Merujuk pendapat Triana Ohoiwutun(2007:81), hubungan hukum ini menyangkut dua macam
perjanjian yaitu perjanjian perawatan dan perjanjian pelayanan medis. Perjanjian perawatan
adalah perjanjian antara rumah sakit untuk menyediakan perawatan dengan segala fasilitasnya
kepada pasen. Sedangkan perjanjian pelayanan medis adalah perjanjian antra rumah sakit dan
pasen untuk memberikan tindakan medis sesuai kebutuhan pasen. Jika terjadi kesalahan dalam
pelayanan kesehatan, maka menurut mekanisme hukum perdata pihak pasien dapat menggugat
dokter berdasarkan perbuatan melawan hukum. Sedangkan gugatan terhadap rumah sakit dapat
dilakukan berdasarkan wan prestasi (ingkar janji), di samping perbuatan melawan hukum. ”
Administratif
Pertanggungjawaban rumah sakit dari aspek hukum administratif berkaitan dengan kewajiban
atau persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh rumah sakit khususnya untuk
mempekerjakan tenaga kesehatan di rumah sakit. UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU
Kesehatan) yang menentukan antara lain kewajiban untuk memiliki kualifikasi minimum dan
memiliki izin dari pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Selain itu UU
Kesehatan menentukan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak
pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur operasional. Jika rumah
sakit tidak memenuhi kewajiban atau persyaratan administratif tersebut, maka berdasarkan Pasal
46 UU RS, rumah sakit dapat dijatuhi sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis, tidak
diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan izin.
Pidana
Pertanggungjawaban dari aspek hukum pidana terjadi jika kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit memenuhi tiga unsur. Ketuga unsur
tersebut adalah adanya kesalahan dan perbuatan melawan hukum serta unsur lainya yang
tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan. Perlu dikemukakan bahwa dalam sistem
hukum pidana kita, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka pengurusnya dapat
dikenakan pidana penjara dan denda. Sedangkan untuk korporasi, dapat dijatuhi pidana denda
dengan pemberatan
Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis (practical ethics), yaitu
moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu praktis, seperti perlakuan terhadap etnik-
etnik minoritas, keadilan untuk kaum perempuan, penggunaan hewan untuk bahan makanan atau
penelitian, pelestarian lingkungan hidup, aborsi, etanasia, kewajiban bagi yang mampu untuk
membantu yang tidak mampu, dan sebagainya. Jadi, etika rumah sakit adalah etika umum yang
diterapkan pada (pengoperasian) rumah sakit.
Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat atau konsultasi melalui diskusi atau berperan dalam
menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada lingkungannya dan memberikan
anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus sulit.
1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah etik di rumah sakit.
2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan memberikan pendapat untuk
penyelesaian.
3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau tidak, perkara
pelanggaran etik ke MKEK.
Tugas PERS adalah membantu para dokter, perawat dan anggota tim kesehatan di rumah sakit
dalam menghadapi masalah-masalah pelanggaran etik maupun pemantapan pengalaman kode
etik masing-masing profesi.
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pelayanan kesehatan berdampak luas
terhadap pelayanan baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak yang bersifat positif akan
menguntungkan masyarakat pemakainya, tetapi dampak yang bersifat negatif akan merugikan
masyarakat pemakainya. Disamping itu juga akan mengakibatkan pergeseran nilai dan perilaku
pemberi pelayanan serta konflik di antara sesamanya yang pada gilirannya akan berpengaruh
juga terhadap mutu pelayanan itu sendiri. Secara luas nama baik istitusi pelayanan kesehatan
seperti rumah sakit akan menjadi jelek di tengah-tengah masyarakat.
Perkembangan iptek sebagaimana diuraikan di atas, juga mengakibatkan pergeseran selera
masyarakat dari pengambilan keputusan di tangan pemberi pelayanan dari penentu pelayanan.
Akhir-akhir ini sudah mulai berkembang tuntutan itu, dimana setiap masyarakat yang tidak
mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka selalu dikait-kaitkan dengan
pelanggaran-pelangaran hak azasi manusia.
Dengan adanya fenomena tersebut di atas, maka untuk mengantisipasinya diperlukan adanya
etika pelayanan rumah sakit atau kita sebut saja “etika rumah sakit”, sehingga terjadi hubungan
yang kondusif baik hubungan antara profesi dengan profesi yang lain, hubungan antara profesi
dengan pasien dan keluarganya maupun hubunga rumah sakit dengan masyarakat secara
keseluruhan. Di dalam etika rumah sakit ini akan mengatur hubungan tersebut dan upaya
penyelesaian masalahnya, apabila terjadi konflik di dalamnya.
B. Dasar
Etika Rumah Sakit disusun berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992, UU No.: 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, PP No.: 10 Tahun 1960 dimana semua petugas kesehatan wajib
menyimpan rahasia kedokteran, PP No. : 32 Tahun 1996 Tentang Ketenagaan Kesehatan, PP
No. 30 Tahun 1980 Tentang Disiplin Pegawai, Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No.:
034/Bihup.1972 tentang kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan medical record,
Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No.: 749a/Menkes/Per/XII/1989 tanggal 2 Desember 1989
tentang Rekam Medis/Medical Record, dan Keputusan Menteri Kesehatan R.I tentang informed
consent serta Kode etik profesi.
C. Fungsi
Untuk terlaksananya etika rumah sakit secara efektif dan efisien, maka perlu dibentuk suatu
wadah fungsional yang disebut dengan istlah Paniti Etika Rumah Sakit yang mempunyai fungsi
adalah :
Memberi nasehat atau konsultasi melalui diskusi dan berperan menilai penyelesaian masalah dan
kebijakan;
Melaksanakan social marketing pada lingkungannya;
Berkomunikasi khusus dan memberikan petunjuk atau arahan pada review kasus sulit.
Panitia Etika Rumah Sakit sebagai suatu wadah fungsional mempunyai tugas :
Meningkatkan tata tertib pelayanan rumah sakit;
Meningkatkan hubungan dokter – perawat – tenaga tim kesehatan lainnya dan
pasien/keluarganya serta masyarakat pada umumnya;
Membantu para dokter, perawat, bidan dan anggota tim kesehatan lainnya di Rumah Sakit dalam
menghadapi berbagai masalah etika.
Ruang Lingkup
Etika Rumah Sakit yang disusun ini mencakup beberapa aspek, yakni sebagai berikut :
Beberapa masalah etika yang berlaku di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara. Masalah-masalah etika tersebut meliputi :
Masalah etika yang berhubungan dengan penerimaan pasien;
Masalah etika yang berhubungan dengan rekam medis atau data pasien;
Masalah etika yang berhubungan dengan perawatan pasien;
Masalah etika yang berhubungan dengan pelayanan laboratorium klinik;
Masalah etika yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien dewasa;
Masalah etika yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien anak;
Masalah etika yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan bidang reproduksi manusia;
Masalah etika yang berhubungan dengan pelayanan anestesi;
Masalah etika yang berhubungan dengan perawatan intensif;
Masalah etika yang berhubungan dengan eutanasia;
Masalah etika yang berhubungan dengan pemeriksaan radiologi;
Masalah etika yang berhubungan dengan pelayanan fisioterapi;
Masalah etika yang berhubungan dengan pelayanan pasien gawat dan kedaruratan;
Masalah etika yang berhubungan dengan pelayanan angkutan mobil ambulance.
Alur penyelesaian masalah etika di Rumah Sakit. Alur penyelesaian masalah tersebut meliputi :
Alur pengaduan pelanggaran etika rumah sakit;
Alur pengaduan penyelesaian pengaduan pelanggaran etika rumah sakit;
Alur pengaduan dan penyelesaian pelanggaran etika rumah sakit.
Ada beberapa hal yang harus dipatuhi oleh setiap petugas rumah sakit di dalam penerimaan
pasien rawat jalan, yakni :
Loket pendaftaran dibuka dan ditutup tepat pada waktu yang telah ditetapkan rumah sakit;
Pendaftaran harus melalui loket yang telah disediakan, tidak memperkenankan
pasien/keluarganya langsung ke Poliklinik (ruang pemeriksaan);
Setiap pasien dicatat dalam register loket dan rekam medis yang telah disediakan dan diberikan
kepada pasien/keluarganya beserta kartu tanda berobat setelah membayar biaya administrasi;
Setiap biaya administrasi yang dibayar pasien/keluarganya diberikan bukti penerimaan atau
kwitansi resmi dari rumah sakit;
Dari loket pasien/keluarganya senantiasa diberi petunjuk dengan sopan santun Poliklinik mana
harus melapor;
Pasien dan keluarganya yang datang diluar waktu yang telah ditetapkan diberikan petunjuk untuk
melalui Unit Rawat Darurat.
Ada beberapa hal yang harus dipatuhi oleh setiap petugas dalam penerimaan pasien di Poliklinik
baik poliklinik umum maupun poliklinik spesialis, yaitu :
Pasien yang telah didaftar pada loket dan telah melaporkan pada poliklinik yang dituju, oleh
petugas poliklinik disusun berdasarkan urutan masuk pertama keluar pertama;
Pemanggilan pasien untuk pemeriksaan berdasarkan urutan sebagaimana poin (a), kecuali
berhalangan disusul urutan berikutnya;
Setiap pasien yang akan diperiksa tidak didampingi oleh keluarganya kecuali anak balita atau
tidak mampu memberikan informasi yang jelas kepada dokter pemeriksa;
Pemeriksaan di setiap poliklinik harus dilakukan sesuai prosedur yang telah ditetapkan, tidak
memperkenan untuk melakukan kegiatan di luar prosedur yang ada;
Pasien/keluarganya yang memerlukan perawatan kontinyu di rumah sakit, petugas poliklinik
hanya berkewajiban memberikan informasi yang berhubungan dengan keadaan penyakitnya,
tidak diperkenankan memberikan informasi palsu yang berkaitan dengan perawatan di ruangan,
apabila tidak mengetahui keadaan ruangan penuh atau tidak karena ini merupakan kewenangan
bagian admission office;
Komunikasi antara pasien/keluarganya dengan petugas poliklinik harus dilakukan dengan baik
yang dapat memberikan rasa kekeluargaan diantara keduanya;
Pasien yang akan dilakukan pemeriksaan laboratorium, radiologi ataupun lanjutan ke unit
pelayanan lainnya harus diberikan pengantar atau berupa resep;
Masalah Etika Yang Berhubungan Dengan Rekam Medis atau Data Pasien :
Etika dan Perilaku Petugas Rumah Sakit Terhadap Data Pasien/Rekam Medis.
Etika dan perilaku para dokter terhadap data pasien (Rekam Medis).
Dokter merupakan petugas rumah sakit yang mempunyai andil dalam mengisi data pasien/rekam
medis baik yang sedang dirawat maupun sedang dikonsultasikan kepadanya. Dalam pengisian
catan pasien ini dokter harus benar-benar bekerja dengan berpegang teguh pada hal-hal yang
diketahuinya sesuai dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya disamping itu harus berpegang
teguh pada sumpah jabatan sebagai seorang dokter.
Etika dan perilaku paramedis keperawatan terhadap data pasien (Rekam Medis)
Perawat merupakan petugas rumah sakit yang ikut andil dalam pengisian catatan pasien selama
pasien berada dalam pelayanan rumah sakit. Sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada
perawat ini, pengisian harus benar-benar sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Apabila
catatan pasien / rekam medis tersebut diisi perawat yang dalam status pendidikan, maka seluruh
data yang diisi tersebut harus benar-benar di bawah pengawasan kepala ruangan atau clinical
instructure (CI).
Etika dan perilaku paramedis non keperawatan terhadap data pasien (Rekam Medis)
Para medis non keperawatan juga memiliki andil di dalam pembuatan catatan pasien dalam
batas-batas non medis dan non keperawatan sejak pasien masuk hingga kembali atau
meninggalkan rumah sakit. Pengisisan yang berkaitan dengan tugasnya adalah penomoran dan
pencatatan identitas pasien harus secara jelas untuk menghindari tertukarnya dengan pasien lain.
Demikian pula pengamanan dalam penyimpanan harus benar-benar aman dan mudah untuk
pencarian kembali.
Etika dan perilaku tenaga tata usaha dan keuangan rumah sakit terhadap data pasien (Rekam
medis)
Petugas tata usaha dan keuangan juga memiliki andil dalam rekam medis yang berkaitan dengan
pemberian data-data individual pasien dan pencantuman biaya. Ini harus dilakukan secara benar
apa adanya sesuai kenyataan untuk menghindari mosi ketidak percayaan pasien dan
keluarganya.
Tanggung jawab Perawat Terhadap Pemerintah, Bangsa, dan Tanah Air Serta Agama.
Perawat dalam melaksanakan tugasnya harus senantiasa taat dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa;
Perawat harus senantiasa melaksanakan kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah dalam
bidang kesehatan dan perawatan.
Perawat harus senantiasa berperan secara aktif dengan menyumbangkan pikiran kepada
pemerintah dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan perawatan kepada
masyarakat.
Kemampuan yang Harus Dimiliki oleh Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Petugas Analis
Laboratorium Klinik.
Kemampuan yang harus dimiliki oleh petugas laboratorium sangat penting untuk menentukan
mutu penegakkan diagnosis. Seorang dokter spesialis patologi klinik harus memiliki kemampuan
profesional, kemampuan teknis dan kemampuan pengelolaan di bidang patologi klinik, yang
dibuktikan dengan ijazah dan sertifikat yang dimilikinya.
Seorang petugas laboratorium klinik harus memiliki kemampuan profesional, kemampuan teknis
laboratorium dan kemampuan analisis di bidang laboratorium yang dibuktikan dengan ijazah dan
sertifikasi yang dimilikinya.
Perilaku.
a. Tanggung jawab :
Seorang dokter spesialis patologi klinik dalam penatalaksanaan pasien harus memberikan
keahlian profesional secara bertanggung jawab mengenai diagnostikdan penafsiran hasil
laboratorium serta saran untuk melakukan pemeriksaan lanjutan baik untuk diagnostik,
mengetahui perkembangan pengobatan maupun pencegahan.
Meskipun pemeriksaan rutin telah dapat dilaksanakan oleh analis laboratorium namun masih ada
pemeriksaan lain yang harus dilakukan oleh dokter spesialis terutama dalam bidang hematologi
dan imunologi. Dokter spesialis tetap harus bertanggung jawab terhadap hasil tes.
Pengelolaan laboratorium secara tehnis dan manajerial tetap menjadi tanggung jawab dokter
spesialis patologi klinik, namun bila hal ini tidak memungkinkan maka pimpinan rumah sakit
dapat menunjuk dokter umum atau analis laboratorium yang berpengalaman atau senior.
Kewajiban Umum
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter;
Seorang dokter harus senantiasa melaksanakan tugas profesinya menurut ukuran yang setinggi-
tingginya;
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan keuntungan pribadi;
Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etika, yakni : (1) Setiap perbuatan yang
bersifat memuji diri sendiri; (2) Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan
keterampilan kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan profesi; (3) Menerima imbalan
lain di luar imbalan yang layak sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan, sepengetahuan
dan atau kehendak pasien;
Setiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan mahluk insani, baik
jasmani maupun rohani, hanya diberikan untuk kepentingan pasien;
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya;
Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya;
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus mengutamakan / mendahulukan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat yang sebenarnya;
Kerja sama antara dokter dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta
masyarakat harus dilandasi oleh adanya saling pengertian yang sebaik-baiknya di atara
keduanya.
Komunikasi
Yang perlu diketahui dalam berkomunikasi adalah :
Kepada siapa informasi harus diberikan;
Siapa yang harus mengambil keputusan misalnya ayah, ibu atau kakek dan nenek;
Perawatan Pasien
Yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perawatan pasien adalah :
Apakah anak harus dipisah dari orang tuanya atau menjalani rawat tunggu;
Perlakuan terhadap si anak karena sifatnya yang negativistis;
Pendekatan terapi atau diagnostik terhadap si anak;
Perawatan terhadap si anak terutama mengenai kebersihan.
Lingkungan
Anak terpisah dari orang tua dan keluarga : bayi yang menetek atau sedang diberi air susu ibu
terpisah dari ibunya sehingga tidak mendapat air susu ibu.
Anak terpisah dari kawan mainnya;
Anak tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari;
Suasana rumah sakit yang tidak menunjang perkembangan kejiwaan anak;
Anak terpisah dari ransangan-ransangan tumbuh kembang sehari-hari.
Penyimpangan-penyimpangan dalam masalah-masalah di atas tidak semuanya dapat disadari
atau dilihat. Kepekaan terhadap pelanggaran etika sehubungan dengan masalah di atas sangat
tergantung pada pengalaman, pengetahuan, norma-norma masyarakat, kebudayaan dan sosial
ekonomi masyarakat.
Beberapa penyimpangan oleh orang desa mungkin dianggap suatu hal yang wajar, tertapi buat
orang kota hal itu mungkin pula dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap hak azasi manusia
(pasien).
Etika pelayanan kesehatan anak pada hakekatnya sama dengan pelayanan orang dewasa. Yang
dapat membedakannya adalah soal pendekatannya. Kalau kita memeriksa anak, kadang-kadang
anak itu perlu dipegang dengan kuat tanpa memandang seksnya agar pemeriksaan dapat
dilakukan dalam keadaan anak itu tidak bergerak-gerak.
Untuk anak yang belum mengenal rasa malu, pemeriksaan anak tidak perlu dilakukan di tempat
yang tertutup.
Pemeriksaan terhadap anak kadang-kadang perlu dilakukan dengan paksaan. Demikian pula
halnya dengan pengobatan.
Prinsip Umum
Evaluasi pra anestesi hendaknya dilakukan oleh dokter ahli anestesiologi atau dokter peserta
program studi yang akan melaksanakan, setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis anestesi
yang bertanggung jawab. Waktu yang tersedia untuk evaluasi hendaknya memadai agar terapi
atau pemeriksaan yang diperlukan dapat dilaksanakan. Meskipun evaluasi dini tidak selalu dapat
dilakukan (misalnya, pembedahan darurat), penilaian tetap diperlukan sebelum anestesi dan
pembedahan dimulai.
Penatalaksanaan Anestesi
Prinsip Umum
Setiap anestesi yang dilaksanakan menjadi tanggung jawab dokte spesialis anestesi. Pasien yang
diberi anestesi bukan oleh dokter spesialis anestesi (dokter peserta program studi anestesiologi)
menjadi tanggung jawab dokter ahli anestesiologi yang bertugas;
Dokter spesialis anestesi yang bertanggung jawab harus berada dalam satu atap di lingkungan
rumah sakit dan dapat segera hadir setiap saat ditempat pelaksanaan anestesi;
Pada saat yang bersamaan seorang dokter ahli anestesi hendaknya membatasi diri sehingga dia
hanya bertanggung jawab atas sebanyak-banyak tiga anestesi;
Semua pasien akan dipantau sesua dengan standar pemantauan dasar intra operatif.
Alat-alat yang berhubungan langsung dengan pasien seperti laringoskopi dan pipa jalan napas,
hendaknya dicuci dan disucihamakan sesudah setiap prosedur.
Standar 1
Tenaga anestesi yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah selama pemberian
anestesi /analgesia.
Tujuan :
Karena keadaan pasien selama anestesi /analgesia dapat berubah dengan cepat, maka tenaga
anestesi yang berkualifikasi harus ada untuk memantau pasien dan memberikan pelayanan
anestesi/analgesia.
Dalam hal terdapat bahaya langsung terhadap tenaga anestesiologi (misalnya radiasi) pasien
perlu diawasi dari jarak jauh. Beberapa cara pemantauan tertentu tetap harus dilakukan.
Pada keadaan darurat di tempat lain yang memerlukan kehadiran dokter spesialis anestesiologi
yang bertanggung jawab, maka keputusan untuk meninggalkan pasien didasarkan pada tingkat
kedaruratan tersebut, keadaan pasien yang ditinggalkan dan kualifikasi tenaga anestesi yang
tetap tinggal.
Standar II
Selama pemberian anestesi / analgesia, oksigenasi, ventilasi dan suhu tubuh pasien harus sering
dievaluasi secara teratur.
Oksigenasi
Tujuan
Oksigenasi bertujuan memastikan kadar zat asam di dalam gas inspirasi, di dalam darah pada
setiap pemberian anestesi/analgesia.
Cara :
Gas Inspirasi
Selama pemberian anestesi dengan mesin anestesi, dianjurkan agar kadar zat asam diukur dengan
analizer zat asam yang mempunyai alarm batas rendah kadar zat asam.
Oksigenasi Darah
Selama pemberian anestesi/analgesia, diperlukan penerangan yang cukup dan pasien harus dapat
dilihat dengan jelas agar dapat dilakukan penilaian terhadap warna. Disamping cara-cara
kualitatif lainnya dianjurkan juga cara kualitatif seperti oksimeter pulsa.
Ventilasi
Tujuan
Ventilasi bertujuan memastikan ventilasi pasien yang cukup selama pemberian
anestesi/analgesia.
Cara :
Setiap pasien yang diberikan anestesi, ventilasi harus sering dievaluasi secara teratur. Secara
kualitatif hal itu dapat dilakukan misalnya dengan mengawasi gerak naik turun dada, gerak
kembang kempis kantong reservoar atau auskultasi bunyi napas. Secara kuantitatif hal itu dapat
dianjurkan misalnya dengan mengukur kandungan CO2 dan atau volume gas ekspirasi.
Jika dilakukan intubasi, posisi pipa trakea yang tepat di dalam trake harus dipastikan. Penilaian
secara klinis adalah esensial, sedangkan pemantauan kandungan CO2 tidal akhir end tidal CO2
atau kandungan CO2 pada akhir ekspirasi dianjurkan.
Jika ventilasi diatur dengan ventilator mekanis, dianjurkan agar terdapat alat yang mampu untuk
menunjukkan putus hubungan dari komponen-komponen sistem pernapasan pasien. Alat tersebut
harus mampu mengeluarkan tanda yang dapat didengar jika nilai ambang alarm terlewati.
Selama analgesia regional dan pelayanan anestesiologi lainnya yang memerlukan pemantauan,
ventilasi yang cukup harus dievaluasi, setidak-tidaknya dengan cara klinis kualitatif secara
teratur dan sering.
Sirkulasi
Tujuan
Sirkulasi bertujuan untuk memastikan fungsi sirkulasi pasien yang cukup selama
anestesi/analgesia.
Cara :
Setiap pasien yang diberi anestesi/analgesia harus diukur tekanan darah dan laju jantungnya
secara teratur dan sesering mungkin;
Setiap pasien yang diberi anestesi dan mempunyai resiko tinggi, harus dilakukan pemantauan
EKG-nya secara terus menerus dan dianjurkan agar hal itu disertai salah satu cara pemantauan
berikut, seperti tekanan darah invasif, oksimeter pulsa atau platismografi.
Suhu tubuh
Suhu tubuh bertujuan membantu mempertahankan suhu tubuh selama pemberian
anestesi/analgesia.
Cara :
Harus tersedia alat untuk mengukur suhu tubuh setiap saat. Jika diduga, dicurigai atau
diperkirakan terjadi perubahan suhu tubuh, maka suhu tubuh harus diukur.
Ruang perawatan/terapi intensif berbeda dari ruang perawatan biasa karena harus mempunyai
kemampuan pelayanan yang tertentu atau maksimal. Akan tetapi ruang perawatan/terapi intensif
itu harus melampaui kemampuan pelayanan minimal, yakni :
Resusitasi jantung;
Penatalaksanaan jalan napas, termasuk intubasi endotrakea dan ventilasi;
Terapi zat asam;
Pemantauan EKG kontinyu;
Pelayanan laboratorium menyeluruh yang cepat;
Pelayanan bantuan nutrisi;
Terapi tetrasi intervensi dengan pompa infus/pompa semprit;
Alat-alat bantuan kehidupan portabel untuk transpor pasien.
Tindakan dan pengobatan di ICU terutama resusitasi darurat dan penggunaan alat-alat canggih
mengakibatkan dapat tertolongnya pasien-pasien yang sebelumnya diperkirakan akan cepat
meninggal. Akan tetapi hal ini dapat mengakibatkan pasien berada pada keadaan antara hidup
dan mati. Kadang-kadang kita menghadapi proses perpanjangan kematian, bukan perpanjangan
kehidupan. Masalah lain ialah mahalnya perawatan dan pengobatan di ICU dan terbatasnya
tempat. Persoalannya ialah apabila secara etika dan moral kita dapat menghentikan tindakan
pengobatan (misalnya mematikan alat bantu napas), jika kondisi pasien tidak memperlihatkan
adanya harapan untuk hidup lagi. Untuk menangani masalah ini dibutuhkan ketentuan tentang
mati, eutanasia dan tindakan pengakhiran resusitasi.
Cara Kerja dan Hubungan Dokter Spesialis Anestesi dengan Dokter Spesialis Dalam Merawat
Pasien ICU.
Dokter dari salah satu UPF dalam lingkungan Rumah Sakit mengajukan permintaan tertulis ke
ICU dengan menyebutkan alasannya. Dalam keadaan kritis hal itu dapat dilakukan melalui
komunikasi telepon atau lisan lebih dahulu.
Dokter Spesialis Anestesi (konsulen ICU) atau wakil yang ditunjuk (minimal ia adalah peserta
program dokter spesialis anestesiologi senior datang memeriksa dan memberi persetujuan secara
tertulis setelah mempertimbangkan keadaan pasien dan tempat di ICU.
Setelah disetujui pasien diserahterimakan oleh dokter yang mengirim. Keterangan dan saran
pengobatan yang diperlukan disertakan pada serah terima itu.
Serah terima itu hendaknya bersifat konsultasi, alih rawat atau rawat bersama :
Alih rawat disini tanggung jawab sepenuhnya ada pada dokter ICU dalam hal terapi, konsultasi
dengan dokter UPF lain dan indikasi ke luar dari ICU.
Rawat bersama dalam hal ini dokter yang mengirim tanpa diminta tetap melakukan evaluasi dan
menganjurkan terapi.
Konsultasi dapat dilakukan dengan atau tanpa persetujuan dokter yang mengirim. Dengan
demikian penanggulangan pasien dilakukan dengan pendekatan bersama antara dokter spesialis
anestesi (dokter ICU), dokter pengirim, dokter konsultan lain dan Kepala Ruang ICU sebagai
ketua tim.
Semua dokter spesialis atau konsulen lain yang terlibat pada waktu melakukan kunjungan pasien
harus selalu didampingi oleh dokter ICU. Saran yang diberikan harus tertulis dan diteruskan
kepada perawat oleh dokter ICU. Saran dapat diajukan secara lisan dulu, tetapi kemudian harus
diikuti secara tertulis.
Eutanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti kematian yang membahagiakan. Tetapi istilah
itu sering diartikan sebagai pengakhiran kehidupan karena rasa kasihan; kadang-kadang diartikan
sebagai membiarkan seseorang mati.
Eutanasia muncul dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat dan kesadaran mereka akan
hak individu, ditambah lagi dengan kemajuan teknologi kedokteran yang memungkinkan dokter
dapat mempertahankan hidup pasien meskipun hanya secara vegetatif.
Kita mengenal dua macam eutanasia, yaitu eutanasia aktif dan eutanasia pasif. Eutanasia aktif
ialah upaya mempercepat kematian melalui tindakan medis yang direncanakan. Eutanasia aktif
ini merupakan tindakan yang dapat dihukum karena melanggar KUHP pasal 344, 345, dan 304.
Eutanasia pasif ialah penghentian segala pengobatan dan upaya yang tidak berguna lagi pada
penderita sakit berat untuk kepentingan pasien, baik atas permintaannya maupun tidak atas
permintaannya. Eutanasia pasif dapat dikerjakan sesuai Fatwa IDI dengan memakai Triase
Gawat Darurat yang dikeluarkan IDI.
Ketentuan Mati
Dalam penegakkan diagnosis mati batang otak, dibutuhkan tiga langkah, yakni :
Meyakini bahwa telah terdapat pra kondisi tertentu;
Menyingkirkan penyebab koma dengan henti napas yang ireversibel;
Memastikan arefleksi batang otak dan henti napas yang menetap.
Berkaitan dengan itu ada dua pra kondisi yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis mati
batang otak, yakni :
Pasien dalam keadaan koma dan henti napas, yaitu tidak responsif meskipun sudah dibantu
ventilator;
Penyebabnya adalah kerusakan otak struktural yang tidak dapat diperbaiki lagi karena adanya
gangguan yang mengarah pada mati batang otak.
Untuk memantapkan pra kondisi guna memapankan diagnosis kerusakan otak struktural sampai
diyakini kondisi yang bersangkutan tidak dapat diperbaiki, perlu ditunggu beberapa jam sampai
beberapa hari, tergantung pada kasus masing-masing.
Tes-tes yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa batang otak tidak berfungsi hanya
memerlukan beberpa menit. Tes-tes ini membuktikan bahwa refleks batang otak telah hilang dan
memastikan adanya henti napas yang menetap. Sebelum melakukan tes, hendaknya diperhatikan
bahwa pada fungsi batang otak yang menghilang terdapat tanda-tanda berikut :
Koma;
Tidak ada sikap abnormal (dekortikasi, deserebrasi);
Tidak ada sentakan epileptik;
Tidak ada refleks batang otak; dan
Tidak ada napas spontan.
Jika misalnya masih ada sikap abnormal seperti dekortikasi, hal ini berarti bahwa masih ada
unsur neuron hidup pada batang otak. Karena itu, tes untuk mati batang otak tidak tepat untuk
dilakukan karena hanya akan membuang-buang waktu saja. Bila memang tanda-tanda fungsi
batang otak yang hilang di atas ada semua, maka hendaknya secara sistematis diperiksa lima
refleks batang otak, yaitu :
Tidak ada respons terhadap cahaya;
Tidak ada refleks kornea;
Tidak ada refleks vestibulo-okular;
Tidak ada respons motor dalam distribusi saraf kranial terhadap ransang adekuat pada area
somatik;
Tidak ada refleks muntah (refleks gag) atau refleks batuk terhadap ransangan oleh kateter isap
yang dimasukkan kedalam trakea.
Tes terhadap refleks-refleks batang otak dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan
cara yang unik. Tak ada daerah otak lainnya yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Hal ini
menguntungkan karena konsep mati yang baru secara tidak langsung menyatakan bahwa semua
yang berarti bagi kehidupan manusia tergantung pada integritas jaringan yang berukuran hanya
beberapa cm ini. Tes ini ditujukan untuk mencari adanya respons, bukan gradasi fungsi. Ini
mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang terlatih. Tes yang
paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti napas, yaitu :
Beri pre-oksigenasi 100 % selama 10 menit;
Beri 5 % CO2 selama 5 menit berikutnya untuk menjamin PaCO2 awal 53 kpa (40 torr);
Melepaskan pasien dari ventilator. Insuflasikan trakea dengan O2 100 % : 6 1/menit melalui
kateter intra trakea lewat karina;
Melepaskan pasien dari ventilator selama 10 menit. Jika mungkin periksa PaCo2 akhir.
Tes ulang perlu dilakukan untuk mencegah kesalahan pengamatan dan perubahan tanda-tanda.
Interval waktu berlangsung selama satu jam dengan alasan sebagai berikut :
Makin panjang interval waktu, makin besar keberatan merawat pasien;
Makin pendek interval waktu, makin menunjang keberhasilan transplantasi organ. Karena makin
lama interval waktu, makin besar kemungkinan terjadi asitol ventrikular sehingga sirkulasi darah
berhenti dan ini akan mengurangi viabilitas jaringan.
Bila langkah-langkah menegakkan diagnosis mati batang otak dijalankan dengan baik, tidak akan
ada perbedaan hasil (pemeriksaan pertama dan pemeriksaan ulang).
Hendaknya jangan dibuat diagnosis mati batang otak, jika dokter yang bertugas ragu-ragu
mengenai :
Diagnosis primer;
Kausa disfungsi batang otak yang reversibel (obat atau gangguan metabolik); dan
Kelengkapan tes klinis.
Penghentian Tindakan Terapeutik/Paliatif
Di ICU sering didapatkan pasien dengan otak yang tidak berfungsi sama sekali, tetapi jantungnya
masih berdenyut otomatis, dan napasnya dapat dikendalikan dengan respirator. Hal ini
merupakan hasil teknologi kedokteran maju yang menyedihkan dan telah mengubah pasien
menjadi preparat biologis (bentuk fisik) tanpa atribut sebagai manusia. Oleh karena itu, jika kita
dapat membuktikan bahwa batang otak sudah mati, secara keseluruhan pasien tersebut sudah
mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Masih berdenyutnya jantung adalah karena fungsi
intrinsik otonom dan hal itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa otak masih berfungsi.
Dalam hal pasien yang dalam keadaan gawat tidak dapat ditolong dengan cara pengobatan yang
ada, sedangkan diagnosis mati batang otak belum ditegakkan, penghentian pengobatan sudah
dapat dimulai. Sesuai dengan kondisi penyakit pasien, penghentian tindakan terapeutik / paliatif
dilakukan secara bertahap, yakni sebagai berikut :
Untuk pengakhiran resusitasi jangka panjang dipakai triase gawat darurat (critical care triage)
sebagai berikut :
Bantuan total untuk pasien sakit atau cedera kritis yang diharapkan tetap dapat hidup tanpa
kegagalan otak berat yang menetap. Sistem organ vital, walaupun biasanya terpengaruh, tidak
rusak ireversibel. Semua yang mungkin dilakukan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas;
Semua diusahakan kecuali resusitasi jantung paru untuk pasien dengan fungsi otak tetap ada,
atau dengan harapan ada pemulihan otak pasien yang mengalami kegagalan jantung, paru, atau
organ multipel yang lain atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
misalnya karsinoma lanjut. Semua yang mungkin dilakukam untuk kenyamanan pasien.
Perpanjangan hidup tidak dilakukan setelah henti jantung.
Tidak dilakukan tindakan-tindakan luar biasa bagi pasien-pasien yang bila diberi beberapa
bentuk terapi tmpaknya hanya berarti memperpanjang proses kematian, bukannya kehidupan.
Sebagai contoh ialah pasien dengan fungsi otak minimal tanpa harapan sehingga tidak ada
kemungkinan untuk mentasi manusia (human mentation) selanjutnya. Penderita moribund sadar
tanpa harapan, dibuat merasa nyaman dan bebas nyeri.
Pengakhiran semua bantuan hidup untuk pasien dengan penghentian fungsi batang otak yang
irreversibel. Setelah kriteria mati batang otak dipenuhi, pasien dinyatakan meninggal dan semua
terapi dihentikan. Jika sedang dipertimbangkan donasi organ, bantuan jantung paru penderita
diteruskan sampai organ yang diperlukan telah diambil.
Paling sedikit dua orang dokter membuat klasifikasi dan secara berkala melakukan reklasifikasi
setiap pasien ICU ke dalam 1 – 4 kategori tersebut di atas. Klasifikasi sebaiknya dikerjakan oleh
kelompok dokter (lebih dari satu orang), kecuali di tempat terpencil/tersendiri.
Keputusan untuk menghentikan tindakan-tindakan luar biasa untuk bantuan hidup merupakan
keputusan medis. Hal ini harus dibuat oleh dokter-dokter berpengalaman yang mengalami kasus-
kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan
dokter spesialis berpengalaman (spesialis anestesiologi, spesialis neurologi). Selain itu,
hendaknya dipertimbangkan pula keinginan pasien yang dinyatakan sebelumnya, sikap keluarga
tidak diminta membuat keputusan untuk penderita mati.
Bila keputusan yang diambil adalah membiarkan pasien meninggal secara wajar dengan
mematikan mesin ventilator, maka setelah mesin ventilator dimatikan diupayakan untuk
mengembalikan napas spontan. Bila upaya ini gagal, terapi ventilator tidak lagi diberikan dan
pasien dibiarkan mati secara alamiah. Bila secara tidak terduga pasien bernapas spontan kembali,
maka terapi ventilator dapat diteruskan kembali.
Hal-hal Penting Yang Harus Diperhatikan Dalam Prosedur Pemanfaatan Sinar X atau Sumber
Radiasi Lainnya
Suatu Instansi dalam pemanfaatan sinar – X atau sumber radiasi lainnya harus mendapat izin dari
Badan Pengawas Tenaga Nuklir;
Tenaga yang dibutuhkan untuk mengoperasikan sinar – X atau sumber radiasi lainnya adalah ahli
radiografi atau operator radiografi baik yang memiliki surat izin bekerja maupun belum memiliki
surat izin bekerja dari Badan Pengawas Tenaga Nuklin (Bapeten);
Dalam memanfaatkan sinar – X atau sumber radiasi lainnya ahli radiografi atau operator
radiografi harus memperhatikan keselamatan, bahaya radiasi terhadap petugas radiasi lainnya,
pasien ataupun lingkungan;
Pemanfaatan sinar – X atau sumber radiasi lainnya pada unit radiologi harus ada petugas proteksi
radiasi yang memiliki surat izin bekerja (SIB) dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten);
Ahli radiografi atau operator radiografi dalam memanfaatkan pesawat sinar – X atau sumber
radiasi lainnya harus memperhatikan keselamatan dari gangguan tegangan listrik baik terhadap
petugas maupun terhadap pasien;
Pimpinan instansi bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keselamatan, kesejahteraan,
keamanan, kesehatan bagi pekerja radiasi dan anggota masyarakat serta perlindungan terhadap
lingkungan hidup;
Ahli radiografi atau operator radiografi membantu dokter ahli radiologi dalam melakukan
pemeriksaan radiologis;
Ahli radiografi atau operator radiografi tidak diperkenankan dalam menginterpretasi hasil foto
rontgen;
Ahli radiografi atau operator radiografi tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan
menggunakan sinar – X tanpa membawa pengantar (permintaan) dari dokter pengirim;
Petugas radiasi harus memberikan penjelasan terhadap pasien yang akan dilakukan pemeriksaan
dengan sinar – X baik pemeriksaan dengan menggunakan bahan kontras media maupun tanpa
kontras media;
Penjelasan yang dimaksud pada poin (d) adalah menyangkut : Prosedur pemeriksaan, persiapan
pemeriksaan, waktu pemeriksaan, obyek pemeriksaan, posisi pemeriksaan, tujuan pemeriksaan,
resiko pemeriksaan khususnya menggunakan bahan kontras media, hasil pemeriksaan;
Petugas radiasi dalam melayani pasien harus bersikap sopan santun dan tidak dibenarkan
melakukan hal-hal yang di luar prosedur yang ada;
Harus ada kerja sama atau komunikasi yang baik antara petugas radiasi dengan pasien untuk
memudahkan atau kelancaran pemeriksaan.
Pengertian :
Istilah Gawat-Darurat telah menjadi populer di kalangan masyarakat terutama di rumah sakit.
Istilah ini merupakan suatu keadaan dimana pasien dalam kondisi kritis, membutuhkan
pelayanan atau penanganan segera, karena adanya gangguan bio-psiko-sosial-spiritual yang
mengancam kelangsungan hidupnya. Faktor penyebabnya adalah berbagai macam, baik fisik,
psikis maupun chemis, dan sebagainya.
Pasien yang masuk atau tiba di Instalasi Rawat Darurat dapat dibagi, atas 3 jenis, yakni : gawat,
darurat dan telah meninggal dunia dengan sebab yang tidak/belum diketahui. Dari ketiga jenis ini
dua diantaranya (gawat dan darurat) sangat membutuhkan perhatian serius dari seluruh
komponen yang bertugas di tempat ini. Itulah sebabnya, pelayanan pada bagian ini harus dibuka
selama 24 jam / perhari.
Pelayanan rawat-darurat ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi, yakni :
Sifat pelayanan pada bagian rawat darurat adalah segera, yaitu cepat dan tepat (proper);
Prinsip yang dipakai tetap revive (mengembalikan keadaan dan memberikan pertolongan agar
kembali hidup) dengan jalan resusitasi.
Mempertahankan nyawa (live saving, live support);
Melakukan review (penilaian secara komprehensif/keseluruhan);
Melakukan repair apabila keadaan sudah stabil.
Pengendalian etika profesi merupakan pengaturan intern profesi, sehingga pelanggaran terhadap
etika profesi merupakan tanggung jawab seluruh profesi.
Kelompok profesi harus menetapkan, melaksanakan dan menilai mekanisme pengendalian etika
secara menyeluruh. Untuk keperluan ini, maka perlu dibentuk suatu wadah yang menangani
masalah-masalah pelanggaran etika.
Pelanggaran Etika Profesi
Istilah pelanggaran etika profesi dipergunakan untuk melakukan kontrol terhadap tindakan-
tindakan yang tidak sesuai dengan etika dan mutu profesionalisme yang tinggi, kebiasaan, cara-
cara atau kebijakan seperti yang lazim dipergunakan.
Melanggar etika profesi termasuk melanggar prinsip-prinsip moral.
Untuk mengatur pelanggaran etika rumah sakit, maka harus ditetapkan alur penyelesaiannya,
Alur penyelesaian pengaduan pelanggaran etika rumah sakit adalah sebagai berikut : (1) Alur
pengaduan pelanggaran etika rumah sakit, (2) Alur penyelesaian pelanggaran kode etika rumah
sakit, dan (3) Alur pengaduan dan penyelesaian pelanggaran kode etika rumah sakit.a
BAB IPENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Kemajuan teknologi saat ini, menuntut para pemberi pelayanan kesehatanagar memberikan pelayanan yang
bermutu. Oleh karena itu, dalamrangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan
mutukualitas layanan merupakan salah satu aspek yang sangat penting.rumah sakit sebagai salah
satu penyedia pelayanan kesehatan yangmempunyai fungsi rujukan harus dapat memberikan
pelayanan yangprofesional dan berkualitas. Sejalan dengan upaya tersebut, agar
paratenaga kesehatan di rumah sakit dapat memberikan pelayanan prima bagipara pasiennya,
diperlukan adanya suatu pedoman pelayanan kesehatanyang dapat digunakan sebagai acuan
dalam setiap tindakan yangdilakukan.Pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit
merupakansalah satu bagian dari pelayanan kesehatan yang berkembang dengancepat seiring dengan
peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang anestesia. Peningkatan kebutuhan pelayanan anestesiologi danterapi intensif ini tidak
diimbangi dengan jumlah dan distribusi
dokterspesialis anestesiologi secara merata. Keadaan tersebut menyebabkantindakan anestesia di rumah sakit
dilakukan oleh perawat anestesisehingga tanggung jawab terhadap pelayanan ini menjadi tidak jelaskhususnya
untuk rumah sakit yang tidak memiliki dokter spesialisanestesiologi.Pelayanan anestesia di rumah sakit antara lain
meliputi pelayanananestesia/analgesia di kamar bedah dan di luar kamar bedah, pelayanankedokteran
perioperatif, penanggulangan nyeri akut dan kronis,
resusitasi jantung paru dan otak, pelayanan kegawatdaruratan dan terapi
intensif. Jenis pelayanan yang diberikan oleh setiap rumah sakit akan berbeda,tergantung dari fasilitas,
sarana, dan sumber daya yang dimiliki olehrumah sakit tersebut.Oleh sebab itu, dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan anestesia diRumah Sakit, disusunlah Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Anestesiologi dan Terapi intensif di Rumah Sakit.
Adalah pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsional yang diakibatkan oleh keadaan
atau kondisi sakit, penyakit atau cedera melalui panduan intervensi medik, keterapian fisik dan atau
rehabilitatif untuk mencapai kemampuan fungsi yang optimal.
Pelayanan Rehabilitasi Medik meliputi:
1. Pelayananan Fisioterapi
Adalah bentuk pelayanan kesehatan untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan
gerak dan fungsi organ tubuh dengan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan
(fisik, elektro terapiutik dan mekanis), pelatihan.
2. Pelayanan Okupasi Terapi
Adalah Pelayanan kesehatan untuk mengembangkan, memelihara, memulihkan fungsi dan atau
mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living),
produktivitas, dan waktu luang melalui remediasi dan fasilitasi.
3. Pelayanan Terapi Wicara
Adalah bentuk pelayanan kesehatan untuk memulihkan dan mengupayakan
kompensasi/adaptasi fungsi komunikasi, bicara dan menelan dengan melalui
pelatihan remediasi, stimulasi dan fasilitasi (fisik, elektroterapiutis dan mekanis)
4. Pelayanan Ortotis-Prostetis:
Adalah salah satu bentuk pelayanan keteknisian medik yang ditujukan kepada individu untuk
merancang, membuat dan mengepas alat bantu guna pemeliharaan dan pemulihan fungsi, atau
pengganti anggota gerak.
5. Pelayanan Psikologi
Adalah bentuk pelayanan untuk pengembangan, pemeliharaan mental emosianal serta
pemecahan problem yang diakibatkan oleh keadaan/kondisi sakit, penyakit dan cedera.
6. Pelayanan Sosial Medik
Adalah bentuk pelayanan pemecahan masalah sosial akibat dari suatu keadaan/kondisi sakit,
penyakit atau cedera untuk bisa kembali ke masyarakat.
Medikolegal adalah suatu ilmu terapan yang melibatkan dua aspek ilmu yaitu medico yang
berarti ilmu kedokteran dan -legal yang berarti ilmu hukum. Medikolegal berpusat pada
standar pelayanan medis dan standar pelayanan operasional dalam bidang kedokteran dan
hukum – hukum yang berlaku pada umumnya dan hukum – hukum yang bersifat khusus
seperti kedokteran dan kesehatan pada khususnya.
Kasus medikolegal dapat didefinisikan sebagai kasus cedera, cacat atau meninggal dimana
penyelidikan dari lembaga penegak hukum sangat penting untuk mengetahui siapa yang
bertanggung jawab atas cedera, cacat atau ,meninggal tersebut, apakah dokter yang
bertanggung jawab? Atau pasien sendiri yang bertanggung jawab atas cedera, cacat atau
meninggal tersebut?. Dalam Bahasa sederhananya adalah sebuah kasus hukum yang
memerlukan keahlian medis dalam penyelesaiannya.
Akhir – akhir ini, diIndonesia masalah sengketa medis banyak menarik perhatian kita, yang
menarik adalah sisi pandang atas konflik medis yang terjadi dari sudut pandang pasien
maupun dokter biasanya ekstrim. Berikut merupakan salah satu contoh kasus medikolegal.
Ada seorang pasien dengan fraktur humerus dextra (tulang paha kanan) akibat kecelakaan
lalu lintas, lalu dioperasi untuk pemasangan plat, pasca operasi keadaan pasien sudah
membaik, lalu pasien dipulangkan dengan catatan harus kotrol secara rutin. Namun, pasien
hanya datang satu kali untuk kontrol jahitan, selanjutnya pasien tidak pernah datang lagi.
Dimana seharusnya pasien datang untuk kontrol perkembangan proses penyembuhannya.
3 bulan kemudian pasien kembali datang ke RS dengan keluhan paha kanannya nyeri dan
bengkak. Didapati patah tulang berulang pada paha kanan. Lalu pasien menuntut ganti rugi
karena keadaannya tersebut.
Dari sudut pandang pasien, “PASIEN MENUDUH DOKTER MENGGUNAKAN PLAT YANG
KUALITASNYA TIDAK BAGUS”.
Dari sudut pandang dokter, “KEJADIAN INI TERJADI KARENA PASIEN TIDAK
KONTROL, SESUAI DENGAN ANJURAN DOKTER, SEHINGGA PROSES
PENYEMBUHANNYA TIDAK TERPANTAU DAN ADA KEMUNGKINAN PASIEN
MELAKUKAN GERAKAN – GERAKAN YANG BELUM DIPERBOLEHKAN”.
Klinik, menurut Pasal 1 angka 1 Permenkes 28 Tahun 2011 tentang Klinik, adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialis
diselenggarakan lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang
tenaga medis.
Klinik, menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu klinik pratama dan
klinik utama. Klinik Pratama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medis
dasar. Sementara Klinik Utama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan
medis spesialis atau pelayanan medis dasar dan spesialis. Baik klinik pratama maupun
klinik utama, dapat mengkhususkan pelayanannya dalam bidang tertentu, sebagai
misal klinik bersalin, klinik ibu dan anak atau bidang lainnya.
Perlu ditegaskan lagi bahwa klinik pratama yang menyelenggarakan rawat inap, harus
memiliki izin dalam bentuk badan usaha. Mengenai kepemilikan klinik, dapat dimiliki
secara perorangan ataupun badan usaha. Bagi klinik yang menyelenggarakan rawat
inap maka klinik tersebut harus menyediakan fasilitas-fasilitas yang mencakup:
1. Ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan;
2. Minimal 5 bed, maksimal 10 bed, dengan lama inap maksimal 5 hari;
3. Tenaga medis dan keperawatan sesuai jumlah dan kualifikasi;
4. Dapur gizi;
5. Pelayanan laboratorium klinik pratama.
1. PENGERTIAN