Anda di halaman 1dari 75

Daftar Isi

Laporan Penelitian

Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Berat
dengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Agus Junaidi, Suwarman, Tatang Bisri ............................................................................... 87–93

Laporan Kasus

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel


dan Lumbrokinase
RR Sinta Irina, Nazaruddin Umar, Hasanul Arifin, Margaritta Rehatta, Siti Chasnak Saleh..... 94–103

Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus


Perdarahan Intraserebral Traumatika
Buyung Hartiyo Laksono, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo, Tatang Bisri ................... 104–12

Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera Kepala Berat


Radian Ahmad Halimi, Nazaruddin Umar, Margaritta Rehata, Siti Chasnak Saleh ............... 113–18

Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita dengan


Kehamilan 22–24 Minggu
Fitri Sepviyanti Sumardi, Nazaruddin Umar, Margaritta Rehatta, Siti Chasnak Saleh ........... 119–29

Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma di


Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Imam Hidayat, Rahadian Indarto Susilo, Zafrullah Khany Jasa ............................................ 130–37

Tinjauan Pustaka

Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi


Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, Sri Rahardjo, Himendra Wargahadibrata ................... 138–54
Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Berat dengan
Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Agus Junaidi, Suwarman, Tatang Bisri


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi dari cedera otak traumatik (COT)
berat, dapat disebabkan karena neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspirasi, dan emboli paru.
Penelitian ini untuk mengetahui korelasi skor GCS pada cedera otak traumatik berat dengan kejadian dan derajat
ARDS. Penelitian observasional prospektif cross sectional pada 32 orang pasien COT derajat berat di rumah sakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung sejak Mei 2015 sampai September 2015. Pengambilan data dilakukan secara consecutive
sampling. Parameter yang dicatat dalam penelitian ini antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, GCS, rentang waktu,
diagnosis, kejadian ARDS, dan derajat ARDS. Analisis korelasi linear dua variabel dihitung berdasarkan analisis
korelasi Spearman dan korelasi ETA. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara skor GCS pada COT berat
dengan kejadian ARDS dengan kekuatan korelasi searah, moderat, (r=0,402), bermakna (p<0.05) dan derajat beratnya
ARDS dengan kekuatan korelasi searah, kecil (r=0,389), bermakna (p<0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah
semakin rendah skor GCS pada COT berat maka akan semakin besar kejadian ARDS dan semakin berat derajat ARDS.

Kata kunci: Acute respiratory distress syndrome, cedera otak traumatik, glasgow coma scale

JNI 2016;5(2): 87–93

Correlation Glasgow Coma Scale (GCS) Score on Severe Head Injury with the Insidence
and Degree of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Abstract

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is one of the complications of severe traumatic brain injury (TBI),
it can be caused by neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspiration, and pulmonary embolism. This
study was determine the correlation glasgow coma scale score on severe head injury with insidence and degree
of acute respiratory distress syndrome. This study was using prospective observational cross-sectional method
in 32 patients with severe TBI at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung on May 2015 untill September
2015. Data collection was performed by consecutive sampling. Parameters were recorded in this study include
age, gender, weight, GCS, time scales, diagnosis, incidence and degrees of ARDS. Linear correlation analysis
was calculated based on two variables Spearman correlation analysis and correlation ETA. The results showed a
correlation between GCS score on severe COT with the incidence of ARDS with the strength of the correlation
moderate (r=0.402), significantly (p<0.05), one direction and degrees of ARDS with the strength of the correlation
small (r=0.389), significantly (p<0.05), one direction. The conclusions of this study is the lower the GCS score on
severe COT will lead to greater the incidence and the degree of ARDS.

Key words: Acute respiratory distress syndrome, traumatic brain injury, glasgow coma scale

JNI 2016;5(2): 87–93

87
88 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan terdapat konsensus terbaru mengenai ARDS


dikenal dengan The Berlin Definition, merupakan
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) hasil kolaborasi antara American Thoracic Society
muncul pada 20–25% pasien dengan cedera otak (ATS) dan European Society of Intensive Care
traumatik (COT) dan berhubungan dengan hasil Medicine (ESICM). Secara terminologi istilah
luaran yang buruk.1 Acute repiratory distress acute lung injury (ALI) sudah tidak ada di dalam
syndrome akibat COT dapat disebabkan oleh konsensus The Berlin Definition. Konsensus ini
pneumonia, aspirasi, emboli pulmonal, atau hanya mengenal 3 subkategori; ringan, sedang,
neurogenic pulmonary edema (NPE).2 Gejala yang dan berat. Salah satu faktor risiko terjadinya ARDS
terjadi dapat berupa hipoksia ringan hingga berat.3 didalam konsensus ini adalah trauma mayor.7
Acute respiratory distress syndrome adalah Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji
gangguan terhadap paru-paru ditandai korelasi antara skor GCS pada COT berat
peradangan parenkim paru-paru sehingga dengan kejadian dan beratnya ARDS dengan
mengakibatkan gangguan pertukaran gas, menggunakan pendekatan berdasarkan konsensus
hipoksemia, dan fisiologi paru yang tidak normal. ARDS terbaru yaitu The Berlin Definition.
Penelitian awal menunjukkan ARDS pada pasien
COT berhubungan dengan NPE.4 Mekanisme II. Subjek dan Metode
pembentukan NPE merupakan kombinasi
dari mekanisme hidrostatik dan permeabilitas Penelitian ini adalah penelitian observasional
tinggi, hal ini dikenal dengan teori blast injury.1 cross section prospektif yang dilakukan setelah
Respons inflamasi sistemik menjadi peran utama mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian
dalam perkembangan gangguan fungsi paru Kesehatan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin atau
akibat trauma otak. Trauma otak menimbulkan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
reaksi inflamasi sistemik yang mengakibatkan Penelitian dilakukan pada bulan Mei–September
perubahan permeabilitas sawar darah otak 2015 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
sehingga mengakibatkan infiltrasi neutrofil aktif dengan kriteria inklusi adalah pasien pria dan
ke dalam paru.1 wanita dengan cedera kepala derajat berat, dan
Sejak tahun 1974, glasgow coma scale (GCS) usia pasien 18 hingga 60 tahun. Kriteria eksklusi
telah digunakan sebagai salah satu prediktor adalah pasien memiliki cedera di daerah toraks,
penting untuk menentukan tingkat kesadaran riwayat penyakit paru paru, pasien sedang dalam
dan prognosis pada pasien yang mengalami pengaruh alkohol atau intoksikasi obat-obatan,
COT. Skor 13–15 menunjukkan cedera kepala riwayat penyakit gagal jantung, transfusi masif,
ringan, 9–12 menunjukkan cedera kepala sedang, acute kidney injury, dan kadar gula ≤ 50 mg/
dan ≤ 8 menunjukkan cedera kepala berat.5 dl. Pasien akan dikeluarkan dari penelitian bila
Penelitian patologi melaporkan bahwa ditemukan pasien yang mendapatkan diagnosis tambahan
edema paru pada 85% tentara yang meninggal penyakit gagal jantung.
di Vietnam akibat COT tunggal. Penelitian
lain menjelaskan bahwa 75% pasien yang Penentuan jumlah sampel berdasarkan rumus
meninggal akibat intracerebral hemorrhage sampel besar korelasi didapatkan sebanyak 32
(ICH) traumatik mengalami edema paru. sampel. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi dicatat usia, jenis kelamin, rentang
Terdapat dua penelitian lain yang menyebutkan waktu kejadian sampai mendapat perawatan di
bahwa 20 – 25% pasien dengan COT mengalami rumah sakit, diagnosis awal, GCS, analisis gas
insufisiensi respirasi yang ditandai dengan darah dan foto radiologi toraks. Selama 7 hari
peningkatan kebutuhan oksigen inspirasi pasien dinilai dan dicatat GCS, analisis gas darah,
atau ratio PaO2/FiO2 kurang dari 300.1 foto toraks, diagnosis tambahan dan ARDS
Penelitian sebelumnya banyak menggunakan berdasarkan konsensus Berlin. Selama perawatan
konsensus ARDS dari American European pasien menggunakan kateter vena sentral.
Consensus Committe (AECC).6 Sejak Juni 2012 Analisis data menggunakan uji data chi-kuadrat
Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik 89
Beratdengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS)

atau uji kolmogorv smirnov untuk mencari Tabel 2. Perbandingan Proporsi Kejadian ARDS
kekuatan hubungan dan uji analisis korelasi untuk berdasarkan GCS
mencari kekuatan dan arah korelasi. Kriteria Kejadian ARDS
Gullford digunakan sebagai penentu kekuatan GCS Ya Tidak Nilai p
korelasi penelitian ini.
3 3 (42,9%) 4 (57,1%) 0,022**
III. Hasil 4 3 (60,0%) 2 (40,0%)
5 0 (0,0%) 3 (100,0%)
Usia termuda adalah 18 tahun dan tertua 59 6 0 (0,0%) 4 (100,0%)
tahun. Rentang waktu pasien dari kejadian COT 7 0 (0,0%) 4 (100,0%)
hingga mendapatkan tindakan medik adalah 1–13 8 1 (11,1%) 8 (88,9%)
Keterangan: Nilai p pada variabel kategorik dengan uji chi-
kuadrat. Dengan alternatif uji kolmogorov smirnov apabila
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian
syarat dari chi-kuadrat tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan
Variabel n (%) R a t a - r a t a Median berdasarkan nilai p<0,05. Tanda ** menunjukkan nilai
(SD) p<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik;
Usia pasien 31,37 25,50 GCS glasgow coma scale; ARDS acute respiratory distress
(tahun) (12,94) syndrome
Berat badan (Kg) 56,59 (6,81) 56,00
Jenis kelamin Tabel 4. Analisis Kolerasi antara GCS dan Kejadian
Laki-laki 19 (59,4%) ARDS
Perempuan 13 (40,6%) Angka Kejadian

Rentang waktu 6,26 (3,34) 5,50 Variabel Ya Tidak R Nilai p


(jam) GCS 0,402
Diagnosis Mean±STD 4,14±1,77 6,04±1,85 0,402 0,022**
SDH 3 (9,4%) Median 4,0 6,0
EDH 9 (28,1%) Range 3,00 – 3,00 –
ICH 4 (12,5%) 8,00 8,00
Keterangan: Analisis korelasi antara data numerik dengan
EDH + ICH 4 (12,5%)
nominal maka digunakan Korelasi Eta; nilai kemaknaan
SDH+ICH 6 (18,8%) p<0,05.Tanda ** menunjukkan signifikan atau bermakna
EDH+SDH+ICH 6 (18,8%) secara statistika. r: koefisien korelasi; GCS: glasgow coma
scale; ARDS: acute respiratory distress syndrome
CVP 1,000 (1,00) 1,00
Singkatan: SDH subdural hematoma; EDH epidural
hematoma; ICH intracerebral hematoma

Tabel 5. Analisis Kolerasi antara GCS dan Derajat Berat ARDS


Derajat ARDS
Variabel Sedang Berat Negatif r Nilai p
GCS
Mean±STD 3,50±0,70 4,40±2,07 6,04±1,85 0,389 0,028**
Median 3,50 4,0 6,0
Range 3,00 – 4,00 3,00 – 3,00 – 8,00
8,00
Keterangan: Analisis korelasi antara data numerik dengan ordinal maka digunakan Korelasi
Spearman; nilai kemaknaan p<0,05.Tanda ** menunjukkan signifikan atau bermakna secara
statistika. r : koefisien korelasi; GCS: glasgow coma scale; ARDS: acute respiratory distress
syndrome
90 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

jam. Rentang GCS skor adalah pasien dengan otak. Ketika COT terjadi, autoregulasi akan
COT derajat berat atau GCS 3–8 (Tabel 1). menjadi terganggu sehingga menyebabkan
Angka kejadian ARDS paling tinggi terjadi peningkatan CBF, dan menyebabkan peningkatan
pada GCS 3 dan 4. Hanya seorang pasien ICP.10 Peningkatan ICP akan mengakibatkan
dengan GCS 8 yang mengalami ARDS. berkurangnya perfusi dan aliran darah ke otak
Berdasarkan hasil uji kolmogorov smirnov sehingga dapat menyebabkan iskemia yang akan
menunjukkan bahwa hasil tersebut bermakna mengakibatkan cedera otak iskemik sekunder.11
secara statistika (p<0,05; Tabel 2). Pasien
dengan GCS 3 dan 4 mengalami ARDS derajat Tekanan intrakranial yang meningkat di luar
berat terbanyak sedangkan GCS 8 hanya 1 batas dari mekanisme kompensasi menyebabkan
orang. Berdasarkan uji kolmogorov smirnov CPP terganggu, iskemia jaringan otak, refleks
menunjukkan bahwa hasil tersebut bermakna cushing, penurunan CBF, dan peningkatan CO2
secara statistika (p<0,05; Tabel 3). sehingga dapat menimbulkan efek vasodilatasi
di pusat vasomotor. Pusat vasomotor memulai
Menggunakan uji korelasi ETA diperoleh nilai r respons sistem saraf simpatik yang menyebabkan
sebesar 0,402. Mengacu pada kriteria Gullford peningkatan MAP sebagai respons kompensasi
korelasi ini menunjukkan korelasi yang cukup tubuh untuk meningkatkan CPP.12 Berdasarkan
kuat antara GCS dan kejadian ARDS (Tabel penyebabnya COT terbagi menjadi dua yaitu
4). Menggunakan uji korelasi rank spearman primer dan sekunder. Cedera otak traumatik
diperoleh nilai r sebesar 0,389. Mengacu pada primer terjadi langsung sebagai akibat mekanik
kriteria Gullford korelasi ini menunjukkan pada saat kecelakaan sedangkan COT sekunder
korelasi yang kecil atau tidak erat antara GCS dan muncul selama beberapa menit hingga beberapa
derajat ARDS (Tabel 5). hari yang disebabkan kombinasi oleh kerusakan
ekstrakranial secara sistemik dan perubahan
III. Pembahasan secara fisika dan biokimia intrakranial.12
Cedera otak primer melibatkan gangguan fisik
Acute respiratory distress syndrome adalah suatu struktur intrakranial. Cedera tersebut meliputi
sindrom dengan berbagai faktor risiko yang kerusakan parenkim otak seperti memar,
memicu terjadinya kejadian akut insufisiensi hematoma, laserasi, dan cedera aksonal difus.
sistem respirasi. Saat ini definisi ARDS yang Cedera otak traumatik mengaktivasi beberapa
digunakan adalah definisi Berlin. Terdapat tiga jalur biokimia yang saling berhubungan, yang
kategori eksklusif ARDS yaitu ringan, sedang, berperan terhadap kerusakan jaringan otak lebih
dan berat.8 Penggunaan istilah ALI dihilangkan lanjut. Cedera intrakranial sekunder sebagian
didalam konsensus ini.9 besar dimediasi melalui peningkatan aktivitas
rangsangan neurotransmiter, pembentukan anti
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin oksidan, dan produksi pro-inflamasi sitokin,
rendah skor GCS pada cedera otak traumatik yang berkontribusi terhadap kerusakan sel
maka kejadian ARDS semakin tinggi dan saraf dan kematian sel. Pembentukan edema
meningkatkan derajat beratnya ARDS (Tabel 2 serebral, peningkatan ICP, gangguan terhadap
dan Tabel 3). Konsep utama pengaturan fungsi sawar darah otak (blood brain barrier/BBB)
otak normal adalah mengatur tekanan perfusi dan perubahan dalam reaktivitas serebrovaskular
serebral (cerebral perfusion pressure/CPP) yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
yang adekuat. Tekanan perfusi serebral adalah sekunder jaringan saraf.12 Setelah terjadi COT,
tekanan arteri rata-rata dikurangi dengan tekanan neurotransmiter dilepaskan dalam jumlah besar
intrakranial (intracranial pressure/ICP). Pada oleh tubuh yang mengakibatkan peningkatan
otak normal aliran darah otak (cerebral blood aktivas metabolik dan deplesi adenosin tri phosfat
flow/CBF) diatur konstan pada tekanan arteri rata- (ATP). Kegagalan energi menyebabkan gangguan
rata (mean arterial pressure/MAP) antara 60– homeostasis ion dan masuknya natrium dan
150 mmHg, yang dikenal sebagai autoregulasi kalsium yang tidak terkendali ke dalam neuron,
Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik 91
Beratdengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS)

yang kemudian terjadi edema sitotoksik dan Kuman-kuman penyebab terseringnya adalah
depolarisasi sel. Depolarisasi sel mengakibatkan kuman yang berada pada saluran napas atas
pelepasan neurotransmiter seperti glutamat. yang berkolonisasi. Penelitian sebelumnya
Glutamat memperantarai peningkatan kalsium menyebutkan bahwa terjadi 40–64% pasien
dalam intraselular. Akumulasi kalsium dalam COT berat mengalami pneumonia dan pasien
sel mengaktifkan beberapa enzim intraselular dengan GCS skor terendah memiliki risiko lebih
menyebabkan kerusakan intraselular yang lebih tinggi mengalami pneumonia.15 Pasien dengan
parah dan kematian sel.12 COT berat juga berhubungan dengan ventilator
acquired pneumonia (VAP) sebagai akibat
Cedera otak traumatik berhubungan dengan sekunder penggunaan lama intubasi dan ventilasi
pelepasan inflamasi sitokin diikuti oleh infiltrasi mekanis. VAP umumnya berkembang setelah
dan akumulasi sel inflamasi. Mediator- mediator 5 hari. Umumnya kuman-kuman penyebabnya
inflamasi ini mengakibatkan cedera otak sekunder adalah bakteri gram negatif dan multiresisten.15
dengan menon-aktifkan asam arakidonat, jalur Pasien dengan COT berat yang menggunakan
koagulasi, mengganggu BBB, dan menginduksi ventilasi mekanis berisiko VAP dikarenakan
produksi nitrat oksida (NO). Nitrat oksida beberapa faktor sebagai berikut seperti tingkat
menyebabkan vasodilatasi yang berlebihan, yang penurunan kesadaran, mulut yang kering dan
menyebabkan gangguan autoregulasi. Selain terbuka, mikroaspirasi akibat sekresi. Pasien
itu, NO berkontribusi untuk pembentukan anti dengan COT berat cenderung menggunakan
oksidan dan glutamat.12 Pada sebuah penelitian ventilasi mekanik.14
yang dilakukan pada 102 tikus ditemukan
bahwa pada kasus dengan COT berat atau fatal Penyebab ARDS lainya yaitu NPE. Patogenesis
didapatkan migrasi besar-besaran sel-sel inflamasi NPE tidak sepenuhnya dipahami. Neurogenic
khususnya neutrofil dan makrofag pada alveoli. pulmonary edema berkaitan dengan stimulasi
Hal ini disebabkan teraktivasinya mediator- berlebihan pada sistem saraf otak (central
mediator inflamasi yang telah disebutkan diatas.13 nerves system/CNS) pada aktivitas sympatho-
Tingkat kesadaran adalah hal empiris yang adrenal yang menyebabkan vasokonstriksi
paling dapat diandalkan dalam mengukur perifer, peningkatan aliran balik vena,
gangguan fungsi otak setelah COT. Memberikan menimbulkan hipertensi sistemik, peningkatan
informasi tentang kemampuan fungsional afterload ventrikel kiri dan berkurangnya stroke
dari korteks serebral, beserta jaras naik pada volume ventrikel kiri, dan kemudian darah
reticular activating system (RAS) di batang otak. akan terakumulasi dalam sirkulasi paru yang
Menurunnya tingkat kesadaran menunjukkan mengakibatkan hipertensi kapiler paru dan
adanya gangguan fungsi korteks serebral, edema.12 Mediator utama dalam stress response
gangguan transmisi rangsangan sensorik oleh pada sistem saraf simpatis adalah katekolamin.
batang otak atau RAS. Pasien yang koma Sebuah penelitian menyebutkan terdapat
umumnya terjadi kerusakan pada batang otak, korelasi antara GCS dengan katekolamin plasma
kerusakan korteks serebral bilateral atau global dimana terdapat peningkatan 4 sampai 5 kali
yang berat.12 Cedera otak langsung, penekanan pada GCS 3 dan 4.15 Katekolamin endogen
terhadap tingkat kesadaran, ketidakmampuan menyebabkan penekanan selektif terhadap
dalam proteksi jalan napas, gangguan sistem imunitas seluler melalui imunoinhibitor sitokin,
pertahanan tubuh, mobilitas berkurang, dan yang kemudian menyebabkan adanya keadaan
cedera sekunder fisiopatologis adalah penyebab immunocompromised setelah COT. Secara
utama komplikasi paru.14 keseluruhan efek dari beragam mekanisme yang
Pneumonia adalah komplikasi yang umum terjadi menyebabkan penurunan terhadap sistem
terjadi pada COT berat. Pneumonia terjadi pada imun tubuh. Penekanan sel T-helper terjadi
60% pasien. Pasien dengan COT berat beresiko dalam waktu 24 jam setelah COT dan penekanan
mengalami aspirasi isi lambung. Pneumonia imunitas selular ini berkorelasi dengan tingkat
sering terjadi pada 5 hari pertama setelah COT. infeksi yang tinggi pada minggu pertama setelah
92 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

COT. Pada penelitian sebelumnya mengatakan injury in patients with traumatic injrys: utility
bahwa infeksi merupakan komplikasi yang of a panel of biomarkers for diagnosis and
sering terjadi yaitu 50–65% pada pasien COT, pathogenesis: J Trauma. 2010;68(5):1121–7.
dimana hampir setengahnya terjadi pada saluran
napas bawah.15 Dengan demikian, berdasarkan 3. Salim A, Martin M, Brown C, Inaba K,
mekanisme-mekanisme yang disebutkan diatas. Browder T, Rhee P, dkk. The presence of the
Kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut adult respiratory distress syndrome does not
mengakibatkan adanya peningkatan kejadian worsen mortality or discharge disabilty in
dan beratnya ARDS pada pasien dengan COT blunt trauama patients with severe traumatic
berat. Terutama pada kasus pasien skor GCS brain injury. Care Injured. 2008;39:30–5.
yang rendah. Walaupun korelasi yang diperoleh
secara statistik hanya kecil. Dalam penelitian 4. Oddo M, Ndoum M, Frangos S, Mackenzie
ini juga ditemukan bahwa semua pasien yang L, Chen I, Kofke Wa, dkk. Acute lung
mengalami ARDS mendapatkan diagnosis injury is an independent risk factor for brain
tambahan pneumonia. Ditemukan keunikan hipoxia after severe traumatic brain injury.
pada 1 kasus pasien GCS 8 mengalami ARDS, Neurosurgery. 2010;67:338–44.
sebagai catatan pasien ini adalah pasien yang
paling lama mendapatkan tindakan medik yaitu 5. Chung P, Khan F. Traumatic brain injury
13 jam. Sehingga perlu dipelajari lebih lanjut (TBI): overview of diagnosis and treatment.
bagaimana hubungannya antara pneumonia dan J Neurol Neurophysiol. 2013;5(1):182–92.
lama mendapatkan tindakan medik pada kasus
cedera otak traumatik. 6. Rubenfeld GD. Acute respiratory distress
syndrome: the Berlin definiton. J Am Med
IV. Simpulan Associat. (Online Journal) 2012 (diundah
tanggal 10 Maret 2015). Tersedia dari:http ://
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat jama.jamanetwork.com.
disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara skor
GCS pada COT berat dan ARDS. Membuktikan 7. Pneumatikos I, Papaionnou VE. Editorial.
kepada kita bahwa diperlukan tindakan dan The new Berlin definition: What is, finally,
perlakuan khusus dalam penanganan pasien the ARDS ?. Pneumon. 2012;25(4):365–8.
COT berat, terutama untuk kasus skor GCS
rendah. Pemberian antibiotik profilaksis 8. Ferguson ND, Fan E, Camporota L, Antonelli
direkomendasikan dan keterlambatan tindakan M, Anzueto A, dkk. The Berlin definition of
medik pada kasus COT berat memberikan ARDS: an expanded rationale, justification,
hasil akhir yang buruk. Karenanya diperlukan and supplementary material. Intens Care
penelitian selanjutnya untuk mencari hubungan Med. 2012;38:1573–82.
dan korelasi yang lebih kuat agar tercapai tujuan
dari penelitian yaitu, mencegah dan mengurangi 9. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S,
risiko ARDS dan akhirnya tercapai hasil luaran Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Review
yang baik. article. Acute respiratory distress syndrome:
new definition, current and future therapeutic
Daftar Pustaka options. J Thorac Dis. 2013;5(3):326–34.

1. Mascia L. Acute lung injury in patients with 10. Heegaar W, Biros M. Traumatic brain injury.
severe brain injury: a double hit model. Emerg Med Clin N Am. 2007;25:655–78.
Neurocritical Care. 2009;11(3):417–26.
11. Smith M. Monitoring intracranial pressure
2. Fremont RD, Koyama T, Calfee CS, Wu W, in traumatic brain injury. Anesth Analg
Dossett LA, Bossert FR, dkk. Acute lung 2008;106:240–8.
Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik 93
Beratdengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS)

12. Sande A, West C. Traumatic brain 14. Lee K, Rincon F. Review article. Pulmonary
injury:a review of pathophysiology and complication in patients with severe brain
management. J Veterinary Emerg Crit Care. injury. Crit Care Res Prac. 2012;10:1–8.
2010;20(2):177–90.
15. Lim HB, Smith M. Systemic complications
13. Kalsotra A, Zhao J, Anakk S, Dash PK, after head injury: a clinical review.
Strobel HW. Brain trauma leads to enhanced Anaesthesia. 2007;62:474–82.
lung inflammation and injury: evidence for
role of P4504Fs in resolution. J Cereb Blood
Flow Metabol. 2007;27:963–74.
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel
dan Lumbrokinase

RR Sinta Irina*), Nazaruddin Umar*), Hasanul Arifin*), Margaritta Rehatta, Siti Chasnak Saleh**)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Sumatera Utara-RSUP H.Adam Malik Medan,
**) Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Abstrak

Perdarahan intrakranial spontan pada terapi antikoagulan rivaroxaban mulai sering ditemukan, apalagi
bila dikombinasi dengan antiplatelet clopidogrel maupun fibrinolitik lumbrokinase merupakan hal yang
sering ditemukan pada penderita trombosis. Perdarahan intrakranial spontan terbanyak adalah perdarahan
intracerebral. Perdarahan spontan epidural (EDH) akut merupakan hal yang jarang ditemukan, biasanya terjadi
karena ada penyakit yang mendasarinya. Penatalaksanaan pada kasus ini berdasarkan patofisiologinya dan
melibatkan multidisiplin ilmu lainnya. Seorang laki-laki, 26 tahun berat badan 80 kg yang didiagnosa deep
vein thrombosis (DVT) mengalami penurunan kesadaran mendadak, pupil anisokor 4 mm/1mm ketika sedang
beraktivitas. Tidak dijumpai riwayat cedera kepala. Setelah diresusitasi didapatkan hasil head CT-scan dengan
EDH temporoparietal dextra 50 cc, dilakukan dekompresi craniektomi dan evakuasi EDH. Setelah 10 jam
pasca operasi terjadi gejolak hemodinamik dan dilakukan head CT-scan ulang dan didapatkan EDH 80 cc dan
minimal perdarahan intracerebral. Dilakukan redo craniektomi. Pasca operasi dirawat di ICU dengan koreksi
faktor koagulasi. Pasien kembali komposmentis GCS 15 dengan gejala sisa hemiparese sinistra sementara.

Kata Kunci: terapi kombinasi rivaroxaban, clopidogrel dan lumbrokinase, perdarahan EDH spontan, koreksi
faktor koagulasi

JNI 2016;5(2): 94–103

Acute Spontaneus Epidural Hemorrhage due to Combination Therapy Rivaroxaban,


Clopidogrel and Lumbrokinase

Abstract

Spontaneous intracranial hemorrhage on anticoagulant therapy rivaroxaban lately often found, especially when
combined with clopidogrel antiplatelet or fibrinolytic lumbrokinase is often found in patients with thrombosis.
Spontaneous intracranial hemorrhage is most widely occured is intracerebral hemmorrhage. Spontaneous epidural
hemorrhage (EDH) acute is a uncommon, usually occur because there is an underlying disease. Treatment on the case
based on patophysiology and involves a multidisciplinary peer other sciences. A young man, 26 years old weight
80 kg which was diagnosed with deep vein thrombosis (DVT) awareness of sudden decline, the pupil anisokor
4 mm/1mm while activity. No head trauma history. After resuscitation, head Ct-scan with EDH temporoparietal
dextra 50 cc, carried out the evacuation EDH and decompression craniektomi. After 10 hours of post-operative
haemodynamic turmoil happened and done a head ct-scan and obtained EDH 80 cc and minimal intracerebral
hemorrhage. Do redo craniektomi. Post-operative hospitalized in ICU with correction factor for coagulation.
The patient recovers conciousness into composmentis GCS 15 with sequelae hemiparese sinistra temporary.

Key words: combination therapy rivaroxaban, clopidogrel and lumbrokinase, spontaneus EDH acute, treatment
coagulation factor

JNI 2016;5(2): 94–103

94
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi 95
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

I. Pendahuluan Anamnesa
Pasien mengeluh nyeri pada kedua tungkai bila
Perdarahan spontan sering terjadi pada pemakaian beraktivitas sejak 2 minggu terakhir dan memberat
obat oral antikoagulan dan antiplatelet seperti sejak kedua tungkainya membengkak 10 hari
rivaroxaban dan clopidogrel, apalagi dengan terakhir sebelum terjadi penurunan kesadaran.
pemakaian kombinasi dua obat tersebut.1 Lokasi Dari bagian Penyakit Dalam pasien didiagnosa
perdarahan sering tidak dapat diduga. Angka dengan DVT dan vaskulitis vena saphena magna
kejadian terjadi perdarahan spontan di saluran dextra dan sinistra dan diterapi dengan obat
cerna 100-200 per 100.000 kasus.2 Pasien dengan metilprednisolon 1 mg/kg BB, antikoagulan
perdarahan intrakranial akut didapatkan 20% rivaroxaban 2x15 mg (sudah dimakan selama 3
memakai antikoagulan oral, dan 30% terapi hari), fibrinolitik lumbrokinase dan antiplatelet
antiplatelet oral.3 Kasus perdarahan epidural clopidogrel 75 mg masing-masing baru satu
spontan non trauma sangat jarang ditemukan. kali dimakan. Walaupun terasa nyeri pada kedua
Laporan kasus yang ditemukan sampai dengan tungkai pasien masih bisa beraktivitas seperti
tahun 2010 hanya 19 kasus.4 Penatalaksanaan biasa. Penyakit penyerta lainnya disangkal oleh
anestesi dengan pasien perdarahan intrakranial pasien. Riwayat cedera kepala tidak dijumpai.
akut oleh karena pemakaian antikoagulan dan Ditengah sedang beraktivitas pasien mengeluh
antiplatelet memerlukan penanganan perioperatif nyeri kepala hebat secara tiba-tiba, pusing,
menyeluruh sehingga penyebab perdarahan bisa mual, muntah dan kejang kemudian penurunan
diatasi segera. Preoperatif dengan resusitasi yang kesadaran mendadak.
benar, intraoperatif dan perawatan pascaoperatif
baik akan menghasilkan outcome yang baik Pemeriksaan Fisik
untuk mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Kesadaran awal komposmentis, mengeluh
nyeri kepala hebat, pusing, mual dan muntah
II. Kasus sebanyak 5 kali, tekanan darah 200/100 mmHg,
laju nadi 120 x/menit, berangsur-angsur turun
Seorang laki-laki berusia 26 tahun, berat badan tekanan darah 180/100 mmHg, dan pada 5 menit
80 kg dengan diagnosis deep vein thrombosis kemudian tekanan darah 160/90 mmHg pasien
(DVT) pada kedua tungkai bawah di RSUP H. kejang dan kesadaran menurun menjadi GCS 9
Adam Malik Medan tiba-tiba terjadi penurunan (E2M5V2). Pupil anisokor 4 mm/1mm. Reflek
kesadaran ketika sedang beraktivitas lima cahaya melambat. Kedua tungkai bawah terlihat
belas menit sebeumnya. Pasien mengeluh nyeri bengkak dan adanya banyak petechie. Setelah
kepala hebat, pusing, mual dan muntah dan terjadi penurunan kesadaran tekanan darah
terjadi kejang. Ditemukan lucid interval. Pasien 200/100 mmHg, laju nadi 130 x /menit. Kemudian
terjatuh di kamar mandi oleh karena pingsan, dan dilakukan resusitasi sesuai ABCDE neuroanestesi
sempat sadar 5 menit setelah itu. Tidak dijumpai dan tekanan darah 130/70 mmHg. Laju nadi
adanya riwayat cedera kepala. Segera dilakukan 100 x/menit suhu 360C, saturasi oksigen 99%.
resusitasi ABCDE neuronestesi dan dilakukan
pemeriksaan head CT-scan didapatkan gambaran Pengelolaan Anestesi
epidural hemorrhage (EDH) temporoparietal Penatalaksanaan preoperatif dengan melakukan
dextra sebesar lebih kurang 50 cc dan midline resusitasi segera ketika terjadi kegawatan
shift lebih dari 5 mm. Kemudian dilakukan kenaikan tekanan intrakranial secara tiba-
kraniektomi evakuasi EDH cito. Beberapa jam tiba. Ketika pasien mulai mengeluh sakit
setelah kraniektomi terjadi gejolak hemodinamik kepala, pusing, mual dan muntah pasien segera
dan segera dilakukan head CT-scan ulang. dibaringkan dengan posisi head up 30o dan
Didapatkan gambaran epidural hemorrhage diberi oksigen nasal kanul 2 liter per menit dan
temporoparietal dextra dan segera dilakukan redo dipasang infus. Tekanan darah awal didapatkan
kraniektomi. 200/100 mmHg dan laju nadi 120 x/menit, dan
berangsur menurun tekanan darah menjadi
96 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeriksaan Penunjang hemodinamik stabil tekanan darah 130/90 mm


Pemeriksaan laboratorium prabedah Hg (heart rate/HR) laju nadi 100 x/menit dan
Hb 12.30 g/dL dilakukan pemeriksaan head CT-scan. Dari hasil
head CT-scan didapatkan EDH temporoparietal
Ht 36.90%
dextra sebanyak lebih kurang 50 cc dengan midline
Leukosit 18.020/mm3 shift lebih dari 5 mm. Kemudian segera dilakukan
Trombosit 330.000/mm3 kraniektomi evakuasi EDH. Pasien dimasukkan
PT 20,3’’ (14.00’’) ke kamar operasi dengan tetap terintubasi dan
INR 1,48 kontrol pernafasan dan sedasi adekuat. Sebelum
apTT 31,5 detik (34,0’’) dihubungkan dengan mesin anestesi pasien diberi
sedasi kembali dengan propofol 40 mg, fentanyl
Waktu trombin 16,2 (17,4’’) 50 mikrogram dan rocuronium 15 mg. Rumatan
fibrinogen 121.0 mg/dL (150-400) anestesi dengan oksigen dan udara 4 L/menit
D-dimer 1500 ng/mL (<500) dan anestetika volatil sevofluran 0,5–0,8 vol%,
KGD adrandom 156 mg/dL dikombinasi dengan dexmetomidine 6 cc (0,3 μg/
kg/per jam) dan fentanyl 300 mikrogram dalam
ureum 156 mg/dL 50 cc dijalankan 3 cc per jam (syringe pump) serta
creatinin 0,56 mg/dl relaksan rocuronium 4 cc per jam (syringe pump).
Na 130 mEq/L Hemodinamik selama operasi stabil dengan
K 3,5 mEq/L tekanan darah sistolik 150–120 mmHg dan
Cl 99 mEq/L diastolik 100-80 mmHg. Denyut jantung berkisar
antara 100–80 x/menit. etCO2 32–35. Operasi
Pemeriksaan Radiologik dekompresi dan evakuasi EDH berlangsung
selama 1 jam 45 menit, total perdarahan kurang
lebih 400 cc dengan diuresis 800 ml per jam.
Total cairan intraoperatif kristaloid 1000 cc, PRC
250 cc, FFP 500 cc, cryo 500 cc.

Setelah selesai operasi pasien dipindahkan ke


ICU dengan perawatan bantuan ventilator modus
kontrol tidal volume 460 ml, RR 15 x/menit,
PEEP 5 dan FiO2 30%; dan disedasi adekuat
dengan dexmetomidine 6 cc/jam (syringe pump),
atracurium 30 mg /jam (syringe pump), fentanyl
300 mikrogram dalam 50 ml diberikan 3 cc/
jam (syringe pump). Selama di ICU pascabedah
dimonitor hemodinamik. Tekanan darah sistolik
Gambar 1 foto thorax
170–140 mmHg, diastolik 90–80 mmHg dan HR
80–95 x/menit, etCO2 30–35 mmHg. Pupil isokor
180/100 mmHg dan turun kembali menjadi 3 mm/3mm dengan reflek cahaya positip. Terapi
160/90 mmHg setelah dibaringkan dengan posisi medikamentosa di ICU diberikan antibiotik
head up 30o. Setelah sekitar 15 menit kemudian meropenem 1 gr/8 jam, omeprazole 40 mg/12
pasien kejang dan terjadi penurunan kesadaran jam, phenytoin 100 mg/ 8 jam, transamin 1 gr/8
secara mendadak menjadi GCS 5 E1M3V1 dan jam dan obat semax 6 gtt/4 jam. Delapan jam
pupil anisokor 4 mm/1 mm dengan reflek cahaya post operasi terjadi gejolak hemodinamik, HR
lambat. Kemudian dilakukan resusitasi ABCDE meningkat menjadi 130 x/menit, dan tekanan
secara neuroanestesi. Intubasi dengan midazolam darah meningkat hingga sistolik 200 mmHg dan
5 mg, fentanyl 100 mikrogram, propofol 80 mg pupil menjadi anisokor 2 mm/1 mm dan otak
dan rocuronium 50 mg. Setelah intubasi keadaan terkesan membengkak. Kemudian diputuskan
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi 97
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

Pemeriksaan Head CT scan

Gambar 2. EDH Temporoparietal Dextra Gambar 3. Pre Redo Craniotomi

untuk head CT-scan ulang dan didapatkan Pengelolaan Pascaoperasi


EDH temporopariteal dextra sebanyak 80 cc Pasien dirawat di ruang perawatan intensif
dan minimal ICH, dan segera dilakukan redo dengan keadaan masih dalam sedasi adekuat
craniectomy evakuasi EDH. dan dengan bantuan ventilator modus kontrol
Pada operasi redo kraniektomi tehnik anestesi tidal volume 460 ml, RR 15 x/menit, PEEP 5
dilakukan sama dengan operasi kraniektomi dan FiO2 30%; dan disedasi adekuat dengan
sebelumnya. Dipakai kombinasi obat anestesi dexmetomidine 6 cc/jam, atracurium 30 mg /jam,
intravena dan volatil sevoflurane. Hemodinamik fentanyl 300 mikrogram dalam 50 ml diberikan
stabil selama operasi. Tekanan darah sistolik 3 cc/jam. Cairan rumatan R Sol diberikan
antara 150–120 mmHg, diastolik 70–60 mmHg. sebanyak 3000 ml per 24 jam, serta dipantau
Pada intraoperatif terjadi rembesan perdarahan balans cairan. Selama di ICU pascabedah
aktif, dan sejawat bedah syaraf memberikan dimonitor hemodinamik. Tekanan darah sistolik
Cofact (antitrombin III) 1000 IU. Operasi redo 140–120 mmHg, diastolik 70–60 mmHg dan HR
craniectomy berjalan selama 2,5 jam dengan 70-60 x/menit. etCO2 30–35 mmHg. Pupil isokor
perdarahan sekitar 700 cc. Total cairan yang 3 mm/3mm dengan reflek cahaya positip. Suhu
diberikan WB 350 cc, PRC 200 cc, kristaloid 36 0C afebris. Kemudian dilakukan pemeriksaan
1500 cc. Total diuresis 400 cc. laboratorium: Hb 7,70 g/dL, Ht 23,50%, Leukosit
11.000/mm3, trombosit 278.000/mm3, PT 16,7’’
98 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Hasil Laboratorium post op craniektomy 1 Diperiksa thromboelastography (TEG), agregasi


trombosit dan didapatkan hasil akhirnya normal
Hb 10,20 gr/dL aktivitas pembekuan, normal aktivitas fibrinogen,
Ht 31.30%, normal fungsi platelet.
Leukosit 22.950/mm3 Terapi di perawatan intensif hampir sama
Trombosit 308/mm3 dengan sebelumnya. Analgetik diberikan dengan
paracetamol 1 gr/8 jam, terapi antibiotik diberikan
Protrombin Time 19,3 (14.00’’)
tambahan mikasin 1 gr/24 jam, dan semax 6
INR 1,40 gtt/4 jam. Dari sejawat internist hematologist
apTT 24,3 (34,0’’) diberikan terapi heparinisasi 500 IU per hari
TT 14,7 (17,4’’) dijalankan secara kontinyu 6 cc per jam, dan dari
Na 134 mEq/L sejawat bedah saraf diberikan terapi Cofact 1000
K 4,2 mEq/L IU. Pasien disedasi dengan bantuan ventilator
selama masa pemulihan faktor pembekuan
Cl 104 mEq/L
darah dan hemoglobin normal. Dilakukan
KGD adrandom 132.50 mg/dL pemeriksaan ulangan laboratorium kembali, dan
AGDA dengan ventilator modus kontrol CMV pada pemeriksaan kelima (H-I): Hb 9,90 g/dL, Ht
Tidal Volume 460 ml RR 15x per menit 30,30%, leukosit 14.42 /mm3, Plt 197.000/mm3.
PEEP 4 FiO2 40% Analisa gas darah dengan ventilator modus
pH 7,450; pCO2 36,0 mm Hg;; pO2 179 mm spontan pH 7,310, pCO2 33,0 mmHg, pO2 131.0
Hg; bikarbonat (HCO3) 25 mmol/L; total CO2 mmHg bikarbonat (HCO3) 16,6 mmol/L, total
26,1 mmol/L; BE 1,2 mmol/L dan saturasi O2 CO2 17,6 mmol/L BE -8.7 mmol/L dan saturasi
100%. O2 99%. Kadar gula darah ad random 141,80
mg/dL. Na 135 mEq/L, kalium 4,1 mEq/L,
klorida 105 mEq/L. Protrombin time 12,5 detik
(14,00’’), INR 1,2, APTT 31,5’’(34,0’’), TT INR 0,92. Pada H-1 pasien mulai disapih dari
15,6’’(17,4’’). AGDA dengan ventilator modus ventilator secara bertahap dan dikurangi obat
kontrol pH 7,500 pCO2 34,0 mmHg pO2 187.0 sedasinya, sambil dipastikan semua faktor-faktor
mmHg bikarbonat (HCO3) 26,5 mmol/L total ekstrakranial memenuhi syarat untuk ekstubasi.
CO2 27,5 mmol/L BE 3,5 mmol/L dan saturasi O2
100%. Perawatan Hari Kedua
Pasien masih di perawatan intensif. Status
Perawatan Hari Pertama generalisata keadaan umum baik dengan tensi
Keadaan hemodinamik stabil tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 65 x/menit, SpO2 99%.
rerata sistolik 130–110 mmHg dan diastolik 90– Frekuensi nafas 14–16 x/menit dengan O2 t-piece
70 mmHg dan HR 70–60 x/menit, SpO2 99%, dan 5 liter permenit. Status neurologik pasien sudah
suhu 36,5 0C. Keadaan pasien masih dalam sedasi sadar penuh GCS 15 pupil isokor 3 mm/3mm, dan
adekuat dan bantuan ventilator. Dengan diberikan dilakukan ekstubasi dan diberi O2 nasal kanul 2
tambahan Cofact (antitrombin III) 1000 IU per liter permenit. Laboratorium pada keadaan nafas
hari. Dan diberikan transfusi FFP 500 cc dan spontan nasal kanul 2 liter per menit didapatkan
PRC 250 cc. Diperiksa secara serial darah rutin, analisa gas darah pH 7,410, pCO2 33,0 mmHg, pO2
untuk mendapatkan hematokrit sekitar 35% dan 197.0 mmHg, bikarbonat (HCO3) 20,9 mmol/L,
diperiksa faal hemostasis sampai mencapai nilai total CO2 21,9 mmol/L, BE -3.3 mmol/L dan
normal. Hasil laboratorium didapatkan Hb 9,60 g/ saturasi O2 100%. Asam laktat arteri 0,9 mmol/L,
dL, Ht 28,40%, leukosit 13.420/mm3, trombosit procalcitonin 0,08 ng/mL. Faal hemostasis masih
183.000/mm3, Na 135 mEq/L, K 3,7 mEq/L, Cl terus dipantau dan diperiksa ulang didapatkan
106 mEq/L, protrombin 12,5’’ (13,5’’), INR 0,92, hasil Protrombin Time 12,9 detik (kontrol 14.00
antitrombin III 130,5% (normal 75–125). detik); INR 0,92; apTT 41,5 detik (kontrol 34,0
detik); waktu trombin 13,6 (kontrol 16,7 detik).
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi 99
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

Perawatan Hari Ketiga kolagen pembuluh darah misalnya penyakit


Keadaan umum pasien baik, sadar baik, nafas systemic lupus erythematosus (SLE) atau pasien
spontan dan sudah mulai asupan nutrisi oral. dengan kelainan koagulopati.4
Pasien dialih rawat ke ruangan rawat inap biasa.
Pascabedah pasien ditemukan adanya hemiparese Adanya keluhan dan gejala kenaikan tekanan
sinistra. Hal ini dialami selama kurang lebih intrakranial secara cepat perlu penanganan
1,5 bulan, dan berangsur membaik dengan resusitasi ABCDE neuroanestesi segera. Tujuan
fisiotherapi rutin, dan pasien mengaku masih resusitasi sesegera mungkin dilakukan untuk
mengingat seluruh kejadian sebelum terjadinya menjaga tekanan perfusi otak (cerebral perfusion
penurunan kesadaran. Di bulan ke-2 pasca pressure/CPP) tetap baik sehingga mencegah
pembedahan kekuatan motorik pasien telah terjadinya cedera otak sekunder.6,7,15 Keadaan
kembali normal dan sudah dapat mengemudi hipoksia, hiperkarbia, hipertensi, hipotensi,
mobil manual sendiri dan hidup secara mandiri. hiperthermia, hiperglikemia, hipoglikemia,
Di bulan ke-4 pasien telah dilakukan kranioplasti. mual, muntah, kejang semuanya harus dicegah
Pada bulan ke-5 pascabedah didapatkan dan diterapi segera karena dapat menyebabkan
penilaian Glasgow Outcome Scale (GOS) skor cedera otak sekunder. Pada pasien ini awalnya
5 (interpretasi Good Recovery), dan penilaian terjadi gejolak hemodinamik, tekanan darah
Extended Glasgow Outcome Scale (GOSE) skor meningkat (200/100 mmHg) yang merupakan
8 (interpretasi Upper Good Recovery) dan pada kompensasi tubuh dalam mempertahankan CPP.
penilaian Mini Mental State Exam (MMSE) skor Setelah diresusitasi pasien diintubasi, posisi head
29 (interpretasi tidak ada gangguan kognitif). up 300 dan disedasi maka hemodinamik relatif
Gejala sisa yang masih ada hingga saat ini (bulan normal. Namun penyebab tekanan intrakranial
ke-5 pascabedah) terkadang masih ada klonus yang meningkat ini adalah EDH spontan akut
sesekali pada kaki kiri dan tremor halus di tangan terjadi karena terapi antikoagulan, fibrinolitik dan
kiri. Pasien masih merasakan kelemahan tangan antiplatelet yang mempunyai waktu paruh 12–17
kiri bila memegang sesuatu barang dalam jangka jam maka reaksi obat tersebut masih menimbulkan
waktu lama lebih dari 30 menit. Namun hingga efek sehingga terjadi perdarahan EDH spontan
saat ini pasien masih melakukan fisioterapi rutin. kembali pada daerah yang sama dan minimal
intracerebral hemmorrhage. Banyak laporan
III. Pembahasan kasus menyatakan bahwa adanya komplikasi
perdarahan spontan berulang pada bedah saraf
Angka kejadian perdarahan intrakranial spontan meningkat dengan adanya terapi antikoagulan
pada terapi antikoagulan dan antiplatelet oral misalnya rivaroxaban.8 Terapi antikoagulan
sangat tinggi yaitu 70%, dan umumnya 60% nya oral tunggal saja bisa menyebabkan perdarahan
adalah perdarahan intracerebral.5 Perdarahan spontan, dan resiko perdarahan meningkat bila
EDH spontan suatu hal yang tidak umum dikombinasi dengan antiplatelet oral walaupun
dijumpai. Pada kasus ini terjadi perdarahan dalam dosis yang lebih kecil.
EDH spontan non trauma. Dilaporkan hanya
19 kasus ditemukan sampai dengan tahun 2010 Rivaroxaban lebih sensitif terhadap perubahan
adanya perdarahan EDH spontan non trauma. pemanjangan masa protrombin (PT) dibanding
Berdasarkan penyakit yang mendasarinya kasus dabigartan dan tidak mmpunyai efek pemanjangan
tersebut dibagi menjadi tiga kategori yaitu waktu trombin.9 Pemberian kombinasi terapi
pertama karena adanya lokal infeksi pada daerah rivaroxaban yang merupakan inhibitor faktor Xa
kepala seperti sinusitis, infeksi telinga dan hidung. bersama dengan clopidogel akan meningkatkan
Infeksi tersebut dapat merusak dinding pembuluh resiko perdarahan pada orang yang sehat tanpa
darah meningen dan membentuk inflamasi, kedua menganggu farmakokinetik dan farmakodinamik
karena adanya keganasan pada ekstraduramater masing-masing obat tersebut.10 Pada intraoperatif
sehingga merusak pembuluh darah meningen dan postoperatif redo craniotomi diberikan cofact
itu sendiri, dan ketiga karena adanya kelainan 1000 IU untuk mencegah terjadinya perdarahan
100 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kembali. Cofact yang merupakan prothrombin Sedasi adalah suatu bagian penting dari terapi
complex mempunyai efek menurunkan nilai pasien dengan gangguan serebral, terutama yang
INR.11 Pasien juga ditransfusi fresh frozen memerlukan ventilasi mekanis. Tujuan utama
plasma dan Cryopresipitate untuk mengatasi sedasi adalah untuk fasilitasi pengobatan intensif,
gangguan koagulasi darah. Direkomendasikan terutama ventilasi mekanis; untuk kenyamanan
pada Guideline Blood Transfusion untuk pasien dan mencegah peningkatan tekanan
mengatasi perdarahan yang mengancam jiwa intrakranial. Sedasi digunakan dexmedetomidine
untuk memberikan (prothrombin Complex/PCC) 6 cc/jam (0,3 mikro/kgBB/jam) yang mempunyai
50–100% faktor prothrombin complex dengan efek menurunkan aliran darah otak dengan
1–2 ml/ kg BB. vasokonstriksi otak dan menurunkan metabolisme
otak.11,13 Dexmedetomidine merupakan suatu
Tujuan terapi di ICU untuk pasien dengan superselektif alpha2 adrenergik. Obat tersebut
serebral akut adalah untuk memberikan kondisi mempunyai efek sedatif dan analgesia, dan
yang baik bagi pemulihan otak primer seraya anesthesia sparing effect, menurunkan kebutuhan
mencegah setiap kerusakan otak sekunder yang obat anestesi intravena, anestetika inhalasi dan
berhubungan dengan peningkatan tekanan narkotik analgetik. Dexmedetomidine dapat
intrakranial, hipotensi atau hipertensi, hipoksemia menurunkan tekanan darah dan denyut jantung.
dan hiperkarbia. 6,12 Pascaoperasi pasien dirawat Efek sedasi tidak disertai dengan efek depresi
di ICU dengan bantuan ventilator, posisi head up nafas oleh karena itulah dexmedetomidine
300 dan sedasi adekuat untuk menjamin pasokan sangat berguna untuk sedasi analgesi pascabedah
oksigen ke otak dan mencegah terjadinya agitasi dan pasien dirawat di ICU. Setelah beberapa
yang bisa menyebabkan tekanan intrakranial penelitian, dexmedetomidine telah disetujui
semakin meningkat. Posisi kepala netral dan di Amerika pada tahun 1999 dan telah
head up 15–300 dilakukan sebagai usaha digunakan untuk analgesia dan sedasi di ICU.
untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan Dexmedetomidine juga mempunyai efek proteksi
memperbaiki drainase vena serebral. Posisi ini otak.12 Efek neuroproteksi otak disebabkan
dapat memicu terjadinya hipotensi yang akan karena menghambat iskemia yang diakibatkan
dapat memperburuk perfusi yang sudah terganggu. pelepasan norepinefrin karena dexmedetomidine
Melakukan ventilasi kendali mencegah hipoksia menurunkan level norepinefrin saat bangun dari
dan mempertahankan keadaan normokapnea anestesi. Dexmedetomidine mencegah kematian
bertujuan untuk megendalikan sementara aliran sel neuron setelah iskemia fokal dan daerah yang
darah otak sehingga dapat menurunkan TIK. mengalami iskemik turun 40% dibandingkan
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi 101
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

Target Kerja Berbagai Antikoagulan

dengan plasebo. Dexmedetomidine mempertinggi dan menaikkan aliran darah ke otak.14 Isovolemik
pembuangan glutamin melalui metabolisme atau hemodilusi hipervolemia (hematokrit
oksidatif pada astrosit. Alpha 2 agonists 33%) menunjukkan aliran darah otak tanpa
menurunkan konsumsi oksigen perioperatif.19,20 ada gangguan penghantaran oksigen.15 Pasien
Pada pasien ini analgetik diberikan fentanyl diberikan paracetamol 1 gr/8jam sebagai analgetik
secara kontinyu 0,2 mikro/kgBB/jam dan juga untuk menjaga suhu normal. Suhu juga
dikombinasi dengan dexmedetomidine sehingga dipertahankan tetap normal bahkan lebih baik
menghasilkan sedasi adekuat.11 Analisa gas darah di bawah normal. Penurunan temperatur tubuh
pasien diperiksa secara berkala untuk mencegah akan memperlambat metabolisme serebral. Hal
terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia.13 ini berarti menurunkan aliran darah otak.14 Sejak
pascaoperasi (H–0) pada pasien ini diberikan
Pasien ditransfusi dengan PRC dan WB sampai juga semax nasal drops 6 gtt/4 jam sebagai
mencapai Hb sekitar 10 gr/dL. Hemoglobin neuroprotektif. Semax (H-Met-Glu-His-Phe-
dipertahankan sekitar 10 g/dL untuk menjamin Pro-Gly-Pro-OH) adalah sintetis analog dari
hematokrit minimal 35% oleh karena hematokrit adrenocorticotropic hormone 4-10 fragmen
mempengaruhi aliran darah otak secara nyata. (ACTH4-10). Salah satu komponen penting
Nilai hematokrit 35%–50% akan menjamin dalam cedera kepala adalah kematian sel
pasokan oksigen. Pada nilai yang lebih tinggi saraf akibat apoptosis. Peranan semax sebagai
akan menaikkan kapasitas oksigen dengan ACTH 4–10Pro8Gly9Pro10 merupakan salah
kenaikan kekentalan darah dan menurunkan satu neuroprotektor diketahui menghambat
aliran darah ke otak. Pada hematokrit di bawah jalur apoptosis. Semax tersebut mempunyai
35% akan menurunkan kapasitas pengangkutan efek neuroprotectif dan nootropic sehingga
oksigen dan terjadi penurunan kekentalan darah banyak dipakai di klinis untuk terapi penyakit-
102 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

penyakit sistem syaraf pusat (stroke iskemik, 3. Arne L, Waltrand P. Intracerebral hemorrhage
dyscirculatory encephalopathy, atrophi nervus associated with antithrombotic treatment.
opticus dan lain-lain). Banyak penelitian yang Lancet Neurology 2013 April, 12(4):394.
menyatakan keberhasilan dari pemberian semax
ini.16 Setelah 12 jam pasca operasi redo craniotomi 4. Rajput D, Kamboj R. Is management of
oleh sejawat internist hematologi diberikan spontaneus intracranial extradural hematoma
terapi heparin dengan dosis kecil 500 IU per hari in chronic renal failure is different with
diberikan secara kontinyu untuk penanganan traumatic extradural hematoma. Indian
DVT dengan monitoring ketat agar tidak terjadi Journal Neurotrauma 2010,7 (1):81–4.
komplikasi perdarahan pascaoperasi.18
Setelah faktor-faktor yang mengancam telah 5. Robert G, Bradley S. Oral anticoagulant
teratasi dengan baik maka segera dilakukan and intracranial hemorrhages. Stroke AHA
penyapihan dari ventilator. Pada pasien ini faktor- Journal 1995;26:1471
faktor tersebut adanya ancaman perdarahan
kembali karena terganggunya koagulasi darah. 6. Stutz H, Charchaflieh J. Postoperative
Pasien dilakukan proses penyapihan pada hari and intensive care including head injury
H-1 post operasi redo craniotomi dan diekstubasi and multisystem sequelae. Dalam: Cotrell
pada H-II pagi hari setelah pasien sadar baik. J, Young W, eds. Cottrell and Young’s
Namun pasien mendapatkan sequele hemiparese Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby
sinistra akibat perdarahan intraserebral minimal Elsevier; 2010, 410–12.
dan bersifat sementara, dan kembali berangsur
pulih dengan resorbsi perdarahan intraserebral 7. Murthy T, Bhatia P. Secondary brain injury
dan fisioterapi rutin juga relatif tidak didapatkan prevention and intensive care management.
gangguan kognitif yang dinilai secara GOS, Indian Journal of Neurotrauma; 2005,2
GOSE, dan MMSE pada bulan ke-5 pasca (1),7–12.
pembedahan.
8. Garber S, Sivakumar W. Neurosurgical
IV. Simpulan complications of direct thrombin inhibitor
catastrophic hemmorrhage after mild
Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan traumatic brain injury in a patient receiving
intrakranial spontan akibat komplikasi terapi dabigatran. J. Neurosurgery 2012, 1–4
antikoagulan rivaroxaban, lumbrokinase dan
antiplatelet clopidogrel meliputi preoperasi, 9. Kaatz, Kaudes PA, Garca DA, Spyropolous
intraoperasi dan pascaoperasi. Preoperasi dengan AC, Crowther M, Doukteis JD, et al. Guidance
penanganan resusitasi segera akan mendapatkan of the emergent reversal of oral thrombin and
outcome yang baik. Penanganan di ICU juga factor Xa inhibitors. Am J Hematology 2012;
dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Good 87: S 141–2145
team, good work.
10. Dagmar K, Michael B. Effect co-
Daftar Pustaka administration of rivaroxaban and clopidogrel
on bleeding time, pharmacodynamics
1. Mark l, Gary R. Hemmorrhagic complications and pharmacokinetics, a phase 1 study,
of anticoagulant treatment. CHEST Pharmaceuticals 2012, 5, 279–96
2001,119:1088.
11. Roodhevel F, Ligtenberg. INR reduction
2. Athanios P, Stamatis M. Gastrointestinal after prothrombin complex concentrate (Co-
bleeding in patients receiving antiplatelet and fact) administration comparison of INR
anticoagulant therapy. Hellenic J. Cardiology outcomes in different patient categories at the
2014,55:499. emergency department. Internasional Journal
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi 103
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

of Emergency Medicine 2013, 6:14,1–4. 17. Lam A, Winn H. Management of acute head
injury. Dalam: Albin M, eds Textbook of
12. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan Neuroanesthesia with Neurosurgical and
Critical Care: Cedera Otak Traumatik. edisi Neuroscience Perspectives, USA: McGraw
1, Bandung: Fakultas Kedokteran Unversitas Hill;1997, 1138–40.
Padjadjaran; 2012, 242–53.
18. Scales D, Cambrin J. Prophylactic
13. Layon J, Gabrielli A. Elevated intracranial anticoagulati on to prevent venous
pressure. Dalam: Textbook of Neurointensive thromboembolism in traumatic intracranial
Care. Philadelphia: Saunders; 2004, 715–19. hemmorrhage, a decision analysis. Biomed
Central: Critical Care 2010, 2–10
14. Petrozza P, Prough D. Postoperative and
intensive care. Dalam: Cotrell JE, Smith 19. Bloor BC, Ward DS, Belleville JP, Maze
D, eds. Anesthesia and Neurosurgery. M. Effect of intravenous dexmedetomidine
Philadelphia: Mosby; 2001, 624–41. in humans, hemodynamics changes.
Anesthesiology 1992; 77: 1134–42
15. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi 2,
Bandung: Bagian Anestesiologi dan Terapi 20. Villela NR, Nascimento P. Dexmedetomidine
Intensif FK Unpad; 2011, 8-9. in anesthesioloy. Rev Bras Anesthesiology
2003;53(1):97–113
16. Kolomin T, Shadrina M. A new generation
of drugs syntetic peptides based on naturally
regulatory peptides. Neuroscience and
Medicine Journal 2013;4: 223–52.
Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus Perdarahan
Intraserebral Traumatika

Buyung Hartiyo Laksono*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri****)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – RSUD. Dr Saiful
Anwar Malang, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana –
RSUP. Sanglah Denpasar, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada – RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, ****)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Traumatic brain injury (TBI) menyumbang 70% kematian akibat trauma. Penyebab yang tersering adalah
kecelakaan lalu lintas 49%. Tehnik minimal invasif cukup berkembang pada beberapa dekade ini, demikian
juga pada bidang bedah saraf. Tujuan utama tatalaksana anestesia adalah immobilisasi intraoperatif, stabilitas
kardiovaskuler, minimal komplikasi pascaoperasi, fasilitasi intraoperatif neurologi monitoring, kolaborasi
tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan rapid emergence untuk pemeriksaan neurologis dini. Kasus
laki-laki 50 tahun dengan perdarahan intraserebral (ICH) direncanakan operasi minimal invasive neuroendoscopy
evakuasi hematom. Posisi selama operasi adalah true lateral yang juga menjadi perhatian tersendiri. Komplikasi
akibat posisi harus dihindari karena rentan mempengaruhi luaran operasi. Operasi berjalan selama 3 jam dengan
luaran optimal. Beberapa masalah penting menjadi perhatian khusus selama operasi dan pascaoperasi. Prinsip
tatalaksana anestesi pada minimal invasif yang harus dicapai adalah pemeriksaan dan perencanaan preoperatif
yang baik, kontrol hemodinamik serebral untuk menjamin tekanan perfusi otak (cerebral perfusion presure/CPP)
optimal, immobilisasi penuh, dan dapat dilakukan rapid emergence untuk menilai status neurologis. Komunikasi
antara operator dan ahli anestesi penting untuk keberhasilan kasus ini.

Kata kunci: perdarahan intraserebral traumatik, minimal invasif neurosurgery, posisi true lateral

JNI 2016;5(2): 104–12

Anesthesia Management in Minimally Invasive Neurosurgery Procedure: Traumatic


Intracerebral Hemorrhage Case

Abstract

Traumatic brain injury (TBI) accounted for 70% of deaths from trauma. The most common causes of traffic
accidents is 49%. Minimally invasive techniques sufficiently developed in the past few decades, as well as
in the field of neurosurgery. The main objective is the treatment of immobilization intraoperative anesthesia,
cardiovascular stability, minimal postoperative complications, facilitating intraoperative neurological monitoring,
collaborative management of an increase in intracranial pressure (ICP) and the rapid emergence of early
neurological examination. The case of a man 50 years with intracerebral hemorrhage (ICH) minimally invasive
surgery neuroendoscopy planned evacuation of hematoma. Position during operation is true lateral is also a
concern in itself. Complications due to the position should be avoided because it is vulnerable affect the outcome
of the operation. Operations run for 3 hours with optimal outcomes. Some important issue is of particular concern
during surgery and postoperatively. Procedural principle in minimally invasive anesthesia to be achieved is the
examination and good preoperative planning, cerebral hemodynamic control to ensure optimal cerebral perfussion
pressure (CPP), full immobilization, and can do rapid emergence to assess the neurological status. Communication
between the operator and the anesthetist is important to the success of this case.

Keywords: traumatic intracerebral hemorrhage, minimally invasive neurosurgery, true lateral position.

JNI 2016;5(2): 104–12

104
Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive 105
Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika

I. Pendahuluan diagnosis, berkembang juga sebagai prosedur


terapi definitif. Tehnik tersebut mempunyai
Trauma merupakan penyebab kematian terbesar beberapa perhatian khusus yang harus diketahui
pada individu dengan usia dibawah 45 tahun di oleh seorang ahli anestesi. Minimal invasif
negara kawasan Eropa. Cedera otak traumatik mempunyai tujuan meningkatkan patient safety,
atau traumatic brain injury (TBI) menyumbang menurunkan lama rawat inap, menurunkan
70% kematian akibat trauma dan kecacatan pada komplikasi invasif dan morbiditas pascaoperasi.
korban yang selamat. Penyebab komplikasi Penggunaan pada pasien trauma masih terbatas
utama dari TBI adalah terbentuknya hematoma dan literatur yang menjelaskan tehnik tersebut
intrakranial. Frekuensi terjadinya hematoma juga belum banyak. Tantangan terhadap ahli
intrakranial sebesar 25–45% pada cedera otak anestesi untuk dapat menyesuaikan dengan
berat, 3–12% pada cedera otak sedang dan pada perkembangan tehnik minimal invasif.4
kasus cedera otak ringan sebesar 1 dari 500 Pada makalah ini akan kami bahas tentang
pasien.1 tatalaksana anestesi pada kasus trauma yang
dilakukan tindakan minimal invasif. Frekuensi
Di Amerika, TBI merupakan penyebab kematian penggunaan tehnik ini pada kasus trauma jarang
terbanyak usia 15–44 tahun dan merupakan sekali dan pada kondisi tertentu, lebih banyak
penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan digunakan pada operasi bedah saraf elektif non
kasus. Di negara berkembang seperti Indonesia, trauma. Beberapa permasalahan akan menjadi
TBI berperan pada hampir separuh dari seluruh bahan diskusi pada makalah ini dengan harapan
kematian akibat trauma, mengingat bahwa pengelolaan pasien cedera kepala yang dilakukan
kepala merupakan bagian yang tersering dan tehnik minimal invasif lebih baik.
rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Distribusi
kasus TBI terutama melibatkan kelompok usia II. Kasus
produktif, yaitu antara 15 sampai 44 tahun,
dengan usia rata–rata sekitar 30 tahun, dan lebih Anamnesa
didominasi oleh kaum laki–laki dibandingkan Laki-laki 50 tahun dengan berat badan 60 kg.
kaum perempuan. Adapun penyebab yang Pasien datang dengan keluhan sakit di kepala dan
tersering adalah kecelakaan lalu lintas (49%) bahu. Riwayat kecelakaan 1 hari sebelum masuk
dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama rumah sakit. Pasien pengendara sepeda motor,
pada kelompok usia anak – anak).2 Cedera pada menghindari pejalan kaki, jatuh sendiri, kepala
kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, pasien terbentur trotoar, riwayat pasien pingsan
mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang dan muntah 1 kali. Pasien masih ingat kejadian.
paling ringan, tulang tengkorak, durameter, Oleh penolong dibawa ke RSUD Kepanjen,
vaskuler otak, sampai jaringan otak. Baik berupa dilakukan pertolongan pertama di unit gawat
luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan darurat (UGD) dan dilakukan pemeriksaan CT
pemahaman landasan biomekanisme-patofisiologi Scan. Nilai GCS dari rujukan tertulis 4–5–6.
terperinci dari masing-masing proses di atas, Keluhan nyeri kepala terus memberat dan pasien
didukung dengan prosedur penanganan cepat dan sering mengantuk. Dari hasil pemeriksaan
akurat, maka angka morbiditas dan mortalitas didapatkan gambaran perdarahan intraserebral
diharapkan dapat ditekan. Hal ini disebabkan (ICH), kemudian pasien di rujuk ke RS Saiful
karena semakin bertambahnya pemahahaman Anwar Malang dengan alasan fasilitas lebih
tentang patofisiologi terjadinya cedera kepala lengkap. Riwayat penyakit yang lain sebelumnya
sekunder setelah cedera kepala primer, juga disangkal.
berkembangnya tehnik dan tatalaksana perawatan
pada pasien kritis.3 Pemeriksaan Fisik
Tehnik minimal invasif cukup berkembang pada Dari pemeriksaan fisik didapatkan jalan nafas
beberapa dekade ini, demikian juga pada bidang dalam kondisi bebas. Pernafasan spontan dengan
bedah saraf. Selain digunakan sebagai prosedur laju nafas 14 x/menit, tidak didapatkan suara nafas
106 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

tambahan, gerak dada simetris, tidak ada tanda- 2,5 mg, fentanyl 100 µg titrasi, lidokain 80 mg,
tanda pneumothoraks. Jejas pada daerah bahu propofol 100 mg titrasi, rocuronium 60 mg,
kanan, dengan nyeri tekan dan kemerahan pada satu menit sebelum tindakan intubasi diberikan
kulit. Sirkulasi hangat, kering, merah. capilarry tambahan propofol 30 mg. Preoksigenasi selama
refill test (CRT) <2 detik. Laju nadi: 70x/menit. 5 menit sebelum intubasi. Intubasi sleep apneu
Tekanan darah 130/80 mmHg dengan mean dilakukan menggunakan laryngoscope macintosh
arterial pressure (MAP) 96 mmHg. Auskultasi dengan pipa endotrakhea (endotracheal tube/
suara jantung S12 single, murmur (–), gallop (–). ETT) non kinking nomor 7.5, kedalaman ETT
Pemeriksaan neurologis derajat kesadaran GCS 20 cm pada tepi bibir. Dilakukan fiksasi yang
3–5–6 pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+ baik. Monitor diposisikan stat selama induksi.
normal, sensorik dan motorik dalam batas normal. Anestesi pemeliharaan diberikan sevoflurane
Jejas lecet pada bahu kanan, jejas di tempat lain dengan aliran oksigen dan N2O (3:1) kombinasi
tidak didapatkan. Nyeri tekan tidak didapatkan. syringe kontinyu propofol (2–10mg/KgBB/jam),
Terpasang kateter urin produksi 1cc/kgbb/ ditambahkan suplemen fentanyl intermitten dan
jam jernih. Temperatur aksila terpantau 37 0C. vecuronium kontinyu 0,06 mg/KgBB/jam. Setelah
intubasi dilakukan pemasangan tambahan jalur
Status Preoperatif intravena. Ventilasi kontrol dengan mesin anestesi
Pasien didiagnosa status fisik ASA 3 dengan monitoring EtCO2 target PaCO2 normocapnea
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) hari dengan konfirmasi analisa gas darah. Setelah
ke 2 karena perdarahan intraserebral (ICH) dilakukan penilaian hemodinamik telah stabil,
regio temporooccipital sinistra dan fraktur maka dipersiapkan pasien diposisikan miring kiri
tertutup calvicula 1/3 lateral dextra. Pasien atas (true lateral). Pada posisi miring diberikan
direncanakan untuk dilakukan tindakan pading axillary roll pada ketiak, dan beberapa
endoscopic neurosurgery evakuasi ICH dan titik tumpu lainnya. Posisi kepala difiksasi
platting clavicula. Persiapan preoperatif pasien dengan bantal donut yang sesuai. Pada sela kaki
dipuasakan dan premedikasi dengan pemberian kanan dan kiri diberi bantal. Dipastikan tidak
ranitidin dan ondancentron sebelum pembedahan. terjadi bendungan vena jugularis, perfusi perifer
ekstremitas dan pengembangan pernafasan baik.
Pengelolaan Anestesi
Pasien masuk kedalam kamar operasi pukul 08.00. Monitoring selama operasi dilakukan evaluasi
Pasien dilakukan induksi dengan prinsip proteksi terhadap tekanan darah sistolik, diastolik, arteri
otak melalui kombinasi pemberian midazolam rerata, laju nadi, end tidal CO2, saturasi oksigen,

Pemeriksaan penunjang laboratoium:


Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Keterangan Pemeriksaan Keterangan
Hemoglobin 9,9 g/dl PT 10,3 (9,3–11,4) detik
Hematokrit 30,3% APTT 31,1(24,8–4,4) detik
Leukosit 12,91/mm3 INR 0,99
Trombosit 322,000/mm3 Albumin 3,82 u/L
Natrium 136 mEq/L GDS 113 u/L
Kalium 4,08 mEq/L
Clorida 100 mEq/L
Ureum 35,4 mg/dl
Kreatinin 0,70 mg/dl
SGOT 21 u/L
SGPT 19 u/L
Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive 107
Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika

gelombang EKG, temperatur aksila pemasangan Dilanjutkan operasi platting clavicula oleh
stetoskop prekordial, produksi urine melalui bedah orthopedi dengan merubah posisi pasien
kateter urine dan balans cairan. Dilakukan join kembali supine. Sebelum posisi dipastikan
operasi antara sejawat bedah saraf dan bedah keamanan dan stabilitas jalan nafas, pernafasan
orthopedi. Operasi berjalan pararel dengan bedah dan hemodinamik. Operasi berjalan total 2 jam
saraf dimainkan terlebih dahulu. Dilakukan untuk minimal invasive evakuasi ICH dan 1 jam
minimal invasive endoscopic evakuasi dari ICH. untuk platting clavicula. Perdarahan total 200 cc.
Boor hole dilakukan tepat diatas lokasi ICH, Selama operasi tekanan darah relatif stabil dengan
yang kemudian diperlebar dan diperdalam sesuai sistolik antara 100-130 mmHg dan diastolik 62–
ukuran alat scope 6 mm untuk mencapai lokasi 90 mmHg. Frekuensi nadi antara 55–70 x/menit.
ICH. Dilakukan evakuasi hematoma dan rawat Temperatur terjaga rentang 36–35 0C. Cairan
perdarahan dengan bantuan kamera video. Secara masuk sebanyak ± 1700cc terdiri dari NaCl 0,9%
langsung dipastikan lokasi sudah bersih dari 1000cc, ringerfundin 500cc dan mannitol 200cc.
perdarahan kemudian ditutup. Irigasi memakai Cairan keluar dari perdarahan sebanyak 200cc
normal salin dengan ketinggian level irigasi dan urin 1500 cc.
kurang dari 1 meter. Setiap tahap operasi dilihat
dan dikomunikasikan bersama. Pascaoperasi
Pascaoperasi dilakukan evaluasi ulang
perdarahan, adekuat pada pernafasan dan kondisi
Foto thoraks: Cor dan pulmo dalam normal, tidak hemodinamik. Setelah evaluasi dalam batas
tampak pneumo ataupun hemato thorak, fraktur normal maka dilakukan rapid emergence pada
clavicula 1/3 lateral dextra. pasien setelah pemberian reversal. Evaluasi GCS
pascaoperasi kembali ke GCS awal sebelum
operasi. Pasien dirawat di ICU. Perawatan
dan observasi pascaoperasi di ICU selama 1
hari, kondisi stabil dan CT Scan kontrol tidak
didapatkan perdarahan ulang. Tanda-tanda
komplikasi dini juga tidak didapatkan. Pasien
pindah ke ruangan dengan GCS 4–5–6 tanpa
defisit neurologis.

III. Pembahasan

Gambar 1. Rӧ Thorak pasien. Cedera otak traumatik (Traumatic brain injury/


TBI) merupakan salah satu kondisi yang

Foto cervical: Tidak tampak fraktur atau deviasi jalan nafas

Gambar 3. CT Scan Evaluasi setelah masuk Rumah


Gambar 2. CT Scan sebelum Dirujuk. Sakit.
108 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Gambar 4. Posisi Pasien selama Operasi Grafik 1. Profil Tanda Vital dan Monitoring selama
Operasi

lesi intrakranial dengan cedera fokal berupa


intraserebral hemorrhage (ICH).

ICH pascatraumatik merupakan kumpulan


darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera
regangan atau robekan terhadap pembuluh darah
intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera
penestrasi. Ukuran bisa bervariasi, mengacu
Gambar 5. Visualisasi scope pada monitor perdarahan >5cc dalam substansi otak, bila
lebih kecil berupa punctate atau bercak.7 Dari
mengancam jiwa yang serius pada korban hasil CT Scan pasien didapatkan ICH didaerah
kecelakaan, dan merupakan penyebab utama temporooccipital Sinistra dari literatur dijelaskan
kecacatan dan kematian pada dewasa dan anak- bahwa hematoma intraserebral biasanya 80–90%
anak. Diperkirakan 1,5 juta orang mengalami TBI berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia
setiap tahunnya di USA dan 50.000 diantaranya basalis, dan sering disertai lesi neuronal lain seperti
meninggal. TBI memberikan akibat yang besar fraktur kalvaria. Klinis penderita tidak khas dan
bagi kehidupan individual dan keluarganya sering (30–50%) tetap sadar. Manifestasi klinis
termasuk biaya rumah sakit, rehabilitasi sosial pada puncaknya 2–4 hari pascatrauma.6,7,8 Lama
serta perawatan jangka panjang. Penanganan perawatan preoperatif pasien sudah berjalan 2
yang tepat dan tepat diperlukan untuk mencapai hari, sehingga manifestasi klinis dapat terdeteksi
keluaran yang baik.5 TBI diklasifikasikan menjadi untuk dilakukan tindakan.
primer dan sekunder. Cedera otak primer adalah
ireversibel, yang terjadi pada saat benturan, Pada saat sebelum dirujuk hasil CT Scan
aselerasi-deselerasi dan menimbulkan kerusakan terbaca volume perdarahan 42 cc, kemudian
pada struktur otak. Setelah kejadian cedera evaluasi 1 hari ditempat rujukan CT Scan
primer, cedera sekunder muncul karena hipoksia, menunjukkan peningkatan volume menjadi
hiperkapnea, hipotensi, gangguan biokimiawi 58,75 cc dan midline shift bertambah. Keluhan
dan hipertensi intrakranial, dimana semuanya sakit kepala bertambah dan GCS turun 3–5–6
akan menyebabkan iskemik serebral.6 Untuk dari 4–5–6. Dari pertimbangan tersebut pasien
itu diperlukan pengelolaan yang cepat dan tepat direncanakan dilakukan tindakan evakuasi. Hal
sehingga hasil yang tercapai luaran optimal. ini juga dijelaskan dalam literatur bahwa indikasi
Pada kasus ini, pasien mengalami cedera otak pembedahan adalah perdarahan supratentorial
primer yang terjadi akibat benturan langsung lebih dari 30 cc dengan efek massa atau
pada kepalanya saat jatuh terbentur trotoar perdarahan cerebellar lebih dari 15 cc dengan
jalan. Akibat mekanisme diatas maka terjadi efek massa.6-8 Operator memutuskan tindakan
Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive 109
Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika

evakuasi dengan tehnik minimal invasif, hal homeostasis cerebral tersebut dapat beresiko
ini yang harus menjadi perhatian khusus bagi menyebabkan kerusakan otak irreversibel dan
seorang ahli anestesi. Pembedahan kasus gangguan hemodinamik berat yang bila tidak
neurologi secara endoskopik telah memiliki diatasi dengan baik akan menyebabkan tehnik
sejarah yang panjang hingga melewati satu bedah tersebut tidak lagi seperti minimal invasif
abad. Pada periode tersebut, berbagai prosedur yang diharapkan. Pemahaman tentang perubahan
neuroendoskopik telah ditemukan, namun fisiologis yang disebabkan oleh prosedur tersebut
meskipun terus dilakukan pengembangan tehnik berperan penting dalam penanganan pasien yang
endoskopik baik dalam hal fungsi dan indikasinya, optimal.9,10
illuminasi dan magnifikasi yang rendah membuat
neuroendoskopi tetap sulit dan tidak mungkin Neuroendoskopi berhasil digunakan untuk
dikerjakan dalam praktek rutin hingga akhir ventriculostomy, biopsi atau reseksi tumor,
tahun 1980. Akan tetapi, setelah ditemukannya penestrasi atau evakuasi kista, evakuasi
teknologi lensa, elektronik dan fiber optik yang perdarahan intraventrikel dan koagulasi plexus.
baru, dimana menghasilkan endoskopi generasi Tehnik tersebut sangat bermanfaat pada terapi
baru yang mempunyai illuminasi dan resolusi hidrocephalus non communican dengan cara
yang lebih jelas, neuroendoskopi mengalami ventriculostomy.1,9,10 Untuk kasus-kasus trauma
kemajuan menjadi terapi rutin dalam bidang masih jarang kecuali ada pertimbangan khusus.
bedah saraf.9 Literatur pada penggunaan kasus trauma juga
minimal. Kemungkinan pada kasus ini operator
Pada awalnya, neuroendoskopi hanya dikerjakan juga ragu apakah ICH yang terjadi murni akibat
pada endoscopic third ventriculostomy (ETV) primer trauma atau spontan karena kelainan
untuk terapi hidrocephalus obstruktif dan masih pada pembuluh darah otak contohnya AVM
merupakan prosedur neuroendoskopik terbanyak. pecah. Idealnya adalah dilakukan CT angiografi
Saat ini penggunaan neuroendoskopi meningkat sebelum penentuan tehnik operasi. Tujuan
untuk semua tipe penyakit yang diterapi secara utama tatalaksana anestesia adalah immobilisasi
bedah saaraf, baik sebagai pendekatan bedah intraoperatif, stabilitas kardiovaskuler, minimal
primer atau sebagai tambahan misalnya prosedur- komplikasi pascaoperasi, fasilitasi intraoperatif
prosedur endoskopik yang sering digunakan neurologi monitoring, kolaborasi tatalaksana
di departemen bedah saraf. Perkembangan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan rapid
tehnologi lebih lanjut, misalnya tehnologi robotik, emergence untuk pemeriksaan neurologis dini.
endoskopik yang terkendali dan penemuan tehnik Peningkatan tekanan intrakranial harus dideteksi
bedah saraf baru, diharapkan untuk meningkatkan dan diterapi sedini mungkin. Monitoring dan
penggunaan tehnik tersebut di kemudian hari.1,9 komunikasi yang baik merupakan hal yang
Implementasi tehnik bedah baru tersebut akan penting.1,9,10 Target ini yang harus dicapai oleh ahli
memperbaiki pilihan terapi, yang umumnya anestesi agar luaran operasi optimal. Tatalaksana
disebut sebagai bedah invasif minimal. Oleh pada kasus ini dicapai dengan adekuat anestesi
karena tehnik endoskopi dalam intervensi dan pemberian pelumpuh otot kontinyu. Selama
intrakranial hanya menyebabkan kerusakan operasi hemodinamik dijaga stabil dan pemberian
minimal pada jaringan otak yang sehat, tehnik obat-obatan secara titrasi. Peningkatan TIK
tersebut mempunyai keuntungan besar. Selain dikelola sejak awal dengan pemilihan obat-obatan
itu, beberapa intervensi mempunyai hasil yang mempunyai sifat proteksi otak, mannitol
yang lebih baik bila dikerjakan dengan tehnik dan posisi kepala head up 300. Target tatalaksana
endoskopi. Akan tetapi, beberapa dari intervensi dikombinasikan dengan tatalaksana anestesi pada
tersebut, manipulasi bedah secara langsung pasien trauma kepala yaitu meningkatkan perfusi
pada struktur cerebral dengan tehnik endoskopi serebral dan oksigenasi, mencegah kerusakan
mempunyai resiko karena dapat mengganggu otak sekunder dan memberikan kondisi optimal
tekanan intrakranial, perfusi cerebral dan selama operasi.5 Hipnotik intravena dan inhalasi
oksigenasi secara bermakna. Gangguan pada rutin digunakan dalam bedah saraf. Pada kasus
110 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Gambar 6. Posisi True Lateral dengan Ganjalan Gambar 7. Posisi True Lateral dengan Pemasangan
Bantal Axillary Roll
Dikutip dari: Schubert A.12 Dikutip dari: Schubert A.12

ini digunakan kombinasi penggunaan inhalasi menimbulkan kondisi imbalance elektrolit yaitu
dan intravena. Pertimbangan biaya juga menjadi hiperkalemia. Anandh dkk dalam penelitiannya
perhatian karena batasan cakupan klaim. N2O pada 20 pasien terjadi peningkatan kalium serum
sebaiknya tidak digunakan untuk menghindari 0.82±0.55 mmol/L.10 Pada prosedur kasus ini
peningkatan tekanan intrakranial karena resiko digunakan normal salin sehingga kejadian post
emboli udara vena (venous air embolism/VAE) operatif hiperkalemia tidak terjadi. Tetapi dari
dan resiko difusi gelembung udara ventrikel. litertur penggunaan normal salin mempunyai
Hiperventilasi ringan dapat dilakukan untuk efek merusak komposisi liquor serebrospinal
menurunkan volume intrakranial.9 pada penggunaan lama. Tinggi cairan yang
menggunakan passive gravity diusahakan kurang
Pemberian mannitol juga mempunyai tujuan yang dari 1 meter seperti pada operasi ini, karena
sama. Tatalaksana kasus ini diberikan mannitol penelitian menunjukkan diatas 1 meter dapat
untuk menurunkan volume intrakranial. Oleh menyebabkan kenaikan TIK.9
karena rapid emergence merupakan salah satu
tujuan utama, direkomendasikan penggunaan Monitoring TIK selama tindakan dari literatur
remifentanyl selama prosedur yang dikombinasi dianjurkan kontinyu, baik memakai insersi
dengan hipnotik intravena atau inhalasi. kateter atau ultrasonografi. Jika tidak ada maka
Permasalahan di Indonesia preparat remifentanyl hemodinamik beat to beat bisa digunakan
masih terbatas. Fentanyl kontinyu menjadi sebagai alternatif. Perhatian khusus lain adalah
pilihan. Perhatian pada termoregulasi harus terjadi masif bradikardi sampai henti jantung
selalu dilakukan terutama pada pasien anak- akibat manipulasi yang merangsang posterior
anak yang beresiko mengalami hipotermi selama hipothalamus. Kejadian ini terutama endoskopi
neuroendoskopi karena besarnya pertukaran pada kasus ventriculostomi. Pada evakuasi
cairan irigasi dengan cairan cerebrospinal hematoma seperti kasus ini perhatian khusus
ventrikel dan karena lokasi operasi yang basah. lebih kepada terjadinya perdarahan pada vassa
Sehingga pemantauan temperatur kotinyu intraserebral, sehingga pandangan operator
ideal untuk dilakukan. Karena keterbatasan terganggu. Regulasi tensi dan komunikasi antara
probe temperatur core maka kami lakukan operator dan ahli anestesi penting. Persiapan
pemantauan temperatur perifer kontinyu aksila. emergency open craniotomy tetap harus
Selain termoregulasi, yang berhubungan dengan diantisipasi jika minimal invasif gagal.5,9,10 Defisit
irigasi adalah jenis cairan yang digunakan. neurologis sementara, contohnya pada pasien
Ahli anestesi harus tahu jenis cairan yang yang terlambat bangun, kebingungan, kehilangan
digunakan. Penggunaan ringer lactat (RL) ingatan, disfungsi papil sementara, atau hemiplegia
Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive 111
Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika

sementara, merupakan komplikasi post operatif IV. Simpulan


yang paling sering terjadi (8–38%). Meta analisis
luas pada 2985 kasus ETV, Bouras dan Sqouros Tehnik minimal invasif neuroendoskopi
melaporkan bahwa pada periode postoperatif bukannya tanpa resiko, dari penyajian diatas maka
awal, infeksi CNS (meningitis, ventrikulitis) beberapa permasalahan yang harus mendapat
ditemukan pada 1,81%. Pada 2 kasus, infeksi perhatian khusus oleh seorang ahli anestesi untuk
cairan cerebrospinalis berlanjut menjadi sepsis. mendapatkan keberhasilan operasi. Beberapa
Kebocoran cairan cerebrospinalis ditemukan literatur mendukung tehnik tersebut lebih unggul
pada 1,61% kasus. Komplikasi perdarahan dibandingkan konvensional, tapi hanya berlaku
postoperatif ditemukan pada 0,81% pasien pada kasus-kasus tertentu. Penggunaan dalam
yang meliputi subdural hematoma, perdarahan bidang trauma masih sedikit, baik laporan
intraventrikuler, hematoma intracerebral dan kasus tertulis ataupun studi literatur. Diperlukan
hematoma epidural. Higroma subdural ditemukan komunikasi yang baik antara ahli bedah dan
pada 0,27% pasien.9 Dari pertimbangan tersebut ahli anestesi. Pemilihan tehnik anestesi antara
maka pasien kami observasi di ruangan intensif lokal dan general juga belum didapatkan data
setelah tindakan. Pantauan pascaoperasi tidak penelitian keunggulan masing-masing tehnik.
didapatkan tanda-tanda komplikasi diatas. Prinsip tatalaksana anestesi pada minimal
invasif yang harus dicapai adalah pemeriksaan
Posisi operasi menggunakan posisi true lateral dan perencanaan preoperatif yang baik, kontrol
karena area operasi pada satu sisi temporal. hemodinamik serebral untuk menjamin CPP
Kerugian posisi ini adalah kemungkinan terjadi optimal, immobilisasi penuh, dan dapat dilakukan
kelumpuhan saraf popliteal akibat bantalan yang rapid emergence untuk menilai status neurologis.
kurang adekuat pada daerah fibula. Selain itu
penggunaan axillary roll harus tepat agar dapat Daftar Pustaka
melindungi struktur saraf dan vaskuler pada
bagian axillar. Axillary roll sebaiknya tidak 1. Taussky P, Widmer HR, Takala J, Fandino J.
diletakkan terlalu dalam pada axillar karena posisi Outcome after acute traumatic subdural and
yang tepat dapat sedikit mengangkat toraks dan epidural hematoma in Switzerland: a single
dekompresi pada ipsilateral aksila. Pada posisi center experience. SWISS MED WKLY
lateral, lengan seringkali diposisikan pada double 2008; 138(19-20): 281–5.
armboard, papan atau bantalan yang terbuat dari
logam yang dikaitkan pada meja pembedahan 2. Povlishock JT, Bullock MR. Guidelines for
setelah memposisikan pasien. Kelumpuhan saraf management of severe traumatic brain injury.
radialis bisa terjadi karena penempatan posisi Journal of Neurotrauma. 2007; 24(1): 100–6.
pasien yang kurang tepat dan terjadi penekanan
nervus radialis yang terus menerus akibat tekanan 3. Marik PE, Varon J, Trask T. Management of
bagian tepi armboard. Pada sistem kardiovascular head trauma. CHEST. 2002; 122:699–711.
posisi tersebut mempengaruhi penurunan volume
ventilasi pada dependent lung jika pasien 4. Schubert A, Deogaonkar A, Lotto M,
teranestesi. Curah jantung tidak berubah selama Niezgoda J, Luciano M. Anesthesia for
tidak ada obstruksi. Setiap perpindahan posisi minimally invasive cranial and spinal surgery.
harus dimonitoring patensi jalan nafas, pernafasan J Neurosurg Anesthesiol. 2006; 18(1):47–59.
dan hemodinamik.11,12 Posisi ini menjadi perhatian
khusus pada operasi kasus ini, pemberian pading 5. Gopinath SP, Robertson CS. Management of
aksila dan bantal disesuaikan dengan ukuran severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Smith
badan pasien. Komplikasi akibat posisi harus DS, eds. Anesthesia and Neurosurgey. Edisi
dihindari karena rentan mempengaruhi luaran 4. USA: Mosby;2001, 663–91.
operasi.
6. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative
112 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

management of traumatic brain injury. Int J Explicative Cases of Controversial Issues in


Crit Illn Inj Sci 2011; 1(1):27–35. Neurosurgery. INTECH Pub. 2012. 35–42.

7. Martiniuc C, Dorobat GH. Polytrauma with 10. Fabregas N, Craen RA. Endoscopic and
severe traumatic brain injury. Romanian stereotactic neurosurgery. Current Opinion in
Neurosurgery. 2010;17(1):108–13. Anaesthesiology. 2004;17:377–82.

8. Lovell MR, Echemendia RJ, Barth JT, Collins 11. Patel SJ, Wen DY, Haines SJ. Posterior fossa:
MU. Traumatic brain injury in sports: an surgical consideration. Dalam: Cottrell JE,
international neuropsychological perspective Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery,
reviews. The NSZ J Head Trauma Rehabil. edisi-4, Missouri; Mosby, Inc; 2001, 319–33.
2005;20(1):110–3.
12. Schubert A. Positioning injuries in anesthesia:
9. Kalmar AF, Dewaele F. Anaesthetic an update. Advances in Anesthesia. 2008;
management of patients undergoing 26,:31–65.
intraventricular neuro-endoscopic
procedures. Dalam: Signorelli F, ed.
Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera Kepala Berat

Radian Ahmad Halimi*), Nazaruddin Umar**), Margaritta Rehata ***), Siti Chasnak Saleh***)
*) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Melinda-2 Bandung, **) Departemen Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Suamtra Utara/RS Adam Malik Medan, ***) Departemen Anestesiologi
dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS. Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Cedera otak traumatika (COT) merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbesar di Amerika dan negara
industri lainnya di dunia. Anak dari usia balita hingga remaja yang mengalami cedera otak berat biasanya akan
dapat menghadapi kecacatan yang signifikan selama beberapa dekade. Seorang anak laki-laki berumur 3 tahun
dengan diagnosa cedera kepala berat akibat perdarahan subdural di temporo occipital kiri dan fraktur terdepresi
yang disebabkan karena jatuh dari ketinggian tiga meter, direncanakan dilakukan kraniektomi dekompresi karena
terjadi penurunan kesadaran signifikan. Berbagai komplikasi dan permasalahan terjadi yakni perdarahan masif
intraoperatif, edema otak kongestif disertai demam pascaoperasi di ruang perawatan intensif, hingga akhirnya
pasien dapat pindah ke ruang perawatan biasa dan dilakukan rawat jalan. Penanganan COT berat memerlukan
kemampuan seorang ahli anestesi dalam melakukan resusitasi otak dengan ABCDE neuroanestesi, kontrol
terhadap hipertensi intrakranial, neuroproteksi dan neurorestorasi.

Kata kunci: Cedera kepala berat, neuro resusitasi, komplikasi pascaoperasi

JNI 2016;5(2): 113–18

Perioperative Treatment Pediatric Patients with Head Injuries

Abstract

Traumatic brain injury (TBI) is the largest cause of death and disability in the United States and other industrialized
countries in the world. Young age patient who suffered severe TBI typically face significant disability for decades.
A 3 years old boy with diagnosis of severe TBI as a result of subdural hemorrhage in the left temporo occipital
and fracture depressed due to fall from a height of three meters, was planed to perform decompresive craniectomy
because decreased conciouseness significantly.Various complications and problems occur, intraoperative masive
bleeding, postoperative diffuse brain edema with persistent hyperthermia on the intensive care unit, until the
patient can be moved to a regular ward and can be done outpatient. The management of severe head injury
requires the ability of an anesthesiologist in performing brain resuscitation with ABCDE neuroanesthesia, control
of intracranial hypertension and neurorestoration.

Key words: Neuro resuscitation, postoperative complications, severe head injury.

JNI 2016;5(2): 113–18

113
114 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kepala karena jatuh dari ketinggian 3 meter


I. Pendahuluan sejak 12 jam sebelum masuk ke rumah sakit,
saat masuk ke rumah sakit pasien masih dalam
Cedera otak traumatika (COT) merupakan kondisi sadar penuh namun terjadi penurunan
penyebab kematian dan kecacatan terbesar di kesadaran yang signifikan sehingga direncanakan
Amerika dan negara industri lainnya di dunia. untuk dilakukan tindakan operasi kraniotomi
Insidensi kejadian COT secara keseluruhan dekompresi. Berdasarkan anamnesis didapatkan
di Amerika adalah 200 per 100.000 orang per tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
tahunnya dan COT derajat berat adalah 20 per (TIK) berupa muntah, nyeri kepala hebat dan
100.000 orang per tahunnya. Anak dari usia penurunan kesadaran. Didapatkan pula riwayat
balita hingga remaja yang mengalami cedera otak kejang dan diberikan obat diazepam per rectal.
berat biasanya akan dapat menghadapi kecacatan Terdapat kelemahan pada anggota gerak badan
yang signifikan selama beberapa dekade. Pada sebelah kanan. Tiga puluh menit sebelum
kenyataan yang terjadi, permasalahan sulit yang dilakukannya tindakan operasi terjadi penurunan
akan terjadi pada pasien-pasien dengan COT kesadaran yang signifikan sehingga diputuskan
berat adalah gangguan fungsi perilaku, walaupun untuk dilakukan tindakan operasi setelah
fungsi motorik dan koordinasi telah membaik, dilakukannya resusitasi terlebih dahulu.
namun gangguan fungsi kognitif dan emosional
dapat tetap menahun.1 Evaluasi Preoperatif
Penyebab utama COT pada anak-anak dan
remaja adalah akibat trauma tumpul. Kejadian Pemeriksaan fisik
kecelakaan akibat kendaraan bermotor, baik Tekanan darah: 130/70 mmHg, laju nadi; 113/
sebagai penumpang atau korban kecelakaan menit, laju nafas: 26x/menit, SpO2: 99%
lalulintas merupakan penyebab tersering COT (dengan 3lt O2 melalui kanula binasal) and S:
pada semua grup umur lebih dari satu tahun. 37,8 oC, BB:13 kg.
Jatuh dari ketinggian merupakan salah satu
mekanisme penyebab COT paling sering yang Status neurologis
terjadi pada anak balita dan remaja, biasanya Kesadaran: GCS – E2M4V2, pupil isokor dengan
terjadi hampir pada seluruh grup usia pediatrik, reflex pupil yang positif. Didapatkan kondisi
namun insidensinya paling sering terjadi pada hemiparese pada tubuh bagian kiri.
anak dengan interval usia 5 hingga 9 tahun.
Sekitar 170 per 100.000 anak dirawat di rumah Pemeriksaan laboratorium
sakit karena COT dengan mekanisme trauma Empat jam sebelum operasi: Hemoglobin 11,2,
jatuh dari ketinggian.1 Hematokrit 31,6, Leukosit 26.500, Trombosit
Pemahaman mengenai mekanisme kejadian COT 295.000. Satu jam sebelum operasi Hemoglobin
dari tempat kejadian trauma hingga perawatan 9,2, Hematokrit 27, Leukosit 32300, Trombosit
secara komprehensif di rumah sakit merupakan 201.000, Natrium, 138, Kalium 4,6, PT 15,0,
hal penting yang dapat menurunkan tingkat INR 1,04, APTT 22,5.
mortalitas dan morbiditas yang dapat diukur
dengan menggunakan skala Glasgow Outcome Pengelolaan Anestesi
Scale (GOSE).2 Tujuan laporan kasus ini adalah Induksi anestesia dilakukan dengan thiopental
untuk membahas mengenai permasalahan dan 3mg/kgBB, fentanil 3ug/kgBB, dan vecuronium
komplikasi-komplikasi perioperatif yang terjadi 0,1 mg/kgBB. Rumatan anestesia dilakukan
pada pasien pediatrik dengan cedera kepala berat. dengan total intravenous anesthesia (TIVA)
dengan thiopental, fentanil dan vecuronium.
II. Kasus Saat operasi terjadi perdarahan sebanyak 1,3 liter
karena fraktura terdepresi memotong pembuluh
Anamnesa darah vena besar hingga terjadi periode syok
Seorang anak usia 3 tahun mengalami trauma perdarahan berat, namun setelah dilakukan
Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera 115
Kepala Berat

Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan 8 jam Preoperasi Pemeriksaan 4 Hari Pascaoperasi

resusitasi dan pemberian darah serta plasma menurun walau telah diberikan parasetamol
hemodinamik dapat kembali stabil walau telah intravena. Saat dilakukan pemeriksaan pupil
terjadi periode syok yang cukup lama kurang mata ditemukan tanda-tanda lateralisasi berupa
lebih 1 jam hingga dokter bedah saraf dapat pupil anisokor dan keluarnya jaringan otak dari
mengontrol perdarahan tersebut. Setelah terjadi bekas jahitan operasi serta permukaan kulit yang
syok, terjadi pembengkakkan otak akibat sempat distensi akibat peningkatan massa volume otak
terjadinya fase hipotensi yang cukup lama pada daerah bekas dilakukannya kraniektomi
hingga diputuskan untuk dilakukan kraniektomi sehingga diputuskan untuk dilakukan second tier
(tulang tengkorak tetap dibiarkan terbuka) untuk therapy dengan coma barbiturate, pemberian
dekompresi. manitol ulangan, kortikosteroid dan dilakukan
pemeriksaan CT-scan ulang. Pada pemeriksaan
Pengelolaan Pascabedah CT-scan ulang didapatkan peningkatan
Pasien dipindahkan ke ruang perawatan ICU dan pembengkakkan pada otak. Pada hari perawatan
dilakukan kontrol terhadap fungsi pernafasan ke-7 di ICU terjadi penurunan suhu yang disertai
menggunakan ventilasi mekanik dengan obat mengecilnya volume otak yang terlihat dari
pelumpuh otot sampai kadar hemoglobin permukaan kulit yang meregang serta hilangnya
terkoreksi dengan pemberian produk darah. tanda-tanda lateralisasi (pupil kembali isokor),
Dilakukan pemberian manitol ulangan, dilakukan dan kemudian dilakukan penyapihan alat
hiperventilasi dengan EtCO2 30–35 mmHg. bantu nafas. Pada hari perawatan ke-10 di ICU
Dilakukan strategi perlindungan otak dengan kesadaran pasien meningkat hingga GCS 9t
sedasi menggunakan thiopental. Diberikan dan dilakukan ekstubasi karena telah memenuhi
proton pump inhibitor, dilakukan head up 300 dan kriteria untuk ekstubasi. Pada hari perawatan ke-
diberikan obat analgetika parasetamol intravena 12 pasien pindah ke ruangan dengan kondisi GCS
serta dilakukan monitoring tanda-tanda vital 12 disertai kelemahan pada anggota gerak badan
ketat. bagian kiri, namun pasien telah mendapat nutrisi
Pada hari perawatan ke-3 di ICU kesadaran melalui oral. Pada hari perawatan ke-18 pasien
pasien membaik hingga GCS 7t namun masih dipulangkan dari rumah sakit dan direncanakan
belum dapat dilakukan penyapihan ventilasi rawat jalan. Pasien juga direncanakan untuk
mekanik karena mulai terjadi peningkatan suhu dilakukan fisioterapi rutin.
hingga 38,50C dan laju nafas pasien meningkat.
Pada hari perawatan ke-4 di ICU terjadi III. Pembahasan
penurunan kesadaran dengan peningkatan
suhu tubuh hingga 400 Celcius dan tidak Trauma kepala pediatrik memerlukan pendekatan
116 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 1. Penyebab Terjadinya Cedera Otak Tabel 2. Penatalaksanaan Hipertensi Intrakranial


Sekunder Pasien Cedera Otak Berat
Penyebab sekunder yang dapat menyebabkan Penatalaksanaan Hipertensi Intrakranial pada
terjadinya kerusakan otak hipoksik dan/atau Pasien Cedera Otak Traumatika Berat
iskemik 1. Melakukan pemasangan monitor intrakranial
Sistemik 2. Menjaga cerebral perfusion pressure antara
Hipoksemia 50 dan 70 mmHg
Hipotensi Terapi First-Tier
Anemia - Drainase Ventrikular (apabila tersedia)
Hipo/hiperkarbia - Manitol 0.25–1g/kg IV (dapat diulang bila serum
osmolaritas <320 mOsm/L dan pasien dalam
Pireksia kondisi euvolemik)
Hiponatremia Terapi Second-Tier
Hipo/hiperglikemia -Hiperventilasi hingga PaCO2 <30 mmHg
Intrakranial (direkomendasikan untuk monitoring SjO2,AVDO2
atau Cerebral Blood Flow (CBF)
Hematoma
-Terapi barbiturat dosis tinggi
Peningkatan Tekanan Intrakranial
-Dipertimbangkan dilakukan terapi hipertensi
Kejang
Infeksi -Dipertimbangkan dilakukan kraniektomi
dekompresi
Vasospasme
Dikutip: Cotrell and Young’s Neuroanesthesia 5th edition.3 Dikutip: Cotrell and Young’s Neuroanesthesia 5th edition.3

terhadap organ-organ tubuh lainnya untuk (barbiturat) karena dapat menurunkan cerebral
meminimalisir morbiditas dan mortalitas. Ukuran blood flow (CBF) dan cerebral metabolic
kepala anak yang kecil merupakan daerah yang rate (CMRO2) yang sesuai dengan dosis yang
paling sering mengalami kerusakan saat terjadinya diberikan. Pemberian barbiturat dalam dosis yang
trauma, dan organ-organ lain dapat terkena tinggi akan menurunkan CBF dan CMRO2 hingga
dampaknya. Algoritma bantuan hidup dasar harus 40% (penurunan maksimal) dari kondisi bangun.
segera dilakukan untuk memastikan jalan nafas Efek barbiturat menurunkan CBF dan CMRO2
yang aman, dan fungsi respirasi sirkulasi yang akan menyebabkan penurunan TIK. Menurut
adekuat. Pada anak kecil memiliki rasio kepala beberapa penelitian, barbiturat memberikan efek
dan badan yang lebih besar dibandingkan dewasa proteksi otak yang disebabkan karena selain efek
maka mekanisme cedera primer akibat trauma depresi metaboliknya. Thiopental bekerja dengan
yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan yang memblokade flux Na, K, dan kalsium, membuang
luas.3 radikal bebas, memblokade terjadinya kejang,
meningkatkan aliran darah regional.4 Pada kasus
Terapi yang dilakukan adalah melakukan ini trauma yang hebat akibat jatuh dari ketinggian
ABCDE neuroanestesi dengan menjaga jalan menyebabkan terjadinya kerusakan otak yang
nafas, menjaga sistem pernafasan pasien dengan luas diantaranya perdarahan subdural, kontusio
melakukan ventilasi mekanik, melakukan otak, dan fraktura terdepresi yang mengenai
resusitasi cairan untuk menjaga tekanan darah pembuluh darah yang berada dibawahnya,
agar CPP terjaga dalam batas autoregulasi dan sehingga saat dilakukan pengangkatan tulang
memberikan obat-obatan vasoaktif apabila tengkorak terjadi perdarahan hebat akibat
diperlukan. Terapi lainnya adalah menurunkan terkenanya pembuluh darah vena besar dan akibat
TIK yang terjadi dengan melakukan terapi hilangnya efek tamponade dari tulang tengkorak.
first tier dan second tier.3 Obat induksi yang Perdarahan masif mengakibatkan terjadinya
digunakan pada pasien ini adalah thiopental penurunan tekanan darah sistemik, sehingga
Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera 117
Kepala Berat

Tabel 3. Glasgow Outcome Scale Exended (GOSE) saat operasi, atau faktor komorbid lainnya)
The Extended Glasgow Outcome Scale (GOSE) sebaiknya dilakukan penyapihan dan penilaian
apabila kondisi pasien tersebut telah stabil.
S k o r Tingkat aktifitas
Pada pasien ini terjadi pembengkakkan otak
GOSE
yang kongestif disertai suhu yang meningkat
1 Mati batang otak yang diakibatkan oleh kerusakan pada daerah
2 Kondisi vegetatif thalamus.5 Berbagai permasalah timbul saat
3 Kelumpuhan ekstremitas bawah berat: terjadinya peningkatan suhu karena peningkatan
bergantung sepenuhnya pada orang suhu akan menyebabkan hasil luaran yang
lain buruk karena dapat menyebabkan terjadinya
4 Kelumpuhan ekstremitas atas berat: cedera otak sekunder pada pasien dengan COT.6
beberapa aktifitas tertentu bergantung Sehingga perlu dilakukan normalisasi terhadap
pada orang lain suhu dengan menggunakan obat-obat antidemam
5 Kelumpuhan ekstremitas bawah atau dapat juga dilakukan dengan pendinginan
sedang: tidak dapat kembali bekerja eksternal. Pada penanganan pascaoperasi
atau kembali pada aktifitas sosial trauma kepala juga diperlukan terapi nutrisi
yang adekuat dan sesuai dengan kebutuhan
6 Kelumpuhan ekstremitas atas sedang: metaboliknya, karena kondisi nutrisi yang baik
dapat kembali bekerja walau menurun dapat meningkatkan hasil luaran pada pasien
pada kinerjanya, dan aktifitas sosialnya dengan COT. Nutrisi sebaiknya dilakukan secepat
pun menurun mungkin apabila pasien telah memenuhi syarat
7 Kelumpuhan ekstremitas bawah yang untuk diberikannya nutrisi.9 Berbagai komplikasi
membaik: penyembuhan yang baik lain pada perawatan pascaoperasi diantaranya
dengan defisit aktifitas sosial yang adalah terjadinya pneumonia akibat penggunaan
minimal ventilator (ventilatory associated pneumonia/
8 Kelumpuhan ekstremitas atas yang VAP), pembengkakkan otak menahun yang
kembali membaik sepenuhnya menyebabkan sulitnya untuk dilakukannya
Dikutip: www.tbi-impact.org penyapihan dari ventilasi mekanik dan kondisi
vegetatif pada pasien cedera otak traumatik berat.
menyebabkan terjadinya pembengkakkan otak Pada pasien dengan COT berat yang telah
akibat vasodilatasi pembuluh darah. Mekanisme melewati fase kritis biasanya terdapat kerusakan
vasodilatasi pembuluh darah otak terjadi karena otak menahun dan menyebabkan kondisi
menurunnya cerebral perfusion pressure (CPP) kecacatan. Hasil luaran dari pasien COT berat
hingga dibawah batas autoregulasi tubuh, hal ini dapat diklasifikasikan dengan menggunakan
merupakan mekanisme kompensasi tubuh apabila suatu skala yang dinamakan glasgow outcome
terjadi penurunan tekanan darah sistemik untuk scale (GOSE), dimana semakin rendah nilai
mempertahankan perfusi otak tetap adekuat. GOSE seseorang maka angka mortalitas 2
Pada perawatan pascaoperasi, pasien perlu hingga 5 tahun kedepannya akan meningkat.10
dilakukan penilaian pemeriksaan fisik Pasien-pasien yang melakukan rawat jalan
dan neurologis secara rutin untuk melihat sebaiknya dilakukan fisioterapi agar dapat
perkembangan dan memastikan bahwa pasien menghasilkan hasil luaran yang lebih baik
tersebut telah pulih dari efek obat anestesi. dengan mengoptimalkan fungsi-fungsi tubuh
Meskipun ekstubasi endotrakheal dan yang telah rusak. Proses yang dilakukan untuk
pemeriksaan kesadaran pertama kali sebaiknya mengoptimalkan fungsi tubuh yang telah rusak
dilakukan di ruang operasi, namun pada pasien disebut juga dengan neurorestorasi.11
dengan kondisi yang tidak stabil (pasien yang
IV. Simpulan
kembali pulih dari obat anestesi yang lambat,
terjadi pemberian cairan atau darah yang banyak
Penanganan trauma kepala berat pada anak
118 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

memerlukan pemahaman ilmu mengenai fisiologi Anesthesiology.1996;84:1475–84


anak yang berbeda dengan orang dewasa serta 5. Kmyron D, Ginsberg, Busto R.
patofisiologi trauma kepala yang terjadi. Pada Combating hyperthermia in acute stroke.
penanganan cedera otak traumatika memerlukan Stroke.1998;29:529–34
intervensi seorang dokter dari tempat kejadian
hingga rawat jalan pasien. Perencanaan dan 6. Haddad SH, Arabi YM. Critical management
penanganan pasien cedera otak traumatika secara of severe traumatic brain injury in adults.
komprehensif bertujuan untuk meningkatkan Emergency Medicine.2012;20(12):1–15
hasil luaran pasien tersebut yang dinilai dengan
GOSE, sehingga dengan penanangan yang 7. Bullock R. Guidelines for the management
tepat dapat menurunkan angka mortalitas dan of severe traumatic brain injury. J
morbiditas hingga 5 tahun mendatang. Neurotrauma.2007;24(supp 1):s1–06

Daftar Pustaka 8. Grover VK, Babu R, Bedi SPS. Steroid


therapy-current indication in practice. Indian
1. Murgio A. Epidemiology of traumatic brain Journal of Anesthesia.2007;51(5):389–93
injury in children. Revista Espanola de
Neuropsicologia.2003;5(2):137–61 9. Campos BBNS, Machado FS. Nutrition
therapy in severe head trauma patients. Rev
2. Galanaud D, Stevens RD, Champfleur Bras Ter Intensiva.2012;24(1):97–105
NM, Ares GS, Masson F, Audibert G,
dkk. Assessment of white matter injury 10. Townend WJ, Guy MJ, Pani MA, Martin
and outcome in severe brain trauma: B, Yates DW. Head injury outcome
a prospective multicenter cohort. prediction in the emergency department: a
Anesthesiology.2012;117(6):1300–10. role for protein s-100b. J Neural Neurosurg
Psychiatry.2002;73:542–6
3. Soriano SG, Mcmanus ML. Pediatric
neuroanesthesia and critical care. Dalam: 11. Sadowsky CL, Becker D, Bosques G, Dean
Cotrell J, Young J, editors. Cotrell and Young’s JM, John W, Recio A, dkk. Rehabilitation
Neuroanesthesia. 5th ed. Philadelphia: in transverse myelitis. Continuum Lifelong
Elsevier Inc; 2010, 327–42 Learning Neurol.2017;17(4):816–30

4. Warner DS, Takaoka S, Wu B.


Electroencephalographic burst supression
is not required to elicit maximal
neuroprotection from pentobarbital model
in a model of focal cerebral ischemia.
Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita
dengan Kehamilan 22–24 Minggu

Fitri Sepviyanti Sumardi*), Nazaruddin Umar**), Margaritta Rehatta***), Siti Chasnak Saleh***)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Bayukarta Karawang, **) Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara/RS Adam Malik Medan, ***) Departemen
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS. Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Tujuh sampai 8% dari seluruh wanita hamil pernah mengalami trauma yang dapat menyebabkan kematian ibu
akibat traumanya, bukan akibat kehamilannya. Pengelolaan anestesi pada wanita hamil yang akan menjalani
operasi dengan anestesi umum di luar seksio sesarea, terutama operasi bedah kepala, memberikan tantangan
tersendiri kepada para ahli anestesi, karena terdapat 2 orang pasien yang harus dikelola agar menghasilkan
nilai luaran klinis yang baik untuk keduanya. Kami akan melaporkan seorang wanita 22 tahun G1P0A0 dengan
kehamilan 22–24 minggu, yang akan menjalani operasi evakuasi hematoma epidural akibat kecelakaan motor
yang terjadi sebelumnya, tanpa dilakukan seksio sesarea, mengingatkan usia kehamilan masih dalam trimester
kedua. Pertimbangan perubahan anatomi dan fisologis pada kehamilan, upaya agar aliran darah uteroplasenta
adekuat serta efek teknik dan obat anestesi terhadap otak dan aliran darah uteroplasenta harus dipikirkan secara
matang, karena faktor-faktor kritis akan menunjukkan derajat cedera kepala yang lebih berat, sehingga hasil nilai
luaran klinis ibu dan janin buruk. Pada kasus ini ini ibu dapat pulang dengan kehamilan yang baik.

Kata kunci: Cedera kepala, operasi bedah kepala, perubahan sistem tubuh selama kehamilan

JNI 2016;5(2): 119–29

Management of Anesthesia in Epidural Hematoma Evacuation with Pregnancy 22-24


Weeks

Abstract

Seven to 8% of pregnant women had experienced trauma that can lead to maternal deaths due to trauma not as result
of her pregnancy. Management of anesthesia in pregnant women who will undergo surgery with general anesthesia
outside caesarean section, especially neurosurgery, providing a challenge to the anesthesiologist, because there are
two patients who must be managed in order to have good clinical score outcomes for both patients. We will report
a 22-year-old woman who will undergo surgery epidural hematoma evacuation due to a motorcycle accident that
occurred previously, without performed caesarean section, reminiscent of gestation is still in the second trimester.
Consideration of anatomical and physiological changes in pregnancy and effort that uteroplacental blood flow
should be considered carefully, because critical factors will indicate the degree of head injury more severe, so that
the results of the clinical outcomes of mother and fetus is bad. In this case mother and her pregnancy can discharge
from hospital with good condition.

Key words: head injury, craniotomy, the body system changes during pregnancy

JNI 2016;5(2): 119–29

119
120 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan dengan tujuan menurunkan tekanan intrakranial


akan menyebabkan vasokontriksi umbilikus,
Trauma kepala merupakan trauma yang paling sehingga UBF akan menurun. Pasien dengan
banyak disebabkan karena kecelakaan lalu COT dapat mengalami hiperkapnia akibat
lintas. Cedera kepala traumatik merupakan salah adanya obstruksi jalan nafas. Pada pasien hamil
satu dari masalah utama di bidang kesehatan yang mengalami cedera kepala, hiperkapnia
karena dapat meningkatkan angka kematian dan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada
kecacatan pada usia dewasa dan anak. Cedera UBF juga, karena semua perubahan yang terjadi
kepala merupakan kedaruratan neurologik yang pada ibu secara automatis akan mempengaruhi
memiliki akibat yang kompleks, karena otak janin melalui plasenta.1,4,6 Tindakan intubasi
merupakan salah satu organ utama pusat kehidupan yang dilakukan saat pemberian anestesi umum
manusia.1 Tujuh sampai 8% dari seluruh wanita dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah,
hamil pernah mengalami trauma yang dapat peningkatan aliran darah otak dan volume darah
menyebabkan kematian ibu akibat traumanya, otak serta meningkatkan tekanan intrakranial.
bukan akibat kehamilannya. Pengelolaan anestesi Pada pasien cedera kepala dengan kehamilan
pada wanita hamil yang akan menjalani operasi yang dilakukan operasi otak tanpa disertai
di luar seksio sesarea, dan dilakukan dengan dengan seksio sesarea, peningkatan tekanan
anestesi umum, terutama operasi bedah kepala, darah mengakibatkan UBF meningkat, tetapi,
memberikan tantangan tersendiri kepada para karena UVR meningkat juga, maka peningkatan
ahli anestesi, karena terdapat 2 orang pasien UBF tidak terpengaruh. Pemberian obat-obatan
yang harus dikelola agar menghasilkan nilai anestesi dalam tatalaksana pun perlu pertimbangan
luaran klinis yang baik untuk keduanya.2 Pasien
dengan kehamilan mulai trimester 2 mengalami
perubahan-perubahan anatomi dan fisiologik luar
biasa selama kehamilan, persalinan dan beberapa
waktu pascasalin, dimana hal-hal tersebut dapat
mempengaruhi tehnik anestesi serta pemilihan
obat-obat anestesi, karena itu bagi para ahli
anestesi sangat penting pengetahuan secara detail
mengenai perubahan anatomi dan fisiologi tubuh
wanita hamil, terutama perubahan sistem susunan
saraf pusat, pernapasan dan kardiovaskular untuk
dapat mengelola pasien dengan tepat.1,3

Pemeliharaan aliran darah uteroplasenta


Gambar 1. Foto Ct-Scan Kepala
(uteroplacental blood flow/UBF) sangat penting
untuk kelangsungan hidup janin yang baik. UBF
dipengaruhi oleh tekanan arteri uterina (uterine lebih cermat pada pasien cedera kepala dengan
arterial pressure/UAP), tekanan vena uterin kehamilan. Banyak faktor yang menyebabkan
a(uterine venous pressure/UVP) dan resistensi obat-obatan tersebut berbahaya bagi janin.
pembuluh darah uterus (uterine vascular Perkiraan waktu yang paling berbahaya adalah
resistence /UVR). Maka semua keadaan yang 15 hari trimester pertama kehamilan, karena pada
menurunkan tekanan darah rerata ibu atau saat ini waktu penentuan embrio dapat terbentuk
meningkatkan UVR akan menurunkan UBF sempurna atau tidak.7 Hal inilah yang membuat
dan akhirnya akan terjadi penurunan umbilical penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan
blood flow (UmBF) yang dapat mengganggu kehamilan merupakan tantangan bagi para ahli
kesejahteraan janin.3,4,5 UBF dipengaruhi PaCO2. anestesi, karena menyangkut kehidupan ibu dan
Hiperventilasi yang mungkin dilakukan pada bayinya
pasien-pasien cedera kepala traumatik (COT)
Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural 121
pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

Gambar 4. Foto Pasien saat tiba di ICU dan


Dilakukan Penilaian Laju Nadi Janin.

150. Berhubung fasilitas yang sangat terbatas,


Gambar 2. Keadaan Hemodinamik Ibu dan Janin monitor yang dipasang hanya tensimeter, dan
selama Operasi. pulse oxymetri. Dilakukan anestesi umum
dengan memberikan fentanyl 75 µg, midazolam
II. Kasus 2 mg, propofol 100 mg dan rokuronium 30 mg.
O2 dibuka 100%, sevoflurane 2%. Dilakukan
Anamnesis intubasi dengan menggunakan pipa endotrakheal
Seorang perempuan 22 tahun dengan kehamilan (endotracheal tube/ETT) no 6.5 dengan
22–24 minggu, berat 56 kg, dan tinggi badan 155 kedalaman 19 cm. Untuk dosis pemeliharaan
cm dibawa ke unit gawat darurat Rumah Ssakit selama operasi diberikan O2:N2O 50:50 dan
Bayukarta Karawang. Pasien 4 jam sebelum sevoflurane 1%. rocuronium diberikan 5 mg
masuk rumah sakit mengalami kecelakaan setiap 30 menit selama operasi. Dexketoprofen
lalulintas dan terjatuh saat pasien dibonceng 50 mg diberikan sebagai analgesia pascaoperasi.
menggunakan sepeda motor, tanpa menggunakan Cairan selama operasi NaCl 0,9%: RL 2:1, total
helm. 2500 cc, perdarahan ± 500 cc, jumlah urin 100
cc. Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit
Pemeriksaan Fisik dan lama pasien dianestesi 2 jam. Tekanan darah
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan ibu 89/50–110/50 mmHg, Laju nadi ibu 95–110
umum GCS 12, pupil bulat isokor refleks cahaya x/menit dan laju nadi janin 130-158 x/menit.
+/+, tekanan darah 110/50 mmHg, laju nadi 100
x/menit, laju nafas 14 x/menit, SaO2 99% dengan Penatalaksanaan Pascabedah di ICU
nasal kanul 3 L/menit. Denyut jantung bayi 130 Pasien dipindahkan ke ruangan intensive care
x/menit. unit (ICU), setelah dilakukan ekstubasi dan
diberikan O2 10 L/menit menggunakan simple
Pemeriksaan Laboratorium dan CT-Scan mask non-rebreathing (SMRN). Skor Glasglow
Pemerikasaan laboratorium darah menunjukkan Coma Scale (GCS) 14, tekanan darah 124/68
Hb 9,4 g/dL, Ht 38%, Lekosit 10600, trombosit mmHg, laju nadi 98 x/menit, laju napas 20–24
265 ribu/µL, bleeding time (BT) 2 menit, x/menit, SaO2 100% dan laju nadi janin 158 x/
clotting time (CT) 6 menit. Pada pemeriksaan menit. Pasien menjalani perawatan di ICU
Ct-Scan: tampak perdarahan epidural di daerah selama 3 hari. Diberikan transfusi packed red cell
temporoparietal kiri dengan edema lokal, tidak (PRC) sebanyak 2 labu, karena hasil pemeriksaan
tampak fraktur, tidak terdapat midline shift. laboratorium pascaoperasi menunjukkan Hb 7 gr/
dL dan Ht 24%. Analgesia dexketoprofen 50 mg
Penatalaksanaan Anestesi dan tramadol 200 mg dalam 500 mL NaCL 0,9%
Pasien dibawa ke kamar operasi, pasien untuk 12 jam. Pasien kemudian dipindahkan ke
diposisikan head up 300 dan miring ke kiri ruangan rawat inap dengan GCS 15 dan pulang
122 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

ke rumah pada hari ke-7 sejak masuk rumah sakit. UBF, yang disebabkan karena hipotensi maternal
dengan keadaan ibu dan janin yang baik. dan perdarahan. Tehnik anestesi pada pasien
ini dilakukan dengan prinsip airway, breathing,
III. Pembahasan circulation, drugs, environment (ABCDE)
neuroanestesi yang mencegah terjadinya
Tujuan utama dari pengelolaan pasien hamil obstruksi jalan napas, hipoksemia, hiperkarbia
dengan cedera kepala adalah resusitasi ibu secara dan hipotensi yang dapat menyebabkan asfiksia
optimal dan penilaian keadaan janin secara dini. janin.1-3,4 Wanita hamil mengalami perubahan
Resusitasi pasien hamil dengan cedera kepala anatomi dan fisiologi tubuh agar dapat beradaptasi
sama seperti pengelolaan pasien cedera kepala dengan perubahan yang terjadi selama kehamilan,
pada umumnya, hanya perlu pertimbangan lebih sehingga kesehatan ibu dan janin tetap terjaga.
matang mengenai isu-isu perubahan anatomi Perubahan awal yang terjadi dipengaruhi secara
dan fisiologis selama kehamilan, obat-obatan hormonal, selanjutnya perubahan yang terjadi
anestesi dan pemeriksaan radiologik terhadap dihubungkan dengan efek mekanik karena
janin.3 Penilaian keadaan janin dilakukan pembesaran uterus, kebutuhan metabolik janin
sesegera mungkin setelah keadaan ibu stabil, dan yang meningkat dan penurunan resistensi
tetap dilakukan pemantauan secara ketat selama plasenta.4,7
pengelolaan anestesi.4,7 Pengelolaan anestesi pada Perubahan pada sistem saraf pusat adalah adanya
cedera kepala dilakukan berdasarkan pedoman penurunan minimum alveolar concentration
yang dikeluarkan Brain Trauma Foundation (MAC) menurun akibat dari adanya perubahan
Guideline 2007 yang dapat dimodifikasi pada fisiologik ibu hamil, terjadi karena peningkatan
pasien hamil.3 Pengelolaan melibatkan semua kadar plasma endorphins dan peningkatan kadar
bidang keilmuan yang terkait, team dokter yang dari progesteron (10–20 selama kehamilan),
menangani meliputi ahli bedah saraf, ahli anestesi, dimana progesteron mempunyai efek mendepresi
ahli kandungan, ahli radiologi dan ahli kesehatan susunan saraf pusat. Efek yang signifikan
anak.4,7 Pengelolaan ini tergantung dari derajat terlihat pada pemberian obat-obat anestesi
cedera kepala, keadaan ibu, umur kehamilan dan inhalasi. Peningkatan terhadap obat-obat anestesi
keadaan janin.4,7 intravena pun terjadi, terutama pada pemberian
Umur kehamilan pada pasien ini adalah 22– pentotal dan benzodiazepine.7-11
24 minggu, sedangkan batas terminasi umur Pada umumnya pemilihan obat-obatan anestesi
kehamilan untuk melahirkan bayi adalah umur berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskular,
kehamilan 32 minggu.4 Hal ini yang menjadi akan tetapi pada pasien-pasien bedah saraf
pertimbangan untuk tetap mempertahankan harus dipikirkan efeknya terhadap aliran darah
kehamilan, sehingga tidak dilakukan terminasi otak, laju metabolisme oksigen otak (CMRO2),
kehamilan pada pasien ini. Target utama autoregulasi, tekanan intrakranial dan lain-lain.
anestesi pada pasien ini adalah mempertahankan Secara umum obat-obatan anestesi intravena
haemodinamik ibu dan kesejahteraan janin menyebabkan penurunan aliran darah otak dan
dalam kandungan, jangan sampai terjadi asfiksia CMRO2. Penurunan aliran darah otak yang
intrauterin. Asfiksia janin (fetal asfiksia) adalah dipicu oleh sebagian besar obat anestesi intravena
suatu keadaan dimana terjadi hipoksemia, merupakan hasil dari penurunan laju metabolisme
hiperkarbia dan asidosis repiratorik serta sekunder karena depresi fungsi otak. Satu-satunya
metabolik. Kondisi ini bisa terjadi selama janin obat anestesi intravena yang meningkatkan
masih dalam kandungan. Kemungkinan terjadinya aliran darah otak dan CMRO2 adalah ketamin.1,12
asfiksia janin adalah insufisiensi uteroplacental, Pemberian obat-obatan anestesi intravena
abruptio placental, plasenta previa, tetani uterin, perlu pertimbangan dalam pengertian tentang
hipotensi maternal dan kompresi tali pusat yang transportasi obat melalui plasenta dan seberapa
disebabkan karena penurunan UBF.2,6,7 aman obat itu mempengaruhi kehamilan.
Oleh karena itu, untuk memelihara kesejahteraan Transportasi obat-obatan dari ibu ke janin
janin harus dijaga agar tidak terjadi penurunan tergantung dari konsentrasi obat dalam darah ibu,
Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural 123
pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

perfusi plasenta, struktur plasenta dan solubilitas otak dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi
serta konsentrasi obat tersebut dalam darah lainnya.1 Obat-obatan anestesi tersebut tidak
janin.6 Efek teratogenik pada beberapa literatur mempunyai pengaruh efek yang besar terhadap
menyatakan bahwa waktu paling berbahaya kesejahteraan janin dalam kandungan pasien,
adalah 15 hari trimester pertama kehamilan, karena usia kehamilan pasien kami trimester
karena pada saat ini embrio dapat terbentuk ke-2, sehingga masa organogenesis sudah
sempurna atau tidak. Pada penelitian tahun 1960 selesai, selain itu, dosis obat yang kami gunakan
menemukan bahwa kelainan kongenital utama merupakan dosis kecil dan konsentrasi obat yang
terjadi pada janin yang terpapar obat-obatan digunakan hanya cukup dalam konsentrasi darah
antara hari ke 13 sampai 60 usia kehamilan. ibu.
Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa Pada sistem jalan napas, terjadi edema jalan napas
wanita hamil yang menjalani operasi selain seksio sejak usia kehamilan 12 minggu menyebabkan
sesarea tidak menunjukkan kelainan kongenital kemungkinan sulit intubasi, sehingga dibutuhkan
pada bayi, meskipun sebagian dari mereka lahir ETT yang lebih kecil, biasanya nomer 6.5.
prematur.6,7 Peningkatan kebutuhan oksigen ibu dan janin
yang meningkat selama kehamilan, ditambahan
Pada kasus ini induksi dilakukan dengan dengan penurunan FRC serta pembesaran uterus
menggunakan fentanyl 75 µg, midazolam menyebabkan pasien dengan kehamilan mudah
2 mg, propofol 100 mg dan rokuronium 30 terjadi hipoksia. Padahal untuk operasi bedah
mg. Pemberian fentanyl pada aliran darah kepala diperlukan ukuran ETT sebesar mungkin
otak sulit dijelaskan dengan tepat kerena data yang dapat digunakan. Hal ini dikarenakan aliran
eksperimen yang berbeda. Akan tetapi, dosis darah otak berubah kira-kira 4% (0,95–1,75
kecil narkotik memberikan sedikit pengaruh ml/100 gr/menit) setiap mmHg perubahan PaCO2
pada aliran darah otak dan CMRO2, sedangkan antara 25–80 mmHg. Jadi, jika dibandingkan
dosis besar menurunkan aliran darah otak dan dengan normokapni, aliran darah otak dua kali
CMRO2.1,12 Walaupun propofol mempunyai efek lipat pada PaCO2 80 mmHg dan setengahnya
terhadap tekanan perfusi otak disebabkan oleh pada PaCO2 20 mmHg. Bila PaO2 < 50 mmHg,
menurunnya tekanan darah, efek hemodinamik akan terjadi serebral vasodilatasi dan aliran darah
yang tidak menguntungkan ini dapat dicegah otak akan meningkat. Suatu peningkatan PaO2
dengan menghindari efek konsentrasi puncak, hanya sedikit pengaruhnya terhadap resistensi
hal ini yang menjadi pertimbangan kami untuk pembuluh darah serebral. Pada manusia selama
menggunakan midazolam.1,12 operasi otak PaO2 jangan melebihi 200 mmHg.
Pengaruh PaCO2 dan PaO2 ini juga terjadi pada
Midazolam menyebabkan penurunan aliran darah UBF.1,3,4,7 Curah jantung yang menurun karena
otak dan CMRO2 secara paralel sampai 40%. posisi terlentang pun menyebabkan penurunan
Dibandingkan dengan pentotal, efek penekanan dari saturasi vena, hal ini mengakibatkan
metabolisme otak lebih sedikit. Pemberian penurunan dari saturasi O2 arteri.4,7 Pada pasien
midazolam dosis kecil pun tidak terlalu ini, karena fasilitas monitor yang terbatas kami
mempengaruhi tekanan intrakranial. Midazolam hanya dapat menjaga agar saturasi pasien tidak
juga memberikan hemodinamik yang lebih turun.
stabil.1,12 Rokuronium dipilih karena mempunyai Hiperventilasi juga merupakan suatu dasar
onset cepat dan lama kerja pendek dibandingkan tatalaksana neuroanestesi, hal ini ditujukan untuk
dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi menurunkan PaCO2 dan aliran darah otak.4,7
yang lain.12 Sebagai obat anestesi pemeliharaan Keadaan sedikit hiperventilasi dan hipokapnia
kami memilih sevofluran, dengan pertimbangan adalah faktor yang wajar pada kehamilan,
sevofluran mempunyai kelarutan yang rendah sehingga penurunan kadar PaCO2 yang
sehingga onsetnya cepat, mudah mengatur berlebihan merupakan seuatu yang tidak baik
kedalaman anestesi, efek proteksi otak dan paling pada pasien hamil yang menjalani operasi bedah
kecil menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak.3,4 Penurunan kadar PaCO2 yang terlalu
124 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

rendah akan menyebabkan transfer penurunan karena diharapkan Hb >9 gr/dL, sehingga aliran
transpor oksigen ke janin melalui plasenta, darah otak dan transportasi O2 ke jarigan perifer
akibat dari vasokonstriksi dari plasenta, sehingga tetap terjaga dan tidak mempengaruhi UBF.
menyebabkan hipoksia dan iskemia pada otak Penekanan vena cava inferior yang disebabkan
janin, ditandai dengan nilai luaran bayi yang pembesaran uterus pada posisi terlentang,
buruk.4,7,8,13-17Kadar hemoglobin yang rendah sehingga terjadi penurunan aliran balik vena ke
berpengaruh juga terhadap penyampaian oksigen jantung, menimbulkan keadaan yang disebut
ke janin, sehingga secara alamiah hemoglobin supine hypotensive syndrome. Sepuluh persen
janin mempunyai kemampuan lebih tinggi dari wanita hamil mengalami hal ini dan bila
dalam mengikat oksigen sebesar 50–80 mmHg tidak dikoreksi dengan cepat, dapat menyebabkan
daripada hemoglobin ibu, karena peningkatan asfiksia janin. Memiringkan pasien 150 ke arah
laju napas ibu bukan merupakan solusinya.4,7 kiri dapat membantu mengurangi terjadinya hal
Penggunaan O2 sampai ke jaringan perifer (VO2) tersebut.6,7
digambarkan dengan menggunakan persamaan Pada saluran pencernaan, akibat pembesaran
yang dipengaruhi oleh curah jantung (Q), kadar dari uterus menyebabkan sehingga lambung
haemoglobin dan perbedaan antara saturasi berputar dan spinter lambung membuka, serta
arteriovenous oxyhemoglobin, sebagai berikut: terjadi waktu pengosongan lambung yang
lebih lama. Hal ini mengakibatkan pasien
VO2= Q x 13,4 x Hb x (SaO2–SvO2) hamil mudah terjadi aspirasi, walaupun tidak
terbukti terjadinya peningkatan kadar keasaman
Pada pasien dengan sakit kritis, batas dilakukan lambung pada wanita hamil. Pemberian obat
tranfusi darah adalah Hb <7 gr/dL, karena anti muntah sebelum dimulai induksi sangat
beberapa literatur menyatakan dengan kadar Hb 7 membantu sebagai pencegahan.2,4 Pasien dengan
gr/dL masih dapat menjaga transportasi O2 sampai kehamilan atau trauma biasa dilakukan tehnik
ke jaringan perifer.18 Hematokrit mempengaruhi rapid sequence induction (RSI). Tujuan dari
aliran darah otak secara nyata. Bila hematokrit RSI adalah mencegah terjadinya aspirasi pada
meningkat di atas normal, aliran darah otak akan pasien yang tidak sadar dengan kemungkinan
menurun karena ada peningkatan viskositas darah, lambung penuh. Pada RSI intubasi dilakukan
sehingga pasien dengan pascabedah operasi tanpa menggunakan bag-valve-mask (BVM) dan
kepala diharapkan Ht 32–33%, atau kadar Hb hanya memberikan obat-obatan sedasi (seperti:
9–10 gr/dL.1,3 Hal ini yang menjadi pertimbangan midazolam, propofol) dengan obat pelemas otot
kami tetap melakukan tranfusi pada pasien ini, yang mempunyai masa kerja cepat (seperti:

Sebelum dilakukan ekstubasi perlu dilakukan penilaian sebagai berikut:


Tabel 2. Kriteria ekstubasi pada pasien pascaoperasi bedah saraf
Homeostatis Sistemik Homeostatis Otak
Normotermia (>360C) Metabolisme otak dan aliran darah otak
normal
Normovolemia, normotensi (70 mmHg < Tekanan intrakranial normal diakhir operasi
MAP < 120 mmHg)
Hipokapnia ringan/normokapnia (PaCO2 35 Profilaksis antiepilepsi
mmHg)
Tidak ada hiperosmolar (285±5 mOsm/kg) Posisi kepala head up adekuat
Hematokrit > 25% Saraf kranial untuk proteksi jalan napas intact
Tidak ada gangguan koagulasi
Dikutip dari: Penanganan neuroanesthesia dan critical care: cedera otak traumatik1
Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural 125
pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

Tabel 3. Penyebab Penurunan Aliran Darah Uterus


Penurunan Tekanan Perfusi Peningkatan resistensi vaskuler uterus
Penurunan Tekanan Arteri Uterus Vasokonstriktor endogen
Posisi Supine (kompresi aortocaval) Kathekolamin (stress)
Perdarahan/hipovolemia
Obat yang menyebabkan hipertensi Vasopressin (dalam respons terhadap
hipovolemia)

Peningkatan Tekanan Vena Uterus Vasokontriktor exogen


Kompresi vena cava Epinephrine
Kontraksi uterus Vasopressors (fenilefrin>efedrin)
Akibat yang menyebabkan hipertonus uterus Anestetika lokal (dalam konsentrasi tinggi)
(oksitosin, anestetika lokal)

Hipertonus otot skelet (kejang, Valsava)


Dikutip dari: Anestesi Obstetri5

succynilcholine, rocuronium). Kekurangan dari millitilter diganti dengan jumlah yang sama.
RSI adalah dapat terjadi peningkatan tekanan Bergantung pada kondisi pasien, perdarahan
darah dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan sebagian dapat diganti dengan cairan kristaloid
intrakranial, sehingga berdasarkan pertimbangan atau koloid untuk mempertahankan hematokrit ±
tersebut pada pasien dengan cedera kepala jarang 32–33%. Pemeliharaan cairan 1–1,5 ml/KgBB/
dilakukan RSI.6,7 Pada pasien ini juga tidak jam atau diganti 2/3 dari jumlah diuresis.1,19
dilakukan induksi dengan tehnik RSI, karena Data yang ada menunjukkan bahwa penggantian
pertimbangan tersebut dan diperkirakan lama volume atau ekspansi tidak mempunyai efek
puasa pasien cukup. Keputusan untuk dilakukan terhadap edema otak selama osmolalitas
ekstubasi atau tidak pada periode pascabedah serum dan tekanan onkotik dipertahankan, dan
kadang-kadang sulit. Pada saat ekstubasi bisa selama tekanan hidrostastik otak tidak sangat
terjadi kenaikan tekanan darah yang berbahaya meningkat (misalnya karena pemberian cairan
karena dapat menimbulkan hiperemia otak, yang berlebihan atau meningkatnya tekanan
edema otak bertambah, perdarahan kembali dan jantung kanan). Keadaan tersebut tidak berbeda
kenaikan tekanan intrakranial.1,3 baik dicapai dengan pemberian cairan kristaloid
atau koloid. Osmolalitas serum harus diperiksa
Selain itu, pertimbangan kesadaran prabedah berulang, dengan tujuan agar osmolalitas dalam
adekuat, operasi otak terbatas, tidak terjadi batas normal atau sedikit meningkat. Berbagai
laserasi otak yang luas, temperatur normal dan jenis cairan akan menyebabkan ekspansi volume
haemodinamik pasien stabil.1,3 Berdasarkan intravaskular yang berbeda, misalnya pemberian
hal-hal inilah, maka kami melakukan ekstubasi 1 L cairan kristaloid isotonik meningkatkan
di dalam kamar operasi. Aturan umum yang volume ± 200 ml, sedangkan 1 L cairan koloid
harus diikuti pada pemberian cairan rumatan meningkatkan volume ±750 ml.12 Penggunaan
selama pembedahan adalah menghindari cairan yang dapat menurunkan osmolalitas
penggunaan cairan yang hiperosmolar dan cairan harus dihindari. Lebih disukai NaCL 0,9%,
yang mengandung glukosa. Cairan kristaloid daripada Ringer Laktat (RL), karena NaCL 0,9%
yang mendekati isoosmolar diberikan dengan osmolalitasnya 308 mOsm/L, sedangkan RL 273
kecepatan cukup untuk mengganti urin yang mOsm/L, jadi NaCL 0,9% sedikit hiperosmolar
keluar dan insensible loss dengan jumlah setiap (osmolalitas tubuh manusia 290 mOsm/L).
126 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemberian RL dalam jumlah sedikit masih diperbolehkan, karena dapat mengakibatkan


aman. Jika diperlukan jumlah cairan yang lebih resiko perdarahan selama operasi.5-6 Tekanan
banyak, RL dapat diganti dengan cairan yang perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan arteri rerata
lebih isotonik atau cairan koloid. NaCL 0,9% bila dan peningkatan tekanan intrakranial, sehingga
diberikan dalam jumlah besar dan cepat dapat tekanan arteri rerata harus tetap dipertahankan
menimbulkan asidosis metabolik hiperchloremik antara 50–70 mmHg selama pengelolaan anestesi.
yang bergantung dosis. Bahaya keadaan tersebut Tekanan perfusi plasenta juga sangat dipengaruhi
belum jelas, namun pada binatang percobaan oleh tekanan arteri rerata ibu, walaupun pada
diperkirakan dapat menyebabkan vasokontriksi beberapa penelitian berbagai spesies memberikan
pembuluh darah ginjal. Untuk menghindari simpulan bahwa terdapat autoregulasi plasenta,
hal tersebut dapat dilakukan dengan mengatur tetapi sampai saat ini belum ada nilai pasti yang
pemberian NaCL 0,9% : RL, setiap pemberian dapat menunjukkan untuk luaran bayi yang
NaCL 0,9% sebanyak 3 botol, diberikan RL 1 bagus.4,5
botol (3:1).1,12 Dextrose hanya diberikan untuk
terapi hipoglikemia (bila kadar gula darah <60 Beberapa teori yang berhubungan dengan
mg%) agar kadar gula darah dapat dipertahankan perfusi plasenta dan transportnya, dan dalam
<150 mg%, karena adanya hiperglikemia bisa beberapa penelitian klinik menunjukkan hasil
menyebabkan eksaserbasi edema otak, iskemia yang signifikan. Pada satu penelitian klinik
dan nekrosis serebral.1 berupa observasi pada kehamilan lanjut, dimana
Semua keadaan yang menurunkan tekanan uterus mengalami dilatasi maksimal. Hal ini
darah rerata ibu atau meningkatkan UVR akan mengakibatkan otot-otot uterus tidak dapat
menurunkan UBF dan akhirnya akan terjadi menjepit pembuluh darah yang terbuka secara
penurunan umbilical blood flow (UmBF). Nilai tiba-tiba. Dari penelitian ini menunjukkan
normal UBF adalah 2% dari curah jantung, bahwa ibu yang mengalami hipotensi merupakan
dalam kehamilan dapat meningkat sampai 20%. penyebab utama terjadinya penurunan aliran
Pada kehamilan aterm, 10% dari curah jantung darah dari uterus dan plasenta. Pada karakteristik
atau ±500–700 ml/menit akan memasok uterus yang lain pembuluh darah uterus tidak dapat
dimana 80%-nya akan memasuki plasenta.3,19 melakukan respon O2 dan CO2, maka dari itu
Hipotensi sistemik ibu mengakibatkan tekanan terapi dengan memberikan oksigen pada ibu
perfusi melalui ruangan intervilli menurun, yaitu dengan resiko terjadinya asfiksia janin sangat
bila tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau diperlukan. Hubungan antara oksigenasi ibu dan
turun 30 mmHg dari tekanan sistolik semula. janin sangat komplek karena beberapa faktor
Pengetahuan tentang keberadaan autoregulasi ikut menentukan tekanan O2 dalam vena plasenta
masih dalam penelitian pada berbagai spesies. janin normal atau tidak.5,8,9 Beberapa faktor yang
Pada domba, UBF turun linier dengan turunnya mempengaruhinya:
tekanan darah yang menunjukkan tidak adanya 1. Asupan oksigen ke plasenta
autoregulasi, akan tetapi pada kelinci UBF 2. Peredaran darah uterus dan plasenta
dipertahankan konstan pada rentang yang lebar 3. Permeabilitas plasenta
dari tekanan darah.5,8,9 Tingkat dan lamanya 4. Pola perfusi plasenta
hipotensi terjadi dapat mengakibatkan gangguan 5. Tekanan O2 dalam arteri ibu dan konsentrasi
pada janin. Sirkulasi uteroplasenta yang hemoglobin
terganggu akan mempercepat terjadinya asfiksia 6. Bentuk kurva oksigen ibu dan janin
bayi, kondisi ini diperberat oleh kondisi penyakit
penyerta ibu sebelumnya, seperti diabetes Pada manusia, tekanan O2 pada vena umbilikalis
melitus, hipertensi kronis, atau preeklampsi.5,8,9 cenderung seimbang dengan vena uterus,
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg harus tidak pada tekanan O2 arteri. Tekanan O2 pada
dihindari, untuk memastikan perfusi plasenta umbilikal menstimulasi pertukaran O2. Tekanan
dan tekanan perfusi otak tetap terjaga, tetapi O2 pada vena umbilikal manusia meningkat
darah sistolik yang terlalu tinggi juga tidak pada pertengahan kehamilan dan menurun pada
Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural 127
pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

akhir kehamilan. Perubahan PO2 pada kehamilan masih dalam trimester kedua, janin dinilai belum
lanjut tidak meningkatkan hipoksia janin, hal ini mampu bertahan hidup sendiri dan kondisi janin
berhubungan dengan peningkatan konsentrasi dinilai dari perubahan denyut jantungnya masih
hemoglobin pada perkembangan kehamilan. Hal dalam batas normal, walaupun hampir mencapai
ini mempertahankan kandungan oksigen dalam batas tertinggi, 158 x/menit. Pemberian obat
vena umbilikal di sepanjang kehamilan.5,6,8,9,19 antiuterotonika dan menghindari obat-obat yang
Prinsip pengelolaan neuroanestesi yang dapat menyebabkan terjadi relaksasi dari uterus.
lain, seperti kontrol kadar gula darah, suhu, Pemantauan secara ketat terhadap ibu dan janin
hiperventilasi dan diuresis pun harus diperhatikan tetap dilakukan dengan alat-alat yang tersedia,
pada pasien hamil.3 Kadar gula darah ibu juga walaupun tidak dapat memberikan hasil nilai
harus dijaga, tidak boleh terlalu tinggi atau yang pasti. Hal-hal yang dapat kami lakukan
rendah, karena dapat berpengaruh terhadap kadar dengan menjaga hemodinamik ibu, sehingga
insulin janin, yang mengakibatkan nilai luaran diharapkan perfusi plasenta tetap terjaga. Tekanan
janin yang buruk. Kadar gula darah dikontrol darah ibu sempat menurun sesaat pada menit ke-
antara 100–150 mg/dL.7 Hipotermia merupakan 15, pemberian efedrin 5 mg dilakukan sebagai
salah satu tatalaksana yang biasa yang dilakukan upaya untuk menjaga agar tekanan darah ibu
pada pasien-pasien yang menjalani operasi bedah tetap stabil, tekanan arteri rerata ibu dijaga antara
kepala. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk 50–70 mmHg. Pemilihan analgesia yang adekuat
menurunkan kebutuhan metabolik otak dan dilakukan untuk mengurangi efek vasodilatasi
organ tubuh lain, sehingga aliran darah ke otak yang berlebihan akibat pemberian obat-obat
tetap terjaga.3 Suhu dapat diturunkan sampai 30 anestesi, tetapi tetap tercapai balance anesthesia
0
C, tetapi hal ini dapat memberikan pengaruh dan hemodinamik ibu serta relaksasi uterus tetap
yang buruk terhadap janin, ditandai dengan terjaga.
peningkatan atau penurunan denyut jantung
janin.2,4,7 Pada kasus ini suhu ibu dipertahankan IV. Simpulan
normotermi. Perubahan pada denyut jantung
janin merupakan suatu tanda buruk kelangsungan Prinsip pengelolaan pasien hamil yang menjalani
hidupnya, karena menandakan telah tejadi operasi bedah kepala mempunyai pertimbangan
hipoksia dan iskemia otak janin, dimana dapat yang sama dengan prinsip pengelolaan pasien
berakibat kematian janin.4,5,8-11,13-17 hamil yang mejalani operasi di luar seksio sesarea
Pengelolaan diuresis dengan pemberian obat- pada umumnya. Pengelolaan pasien hamil yang
obat diuretika pada operasi bedah kepala, dapat dilakukan tindakan pembedahan diluar seksio
menyebabkan perubahan fisiologis pada janin sesarea harus melibatkan team dokter ahli dari
juga, terjadinya penurunan produksi cairan berbagai disiplin ilmu dan mempertimbangkan
paru-paru, aliran darah-ginjal yang menurun perubahan anatomi dan fisiologi pada kehamilan,
dan peningkatan kadar natrium plasma janin.3 agar hasil nilai luaran ibu dan janin bagus.
Pada penelitian hewan percobaan, hal-hal ini Hemodinamik yang stabil dan keadaan se-
menyebabkan dehidrasi pada janin, walaupun fisiologis mungkin pada kehamilan merupakan
pada manusia, pemberian manitol dosis kecil kunci utama dalam mengelola pasien hamil.
0,25–0,5 mg/KgBB dinilai masih dalam batas Tekanan darah rerata antara 50–70 mmHg
aman untuk ibu dan janin.4,7,8-11,13-17 Pemantauan dinilai dapat menjaga tekanan perfusi ke otak
secara ketat terhadap ibu dan janin tetap harus dan perfusi plasenta. Sedikit hiperventilasi dan
dilakukan. Pada kasus yang kami tulis ini hipokapni merupakan fisiologis yang normal
melibatkan team dari berbagai bidang ilmu, pada kehamilan, sehingga penurunan PaCO2
informed consent, pengelolaan dasar-dasar tidak kurang dari 25 mmHg, karena dapat
neuroanestesi dilakukan dengan pertimbangan menyebabkan hipoksia dan iskemia otak janin.
perubahan-perubahan anatomi dan fisiologis Nilai luaran janin juga dapat tetap bagus, karena
tersebut. Tidak dilakukan terminasi kehamilan, menurut beberapa penelitian menyatakan bahwa
dengan pertimbangan bahwa usia kehamilan plasenta mempunyai autoregulasi tersendiri,
128 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

walaupun tidak ada nilai pasti, karena semua 9. Tomimatsu T, Kakigano A, Mimura K,
penelitian mengenai hal ini terbentur masalah Kanayama T, Koyama S, Fujita S, et al.
etika kedokteran. Maternal carbondioxide level during labor
and its possible effect on fetal cerebal
Daftar Pustaka oxygenation: mini review. J Obstet Gynaecol
Res. 2013; 39: 1–6.
1. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan
critical care: cedera otak traumatik. Bandung: 10. Sharma D, Vavilala MS. Perioperative
Universitas Padjadjaran; 2012. management of adult traumatic brain injury.
Anesthesiol Clin. 2012; 30: 333–46
2. Tawfik MM, Badran BA, Eisa AA, Barakat
RJ. Simultaneous caesarean delivery and 11. Graham EM, Ruis KA, Hartman AL,
craniotomy in a term pregnant patient with Norhington FJ, Harold EF. A systematic
traumatic brain injury. Saudi J Anesth 2015; review of the role of intrapartum hypoxia-
9(2): 207–10 ischemia in the causation of neonatal
encephalopathy. AJOG 2008; 94(6): 585–95.
3. Bendo AA. Perioperatif management of adult
patients with severe head injury. Dalam: 12. Saleh SC. Cairan untuk tindakan bedah
Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell otak. Dalam: Saleh SC, editor. Sinopsis
and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5, Neuroanestesia Klinik, edisi ke-2, Surabaya:
Philadelphia: Mosby; 2010, 317–26 Zifatama; 2013, 49–60

4. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for 13. Elliot C, Warrick PA, Graham E, Hamilton
neurosurgery in the pregnant patient. Dalam: EF. Graded classification of fetal heart rate
Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell tracing: association with neonatal metabolic
and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5, asidosis and neurologic morbidity. AJOG
Philadelphia: Mosby; 2010, 416–24 2010; 26(6): 317–25.

5. Bisri DY, Bisri T. Anatomi dan fisiologi wanita 14. Furuya A, Matsukawa T, Ozaki M, Kumazawa
hamil. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, T. Propofol anesthesia for cesarean section
Suwondo BS, editor. Anestesi Obstetri, edisi successfully managed in patient with
ke-1, Bandung: Saga Olah Citra; 2013, 1–14. moyamoya disease. J Clin Anesh. 1998;10:
242–45.
6. Gambling DR, Bucklin BA. Physiologic
changes of pregnancy. Dalam: Gravalee GP, 15. Unterrainer AF, Steiner H, Kundt MJ.
editor. A Practical Approach to Obstetric Caesarean section and brain tumor resection.
Anesthesia, edisi ke-1, Philadelphia: Br J Anaesth. 2011; 107: 111–12
Lippincott Williams and Wilkins; 2009, 3–25.
16. Dyer RA, van Dyk D, Dresner A. The use of
7. Reitman E, Flood P. Anaesthetic uterotonic drugs during caesarean section. Int
considerations for non-obstetric surgery J Obstet Anesth. 2010; 19: 313–19.
during pregnancy. Br. J Anaesth 2011;
107(51): 172–78. 17. Bateman BT, Berman MF, Riley LE, Leffert
LR. The epidemiology of postpartum
8. Musin C, Marwoto. Aliran darah hemorrhage in large, nationwade sample
uteroplasenta. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih delivery. Anesth Analg 2011; 110:1368–73
S, Suwondo BS, editor. Anestesi Obstetri,
Edisi ke-1, Bandung: Saga Olah Citra; 2013, 18. Morino DJ, Anemia and red blood cell
41–5. transfusions in the ICU. Dalam: Brown
Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural 129
pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

B, editor. The ICU Book, edisi ke-3, BS, editor. Anestesi Obstetri, edisi ke-1,
Philadelphia: Lippincott Williams and Bandung: Saga Olah Citra; 2013, 223–38
Wilkins; 2007, 659–80

19. Rahardjo S, Uyun Y. Trauma pada kehamilan.


Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwondo
Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma di
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Imam Hidayat*), Rahadian Indarto Susilo**), Zafrullah Khany Jasa***)


*)Bagian Bedah Divisi Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, RSU Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh, **)Bagian Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, ***)Bagian Anestesi dan
Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstrak

Kraniofaringioma merupakan tumor intrakranial yang terdapat pada fosa hipofisis dan sepanjang sisterna
suprasellar hingga hipotalamus. Defenisi kraniofaringioma menurut WHO adalah tumor jinak pada daerah sella
yang berasal dari kantong ratkhe epithelial yang mana insidensinya 1,34 pasien per 1 juta penduduk. Usia rata-rata
pasien adalah 0 – 14 tahun dimana usia puncak terjadinya tumor ini berada diantara 5 hingga 14 tahun. Dilaporkan
seorang laki-laki 22 tahun datang ke Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan keluhan nyeri
kepala, mual, muntah, penurunan tajam penglihatan dan jika berjalan sering menabrak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan penurunan tajam penglihatan dan defek lapangan pandang lateral serta ditemukan pupil anisokor 4
cm/ 2 cm. Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan nilai yang normal, thyroid stimulating hormon (TSH) normal,
dan prolaktin serum normal. Pada pemeriksaan MRI kepala dengan kontras ditemukan massa berukuran 5,12cm x
2,63 cm menonjol dari sella tursika berbatas tegas dan terisi kontras. Terhadap pasien dilakukan prosedur operasi
kombinasi frontolateral dan pterional serta dilakukan total removal tumor. Hasil histopatologi pascaoperasi
menunjukkan suatu adamantinomatous kraniofaringioma. Komplikasi yang muncul pasca pembedahan pada
pasien ini adalah terjadinya diabetes insipidus.

Kata kunci: Kraniofaringioma, prosedur pembedahan frontolateral dan pterional, diabetes insipidus

JNI 2016;5(2): 130–37

Combination Frontotemporal and Pterional Operative Approach in Craniopharyngioma


in dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh

Abstract

Craniopharyngioma is an intracranial tumor that occurs in the region of the pituitary fossa and suprasellar
cisterns along to the hypothalamus. Craniopharyngioma is brain tumor which is defined by WHO as a benign
tumor in the sella region derived from Ratkhe pouch epithelium in which the incidence is 1.34 patients per 1
million population. The average age of patients was 0-14 years of age peaks where the tumor is located
between 5 and 14 years. Reported a man 22 years old came to the General Hospital dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh with symptoms of headache, nausea, vomiting, decreased vision acuity. On physical examination found
a decrease in visual acuity, lateral visual field defects, and found the anisokor pupil 4 cm / 2 cm. In routine
blood tests found normal value, normal Thyroid Stimulating Hormon (TSH) and normal serum prolactin.
MRI head with contrast was found mass measuring 5,12cm x 2.63 cm protruding from the sella tursika
demarcated and filled with contrasts. Currently treated by surgical total removal tumor with combination of
frontolateral and pterional surgery approach. Postoperative histopathologic results showed a adamantinomatous
craniopharyngioma. In this case, complication that occur after surgery procedure is diabetes insipidus.

Key words: craniopharyngioma, surgical frontolateral approach, diabetes insipidus

JNI 2016;5(2): 130–37

130
Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma 131
di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

1. Pendahuluan tumor memiliki manfaat dalam menekan produksi


cairan kista dan kekambuhan tumor. Pendekatan
Kraniofaringioma merupakan tumor intrakranial operasi kraniofaringioma melalui prosedur
yang terdapat pada fosa hipofisis dan sepanjang minimal invasif dengan harapan dapat dilakukan
sisterna suprasellar hingga hipotalamus. Salah reseksi maksimal dari tumor akan memberikan
satu ciri khas utama tumor ini adalah timbul dari hasil yang baik pada pasien.4-5
sella baik intrasella, suprasella dan ekspansi dari
sella ke lokasi hingga thalamus. Formasi dari II. Kasus
tumor ini adalah massa kistik, dan cairan yang
sering kuning dan berkilau membentuk kristal Anamnesa
kolesterol. Terkadang massa kista mungkin lebih Seorang laki-laki 22 tahun datang ke Rumah
besar dari komponen padat, yang sering pucat Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
dan rapuh disertai sisa epitel.1, 2 dengan keluhan nyeri kepala yang dirasakan terus
Insidensi tumor kraniofaringioma adalah menerus sejak satu tahun yang lalu dan dirasakan
5–10% dari semua jenis tumor intrakranial, memberat sejak 2 bulan sebelum masuk rumah
serta paling sering terjadi pada awal 20 tahun sakit. Keluhan nyeri kepala disertai dengan
kehidupan. Laporan studi juga menunjukkan adanya pandangan yang kabur secara perlahan-
kraniofaringioma merupakan tumor otak anak lahan. Selain itu pasien juga mengeluhkan mual
dengan insiden mencapai 50% dari seluruh tumor dan muntah sejak 2 bulan yang lalu, lapang
intrak ranial pada anak. Secara histopatologi jenis pandangan semakin menyempit terutama bagian
kraniofaringioma menyerupai adamantinoma luar, riwayat trauma disangkal.
rahang serta jenis ini ditemui di hampir semua
tumor anak. Sementara itu jenis papiler, yang Pemeriksaan Fisik
disebut kraniopharyngioma dewasa, terjadi pada Pada tanda vital ditemukan tekanan darah 120/70
sekitar sepertiga dari orang dewasa dan jarang mmHg, laju nadi 70 kali per menit, pernapasan 19
pada anak-anak.3,4 kali per menit spontan, suhu 37,8 ˚C, kesadaran
kompos mentis GCS 15. Pada pemeriksaan status
Kraniofaringioma biasanya menimbulkan gejala neurologis sensoris terdapat penurunan tajam
peningkatan tekanan intrakranial, penurunan penglihatan dan lapangan pandang lateral, pupil
penglihatan dan disfungsi endokrin. Seperti ansiokor 4 cm/2 cm. Kekuatan otot 4444/4444.
tumor di otak lainnya pasien akan mengalami
nyeri kepala hebat, muntah dan papiloedema. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan endokrin yang mungkin terjadi adalah Pemeriksaan pemeriksaan darah rutin didapatkan
hipogonadisme, pertumbuhan yang terlambat hemoglobin 14,3 g/dl, hematokrit 43%, eritrosit
pada anak (stunting) serta adanya diabetes 5,2x106 mm3, trombosit 286x103 mm3,
insipidus yang terjadi akibat perkembangan tumor leukosit 6,9 x 103 mm3, eosinofil 6 %, basofil
yang mirip pada tumor pituary.4 Tatalaksana 1 %, netrofil batang 0 %, netrofil segmen 46 %,
umum pada pasien dengan kraniofaringioma limfosit 37%. Elektrolit dalam batas normal,
meliputi evaluasi preoperatif penting untuk natrium 144 mmol/L, kalium 4,0 mmol/L,
mendeteksi adanya gangguan penglihatan dan klorida 107 mmol/L. Kadar ureum sereum 13
endokrin. Tindakan operasi standar yang harus mg/dl, kreatinin 0,90 mg/dl. Pada pemeriksaan
dilakukan untuk kraniofaringioma adalah operasi prolaktin serum didapatkan kadar yang normal
dengan upaya reseksi maksimal tumor melalui yaitu 8,91 ng/ml dengan nilai rujukan 3,46–19,40
pendekatan pterional kraniotomi atau bifrontal ng/ml. Pada pemeriksaan MRI kepala didapatkan
kraniotomi. Tindakan operasi dengan pendekatan massa berukuran 5,12x2,63 cm yang menonjol
transpenoidal terkadang juga dilakukan saat dari cela tursica berbatas tegas, tepi rata serta
penyebaran tumor mencapai dinding fossa disimpulkan sebagai tumor supra sella dengan
pituiatry. Selain tatalaksana kelainan endokrin diferensial diagnosis dengan kraniopharingioma
dan operatif, radioterapi pasca operasi reseksi dan adenoma hipofisis.
132 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pengelolaan Anestesi tehnik pembedahan kombinasi subfrontal


dan pterional. Pasien dalam keadaan supine
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, dilakukan tindakan asepsis pada lapangan
diperlukan persiapan preoperatif dalam hal operasi. Penyempitan lapangan operasi dengan
ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan pemasangan dook steril. Dilakukan insisi
evaluasi penyakit metabolik lainnya. Khususnya frontotemporal sisi kanan lapis demi lapis.
pada operasi pasien ini, perlu dilakukan evaluasi Tulang calvaria dibuka secara bertahap, diawali
endokrinologi seperti thyroid stimulating hormon tahap pertama dengan kraniotomi tulang frontal
(TSH) dan prolaktin. Kadar TSH dan prolaktin dan temporal dan drilling pada tulang sphenoid
pasien dalam kasus ini bernilai normal. Tehnik sampai tampak fissure otbitalis superior. Tahap
anestesi dan obat anestesi yang digunakan pada kedua dilakukan pemotongan rima orbitalis
pasien ini sama dengan yang digunakan dengan superior.
prosedur anestesi intrakranial lainnya. Pemilihan Duramater dibuka semilunar. Untuk mencapai
anestetika bergantung pada faktor penyulit jaringan tumor dilakukan diseksi arachnoid
pasien, kelainan neurologi, riwayat alergi serta subfrontal dan transilvian. Tahap awal penting
riwayat anestesi sebelumnya. Jenis anestesi yang untuk menemukan sisterna prechiasma sehingga
digunakan pada pasien ini adalah dengan total dapat segera dilakukan pengaliran CSF yang
intravenous anesthesia dikombinasikan dengan akan sangat membantu relaksasi otak. Sebagai
anestetika inhalasi, penggunaan muscle relaxant landmark anatomi adalah identifikasi clinoid
dan opioid. Selama operasi, dilakukan monitoring anterior, arteri karotis interna dan saraf optikus
EKG, tekanan darah, saturasi oksigen. Pasca Didapatkan tumor kistik berkapsul lobutated yang
tindakan operatif, dilakukan perawatan di ruang diselimuti lapisan membran arachnoid. Secara
rawat intensif. Fokus utama perawatan pasca perlahan tumor dipisahkan dari jaringan sekitar
operasi adalah melakukan skrining dan observasi dengan tetap mempertahankan batas membran
kelainan neuroendokrin seperti gangguan arachnoid normal. Bagian kistik tumor dialirkan
keseimbangan cairan, diabetes insipidus, dan dan selanjutnya kapsul tumor diangkat piece meal
syndrome of inappropriate antidiuretic hormone dan contoh jaringan dikirim untuk dilakukan
secretion (SIADH).6 pemeriksaan Patologi Anatomi. Kapsul tumor
yang menempel pada saraf optikus dan internal
Prosedur Pembedahan carotis dapat dipisahkan dengan baik.
Tindakan operasi yang dilakukan adalah dengan Kapsul tumor sisi posterior melekat erat pada

Gambar 1. MRI tampak massa berukuran 5,12cm x 2,63 cm menonjol dari sella tursica dengan
batas tegas, massa tampak terisi kontras.
Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma 133
di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

pituitary stalk sehingga terpaksa sebagian kapsul pada daerah sella yang berasal dari kantong
yang melekat ditinggalkan. Kami melakukan ratkhe epitelial. Walaupun merupakan tumor
identifikasi dan kontrol pada pendarahan. jinak, proses pengobatan kraniofaringioma dapat
Intraoperasi otak tidak tampak edema, selanjutnya menyebabkan kerusakan pada struktur sella dan
dilakukan penutupan area operasi. Dura mater presella, sehingga beberapa klinisi menyebutnya
ditutup kedap air. Tulang calvaria dan rima tumor jinak pada lokasi maligna “benign tumor
orbitalis dikembalikan dengan fiksasi miniplate. in malignant location”.7 Kraniofaringioma
Setelah tumor berhasil diangkat, spesimen merupakan tumor yang jarang sekali terjadi,
tumor dikirim ke laboratorium patologi anatomi dimana insidensinya hanya 1,34 pasien per 1
untuk diidentifikasi tipe kraniofaringioma. Hasil juta penduduk. Di Amerika, sekitar 2680 kasus
pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan dilaporkan sejak tahun 2005 hingga 2009,
suatu kraniofaringioma tipe adamantinomatous. dimana angka tersebut representatif dari 0,9%
kasus tumor sistem saraf pusat. Sejumlah pasien
IV. Pembahasan berusia 0–14 tahun dimana usia puncak terjadinya
tumor ini berada diantara 5 hingga 14 tahun.7
Kraniofaringioma adalah tumor otak yang Insidensi kraniofaringioma di negara Asia lebih
didefinisikan oleh WHO sebagai tumor jinak tinggi dibandingkan dengan Amerika, dimana

Gambar 3. Post operatif (a) Gambaran Klinis Pasien (b) Gambaran CT Scan Pasca Operasi
Kraniofaringioma Frontotemporal

Gambar 2. Prosedur Operasi (a) Site Marking (b) Pasien dalam Keadaan Supine dan
Dilakukan Fiksasi dengan Pendulum Dilanjutkan Insisi dan Burhole pada Orbita
134 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

laporan studi di negara Jepang adalah 5,8% dari penglihatan, pengenalan warna, serta lapangan
seluruh kasus baru tumor sistem saraf pusat pandang lebih sering dilaporkan dibandingkan
yang mana 12,5% terjadi pada anak. Laporan penglihatan ganda. Penilaian lapangan pandang
kraniofaringioma di Cina adalah 6,5% dari perlu dilakukan perlu dilakukan sebagai landasan
12.785 kasus tumor sistem saraf pusat termasuk untuk menentukan lokasi penekanan baik di
proses metastasis.7,8 nervus optikus intrakranial, kiasma optikus
dan traktus optikus. Metode pencitraan modern
Secara histologi terdapat dua tipe memungkinkan diagnosis yang lebih cepat, tanpa
kraniofaringioma, yaitu adamantinomatous rasa sakit, serta dapat dijadikan sebagai monitor
dan papillari. Keduanya berasal dari kantong untuk berbagai tindakan tatalaksana yang akan
Ratkhe epitelial. Kranifaringioma pada kasus ini dilakukan.10
merupakan jenis adamantinomatous, yang mana Pasien dengan kraniofaringioma umumnya
tipe ini merupakan jenis yang paling umum terjadi memiliki satu atau beberapa difisiensi hormon
pada anak serta seringkali berupa kalsifikasi pituitari dan/atau disfungsi hipotalamus, yang
dan kistik. Bentuk kistik dapat berkembang mana terjadi akibat tumor, prosedur operasi, dan
menjadi sangat besar dan mangandung cairan radioterapi. Sehingga dengan demikian, perlu
yang kaya kolesterol yang akan berbahaya jika dilakukan evaluasi secara periodik termasuk
kontak dengan jaringan otak normal. Tumor memeriksan untuk deteksi dan tatalaksana
solid terdiri atas lapisan sel columnar pallisading disfungsi neuroendokrin.11
tanpa epitelial stelata dan sel deskuamasi yang Hipopituitarisme merupakan kelainan hormonal
disebut “wet keratin” Kraniofaringioma tipe yang prevalensinya paling tinggi pada
adamantinomatous terjadi oleh karena perubahan kraniofaringioma, dimana terjadi sekitar 85%
sel epitelial neoplastik berasal dari stomodeum pada saat awal diagnosis. Defisiensi hormon
yang terjebak pada duktus kraniofaringeal saat pertumbuhan dilaporkan terjadi sekitar 35–
perkembangan pituitari yang dikenal sebagai 100% kasus, defisiensi hormon gonadotropin
teori embriogenetik.7,9 luteimizing hormon (LH) dan folicle stimulating
hormon (FSH) terjadi pada 38–91% kasus,
Berbeda halnya dengan tipe adamantinomatous, defisiensi hormon kortikotropin (ACTH) 21–
kraniofaringioma tipe papillari merupakan tumor 68% kasus, defisiensi hormon tirotropin (TSH)
primer yang terjadi pada usia dewasa, yang mana 20– 42% kasus. Hiperprolaktinemia ringan (<150
secara histologi terdiri atas “wet keratin”, namun ng/ml) juga dilaporkan pada 55% kasus yang
dengan epitel squamous yang berdiferensiasi terjadi akibat “stalk effect” (kerusakan proses
dengan baik serta tumor lebih solid dan uniformis. penghambatan aliran dopamin dari hipotalamus
Kraniofaringioma tipe ini terjadi secara sekunder ke laktotrop pituitari). Berdasarkan evaluasi kadar
akibat metaplasia sel adenohipofisis pada pars TSH dan prolaktin pada kasus ini, ditemukan
tuberalis yang kemudian disebut sebagai teori kadar yang normal untuk keduanya atau dengan
metaplastik. Namun demikian, pada sebuah studi kata lain tidak ditemukan adanya kelainan pada
dilaporkan kedua tipe ini dapat terjadi secara hormon tersebut.11
bersamaan dimana telah dilakukan evaluasi Jika pasien mengalami defisiensi hormon
terhadap 131 spesimen kraniofaringioma, 20 tirotropin hormon sebagai akibat hipotiroidisme
(15%) diantaranya terdiri atas sel epitel squamous sentral, secara klinis tidak dapat dibedakan dengan
dan adamantinomatous.7,9 hipotiroidisme akibat sebab yang lain. Pasien
Keterlibatan neuro-oftalmika merupakan akan mengalami gejala hipotiroidisme seperti
keluhan yang paling umum dikeluhkan oleh lemah, peningkatan berat badan, pertumbuhan
pasien dengan kraniofaringioma. Seperti halnya terhambat, konstipasi, kulit kering, myxedema,
pada kasus ini, pasien mengeluhkan tidak dapat distimia serta hiponatremia dan dislipidemia juga
melihat sama sekali pada mata kanan serta mata terjadi. Hiperprolaktinemia dapat menyebabkan
kiri hanya dapat melihat pada bagian sentral infertilitas pada laki-laki ataupun perempuan,
(penurunan lapangan pandang). Penurunan tajam diamana perempuan akan mengalami galactorrhea
Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma 135
di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

dan kepala tetap dalam ekstensi, diputar 30˚ ke


sisi berlawanan dari kraniotomi menggunakan
dudukan kepala Mayfield. Selanjutnya sayatan
kulit bicoronal dibuat. Flap dibuat di depan
depan sepanjang perikranium. Flap perikranium
harus dipertahankan untuk rekonstruksi dasar
tengkorak. Setelah mengangkat otot temporalis
dan memisahkan duramater di daerah frontal,
kraniotomi frontal dan temporal yang kraniotomi
kecil dilakukan. Dengan mempertimbangkan
Gambar 4. Posisi pasien intraoperatif.15 penglihatan yang kurang baik pada sisi kiri,
pendekatan sisi kanan biasanya lebih disukai,
kecuali perpanjangan lateral tumor terutama di
dan ginekomastia pada laki-laki.11Pembedahan
sisi kiri. Selanjutnya dilakukan osteotomi orbital
merupakan tatalaksana utama kraniofaringioma.
pada sisi kraniotomi.12-14
Berbagai studi preoperatif perlu dilakukan
seperti pemeriksaan radiologi, evaluasi endokrin, Duramater frontal dan temporal secara hati-hati
evaluasi neuro-oftalmologi. Selain itu perlu dipisahkan dari atas dan lateral dinding orbita.
dilakukan juga evaluasi neurobehavioral, dimana Dilakukan pemisahan saraf periorbita, dan saraf
dilakukan terhadap aktivitas fisik, pengontrolan supraorbital yang dilindungi. Osteotomi dari atas
nafsu makan, obesitas yang mana berkaitan dan dinding lateral orbita dilakukan. Di bawah
dengan kerusakan hipotalamus.12-14 Tujuan mikroskop bedah, fisura orbital superior pertama
utama dilakukan metode pembedahan pada dipisahkan, dengan memotong sayap tulang
kraniofaringioma adalah untuk mengontrol lasser dan greater sphenoid.12-14 Selanjutnya
pertumbuhan tumor, pemeliharaan atau dura frontotemporal dibuka dengan pola C
memperbaiki fungsi penglihatan, dan memelihara “C-Shaped” untuk melihat struktur anatomi
pituitari/hipotalamus. Pendekatan pembedahan sylvian. Nervus optikus dan sisterna karotis
frontolateral merupakan prosedur yang paling berada pada bagian media dari fissura sylvian
umum dilakukan dalam sebuah serial kasus, yaitu dibuka. Selanjutnya tumor pada kasus ini tampak
pada 14 pasien (56%). Pada kasus ini dilakukan berkapsul. Dilakukan debulking tumor melalui
tehnik pembedahan kombinasi frontolateral dan celah subchismatic dengan, dan bekerja pada 3
pterional.12-14 jalur dengan memisahkan struktur neurovaskular
Pasien ditempatkan dalam posisi terlentang

Gambar 4. Jalur Reseksi Tumor melalui Interoptik, Carotid-Aculomotor, dan Celah Carotid
Tentorial dengan secara Hati-Hati Melindungi Arteri Hipofisis Superior.15
136 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

secara bertahap khususnya yang menjadi terjadi pada pasien adalah diabetes insipidus
perhatian besar adalah arteri hipofisis superior.12-14 yang terjadi akibat kerusakan pituitary stalk atau
disfungsi hipotalamus.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat proses
pembedahan adalah berupa diabetes insipidus, Daftar Pustaka
hipopituitarisme, cedera arteri karotis internal,
cedera nervus optikus dan kiasma optikus serta 1. Singh P, Sarkari A, Sarat Chandra P,
vasospasme yang terjadi hingga 4 minggu pasca Mahapatra A, Sharma B, Gurjar H.
pembedahan.12-14 Pada kasus ini, komplikasi Giant craniopharyngioma presenting as a
yang timbul pasca tidakan pembedahan adalah cerebellopontine angle tumour. Pediatric
diabetes insipidus. Diabetes insipidus merupakan neurosurgery. 2012;48(2):131–2.
salah satu komplikasi yang umum terjadi pasca
tindakan pembedahan kraniofaringioma, dimana 2. Müller HL. Craniopharyngioma. Endocrine
dilaporkan insidensi post operatif mencapai 100% reviews. 2014;35(3):513-43.
kasus. Insidensi terjadinya diabetes insipidus
dengan prosedur pembedahan transspenoid lebih 3. Pouchieu C, Baldi I, Gruber A, Berteaud
rendah (36%) dibandingkan dengan prosedur E, Carles C, Loiseau H. Descriptive
operasi transkranial (69%). Diabetes insipidus epidemiology and risk factors of primary
terjadi akibat manipulasi bedah pada pituitary central nervous system tumors: Current
stalk. Jika pituitary stalk rusak atau terpotong, knowledge. Revue neurologique. 2015.
maka pasien akan mengalami diabetes insipidus
secara permanen. Namun, pada beberapa kasus 4. Zada G, Lopes MBS, Mukundan Jr S, Laws Jr
dilaporkan diabetes insipidus terjadi pada E. Craniopharyngiomas. Atlas of Sellar and
pituitary stalk yang intak yang mana hal tersebut Parasellar Lesions: Springer; 2016, 197–210.
terjadi akibat disfungsi hipotalamus.12 Prosedur
pembedahan kraniofaringioma merupakan 5. Yomo S, Hayashi M. A minimally invasive
tantang besar dimana prosesnya melibatkan treatment option for large metastatic brain
berbagai struktur penting seperti nervus optikus, tumors: long-term results of two-session
sirkulus willisi, hipotalamus dan batang otak yang Gamma Knife stereotactic radiosurgery.
membutuhkan tehnik khusus dan pengalaman. Radiation Oncology. 2014;9(1):1.
Dengan tehnik dan teknologi yang baik, angka
kematian dan kesakitan jauh menurun setiap 6. Horvat A, Kolak J, Gopcevic A, Ilej M,
tahunnya. Selain itu juga diperlukan kerjasama Gnjidic Z. Anesthetic management of patients
berbagai multidisiplin ilmu untuk menurunkan undergoing pituitary surgey. Acta Clin Croat.
resiko bahaya dan memperbaiki hasil saat 2011;50:209–16.
pembedahan.15
7. Gooch MR, Evans JJ, Kenning TJ.
IV. Simpulan Inrtroduction. Dalam: Evas JJ, Kenning TJ,
editors. Craniopharyngiomas: comprehensive
Kraniofaringioma adalah tumor otak yang diagnosis, treatment and outcome. Oxford:
didefinisikan oleh WHO sebagai tumor jinak pada Academic Press; 2014, 3–13.
daerah sella yang berasal dari kantong Ratkhe
epithelial. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan 8. Nielsen E, Jørgensen J, Bjerre P, Andersen
fisik, dan pemeriksaan penunjang terhadap pasien M, Andersen C, Feldt-Rasmussen U, et al.
pada kasus ini, disimpulkan diagnosis pasien Acute presentation of craniopharyngioma
adalaha Kranifaringioma tipe adamantinomatous in children and adults in a Danish national
yang mana telah dilakukan prosedur tehnik cohort. Pituitary. 2013;16(4):528–35.
pembedahan kombinasi frontolateral dan
pterional. Komplikasi pasca pembedahan yang 9. Prabhu VC, Brown HG. The pathogenesis
Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma 137
di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

of craniopharyngiomas. Child's Nervous 13. Niranjan A, Kano H, Mathieu D, Kondziolka


System. 2005;21(8-9):622–7. D, Flickinger JC, Lunsford LD. Radiosurgery
for craniopharyngioma. International Journal
10. Sergott RC. Introduction. Dalam: Evas JJ, of Radiation Oncology Biology Physics.
Kenning TJ, editors. Neuro-Ophthalmic 2010;78(1):64–71.
Manifestations of Craniopharyngiomas.
Oxford: Academic Press; 2014, 121–33. 14. Gerganov V, Metwali H, Samii A, Fahlbusch
R, Samii M. Microsurgical resection of
11. Tritos NA, Klibanski A. Introduction. extensive craniopharyngiomas using a
Dalam: Evas JJ, Kenning TJ, editors. frontolateral approach: operative technique
Craniopharyngioma: neuroendocrine and outcome: Clinical article. Journal of
evaluation and management. Oxford: neurosurgery. 2014;120(2):559–70.
Academic Press; 2014, 109–18.
15. Louis RG, Barkhoudarian G, Kelly DF.
12. Mantovani A, Ferreira M, Sekhar LN. Inrtroduction. Dalam: Evas JJ, Kenning TJ,
Introduction. Dalam: Evas JJ, Kenning TJ, editors. Surgical approaches: complications
editors. The frontolateral approach to adult of surgical management. Oxford: Academic
craniopharyngiomas. Oxford: Academic Press; 2014, 281–99.
Press; 2014,193–206.
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi

Rebecca Sidhapramudita Mangastuti*), Sri Rahardjo*), Himendra Wargahadibrata***)


*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan, **)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung
Abstrak

Kejang adalah perubahan fungsi otak secara mendadak dan sementara akibat aktifitas nueron yang abnormal
sehingga terjadi pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini dapat bersifat parsial atau general, berasal
dari daerah spesifik korteks serebri atau melibatkan kedua hemisfer otak. Kejang disebabkan oleh banyak faktor,
yaitu penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik, stroke hemoragik), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma
kepala, gangguan metabolik, infeksi susunan saraf pusat (SSP) seperti ensefalitis, meningitis. Penyebab lain
adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi, perubahan hormon, kehamilan, penggunaan obat-obatan
yang menginduksi kejang (teofilin dosis tinggi, fenotiazin dosis tinggi), antidepresan (maprotilin atau bupropion),
kebiasaan minum alkohol. Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 1981, epilepsi adalah suatu kelainan otak yang ditandai adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Diagnosa epilepsi ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik
dan electroencephalography (EEG). Umumnya, epilepsi diterapi dengan obat antiepilepsi atau anti konvulsan.
Apabila kejang tidak teratasi dengan obat oral, dapat dilakukan terapi invasif atau pembedahan, berupa non brain
epilepsy surgery atau brain epilepsy surgery. Di Inggris, diperkirakan 0,5–2% total penduduk, menderita epilepsi,
dimana 13% memerlukan terapi invasif atau pembedahan. Studi retrospektif, membuktikan, pengobatan invasif
atau pembedahan pada epilepsi yang tidak respons terhadap obat oral, telah berhasil mengurangi serangan kejang.
Penatalaksanaan anestesi pada epilepsi merupakan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Diperlukan pemilihan
gas, anestetika intravena dan teknik anestesi yang tidak memicu serangan kejang selama operasi. Interaksi dan
efek samping obat anti epilepsi harus diperhitungkan saat anestesi.

Kata kunci: anestesi, epilepsi, kejang


JNI 2016;5(2): 138–54
Anesthesia Management on Epilepsy Surgey

Abstract

Seizures are sudden changes in brain function and activity of abnormal neuron activity causing cerebral excessive
electrical discharges. May be partial or general, comes from a spesific region of the cerebral cortex or both hemispheres.
Caused by cerebrovascular disease (ischemic stroke, hemorrhagic stroke), neurodegenerative disorders, tumors,
head trauma, metabolic disorder, central nervous system infection (encephalitis, meningitis). Another factor are
sleep disorder, sensory of emotional stimulation, hormonal changes, pregnancy, use of drugs induce seizures
(theophyline high-dose, phenothiazine high-dose), antidepresants (maprotilin or bupropion), drinking alkohol.
International League Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE) in
1981, epilepsy is a brain disorder that can trigger epileptic seizures, neurological changes, cognitive,
psychological and social consequences resulting. Diagnose is anamnesa, physical examnination and
electroencephalography. Treated with antiepileptic drugs or anticonvulsant. If the seizures are not resolved, can
be invasive or surgical therapy (non brain epilepsy surgery or brain surgery). In UK, 0,5 - 2% suffer from
epilesy, 13% require surgical therapy. A retrospective study, prove that invasive treatment has succeeded.
Management of anesthesia is a challenge for anesthesiology. Election necessary gas, intravenous and anesthesia
techniques that do not trigger a seizure. Interaction and side effects of anti epileptic drugs should be calculated.

Key words: anesthesia, epilepsy, seizures


JNI 2016;5(2): 138–54

138
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi 139

I. Pendahuluan pseudoseizures dan unclassified epilepsy.1,2



Kejang adalah gerakan tonik, klonik atau 1.1 Partial Seizures
tonik-klonik yang involuntar yang merupakan Kejang parsial (partial seizures) bermula dari
serangan berkala, yang disebabkan oleh lepasnya area fokus tertentu (silent areas) di kortek
muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. serebri, umumnya tidak memiliki manifestasi
Kejang disebabkan oleh banyak faktor, yaitu klinis dan tidak dapat didiagnosa tanpa bantuan
penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik, stroke pemeriksaan EEG intrakranial. Pada tipe simple
hemoragik), gangguan neurodegeneratif, tumor, partial seizures, kejang dipicu oleh aura (contoh:
trauma kepala, gangguan metabolik, infeksi cahaya), tidak didapatkan penurunan kesadaran
susunan saraf pusat (SSP) seperti ensefalitis, pada pasien. Kejang tipe complex partial
meningitis. Faktor lain penyebab kejang adalah seizures, umumnya terjadi pada lobus temporal,
gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi, terjadi penurunan kesadaran, reaksi yang non-
perubahan hormon, kehamilan, penggunaan obat- responsif dan amnesia pasca kejang. Jika kejang
obatan yang menginduksi kejang seperti teofilin dipicu pada satu area yang kemudian menyebar
dosis tinggi, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan ke otak dan batang otak, sehingga menimbulkan
(maprotilin atau bupropion), kebiasaan minum kejang konvulsif (kejang tonik atau kejang
alkohol.1,2 klonik), dikategorikan tipe partial onset with
Berdasarkan International League Against generalization seizures.1,2
Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for 1.2 Generalized Seizures
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005, epilepsi adalah Kejang generalisata (generalized seizures)
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya berawal dari kedua hemisfer serebri. Dapat
faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bermula dari thalamus dan struktur subkortikal
bangkitan epileptik, perubahan neurologis, lainnya. Pada EEG, ditemukan kelainan
kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi secara serentak pada kedua hemisfer. Kejang
sosial yang diakibatkannya. Definisi ini generalisata, memberikan manifestasi bilateral
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan pada tubuh dan terdapat gejala penurunan
epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan
epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / atau
gejala yang timbul sepintas (transient) akibat Tabel 1. Klasifikasi kejang epilepsi1,2
aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron Klasifikasi Seizure
yang terjadi di otak. Apabila serangan kejang I Partial seizures
pada epilepsi terjadi terus menerus tanpa adanya
A. Simple
periode pemulihan kesadaran diantara periode
kejang, disebut status epileptikus.3,4 B. Complex
Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan C. Partial onset with
riwayat kejang / epilepsi merupakan tantangan generalization
tersendiri bagi dokter anestesi. Diperlukan II Generalized seizures
pemilihan gas, obat anestesi dan teknik anestesi A. Inhibitor
yang tidak memicu kejang, pre operasi, intra 1. Absence
operasi dan pasca operasi. Harus dipertimbangkan 2. Atonic
pula Interaksi dan efek samping obat anti epilepsi B. Excitatory
harus diperhitungkan saat anestesi dilakukan.
1. Myoclonic
2. Clonic
II. Tinjauan Pustaka
3. Tonic
1 Klasifikasi kejang epilepsi III Pseudoseizures
Pada tahun 1981, ILAE, mengklasifikasikan kejang V Unclassified
epilepsi atas partial seizures, generalized seizures,
140 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kesadaran.1,2 aktivitas sel-sel saraf. Beberapa obat antiepilepsi,


1.3 Pseudoseizures bekerja dengan cara memblokade atau
Umumnya, pasien dengan kejang tipe menghambat reseptor AMPA dan menghambat
pseudoseizures memiliki riwayat penyalahgunaan reseptor NMDA. Interaksi antara glutamat
obat/zat terlarang (narkoba), kepribadian yang dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-
depresi dan pernah mencoba usaha bunuh ion Na+ dan Ca 2+ yang pada akhirnya dapat
diri. Kejang pseudoseizures bermanifestasi menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun
menyerupai partial seizures atau generalized felbamat (antagonis NMDA) dan topiramat
seizure, namun tidak khas.1,2 (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan pada
1.4 Unclassified Seizures reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa
Unclassified seizures adalah kejang yang tidak berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja
dapat digolongkan partial atau general, contohnya kedua obat ini adalah menghambat penerusan
kejang demam, kejang mioklonik berat pada bayi, potensial aksi dan menghambat penerusan
kejang pada imbalance electrolit, kejang eklampsi, potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel
kejang akibat pemakaian obat/zat tertentu.1,2 saraf yang teraktivasi. Patofisiologi epilepsi yang
meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini
2. Patofisiologi Epilepsi akan menyebabkan instabilitas pada sel-sel saraf
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan tersebut.1-5
gangguan paroksimal akibat penghambatan
neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan 3 Terapi Kejang
antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Obat yang umum digunakan untuk mengatasi
Definisi neurotransmiter inhibitori seperti serangan kejang pada epilepsi antara lain,
Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau carbamazepine, clonazepam, diazepam,
peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti clorazepate, phenytoin, gabapentin, primidone,
glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak tiagabine, valproic acid. Efek samping obat
normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas tersebut, dapat berupa sedasi, ataksia, dyskinesia,
pemicu kejang) yaitu glutamat, aspartat, sensori neuropati, gangguan fungsi hepar,
asetilkolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas aplastic anemia, leukopenia, trombositopenia,
kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon kulit kemerahan (rashes), systemic lupus
steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas erythematosus (SLE), scleroderma, hiponatermi,
menghambat neuron) yaitu dopamin dan GABA.1,2 gangguan fungsi tiroid. Antikonvulsan/
Serangan kejang juga diakibatkan oleh antiepilespi umumnya memiliki efek resisten
abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal terhadap pelumpuh otot dan opioid, diduga
ion, dan defisiensi ATP ase yang berkaitan dengan obat tersebut akan meningkatkan klirens dan
transport ion, dapat menyebabkan ketidakstabilan menurunkan waktu paruh obat-obat anestesi.
membran neuron. Aktifitas glutamat pada reseptor Sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi,
alpha amino 3 hidroksi 5 methylosoxazole-4- agar pelumpuh otot dan opioid tersebut dapat
propionic acid (AMPA) dan N-methyl D-aspartat berfungsi. Namun hingga kini, belum diketahui
(NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+. secara pasti, apa yang menyebabkan hal tersebut.
Pembukaan kanal Na+ ini diikuti oleh pembukaan Selain itu, antikonvulsan/anti epilepsi juga
kanal Ca 2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca 2+ memiliki efek kardiak disaritmia, yang beresiko
banyak masuk ke intrasel. Akibatnya terjadinya terjadinya sudden death syndrom. Efek samping
pengurangan perbedaan polaritas pada membran lain adalah angina, neurogenic pulmonary edema,
sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. pheochromocytoma syndrom.6-9
Depolarisasi ini penting dalam penerusan Bila kejang tidak teratasi dengan medikamentosa,
potensial aksi sepanjang sel saraf. Depolarisasi umumnya dilakukan terapi invasif atau
berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pembedahan (surgical therapy), dapat berupa
pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya nonbrain epilepsy surgery atau brain epilepsy
potensial aksi yang terus menerus dan memicu surgery. Nonbrain epilepsy surgery adalah
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi 141

tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kejang serebri. Dengan teknik ini, operator dapat
pada epilepsi dengan cara stimulasi elektrik pada menentukan dengan tepat, area operasi pada
nervus vagal dengan cyberonics NCP vagal nerve kortek yang akan direseksi sehingga diharapkan
stimulator (VNS) system, atau stimulasi elektrik morbiditas neurologi minimal. Keuntungan lain,
pada nukleus centromedian thalamic. Brain insidens post operaative nausea and vomiting
epilepsi surgery adalah tindakan pembedahan (PONV) minimal dibanding dengan general
reseksi pada fokus epilepsi diotak, seperti anestesi, rawat inap juga akan lebih singkat.16-20
temporal lobectomi, amydalohippocampectomy, Selama awake craniotomy, pasien diharapkan
extratemporal/extrafrontal cortical excision, dapat bekerja sama baik dengan operator maupun
hemispherectomy, corpus callosotomy atau dokter anestesi. Pasien harus terasa nyaman
stereotactic excision. Didapatkan 50%–90% saat terbaring di meja operasi dan kooperatif
serangan kejang akan berkurang setelah tindakan saat cortical mapping dilakukan. Untuk itu
pembedahan. Didapatkan tingkat morbiditas dan diperlukan persiapan adekuat terhadap pasien
mortalitas 5% pada operasi epilectogenic focus dengan menjelaskan metode awake craniotomy
resection, 20% pada operasi corpus callosotomy yang akan dilakukan, saat kunjungan anestesi
dan 50% pada operasi hemispherectomy. 10–12 sebelum operasi. Intraoperasi, ruangan operasi
harus nyaman, obat analgetik dan sedasi
4 Teknik anestesi adekuat, tersedianya obat-obatan apabila terjadi
Teknik anestesi yang digunakan pada operasi komplikasi selama tindakan. Obat antihipertensi,
epilepsi, dapat berupa: awake craniotomy steroid, antikonvulsan yang rutin digunakan
atau general anestesi dengan total intravenous untuk mengatasi kejang/epilepsi, tetap diberikan
anesthesia (TIVA) atau kombinasi gas anestesi sebelum operasi dimulai. Sesaat sebelum
dengan obat anestesi intravena. dimulai operasi, dapat dilakuak scalp bolk, untuk
mengurangi nyeri. Induksi anestesi dilakukan
4. 1 Awake craniotomy dengan dexmedetomidine dan propofol. Saat
Pada awake craniotomy, pasien tidak terjaga stimulasi test oleh operator, pasien sadar
(sadar) sepanjang operasi, ada periode tidur penuh dengan skala Ramsay derajat 2. Hati-
-bangun – tidur. Umumnya teknik ini digunakan hati terjadi komplikasi intraoperasi seperti
untuk tindakan intractable epilepsy atau cortical obstuksi jalan nafas, kejang, mual, muntah.
mapping dengan stimuluasi elektrik pada korteks Obat-obat untuk general anestesi harus siap
sedia apabila diperlukan. Apabila tidak tersedia
dexmedetomidin, dapat digunakan neurolept
Tabel 6. Skala Sedasi Ramsay (Ramsay Sedation analgesia droperidol dan fentanyl. Komplikasi
Scale /RSS).1,2 yang mungkin ditimbulkan obat dropridol dan
fentanyl adalah agitasi, drowsiness, nyeri, kejang
Tingkat aktivitas Nilai
dan depresi pernafasan.
Pasien sadar, cemas, gelisah 1
Pasien sadar, kooperatif, tenang 2 4. 2 Anestesi umum (General Anesthesia)
Pasien tidur, respon hanya terhadap 3 Selain awake craniotomy, dapat pula digunakan
perintah lisan anestesi umum untuk operasi pasien dengan
Pasien tidur, respon cepat terhadap ketukan 4 riwayat kejang/epilepsi. Pada anestesi umum,
ringan dapat digunakan TIVA atau kombinasi obat
di glabella atau stimulus suara yang keras anestesi intravena dengan gas anestesi.16-17 Teknik
Pasien tidur, respon yang lamban terhadap 5 total intravenous anesthesia (TIVA), yaitu
ketukan tehnik anestesi umum dengan menggunakan
ringan di glabella atau stimulus suara yang obat anestesi secara intravena yang dilakukan
keras saat induksi maupun rumatan anestesi tanpa
Pasien tidur, tidak respon terhadap ketukan 6 menggunakan gas anestesi. Keuntungan TIVA
ringan di glabella atau stimulus suara keras adalah hemodinamik lebih stabil, kedalaman
142 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

anestesi lebih stabil, lebih dapat diprediksi, 5.1.2 Halotan


pemulihan lebih cepat, mual muntah pasca Halotan akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh
operasi menurun, tidak ada polusi di kamar darah otak dan meningkatkan aliran darah otak,
operasi, tidak toksis terhadap organ, tidak iritasi dengan mempertahankan tekanan darah sistemik.
pada jalan nafas, tidak delirium pascabedah, Didapatkan peningkatan aliran darah otak dua kali
laju jantung lebih rendah, menurunkan tingkat lebih besar dibandingkan dengan enflurane dan
stres. Obat yang digunakan umumnya propofol, isoflurane. Pada manusia maupun pada binatang,
fentanyl, vecuronium. Dexmedetomidin dapat halotan akan meningkatkan TIK yang bergantung
ditambahkan jika perlu.18-20 Pada anestesi umum pada dosis, dimana peningkatan TIK akan sejajar
dengan kombinasi obat intravena dan gas dengan peningkatan aliran darah otak.18-20
anestesi, harus dihindari pemakaian N2O, halotan
dan enfluran karena dapat memicu timbulnya Pada kadar 0,5 MAC atau kurang, efek terhadap
serangan kejang intraoperasi. Gas N2O diganti TIK minimal. Dosis lebih dari 1 MAC akan
dengan compress air, dengan perbandingan menyebabkan hilangnya autoregulasi otak,
oksigen : compress air = 1 : 1.18-20 yang akan menetap sampai periode pascabedah.
Peningkatan TIK yang disebabkan oleh halotan
5 Gas dan Anestetika Intravena seringkali berkaitan dengan hipotensi sistemik,
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sehingga terjadi penurunan tekanan perfusi otak.
penatalaksanaan anestesi pada pasien epilepsi Respon ini akan meningkatkan resiko terjadinya
yang akan menjalani operasi bedah saraf adalah iskemia otak. Peningkatan TIK, dapat dihilangkan
memfasilitasi tidak timbul kejang selama dengan hiperventilasi sebelum diberikan halotan
preoperasi, intraoperasi dan pasca operasi atau dengan pemberian barbiturat.18-20
dan memahami interaksi obat anestesi dengan Efek lain adalah peningkatan volume darah otak
obat antiepilepsi yang digunakan pasien.1,2 12%, pembentukan cerebro spinal fluid (CSF)
5.1. Gas anestesi menurun dan absorbsi CSF akan dihambat.
5.1.1. Nitrous oksida (N2O) Halotan akan meningkatkan air dalam jaringan
Penggunaan N2O untuk neuroanestesi masih otak, sehingga dapat memperburuk edema otak
tetap menjadi perdebatan, karena efeknya yang telah ada. Selain itu, permeabilitas sawar
terhadap aliran darah otak (cerebral blood flow darah otak (Blood Brain Barier/BBB) akan
/CBF), cerebral metabolic rate for oxygen meningkat pada pemberian halotan. Rusaknya
(CMRO2) dan tekanan intrakranial (TIK). N2O sawar darah liquor dan sawar darah otak oleh
60% akan meningkatkan aliran darah otak halotan, akan menyebabkan terjadinya hipertensi
100% dan meningkatkan CMRO2 kurang lebih intrakranial. Kombinasi halotan dan N2O akan
20%. Peningkataan aliran darah otak ini, dapat meningkatkan CBF 300%. Halotan dapat memicu
dikurangi dengan pemberian barbiturat, opioid serangan kejang pada pasien dengan riwayat
atau hipokapnia. Efek pada aliran darah otak dan kejang/ epilepsi.18-20
tekanan intrakranial lebih lemah dibandingkan Berdasarkan data-data diatas, halotan tidak
efek halotan, karena efek ini mudah dilawan direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan
dengan hipokarbia dan vasokonstriksi pada pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.
pemberian barbiturat.18-20 Pada tikus percobaan, 5.1.3 Enfluran
didapatkan serangan kejang saat diinduksi Enfluran menurunkan CMRO2 lebih besar
dengan N2O. Namun belum didapatkan laporan daripada halotan, tetapi lebih rendah dibandingkan
terjadinya kejang saat induksi dengan N2O pada dengan isofluran. CMRO2 akan menurun 30%
manusia. N2O akan memiliki pengaruh yang pada dosis 1 MAC dan menurun 50% pada dosis
minimal apabila dikombinasi dengan obat anestesi 2 MAC. Volume darah otak akan meningkat 15%
intravena.18-20 Karena efek N2O yang cenderung pada konsentrasi klinis pemakaian enflurane.
negatif pada neuroanestesi, maka gas ini tidak Enfluran dapat meningkatkan pembentukan dan
direkomendasikan pada operasi bedah saraf, resistensi terhadap absorbsi cairan serebrospinal
dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20 (CSF), sehingga pada operasi yang lama, jumlah
Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Epilepsi 143

CSF akan meningkat. Autoregulasi otak akan darah otak dan TIK. Peningkatan TIK karena
hilang pada dosis >1 MAC. Pada dosis 1,5–2 isofluran akan berakhir 30 menit setelah gas
MAC, terutama saat hipokapni (PaCO2 < 30 anestesi dihentikan. Peningkatan TIK dapat
mmHg), enfluran akan menyebabkan kejang, dihilangkan dengan melakukan hiperventilasi
yang akan meningkatkan CMRO2 400%. Gas untuk mendapatkan hipokapni. Respon terhadap
ini tidak direkomendasikan pada operasi bedah hipokapni masih baik sampai dosis 2,8 MAC,
saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi. tetapi pada dosis ini kenaikan PaCO2 gagal
untuk mempengaruhi aliran darah otak, karena
5.1.4 Isofluran pembuluh darah otak sudah tidak berdilatasi
Dahulu isofluran merupakan obat anestesi maksimal.18-20 Aliran darah otak akan meningkat,
inhalasi pilihan untuk bedah saraf, karena tetapi resistensi absorbsi cairan serebrospinal
dapat menurunkan CMRO2 sampai 50%. menurun. Depresi terhadap metabolisme lebih
Pada dosis 0,6–1,1 MAC, isofluran tidak besar pada isofluran dibandingkan halotan.
berpengaruh terhadap aliran darah otak dan Depresi progresif terjadi pada dosis 1 MAC. Pada
volume darah otak, tetapi pada dosis 1,6 MAC dosis lebih atau sama dengan 2 MAC, tampak
dapat menyebabkan peningkatan aliran darah gambaran EEG isoelektrik dengan penurunan
otak 200%. Dosis kurang dari 1 MAC, tidak akan CMRO2 50%. Isofluran dapat menimbulkan
berpengaruh terhadap TIK, kecepatan produksi hipotensi, namun aliran darah otak tidak berubah
dan reabsorbsi CSF. Reaktivitas CO2 terhadap tetapi CMRO2 akan menurun, sehingga terjadi
pembuluh darah otak meningkat dan dipertahankan supresi lonjakan EEG (mensupresi kejang), dan
meskipun pada kadar yang tinggi.18-20 mengurangi hipermetabolisme yang disebabkan
Dosis lebih dari 1,5 MAC, autoregulasi akan oleh katekolamin. Berdasarkan data diatas,
terganggu dan terjadi peningkatan aliran isofluran dapat direkomendasi untuk anestesi

Tabel 2. Pengaruh gas anestesi inhalasi pada CBF, CMRO2 dan ICP 1,2, 18-20
Gas anestesi inhalasi CBF CMRO2 TIK
N2O meningkat meningkat meningkat
Halotan meningkat menurun meningkat
Enfluran meningkat menurun meningkat
Isofluran meningkat menurun meningkat
Desfluran meningkat menurun meningkat
Sevofluran meningkat menurun meningkat

Tabel 3. Pengaruh gas anestesi inhalasi pada laju pembentukan CSF, resistensi reabsorpsi CSF dan
TIK 1,2, 18-20
Gas anestesi inhalasi K e c e p a t a n Resitensi terhadap Prediksi efek pada TIK
pembentukan CSF absorpsi CSF
N2O Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
Isofluran
dosis rendah Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan, efek Tidak ada perubahan, efek
tergantung dosis tergantung dosis
dosis tinggi Tidak ada perubahan menurun Menurun
Desfluran Tidak ada perubahan, Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan, efek
efek tergantung dosis tergantung dosis
Sevofluran Menurun Meningkat Tidak tentu, efek terjadi
hanya selama hipokapni
144 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pada operasi bedah saraf dan pasien dengan dan eliminasi terjadi sangat cepat. Bau gas
riwayat kejang/epilepsi. desfluran sangat merangsang saluran pernafasan,
sehingga beresiko tinggi terjadinya batuk, tahan
5.1.5 Sevofluran nafas dan spasme laring saat induksi. Desfluran
Merupakan derivat methyl isoprophylether akan meningkatkan denyut jantung dan menekan
dengan kelarutan dalam darah yang rendah, kontraksi jantung, namun lebih ringan bila
uptake dan eliminasi cepat, induksi inhalasi cepat dibanding dengan halotan. Curah jantung akan
tanpa iritasi jalan nafas, batuk dan spasme laring. dipertahankan. Sensitivitas desfluran terhadap
Autoregulasi tetap intak sampai dosis 1,5 MAC, katekolamin masih kontroversial, ada yang
berbeda dengan isofluran dan desfluran yang menyatakan meningkatkan, tetapi ada pula yang
akan terganggu autoregulalsi otak pada dosis 1,5 mengatakan tidak ada pengaruhnya. Peningkatan
MAC. Efek vasodilasi sevofluran lebih kurang produksi serebrospinal pada desfluran, tanpa
dari isoflurane, enfluran dan halotan (sevofluran disertai peningkatan kecepatan absorbsi
< isofluran < enfluran < halotan). Sevofluran cairan serebrospinal. Belum ada laporan yang
akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah menuliskan bahwa desfluran dapat memicu
otak yang lebih rendah dibandingkan gas anestesi serangan kejang (aktifasi epileptiform) seperti
lainnya dan menurunkan CMRO2. Efek akhir dari enfluran. Berdasarkan data tersebut diatas,
aliran darah otak bergantung pada keseimbangan desfluran masih dapat direkomendasi pada
efek langsung vasodilatasi dan efek tidak langsung operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat
akibat penurunan metabolisme otak. Sevofluran kejang/epilepsi.18-20
tidak menyebabkan aktivitas epileptiform seperti
enfluran. Tidak didapatkan peningkatan denyut 5.2 Non opioid intravena
jantung seperti pada isofluran. Sensitifitas 5.2.1 Barbiturat
terhadap katekolamin tidak meningkat. Onset Barbiturat telah digunakan sejak tahun 1937
cepat, pemulihan cepat serta mudah mengatur untuk menurunkan tekanan intrakranial.
kedalaman anestesi. Berdasarkan data tersebut Barbiturat akan menurunkan aktivitas neuron
diatas, maka sevofluran merupakan gas anestesi yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan
pilihan terbaik untuk operasi bedah saraf dan CMRO2. Penurunan CMRO2 akan menyebabkan
pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20 pengurangan aliran darah otak, sehingga TIK akan
menurun. Penurunan aliran darah otak ini bersifat
5.1.6 Desfluran sekunder oleh karena vasokonstriksi pembuluh
Desfluran akan menurunkan CMRO2, vasodilasi darah otak. Vasokonstriksi ini hanya terjadi di
pembuluh darah otak, dan penurunan resistensi daerah jaringan otak yang normal, sementara di
pembuluh darah serebral yang tergantung pada daerah yang mengalami iskemia atau kerusakan
dosis yang diberikan. Pada dosis 1 MAC, aliran tetap mengalami dilatasi maksimal. Keadaan ini
darah otak akan meningkat. Efek vasodilatasi memberikan efek positif berupa shunting dari
serebral pada desfluran lebih besar dibandingkan daerah yang normal ke daerah yang iskemia,
pada sevofluran dan isofluran. Peningkatan yang dinamakan fenomena Robinhood atau
TIK desflurane juga lebih tinggi dibandingkan inverse steal. Depresi metabolisme yang terjadi
dengan sevofluran dan isofluran. Pada dosis bergantung pada dosis. Penurunan aliran darah
1 MAC, peningkatan CBF dengan desfluran otak dan CMRO2 dapat terjadi sampai gambaran
16% lebih tinggi daripada isofluran dan 24% EEG datar. Pada keadaan ini, peningkatan dosis
lebih tinggi daripada sevofluran. Penurunan barbiturat tidak akan menurunkan CMRO2
CMRO2 terbatas sampai 20% mungkin akibat lebih lanjut. Barbiturat dengan mudah dapat
depresi metabolik maksimal yang dicapai pada menembus BBB dan memasuki SSP. Mudahnya
konsentrasi >2 MAC. Perubahan aliran darah obat menembus sawar darah otak ditentukan oleh
otak akibat desfluran sebanding dengan yang daya kelarutan yang tinggi dalam lemak, ikatan
diakibatkan oleh isofluran. Desfluran mempunyai dengan protein, sehingga pada keadaan kadar
kelarutan yang sangat rendah sehingga uptake protein plasma rendah, kadar barbiturat yang
Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Epilepsi 145

tidak terikat protein meningkat.18-20 Efek negatif kompleks isopropil, mempunyai stabilitas
dari penggunaan barbiturat berupa depresi kimiawi yang tinggi dengan biotoksisitas yang
kardiovaskular, respirasi, dan dilatasi perifer rendah. Propofol akan menurunkan aliran
melalui tonus simpatis yang bergantung pada darah otak dan CMRO2 yang tergantung dosis,
dosis. Depresi kardiovaskular dapat menurunkan dengan penurunan minimum CMRO2 40–60%
tekanan darah sampai terjadinya penurunan nilai kontrol. Penurunan aliran darah otak
tekanan perfusi. Sedangkan depresi respirasi yang disebabkan oleh propofol tampaknya
dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan tidak disebabkan oleh adanya efek langsung
hiperkarbia yang berakibat peningkatan aliran terhadap pembuluh darah, tetapi oleh penurunan
darah otak dan TIK. Penurunan TIK mungkin laju metabolisme oksigen otak. Meskipun
disebabkan karena penurunan aliran darah otak pengaruhnya bergantung pada dosis, tetapi
dan volume darah otak. Penurunan volume tidak identik dengan penurunan tekanan darah
darah otak oleh barbiturat lebih besar dibanding rerata dan TIK. Reaktivitas terhadap CO2 tetap
yang disebabkan oleh obat anestesi inhalasi. dipertahankan. Hampir pada semua keadaan
Barbiturat dapat menghilangkan efek vasodilatasi propofol menyebabkan penurunan tekanan darah
yang disebabkan oleh N2O. Barbiturat juga rerata sehingga dapat menurunkan tekanan perfusi
bekerja sebagai antikonvulsan.18-20 Thiopental, otak. Oleh karena itu, apabila digunakan untuk
merupakan barbiturat yang sering digunakan menurunkan hipertensi intrakranial, harus dijaga
dalam neuroanestesi. Thiopental dimetabolisme agar tekanan darah rerata tetap dipertahankan.18-20
di hepar 10–25% perjam. Lambatnya eliminasi Propofol mendepresi jantung lebih kuat daripada
thiopental menyebabkan terjadinya akumulasi thiopental. Tekanan darah turun 15–30%, yang
obat bila diberikan dalam dosis besar. Thiopental disertai atau tidak refleks peningkatan denyut nadi.
menurunkan tekanan intrakranial hanya jika telah Propofol lebih efektif daripada thiopental dan
ada kenaikan tekanan intrakranial, tetapi pada etomidat dalam mencegah respon hemodinamik
bedah saraf, penting untuk mengurangi tekanan pada saat intubasi. Propofol dapat digunakan
intrakranial akibat tehnik anestesi, misalnya pada pada awake craniotomy dan sebagai substitusi
saat laringoskopi-intubasi. Dosis induksi 4-6 mg/ anestesi inhalasi pada akhir anestesi umum untuk
kg BB (rata-rata 5 mg/kg BB). Dosis proteksi mempercepat bangun dari anestesi.18-20
otak 1–3 mg/kg BB/jam. Thiopental bekerja Efek propofol dalam menurunkan TIK,
menurunkan CMRO2, memperbaiki distribusi menyebabkan propofol digunakan di ICU untuk
aliran darah otak, menekan terjadinya kejang, sedasi pasien dengan kenaikan TIK. Propofol
menekan katekolamin (yang menyebabkan mempunyai keuntungan pasien cepat bangun
reaktivitas, anestesia, imobilisasi), menurunkan sehingga memungkinkan dilakukan evaluasi
TIK, menurunkan edema serebri, menurunkan neurologis. Sedasi sedang dengan propofol
sekresi serebrospinal, stabilisasi membran sel, tidak akan meningkatkan TIK dibandingkan
blokade calcium channel, merubah metabolisme dengan tanpa sedasi pada pasien dengan biopsi
asam lemak.18-20 stereotatik untuk tumor otak. Selama kraniotomi
Pada operasi bedah saraf dan pasien dengan untuk reseksi tumor otak, TIK lebih rendah
riwayat kejang / epilepsi, thiopental merupakan pada pasien yang menerima propofol–fentanyl
barbiturat yang direkomendasikan. dibandingkan pasien yang dianestesi dengan
isofluran–fentanyl atau sevofluran–fentanyl. Efek
Methohexital, merupakan barbiturat yang sudah anti nausea propofol juga menguntungkan pada
ditinggalkan pemakaiannya, karena memiliki operasi bedah saraf, sebab intraoperasi, diberikan
efek samping yang dapat memicu terjadinya narkotika dosis besar yang dapat menimbulkan
serangan kejang.1,2 efek samping mual, muntah pascaoperasi. Mual,
muntah harus dihindari pada neuroanestesi
5.2.2 Propofol karena dapat meningkatkan TIK pasien. Pada
Propofol memiliki struktur kimia C12H18O metabolisme medula spinalis, propofol akan
yang terdiri dari cinsin fenol dengan dua ikatan menurunkan metabolisme medula spinalis lokal
146 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 4. Benzodiazepine1,2, 18-20

Benzodiazepin Induksi Medikasi Sedasi Amnesia Night


Pre operasi Intraoperasi Hypnotic

Midazolam ++ +++ +++ - +++


Diazepam + +++ + ++ ++
Lorazepam - +++ - ++ +++
Triazolalm - +++ - ++ ++
Chlordiazopexide - + - + -
Flurazepam - - - ++ -
Oxazepam - + - + -
Prazepam - - - - -

Tabel 5. Efek anestetik pada aliran darah otak (CBF) dan CMRO2 1,2, 18-20

Gas /obat anestesi CBF CMRO2 Va s o d i l a t a s i


serebral langsung
Halotan ↑↑↑ ↓ Ya
Enfluran ↑↑ ↓ Ya
Isofluran ↑ ↓↓ Ya
Desfluran ↑ ↓↓ Ya
Sevofluran ↑ ↓↓ Ya
N2O ↓ ↑ -
Thiopental ↓↓↓ ↓↓↓ Tidak
Etomidat ↓↓ ↓↓ Tidak
Propofol ↓↓ ↓↓ Tidak
Midazolam ↓ ↓ Tidak
Ketamin ↑↑ ↑ Tidak
Fentanyl ↓ atau tidak ada efek ↓ atau tidak ada efek Tidak

pada substansia alba dan substansia grisea. menunjukkan penurunan CMRO2 secara progresif
Propofol juga mempunyai efek anti konvulsan. sampai EEG isoelektrik, setelah EEG datar,
Efek samping yang tidak menyenangkan penambahan dosis tidak menimbulkan penurunan
dari propofol adalah rasa sakit pada suntikan CMRO2 lebih lanjut dan energi metabolisme otak
intravena. Rasa sakit ini dapat dikurangi dengan tetap normal.18-20
pemberian lidokain 2% intravena. Dosis induksi Pada manusia, etomidat menyebabkan penurunan
propofol 2–2,5 mg/kg BB intravena.18-20 aliran darah otak dan CMRO2 sebesar 30–50%.
Berdasarkan data diatas, maka propofol Penurunan aliran darah otak berawal saat infus
direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan dimulai, dan penurunan maksimum aliran
pasien dengan riwayat kejang / epilepsi. darah otak dicapai sebelum penurunan CMRO2
mencapai maksimum. Reaktivitas terhadap CO2
5.2.3 Etomidat dipertahankan selama anestesi dengan etomidat.
Etomidat merupakan senyawa imidazole non Etomidat efektif menurunkan TIK tanpa
barbiturat. Pada anjing percobaan, etomidat menurunkan perfusi otak. Dosis induksi 0,2 – 0,4
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi 147

mg/kgBB, mula kerja segera dan lama kerja 5-10 juga akan meningkatkan resistensi absorbsi
menit. Etomidat mengalami metabolisme di hepar cairan serebrospinal, yang akan meningkatkan
(98%) dan dieksresi melalui ginjal, sehingga TIK. Akibat hal tersebut, maka ketamin tidak
efeknya memanjang pada gangguan fungsi direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan
ginjal Beberapa penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan riwayat kejang/epilepsi. 18-20
penggunaan etomidat adalah:18-20 5.2.5 Benzodiazepin
1. Timbulnya mioklonus yang terjadi hingga Benzodiazepin yang lazim digunakan dalam
80% pasien anestesi adalah diazepam dan midazolam.
2. Supresi respon adrenokorteks terhadap stress 5.2.5.1 Diazepam
yang berlangsung sampai beberapa jam pasca Efek diazepam pada pasien cedera kepala, adalah
induksi menurunkan aliran darah otak dan CMRO2
3. PONV, terjadi pada 30-40% pasien sebanyak 25%. Level puncak dalam darah, dicapai
4. Nyeri pada penyuntikan karena osmolalitas setelah 1 jam pada dewasa atau 15–30 menit pada
yang tinggi anak-anak. Diazepam merupakan antikonvulsan
dan merupakan drug of choice untuk status
Pada operasi bedah saraf dan pasien dengan epilepsi. Efek terhadap kardiovaskular minimal.
riwayat kejang / epilepsi, etomidat tidak Metabolisme di hepar, hasil metabolit bersifat
direkomendasikan, karena efek mioklonus dan long acting, yang menyebabkan panjangnya lama
penekanan adrenokortikal. kerja diazepam. Waktu paruh memanjang pada
5.2.4 Ketamin usia lanjut, gangguan fungsi hepar dan pemakaian
Ketamin memiliki rumus bangun cimetidine. Efek depresi nafas minimal, namun
dengan nama 2–(0–chlorophenyl)–2– bila dikombinasi dengan narkotik, dapat
(methylamino)–cyclohexanonehydrochloride. menimbulkan apnoe. Tidak dianjurkan pemberian
Ketamin hidroklorid adalah molekul yang larut secara intramuskular, sebab absorbsi obat akan
dalam air, dengan berat molekul 238 dan pKa 7,5. menurun. Kombinasi diazepam dengan fentanil
Ketamin larut dalam lemak, dengan kelarutan atau diazepam dengan N2O dapat menurunkan
sepuluh kali lipat dibandingkan thiopental, aliran darah otak dan CMRO2. Pemberian
sehingga dengan cepat didistribusikan ke organ diazepam akan menimbulkan nyeri pada pasien.
yang banyak vaskularisasinya, termasuk otak Obat ini dapat direkomendasikan pada operasi
dan jantung, dan selanjutnya diredistribusikan bedah saraf atau pasien dengan riwayat kejang/
ke organ-organ yang perfusinya lebih sedikit. epilepsi.1,2, 18-20
Keberadaan atom karbon asimetris menghasilkan
dua isomer optik dari kemain yaitu S(+) ketamin 5.2.5.2 Midazolam
dan R(-) ketamin. Sediaan komersil ketamin Midazolam memiliki potensi 3–4 kali lipat dari
berupa bentuk rasemik yang mengandung kedua diazepam, dengan mula kerja dan pemulihan
enantiomer dalam konsentrasi sama. Masing- cepat. Tekanan darah akan menurun, terutama bila
masing enantiomer mempunyai potensi. S(+) ada hipovolemia akibat turunnya resistensi perifer
ketamin menghasilkan analgesia yang lebih kuat, dan curah jantung. Midazolam akan menurunkan
metabolisme dan pemulihan lebih cepat, sekresi aliran darah otak dan CMRO2 sebanyak 40%
saliva lebih rendah dan emergence reation atau dan lebih protektif terhadap otak dibandingkan
mimpi buruk/halusinasi lebih rendah dibanding dengan diazepam, tetapi masih kurang bila
R(+) ketamin. 1,2 Ketamin akan meningkatkan dibandingkan dengan thiopental. Sebagai
aliran darah otak 60-80% sehingga menyebabkan antikonvulsi, midazolam lebih baik daripada
TIK meningkat. Efek peningkatan TIK dapat diazepam, karena tingginya penetrasi dalam SSP.
diatasi dengan hipokapnia, pentotal atau Depresi nafas lebih minimal dibandingkan dengan
benzodiazepin. Namun beberapa penelitian diazepam, walaupun diberikan dalam dosis
menunjukkan adanya kegagalan sekobarbital, besar atau bila dikombinasi dengan narkotika.
droperidol, diazepam dan midazolam dalam Anterograde amnesia pada pemberian midazolam
mengatasi kenaikan TIK akibat ketamin. Ketamin akan berakhir 1 jam setelah intramuskular dan 2
148 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 6. Klasifikasi Opioid1,2 menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan reaksi


Golongan Nama opioid ortostatik, menaikkan insidensi reaksi kulit,
Naturally occuring morphin urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin,
(opioid murni) codein memicu bronkospasme pada pasien asma.
papaverine
5.3.1 Opioid Sintetik
thebaine
Efek opioid sintetik terhadap aliran darah otak,
Opioid semisintetik heroin laju metabolisme dan TIK bervariasi, yang
dihydromorphone / tampaknyai bergantung pada obat anestesi yang
morphinone melandasi. Jika obat anestesi yang digunakan
thebaine derivatives bersifat vasodilatasi, opioid secara konsisten
(etorphine, buprenorphine) bersifat vasokonstriktor serebral. Sebaliknya
Opioid sintetik morphinan series bila obat anestesi yang melandasi bersifat
(levorphanol, butorphanol) vasokonstriktor atau tanpa obat anestesi,
diphenylpropylamine series maka opioid tidak memberi efek atau bahkan
(methadone menyebabkan peningkatan aliran darah otak.
bezomorphan series Terhadap penggunaan N2O, hampir semua opioid
(pentazocine) menurunkan laju metabolisme oksigen otak. Efek
phenylpiperidine series terhadap TIK bervariasi tergantung pada apakah
(meperidine, fentanyl, obat anestesi yang mendasari mempunyai efek
sufentanil, alfetanil, terhadap kondisi tekanan darah sistemik atau
remifentanil) autoregulasi.1,2, 18-20

5.3.2 Fentanyl dan Sufentanyl


jam pasca intravena. Metabolisme di hepar tanpa Pemberian kombinasi fentanyl 5 ug/kg BB dan
dibentuk metabolit aktif. Berdasarkan hal itu, droperidol 0,25 mg/kg BB tidak memberi efek
maka dibandingkan dengan diazepam, midazolam yang nyata terhadap aliran darah otak dan laju
lebih direkomendasikan untuk operasi bedah saraf metabolisme oksigen otak. Bila fentanyl atau
dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20 sufentanyl digunakan pada pasien yang tidak
diberi premedikasi sebelumnya, akan terjadi
5.3 Opioid intravena peningkatan kecepatan aliran darah otak di arteri
Opioid adalah golongan obat yang memiliki serebri media. Ini membuktikan bahwa obat
sifat seperti opium atau morfin dan digunakan anestesi berpengaruh terhadap respon fentanyl
untuk meredakan atau menghilangkan nyeri. terhadap aliran darah otak. Sufentanyl bersifat
Opioid terbagi menjadi opioid murni (naturally menurunkan kecepatan aliran darah otak di arteri
occurring), opioid semisintetik dan opioid serebri media pada pasien dengan TIK yang
sintetik. Opioid murni berasal dari opium-morfin meningkat.1,2, 18-20
Opioid semisintetik adalah turunan modifikasi
morphin yang sederhana. Opioid sintetik adalah Pemberian fentanyl atau sufentanyl pada pasien
modifikasi morphin dengan penambahan bangun yang mendapat anestesi N2O dan isofluran selama
phenantrene pada rumus bangun morphin.1,2 kraniotomi, menghasilkan relaksasi otak yang
Obat Golongan opioid akan berefek sentral dan lebih baik. Diperkirakan hal ini disebabkan karena
perifer. Efek sentral yaitu analgesia, sedatif, fentanyl dan sufentanyl mempunyai aktivitas
tranquelizer, euphoria, disforia, depresi respirasi, vasokonstriksi pembuluh darah otak. Pemberian
antitusif, antiemetik, miotik, antidiuretika, fentanyl atau sufentanyl pada pasien dengan
ketergantungan obat. Efek perifer yaitu menunda cedera otak traumatik berat dapat meningkatkan
pengosongan lambung dengan konstriksi pilorus, TIK. Apabila tekanan darah rerata dipertahankan,
konstipasi spastik, kontraksi sfingter saluran maka sufentanyl dengan dosis 3 ug/kg BB tidak
empedu, menaikkan tonus otot kandung kemih, mempunyai efek terhadap TIK. Tetapi apabila
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi 149

Tabel 7. Efek narkotik pada laju pembentukan aliran darah otak, resistensi reabsorpsi aliran
darah otak dan TIK 1,2, 18-20
Narkotik K e c e p a t a n Resistensi terhadap Prediksi efek pada TIK
pembentukan aliran absorpsi aliran darah
darah otak otak
Fentanyl, Alfentanyl Tidak ada perubahan Menurun Menurun
Sufentanyl
(dosis rendah)

Fentanyl Menurun Tidak ada perubahan Menurun, tidak tentu,


(dosis tinggi) Efek tergantung dosis efek tergantung dosis

Alfentanyl Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
(dosis tinggi)

Sufentanyl Tidak ada perubahan Meningkat, Meningkat,


(dosis tinggi) Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan
Efek tergantung dosis Efek tergantung dosis

TIK meningkat disertai penurunan tekanan darah Pencegahan peningkatan TIK ini dapat dicegah
rerata, dosis yang sama dapat menyebabkan dengan pemberian dosis kecil obat pelumpuh
peningkatan TIK sementara.1,2, 18-20 otot non depolarisasi sebelumnya, atau lidokain
intravena. Obat ini tidak direkomendasikan pada
Semua opioid intravenous anestesi diduga operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat
memiliki efek terhadap interneuron di kejang/epilepsi.18-20
hippocampus yang dapat menekan timbulnya
kejang pada pasien. Sehingga dapat dikatakan, 5.5 Pelumpuh otot non depolarisasi
semua opioid aman digunakan pada pasien Pelumpuh otot non depolarisasi bekerja sebagai
dengan riwayat kejang/epilepsi, karena tidak antagonis kompetitif pada post sinap dan pre
memicu timbulnya kejang.1,2,18-20Antagonis sinap reserptor kolinergik pada neuromuscular
narkotik yaitu naloxon, bila diberikan secara junction.1,2
titrasi mempunyai efek yang kecil terhadap aliran 5.5.1 Atrakurium
darah otak dan TIK. Bila naloxon diberikan Atrakurium tidak mempunyai efek terhadap TIK.
dengan dosis besar untuk menghilangkan efek Penggunaan dosis besar yang diberikan secara
narkotik, dapat menimbulkan hipertensi, aritmia cepat dapat menurunkan tekanan darah, yang
jantung dan perdarahan intrakranial.18-20 dapat dicegah dengan memberikan secara lambat
dan dengan dosis yang lebih kecil. Metabolisme
5.4 Pelumpuh otot terjadi di jaringan dan di plasma, dua per
5.4.1 Suksinilkolin tiga dengan cara hidrolisis ester sedangkan
Berbagai penelitian pada manusia maupun hewan sepertiganya dengan degradasi Hofmann. Waktu
coba, menyatakan bahwa suksinilkolin dapat kerjanya relatif singkat meskipun dengan dosis
meningkatkan TIK yang tidak tergantung dari besar sehingga sangat berguna untuk intubasi
ada/tidaknya lesi di otak. Peningkatan TIK ini cepat. Dosis induksi 0,3 – 0,5 mg/kg BB. Tidak
disertai dengan fasikulasi dan peningkatan aliran didapatkan efek akumulasi dan fasikulasi otot
darah otak. Fasikulasi yang terjadi pada otot- seperti suksinilkolin, Sehingga obat ini dapat
otot leher dapat menyebabkan hambatan pada direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan
vena jugularis, sehingga TIK dapat meningkat. pasien dengan riwayat kejang / epilepsi.18-20
150 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 7. Efek pelumpuh otot terhadap hemodinamik dan TIK 1,2, 18-20
Obat Tekanan darah rerata Nadi TIK
Suksinilkolin - ↓ ↑
Atrakurium ↓ ↓ -
Vekuronium - - -
Pankuronium ↑ ↑↑ -
Rokuronium - - -

5.5.2 Pankuronium 5.6 Obat lain


Pankuronium tidak mempunyai efek langsung 5.6.1 Lidokain 2% intravena
terhadap TIK. Memiliki efek otonom yang Dosis 1–1,5 mg/kg BB digunakan untuk
menonjol, berupa vagolitik, simpatomimetik menumpulkan respon simpatis pada saat
tidak langsung dan mengubah konduksi SA node laringoskopi dan intubasi. Lidokain mencegah
dan AV node jantung, sehingga berefek takikardi peningkatan TIK pada pasien dengan tumor/
dan peningkatan ringan pada curah jantung. masa di otak, saat intubasi. Dosis rendah
Metabolisme di hepar. Ekresi di ginjal. Tidak lidokain berefek sedasi, sedang dosis tinggi
didapatkan fasikulasi otot seperti suksinilkolin. dapat menimbulkan serangan kejang. Pada dosis
Obat ini tidak direkomendasikan untuk operasi yang tidak menimbulkan kejang, lidaokain dapat
bedah saraf karena efek vagolitik dan takikardi. menurunkan laju metabolisme otak (CMRO2)
18-20 dan aliran darah otak. Dosis besar (maksimum)
dapat menurunkan laju metabolisme 30%, tetapi
5.5.3 Vekuronium bila timbul kejang maka laju metabolisme akan
Vekuronium tidak mempunyai efek terhadap meningkat, bersamaan dengan peningkatan
dinamika cairan serebro spinal maupun TIK. aliran darah otak. Dosis kecil lidokain, dapat
Stabilitas kardiovaskuler dipertahankan direkomendasikan untuk operasi bedah saraf
meskipun pada dosis besar. Vekuronium dapat dan pasien. Namun harus dipertimbangkan
menyebabkan bradikardi terutama bila digunakan pemakaiannya pada pasien dengan riwayat
bersama narkotika, sebagai pencegahan dapat kejang / epilepsi.18-20
diberikan atropin.
Metabolisme vekuronium terjadi di hepar. 5.6.2 Klonidin/Catapres (alfa 2 aderenergik agonis)
Vekuronium dapat digunakan untuk intubasi Klonidin bersifat vasokonstriktor pembuluh
cepat, karena waktu kerjanya yang relatif singkat. darah otak yang kuat. Pemberian klonidin
Dosis syringe pump (infusion) 0,05 – 0,1 mg/ pada volunter sehat dengan dosis 5 ug/
kg BB/jam. Tidak didapatkan fasikulasi otot kgBB ternyata menurunkan kecepatan aliran
seperti suksinilkolin, Sehingga obat ini dapat darah di arteri serebri media ± 20%, disertai
direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan reaktivitas terhadap CO2 sedikit dihilangkan.
pasien dengan riwayat kejang / epilepsi.18-20 Pemberian klonidin dosis tunggal 2,5 ug/kg BB
intravena, untuk pasien cedera otak traumatik
5.5.4 Rokuronium berat tidak jelas memberi pengaruh terhadap TIK
Rokuronium mempunyai onset cepat dan lama dan jelas menyebabkan penurunan tekanan darah
kerja pendek dibandingkan dengan pelumpuh rerata (MAP) dan tekanan perfusi otak (CPP).
otot non depol yang lain, sehingga merupakan Beberapa pasien menunjukkan peningkatan
pilihan pengganti suksinilkolin untuk induksi TIK >10 mmHg sehubungan dengan penurunan
dan intubasi cepat. Tidak didapatkan fasikulasi tekanan darah rerata tersebut. Diperkirakan hal
otot seperti suksinilkolin, Sehingga obat ini dapat tersebut akibat dari mekanisme vasodilatasi
direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan autoregulasi.18-20
pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi 151

Tabel 8. Efek samping obat anti epilepsi1,2


Nama Generik Nama dagang Efek samping
Carbamazepine Tegretol anorexia, anemia aplastik, gangguan kognitif,
diplopia, pusing, hiponatremia, impoten, letargi,
leukopeni, nausea, rash
Tegretol XR
Clonazepam Klonopin depresi, letargi
Clarazepate Tranxene depresi, letargi
Gabapentin Neurontin gangguan kognitif, pusing, edema, letargi, nausea,
rash

Lamotrigine Lamictal anorexia, gangguan kognitif, pusing, letargi,


nausea, rash
Phenobarbital - gangguan kognitif, depresi, pusing, impoten,
letargi, tremor, rash

Phenytoin Dilantin anorexia, gangguan kognitif, diplopia, pusings,


gingival hipertrophi, hirsutisme, impoten, letargi,
lupuslike syndrome, rash
Primidone Mysoline anorexia, gangguan kognitif, depresi, pusing,
impotence, letargi, nausea, rash
Topiramate Topamax anorexia, gangguan kognitif, pusing, batu ginjal,
letargi, tremor
Valproic acid Depakote pusing, edema, rambut rontok, letargi, nausea,
teratogenik, trombositopeni, tremor, berat badan
turun

5.6.3 Dexmedetomidin digunakan. Vasodilatasi otak yang disebabkan


Dexmedetomidin menunjukkan efek sedasi oleh isofluran atau sevofluran dapat dikurangi,
dan ansiolitik melalui aktivitas reseptor alfa 2 bila sebelumnya diberikan dexmedetomidin.
adrenergik di locus ceruleus (LC). Sedasi yang Hal ini dapat digunakan untuk menghindari
dihasilkan tidak sama dengan benzodiazepin peningkatan aliran darah otak pada pasien dengan
atau propofol, karena primer tidak tergantung trauma kepala atau tumor otak besar.18-20
pada sistem γ-aminobutyric acid (GABA). Titik
tangkap dexmedetomidin tidak di kortek serebri. Dexmetomidin memiliki efek neuroprotektif.
Hal ini menyebabkan sedasi yang kooperatif, Pada iskemi otak, dexmedetomidin mengurangi
yaitu pasien dengan mudah dapat berubah dari pelepasan noradrenalin, sehingga memberi
keadaan tidur ke kondisi bangun penuh, dan proteksi terhadap kerusakan otak. Pada binatang
kemudian tidur lagi bila tidak ada rangsangan. percobaan, dexmedetomidin dapat memperbaiki
Memiliki pula efek analgetik. kelangsungan hidup neuron setelah mengalami
Pemberian dexmedetomidin dapat mengurangi iskemi lokal atau global sementara. Belum
kebutuhan opioid 30–50%, namun kekuatan didapatkan laporan, timbulnya serangan kejang
analgetik tidak sekuat opioid. Mekanisme kerja pada pemakaian dexmedetomidin pada pasien.
analgetik dexmedetomidin belum diketahui Berdasarkan data diatas, maka dexmedetomidin
secara pasti, diperkirakan titik tangkap pada dapat direkomendasikan untuk operasi bedah
korda spinalis.1,2,18-20 Respon vasoaktif pembuluh saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi.
darah otak dipengaruhi oleh obat anestesi yang
152 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

6. Premedikasi (pada TIVA). Intraoperasi epilepsi dipertahankan


tekanan darah sistolik 90–100 mmHg, end tidal
Umumnya, premedikasi yang diberikan antasida CO2 25–30 mmHg yang setara dengan PaCO2 29–
dan atau antiemetik. Obat antiepilepsi tetap 34 mmHg, PaO2 100–200 mmHg dan hematokrit
dilanjutkan. Hindari terjadinya gangguan (Ht) 35%. Cegah terjadinya hipovolemia,
elektrolit preoperasi, yang dapat memicu hipervolemia, hipoosmoler, hiperglikemia intra
timbulnya kejang.1-2 operasi. Pemeliharaan cairan 1–1,5 mg/kgBB/
jam atau ganti 2/3 dari jumlah diuresis. Hindari
7. Intraoperasi larutan hipotonik (dextrose 5%). Lebih disukai
NaCl 0,9% daripada RL karena osmolaritas
Monitoring intra operasi epilepsi, umumnya NaCl 0,9% 300 mOsm/L, sedangkan RL 273
sama seperti operasi bedah saraf lainnya. Dapat mOsm/L, jadi NaCl 0,9% sedikit hiperosmoler
digunakan electrocorticography (EcoG) yang (osmolaritas tubuh kita 290 mOsm/L). Dextrose
akan memonitor gelombang otak selama operasi hanya diberikan untuk terapi hipoglikemia (gula
berlangsung untuk mendeteksi timbulnya darah <60 mg%), untuk mempertahankan kadar
kejang intra operasi. Pada awake craniotomy, gula darah <150 mg%, karena hiperglikemia
harus dipastikan posisi pasien terasa nyaman dapat menyebabkan edema otak, iskemia dan
selama operasi berlangsung, suhu tidak terlalu nekrosis serebral. Terapi dengan insulin bila
dingin, dipastikan jalan nafas aman dan pasien gula darah >200mg%. Bila perdarahan >20%
kooperatif saat cortical mapping dilakukan. Pada atau hematokrit (Ht) <30%, berikan darah untuk
anestesi umum, hindari gas dan obat anestesi mencapai Ht 35%.18-20 Interaksi antiepilepsi/
intravena yang dapat memicu timbulnya kejang antikonvulsan yang rutin digunakan pasien,
intraoperasi. harus diperhitungkan saat anestesi umum. Seperti
lamotrigine dan oxcarbamezepine, berefek sedasi
Sebelum induksi, diberikan midazolam 0,15– dan letargi bila berinteraksi dengan obat anestesi
0,25 mg/kg BB iv, dilanjutkan oksigen 100%, intravena. Carbamezepine berefek depresi
fentanyl 1–3 ug/kgBB iv, bolus lambat dalam terhadap sistem hemopoetik dan toksisitas
waktu 1 menit. Berikan 1/10 dosis pelumpuh otot kardiak pada beberapa pasien. Pemakaian
non depolarisasi, dilanjutkan propofol 2–2,5 mg/ topiramate jangka lama beresiko terjadinya
kg BB iv atau penthotal 5 mg/kgBB iv. Setelah asidosis metabolik. Perhatikan pula efek samping
refleks bulu mata negatif, dicoba ventilasi, bila obat anti epilepsi yang rutin digunakan pasien.1,2
ventilasi adekuat, berikan sisa pelumpuh otot Efek lain pemakaian obat antiepilepsi jangka
(vecuronium 0,15 mg/kgBB iv, atau rocuronium lama adalah meningkatkan dosis obat pelumpuh
0,6 mg/kgBB iv, atau atracurium 0,5 mg/kg BB otot non depolarisasi dan opioid.1,2
iv). Berikan lidokain 2% 1–1,5 mg/kgBB iv, 3
menit sebelum laringoskopi–intubasi. Propofol 8. Pasca operasi
atau pentotal ulangan dapat diberikan 30 detik
sebelum laringooskopi–intubasi. Pada awake craniotomy, pasien tidak diintubasi,
ventilasi oksigen menggunakan nasal canul.
Intubasi dilakukan setelah tekanan darah Pasien diobservasi 1x24 jam pascaoperasi.
menurun kira-kira 20% dari tekanan awa dan Di USA, pada awake craniotomy, pasien
relaksasi otot adekuat. Untuk mencegah kenaikan diperbolehkan pulang 6 jam pasca tindakan
tekanan darah saat laringoskopi dan intubasi, bila tidak terjadi perdarahan atau komplikasi
dalamkan anestesi dengan pentotal atau propofol, pascaoperasi. Pasien dengan anestesi umum,
fentanyl, lidokain. Jangan dalamkan anestesi dapat dilakukan ekstubasi apabila kesadaran
dengan gas anestesi karena akan meningkatkan prabedah adekuat (GCS >9), tidak ada laserasi
aliran darah otak. Pemeliharaan anestesi dapat otak yang luas intra operasi, perdarahan minimal,
digunakan kombinasi gas O2 dan sevoflurane temperatur pasien normal, oksigenasi normal,
atau kombinasi gas O2 dengan compress air kardiovaskular stabil, homeostatis sistemik dan
Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Epilepsi 153

Tabel 9. Kondisi Homeostatis Sistemik dan Homeostatis Otak untuk early Emergence
Homeostatis sistemik Homeostatis otak
Normotermi (>36 C)
0
Metabolisme otak dan aliran darah otak normal
Normovolemia, normotensi Tekanan intrakranial normal diakhir operasi
(MAP 70–120 mmHg)
Hipokapnia ringan / normokapnia Profilaksis antiepilepsi
(PaCO2 35 mmHg)
Normoglikemia Posisi kepala head up adekuat
(glukosa <150 mg% atau 4-8 mmol/ltr)
Tidak ada hiperosmolar (285 ± 5 >25% mOsm/ Saraf kranial untuk proteksi jalan nafas intact
kg) Hematokrit >25%
Tidak ada gangguan koagulasi

homeostatis otak adekuat. Pascaoperasi, tekanan direkomendasikan adalah lidokain 2% dan


arteri rerata harus dipertahankan > 90 mmHg dexmedetomidin. Teknik anestesi yang digunakan
untuk mempertahankan tekanan perfusi otak 50- dapat awake craniotomy atau anestesi umum
70 mmHg.18-20 dengan TIVA atau kombinasi gas anestesi dengan
obat anestesi intravena. Gas N2O diganti dengan
III. Simpulan compress air, dengan perbandingan oksigen :
compress air = 1 : 1. Penatalaksanaan preoperasi,
Penatalaksanaan anestesi pada pesien dengan intraoperasi dan pascaoperasi, tidak berbeda
riwayat kejang/epilepsi memerlukan pemilihan seperti operasi bedah saraf lainnya. Interaksi obat
obat dan gas anestesi yang tidak memicu serangan antiepilepsi dan efek samping anti epilepsi yang
kejang. Gas yang tidak direkomendasikan, rutin digunakan pasien, harus dipertimbangkan
karena memiliki efek menstimulasi aktivitas supaya tidak terjadi masalah intraoperasi dan
epileptiform adalah N2O, halotan, enfluran. Gas pascaoperasi.
anestesi yang dapat direkomendasikan adalah
isofluran, sevofluran dan desfluran. Tidak adanya Daftar Pustaka
iritasi saluran pernafasan saat induksi dengan
sevofluran, menyebabkan gas ini menjadi pilihan 1. Kofke WA, Tempelhoff R, Dasheiff RM.
dalam operasi bedah saraf dan pasien dengan Anesthesia for epileptic patients and for
riwayat kejang/epilepsi. Obat anestesi intravena epilepsy surgery. Dalam: Cottrell JE, Smith
non opioid yang tidak direkomendasikan, karena DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4th.ed, St.
dapat menstimulasi terjadinya kejang adalah Louis, Missouri, USA : Mosby; 2001, 473-90
etomidat, ketamin dan methohexital. Obat
yang direkomendasikan, karena memiliki efek 2. Schubert A, Lotto M. Awake craniotomy,
antikonvulasan dan sedasi adalah thiopental, epilepsy, minimal invasive, and robotic
propofol, midazolam, diazepam. Semua opioid surgery. Dalam: Cotrell JE, Young WL.
dapat direkomendasikan dalam operasi bedah Cottrell and Young’s: Neuroanesthesia, 5th.
saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi, ed, Philadelphia : Mosby; 2001, 296-316
karena tidak menstimulasi kejang. Pelumpuh
otot yang tidak direkomendasikan, karena dapat 3. Nguyen DH, Mbacfou MT. Prevalence
menstimulasi terjadinya kejang adalah suksinil of nonlesional focal epilepsy in an adult
kolin. Pankuronium juga tidak direkomendasikan epilepsy clinic. Can. J. Neourol.Sci. 2014;
karena memiliki efek vagolitik dan takikardi. 40: 198–202
Obat yang direkomendasikan adalah atrakurium,
vekuronium dan rocuronium. Obat lain yang 4. Bjellvi J, Flink R. Complications of
154 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

epilepsy surgery in Sweden 1996–201 : a 13. Sander JW. The epidemiology of epilepsy
prospective, population-based study. Journal revisited. Neurosurgery Journal. April 2003;
of Neurosurgery. 2015; 122: 519–525 16: 165–70

5. Sastri BVS, Sinha AS. Clinico-pathological 14. George MS, Sackeim HA. Vagus nerve
factors influencing surgical outcome in stimulation: a new tool for brain research and
drug resistant epilepsy secondary to mesial therapy. Elseiver Journal. 2000; 47: 287–95
temporal sclerosis. J. Neurol. Sci. 2014; 340:
183–90 15. Kwan P, Brodie MJ. Early identification of
refractory epilepsy. N. Engl. J. M. 2000; 342:
6. Elliot RE, Bolio RJ. Anterior temporal 314–9
lobectomy with amygdalohippocampectomy
for mesial temporal scleroris: predictor 16. Kwan P, Brodie MJ. Refractory epilepsy:
of long-term seizure control. Journal of a progressive, intractable but preventable
Neurosurgery. 2013; 119: 261–72 condition? Elseiver Journal. 2002; 11: 77–84

7. Friedman D, Devinsky O. Cannabinoids in 17. Benabid AL, Minotti L, Koudsie A.


the treatment of epilepsy. N. Engl. J. Med. Antiepileptic effect of high-frequency
2015; 373: 1048–58 stimulation of the subthalamic nucleus
(corpus Luysi) in a case of medically
8. Egley CE, Famulari M, Annegers JF, et al. intractable epilepsy caused by focal dysplasia:
The Cost of epilepsy in the United State: an A 30-month follow-up: Technical case report.
estimate from population-based clinical and Neurosurgery Journal, June 2002; 50(6):
survey data. Epilepsia Journal, 2000; 41: 1385–92
342–51
18. Bisri T. Anestesi pada pasien dengan
9. Devinsky O. Current concepts: Sudeen, cedera kepala akut. Dalam: Penangganan
unexpected death in epilepsy. N. Engl. J. Neuroanestesia dan Critical Care Cedera
Med. 2011; 365: 1801–11 Otak Traumatik. Edisi 1, Bandung,
Indonesia: Saga Olahcitra; 2012; 83–122
10. Rhio JM. Inhibition of lactate dehydrogenase
to treat epilepsy. N. Engl. J. Med. 2015; 373: 19. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Edisi 2,
187–9 Bandung, Indonesia : Saga Olahcitra; 2011;
21–44
11. Cash SS, Karvie MD. Case 34-2011 : A 75
year old man with memory loss and partial 20. Saleh, SC. Neurofarmakologi. Dalam:
seizures. N. Engl. J. Med. 2011; 365: 1825–33 Sinopsis Neuroanestesi Klinik. Edisi 2,
Surabaya, Indonesia : Zifatama; 2013; 19–38.
12. Kwan PS, Brodie MJ. Current concepts: drug
resistant epilepsy. N. Engl. J. Med. 2011;
365: 919–26
Indeks Penulis

A P
Agus Junaedi, 87 I Putu Pramana Suarjaya, 13, 24, 44

B R
Buyung Hartiyo L, 104 Radian Ahmad Halimi, 113
Rahadian Indarto Susilo, 130
F RR Sinta Irina, 94
Fitri Sepviyanti Sumardi, 119 Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, 138

H S
Hasanul Arifin, 94 Siti Chasnak Saleh, 94, 113, 119
Himendra Wargahadibrata, 138 Sri Rahardjo, 104
Suwarman, 87
I
Imam Hidayat, 130 T
I Putu Pramana Suarjaya, 104 Tatang Bisri, 87, 104

N Z
Nancy Margarita Rehatta, 94, 113, 119 Zafrullah Arifin Kany Jasa, 130
Nazaruddin Umar, 94, 113, 119
Indeks Subjek

A M
Anestesi, 138 Minimal invasif neurosurgery, 104
Acute respiratory distress syndrome, 87
N
C Neuro resusitasi, 113
Cedera otak traumatik, 87
Clopidogrel dan lumbrokinase, 94 O
Cedera kepala berat, 113 Operasi bedah kepala, 119
Cedera kepala, 119
P
D Perdarahan EDH spontan, 94
Diabetes insipidus, 130 Perdarahan intraserebral traumatik, 104
Posisi true lateral, 104
E Prosedur pembedahan frontolateral dan pterional,
Epilepsi, 138 130

G T
Glasgow coma scale, 87 Terapi kombinasi rivaroxaban, 94

K
Komplikasi pascaoperasi, 113
Kraniofaringioma, 130
Kejang, 138
Pedoman Bagi Penulis

1. Ketentuan Umum Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan


memori. Faktor yang diduga mempengaruhi
Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah
Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.
bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel
Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah mengalami gangguan atensi, 36% sampel
yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah mengalami gangguan memori dan 52% sampel
naskah lengkap yang belum dipublikasikan mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi.
dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang Pemeriksaan kognitif yang mengalami
telah dimuat dalam proceeding pertemuan penurunan bermakna adalah digit repetition
ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat test, immediate recall, dan paired associate
izin tertulis dari panitia penyelenggara. learning. Analisa logistik regresi variabel usia
(p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan
2. Judul durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian
DKPO menunjukkan hubungan yang tidak
Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, bermakna. Namun bila dianalisa pada masing
judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata. masing kelompok usia tampak bahwa persentase
pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih
3. Abstrak
tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan
Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit
Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata. Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada
pasien yang menjalani operasi elektif di
Abstrak Penelitian: GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi
Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO
Result, and Discussion). Dalam introduction meskipun secara statistik tidak signifikan.
mengandung latar belakang dan tujuan penelitian.
Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan. Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif
pascaoperasi, memori
Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:
Abstrak Laporan Kasus:
Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi
kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan,
dan menjadi masalah serius karena dapat simpulan
menurunkan kualitas hidup pasien yang
menjalani pembedahan dan meningkatkan beban Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:
pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO Abstrack
pada pasien yang menjalani operasi elektif
di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa Meningoencephaloceles are very rare congenital
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. malformations in the world that have a high
Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan incidence in the population of Southeast Asia,
50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih include in Indonesia. Children with anterior
yang menjalani pembedahan lebih dari dua meningoencephaloceles should have surgical
jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi correction as early as possible because of the facial
kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi. dysmorphia, impairment of binocular vision,
increasing size of the meningoencephalocele pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan
caused by increasing brainprolapse, and risk nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik
of infection of the central nervous system. In dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial
the report, we presented a case of a 9 months- atau drainase ventrikel atau keduanya.
old baby girl with naso-frontal encephalocele
and hydrocepahalus non communicant, posted Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke
for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) perdarahan
and cele excision. Becaused of the mass,
nasofrontal or frontoethmoidal and occipital Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang
meningoencephalocele leads the anaesthetist to ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.
problems since the anaesthesia during the operation
until post operative care. Anaesthetic challenges 4. Cara Penulisan Makalah
in management of meningoencephalocele, Penulisan Daftar Pustaka:
which most of the patients are children, include
securing the airway with intubation with the • Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan
mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its datang” di dalam teks, Vancouver style.
associated complications and accurate assessment • Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal
of blood loss and prevention of hypothermia 20 buah.

Key words: Anaesthesia, difficult Contoh cara penulisannya:


ventilation, difficult intubation, naso-frontal,
Dari Jurnal:
meningoencephalocele, padiatrics
1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and
Abstrak Tinjauan Pustaka:
head trauma. Common effect and common
mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl
Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan
1):S107–S110.
2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer
Abstrak
HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus
intracerebral haemorrhage. N Engl J Med
Stroke hemoragik merupakan penyakit yang
2001,344(19):1450–58.
mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup
dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum Dari Buku:
dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid
haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan 1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial
dari arteriovenous malformation (AVM), hemorrhage: Intensive care management.
atau perdarahan intraserebral. Perdarahan Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials
intraserebral sering dihubungkan dengan of Neuroanesthesia and Neurointensive Care.
hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–
lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, 36.
atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari 2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage.
sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical
lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke Care. New York: Cambridge University
iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Press;2010,143–56.
Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala,
mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal Materi Elektronik
yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan
letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B,
dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai Fosha D. Attachment as a transformative process
koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1) in AEDP: operationalizing the intersection of
Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus
kepada mitra bebestari:

Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO


(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)
Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA
(Universitas Atmajaya Khatolik‒ Jakarta)
Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKMN, KNA
(Universitas Udayana – Denpasar)
Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si
Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan
datang

Redaksi
FORMULIR PESANAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama Lengkap : ………………………………………………………………...
Alamat Rumah : ………………………………………………………………...
………………………………………………………………...
……………….. Kode pos………………………….................
Telepon …………………………Faks ………………….........
HP ………………………………E-mail…………...................
Alamat Praktik : ………………………………………………………………...
Telepon …………………………Faks ……………….............
Alamat Kantor : ………………………………………………………................
……………………….. Kode pos……………………………..
Telepon …………………………Faks ……………………......
Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...

Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan
sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**

Pembayaran melalui :
□ Langsung ke Sekretariat Redaksi
Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161
Mobile : 087722631615

JNI dikirimkan ke* : □ Alamat Rumah


□ Alamat praktik
□ Alamat Kantor

Bandung, …………………………………

Hormat Saya


( )

* pilih salah satu


** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi
*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten

Anda mungkin juga menyukai