar CPP terjaga dalam batas autoregulasi dan sehingga saat dilakukan pengangkatan tulang
memberikan obat-obatan vasoaktif apabila tengkorak terjadi perdarahan hebat akibat
diperlukan. Terapi lainnya adalah menurunkan terkenanya pembuluh darah vena besar dan akibat
TIK yang terjadi dengan melakukan terapi hilangnya efek tamponade dari tulang tengkorak.
first tier dan second tier.3 Obat induksi yang Perdarahan masif mengakibatkan terjadinya
digunakan pada pasien ini adalah thiopental penurunan tekanan darah sistemik, sehingga
Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera 117
Kepala Berat
Tabel 3. Glasgow Outcome Scale Exended (GOSE) saat operasi, atau faktor komorbid lainnya)
The Extended Glasgow Outcome Scale (GOSE) sebaiknya dilakukan penyapihan dan penilaian
apabila kondisi pasien tersebut telah stabil.
S k o r Tingkat aktifitas
Pada pasien ini terjadi pembengkakkan otak
GOSE
yang kongestif disertai suhu yang meningkat
1 Mati batang otak yang diakibatkan oleh kerusakan pada daerah
2 Kondisi vegetatif thalamus.5 Berbagai permasalah timbul saat
3 Kelumpuhan ekstremitas bawah berat: terjadinya peningkatan suhu karena peningkatan
bergantung sepenuhnya pada orang suhu akan menyebabkan hasil luaran yang
lain buruk karena dapat menyebabkan terjadinya
4 Kelumpuhan ekstremitas atas berat: cedera otak sekunder pada pasien dengan COT.6
beberapa aktifitas tertentu bergantung Sehingga perlu dilakukan normalisasi terhadap
pada orang lain suhu dengan menggunakan obat-obat antidemam
5 Kelumpuhan ekstremitas bawah atau dapat juga dilakukan dengan pendinginan
sedang: tidak dapat kembali bekerja eksternal. Pada penanganan pascaoperasi
atau kembali pada aktifitas sosial trauma kepala juga diperlukan terapi nutrisi
yang adekuat dan sesuai dengan kebutuhan
6 Kelumpuhan ekstremitas atas sedang: metaboliknya, karena kondisi nutrisi yang baik
dapat kembali bekerja walau menurun dapat meningkatkan hasil luaran pada pasien
pada kinerjanya, dan aktifitas sosialnya dengan COT. Nutrisi sebaiknya dilakukan secepat
pun menurun mungkin apabila pasien telah memenuhi syarat
7 Kelumpuhan ekstremitas bawah yang untuk diberikannya nutrisi.9 Berbagai komplikasi
membaik: penyembuhan yang baik lain pada perawatan pascaoperasi diantaranya
dengan defisit aktifitas sosial yang adalah terjadinya pneumonia akibat penggunaan
minimal ventilator (ventilatory associated pneumonia/
8 Kelumpuhan ekstremitas atas yang VAP), pembengkakkan otak menahun yang
kembali membaik sepenuhnya menyebabkan sulitnya untuk dilakukannya
Dikutip: www.tbi-impact.org penyapihan dari ventilasi mekanik dan kondisi
vegetatif pada pasien cedera otak traumatik berat.
menyebabkan terjadinya pembengkakkan otak Pada pasien dengan COT berat yang telah
akibat vasodilatasi pembuluh darah. Mekanisme melewati fase kritis biasanya terdapat kerusakan
vasodilatasi pembuluh darah otak terjadi karena otak menahun dan menyebabkan kondisi
menurunnya cerebral perfusion pressure (CPP) kecacatan. Hasil luaran dari pasien COT berat
hingga dibawah batas autoregulasi tubuh, hal ini dapat diklasifikasikan dengan menggunakan
merupakan mekanisme kompensasi tubuh apabila suatu skala yang dinamakan glasgow outcome
terjadi penurunan tekanan darah sistemik untuk scale (GOSE), dimana semakin rendah nilai
mempertahankan perfusi otak tetap adekuat. GOSE seseorang maka angka mortalitas 2
Pada perawatan pascaoperasi, pasien perlu hingga 5 tahun kedepannya akan meningkat.10
dilakukan penilaian pemeriksaan fisik Pasien-pasien yang melakukan rawat jalan
dan neurologis secara rutin untuk melihat sebaiknya dilakukan fisioterapi agar dapat
perkembangan dan memastikan bahwa pasien menghasilkan hasil luaran yang lebih baik
tersebut telah pulih dari efek obat anestesi. dengan mengoptimalkan fungsi-fungsi tubuh
Meskipun ekstubasi endotrakheal dan yang telah rusak. Proses yang dilakukan untuk
pemeriksaan kesadaran pertama kali sebaiknya mengoptimalkan fungsi tubuh yang telah rusak
dilakukan di ruang operasi, namun pada pasien disebut juga dengan neurorestorasi.11
dengan kondisi yang tidak stabil (pasien yang
IV. Simpulan
kembali pulih dari obat anestesi yang lambat,
terjadi pemberian cairan atau darah yang banyak
Penanganan trauma kepala berat pada anak
118 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Fitri Sepviyanti Sumardi*), Nazaruddin Umar**), Margaritta Rehatta***), Siti Chasnak Saleh***)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Bayukarta Karawang, **) Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara/RS Adam Malik Medan, ***) Departemen
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS. Dr. Soetomo Surabaya
Abstrak
Tujuh sampai 8% dari seluruh wanita hamil pernah mengalami trauma yang dapat menyebabkan kematian ibu
akibat traumanya, bukan akibat kehamilannya. Pengelolaan anestesi pada wanita hamil yang akan menjalani
operasi dengan anestesi umum di luar seksio sesarea, terutama operasi bedah kepala, memberikan tantangan
tersendiri kepada para ahli anestesi, karena terdapat 2 orang pasien yang harus dikelola agar menghasilkan
nilai luaran klinis yang baik untuk keduanya. Kami akan melaporkan seorang wanita 22 tahun G1P0A0 dengan
kehamilan 22–24 minggu, yang akan menjalani operasi evakuasi hematoma epidural akibat kecelakaan motor
yang terjadi sebelumnya, tanpa dilakukan seksio sesarea, mengingatkan usia kehamilan masih dalam trimester
kedua. Pertimbangan perubahan anatomi dan fisologis pada kehamilan, upaya agar aliran darah uteroplasenta
adekuat serta efek teknik dan obat anestesi terhadap otak dan aliran darah uteroplasenta harus dipikirkan secara
matang, karena faktor-faktor kritis akan menunjukkan derajat cedera kepala yang lebih berat, sehingga hasil nilai
luaran klinis ibu dan janin buruk. Pada kasus ini ini ibu dapat pulang dengan kehamilan yang baik.
Kata kunci: Cedera kepala, operasi bedah kepala, perubahan sistem tubuh selama kehamilan
Abstract
Seven to 8% of pregnant women had experienced trauma that can lead to maternal deaths due to trauma not as result
of her pregnancy. Management of anesthesia in pregnant women who will undergo surgery with general anesthesia
outside caesarean section, especially neurosurgery, providing a challenge to the anesthesiologist, because there are
two patients who must be managed in order to have good clinical score outcomes for both patients. We will report
a 22-year-old woman who will undergo surgery epidural hematoma evacuation due to a motorcycle accident that
occurred previously, without performed caesarean section, reminiscent of gestation is still in the second trimester.
Consideration of anatomical and physiological changes in pregnancy and effort that uteroplacental blood flow
should be considered carefully, because critical factors will indicate the degree of head injury more severe, so that
the results of the clinical outcomes of mother and fetus is bad. In this case mother and her pregnancy can discharge
from hospital with good condition.
Key words: head injury, craniotomy, the body system changes during pregnancy
119
120 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
ke rumah pada hari ke-7 sejak masuk rumah sakit. UBF, yang disebabkan karena hipotensi maternal
dengan keadaan ibu dan janin yang baik. dan perdarahan. Tehnik anestesi pada pasien
ini dilakukan dengan prinsip airway, breathing,
III. Pembahasan circulation, drugs, environment (ABCDE)
neuroanestesi yang mencegah terjadinya
Tujuan utama dari pengelolaan pasien hamil obstruksi jalan napas, hipoksemia, hiperkarbia
dengan cedera kepala adalah resusitasi ibu secara dan hipotensi yang dapat menyebabkan asfiksia
optimal dan penilaian keadaan janin secara dini. janin.1-3,4 Wanita hamil mengalami perubahan
Resusitasi pasien hamil dengan cedera kepala anatomi dan fisiologi tubuh agar dapat beradaptasi
sama seperti pengelolaan pasien cedera kepala dengan perubahan yang terjadi selama kehamilan,
pada umumnya, hanya perlu pertimbangan lebih sehingga kesehatan ibu dan janin tetap terjaga.
matang mengenai isu-isu perubahan anatomi Perubahan awal yang terjadi dipengaruhi secara
dan fisiologis selama kehamilan, obat-obatan hormonal, selanjutnya perubahan yang terjadi
anestesi dan pemeriksaan radiologik terhadap dihubungkan dengan efek mekanik karena
janin.3 Penilaian keadaan janin dilakukan pembesaran uterus, kebutuhan metabolik janin
sesegera mungkin setelah keadaan ibu stabil, dan yang meningkat dan penurunan resistensi
tetap dilakukan pemantauan secara ketat selama plasenta.4,7
pengelolaan anestesi.4,7 Pengelolaan anestesi pada Perubahan pada sistem saraf pusat adalah adanya
cedera kepala dilakukan berdasarkan pedoman penurunan minimum alveolar concentration
yang dikeluarkan Brain Trauma Foundation (MAC) menurun akibat dari adanya perubahan
Guideline 2007 yang dapat dimodifikasi pada fisiologik ibu hamil, terjadi karena peningkatan
pasien hamil.3 Pengelolaan melibatkan semua kadar plasma endorphins dan peningkatan kadar
bidang keilmuan yang terkait, team dokter yang dari progesteron (10–20 selama kehamilan),
menangani meliputi ahli bedah saraf, ahli anestesi, dimana progesteron mempunyai efek mendepresi
ahli kandungan, ahli radiologi dan ahli kesehatan susunan saraf pusat. Efek yang signifikan
anak.4,7 Pengelolaan ini tergantung dari derajat terlihat pada pemberian obat-obat anestesi
cedera kepala, keadaan ibu, umur kehamilan dan inhalasi. Peningkatan terhadap obat-obat anestesi
keadaan janin.4,7 intravena pun terjadi, terutama pada pemberian
Umur kehamilan pada pasien ini adalah 22– pentotal dan benzodiazepine.7-11
24 minggu, sedangkan batas terminasi umur Pada umumnya pemilihan obat-obatan anestesi
kehamilan untuk melahirkan bayi adalah umur berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskular,
kehamilan 32 minggu.4 Hal ini yang menjadi akan tetapi pada pasien-pasien bedah saraf
pertimbangan untuk tetap mempertahankan harus dipikirkan efeknya terhadap aliran darah
kehamilan, sehingga tidak dilakukan terminasi otak, laju metabolisme oksigen otak (CMRO2),
kehamilan pada pasien ini. Target utama autoregulasi, tekanan intrakranial dan lain-lain.
anestesi pada pasien ini adalah mempertahankan Secara umum obat-obatan anestesi intravena
haemodinamik ibu dan kesejahteraan janin menyebabkan penurunan aliran darah otak dan
dalam kandungan, jangan sampai terjadi asfiksia CMRO2. Penurunan aliran darah otak yang
intrauterin. Asfiksia janin (fetal asfiksia) adalah dipicu oleh sebagian besar obat anestesi intravena
suatu keadaan dimana terjadi hipoksemia, merupakan hasil dari penurunan laju metabolisme
hiperkarbia dan asidosis repiratorik serta sekunder karena depresi fungsi otak. Satu-satunya
metabolik. Kondisi ini bisa terjadi selama janin obat anestesi intravena yang meningkatkan
masih dalam kandungan. Kemungkinan terjadinya aliran darah otak dan CMRO2 adalah ketamin.1,12
asfiksia janin adalah insufisiensi uteroplacental, Pemberian obat-obatan anestesi intravena
abruptio placental, plasenta previa, tetani uterin, perlu pertimbangan dalam pengertian tentang
hipotensi maternal dan kompresi tali pusat yang transportasi obat melalui plasenta dan seberapa
disebabkan karena penurunan UBF.2,6,7 aman obat itu mempengaruhi kehamilan.
Oleh karena itu, untuk memelihara kesejahteraan Transportasi obat-obatan dari ibu ke janin
janin harus dijaga agar tidak terjadi penurunan tergantung dari konsentrasi obat dalam darah ibu,
Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural 123
pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu
perfusi plasenta, struktur plasenta dan solubilitas otak dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi
serta konsentrasi obat tersebut dalam darah lainnya.1 Obat-obatan anestesi tersebut tidak
janin.6 Efek teratogenik pada beberapa literatur mempunyai pengaruh efek yang besar terhadap
menyatakan bahwa waktu paling berbahaya kesejahteraan janin dalam kandungan pasien,
adalah 15 hari trimester pertama kehamilan, karena usia kehamilan pasien kami trimester
karena pada saat ini embrio dapat terbentuk ke-2, sehingga masa organogenesis sudah
sempurna atau tidak. Pada penelitian tahun 1960 selesai, selain itu, dosis obat yang kami gunakan
menemukan bahwa kelainan kongenital utama merupakan dosis kecil dan konsentrasi obat yang
terjadi pada janin yang terpapar obat-obatan digunakan hanya cukup dalam konsentrasi darah
antara hari ke 13 sampai 60 usia kehamilan. ibu.
Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa Pada sistem jalan napas, terjadi edema jalan napas
wanita hamil yang menjalani operasi selain seksio sejak usia kehamilan 12 minggu menyebabkan
sesarea tidak menunjukkan kelainan kongenital kemungkinan sulit intubasi, sehingga dibutuhkan
pada bayi, meskipun sebagian dari mereka lahir ETT yang lebih kecil, biasanya nomer 6.5.
prematur.6,7 Peningkatan kebutuhan oksigen ibu dan janin
yang meningkat selama kehamilan, ditambahan
Pada kasus ini induksi dilakukan dengan dengan penurunan FRC serta pembesaran uterus
menggunakan fentanyl 75 µg, midazolam menyebabkan pasien dengan kehamilan mudah
2 mg, propofol 100 mg dan rokuronium 30 terjadi hipoksia. Padahal untuk operasi bedah
mg. Pemberian fentanyl pada aliran darah kepala diperlukan ukuran ETT sebesar mungkin
otak sulit dijelaskan dengan tepat kerena data yang dapat digunakan. Hal ini dikarenakan aliran
eksperimen yang berbeda. Akan tetapi, dosis darah otak berubah kira-kira 4% (0,95–1,75
kecil narkotik memberikan sedikit pengaruh ml/100 gr/menit) setiap mmHg perubahan PaCO2
pada aliran darah otak dan CMRO2, sedangkan antara 25–80 mmHg. Jadi, jika dibandingkan
dosis besar menurunkan aliran darah otak dan dengan normokapni, aliran darah otak dua kali
CMRO2.1,12 Walaupun propofol mempunyai efek lipat pada PaCO2 80 mmHg dan setengahnya
terhadap tekanan perfusi otak disebabkan oleh pada PaCO2 20 mmHg. Bila PaO2 < 50 mmHg,
menurunnya tekanan darah, efek hemodinamik akan terjadi serebral vasodilatasi dan aliran darah
yang tidak menguntungkan ini dapat dicegah otak akan meningkat. Suatu peningkatan PaO2
dengan menghindari efek konsentrasi puncak, hanya sedikit pengaruhnya terhadap resistensi
hal ini yang menjadi pertimbangan kami untuk pembuluh darah serebral. Pada manusia selama
menggunakan midazolam.1,12 operasi otak PaO2 jangan melebihi 200 mmHg.
Pengaruh PaCO2 dan PaO2 ini juga terjadi pada
Midazolam menyebabkan penurunan aliran darah UBF.1,3,4,7 Curah jantung yang menurun karena
otak dan CMRO2 secara paralel sampai 40%. posisi terlentang pun menyebabkan penurunan
Dibandingkan dengan pentotal, efek penekanan dari saturasi vena, hal ini mengakibatkan
metabolisme otak lebih sedikit. Pemberian penurunan dari saturasi O2 arteri.4,7 Pada pasien
midazolam dosis kecil pun tidak terlalu ini, karena fasilitas monitor yang terbatas kami
mempengaruhi tekanan intrakranial. Midazolam hanya dapat menjaga agar saturasi pasien tidak
juga memberikan hemodinamik yang lebih turun.
stabil.1,12 Rokuronium dipilih karena mempunyai Hiperventilasi juga merupakan suatu dasar
onset cepat dan lama kerja pendek dibandingkan tatalaksana neuroanestesi, hal ini ditujukan untuk
dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi menurunkan PaCO2 dan aliran darah otak.4,7
yang lain.12 Sebagai obat anestesi pemeliharaan Keadaan sedikit hiperventilasi dan hipokapnia
kami memilih sevofluran, dengan pertimbangan adalah faktor yang wajar pada kehamilan,
sevofluran mempunyai kelarutan yang rendah sehingga penurunan kadar PaCO2 yang
sehingga onsetnya cepat, mudah mengatur berlebihan merupakan seuatu yang tidak baik
kedalaman anestesi, efek proteksi otak dan paling pada pasien hamil yang menjalani operasi bedah
kecil menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak.3,4 Penurunan kadar PaCO2 yang terlalu
124 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
rendah akan menyebabkan transfer penurunan karena diharapkan Hb >9 gr/dL, sehingga aliran
transpor oksigen ke janin melalui plasenta, darah otak dan transportasi O2 ke jarigan perifer
akibat dari vasokonstriksi dari plasenta, sehingga tetap terjaga dan tidak mempengaruhi UBF.
menyebabkan hipoksia dan iskemia pada otak Penekanan vena cava inferior yang disebabkan
janin, ditandai dengan nilai luaran bayi yang pembesaran uterus pada posisi terlentang,
buruk.4,7,8,13-17Kadar hemoglobin yang rendah sehingga terjadi penurunan aliran balik vena ke
berpengaruh juga terhadap penyampaian oksigen jantung, menimbulkan keadaan yang disebut
ke janin, sehingga secara alamiah hemoglobin supine hypotensive syndrome. Sepuluh persen
janin mempunyai kemampuan lebih tinggi dari wanita hamil mengalami hal ini dan bila
dalam mengikat oksigen sebesar 50–80 mmHg tidak dikoreksi dengan cepat, dapat menyebabkan
daripada hemoglobin ibu, karena peningkatan asfiksia janin. Memiringkan pasien 150 ke arah
laju napas ibu bukan merupakan solusinya.4,7 kiri dapat membantu mengurangi terjadinya hal
Penggunaan O2 sampai ke jaringan perifer (VO2) tersebut.6,7
digambarkan dengan menggunakan persamaan Pada saluran pencernaan, akibat pembesaran
yang dipengaruhi oleh curah jantung (Q), kadar dari uterus menyebabkan sehingga lambung
haemoglobin dan perbedaan antara saturasi berputar dan spinter lambung membuka, serta
arteriovenous oxyhemoglobin, sebagai berikut: terjadi waktu pengosongan lambung yang
lebih lama. Hal ini mengakibatkan pasien
VO2= Q x 13,4 x Hb x (SaO2–SvO2) hamil mudah terjadi aspirasi, walaupun tidak
terbukti terjadinya peningkatan kadar keasaman
Pada pasien dengan sakit kritis, batas dilakukan lambung pada wanita hamil. Pemberian obat
tranfusi darah adalah Hb <7 gr/dL, karena anti muntah sebelum dimulai induksi sangat
beberapa literatur menyatakan dengan kadar Hb 7 membantu sebagai pencegahan.2,4 Pasien dengan
gr/dL masih dapat menjaga transportasi O2 sampai kehamilan atau trauma biasa dilakukan tehnik
ke jaringan perifer.18 Hematokrit mempengaruhi rapid sequence induction (RSI). Tujuan dari
aliran darah otak secara nyata. Bila hematokrit RSI adalah mencegah terjadinya aspirasi pada
meningkat di atas normal, aliran darah otak akan pasien yang tidak sadar dengan kemungkinan
menurun karena ada peningkatan viskositas darah, lambung penuh. Pada RSI intubasi dilakukan
sehingga pasien dengan pascabedah operasi tanpa menggunakan bag-valve-mask (BVM) dan
kepala diharapkan Ht 32–33%, atau kadar Hb hanya memberikan obat-obatan sedasi (seperti:
9–10 gr/dL.1,3 Hal ini yang menjadi pertimbangan midazolam, propofol) dengan obat pelemas otot
kami tetap melakukan tranfusi pada pasien ini, yang mempunyai masa kerja cepat (seperti:
succynilcholine, rocuronium). Kekurangan dari millitilter diganti dengan jumlah yang sama.
RSI adalah dapat terjadi peningkatan tekanan Bergantung pada kondisi pasien, perdarahan
darah dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan sebagian dapat diganti dengan cairan kristaloid
intrakranial, sehingga berdasarkan pertimbangan atau koloid untuk mempertahankan hematokrit ±
tersebut pada pasien dengan cedera kepala jarang 32–33%. Pemeliharaan cairan 1–1,5 ml/KgBB/
dilakukan RSI.6,7 Pada pasien ini juga tidak jam atau diganti 2/3 dari jumlah diuresis.1,19
dilakukan induksi dengan tehnik RSI, karena Data yang ada menunjukkan bahwa penggantian
pertimbangan tersebut dan diperkirakan lama volume atau ekspansi tidak mempunyai efek
puasa pasien cukup. Keputusan untuk dilakukan terhadap edema otak selama osmolalitas
ekstubasi atau tidak pada periode pascabedah serum dan tekanan onkotik dipertahankan, dan
kadang-kadang sulit. Pada saat ekstubasi bisa selama tekanan hidrostastik otak tidak sangat
terjadi kenaikan tekanan darah yang berbahaya meningkat (misalnya karena pemberian cairan
karena dapat menimbulkan hiperemia otak, yang berlebihan atau meningkatnya tekanan
edema otak bertambah, perdarahan kembali dan jantung kanan). Keadaan tersebut tidak berbeda
kenaikan tekanan intrakranial.1,3 baik dicapai dengan pemberian cairan kristaloid
atau koloid. Osmolalitas serum harus diperiksa
Selain itu, pertimbangan kesadaran prabedah berulang, dengan tujuan agar osmolalitas dalam
adekuat, operasi otak terbatas, tidak terjadi batas normal atau sedikit meningkat. Berbagai
laserasi otak yang luas, temperatur normal dan jenis cairan akan menyebabkan ekspansi volume
haemodinamik pasien stabil.1,3 Berdasarkan intravaskular yang berbeda, misalnya pemberian
hal-hal inilah, maka kami melakukan ekstubasi 1 L cairan kristaloid isotonik meningkatkan
di dalam kamar operasi. Aturan umum yang volume ± 200 ml, sedangkan 1 L cairan koloid
harus diikuti pada pemberian cairan rumatan meningkatkan volume ±750 ml.12 Penggunaan
selama pembedahan adalah menghindari cairan yang dapat menurunkan osmolalitas
penggunaan cairan yang hiperosmolar dan cairan harus dihindari. Lebih disukai NaCL 0,9%,
yang mengandung glukosa. Cairan kristaloid daripada Ringer Laktat (RL), karena NaCL 0,9%
yang mendekati isoosmolar diberikan dengan osmolalitasnya 308 mOsm/L, sedangkan RL 273
kecepatan cukup untuk mengganti urin yang mOsm/L, jadi NaCL 0,9% sedikit hiperosmolar
keluar dan insensible loss dengan jumlah setiap (osmolalitas tubuh manusia 290 mOsm/L).
126 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
akhir kehamilan. Perubahan PO2 pada kehamilan masih dalam trimester kedua, janin dinilai belum
lanjut tidak meningkatkan hipoksia janin, hal ini mampu bertahan hidup sendiri dan kondisi janin
berhubungan dengan peningkatan konsentrasi dinilai dari perubahan denyut jantungnya masih
hemoglobin pada perkembangan kehamilan. Hal dalam batas normal, walaupun hampir mencapai
ini mempertahankan kandungan oksigen dalam batas tertinggi, 158 x/menit. Pemberian obat
vena umbilikal di sepanjang kehamilan.5,6,8,9,19 antiuterotonika dan menghindari obat-obat yang
Prinsip pengelolaan neuroanestesi yang dapat menyebabkan terjadi relaksasi dari uterus.
lain, seperti kontrol kadar gula darah, suhu, Pemantauan secara ketat terhadap ibu dan janin
hiperventilasi dan diuresis pun harus diperhatikan tetap dilakukan dengan alat-alat yang tersedia,
pada pasien hamil.3 Kadar gula darah ibu juga walaupun tidak dapat memberikan hasil nilai
harus dijaga, tidak boleh terlalu tinggi atau yang pasti. Hal-hal yang dapat kami lakukan
rendah, karena dapat berpengaruh terhadap kadar dengan menjaga hemodinamik ibu, sehingga
insulin janin, yang mengakibatkan nilai luaran diharapkan perfusi plasenta tetap terjaga. Tekanan
janin yang buruk. Kadar gula darah dikontrol darah ibu sempat menurun sesaat pada menit ke-
antara 100–150 mg/dL.7 Hipotermia merupakan 15, pemberian efedrin 5 mg dilakukan sebagai
salah satu tatalaksana yang biasa yang dilakukan upaya untuk menjaga agar tekanan darah ibu
pada pasien-pasien yang menjalani operasi bedah tetap stabil, tekanan arteri rerata ibu dijaga antara
kepala. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk 50–70 mmHg. Pemilihan analgesia yang adekuat
menurunkan kebutuhan metabolik otak dan dilakukan untuk mengurangi efek vasodilatasi
organ tubuh lain, sehingga aliran darah ke otak yang berlebihan akibat pemberian obat-obat
tetap terjaga.3 Suhu dapat diturunkan sampai 30 anestesi, tetapi tetap tercapai balance anesthesia
0
C, tetapi hal ini dapat memberikan pengaruh dan hemodinamik ibu serta relaksasi uterus tetap
yang buruk terhadap janin, ditandai dengan terjaga.
peningkatan atau penurunan denyut jantung
janin.2,4,7 Pada kasus ini suhu ibu dipertahankan IV. Simpulan
normotermi. Perubahan pada denyut jantung
janin merupakan suatu tanda buruk kelangsungan Prinsip pengelolaan pasien hamil yang menjalani
hidupnya, karena menandakan telah tejadi operasi bedah kepala mempunyai pertimbangan
hipoksia dan iskemia otak janin, dimana dapat yang sama dengan prinsip pengelolaan pasien
berakibat kematian janin.4,5,8-11,13-17 hamil yang mejalani operasi di luar seksio sesarea
Pengelolaan diuresis dengan pemberian obat- pada umumnya. Pengelolaan pasien hamil yang
obat diuretika pada operasi bedah kepala, dapat dilakukan tindakan pembedahan diluar seksio
menyebabkan perubahan fisiologis pada janin sesarea harus melibatkan team dokter ahli dari
juga, terjadinya penurunan produksi cairan berbagai disiplin ilmu dan mempertimbangkan
paru-paru, aliran darah-ginjal yang menurun perubahan anatomi dan fisiologi pada kehamilan,
dan peningkatan kadar natrium plasma janin.3 agar hasil nilai luaran ibu dan janin bagus.
Pada penelitian hewan percobaan, hal-hal ini Hemodinamik yang stabil dan keadaan se-
menyebabkan dehidrasi pada janin, walaupun fisiologis mungkin pada kehamilan merupakan
pada manusia, pemberian manitol dosis kecil kunci utama dalam mengelola pasien hamil.
0,25–0,5 mg/KgBB dinilai masih dalam batas Tekanan darah rerata antara 50–70 mmHg
aman untuk ibu dan janin.4,7,8-11,13-17 Pemantauan dinilai dapat menjaga tekanan perfusi ke otak
secara ketat terhadap ibu dan janin tetap harus dan perfusi plasenta. Sedikit hiperventilasi dan
dilakukan. Pada kasus yang kami tulis ini hipokapni merupakan fisiologis yang normal
melibatkan team dari berbagai bidang ilmu, pada kehamilan, sehingga penurunan PaCO2
informed consent, pengelolaan dasar-dasar tidak kurang dari 25 mmHg, karena dapat
neuroanestesi dilakukan dengan pertimbangan menyebabkan hipoksia dan iskemia otak janin.
perubahan-perubahan anatomi dan fisiologis Nilai luaran janin juga dapat tetap bagus, karena
tersebut. Tidak dilakukan terminasi kehamilan, menurut beberapa penelitian menyatakan bahwa
dengan pertimbangan bahwa usia kehamilan plasenta mempunyai autoregulasi tersendiri,
128 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
walaupun tidak ada nilai pasti, karena semua 9. Tomimatsu T, Kakigano A, Mimura K,
penelitian mengenai hal ini terbentur masalah Kanayama T, Koyama S, Fujita S, et al.
etika kedokteran. Maternal carbondioxide level during labor
and its possible effect on fetal cerebal
Daftar Pustaka oxygenation: mini review. J Obstet Gynaecol
Res. 2013; 39: 1–6.
1. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan
critical care: cedera otak traumatik. Bandung: 10. Sharma D, Vavilala MS. Perioperative
Universitas Padjadjaran; 2012. management of adult traumatic brain injury.
Anesthesiol Clin. 2012; 30: 333–46
2. Tawfik MM, Badran BA, Eisa AA, Barakat
RJ. Simultaneous caesarean delivery and 11. Graham EM, Ruis KA, Hartman AL,
craniotomy in a term pregnant patient with Norhington FJ, Harold EF. A systematic
traumatic brain injury. Saudi J Anesth 2015; review of the role of intrapartum hypoxia-
9(2): 207–10 ischemia in the causation of neonatal
encephalopathy. AJOG 2008; 94(6): 585–95.
3. Bendo AA. Perioperatif management of adult
patients with severe head injury. Dalam: 12. Saleh SC. Cairan untuk tindakan bedah
Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell otak. Dalam: Saleh SC, editor. Sinopsis
and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5, Neuroanestesia Klinik, edisi ke-2, Surabaya:
Philadelphia: Mosby; 2010, 317–26 Zifatama; 2013, 49–60
4. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for 13. Elliot C, Warrick PA, Graham E, Hamilton
neurosurgery in the pregnant patient. Dalam: EF. Graded classification of fetal heart rate
Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell tracing: association with neonatal metabolic
and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5, asidosis and neurologic morbidity. AJOG
Philadelphia: Mosby; 2010, 416–24 2010; 26(6): 317–25.
5. Bisri DY, Bisri T. Anatomi dan fisiologi wanita 14. Furuya A, Matsukawa T, Ozaki M, Kumazawa
hamil. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, T. Propofol anesthesia for cesarean section
Suwondo BS, editor. Anestesi Obstetri, edisi successfully managed in patient with
ke-1, Bandung: Saga Olah Citra; 2013, 1–14. moyamoya disease. J Clin Anesh. 1998;10:
242–45.
6. Gambling DR, Bucklin BA. Physiologic
changes of pregnancy. Dalam: Gravalee GP, 15. Unterrainer AF, Steiner H, Kundt MJ.
editor. A Practical Approach to Obstetric Caesarean section and brain tumor resection.
Anesthesia, edisi ke-1, Philadelphia: Br J Anaesth. 2011; 107: 111–12
Lippincott Williams and Wilkins; 2009, 3–25.
16. Dyer RA, van Dyk D, Dresner A. The use of
7. Reitman E, Flood P. Anaesthetic uterotonic drugs during caesarean section. Int
considerations for non-obstetric surgery J Obstet Anesth. 2010; 19: 313–19.
during pregnancy. Br. J Anaesth 2011;
107(51): 172–78. 17. Bateman BT, Berman MF, Riley LE, Leffert
LR. The epidemiology of postpartum
8. Musin C, Marwoto. Aliran darah hemorrhage in large, nationwade sample
uteroplasenta. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih delivery. Anesth Analg 2011; 110:1368–73
S, Suwondo BS, editor. Anestesi Obstetri,
Edisi ke-1, Bandung: Saga Olah Citra; 2013, 18. Morino DJ, Anemia and red blood cell
41–5. transfusions in the ICU. Dalam: Brown
Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural 129
pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu
B, editor. The ICU Book, edisi ke-3, BS, editor. Anestesi Obstetri, edisi ke-1,
Philadelphia: Lippincott Williams and Bandung: Saga Olah Citra; 2013, 223–38
Wilkins; 2007, 659–80
Abstrak
Kraniofaringioma merupakan tumor intrakranial yang terdapat pada fosa hipofisis dan sepanjang sisterna
suprasellar hingga hipotalamus. Defenisi kraniofaringioma menurut WHO adalah tumor jinak pada daerah sella
yang berasal dari kantong ratkhe epithelial yang mana insidensinya 1,34 pasien per 1 juta penduduk. Usia rata-rata
pasien adalah 0 – 14 tahun dimana usia puncak terjadinya tumor ini berada diantara 5 hingga 14 tahun. Dilaporkan
seorang laki-laki 22 tahun datang ke Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan keluhan nyeri
kepala, mual, muntah, penurunan tajam penglihatan dan jika berjalan sering menabrak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan penurunan tajam penglihatan dan defek lapangan pandang lateral serta ditemukan pupil anisokor 4
cm/ 2 cm. Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan nilai yang normal, thyroid stimulating hormon (TSH) normal,
dan prolaktin serum normal. Pada pemeriksaan MRI kepala dengan kontras ditemukan massa berukuran 5,12cm x
2,63 cm menonjol dari sella tursika berbatas tegas dan terisi kontras. Terhadap pasien dilakukan prosedur operasi
kombinasi frontolateral dan pterional serta dilakukan total removal tumor. Hasil histopatologi pascaoperasi
menunjukkan suatu adamantinomatous kraniofaringioma. Komplikasi yang muncul pasca pembedahan pada
pasien ini adalah terjadinya diabetes insipidus.
Kata kunci: Kraniofaringioma, prosedur pembedahan frontolateral dan pterional, diabetes insipidus
Abstract
Craniopharyngioma is an intracranial tumor that occurs in the region of the pituitary fossa and suprasellar
cisterns along to the hypothalamus. Craniopharyngioma is brain tumor which is defined by WHO as a benign
tumor in the sella region derived from Ratkhe pouch epithelium in which the incidence is 1.34 patients per 1
million population. The average age of patients was 0-14 years of age peaks where the tumor is located
between 5 and 14 years. Reported a man 22 years old came to the General Hospital dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh with symptoms of headache, nausea, vomiting, decreased vision acuity. On physical examination found
a decrease in visual acuity, lateral visual field defects, and found the anisokor pupil 4 cm / 2 cm. In routine
blood tests found normal value, normal Thyroid Stimulating Hormon (TSH) and normal serum prolactin.
MRI head with contrast was found mass measuring 5,12cm x 2.63 cm protruding from the sella tursika
demarcated and filled with contrasts. Currently treated by surgical total removal tumor with combination of
frontolateral and pterional surgery approach. Postoperative histopathologic results showed a adamantinomatous
craniopharyngioma. In this case, complication that occur after surgery procedure is diabetes insipidus.
130
Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma 131
di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Gambar 1. MRI tampak massa berukuran 5,12cm x 2,63 cm menonjol dari sella tursica dengan
batas tegas, massa tampak terisi kontras.
Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma 133
di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
pituitary stalk sehingga terpaksa sebagian kapsul pada daerah sella yang berasal dari kantong
yang melekat ditinggalkan. Kami melakukan ratkhe epitelial. Walaupun merupakan tumor
identifikasi dan kontrol pada pendarahan. jinak, proses pengobatan kraniofaringioma dapat
Intraoperasi otak tidak tampak edema, selanjutnya menyebabkan kerusakan pada struktur sella dan
dilakukan penutupan area operasi. Dura mater presella, sehingga beberapa klinisi menyebutnya
ditutup kedap air. Tulang calvaria dan rima tumor jinak pada lokasi maligna “benign tumor
orbitalis dikembalikan dengan fiksasi miniplate. in malignant location”.7 Kraniofaringioma
Setelah tumor berhasil diangkat, spesimen merupakan tumor yang jarang sekali terjadi,
tumor dikirim ke laboratorium patologi anatomi dimana insidensinya hanya 1,34 pasien per 1
untuk diidentifikasi tipe kraniofaringioma. Hasil juta penduduk. Di Amerika, sekitar 2680 kasus
pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan dilaporkan sejak tahun 2005 hingga 2009,
suatu kraniofaringioma tipe adamantinomatous. dimana angka tersebut representatif dari 0,9%
kasus tumor sistem saraf pusat. Sejumlah pasien
IV. Pembahasan berusia 0–14 tahun dimana usia puncak terjadinya
tumor ini berada diantara 5 hingga 14 tahun.7
Kraniofaringioma adalah tumor otak yang Insidensi kraniofaringioma di negara Asia lebih
didefinisikan oleh WHO sebagai tumor jinak tinggi dibandingkan dengan Amerika, dimana
Gambar 3. Post operatif (a) Gambaran Klinis Pasien (b) Gambaran CT Scan Pasca Operasi
Kraniofaringioma Frontotemporal
Gambar 2. Prosedur Operasi (a) Site Marking (b) Pasien dalam Keadaan Supine dan
Dilakukan Fiksasi dengan Pendulum Dilanjutkan Insisi dan Burhole pada Orbita
134 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
laporan studi di negara Jepang adalah 5,8% dari penglihatan, pengenalan warna, serta lapangan
seluruh kasus baru tumor sistem saraf pusat pandang lebih sering dilaporkan dibandingkan
yang mana 12,5% terjadi pada anak. Laporan penglihatan ganda. Penilaian lapangan pandang
kraniofaringioma di Cina adalah 6,5% dari perlu dilakukan perlu dilakukan sebagai landasan
12.785 kasus tumor sistem saraf pusat termasuk untuk menentukan lokasi penekanan baik di
proses metastasis.7,8 nervus optikus intrakranial, kiasma optikus
dan traktus optikus. Metode pencitraan modern
Secara histologi terdapat dua tipe memungkinkan diagnosis yang lebih cepat, tanpa
kraniofaringioma, yaitu adamantinomatous rasa sakit, serta dapat dijadikan sebagai monitor
dan papillari. Keduanya berasal dari kantong untuk berbagai tindakan tatalaksana yang akan
Ratkhe epitelial. Kranifaringioma pada kasus ini dilakukan.10
merupakan jenis adamantinomatous, yang mana Pasien dengan kraniofaringioma umumnya
tipe ini merupakan jenis yang paling umum terjadi memiliki satu atau beberapa difisiensi hormon
pada anak serta seringkali berupa kalsifikasi pituitari dan/atau disfungsi hipotalamus, yang
dan kistik. Bentuk kistik dapat berkembang mana terjadi akibat tumor, prosedur operasi, dan
menjadi sangat besar dan mangandung cairan radioterapi. Sehingga dengan demikian, perlu
yang kaya kolesterol yang akan berbahaya jika dilakukan evaluasi secara periodik termasuk
kontak dengan jaringan otak normal. Tumor memeriksan untuk deteksi dan tatalaksana
solid terdiri atas lapisan sel columnar pallisading disfungsi neuroendokrin.11
tanpa epitelial stelata dan sel deskuamasi yang Hipopituitarisme merupakan kelainan hormonal
disebut “wet keratin” Kraniofaringioma tipe yang prevalensinya paling tinggi pada
adamantinomatous terjadi oleh karena perubahan kraniofaringioma, dimana terjadi sekitar 85%
sel epitelial neoplastik berasal dari stomodeum pada saat awal diagnosis. Defisiensi hormon
yang terjebak pada duktus kraniofaringeal saat pertumbuhan dilaporkan terjadi sekitar 35–
perkembangan pituitari yang dikenal sebagai 100% kasus, defisiensi hormon gonadotropin
teori embriogenetik.7,9 luteimizing hormon (LH) dan folicle stimulating
hormon (FSH) terjadi pada 38–91% kasus,
Berbeda halnya dengan tipe adamantinomatous, defisiensi hormon kortikotropin (ACTH) 21–
kraniofaringioma tipe papillari merupakan tumor 68% kasus, defisiensi hormon tirotropin (TSH)
primer yang terjadi pada usia dewasa, yang mana 20– 42% kasus. Hiperprolaktinemia ringan (<150
secara histologi terdiri atas “wet keratin”, namun ng/ml) juga dilaporkan pada 55% kasus yang
dengan epitel squamous yang berdiferensiasi terjadi akibat “stalk effect” (kerusakan proses
dengan baik serta tumor lebih solid dan uniformis. penghambatan aliran dopamin dari hipotalamus
Kraniofaringioma tipe ini terjadi secara sekunder ke laktotrop pituitari). Berdasarkan evaluasi kadar
akibat metaplasia sel adenohipofisis pada pars TSH dan prolaktin pada kasus ini, ditemukan
tuberalis yang kemudian disebut sebagai teori kadar yang normal untuk keduanya atau dengan
metaplastik. Namun demikian, pada sebuah studi kata lain tidak ditemukan adanya kelainan pada
dilaporkan kedua tipe ini dapat terjadi secara hormon tersebut.11
bersamaan dimana telah dilakukan evaluasi Jika pasien mengalami defisiensi hormon
terhadap 131 spesimen kraniofaringioma, 20 tirotropin hormon sebagai akibat hipotiroidisme
(15%) diantaranya terdiri atas sel epitel squamous sentral, secara klinis tidak dapat dibedakan dengan
dan adamantinomatous.7,9 hipotiroidisme akibat sebab yang lain. Pasien
Keterlibatan neuro-oftalmika merupakan akan mengalami gejala hipotiroidisme seperti
keluhan yang paling umum dikeluhkan oleh lemah, peningkatan berat badan, pertumbuhan
pasien dengan kraniofaringioma. Seperti halnya terhambat, konstipasi, kulit kering, myxedema,
pada kasus ini, pasien mengeluhkan tidak dapat distimia serta hiponatremia dan dislipidemia juga
melihat sama sekali pada mata kanan serta mata terjadi. Hiperprolaktinemia dapat menyebabkan
kiri hanya dapat melihat pada bagian sentral infertilitas pada laki-laki ataupun perempuan,
(penurunan lapangan pandang). Penurunan tajam diamana perempuan akan mengalami galactorrhea
Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma 135
di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Gambar 4. Jalur Reseksi Tumor melalui Interoptik, Carotid-Aculomotor, dan Celah Carotid
Tentorial dengan secara Hati-Hati Melindungi Arteri Hipofisis Superior.15
136 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
secara bertahap khususnya yang menjadi terjadi pada pasien adalah diabetes insipidus
perhatian besar adalah arteri hipofisis superior.12-14 yang terjadi akibat kerusakan pituitary stalk atau
disfungsi hipotalamus.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat proses
pembedahan adalah berupa diabetes insipidus, Daftar Pustaka
hipopituitarisme, cedera arteri karotis internal,
cedera nervus optikus dan kiasma optikus serta 1. Singh P, Sarkari A, Sarat Chandra P,
vasospasme yang terjadi hingga 4 minggu pasca Mahapatra A, Sharma B, Gurjar H.
pembedahan.12-14 Pada kasus ini, komplikasi Giant craniopharyngioma presenting as a
yang timbul pasca tidakan pembedahan adalah cerebellopontine angle tumour. Pediatric
diabetes insipidus. Diabetes insipidus merupakan neurosurgery. 2012;48(2):131–2.
salah satu komplikasi yang umum terjadi pasca
tindakan pembedahan kraniofaringioma, dimana 2. Müller HL. Craniopharyngioma. Endocrine
dilaporkan insidensi post operatif mencapai 100% reviews. 2014;35(3):513-43.
kasus. Insidensi terjadinya diabetes insipidus
dengan prosedur pembedahan transspenoid lebih 3. Pouchieu C, Baldi I, Gruber A, Berteaud
rendah (36%) dibandingkan dengan prosedur E, Carles C, Loiseau H. Descriptive
operasi transkranial (69%). Diabetes insipidus epidemiology and risk factors of primary
terjadi akibat manipulasi bedah pada pituitary central nervous system tumors: Current
stalk. Jika pituitary stalk rusak atau terpotong, knowledge. Revue neurologique. 2015.
maka pasien akan mengalami diabetes insipidus
secara permanen. Namun, pada beberapa kasus 4. Zada G, Lopes MBS, Mukundan Jr S, Laws Jr
dilaporkan diabetes insipidus terjadi pada E. Craniopharyngiomas. Atlas of Sellar and
pituitary stalk yang intak yang mana hal tersebut Parasellar Lesions: Springer; 2016, 197–210.
terjadi akibat disfungsi hipotalamus.12 Prosedur
pembedahan kraniofaringioma merupakan 5. Yomo S, Hayashi M. A minimally invasive
tantang besar dimana prosesnya melibatkan treatment option for large metastatic brain
berbagai struktur penting seperti nervus optikus, tumors: long-term results of two-session
sirkulus willisi, hipotalamus dan batang otak yang Gamma Knife stereotactic radiosurgery.
membutuhkan tehnik khusus dan pengalaman. Radiation Oncology. 2014;9(1):1.
Dengan tehnik dan teknologi yang baik, angka
kematian dan kesakitan jauh menurun setiap 6. Horvat A, Kolak J, Gopcevic A, Ilej M,
tahunnya. Selain itu juga diperlukan kerjasama Gnjidic Z. Anesthetic management of patients
berbagai multidisiplin ilmu untuk menurunkan undergoing pituitary surgey. Acta Clin Croat.
resiko bahaya dan memperbaiki hasil saat 2011;50:209–16.
pembedahan.15
7. Gooch MR, Evans JJ, Kenning TJ.
IV. Simpulan Inrtroduction. Dalam: Evas JJ, Kenning TJ,
editors. Craniopharyngiomas: comprehensive
Kraniofaringioma adalah tumor otak yang diagnosis, treatment and outcome. Oxford:
didefinisikan oleh WHO sebagai tumor jinak pada Academic Press; 2014, 3–13.
daerah sella yang berasal dari kantong Ratkhe
epithelial. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan 8. Nielsen E, Jørgensen J, Bjerre P, Andersen
fisik, dan pemeriksaan penunjang terhadap pasien M, Andersen C, Feldt-Rasmussen U, et al.
pada kasus ini, disimpulkan diagnosis pasien Acute presentation of craniopharyngioma
adalaha Kranifaringioma tipe adamantinomatous in children and adults in a Danish national
yang mana telah dilakukan prosedur tehnik cohort. Pituitary. 2013;16(4):528–35.
pembedahan kombinasi frontolateral dan
pterional. Komplikasi pasca pembedahan yang 9. Prabhu VC, Brown HG. The pathogenesis
Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma 137
di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Kejang adalah perubahan fungsi otak secara mendadak dan sementara akibat aktifitas nueron yang abnormal
sehingga terjadi pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini dapat bersifat parsial atau general, berasal
dari daerah spesifik korteks serebri atau melibatkan kedua hemisfer otak. Kejang disebabkan oleh banyak faktor,
yaitu penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik, stroke hemoragik), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma
kepala, gangguan metabolik, infeksi susunan saraf pusat (SSP) seperti ensefalitis, meningitis. Penyebab lain
adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi, perubahan hormon, kehamilan, penggunaan obat-obatan
yang menginduksi kejang (teofilin dosis tinggi, fenotiazin dosis tinggi), antidepresan (maprotilin atau bupropion),
kebiasaan minum alkohol. Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 1981, epilepsi adalah suatu kelainan otak yang ditandai adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Diagnosa epilepsi ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik
dan electroencephalography (EEG). Umumnya, epilepsi diterapi dengan obat antiepilepsi atau anti konvulsan.
Apabila kejang tidak teratasi dengan obat oral, dapat dilakukan terapi invasif atau pembedahan, berupa non brain
epilepsy surgery atau brain epilepsy surgery. Di Inggris, diperkirakan 0,5–2% total penduduk, menderita epilepsi,
dimana 13% memerlukan terapi invasif atau pembedahan. Studi retrospektif, membuktikan, pengobatan invasif
atau pembedahan pada epilepsi yang tidak respons terhadap obat oral, telah berhasil mengurangi serangan kejang.
Penatalaksanaan anestesi pada epilepsi merupakan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Diperlukan pemilihan
gas, anestetika intravena dan teknik anestesi yang tidak memicu serangan kejang selama operasi. Interaksi dan
efek samping obat anti epilepsi harus diperhitungkan saat anestesi.
Abstract
Seizures are sudden changes in brain function and activity of abnormal neuron activity causing cerebral excessive
electrical discharges. May be partial or general, comes from a spesific region of the cerebral cortex or both hemispheres.
Caused by cerebrovascular disease (ischemic stroke, hemorrhagic stroke), neurodegenerative disorders, tumors,
head trauma, metabolic disorder, central nervous system infection (encephalitis, meningitis). Another factor are
sleep disorder, sensory of emotional stimulation, hormonal changes, pregnancy, use of drugs induce seizures
(theophyline high-dose, phenothiazine high-dose), antidepresants (maprotilin or bupropion), drinking alkohol.
International League Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE) in
1981, epilepsy is a brain disorder that can trigger epileptic seizures, neurological changes, cognitive,
psychological and social consequences resulting. Diagnose is anamnesa, physical examnination and
electroencephalography. Treated with antiepileptic drugs or anticonvulsant. If the seizures are not resolved, can
be invasive or surgical therapy (non brain epilepsy surgery or brain surgery). In UK, 0,5 - 2% suffer from
epilesy, 13% require surgical therapy. A retrospective study, prove that invasive treatment has succeeded.
Management of anesthesia is a challenge for anesthesiology. Election necessary gas, intravenous and anesthesia
techniques that do not trigger a seizure. Interaction and side effects of anti epileptic drugs should be calculated.
138
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi 139
tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kejang serebri. Dengan teknik ini, operator dapat
pada epilepsi dengan cara stimulasi elektrik pada menentukan dengan tepat, area operasi pada
nervus vagal dengan cyberonics NCP vagal nerve kortek yang akan direseksi sehingga diharapkan
stimulator (VNS) system, atau stimulasi elektrik morbiditas neurologi minimal. Keuntungan lain,
pada nukleus centromedian thalamic. Brain insidens post operaative nausea and vomiting
epilepsi surgery adalah tindakan pembedahan (PONV) minimal dibanding dengan general
reseksi pada fokus epilepsi diotak, seperti anestesi, rawat inap juga akan lebih singkat.16-20
temporal lobectomi, amydalohippocampectomy, Selama awake craniotomy, pasien diharapkan
extratemporal/extrafrontal cortical excision, dapat bekerja sama baik dengan operator maupun
hemispherectomy, corpus callosotomy atau dokter anestesi. Pasien harus terasa nyaman
stereotactic excision. Didapatkan 50%–90% saat terbaring di meja operasi dan kooperatif
serangan kejang akan berkurang setelah tindakan saat cortical mapping dilakukan. Untuk itu
pembedahan. Didapatkan tingkat morbiditas dan diperlukan persiapan adekuat terhadap pasien
mortalitas 5% pada operasi epilectogenic focus dengan menjelaskan metode awake craniotomy
resection, 20% pada operasi corpus callosotomy yang akan dilakukan, saat kunjungan anestesi
dan 50% pada operasi hemispherectomy. 10–12 sebelum operasi. Intraoperasi, ruangan operasi
harus nyaman, obat analgetik dan sedasi
4 Teknik anestesi adekuat, tersedianya obat-obatan apabila terjadi
Teknik anestesi yang digunakan pada operasi komplikasi selama tindakan. Obat antihipertensi,
epilepsi, dapat berupa: awake craniotomy steroid, antikonvulsan yang rutin digunakan
atau general anestesi dengan total intravenous untuk mengatasi kejang/epilepsi, tetap diberikan
anesthesia (TIVA) atau kombinasi gas anestesi sebelum operasi dimulai. Sesaat sebelum
dengan obat anestesi intravena. dimulai operasi, dapat dilakuak scalp bolk, untuk
mengurangi nyeri. Induksi anestesi dilakukan
4. 1 Awake craniotomy dengan dexmedetomidine dan propofol. Saat
Pada awake craniotomy, pasien tidak terjaga stimulasi test oleh operator, pasien sadar
(sadar) sepanjang operasi, ada periode tidur penuh dengan skala Ramsay derajat 2. Hati-
-bangun – tidur. Umumnya teknik ini digunakan hati terjadi komplikasi intraoperasi seperti
untuk tindakan intractable epilepsy atau cortical obstuksi jalan nafas, kejang, mual, muntah.
mapping dengan stimuluasi elektrik pada korteks Obat-obat untuk general anestesi harus siap
sedia apabila diperlukan. Apabila tidak tersedia
dexmedetomidin, dapat digunakan neurolept
Tabel 6. Skala Sedasi Ramsay (Ramsay Sedation analgesia droperidol dan fentanyl. Komplikasi
Scale /RSS).1,2 yang mungkin ditimbulkan obat dropridol dan
fentanyl adalah agitasi, drowsiness, nyeri, kejang
Tingkat aktivitas Nilai
dan depresi pernafasan.
Pasien sadar, cemas, gelisah 1
Pasien sadar, kooperatif, tenang 2 4. 2 Anestesi umum (General Anesthesia)
Pasien tidur, respon hanya terhadap 3 Selain awake craniotomy, dapat pula digunakan
perintah lisan anestesi umum untuk operasi pasien dengan
Pasien tidur, respon cepat terhadap ketukan 4 riwayat kejang/epilepsi. Pada anestesi umum,
ringan dapat digunakan TIVA atau kombinasi obat
di glabella atau stimulus suara yang keras anestesi intravena dengan gas anestesi.16-17 Teknik
Pasien tidur, respon yang lamban terhadap 5 total intravenous anesthesia (TIVA), yaitu
ketukan tehnik anestesi umum dengan menggunakan
ringan di glabella atau stimulus suara yang obat anestesi secara intravena yang dilakukan
keras saat induksi maupun rumatan anestesi tanpa
Pasien tidur, tidak respon terhadap ketukan 6 menggunakan gas anestesi. Keuntungan TIVA
ringan di glabella atau stimulus suara keras adalah hemodinamik lebih stabil, kedalaman
142 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
CSF akan meningkat. Autoregulasi otak akan darah otak dan TIK. Peningkatan TIK karena
hilang pada dosis >1 MAC. Pada dosis 1,5–2 isofluran akan berakhir 30 menit setelah gas
MAC, terutama saat hipokapni (PaCO2 < 30 anestesi dihentikan. Peningkatan TIK dapat
mmHg), enfluran akan menyebabkan kejang, dihilangkan dengan melakukan hiperventilasi
yang akan meningkatkan CMRO2 400%. Gas untuk mendapatkan hipokapni. Respon terhadap
ini tidak direkomendasikan pada operasi bedah hipokapni masih baik sampai dosis 2,8 MAC,
saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi. tetapi pada dosis ini kenaikan PaCO2 gagal
untuk mempengaruhi aliran darah otak, karena
5.1.4 Isofluran pembuluh darah otak sudah tidak berdilatasi
Dahulu isofluran merupakan obat anestesi maksimal.18-20 Aliran darah otak akan meningkat,
inhalasi pilihan untuk bedah saraf, karena tetapi resistensi absorbsi cairan serebrospinal
dapat menurunkan CMRO2 sampai 50%. menurun. Depresi terhadap metabolisme lebih
Pada dosis 0,6–1,1 MAC, isofluran tidak besar pada isofluran dibandingkan halotan.
berpengaruh terhadap aliran darah otak dan Depresi progresif terjadi pada dosis 1 MAC. Pada
volume darah otak, tetapi pada dosis 1,6 MAC dosis lebih atau sama dengan 2 MAC, tampak
dapat menyebabkan peningkatan aliran darah gambaran EEG isoelektrik dengan penurunan
otak 200%. Dosis kurang dari 1 MAC, tidak akan CMRO2 50%. Isofluran dapat menimbulkan
berpengaruh terhadap TIK, kecepatan produksi hipotensi, namun aliran darah otak tidak berubah
dan reabsorbsi CSF. Reaktivitas CO2 terhadap tetapi CMRO2 akan menurun, sehingga terjadi
pembuluh darah otak meningkat dan dipertahankan supresi lonjakan EEG (mensupresi kejang), dan
meskipun pada kadar yang tinggi.18-20 mengurangi hipermetabolisme yang disebabkan
Dosis lebih dari 1,5 MAC, autoregulasi akan oleh katekolamin. Berdasarkan data diatas,
terganggu dan terjadi peningkatan aliran isofluran dapat direkomendasi untuk anestesi
Tabel 2. Pengaruh gas anestesi inhalasi pada CBF, CMRO2 dan ICP 1,2, 18-20
Gas anestesi inhalasi CBF CMRO2 TIK
N2O meningkat meningkat meningkat
Halotan meningkat menurun meningkat
Enfluran meningkat menurun meningkat
Isofluran meningkat menurun meningkat
Desfluran meningkat menurun meningkat
Sevofluran meningkat menurun meningkat
Tabel 3. Pengaruh gas anestesi inhalasi pada laju pembentukan CSF, resistensi reabsorpsi CSF dan
TIK 1,2, 18-20
Gas anestesi inhalasi K e c e p a t a n Resitensi terhadap Prediksi efek pada TIK
pembentukan CSF absorpsi CSF
N2O Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
Isofluran
dosis rendah Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan, efek Tidak ada perubahan, efek
tergantung dosis tergantung dosis
dosis tinggi Tidak ada perubahan menurun Menurun
Desfluran Tidak ada perubahan, Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan, efek
efek tergantung dosis tergantung dosis
Sevofluran Menurun Meningkat Tidak tentu, efek terjadi
hanya selama hipokapni
144 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
pada operasi bedah saraf dan pasien dengan dan eliminasi terjadi sangat cepat. Bau gas
riwayat kejang/epilepsi. desfluran sangat merangsang saluran pernafasan,
sehingga beresiko tinggi terjadinya batuk, tahan
5.1.5 Sevofluran nafas dan spasme laring saat induksi. Desfluran
Merupakan derivat methyl isoprophylether akan meningkatkan denyut jantung dan menekan
dengan kelarutan dalam darah yang rendah, kontraksi jantung, namun lebih ringan bila
uptake dan eliminasi cepat, induksi inhalasi cepat dibanding dengan halotan. Curah jantung akan
tanpa iritasi jalan nafas, batuk dan spasme laring. dipertahankan. Sensitivitas desfluran terhadap
Autoregulasi tetap intak sampai dosis 1,5 MAC, katekolamin masih kontroversial, ada yang
berbeda dengan isofluran dan desfluran yang menyatakan meningkatkan, tetapi ada pula yang
akan terganggu autoregulalsi otak pada dosis 1,5 mengatakan tidak ada pengaruhnya. Peningkatan
MAC. Efek vasodilasi sevofluran lebih kurang produksi serebrospinal pada desfluran, tanpa
dari isoflurane, enfluran dan halotan (sevofluran disertai peningkatan kecepatan absorbsi
< isofluran < enfluran < halotan). Sevofluran cairan serebrospinal. Belum ada laporan yang
akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah menuliskan bahwa desfluran dapat memicu
otak yang lebih rendah dibandingkan gas anestesi serangan kejang (aktifasi epileptiform) seperti
lainnya dan menurunkan CMRO2. Efek akhir dari enfluran. Berdasarkan data tersebut diatas,
aliran darah otak bergantung pada keseimbangan desfluran masih dapat direkomendasi pada
efek langsung vasodilatasi dan efek tidak langsung operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat
akibat penurunan metabolisme otak. Sevofluran kejang/epilepsi.18-20
tidak menyebabkan aktivitas epileptiform seperti
enfluran. Tidak didapatkan peningkatan denyut 5.2 Non opioid intravena
jantung seperti pada isofluran. Sensitifitas 5.2.1 Barbiturat
terhadap katekolamin tidak meningkat. Onset Barbiturat telah digunakan sejak tahun 1937
cepat, pemulihan cepat serta mudah mengatur untuk menurunkan tekanan intrakranial.
kedalaman anestesi. Berdasarkan data tersebut Barbiturat akan menurunkan aktivitas neuron
diatas, maka sevofluran merupakan gas anestesi yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan
pilihan terbaik untuk operasi bedah saraf dan CMRO2. Penurunan CMRO2 akan menyebabkan
pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20 pengurangan aliran darah otak, sehingga TIK akan
menurun. Penurunan aliran darah otak ini bersifat
5.1.6 Desfluran sekunder oleh karena vasokonstriksi pembuluh
Desfluran akan menurunkan CMRO2, vasodilasi darah otak. Vasokonstriksi ini hanya terjadi di
pembuluh darah otak, dan penurunan resistensi daerah jaringan otak yang normal, sementara di
pembuluh darah serebral yang tergantung pada daerah yang mengalami iskemia atau kerusakan
dosis yang diberikan. Pada dosis 1 MAC, aliran tetap mengalami dilatasi maksimal. Keadaan ini
darah otak akan meningkat. Efek vasodilatasi memberikan efek positif berupa shunting dari
serebral pada desfluran lebih besar dibandingkan daerah yang normal ke daerah yang iskemia,
pada sevofluran dan isofluran. Peningkatan yang dinamakan fenomena Robinhood atau
TIK desflurane juga lebih tinggi dibandingkan inverse steal. Depresi metabolisme yang terjadi
dengan sevofluran dan isofluran. Pada dosis bergantung pada dosis. Penurunan aliran darah
1 MAC, peningkatan CBF dengan desfluran otak dan CMRO2 dapat terjadi sampai gambaran
16% lebih tinggi daripada isofluran dan 24% EEG datar. Pada keadaan ini, peningkatan dosis
lebih tinggi daripada sevofluran. Penurunan barbiturat tidak akan menurunkan CMRO2
CMRO2 terbatas sampai 20% mungkin akibat lebih lanjut. Barbiturat dengan mudah dapat
depresi metabolik maksimal yang dicapai pada menembus BBB dan memasuki SSP. Mudahnya
konsentrasi >2 MAC. Perubahan aliran darah obat menembus sawar darah otak ditentukan oleh
otak akibat desfluran sebanding dengan yang daya kelarutan yang tinggi dalam lemak, ikatan
diakibatkan oleh isofluran. Desfluran mempunyai dengan protein, sehingga pada keadaan kadar
kelarutan yang sangat rendah sehingga uptake protein plasma rendah, kadar barbiturat yang
Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Epilepsi 145
tidak terikat protein meningkat.18-20 Efek negatif kompleks isopropil, mempunyai stabilitas
dari penggunaan barbiturat berupa depresi kimiawi yang tinggi dengan biotoksisitas yang
kardiovaskular, respirasi, dan dilatasi perifer rendah. Propofol akan menurunkan aliran
melalui tonus simpatis yang bergantung pada darah otak dan CMRO2 yang tergantung dosis,
dosis. Depresi kardiovaskular dapat menurunkan dengan penurunan minimum CMRO2 40–60%
tekanan darah sampai terjadinya penurunan nilai kontrol. Penurunan aliran darah otak
tekanan perfusi. Sedangkan depresi respirasi yang disebabkan oleh propofol tampaknya
dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan tidak disebabkan oleh adanya efek langsung
hiperkarbia yang berakibat peningkatan aliran terhadap pembuluh darah, tetapi oleh penurunan
darah otak dan TIK. Penurunan TIK mungkin laju metabolisme oksigen otak. Meskipun
disebabkan karena penurunan aliran darah otak pengaruhnya bergantung pada dosis, tetapi
dan volume darah otak. Penurunan volume tidak identik dengan penurunan tekanan darah
darah otak oleh barbiturat lebih besar dibanding rerata dan TIK. Reaktivitas terhadap CO2 tetap
yang disebabkan oleh obat anestesi inhalasi. dipertahankan. Hampir pada semua keadaan
Barbiturat dapat menghilangkan efek vasodilatasi propofol menyebabkan penurunan tekanan darah
yang disebabkan oleh N2O. Barbiturat juga rerata sehingga dapat menurunkan tekanan perfusi
bekerja sebagai antikonvulsan.18-20 Thiopental, otak. Oleh karena itu, apabila digunakan untuk
merupakan barbiturat yang sering digunakan menurunkan hipertensi intrakranial, harus dijaga
dalam neuroanestesi. Thiopental dimetabolisme agar tekanan darah rerata tetap dipertahankan.18-20
di hepar 10–25% perjam. Lambatnya eliminasi Propofol mendepresi jantung lebih kuat daripada
thiopental menyebabkan terjadinya akumulasi thiopental. Tekanan darah turun 15–30%, yang
obat bila diberikan dalam dosis besar. Thiopental disertai atau tidak refleks peningkatan denyut nadi.
menurunkan tekanan intrakranial hanya jika telah Propofol lebih efektif daripada thiopental dan
ada kenaikan tekanan intrakranial, tetapi pada etomidat dalam mencegah respon hemodinamik
bedah saraf, penting untuk mengurangi tekanan pada saat intubasi. Propofol dapat digunakan
intrakranial akibat tehnik anestesi, misalnya pada pada awake craniotomy dan sebagai substitusi
saat laringoskopi-intubasi. Dosis induksi 4-6 mg/ anestesi inhalasi pada akhir anestesi umum untuk
kg BB (rata-rata 5 mg/kg BB). Dosis proteksi mempercepat bangun dari anestesi.18-20
otak 1–3 mg/kg BB/jam. Thiopental bekerja Efek propofol dalam menurunkan TIK,
menurunkan CMRO2, memperbaiki distribusi menyebabkan propofol digunakan di ICU untuk
aliran darah otak, menekan terjadinya kejang, sedasi pasien dengan kenaikan TIK. Propofol
menekan katekolamin (yang menyebabkan mempunyai keuntungan pasien cepat bangun
reaktivitas, anestesia, imobilisasi), menurunkan sehingga memungkinkan dilakukan evaluasi
TIK, menurunkan edema serebri, menurunkan neurologis. Sedasi sedang dengan propofol
sekresi serebrospinal, stabilisasi membran sel, tidak akan meningkatkan TIK dibandingkan
blokade calcium channel, merubah metabolisme dengan tanpa sedasi pada pasien dengan biopsi
asam lemak.18-20 stereotatik untuk tumor otak. Selama kraniotomi
Pada operasi bedah saraf dan pasien dengan untuk reseksi tumor otak, TIK lebih rendah
riwayat kejang / epilepsi, thiopental merupakan pada pasien yang menerima propofol–fentanyl
barbiturat yang direkomendasikan. dibandingkan pasien yang dianestesi dengan
isofluran–fentanyl atau sevofluran–fentanyl. Efek
Methohexital, merupakan barbiturat yang sudah anti nausea propofol juga menguntungkan pada
ditinggalkan pemakaiannya, karena memiliki operasi bedah saraf, sebab intraoperasi, diberikan
efek samping yang dapat memicu terjadinya narkotika dosis besar yang dapat menimbulkan
serangan kejang.1,2 efek samping mual, muntah pascaoperasi. Mual,
muntah harus dihindari pada neuroanestesi
5.2.2 Propofol karena dapat meningkatkan TIK pasien. Pada
Propofol memiliki struktur kimia C12H18O metabolisme medula spinalis, propofol akan
yang terdiri dari cinsin fenol dengan dua ikatan menurunkan metabolisme medula spinalis lokal
146 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 5. Efek anestetik pada aliran darah otak (CBF) dan CMRO2 1,2, 18-20
pada substansia alba dan substansia grisea. menunjukkan penurunan CMRO2 secara progresif
Propofol juga mempunyai efek anti konvulsan. sampai EEG isoelektrik, setelah EEG datar,
Efek samping yang tidak menyenangkan penambahan dosis tidak menimbulkan penurunan
dari propofol adalah rasa sakit pada suntikan CMRO2 lebih lanjut dan energi metabolisme otak
intravena. Rasa sakit ini dapat dikurangi dengan tetap normal.18-20
pemberian lidokain 2% intravena. Dosis induksi Pada manusia, etomidat menyebabkan penurunan
propofol 2–2,5 mg/kg BB intravena.18-20 aliran darah otak dan CMRO2 sebesar 30–50%.
Berdasarkan data diatas, maka propofol Penurunan aliran darah otak berawal saat infus
direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan dimulai, dan penurunan maksimum aliran
pasien dengan riwayat kejang / epilepsi. darah otak dicapai sebelum penurunan CMRO2
mencapai maksimum. Reaktivitas terhadap CO2
5.2.3 Etomidat dipertahankan selama anestesi dengan etomidat.
Etomidat merupakan senyawa imidazole non Etomidat efektif menurunkan TIK tanpa
barbiturat. Pada anjing percobaan, etomidat menurunkan perfusi otak. Dosis induksi 0,2 – 0,4
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi 147
mg/kgBB, mula kerja segera dan lama kerja 5-10 juga akan meningkatkan resistensi absorbsi
menit. Etomidat mengalami metabolisme di hepar cairan serebrospinal, yang akan meningkatkan
(98%) dan dieksresi melalui ginjal, sehingga TIK. Akibat hal tersebut, maka ketamin tidak
efeknya memanjang pada gangguan fungsi direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan
ginjal Beberapa penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan riwayat kejang/epilepsi. 18-20
penggunaan etomidat adalah:18-20 5.2.5 Benzodiazepin
1. Timbulnya mioklonus yang terjadi hingga Benzodiazepin yang lazim digunakan dalam
80% pasien anestesi adalah diazepam dan midazolam.
2. Supresi respon adrenokorteks terhadap stress 5.2.5.1 Diazepam
yang berlangsung sampai beberapa jam pasca Efek diazepam pada pasien cedera kepala, adalah
induksi menurunkan aliran darah otak dan CMRO2
3. PONV, terjadi pada 30-40% pasien sebanyak 25%. Level puncak dalam darah, dicapai
4. Nyeri pada penyuntikan karena osmolalitas setelah 1 jam pada dewasa atau 15–30 menit pada
yang tinggi anak-anak. Diazepam merupakan antikonvulsan
dan merupakan drug of choice untuk status
Pada operasi bedah saraf dan pasien dengan epilepsi. Efek terhadap kardiovaskular minimal.
riwayat kejang / epilepsi, etomidat tidak Metabolisme di hepar, hasil metabolit bersifat
direkomendasikan, karena efek mioklonus dan long acting, yang menyebabkan panjangnya lama
penekanan adrenokortikal. kerja diazepam. Waktu paruh memanjang pada
5.2.4 Ketamin usia lanjut, gangguan fungsi hepar dan pemakaian
Ketamin memiliki rumus bangun cimetidine. Efek depresi nafas minimal, namun
dengan nama 2–(0–chlorophenyl)–2– bila dikombinasi dengan narkotik, dapat
(methylamino)–cyclohexanonehydrochloride. menimbulkan apnoe. Tidak dianjurkan pemberian
Ketamin hidroklorid adalah molekul yang larut secara intramuskular, sebab absorbsi obat akan
dalam air, dengan berat molekul 238 dan pKa 7,5. menurun. Kombinasi diazepam dengan fentanil
Ketamin larut dalam lemak, dengan kelarutan atau diazepam dengan N2O dapat menurunkan
sepuluh kali lipat dibandingkan thiopental, aliran darah otak dan CMRO2. Pemberian
sehingga dengan cepat didistribusikan ke organ diazepam akan menimbulkan nyeri pada pasien.
yang banyak vaskularisasinya, termasuk otak Obat ini dapat direkomendasikan pada operasi
dan jantung, dan selanjutnya diredistribusikan bedah saraf atau pasien dengan riwayat kejang/
ke organ-organ yang perfusinya lebih sedikit. epilepsi.1,2, 18-20
Keberadaan atom karbon asimetris menghasilkan
dua isomer optik dari kemain yaitu S(+) ketamin 5.2.5.2 Midazolam
dan R(-) ketamin. Sediaan komersil ketamin Midazolam memiliki potensi 3–4 kali lipat dari
berupa bentuk rasemik yang mengandung kedua diazepam, dengan mula kerja dan pemulihan
enantiomer dalam konsentrasi sama. Masing- cepat. Tekanan darah akan menurun, terutama bila
masing enantiomer mempunyai potensi. S(+) ada hipovolemia akibat turunnya resistensi perifer
ketamin menghasilkan analgesia yang lebih kuat, dan curah jantung. Midazolam akan menurunkan
metabolisme dan pemulihan lebih cepat, sekresi aliran darah otak dan CMRO2 sebanyak 40%
saliva lebih rendah dan emergence reation atau dan lebih protektif terhadap otak dibandingkan
mimpi buruk/halusinasi lebih rendah dibanding dengan diazepam, tetapi masih kurang bila
R(+) ketamin. 1,2 Ketamin akan meningkatkan dibandingkan dengan thiopental. Sebagai
aliran darah otak 60-80% sehingga menyebabkan antikonvulsi, midazolam lebih baik daripada
TIK meningkat. Efek peningkatan TIK dapat diazepam, karena tingginya penetrasi dalam SSP.
diatasi dengan hipokapnia, pentotal atau Depresi nafas lebih minimal dibandingkan dengan
benzodiazepin. Namun beberapa penelitian diazepam, walaupun diberikan dalam dosis
menunjukkan adanya kegagalan sekobarbital, besar atau bila dikombinasi dengan narkotika.
droperidol, diazepam dan midazolam dalam Anterograde amnesia pada pemberian midazolam
mengatasi kenaikan TIK akibat ketamin. Ketamin akan berakhir 1 jam setelah intramuskular dan 2
148 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 7. Efek narkotik pada laju pembentukan aliran darah otak, resistensi reabsorpsi aliran
darah otak dan TIK 1,2, 18-20
Narkotik K e c e p a t a n Resistensi terhadap Prediksi efek pada TIK
pembentukan aliran absorpsi aliran darah
darah otak otak
Fentanyl, Alfentanyl Tidak ada perubahan Menurun Menurun
Sufentanyl
(dosis rendah)
Alfentanyl Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
(dosis tinggi)
TIK meningkat disertai penurunan tekanan darah Pencegahan peningkatan TIK ini dapat dicegah
rerata, dosis yang sama dapat menyebabkan dengan pemberian dosis kecil obat pelumpuh
peningkatan TIK sementara.1,2, 18-20 otot non depolarisasi sebelumnya, atau lidokain
intravena. Obat ini tidak direkomendasikan pada
Semua opioid intravenous anestesi diduga operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat
memiliki efek terhadap interneuron di kejang/epilepsi.18-20
hippocampus yang dapat menekan timbulnya
kejang pada pasien. Sehingga dapat dikatakan, 5.5 Pelumpuh otot non depolarisasi
semua opioid aman digunakan pada pasien Pelumpuh otot non depolarisasi bekerja sebagai
dengan riwayat kejang/epilepsi, karena tidak antagonis kompetitif pada post sinap dan pre
memicu timbulnya kejang.1,2,18-20Antagonis sinap reserptor kolinergik pada neuromuscular
narkotik yaitu naloxon, bila diberikan secara junction.1,2
titrasi mempunyai efek yang kecil terhadap aliran 5.5.1 Atrakurium
darah otak dan TIK. Bila naloxon diberikan Atrakurium tidak mempunyai efek terhadap TIK.
dengan dosis besar untuk menghilangkan efek Penggunaan dosis besar yang diberikan secara
narkotik, dapat menimbulkan hipertensi, aritmia cepat dapat menurunkan tekanan darah, yang
jantung dan perdarahan intrakranial.18-20 dapat dicegah dengan memberikan secara lambat
dan dengan dosis yang lebih kecil. Metabolisme
5.4 Pelumpuh otot terjadi di jaringan dan di plasma, dua per
5.4.1 Suksinilkolin tiga dengan cara hidrolisis ester sedangkan
Berbagai penelitian pada manusia maupun hewan sepertiganya dengan degradasi Hofmann. Waktu
coba, menyatakan bahwa suksinilkolin dapat kerjanya relatif singkat meskipun dengan dosis
meningkatkan TIK yang tidak tergantung dari besar sehingga sangat berguna untuk intubasi
ada/tidaknya lesi di otak. Peningkatan TIK ini cepat. Dosis induksi 0,3 – 0,5 mg/kg BB. Tidak
disertai dengan fasikulasi dan peningkatan aliran didapatkan efek akumulasi dan fasikulasi otot
darah otak. Fasikulasi yang terjadi pada otot- seperti suksinilkolin, Sehingga obat ini dapat
otot leher dapat menyebabkan hambatan pada direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan
vena jugularis, sehingga TIK dapat meningkat. pasien dengan riwayat kejang / epilepsi.18-20
150 Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 7. Efek pelumpuh otot terhadap hemodinamik dan TIK 1,2, 18-20
Obat Tekanan darah rerata Nadi TIK
Suksinilkolin - ↓ ↑
Atrakurium ↓ ↓ -
Vekuronium - - -
Pankuronium ↑ ↑↑ -
Rokuronium - - -
Tabel 9. Kondisi Homeostatis Sistemik dan Homeostatis Otak untuk early Emergence
Homeostatis sistemik Homeostatis otak
Normotermi (>36 C)
0
Metabolisme otak dan aliran darah otak normal
Normovolemia, normotensi Tekanan intrakranial normal diakhir operasi
(MAP 70–120 mmHg)
Hipokapnia ringan / normokapnia Profilaksis antiepilepsi
(PaCO2 35 mmHg)
Normoglikemia Posisi kepala head up adekuat
(glukosa <150 mg% atau 4-8 mmol/ltr)
Tidak ada hiperosmolar (285 ± 5 >25% mOsm/ Saraf kranial untuk proteksi jalan nafas intact
kg) Hematokrit >25%
Tidak ada gangguan koagulasi
epilepsy surgery in Sweden 1996–201 : a 13. Sander JW. The epidemiology of epilepsy
prospective, population-based study. Journal revisited. Neurosurgery Journal. April 2003;
of Neurosurgery. 2015; 122: 519–525 16: 165–70
5. Sastri BVS, Sinha AS. Clinico-pathological 14. George MS, Sackeim HA. Vagus nerve
factors influencing surgical outcome in stimulation: a new tool for brain research and
drug resistant epilepsy secondary to mesial therapy. Elseiver Journal. 2000; 47: 287–95
temporal sclerosis. J. Neurol. Sci. 2014; 340:
183–90 15. Kwan P, Brodie MJ. Early identification of
refractory epilepsy. N. Engl. J. M. 2000; 342:
6. Elliot RE, Bolio RJ. Anterior temporal 314–9
lobectomy with amygdalohippocampectomy
for mesial temporal scleroris: predictor 16. Kwan P, Brodie MJ. Refractory epilepsy:
of long-term seizure control. Journal of a progressive, intractable but preventable
Neurosurgery. 2013; 119: 261–72 condition? Elseiver Journal. 2002; 11: 77–84
A P
Agus Junaedi, 87 I Putu Pramana Suarjaya, 13, 24, 44
B R
Buyung Hartiyo L, 104 Radian Ahmad Halimi, 113
Rahadian Indarto Susilo, 130
F RR Sinta Irina, 94
Fitri Sepviyanti Sumardi, 119 Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, 138
H S
Hasanul Arifin, 94 Siti Chasnak Saleh, 94, 113, 119
Himendra Wargahadibrata, 138 Sri Rahardjo, 104
Suwarman, 87
I
Imam Hidayat, 130 T
I Putu Pramana Suarjaya, 104 Tatang Bisri, 87, 104
N Z
Nancy Margarita Rehatta, 94, 113, 119 Zafrullah Arifin Kany Jasa, 130
Nazaruddin Umar, 94, 113, 119
Indeks Subjek
A M
Anestesi, 138 Minimal invasif neurosurgery, 104
Acute respiratory distress syndrome, 87
N
C Neuro resusitasi, 113
Cedera otak traumatik, 87
Clopidogrel dan lumbrokinase, 94 O
Cedera kepala berat, 113 Operasi bedah kepala, 119
Cedera kepala, 119
P
D Perdarahan EDH spontan, 94
Diabetes insipidus, 130 Perdarahan intraserebral traumatik, 104
Posisi true lateral, 104
E Prosedur pembedahan frontolateral dan pterional,
Epilepsi, 138 130
G T
Glasgow coma scale, 87 Terapi kombinasi rivaroxaban, 94
K
Komplikasi pascaoperasi, 113
Kraniofaringioma, 130
Kejang, 138
Pedoman Bagi Penulis
Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan
datang
Redaksi
FORMULIR PESANAN
Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan
sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**
Pembayaran melalui :
□ Langsung ke Sekretariat Redaksi
Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161
Mobile : 087722631615
Bandung, …………………………………
Hormat Saya
( )