Disusun Oleh:
Kelompok 7
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Acut respiratory
distress sindrom
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
keperawatan gawat darurat. Dalam makalah ini membahas tentang Acut respiratory
distress sindrom
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
1. DEFINISI
2. ETIOLOGI
Sistem Skor ARDS Pada tahun 2011, US Critical Illness and Injury Trials
Group membuat dan memvalidasi model risiko, Lung Injury Prediction Score
(LIPS), untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi untuk
mengembangkan ALI dan ARDS sebelum onset cedera.32 Ini model
divalidasi dalam studi kohort prospektif, multisenter, observasional dari 5584
pasien dengan 1 atau lebih faktor risiko ALI/ARDS, di antaranya 377 (6,8%)
mengembangkan ALI/ARDS. Pasien-pasien ini perjalanan penyakit dan
sebelum masuk ICU. Dengan mengidentifikasi pasien ini sedini mungkin,
intervensi klinis, strategi, dan modifikasi perawatan dapat diterapkan untuk
mencegah pasien mengembangkan ALI/ARDS selanjutnya. di skor cutoff
LIPS >4, dianggap sebagai titik cutoff yang optimal dengan daerah di bawah
analisis kurva, nilai prediksi negatif dan positif untuk mengembangkan
ALI/ARDS adalah 0,97 dan 0.18, dan sensitivitas dan spesifisitas masing-
masing adalah 69% dan 78%. Dalam praktiknya, LIPS dapat menjadi alat
yang berguna untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko rendah untuk
mengembangkan ALI / ARDS (yaitu, mereka yang pasien dengan skor LIPS
kurang dari atau sama dengan 4). Tetapi nilai prediksi positif rendah dan
kompleksitas LIPS lembar kerja membatasi utilitasnya.
3. PATOFISIOLOGI
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis ARDS ditandai dengan timbulnya sesak napas akut yang
berkembang dengan cepat setelah kejadian predisposisi seperti trauma,
sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis, maupun aspirasi. Pada
sebagain besar kasus faktor predisposisi ARDS jelas didapat, namun pada
beberapa kasus (seperti pada overdosis obat) predisposisis ARDS sulit
diidentifikasi. Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit
predisposisi, derajat injuri paru, dan ada tidaknya disfungsi organ lainnya.
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Radiolgi pada awal proses,dari ft thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang
relatif jernih namun pada foto seria berikutnya tampak bayangan radio-pak
yang dius atau patchy bilateral dan diikuti pada to seria berikutnya tampak
gambaran confluent tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.Dari
CT scan tampak pola hetergen,predominan limosit pada area dorsal paru fto
supine
6. PENATALAKSANAAN
7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam
tatalaksananya adalah
Kasus 1
Kasus 2
Diskusi
Pada kasus pertama, perburukan klinis terjadi pada hari ke-10 sampai
hari ke-16 dari onset dengan keluhan sesak memberat, laju napas di atas
30x/menit, SpO2 terukur paling rendah 88% dengan HFNC FiO2 65% flow 50
lpm, ROX index 3,31 poin dan P:F ratio terendah 90 mmHg. Ronsen dada
menunjukkan peningkatan infiltrat (Gambar 1) dan terjadi alkalosis respiratorik.
Pada kasus kedua perburukan terjadi antara hari ke-11 sampai ke-17 dari onset
gejala, laju napas paling tinggi terhitung 30x/menit, SpO2 terendah 78%
menggunakan HFNC flow 50 lpm FiO2 90%, ROX index 3,61 poin, P:F ratio
terendah 63,5. Sama halnya seperti kasus 1, ditemukan pula alkalosis
respiratorik dan hasil pemeriksaan ronsen dada serial menunjukkan peningkatan
infiltrat yang signifikan (Gambar 2).
Fase hiperinflamasi ini diduga terjadi antara hari ke-3 perawatan sampai
16 hari setelah onset gejala.10Pada kedua kasus terjadi perburukan kondisi pada
hari ke-10 sampai hari ke-17 dari onset gejala yang menunjukkan CRS saat itu
sedang berlangsung, dan menyebabkan ARDS berat. Kedua kasus memenuhi
kriteria intubasi, namun tidak dilakukan dengan berbagai pertimbangan, yaitu
perbaikan hasil analisis gas darah setelah pemberian HFNC, peningkatan poin
ROX index setelah evaluasi 2 jam pertama HFNC, dan klinis berangsur
membaik dengan prone position. Kenyataannya, keduanya mengalami perbaikan
klinis dan bertahan tanpa intubasi dan ventilasi mekanik.
Ket: A) Hari pertama masuk rumah sakit, kesan tidak tampak kelainan B)
Hari ke-7, kesan pneumonia bilateral C) Hari ke-10, pasien perburukan, kesan
bronkopneumonia bilateral D) Hari ke-18, bronkopneumia membaik toraks dan
lebih disarankan menggunakan ventilasi mekanik. Perbedaan tipe L dengan H
hanya dapat dilihat dari hasil CT-scan toraks, tipe H terlihat gambaran tipikal
ARDS.10 Kedua kasus memenuhi karakteristik CARDS tipe L paru pada kedua
kasus masih memiliki compliance yang tinggi. Tipe L dapat bertahan bahkan
membaik tanpa penggunaan ventilasi mekanik. Pada kedua kasus, modalitas
oksigenasi menggunakan HFNC sebagai upaya memperbaiki keadaan
hipoksemia. Namun, asumsi ini belum dapat dikonfirmasi karena pada saat
pasien mengalami perburukan, pemeriksaan CT-scan toraks tidak dapat
dilakukan karena belum tersedia di rumah sakit kami.
Dari kedua kasus di atas dapat diambil pelajaran bahwa tidak semua
pasien COVID-19 dengan ARDS berat disertai komorbitas harus dilakukan
tindakan intubasi. Ancaman intubasi dapat dicegah melalui upaya prone position
yang dapat meningkatkan oksigenasi melalui berbagai mekanisme untuk
mengurangi risiko terjadi hipoksemia. Penggunaan HFNC dini juga dianggap
berhasil dalam mengatasi hipoksemia dan memperbaiki klinis pasien secara
signifikan. Ke depannya diharapkan agar modalitas terapi oksigen dengan
HFNC yang dapat dikombinasi dengan prone position dapat diterapkan tidak
hanya pada pasien COVID-19, namun pada pasien dengan ARDS ringan hingga
berat. Pilihan kombinasi terapi ini diharapkan dapat mencapai SpO2 yang
optimal, perbaikan hasil analisis gas darah terutama tekanan oksigen parsial dan
saturasi oksigen darah arteri.
Simpulan
Schmidt, M., & Et al. (2020). Extracorporeal Membrane Oxygenation for severe
Acute Respiratory Distress Syndrome associated with COVID-19. Elsevier, 8(20),
1121–1131. Retrieved from https://doi.org/10.1016/S2213-2600(20)30328-3
Shih, E., & Et al. (2021). Treatment of Acute Respiratory Distress Syndrome from
COVID-19 with Extracorporeal Membrane Oxygenation in obstetrical patients.
Elsevier Journal, 1016(100537), 1–7. Retrieved from
https://doi.org/10.1016/j.ajogmf.2021.100537
Shuanglei, L., Xiong, J., Du, Z., Lai, W., Ma, X., Feng, Z., … Chen, Y. (2021).
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) for critically ill patients with
coronavirus disease 2019 (COVID‐19): A retrospective cohort study. Journal Of
Cardiac Surgery, 36(10). https://doi.org/10.1111/jocs.15833
Syafii, S., & Et al. (2021). Extracorporeal Membrane Oxigenation In Patient With
Severe Respiratory Failure From COVID-19. Intensive Care Med Journal, 47(2),
208–221. Retrieved from https://doi.org/10.1007/s00134-020-06331-9
Bruni, A., & Et al. (2020). Nursing Issues In Enteral Nutrition During Prone
Position In Critically Ill Patients. Intensive Crital Care Nurse, 60.
https://doi.org/10.1016/j.iccn.2020.102899
Celesia, B. ., & Et al. (2020). Successful Extracorporeal Membrane Oxygenation
Treatment in an Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) Patient with
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Complicating Pneumocystis
jirovecii Pneumonia: A Challenging Case. American Journal, 21(e919570), 1–5.
Retrieved from https://doi.org/10.12659/AJCR.919570