Anda di halaman 1dari 24

Acut respiratory distress sindrom

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


Keperawatan Gawat Darurat Dosen Pengampu
Arista Maisyaroh KEP., Ners., M.Kep

Disusun Oleh:

Kelompok 7

Mochammad Ansori 202303101084


Risma Wiyanda 202303101103
Muhammad Taufiq Hidayat 202303101114
Putri 202303101082
Shelly atikah 202303101093

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN FAKULTAS


KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER
KAMPUS LUMAJANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Acut respiratory
distress sindrom
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
keperawatan gawat darurat. Dalam makalah ini membahas tentang Acut respiratory
distress sindrom

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Arista Maisyaroh KEP.,


Ners., M.Kep selaku dosen pengampu Mata Kuliah Kesehatan dan Keselamatan
Kerja yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami pelajari.
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acute respiratory distress syndrome merupakan salah satu komplikasi


lanjut yang sering terjadi pada pasien stroke. Penyakit ini disebabkan oleh
adanya gangguan pertukaran gas yang ada di paru-paru sehingga pasien
mengalami hipoksemia (Bos, 2018). Acute respiratory distress syndrome ini
juga merupakan salah satu penyebab mortalitas pada pasien di Intensive Care
Unit (ICU) (Santos et al., 2016). Biomarker untuk menilai progresivitas dari
acute respiratory distress syndrome belum ditemukan, sehingga menjadi
penyulit dalam menilai progresivitas dari penyakit tersebut (García-Laorden et
al., 2017).

Platelet berfungsi menjaga permeabilitas vaskuler pada paru-paru dan


memiliki fungsi barrier pada alveolus (Weyrich and Zimmerman, 2013).
Jumlah platelet mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan luas
infark pada stroke iskemik (Järemo et al., 2013). Saat terjadi inflamasi paru-
paru, jumlah platelet dapat menentukan tingkat permeabilitas kapiler. Kondisi
trombositopenia berat dapat menyebabkan terjadi gangguan barrier endotel
yang menyebabkan kebocoran air dan protein keluar dari pembuluh alveolar
dan sistemik (Middleton et al., 2016a). Oleh karena itu, trombositopenia dapat
meningkatkan risiko mortalitas pada pasien acute respiratory distress
syndrome (Wang et al2014). Penelitian mengenai hubungan jumlah
platelet dengan derajat acute respiratory distress syndrome belum pernah
dilakukan.

Stroke merupakan penyakit cerebrovaskular yang menyebabkan mortalitas


tertinggi kedua dan berada pada urutan ketiga penyakit yang sering
menyebabkan disabilitas di dunia (Fisher et al., 2017). Menurut data statistik
yang dipaparkan oleh American Heart Association pada tahun 2015,
prevalensi stroke mencapai 42 juta kasus. Setiap tahunnya sekitar 795.000
orang di dunia terkena stroke baik serangan stroke pertama maupun serangan
stroke ulang. Serangan stroke pertama terjadi pada 610.000 orang, sementara
itu serangan stroke ulang terjadi pada 185.000 orang (Benjamin et al.,
2018). Kasus stroke di negara maju seperti Amerika Serikat pun juga cukup
banyak, yakni mencapai 795.000 kasus setiap tahunnya (Perna and Temple,
2015a). Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan
RI, terjadi peningkatan prevalensi stroke dari 8,3 per 1000 pada tahun 2007
menjadi 12,1 per 1000 pada tahun 2013, dan penderita stroke di Indonesia
sudah mencapai 1.236.825 (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
2013). Pada tahun 2013, jumlah kasus stroke di Provinsi Jawa Tengah
mencapai 40.792 kasus yang terdiri dari stroke hemorrhagik sebanyak 12.542
kasus dan stroke non hemorrhagik (iskemik) sebanyak 28.430 kasus (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Secara umum, kasus stroke iskemik
lebih banyak daripada stroke hemoragik. Pada stroke iskemik terdapat 85%
kasus, sedangkan pada stroke hemoragik terdapat 15% kasus (Musuka et al.,
2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lax,2017 platelet berperan


dalam proses patogenesis acute respiratory distress syndrome, yaitu
rekruitmen neutrofil, aktivasi makrofag, dan menjaga permeabilitas vaskular,
sehingga pada saat terjadi trombositopenia dapat meningkatkan risiko
terjadinya acute respiratory distress syndrome dan meningkatkan mortalitas.
Platelet dapat berperan dalam menjaga integritas vaskular pada kondisi
normal sekaligus meningkatkan permeabilitas vaskular saat terjadi
trombositopenia (Middleton et al., 2016b). Platelet menjaga integritas
vaskular dengan cara menstimulasi pertumbuhan sel endotel dan sekresi
faktor-faktor yang meningkatkan fungsi barrier (Ho-Tin-Noé et al., 2011).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penelitian mengenai hubungan


jumlah platelet dengan derajat acute respiratory distress syndrome perlu
dilakukan.
1.1. Rumusan Masalah
Apa saja kasus di ruang ICU dengan acute respiratory distress
syndrome?
1.2. Tujuan Penelitian
1.2.1. Tujuan Umum
Apa saja kasus di ruang ICU dengan acute respiratory distress
syndrome?

1.2.2. Tujuan Khusus

Mengetahui Apa saja kasus di ruang ICU dengan acute respiratory


distress syndrome?

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu
Memberikan informasi mengenai hubungan antara jumlah platelet
dengan derajat acute respiratory distress syndrome pada pasien
stroke iskemik, sehingga dapat dijadikan referensi untuk penelitian
selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang hubungan antara
jumlah platelet dengan derajat acute respiratory distress syndrome
pada pasien stroke iskemik sehingga dapat menjadi landasan untuk
penelitian selanjutnya.
BAB 2
PEBAHASAN

1. DEFINISI

Adult respiratory distress syndrome (ARDS) adalah respons paru terhadap


peradangan sistemik yang dipicu oleh hipoksia jaringan lokal atau sistemik,
atau iskemia dan reperfusi. ARDS adalah proses patologis yang dinamis
dengan etiologi multifaktorial. Manifestasi klinis utama ARDS adalah
dyspnoea, edema paru non-kardiogenik, dan hipoksia karena peningkatan
permeabilitas kapiler paru, vasokonstriksi paru dan penurunan reaktivitas
pembuluh darah paru. Akhirnya patologi paru ini menghasilkan pertama,
edema, hipertensi pulmonal, dan peningkatan ketidaksetaraan ventilasi-
perfusi dan kemudian, remodeling paru dan hipertensi pulmonal ireversibel.
Mekanisme inflamasi yang terlibat dalam cedera paru akut sangat kompleks
dan mencakup aktivasi neutrofil polimorfonuklear, sel endotel, dan sintesis
radikal bebas, yang sebagian besar berasal dari oksigen. Sitokin yang
disintesis oleh makrofag mempertahankan dan mengatur respon inflamasi
host. Terapi modulasi imun pada ARDS masih bersifat eksperimental. Oleh
karena itu, pengobatan ARDS bersifat suportif, diarahkan pada edema paru,
hipertensi pulmonal, dan hipoksemia. Penggunaan volume tidal yang rendah
dan tekanan inspirasi yang rendah dalam ventilasi mekanis merupakan terapi
yang mapan. Tujuan dalam pemantauan hemodinamik dengan menerapkan
kateter Swan-Ganz adalah untuk mendapatkan tekanan baji kapiler paru yang
rendah (<12-15 mmHg) tanpa mengorbankan pengiriman oksigen yang
memadai ke organ vital. Untuk pengobatan hipertensi pulmonal, oksida nitrat
berguna. Perubahan posisi dan inhalasi dengan agonis beta2 adalah
kemungkinan terapeutik.

2. ETIOLOGI

Dari lebih dari 50 gangguan yang terkait dengan perkembangan ARDS,


sepsis, pneumonia, aspirasi, trauma, dan transfusi darah multipel bertanggung
jawab atas sebagian besar kasus. Hampir 20% kasus ARDS tidak memiliki
faktor risiko yang jelas. Meskipun mungkin ada kecenderungan genetik untuk
perkembangan dan keparahan ARDS, hubungan genetik belum ditetapkan
dengan jelas.27-30 Etiologi ARDS yang paling umum adalah sepsis,
terhitung sekitar 40% kasus. Sekitar 6% sampai 7% pasien dengan sepsis
berkembang menjadi ARDS dengan tingkat yang lebih rendah diamati di
antara pasien dengan penyebab nonpulmonal dan bentuk sepsis yang lebih
ringan dan tingkat yang lebih tinggi dan hasil yang lebih buruk dilaporkan di
antara pasien dengan syok septik. Sumber sepsis paru tampaknya membawa
risiko yang lebih tinggi ARDS, yang dihasilkan dari sumber langsung (yaitu,
peradangan lokal) dan tidak langsung (yaitu, respon inflamasi sistemik) dari
ALI.

Pneumonia juga merupakan penyebab umum ARDS, terutama pada pasien


pneumonia rawat inap dengan kultur positif diagnosis mikrobiologis.37
Bakteri Gram-positif dan Gram-negatif memiliki tingkat ARDS yang
serupa.37 Meskipun patogen virus dan jamur lebih jarang menyebabkan
pneumonia, patogen ini dikaitkan dengan risiko ARDS yang lebih tinggi
daripada pneumonia bakteri; ini terutama berlaku untuk Pneumocystis
jiroveci dan Blastomyces.

Aspirasi isi lambung merupakan penyebab penting ARDS, terhitung hingga


30% kasus dalam beberapa penelitian.25,38 Aspirasi menyebabkan ARDS
pada pasien lebih sering dan lebih parah daripada ARDS karena penyebab
lain, dengan tingkat kematian yang lebih tinggi (yaitu, 3 kali lipat lebih
tinggi).38 Faktor risiko untuk mengembangkan ARDS setelah aspirasi
termasuk jenis kelamin laki-laki, riwayat penyalahgunaan alkohol, Skala
Koma Glasgow yang lebih rendah, dan masuk dari panti jompo.38 Hingga
25% kasus ARDS disebabkan oleh trauma berat.24 Insiden ARDS pada
pasien trauma yang dirawat di ICU adalah sekitar 12%. Meskipun ARDS
pada pasien trauma dikaitkan dengan perawatan ICU yang lebih lama, hal itu
tidak memprediksi tingkat kematian yang lebih tinggi pada pasien ini.39
Setelah disesuaikan dengan usia, tingkat keparahan penyakit, dan kondisi
komorbiditas, pasien dengan ARDS terkait trauma memiliki tingkat
kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kasus ARDS
karena penyebab lain.39 Dalam studi Jaringan ARDS, pasien trauma dengan
ARDS memiliki peluang kematian yang disesuaikan dengan risiko yang lebih
rendah pada 90 hari (rasio odds [OR], 0,44; interval kepercayaan 95% [CI],
0,24-0,82; P .01), dibandingkan dengan pasien dengan ARDS karena
penyebab lain.40 Perbedaan hasil ini dapat dijelaskan, sebagian, oleh cedera
epitel dan endotel paru yang kurang parah pada ARDS terkait trauma.40,41
Transfusi darah multipel menyumbang 25 % Terkait trauma.40,41 Transfusi
darah multipel menyumbang 25 % sampai 40% kasus ARDS.24-26 Cedera
paru akut terkait transfusi (TRALI) didefinisikan sebagai ALI yang
berkembang dalam waktu 6 jam setelah infus lengkap 1 atau lebih produk
darah yang mengandung plasma atau produk darah yang berasal dari plasma
Studi awal mengevaluasi transfusi menunjukkan bahwa transfusi masif lebih
dari 22 unit darah dalam 12 jam dan lebih dari 15 unit darah dalam 24 jam
merupakan faktor risiko yang signifikan untuk perkembangan ARDS
selanjutnya. pasien yang sakit secara independen terkait dengan
perkembangan ARDS dalam hubungan dosis-respons.43 Sindrom gangguan
pernapasan akut lebih mungkin berkembang pada pasien yang menerima
plasma beku segar dan transfusi trombosit dibandingkan pada mereka yang
hanya menerima transfusi PRBC.

Sistem Skor ARDS Pada tahun 2011, US Critical Illness and Injury Trials
Group membuat dan memvalidasi model risiko, Lung Injury Prediction Score
(LIPS), untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi untuk
mengembangkan ALI dan ARDS sebelum onset cedera.32 Ini model
divalidasi dalam studi kohort prospektif, multisenter, observasional dari 5584
pasien dengan 1 atau lebih faktor risiko ALI/ARDS, di antaranya 377 (6,8%)
mengembangkan ALI/ARDS. Pasien-pasien ini perjalanan penyakit dan
sebelum masuk ICU. Dengan mengidentifikasi pasien ini sedini mungkin,
intervensi klinis, strategi, dan modifikasi perawatan dapat diterapkan untuk
mencegah pasien mengembangkan ALI/ARDS selanjutnya. di skor cutoff
LIPS >4, dianggap sebagai titik cutoff yang optimal dengan daerah di bawah
analisis kurva, nilai prediksi negatif dan positif untuk mengembangkan
ALI/ARDS adalah 0,97 dan 0.18, dan sensitivitas dan spesifisitas masing-
masing adalah 69% dan 78%. Dalam praktiknya, LIPS dapat menjadi alat
yang berguna untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko rendah untuk
mengembangkan ALI / ARDS (yaitu, mereka yang pasien dengan skor LIPS
kurang dari atau sama dengan 4). Tetapi nilai prediksi positif rendah dan
kompleksitas LIPS lembar kerja membatasi utilitasnya.

Levitt dan rekan melakukan studi kohort prospektif untuk mengidentifikasi


variabel yang akan memprediksi perkembangan ke positif ventilasi tekanan
pada pasien dengan bukti radiografi ALI (yaitu, kekeruhan paru bilateral
selama <7 hari) tanpa diisolasi hipertensi atrium kiri. Takipnea, penekanan
kekebalan, dan peningkatan kebutuhan oksigen ditemukan secara independen
memprediksi perkembangan ke ALI/ARDS dan digunakan untuk membuat
skor cedera paru akut awal (EALI). EALI 3 komponen skor (yaitu, 1 poin
untuk kebutuhan 02 2-6 L/mnt atau 2 poin untuk >6 L/menit, dan masing-
masing 1 poin untuk frekuensi pernapasan 30 dan penekanan kekebalan)
secara akurat mengidentifikasi pasien yang berkembang menjadi ALI yang
membutuhkan ventilasi tekanan positif. Sebuah Skor EALI 2
mengidentifikasi pasien dengan ARDS ringan yang akan memerlukan
ventilasi tekanan positif dengan sensitivitas 89% dan spesifisitas 75%. Waktu
rata-rata untuk membutuhkan ventilasi tekanan positif adalah 20 jam. Nilai
prediksi positif dan negatif dari skor EALI adalah 53% dan 95%, masing-
masing. Skor EALI mungkin merupakan alat triase yang berguna untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko mengembangkan ARDS dan
membutuhkan ventilasi mekanis, meskipun belum divalidasi dalam kelompok
pasien eksternal. dievaluasi selama 6 jam pertama setelah evaluasi gawat
darurat awal, atau sebelum operasi pada saat masuk rumah sakit untuk operasi
elektif berisiko tinggi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pasien yang
berisiko tinggi untuk ALI/ARDS yang berada pada tahap awal

3. PATOFISIOLOGI

Sindrom gangguan pernapasan akut ditandai dengan kerusakan alveolar


difus (DAD) dan peningkatan permeabilitas kapiler. Permukaan endotel
kapiler dan epitel alveolar terpengaruh, dengan gangguan membran alveolar-
kapiler. Hal ini diikuti oleh kebocoran cairan kaya protein, perekrutan
neutrofil dan makrofag ke dalam ruang alveolar, dan pembentukan membran
hialin. Kerusakan lebih lanjut pada paruparu dan penyebaran peradangan
terjadi sebagai akibat dari aktivasi dan pelepasan sitokin. mediator pro-
inflamasi seperti faktor nekrosis tumor dan interleukin IL-1 dan IL-6.
Neutrofil yang diaktifkan melepaskan mediator toksik yang menyebabkan
kerusakan sel oksidatif. parench ymal interstitium paru, inaktivasi surfaktan,
atelektasis, dan gangguan pertukaran gas. Secara klinis, fase awal atau
eksudatif ARDS ini ditandai dengan hipoksemia yang nyata dan penurunan
komplians paru. 3 Fase akut ini dapat sembuh total, atau mungkin
berkembang ke fase fibroproliferatif dengan hipoksemia persisten,
peningkatan ruang mati, hilangnya kepatuhan paru lebih lanjut, fibrosis paru,
dan neovaskularisasi paru-paru. Kriteria diagnostik ARDS tidak termasuk
diagnosis patologis DAD, dan korelasi antara diagnosis klinis ARDS dan
temuan patologis DAD bervariasi. Studi yang membandingkan bukti DAD
postmortem atau biopsi paru terbuka dengan kriteria klinis ARDS hanya
menunjukkan korelasi 50% hingga 88% menggunakan definisi AECC, dan
hanya korelasi 45% hingga 56% menggunakan definisi Berlin. Klinisi harus
berhati-hatilah dengan ketidaksesuaian yang buruk antara ARDS yang
didiagnosis dengan kriteria klinis dan temuan DAD pada biopsi paru atau
otopsi; namun, signifikansi klinis dari pengamatan ini, di sebagian besar
pengaturan praktik, akan terbatas

4. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis ARDS ditandai dengan timbulnya sesak napas akut yang
berkembang dengan cepat setelah kejadian predisposisi seperti trauma,
sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis, maupun aspirasi. Pada
sebagain besar kasus faktor predisposisi ARDS jelas didapat, namun pada
beberapa kasus (seperti pada overdosis obat) predisposisis ARDS sulit
diidentifikasi. Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit
predisposisi, derajat injuri paru, dan ada tidaknya disfungsi organ lainnya.

Pada pemeriksaan fisikARDS akan didapatkan temuan yang bersifat non-


spesifik seperti takipnea, takikardi dan kebutuhan FIO2 yang semakin
bertambah untuk menjaga agar saturasi oksigen tetap normal. Karena
ARDS sering terjadi pada sepsis, maka hipotensi dan tanda-tanda
vasokonstriksi perifer (akral dingin dan sianosis perifer) dapat ditemukan.
Pada pemeriksaan fisis toraks dapat ditemukan ronkhi basah bilateral.
Suhu pasien dapat febris maupun hipotermia. Edema paru kardiogenik
harus dibedakan dengan ARDS. Pada ARDS tidak didapatkan gejala dan
tanda-tanda gagal jantung (non-cardiac pulmonary edema) Tanda-tanda
gagal jantung harus diperhatikan dengan baik untuk menyingkirkan
diagnosis tersebut seperti peningkatan JVP, murmur, gallops,
hepatomegali dan edema tungkai.

Gambaran foto toraks pada ARDS secara umum berupa opasifikasi


bilateral, konsolidasi yang bisa simetris maupun asimetris disertai dengan
air bronchogram. Diagnosis banding meliputi pneumonia terutama akibat
aspirasi, perdarahan alveolar difus dan edema paru karena penyebab
lainnya

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium:

1 AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi),


hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis
respiratorik pada prses awal dan kemudian berkembang menjadi asidosis
respiratorik

2. Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis),


anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel,
peningkatan kadar amylase (pada kasus pancreatitis sebagai penyebab
ARDSnya)

3 Gangguan fungsi ginjal dan hati,gabaran kaguasi intravascar disseminata


yang merupakan bagian dari MODS

Radiolgi pada awal proses,dari ft thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang
relatif jernih namun pada foto seria berikutnya tampak bayangan radio-pak
yang dius atau patchy bilateral dan diikuti pada to seria berikutnya tampak
gambaran confluent tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.Dari
CT scan tampak pola hetergen,predominan limosit pada area dorsal paru fto
supine

6. PENATALAKSANAAN

Target utama pengelolaan penderita ARDS adalah mengembangkan


alveoli secara optimal untuk mempertahankankan gas arteri dan oksigenasi
jaringan yang adekuat, keseimbangan cairan dan asam basa serta sirkulasi
yang memadai sampai integritas membran kapiler utuh kembali. Selain itu
juga ditujukan untuk mengatasi faktor-faktor pencetus dan hal-hal lain serta
memberikan terapi penunjang. Ventilasi selalunya diberikan melalui oro
trakeal intubasi atau dengan trakeostomi apabila terdapat ventilasi untuk
jangka masa yang panjang yaitu lebih dari 2 minggu.

Faktor-faktor penting dalam pengobatan ARDS setelah trauma, syok, atau


sepsis berat adalah sebagai berikut:

1. Mengendalikan masalah primer

2. Dehidrasi progresif hati-hati sementara perfusi jaringan dipertahankan


dengan baik.

3. Distensi optimal alveoli untuk meningkatkan kapasitas residu fungsional


dan mengoreksi atelektasis progresif.

7. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam
tatalaksananya adalah

1. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi


2. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang
seperti edema laring dan stenosis subglotis

3. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-Associated


Pneumonia), ISK, flebitis. Infeksi nosokomial tersebut terjadi pada 55%
kasus ARDS.

4. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis

5. Multisystem organ failure

6. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka panjang

7. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.


8. KASUS DAN PEMBAHASAN

Kasus 1

Pasien laki-laki 41 tahun dengan riwayat penyakit diabetes melitus,


hipertensi dan obesitas (indeks massa tubuh [IMT] 34,6 kg/ m2) dirawat
selama 7 hari dengan keluhan sesak dan batuk berdahak, dahak mudah
dikeluarkan, kental berwarna putih. Riwayat konsumsi obat antihipertensi
Irbesartan 1x150 mg, namun hanya dikonsumsi bila ada keluhan. Tanda vital
awal di instalasi gawat darurat (IGD) tekanan darah 159/98 mmHg, laju nadi
121x/menit, laju napas 34x/menit, SpO2 88% dengan udara bebas, temperatur
aksila 36,7oC. Pada pemeriksaan, pasien tampak takipnea berat, tetapi masih
dapat berbicara dalam kata. Pada auskultasi didapatkan suara ronki pada kedua
lapang paru. Pemeriksaan fisis umum lainnya tidak ditemukan kelainan.
Pemeriksaan laboratorium awal darah lengkap dan kimia darah normal (WBC
5,6x103/uL, neutrofil 70%, limfosit 23%). Gula darah sewaktu 227 mg/dL.
Pemeriksaan ronsen dada menunjukkan gambaran pneumonia bilateral tanpa
kardiomegali. Hasil swab RT-PCR menunjukkan hasil positif. Kemudian
pasien diberikan oksigen melalui non-rebreathing mask (NRM) 15 lpm untuk
mempertahankan SpO2 >90% dengan PaO2:FiO2 (P:F) ratio 116 mmHg.
Terapi Remdesivir dan Levofloxacin sudah dimulai di ruang Intermediate,
namun kebutuhan oksigen semakin meningkat. Pasien segera dipindah ke ICU
dengan highflow nasal cannula (HFNC) pada flow 50 lpm FiO2 65%, P:F ratio
120 mmHg, dan tren ROX index 5,33–8,54. Hipoksemia terus memburuk
hingga 4 hari berikutnya dengan kebutuhan FiO2 mencapai 90%, ROX index
terendah 3,31 poin, P:F ratio terendah 90 mmHg, dan hasil analisis gas darah
menunjukkan alkalosis respiratorik. Tindakan intubasi dan ventilasi mekanik
direncanakan jika ROX index <3,88 poin. Walaupun kebutuhan oksigen terus
meningkat, work of breathing tampak minimal dan pasien dapat
berkomunikasi/berbicara secara aktif. Dalam kondisi hipoksemia berat, pasien
disarankan posisi prone untuk meningkatkan oksigenasi, namun namun sulit
dilakukan akibat ketidakmampuan mencapai posisi yang nyaman dan juga
kondisi obesitas. Dengan bantuan tenaga medis, akhirnya pasien dapat
menoleransi posisi prone, namun pasien mampu bertahan dalam prone selama
2–3 jam. Dalam beberapa jam posisi prone, SpO2 meningkat dari 93%
menjadi 98–99% dan FiO2 di titrasi turun hingga 75%, P:F ratio 166 mmHg.
Pasien terus melakukan posisi prone secara teratur selama 12 jam/hari hingga
FiO2 mampu disapih menjadi kanul nasal 5lpm pada hari ke-8. Beberapa hari
kemudian, pasien tidak menggunakan bantuan oksigen lagi dan dapat bernapas
dengan udara bebas sehingga pasien pulang dari perawatan dengan hasil swab
RT-PCR negatif.

Kasus 2

Pasien laki-laki 47 tahun dengan riwayat penyakit hipertensi, dirawat di


rumah sakit selama 9 hari dengan demam, pusing, dan lemas. Keluhan sesak
disangkal. Tanda vital didapatkan tekanan darah 130/80 mmHg, laju nadi
90x/menit, laju napas 33–34x/ menit, temperatur aksila 37,2oC, SpO2 89%
dengan udara bebas, IMT 25,0 kg/m2. Pada pemeriksaan auskultasi ditemukan
ronki pada kedua hemitoraks. Pasien tampak sesak, namun masih dapat bicara
dengan tersengalsengal. Pemeriksaan fisis lain dalam batas normal. Hasil
laboratorium awal menunjukkan darah lengkap normal (WBC 8,6x103/uL,
segmen neutrofil 86%, limfosit 11%), kimia darah didapatkan SGOT 91 U/L,
SGPT 185 U/L. Foto toraks menunjukkan bronkopneumonia bilateral tanpa
kardiomegali dan RT-PCR positif COVID-19. Pasien diberikan terapi oksigen
non-rebreathing mask (NRM) 15 lpm di IGD dengan P:F ratio 151 mmHg,
namun laju napas dan saturasi tidak membaik sehingga pasien di transfer ke
ICU untuk mendapatkan terapi antivirus, antibiotik, antikoagulan, dan anti-
inflamasi melalui akses intravena, serta oksigenasi menggunakan HFNC
dengan pengaturan flow 50 lpm FiO2 70%, P:F ratio 284 mmHg. Hipoksemia
semakin memburuk dengan analisis gas darah menunjukkan alkalosis
respiratorik hingga hari ke-13, pasien mengeluh batuk berdahak dan dahak sulit
keluar. Kebutuhan oksigen semakin meningkat hingga FiO2 mencapai 90%,
ROX index terendah 3,61, P:F ratio 110 mmHg, hasil ronsen toraks evaluasi
menunjukkan peningkatan inflitrat pada kedua hemitoraks. Pasien selama
perawatan dimotivasi untuk selalu melakukan posisi prone, tindakan intubasi
dipersiapkan jika keadaan semakin memburuk. Walaupun dirasa tidak nyaman,
posisi prone dapat dilakukan maksimal 9 jam/ hari. Nilai SpO2 meningkat dari
93% menjadi 100% dan FiO2 diturunkan menjadi 60%, P:F ratio 163 mmHg.
Selama 3 hari setelahnya, pasien masih batuk berdahak dan setiap kali batuk
selalu terjadi desaturasi dengan SpO2 maksimal 93% saat supine, 97% saat
posisi prone, dengan tren ROX index 6,15–8,96 poin, P:F ratio terendah 63,5
mmHg. Hari ke-5 proning pasien berhasil disapih hingga menggunakan kanul
nasal 3 lpm. Evaluasi hasil ronsen menunjukkan perbaikan. Pasien dipulangkan
setelah tidak menggunakan Made bantuan terapi oksigen dan swab RT-PCR
negatif pada hari perawatan ke-20.

Diskusi

Pada kasus pertama, perburukan klinis terjadi pada hari ke-10 sampai
hari ke-16 dari onset dengan keluhan sesak memberat, laju napas di atas
30x/menit, SpO2 terukur paling rendah 88% dengan HFNC FiO2 65% flow 50
lpm, ROX index 3,31 poin dan P:F ratio terendah 90 mmHg. Ronsen dada
menunjukkan peningkatan infiltrat (Gambar 1) dan terjadi alkalosis respiratorik.
Pada kasus kedua perburukan terjadi antara hari ke-11 sampai ke-17 dari onset
gejala, laju napas paling tinggi terhitung 30x/menit, SpO2 terendah 78%
menggunakan HFNC flow 50 lpm FiO2 90%, ROX index 3,61 poin, P:F ratio
terendah 63,5. Sama halnya seperti kasus 1, ditemukan pula alkalosis
respiratorik dan hasil pemeriksaan ronsen dada serial menunjukkan peningkatan
infiltrat yang signifikan (Gambar 2).

Berdasar atas Kigali modification of the Berlin criteria tahun 2017


kedua kasus termasuk kriteria ARDS, derajat berat (P:F ratio 100) yang
membutuhkan ventilasi mekanik invasif.12 ARDS diawali dengan sesak napas
(dispnea dan takipnea) yang secara progresif dapat berubah menjadi gagal
napas.13 Secara umum, hipoksemia pada penyakit paru menyebabkan
hiperventilasi yang mengakibatkan CO2 keluar dalam jumlah besar.14 Meskipun
beberapa pasien tidak menunjukkan hipoksemia yang signifikan pada tahap
awal, jika terjadi alkalosis respiratorik maka pasien masuk dalam periode
kompensasi hiperventilasi yang akan segera memburuk.15 Kebanyakan kasus
COVID-19 mengalami periode kompensasi hiperventilasi dan alkalosis
respiratorik sebelum terjadi dekompensasi yang kemudian menjadi gagal
napas.16 Pasien dengan alkalosis respiratorik (28,7%) secara signifikan
meningkatkan risiko COVID-19 gejala berat bahkan kematian.15 ARDS pada
COVID-19 dapat terjadi akibat cytokine storm atau cytokine release syndrome
(CRS). Aktivasi berbagai sistem imun; seperti makrofag, antigen-presenting cell,
sel T dan sel B; menyebabkan pelepasan faktor-faktor proinflamasi dalam
jumlah besar; termasuk sitokin, kemokin, dan interleukin khususnya interleukin-
6. Hal tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular sehingga
sejumlah besar kantong cairan kolaps dan sel darah masuk ke alveloli yang
berakibat sesak bahkan gagal napas.17 Jika dilihat dari perjalanan penyakit
COVID-19 yang terdiri atas 3 fase; CRS terjadi pada fase ketiga atau fase
hiperinflamasi sistemik yang ditandai dengan ARDS, syok, hingga henti jantung.

Fase hiperinflamasi ini diduga terjadi antara hari ke-3 perawatan sampai
16 hari setelah onset gejala.10Pada kedua kasus terjadi perburukan kondisi pada
hari ke-10 sampai hari ke-17 dari onset gejala yang menunjukkan CRS saat itu
sedang berlangsung, dan menyebabkan ARDS berat. Kedua kasus memenuhi
kriteria intubasi, namun tidak dilakukan dengan berbagai pertimbangan, yaitu
perbaikan hasil analisis gas darah setelah pemberian HFNC, peningkatan poin
ROX index setelah evaluasi 2 jam pertama HFNC, dan klinis berangsur
membaik dengan prone position. Kenyataannya, keduanya mengalami perbaikan
klinis dan bertahan tanpa intubasi dan ventilasi mekanik.

Terdapat asumsi bahwa ARDS pada COVID-19 (CARDS) berbeda


dengan ARDS klasik. CARDS memiliki 2 fenotipe berbeda yaitu tipe L dan H.
Tipe L memiliki karakteristik peningkatan infiltrat hanya di beberapa area
terbatas yang terlihat pada gambaran CT- scan thorax sebagai ground glass
appearance. Kebanyakan pasien tidak mengeluhkan sesak napas, namun kondisi
oksigenasi buruk, hipoksemia dengan klirens CO2 yang baik (gagal napas tipe
1), dan elastance yang rendah (compliance tinggi). CARDS tipe L juga dapat
bertahan tanpa penggunaan ventilasi mekanik. Pemberian terapi oksigen
dilakukan untuk memulihkan keadaan hipoksemia dengan cara meningkatkan
FiO2. Pilihan terapi noninvasif seperti HFNC, continuous positive airway
pressure (CPAP) atau non-invasive ventilation (NIV). Tipe H diduga memiliki
karakteristik lebih berat dari tipe L. Pada tipe H ditemukan konsolidasi luas pada
CT-scan

Ket: A) Hari pertama masuk rumah sakit, kesan tidak tampak kelainan B)
Hari ke-7, kesan pneumonia bilateral C) Hari ke-10, pasien perburukan, kesan
bronkopneumonia bilateral D) Hari ke-18, bronkopneumia membaik toraks dan
lebih disarankan menggunakan ventilasi mekanik. Perbedaan tipe L dengan H
hanya dapat dilihat dari hasil CT-scan toraks, tipe H terlihat gambaran tipikal
ARDS.10 Kedua kasus memenuhi karakteristik CARDS tipe L paru pada kedua
kasus masih memiliki compliance yang tinggi. Tipe L dapat bertahan bahkan
membaik tanpa penggunaan ventilasi mekanik. Pada kedua kasus, modalitas
oksigenasi menggunakan HFNC sebagai upaya memperbaiki keadaan
hipoksemia. Namun, asumsi ini belum dapat dikonfirmasi karena pada saat
pasien mengalami perburukan, pemeriksaan CT-scan toraks tidak dapat
dilakukan karena belum tersedia di rumah sakit kami.

Komorbid pada COVID-19 yang paling banyak ditemukan antara lain


hipertensi, obesitas dan diabetes.18 Obesitas diduga
menjadisalahsatupenyebabterseringkematian COVID-19.19 Jaringan adiposa
menginduksi inflamasi kronik derajat rendah, ditandai oleh

peningkatan kadar sitokin proinflamasi dan penurunan sitokin anti-


inflamasi (adiponectin dan IL-10). Hal ini menyebabkan kelelahan sel T yang
mengganggu respons dan kemampuan mengeradikasi virus dari host. Aspek
krusial lain pada obesitas ialah kurangnya aktivitas yang juga dapat menggangu
aktivasi sel imun. SARS-COV2 berikatan dengan reseptor ACE2 banyak
terdapat pada alveolus dan juga di jaringan adiposa. Virus tersebut menyebabkan
peningkatan apoptosis limfosit dan mengganggu fungsi limfosit yang
mengakibatkan badai sitokin fulminan yang ditandai dengan kadar IL-6, IL-2,
IL-7, dan TNFa berlebih disirkulasi. Sebagai tambahan, volume jaringan adiposa
yang besar pada obesitas, sedangkan jumlah reseptor ACE2 berbanding lurus
dengan volume jaringan adiposa sehingga cenderung menjadi host dan berperan
sebagai wadah sejumlah besar virus yang mengakibatkan peningkatan viral
shedding, inaktivasi virus, dan cytokine storm. Efek obesitas pada COVID-19 ini
berhubungan dengan komorbid lain seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit
kardiovaskular.19 Pada kasus 1, pasien memiliki IMT 34,6 kg/ m2 termasuk
dalam obesitas grade II dan memiliki riwayat hipertensi serta diabetes. Pada
kasus 2 didapatkan komorbid hipertensi stage 1. Komorbid tersebut
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pasien.

ARDS pada COVID-19 dapat memburuk jika tidak segera ditangani.


Tujuan utama penanganan meningkatkan oksigenasi dengan pemberian terapi
oksigen dan prone position (20). Memposisikan pasien dalam prone
menyebabkan konfigurasi dan perfusi alveolus yang lebih teratur sehingga
mengurangi ketidaksesuaian ventilasi/perfusi (V/Q missmatch), hipoksemia, dan
shunting.20,21 Melalui beberapa mekanisme: transpulmonary pressure (TPP)
gradien, mengurangi kompresi paru, dan shape matching. Prone position
mengurangi gradien tekanan pleura antara regio paru dependen dan non-
dependen dari efek gravitasi dan kesesuaian bentuk konformasi paru dengan
rongga dada. Hal ini dapat menyebabkan aerasi paru dan distribusi tekanan yang
lebih homogen sehingga meningkatkan recruitment unit paru dorsal. Pemakaian
positive end-expiratory pressure (PEEP) melalui HFNC, NIV, atau CPAP dalam
menangani ARDS bermanfaat mencegah de-recruitment alveolar, tetapi juga
dapat menyebabkan overdistensi alveoli yang sebelumnya well-ventilated.
Kombinasi prone position dengan penggunaan HFNC atau NIV/ CPAP dapat
membantu mengurangi sebagian efek merugikan ini dengan mengurangi
hiperinflasi regional. Prone position juga dapat meningkatkan klirens sekresi.
Orientasi dorsal ke ventral dari jalan napas utama mengakibatkan drainase
sekresi lebih efisien.20,22

Penilaian keberhasilan prone position terhadap oksigenasi dapat dinilai


dari beberapa indikator, yaitu peningkatan SpO2, perbaikan hasil analisis gas
darah terutama tekanan oksigen parsial dan saturasi oksigen darah arteri yang
secara signifikan terjadi pada 3 hari pertama.23 Pada studi di Spanyol
didapatkan sebanyak 80% pasien ARDS mengalami peningkatan PaO2 setelah
melakukan 30 menit prone position,24 sedangkan sebuah studi meta-analisis
pada 1.372 pasien menunjukkan peningkatan signifikan P:F ratio.25PubMed,
CINAHL, and Embase (to November 2007 Evaluasi keberhasilan kombinasi
HFNC dan prone position juga harus dinilai setiap 1–2 jam menggunakan indeks
ROX. Penggunaan HFNC dianggap berhasil dan tidak membutuhkan ventilasi
invasif jika indeks ROX ³4,88 yang dinilai pada jam ke-2, 6, dan 12. Sebaliknya,
jika <3,85 diperkirakan kebutuhan intubasi semakin meningkat.26 Pada kedua
kasus, pasien berhasil mempertahankan posisi prone maksimal selama 9 jam/hari
selama 5–8 hari. Dalam observasi selama prone position terjadi penurunan
kebutuhan oksigen, FiO2 dapat dititrasi turun 15–30%, terjadi peningkatan
indeks ROX dan P:F ratio 50–70 mmHg sehingga belum perlu untuk dilakukan
intubasi.

Dari kedua kasus di atas dapat diambil pelajaran bahwa tidak semua
pasien COVID-19 dengan ARDS berat disertai komorbitas harus dilakukan
tindakan intubasi. Ancaman intubasi dapat dicegah melalui upaya prone position
yang dapat meningkatkan oksigenasi melalui berbagai mekanisme untuk
mengurangi risiko terjadi hipoksemia. Penggunaan HFNC dini juga dianggap
berhasil dalam mengatasi hipoksemia dan memperbaiki klinis pasien secara
signifikan. Ke depannya diharapkan agar modalitas terapi oksigen dengan
HFNC yang dapat dikombinasi dengan prone position dapat diterapkan tidak
hanya pada pasien COVID-19, namun pada pasien dengan ARDS ringan hingga
berat. Pilihan kombinasi terapi ini diharapkan dapat mencapai SpO2 yang
optimal, perbaikan hasil analisis gas darah terutama tekanan oksigen parsial dan
saturasi oksigen darah arteri.

Simpulan

Pemahaman perjalanan penyakit sangat penting untuk menentukan


penatalaksanaan yang tepat dan adekuat. Mekanisme yang mendasari
fenomena CARDS, yaitu CRS yang terjadi antara hari ke-3 hingga ke-16 dari
onset gejala. CARDS tipe L dapat bertahan walaupun tanpa tindakan intubasi
dan penggunaan ventilasi mekanik, meskipun telah memenuhi kriteria ARDS
Kigali modification of the Berlin. Obesitas menjadi komorbid yang paling
sering menyebabkan kematian pada ARDS yang juga berhubungan dengan
komorbid lain seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Tujuan
penanganan ARDS ialah menangani hipoksemia dengan meningkatkan
oksigenasi. Selain dengan pemberian terapi oksigen untuk meningkatkan FiO2,
dapat juga dilakukan dengan prone position. Prone position pada kasus dengan
kombinasi HFNC dinilai berhasil karena pasien mampu bertahan tanpa
penggunaan ventilasi mekanik dan mengalami perbaikan klinis hingga sembuh.
DAFTAR PUSTAKA

Schmidt, M., & Et al. (2019). Mechanical Ventilation Management during


Extracorporeal Membrane Oxygenation for Acute Respiratory Distress Syndrome.
American Journal, 200(8), 1002–1012. Retrieved from
https://doi.org/10.1164/rccm.201806-1094oc

Schmidt, M., & Et al. (2020). Extracorporeal Membrane Oxygenation for severe
Acute Respiratory Distress Syndrome associated with COVID-19. Elsevier, 8(20),
1121–1131. Retrieved from https://doi.org/10.1016/S2213-2600(20)30328-3

Shih, E., & Et al. (2021). Treatment of Acute Respiratory Distress Syndrome from
COVID-19 with Extracorporeal Membrane Oxygenation in obstetrical patients.
Elsevier Journal, 1016(100537), 1–7. Retrieved from
https://doi.org/10.1016/j.ajogmf.2021.100537

Shuanglei, L., Xiong, J., Du, Z., Lai, W., Ma, X., Feng, Z., … Chen, Y. (2021).
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) for critically ill patients with
coronavirus disease 2019 (COVID‐19): A retrospective cohort study. Journal Of
Cardiac Surgery, 36(10). https://doi.org/10.1111/jocs.15833

Sirait, R. . (2020). Buku ajar pemantauan hemodinamik pasien. Departemen


Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: FK UI.

Syafii, S., & Et al. (2021). Extracorporeal Membrane Oxigenation In Patient With
Severe Respiratory Failure From COVID-19. Intensive Care Med Journal, 47(2),
208–221. Retrieved from https://doi.org/10.1007/s00134-020-06331-9

White. (2020). What is ECMO?. American Thoracic Society. American Journal,


193, 9–10. Retrieved from
https://www.thoracic.org/patients/patient-resources/resources/what-isecmo.pdf

Yildz, Y., & Et al. (2019). Application of Hybrid Extracorporeal Membrane


Oxygenation for the Treatment of Subsequent Shock following Acute Respiratory
Distress Syndrome Developing after Firearm Injury. Hindawi Journal,
1155(3120912), 1–5. Retrieved from https://doi.org/10.1155/2019/3120912

Zhang, Z., & Et al. (2021). Successful Application of Extracorporeal Membrane


Oxygenation in an Acute Tonsillitis Patient Complicated with Acute Respiratory
Distress Syndrome

Bruni, A., & Et al. (2020). Nursing Issues In Enteral Nutrition During Prone
Position In Critically Ill Patients. Intensive Crital Care Nurse, 60.
https://doi.org/10.1016/j.iccn.2020.102899
Celesia, B. ., & Et al. (2020). Successful Extracorporeal Membrane Oxygenation
Treatment in an Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) Patient with
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Complicating Pneumocystis
jirovecii Pneumonia: A Challenging Case. American Journal, 21(e919570), 1–5.
Retrieved from https://doi.org/10.12659/AJCR.919570

Chang, K. ., & Et al. (2021). Successful management of COVID-19 induced


Acute Respiratory Distress Syndrome by Extracorporeal Membrane Oxygenation
with 1-year followup. Journal Elsevier, 26, 1–4. Retrieved from
https://doi.org/10.1016/j.idcr.2021.e01281

Huang Y, Lu Y, Huang Y-M, Wang M, Ling W, Sui Y, dkk. Obesity in patients


with COVID-19: a systematic review and meta- analysis. Metab Clin Exp.
2020;113:1–11.
WHO. WHO Coronavirus (COVID-19) dashboard: overview [Internet]. 2021

Anda mungkin juga menyukai