Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI FORMULASI STERIL

R/Atropin sulfat 0,5%


Hexamin 5 %
M.f. Injeksi No. III

I. Tujuan Agar mahasiswa mampu membuat dan mengevaluasi sediaan


Injeksi dosis ganda kemasan vial dengan menerapkan teori-teori
yang meliputi aspek teknologi formulasi dan berpedoman pada
cara pembuatan obat yang baik (CPOB).

II. Komposisi Sediaan-sediaan yang ada :


1. Menurut Formularium Nasional Edisi II hal 32
Komposisi : Tiap ml mengandung

Atropin sulfat 1 mg
Natrii chloridum 9 mg
Acidum hydrochloridum 10 µ
Natrii pyrosulfis 1 mg
Aqua pro injectione hingga 1 ml

2. Menurut Formularium Indonesia hal 55


Atropin sulfat 0.05
Natriumohlamida 0.9
Asam chlorida 1 ml
Air secukupnya sampai 1000 ml

Resep yang dipilih: formularium indonesia hal 55


R/Atropin sulfat 0.5
Natriumohlamida 0.9
Asam chlorida 1 ml
Air suling 1000 ml

III. Tinjauan Salah satu bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah
Pustaka sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau atau disuspensikan terlebih dahulu
sebelum digunakan yang disuntikkan dengan cara merobek
jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Dimasukkan ke dalam tubuh dengan menggunakan alat suntik.

1
Suatu sediaan parenteral harus steril karena sediaan ini unik
yang diinjeksikan atau disuntikkan melalui kulit atau membran
mukosa ke dalam kompartemen tubuh yang paling dalam. Sediaan
parenteral memasuki pertahanan tubuh yang memiliki efesiensi
tinggi yaitu kulit dan membran mukosa sehingga sediaan
parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba dan bahan-bahan
beracun dan juga harus memiliki kemurnian yang dapat diterima.

Rute-rute Injeksi
1) Parenteral Volume Kecil
a. Intradermal
Istilah intradermal (ID) berasal dari kata "intra" yang
berarti lipis dan "dermis" yang berarti sensitif, lapisan
pembuluh darah dalam kulit. Ketika sisi anatominya
mempunyai derajat pembuluh darah tinggi, pembuluh
darah betul-betul kecil. Makanya penyerapan dari
injeksi disini lambat dan dibatasi dengan efek sistemik
yang dapat dibandingkan karena absorpsinya terbatas,
maka penggunaannya biasa untuk aksi lokal dalam
kulit untuk obat yang sensitif atau untuk menentukan
sensitivitas terhadap mikroorganisme.
b. Intramuskular
Istilah intramuskular (IM) digunakan untuk injeksi ke
dalam obat. Rute intramuskular menyiapkan kecepatan
aksi onset sedikit lebih normal daripada rute intravena,
tetapi lebih besar daripada rute subkutan.
c. Intravena
Istilah intravena (IV) berarti injeksi ke dalam vena.
Ketika tidak ada absorpsi, puncak konsentrasi dalam
darah terjadi dengan segera, dan efek yang diinginkan
dari obat diperoleh hampir sekejap.
d. Subkutan
Subkutan (SC) atau injeksi hipodermik diberikan di
bawah kulit. Parenteral diberikan dengan rute ini

2
mempunyai perbandingan aksi onset lambat dengan
absorpsi sedikit daripada yang diberikan dengan IV
atau IM.
e. Rute intra-arterial;
Disuntikkan langsung ke dalam arteri, digunakan untuk
rute intravena ketika aksi segera diinginkan dalam
daerah perifer tubuh.
f. Intrakardial
Disuntikkan langsung ke dalam jantung, digunakan
ketika kehidupan terancam dalam keadaan darurat
seperti gagal jantung.
g. Intraserebral
Injeksi ke dalam serebrum, digunakan khusus untuk
aksi lokal sebagaimana penggunaan fenol dalam
pengobatan trigeminal neuroligia.
h. Intraspinal
Injeksi ke dalam kanal spinal menghasilkan konsentrasi
tinggi dari obat dalam daerah lokal. Untuk pengobatan
penyakit neoplastik seperti leukemia.
i. Intraperitoneal dan intrapleural
Merupakan rute yang digunakan untuk pemberian
berupa vaksin rabies. Rute ini juga digunakan untuk
pemberian larutan dialisis ginjal.
j. Intra-artikular
Injeksi yang digunakan untuk memasukkan bahan-
bahan seperti obat antiinflamasi secara langsung ke
dalam sendi yang rusak atau teriritasi.
k. Intrasisternal dan peridual
Injeksi ke dalam sisterna intracranial dan durameter
pada urat spinal. Keduanya merupakan cara yang sulit
dilakukan, dengan keadaan kritis untuk injeksi.
l. Intrakutan (i.c)
Injeksi yang dimasukkan secara langsung ke dalam
epidermis di bawah stratum corneum. Rute ini

3
digunakan untuk memberi volume kecil (0,1-0,5 ml)
bahan-bahan diagnostik atau vaksin.
m. Intratekal
Larutan yang digunakan untuk menginduksi spinal atau
anestesi lumbar oleh larutan injeksi ke dalam ruang
subarachnoid. Cairan serebrospinal biasanya diam pada
mulanya untuk mencegah peningkatan volume cairan
dan pengaruh tekanan dalam serabut saraf spinal.
Volume 1-2 ml biasa digunakan. Berat jenis dari
larutan dapat diatur untuk membuat anestesi untuk
bergerak atau turun dalam kanal spinal, sesuai keadaan
tubuh pasien.
2) Parenteral Volume Besar
Untuk pemberian larutan volume besar, hanya rute
intravena dan subkutan yang secara normal digunakan.
a. Intravena
Keuntungan rute ini adalah (1) jenis-jenis cairan yang
disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan tambahan
banyak digunakan IV daripada melalui SC, (2) cairan
volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat; (3)
efek sistemik dapat segera dicapai; (4) level darah dari
obat yang terus-menerus disiapkan, dan (5)
kebangkitan secara langsung untuk membuka vena
untuk pemberian obat rutin dan menggunakan dalam
situasi darurat disiapkan.
Kerugiannya adalah meliputi : (1) gangguan
kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume
cairan dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian
cepat volume cairan dalam jumlah besar; (2)
perkembangan potensial trombophlebitis; (3)
kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari
kontaminasi larutan atau teknik injeksi septik, dan (4)
pembatasan cairan berair.
b. Subkutan

4
Penyuntikan subkutan (hipodermolisis) menyiapkan
sebuah alternatif ketika rute intravena tidak dapat
digunakan. Cairan volume besar secara relatif dapat
digunakan tetapi injeksi harus diberikan secara lambat.
Dibandingkan dengan rute intravena, absorpsinya lebih
lambat, lebih nyeri dan tidak menyenangkan, jenis
cairan yang digunakan lebih kecil (biasanya dibatasi
untuk larutan isotonis) dan lebih terbatas zat
tambahannya.

Keuntungan injeksi
1. Respon fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila
diperlukan, yang menjadi pertimbangan utama dalam
kondisi klinik seperti gagal jantung, asma, shok.
2. Terapi parenteral diperlukan untuk obat-obat yang tidak
efektif secara oral atau yang dapat dirusak oleh saluran
pencernaan, seperti insulin, hormon dan antibiotik.
3. Obat-obat untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau
tidak sadar harus diberikan secara injeksi.
4. Bila memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol
obat dari ahli karena pasien harus kembali untuk
pengobatan selanjutnya. Juga dalam beberapa kasus, pasien
tidak dapat menerima obat secara oral.
5. Penggunaan parenteral dapat menghasilkan efek lokal
untuk obat bila diinginkan seperti pada gigi dan anestesi.
6. Dalam kasus dimana dinginkan aksi obat yang
diperpanjang, bentuk parenteral tersedia, termasuk injeksi
steroid periode panjang secara intra-artikular dan
penggunaan penisilin periode panjang secara i.m.
7. Terapi parenteral dapat memperbaiki kerusakan serius pada
keseimbangan cairan dan elektrolit.
8. Bila makanan tidak dapat diberikan melalui mulut, nutrisi
total diharapkan dapat dipenuhi melalui rute parenteral.
9. Aksi obat biasanya lebih cepat.

5
10. Seluruh dosis obat digunakan.
11. Beberapa obat, seperti insulin dan heparin, secara lengkap
tidak aktif ketika diberikan secara oral, dan harus diberikan
secara parenteral.
12. Beberapa obat mengiritasi ketika diberikan secara oral,
tetapi dapat ditoleransi ketika diberikan secara intravena,
misalnya larutan kuat dektrosa.
13. Jika pasien dalam keadaan hidrasi atau shok, pemberian
intravena dapat menyelamatkan hidupnya.

Kerugian Injeksi
1. Bentuk sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih
dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan
dengan pemberian rute lain.
2. Pada pemberian parenteral dibutuhkan ketelitian yang
cukup untuk pengerjaan secara aseptik dari beberapa rasa
sakit tidak dapat dihindari.
3. Obat yang diberikan secara parenteral menjadi sulit untuk
mengembalikan efek fisiologisnya.
4. Yang terakhir, karena pada pemberian dan pengemasan,
bentuk sediaan parenteral lebih mahal dibandingkan
metode rute yang lain.
5. Beberapa rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai
oleh pasien, terutama bila sulit untuk mendapatkan vena
yang cocok untuk pemakaian i.v.
6. Dalam beberapa kasus, dokter dan perawat dibutuhkan
untuk mengatur dosis.
7. Sekali digunakan, obat dengan segera menuju ke organ
targetnya. Jika pasien hipersensitivitas terhadap obat atau
overdosis setelah penggunaan, efeknya sulit untuk
dikembalikan lagi.
8. Pemberian beberapa bahan melalui kulit membutuhkan
perhatian sebab udara atau mikroorganisme dapat masuk
ke dalam tubuh. Efek sampingnya dapat berupa reaksi

6
phlebitis, pada bagian yang diinjeksikan.

Syarat-syarat Injeksi
a) Bebas dari mikroorganisme, steril atau dibuat dari bahan
bahan steril di bawah kondisi yang kurang akan adanya
kombinasi mikroorganisme (proses aseptik).
b) Bahan-bahan bebas dari endotoksin bakteri dan bahan
pirogenik lainnya.
c) Bahan-bahan yang bebas dari bahan asing dari luar yang
tidak larut.
d) Sterilitas
e) Bebas dari bahan partikulat
f) Bebas dari Pirogen
g) Kestabilan
h) Injeksi sedapat mungkin isotonis dengan darah.

IV. Spesifikasi 1. Atropin sulfat


Bahan
 BM = 201,70
 Pemerian :Hablur tidak berwarna atau serbuk putih;tidak
berbau;sangat pahit;sangat beracun.
 Kelarutan : Larut dalam kurang dari 1 bagian air dan dalam
lebih kurang 3 bagian etanol (90%) p;praktis tidak larut
dalam eter p;sukar larut dalam kloroform dan dalam benzen
p.
 Ph : 2,8 – 3,2

2. Hexamin
BM : 140,19
Pemerian : Hablur mengkilap tidak berwarna atau
serbuk hablur putih;tidak berbau;rasa membakar dan manis
kemudian agak pahit.
3. Aqua Sterile Pro Injection (Air steril untuk injeksi)
 Pemerian : Cairan, jernih, tidak berwarna ; tidak berbau

7
 Wadah dan Penyimpanan : Dalam wadah dosis tunggal, dari
kaca atau plastic, tidak lebih besar dari 1 liter. Wadah kaca
sebaiknya dari kaca Tipe I atau Tipe II

3.Benzalkonium Klorida
 Pemerian : Gel kental atau potongan seperti gelatin, putih
atau putih kekuningan. Biasanya berbau aromatic lemah.
Larutan dalam air berasa pahit, jika dikocok sangat berbusa
dan biasanya sedikit alkali.
 Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol ;
bentuk anhidrat mudah larut dalam benzene dan agak sukar
latut dalam eter.

V. Spesifikasi 1. Botol kaca volume 10 ml


Pengemas 2. Tidak boleh bereaksi dengan obat atau mempengaruhi
khasiatnya
3. Memungkinkan melakukan pemeriksaan isinya dengan mudah
4. Tutup dibuat dari karet alam atau karet sintetik

VI. Spesifikasi Obat


Jadi 1. Tidak boleh mengandung bakterisid (steril)
2. Jernih (Bebas partikel asing)
3. Isotonis dan Isohidri (pH 4,5-7)
4. Tidak mengandung pirogen
5. Larutan tidak berwarna
6. Larutan tidak berbau

VII. PEMBUATAN 1. Perencanaan Bahan


Volume larutan sediaan yang diminta untuk 3 botol
Volume 1 botol = 10 ml
Menurut Farmakope Indonesia ed III bahwa larutan encer
dengan volume 10 ml. Untuk persyaratan keseragaman
volume perlu dilebihkan sebesar 0.5 maka :
volume 1 botol = 10 ml + 0,5 = 10,5 ml
volume 3 botol = 3 x 10,5 ml = 31,5 ml

8
untuk mencegah kekurangan volume pada saat pengerjaan,
penyaringan dan pembilasan, perlu ditambah, maka
volume seluruhnya dibuat:
31,5 + (20% ×31,5) =37,8 =40 mL
obat dosis ganda perlu ditambah pengawet misalnya:
Benzalkonium klorida 0,01% = 0,01% x 40 ml = 0,004 g =
4 mg
Dibuat pengenceran Benzalkonium klorida. Ditimbang
benzalkonium klorida = 50 mg dilarutkan sampai 10 ml
Diambil = 4 mg / 50 mg x 10 ml = 0,8 ml ̴ 1 ml
2. Perhitungan Bahan
 Atropin sulfat 0,5 % :
0,5/100 x 40 ml = 0.2 gram = 200
mg
 Hexamin 5% :
5/100 × 40 mL = 2 gram
obat dosis ganda perlu ditambah
pengawet misalnya:
 Benzalkonium klorida 0,01 % :
0,01 g / 100 ml x 40 ml = 4 mg =
0,004 gram
Dibuat pengenceran Benzalkonium
klorida. Ditimbang benzalkonium
klorida = 50 mg dilarutkan sampai
50 ml
Diambil = 4 mg / 50 mg x 50 ml =
3,2 ml
 Natrii metabisulfit 0,02% :
0,02/100 × 40 mL =0,008 g = 8 mg
Dibuat pengenceran Natrii
metabisulfit.Ditimbang Natrii
metabisulfit 50 mg dilarutkan
samapai 50 mL , diambil 8 mg / 50

9
mg ×40 mL=6,4 mL.

3. Perhitungan Isotonis
E Atropin sulfat = 0,14
E Benzalkonium klorida = 0,18
E Natrii metabisulfit = 0,7

Maka Ekivalensi NaCl:


= (0,2 x 0,14) + (0,0032 x 0,18)+(0.0064 ×0,7)
= (0,028 + 0,00058 +0.0045)
= 0,03308 g

Untuk 40 ml dibutuhkan NaCl :


0,9/100 x 40 ml = 0,36 g = 360 mg
Berarti larutan sudah hipertonis jadi tidak perlu ditambah
NaCl = 360 mg -33,1 mg =326,9 mg.

4. Penimbangan Bahan
Atropin sulfat : 200 mg
Benzalkonium : 50 mg
Natrii metabisufit : 50 mg
Nacl : 326,9 mg
Aqua pro injeksi ad : 40 ml

VIII Cara Sterilisasi Nama Alat dan Bahan Cara Sterilisasi Waktu dan
Alat dan Bahan Temperatur
Vial Oven 170 0C/1 jam
Beaker Glass Oven 170 0C/1 jam
Erlenmeyer Oven 170 0C/1 jam
Batang Pengaduk Oven 170 0C/1 jam
Corong Oven 170 0C/1 jam
Kertas Saring Autoklaf 121 0C/15 menit
Tutup Botol Karet Autoklaf 121 0C/15 menit
Obat Jadi Autoklaf 121 0C/15 menit
Gelas Ukur Oven 170 0C/1 jam
Tutup Botol Oven 170 0C/1 jam
Aluminium

10
IX. Cara 1. Labu erlenmeyer dikalibrasi 40 ml
Pembuatan
2. Vial dikalibrasi 10 ml
3. Semua alat yang dibutuhkan dibungkus dengan kertas
perkamen dan disterilkan menurut cara masing-masing
4. Atropin sulfat,heksamin,dan Nacl ditimbang di dalam gelas
arloji, dan dilarutkan dalam sebagian aqua pro injeksi, di
dalam beaker glas yang sudah dikalibrasi dan disterikan
5. Ditambahkan benzalkonium klorida dan natrii metabisulfit
dari hasil pengenceran dan dicukupkan dengan aqua pro
injeksi sampai hampir tanda batas kalibrasi
6. Di cek pH 5 – 7
7. Disaring dengan kertas saring yang telah disterilkan,
tetesan pertama 5 tetes dibuang.
8. Selanjutnya ditampung ke dalam botol sediaan (vial) yang
telah sterildan dikalibrasi sampai batas kalibrasi .
selanjutnya ditutp dan disterilkan
9. Dilakukan uji kualitas, diberi etiket dan brosur dan
dikemas.

X. Uji Evaluasi Evaluasi Obat Jadi


1. Uji pH
2. Uji Kejernihan
3. Uji keseragaman Volume
4. Uji Keseragaman Bobot
5. Kebocoran
6. Sterilitas

XI. DAFTAR 1. Formularium Nasional Edisi II, 1978, Departemen Kesehatan


PUSTAKA Republik Indonesia, Jakarta.
2. Farmakope Edisi IV, 1995, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
3. Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Penerbit Andi.
Yogyakarta
4. Arsel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi
keempat. Penerbit Universitas Indonesia.
5. Formularium Indonesia, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia

11
XII. LAMPIRAN Etiket :

12

Anda mungkin juga menyukai