Yang diampu oleh Bapak Fetreo Negeo Putra, S.Kep., Ns., M.Kep
MALANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang “ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)”.
Penyusunan makalah ini telah kami selesaikan dengan lancar, tetapi kami menyadari
bahwa penyusunan tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna, jadi kami mohon untuk
memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun demi perbaikan dalam penyusunan
tugas makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini memberikan manfaat
bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut
yang memerlukan perawatan di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) dan mempunyai angka
kematian yang tinggi. Pendekatan dalam penggunaan model ventilasi mekanis pada pasien
ARDS masih kontroversial. American European Concencus Conference Committee (AECC)
merekomendasikan pembatasan volume tidal dan positive end expiratory pressure (PEEP)
sebagai strategi penanganan ARDS (Tarigan, 2018). ARDS merupakan keadaan darurat
medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak
langsung dengan kerusakan paru. (Aryanto Suwondo, 2006). ARDS mengakibatkan terjadinya
gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat,
hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru.
ARDS ( juga disebut syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya paru sehat,
sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun, dengan
laju mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol
adalah sepsis. Kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi
tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan
kelebihan dosis obat. Perawatan akut secara khusus menangani perawatan kritis dengan
intubasi dan ventilasi mekanik (Doenges 1999 hal 217).
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma
jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. ARDS terjadi sebagai akibat
cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan
kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat akibat kerusakan pertukaran gas
dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam
pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat
menurun atau paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penuruna karakteristik dalam
kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia ( Brunner & Suddart 616). Oleh
karena itu, penanganan ARDS sangat memerlukan tindakan khusus dari perawat untuk
mencegah memburuknya kondisi kesehatan klien. Hal tersebut dikarenakan klien yang
mengalami ARDS dalam kondisi gawat yang dapat mengancam jiwa klien.
1.1. Tujuan
Dalam buku Critical Care Nursing (Patricia Gonde Morton & Fontaine, 2018) Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan sindrom klinis yang kompleks
daripada proses penyakit tunggal, dan membawa risiko kematian yang tinggi
Sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen arteri
yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius (Brunner & Suddarth, 2001). Kondisi
kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada
orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal dan
non pulmonal (Hudak & Gallow, 1997).
Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit
atau cedera. SPGA (sindrom gawat pernapasan akut) seringkali terjadi bersamaan
dengan kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal. Salah satu faktor risiko dari
SGPA adalah merokok sigaret. Angka kejadian SPGA sekitar 14 diantara 100.000
orang/tahun.
1) Sistemik:
a) Syok
b) Sepsis gram negatif
c) Hipotermia dan hipertermia
d) Takar lajak obat (narkotik, salisilat, trisiklik, paraquat, metadone,
bleomisin)
e) Gangguan hematology (DIC, transfusi massif, bypass
kardiopulmonal)
f) Eklampsia
g) Luka bakar.
2) Pulmonal :
a) Pneumonia (viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
b) Trauma (emboli lemak, kontusio paru)
c) Aspirasi (cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
d) Pneumositis.
3) Non-pulmonal :
a) Cedera kepala
b) Peningkatan TIK
c) Pasca kardioversi
d) Pankreatitis
e) Uremia.
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar
kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan
perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan
perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah
dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan,
yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau
paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas
residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner & Suddart 616).
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma
fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera
sebelum awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat
periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru sampai berkembang menjadi
gejala. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa
minggu. Pasien yang tampak sehat akan pulih dari ARDS. Sedangkan secara
mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder seperti
pneumothoraks atau infeksi berat (Yasmin Asih. Hal 125).
Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan volume
darah sampai 3 kali normalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan bocor keluar
masuk ke jaringan interstisiel dan terjadi edema paru (Jan Tambayog, 2000).
Kriteria Berlin pada jurnal Acutr Respiratory Distress Syndroem (2016) ARDS
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai PaO2/FiO2. Pada kriteria ini,
tidak ada istilah Acute Lung Injury (ALI) :
a) Mild (ringan), adalah PaO2/FiO2 lebih dari 200mmHg, tetapi kurang dari ≤
300mmHg dengan positive-end expiratory pressure (PEEP) atau
continuous positive airway pressure (CPAP) ≥ 5 cmH2O
b) Sedang, adalah PaO2/FiO2 lebih dari 100mmHg, ≤ 200 mmHg dengan
PEEP ≥ 5 cmH2O
c) Severe (berat), apabila PaO2/FiO2 ≤ 100mmHg dengan PEEP ≥ 5
cmH2O.
Tujuan terapi :
a. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif
b. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat
c. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)
Farmakologi :
Non-farmakologi :
a. Ventilasi mekanisdgn berbagai teknik pemberian, menggunakan ventilator,
mengatur PEEP (positive-end expiratory pressure)
b. Pembatasan cairan
c. Pemberian surfaktan tidak dianjurkan secara rutin
BAB III
PENUTUP
1.1. Simpulan
1.2. Saran
mengenai ARDS. Sebagai seorang perawat juga harus mampu memahami tentang
Anynomous, 2007. Asuhan Keperawatan KLIEN dengan ARDS (Adult Respiratory Distress
Syndrome) Pre Acut/ Post Acut Care. http://rusari.com/askep_aspirasi_distress.html.
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Farid, 2006. Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Penyakit Sejuta Etiologi.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=108.
Hudak, Gall0. 1997. Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC. Jakarta.
Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Salemba. Jakarta.
Rab, Tabrani. 2000. Agenda Gawat Darurat (Critical Care) jilid 2. Bandung: PT. Alumni