1
3) Costa (tulang iga)
Costa terdapat 12 pasang, 7 pasang costa vertebra sternalis, 3 pasang costa
vertebrocondralis dan 2 pasang costa fluktuantes. Costa di bagian posterior
tubuh melekat pada tulang vertebrae dan di bagian anterior melekat pada
tulang sternum, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahkan ada
yang sama sekali tidak melekat.
b. Hepar
Hepar merupakan kelenjar terbesar dari beberapa kelenjar pada tubuh
manusia. Organ ini terletak di bagian kanan atas abdomen di bawah
diafragma. Kelenjar ini terdiri dari 2 lobus yaitu lobus dextra dan lobus
sinistra. Dari kedua lobus tampak adanya ductus hepaticus dextra dan ductus
hepaticus sinistra, keduanya bertemu membentuk ductus hepaticus
komunis. Ductus hepaticus comunis menyaut dengan ductus sistikus
membentuk ductus coledakus.
c. Limpa
Limpa terletak di bagian kiri atas abdomen, limpa berbentuk setengah bulan
berwarana kemerahan. Limfa adalah organ berkapsula dengan berat normal
100 – 150 gr. Limpa mempunyai 2 fungsi sebagai organ limfoid dan
memfagosit material tertentu dalam sirkulasi darah. Limpa juga berfungsi
menghancurkan sel darah merah yang rusak.
2. Fisiologi
Volume darah pada tubuh yang sehat atau orang dewasa terdapat darah kira-
kira 1/13 dari berat badan atau kira-kira 4 – 5 liter. Keadaan jumlah tersebut
pada tiap-tiap orang tidak sama tergantung pada umur, pekerjaan, keadaan
jantung atau pembuluh darah.
Tekanan viskositas atau kekentalan dari pada darah lebih kental dari pada
air yaitu mempunyai berat jenis 1,041 – 1,067 dengan temperature 380C dan
PH 7,37 – 7,45.
a. Fungsi darah secara umum terdiri atas :
1) Sebagai alat pengangkut
2
a) Mengambil O2 atau zat makanan dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh
jaringan tubuh.
b) Mengangkut CO2 dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru dan
mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan dabagikan
ke seluruh jaringan atau alat tubuh.
c) Mengangkut atau mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh
untuk dikeluarkan melalui kulit dan ginjal.
2) Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan bibit penyakit dan racun yang
akan membinasakan tubuh dengan perantaraan leukosit, antibodi atau zat-
zat anti racun.
3) Menyebarkan panas ke seluruh tubuh
Fungsi khususnya diterangkan lebih banyak di struktur/bagian-bagian dari
masing-masing sel-sel darah dan plasma darah.
a. Darah terdiri dari dua bagian, yaitu :
1) Sel-sel darah, ada tiga macam yaitu :
a) Eritrosit (sel darah merah)
Eritrosit merupakan cakram bikonkaf yang tidak berinti, ukurannya kira-
kira 8 m, tidak dapat bergerak. Banyaknya kira-kira 5 juta dalam mm3.
Eritrosit berwarna kuning kemerah-merahan karena di dalamnya
mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin. Warna ini akan bertambah
merah jika di dalamnya banyak mengandung O2. Fungsi dari eritrosit adalah
mengikat O2 dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan
mengikat CO2 dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru-paru.
Pengikatan O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin yang telah
bersenyawa dengan O2 disebut oksi hemoglobin (Hb + O2 HbO2). Jadi
O2 diangkut dari seluruh tubuh sebagai oksihemoglobin dan kemudian
dilepaskan dalam jaringan HbO2 Hb + O2 dan seterusnya Hb akan
mengikat dan bersenyawa dengan CO2 yang disebut karbodioksisa
hemoglobin (Hb + CO2 HbCO2) yang mana CO2 akan dilepaskan di paru-
paru.
Eritrosit dibuat dalam sumsum tulang, limpa, dan hati yang kemudian akan
beredar ke seluruh tubuh selama 14 – 15 hari, setelah itu akan mati.
3
Hemoglobin yang keluar dari eritrosit yang mati akan terurai menjadi dua
zat yaitu hematin yang mengandung Fe yang berguna untuk pembuatan
eritrosit baru dan berguna untuk mengikat O2 dan CO2. Jumlah Hb dalam
orang dewasa kira-kira 11,5 – 15 mg%. normal Hb wanita 11,5 – 15,5 mg%
dan laki-laki 13,0 – 17,0 mg%.
Di dalam tubuh banyaknya sel darah merah ini bisa berkurang, demikian
juga banyaknya hemoglobin dalam sel darah merah. Apabila keduanya
berkurang maka keadaan ini disebut anemia. Biasanya hal ini disebabkan
karena perdarahan yang hebat dan gangguan dalam pembuatan eritrosit.
b) Leukosit (sel darah putih)
Sel darah yang bentuknya dapat berubah-ubah dan dapat bergerak dengan
perantara kaki palsu (pseudopodia) mempunyai bermacam-macam inti sel
sehingga dapat dibedakan berdasarkan inti sel. Leukosit berwarna bening
(tidak berwarna), banyaknya kira-kira 4000 – 11000/mm3.
Leukosit berfungsi sebagai serdadu tubuh, yaitu membunuh dan memakan
bibit penyakit atau bakteri yang masuk ke dalam tubuh jaringan RES
(Retikulo Endotel System). Fungsi yang lain yaitu sebagai pengangkut,
dimana leukosit mengangkut dan membawa zat lemak dari dinding usus
melalui limpa ke pembuluh darah.
Sel leukosit selain di dalam pembuluh darah juga terdapat di seluruh
jaringan tubuh manusia. Pada kebanyakan penyakit disebabkan karena
kemasukan kuma atau infeksi maka jumlah leukosit yang ada dalam darah
akan meningkat. Hal ini disebabkan sel leukosit yang biasanya tinggal di
dalam kelenjar limfe sekarang beredar dalam darah untuk mempertahankan
tubuh terhadap serangan bibit penyakit tersebut. Macam-macam leukosit
meliputi :
1) Agranulosit
Sel yang tidak mempunyai granula, terdiri dari :
a) Limfosit
Leukosit yang dihasilkan dari jaringan RES dan kelenjar limfe di dalam
sitoplasmanya tidak terdapat granula dan intinya besar, banyaknya 20 – 25
4
%. Fungsinya membunuh dan memakan bakteri yang masuk ke dalam
jaringan tubuh.
b) Monosit
Fungsinya sebagai fagosit dan banyaknya 34%
2) Granulosit
a) Neotrofil
Mempunyai inti, protoplasma banyaknya bintik-bintik, banyaknya 60 – 70
%.
b) Eosinofil
Granula lebih besar, banyaknya kira-kira 24%.
c) Basofil
Inti teratur dalam protoplasma terdapat granula besar, banyaknya ½%.
d) Trombosit (sel plasma)
Merupakan benda-benda kecil yang bentuknya dan ukurannya bermacam-
macam, ada yang bulat dan ada yang lonjong. Warnanya putih dengan
jumlah normal 150.000 – 450.000/mm3. Trombosit memegang peran
penting dalam pembekuan darah, jika kurang dari normal. Apabila timbul
luka, darah tidak lekas membeku sehingga timbul perdarahan terus-
menerus.
Proses pembekuan darah dibantu oleh zat Ca2+ dan fibrinogen. Fibrinogen
mulai bekerja apabila tubuh mendapat luka.
Jika tubuh terluka, darah akan keluar, trombosit pecah dan akan
mengeluarkan zat yang disebut trombokinase. Trombokinase akan bertemu
dengan protombin dengan bantuan Ca2+ akan menjadi thrombin. Thrombin
akan bertemu dengan fibrin yang merupakan benang-benang halus, bentuk
jaringan yang tidak teratur letaknya, yang akan menahan sel darah, dengan
demikian terjadi pembekuan.
e) Plasma darah
Bagian darah yang encer tanpa sel-sel darah warna bening kekuningan
hamper 90% plasma darah terdiri dari :
a. Fibrinogen yang berguna dalam proses pembekuan darah
5
b. Garam-garam mineral (garam kalsium, kalium, natrium, dan lain-lain yang
berguna dalam metabolism dan juga mengadakan osmotik).
c. Protein darah (albumin dan globulin) meningkatkan viskositas darah dan
juga menimbulkan tekanan osmotik untuk memelihara keseimbangan cairan
dalam tubuh.
d. Zat makanan (zat amino, glukosa lemak, mineral, dan vitamin)
e. Hormone yaitu suatu zat yang dihasilkan dari kelenjar tubuh.
f. Antibody atau anti toksin.
Berikut diagram perkembangan sel darah :
6
1) Leukimia limfositik kronis
2) Leukimia mieloblastik kronik /leukemia granulositik kronik.
Leukemia mieloblastik kronik, atau Chronic Myeloid Leukimia (CML)
diartikan sebagai bentuk kronik leukemia dengan sel – sel seri myeloid yang
dominan ().Chronic Myeloid Leukemia (CML) adalah salah satu bentuk dari
leukemia yang ditandai dengan meningkatnya dan pertumbuhan yang tidak teratur
dari sel myeloid di dalam sum-sum tulang dan terakumulasi juga di dalam darah.
pada leukemia myeloid kronis ini dibagi menjadi 2 fase yaitu fase kronik yang
berlangsung selama 3 – 5 tahun, diikuti oleh fase transformasi akut yang dapat
terjadi secara perlahan dalam waktu 6 bulan. Terakhir yaitu fase Fase Blast (Krisis
Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30% sel blast pada darah serta
sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke jaringan lain dan organ diluar
sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini berubah menjadi Leukemia
Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.
2. Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)
Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di
identifikasikan. Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang
menyebabkan CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik
(lingkungan).
a. Faktor Instrinsik
1) Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor predisposisi
untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada saudara
kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara lainnya,
walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (2006) yang menyatakan
jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi
pada saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang meningkat
sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung ,2010).
7
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas
kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang
abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom turner.
2) Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi sel yang
berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat menyebabkan
beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan
penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia
(Agung ,2010).
b. Faktor Ekstrinsik
1) Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan tingginya
insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat pelindung),
penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit
Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia
memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan,
ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar.
Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom tahun
1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih banyak.
Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati dengan sindar
radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak
(Agung ,2010).
2) Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan leukemia
akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah besar dan
berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976)
telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama
dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA . Kloramfenikol dan
fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui
dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat-obat
imunosupresif (Agung ,2010).
3) Infeksi Virus
8
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di laboratorium.
Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih dipertanyakan.
Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human T-cell leukemia
virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA
transkriptase yang bersifat karsinogenik (Agung ,2010).
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang.
Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis kelamin, strain
virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif. Sampai
sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada
manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang
menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme reverse
transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui enzim
ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus
RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang (Agung ,2010).
3. Klasifikasi Leukimia Myelostik Kronik
Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2009); Agung (2010) dibagi
menjadi beberapa fase, yaitu:
a. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel
premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini
ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil
segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik
terhadap terapi konvensional. Lama waktu fase kronik umumnya 3 tahun.
b. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,
mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini
leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil dan
basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari satu
(selain Philadelphia kromosom).
c. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30%
sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke
jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini
berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik
Akut. Kematian mencapai 20%. Gejala klinik pada fase ini sama dengan
9
leukemia akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per mm3 maka
penderita memiliki resiko terjadinya sindroma hiperleukositosis.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2009) dan Victor et al., (2008)
tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
a. Fase kronik terdiri atas :
1) Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
2) Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3) Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4) Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia
akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
5) Gangguan penglihatan dan priapismus.
6) Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat,
dispneu dan takikardi.
7) Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check
up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
b. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6 bulan, di sebut
sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah, nyeri
tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi menurun,
lekositosis meningkat dan trombosit menurun (trombosit menjadi abnormal
sehingga timbul perdarahan di berbagai tempat, antara lain epistaksis,
menorhagia).
c. Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa didahului
masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis). Tanpa pengobatan
adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.
5. Patofisiologi
Pada orang normal, tubuh mempunyai tiga jenis sel darah yang matur
a. Sel darah merah, yang berfunsi untuk mengangkut O2 masuk ke dalam
tubuh dan mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh keluar lewat paru.
10
b. Sel darah putih, yang berfungsi untuk melawan infeksi dan sebagai
pertahanan tubuh
c. Trombosit, yang befungsi untuk mengontrol faktor pembekuan di dalam
darah
Sel-sel darah yang belum menjadi matur (matang) disebut sel-sel induk
(stemcells) dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa didalam sumsum
tulang dan kemudian bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah. Darah yang
mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah dan jantung disebut peripheral blood
(Sherwood, 2001).
Tetapi pada orang dengan Chronic Myelogenous Leukemia(CML), proses
terbentuknya sel darah terutama sel darah putih disumsum tulang mengalami
kelainan atau mutasi. Hal ini disebabkan karena kromosom 9 dan kromosom 22
(Hoffbrand, 2005).
Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal
translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan kromosom 22
abnormal yang disebabkan oleh
translokasi sebagian materi genetik
pada bagian lengan panjang (q)
kromosom 22 ke kromosom 9, dan
translokasi resiprokal bagian
kromosom 9, termasuk onkogen
ABL, ke region klaster breakpoint
(breakpoint cluster region, BCR)
yang merupakan titik pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara spesifik
terdapat pada kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada
lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen
BCR pada lengan panjang kromosom 22. Titik putus pada ABL adalah antara ekson
1 dan 2. Titik putus BCR adalah salah satu di antara dua titik di region kelompok
titik putus utama (M-BCR) pada CML atau pada beberapa kasus ALL Ph+. Gen
fusi (gen yang bersatu) ini akan mentranskripsikan chimeric RNA sehingga
terbentuk chimeric protein (protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini akan
memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel
11
sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan
menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (I Made,
2006; Atul & Victor, 2005; Victor et al., 2005).
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat.
Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai
kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut
terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang membahayakan
(proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi karena kerusakan
sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam sumsum
tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ
limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih yang
dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam sumsum
tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi kerusakan sumsum
tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-
sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada kasus AML, dimulai dengan
pembentukan kanker pada sel mielogen muda (bentuk dini neutrofil, monosit, atau
lainnya) dalam sumsum tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga
sel-sel darah putih dibentuk pada banyak organ ekstra medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan sebagai
berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang
mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan
masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak mekanisme proliferasi. Seandainya
struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia tersebut, maka virus
mudah masuk. Bila struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen
virus, maka virus tersebut akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari
struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang
terletak di permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-
A diturunkan menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat
kaitannya dengan faktor herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah yang
lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme (terjadi
12
granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi tulang di
sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan cenderung mudah patah tulang.
13
6. PATHWAY
14
7. Pemeriksaan Penunjang
I Made (2009) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML,
yaitu :
1. Laboratorium
Darah rutin :
1) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase
transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
2) Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
a. Gambaran darah tepi :
1) Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian
biasanya lebih dari 100.000/mm3.
2) Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast
sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen netrofil
(hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit, promielosit, dan mieloblast
juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel darah merah bernukleus.
3) Jumlah basofil dalam darah meningkat.
4) Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih
sering meningkat.
5) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah.
b. Gambaran sumsum tulang
1) Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip
dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap seri myeloid,
dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast
kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
2) Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada 95 %
kasus.
3) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
4) Kadar asam urat serum meningkat.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya
chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).
15
Gambar 2.1 Gambar 2.2
Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran
400x menunjukkan hyperlekositosis. 1000x menunjukkan promielosit, eosinofil,3
Terdapat juga eosinophilia, basofilia, basofil, netrofil batang dan segmen.
thrombocytosis.
16
2. Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit CML, antara lain :
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau
lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan
prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan.
8. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
a. Fase Kronik
1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa
tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun
setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai
jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek smaping dapat berupa aplasia
sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia
akut (I Made, 2006).
2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi
biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005). Dosis mulai
dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis
pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping
lebih sedikit (I Made, 2006).
3) Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat
menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi
1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN-α biasanya digunakan bila jumlah
leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea. IFN-α merupakan terapi pilihan
bagi kebanyakan penderita leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua
untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki
sumsum tulang donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata
3-5 juta IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk
17
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir
semua pasien menderita gejala penyakit ”mirip flu” pada beberapa hari
pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia,
depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin
mencapai remisi jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada
analisis sitogenik walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi
melalui PCR. (Victor et al., 2005).
4) STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang sedang
diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan hasil yang
menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik terhadap protein
ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan proliferasi seri
myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah dan menyebabkan sumsum
tulang menjadi Ph negative pada sebagian besar kasus. Obat ini mungkin
menjadi lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri atau bersama
dengan interferon atau obat lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010;
Victor et al., 2005; I Made, 2006)
5) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT)
sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau kurang
pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).
b. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti leukemia
akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat
diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar
pengobatan yang dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat
memperlambat perkembangan penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made,
2006).
2. Non-Medikamentosa
a. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar tenaga
tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan gejala-
18
gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum transplantasi
sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).
9. Komplikasi
a. Lelah. Ketika terjadi peningkatan jumlah sel darah putih, maka sel darah
merah akan terganggu dan dapat menyebabkan anemia. Anemia dapat
menyebabkan tubuh lelah dan lemas. Sementara itu, pengobatan CML juga
dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang mana dapat memperparah
anemia.
b. Perdarahan berat. Trombositopenia dapat menyebabkan mudah berdarah
dan lebam. Perdarahan bisa merupakan perdarahan hidung, gusi, maupun
pada kulit (petechiae).
c. Nyeri. CML dapat menyebabkan nyeri sendi karena sumsum tulang
berkembang ketika terdapat peningkatan sel darah putih.
d. Splenomegali. Sel darah berlebih yang diproduksi pada CML banyak
disimpan dalam limpa. Hal ini menyebabkan limpa membesar dan
bengkak. Adanya perbesaran limpa ini juga dapat menimbulkan rasa penuh
pada perut setelah makan atau menyebabkan nyeri pada sisi kiri di bawah
tulang rusuk.
e. Stroke atau pembekuan berlebihan. Pada beberapa orang yang menderita
CML terdapat juga kelebihan produksi platelet. Tanpa adanya pengobatan,
trombositosis ini dapat menyebabkan pembekuan darah berlebihan dan
menyebabkan stroke.
f. Infeksi. Meskipun terdapat sel darah putih dalam jumlah yang tinggi, namun
fungsi mereka dalam pertahanan tubuh menurum sehingga imunitas tubuh
menurun dan rentan terkena infeksi. Selain itu, obat-obatan CML juga dapat
menurunkan jumlah sel darah putih (neutropenia) sehingga memudahkan
pula infeksi terjadi.
g. Kematian. Terutama jika tidak diobati secara adekuat, dapat menimbulkan
kematian.
19
KONSEPASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Fokus pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1) Pucat
2) Kelemahan
3) Sesak
4) Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1) Demam
2) Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1) Ptechiae
2) Purpura
3) Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1) Limfadenopati
2) Hepatomegali
3) Splenomegali
f. Kaji adanya :
1) Hematuria
2) Hipertensi
3) Gagal ginjal
4) Inflamasi disekitar rectal
5) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani, 2001)
20
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko Infeksi berhubungan gangguan kematangan sel darah putih
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen fiscal
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebihan
d. ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan depresi
sumsum tulang
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor psikis dan fisik yang mengurangi nafsu makan
f. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan kekuatan tulang
21
3. Intervensi Keperawatan
22
mengontrol nyeri dnegan 4. Pilih dan lakukan penanganan 4. Menentukan intervensi yang tepat
teknik non farmakologis) nyeri (Nonfarmakologis atau untuk membantu pasien
2. Melaporkan nyeri berkurang farmakologis) 5. Membantu pasien tanpa
dengan menggunakan 5. Ajarkan teknik non farmakologik memberikan efek pengobatan pada
manajemen nyeri 6. Berikan analgetik untuk pasien
3. Menyatakan rasa nyaman mengurangi nyeri 6. Mempercepat mengatasi nyeri
setelah nyeri berkurang 7. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri yang dirasakan pasien
7. Mengetahui keberhasilan intervensi
23
perdarahan, ex : sikat gigi atau gusi
dengan sikat yang halus.
6. Berikan cairan IV sesuai indikasi
7. Berikan sel darah Merah, trombosit
atau factor pembekuan
4. ketidakefektifan NOC: NIC 1. Untuk mengetahui keadaan
perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan umum jaringan perifer
perifer berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam, 1. Lakukan pengkajian 2. Untuk memberikan latihan yang
pasien mampu dengan kriteria komprehensif terhadap
dengan depresi sesuai dan tidak mencederai
hasil: sirkulasi perifer
sumsum tulang 2. Pantau tingkat pasien
ketidaknyamanan atau nyeri 3. Untuk mengukur balance juga
1. Status sirkulasi; aliran darah
yang tidak obstruksi dan satu saat melakukan latihan fisik keefektifan perfusi jaringan
arah, pada tekanan yang 3. Pantau status cairan termasuk 4. Mengetahui status lokalis perifer
sesuai melalui pembuluh asupan dan haluaran 5. Mengetahui adanya masalah perfusi
darah besar sirkulasi 4. pantau perbedaan ketajaman perifer
pulmonal dan sistemik atau ketumpulan, panas atau 6. Untuk memberikan penangan segera
2. Keparahan kelebihan beban dingin
7. Untuk mengurangi masalah
cairan; keparahan kelebihan 5. Pantau parestesia, kebas,
gangguan perfusi jaringan perifer
cairan didalam kompartemen kesemutan, hiperestesia dan
intrasel dan ekstrasel tubuh hipoestesia
3. Fungsi sensori kutaneus; 6. Pantau tromboflebitis dan
tingkat stimulasi kulit thrombosis vena profunda
dirasakan denga tepat 7. Pantau kesesuaian alat
4. Integritas jaringan: kulit dan penyangga, prosthesis, sepatu
membrane mukosa; keutuhan dan pakaian
structural dan fungsi
fisiologis normal kulit dan
membrane mukosa
24
5. Perfusi jaringan: perifer;
keadekuatan aliran darah
melalui pembuluh darah kecil
ekstremitas untuk
mempertahankan fungsi
jaringan
25
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made., & Suastika I Ketut. 1999. Gawat Darurat dalam Penyakit Dalam. Jakarta :
EGC
Handayani, Wiwik., & Haribowo Andi S. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika
Price, Sylvia A., & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis proses – proses
penyakit. Jakarta : EGC
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC
26