Anda di halaman 1dari 27

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Pembangunan Ekonomi

Analisis pembangunan ekonomi dipandang sebagai suatu proses

yang berkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang

menghasilkan pembangunan ekonomi dapat dilihat. Menurut Mahyudi

(2004:1) pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang

dapat menyebabkan perubahan-perubahan, terutama terjadi

perubahan menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk dan

perubahan dari struktur ekonomi.

Pembangunan ekonomi adalah suatu rangkaian proses kegiatan

yang dilakukan oleh suatu negara untuk mengembangkan kegiatan

atau aktivitas ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup/kemakmuran

dalam jangka panjang. Kemakmuran ini ditunjukan meningkatnya

pendapatan perkapita masyarakat, adanya keseimbangan antara

supply dan demand di pasar (Subandi 2016:9).

Todaro (2003:21) menjelaskan bahwa proses pembangunan

merupakan serangkaian perubahan yang bersifat mendasar atas

struktur social, sikap-sikap masyarakat dan institusi nasional sehingga

pembangunan mencerminkan perubahan untuk bergerak maju menuju

suatu kondisi kehidupan yang lebih baik. Lebih lanjut Todaro

(2003:26-28) bahwa pedoman praktis dalam memahami arti

pembangunan adalah memiliki tiga komponen sebagai berikut :

8
9

a. Kecukupan – kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar

manusia secara fisik dan juga kecukupan untuk meningkatkan diri

baik tingkat individu maupun masyarakat seperti kenaikan

pendapatan perkapita pengentasan kemiskinan absolut, perluasan

lapangan kerja dan pemerataan pendapatan.

b. Harga Diri – dorongan dari dalam diri untuk maju, menghargai dan

melakukan sesuatu untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

c. Kebebasan dari sikap menghamba – kemampuan untuk berdiri

tegak sehingga tidak dapat diperbudak oleh aspek-aspek materiil

dan juga kebebasan manusia dalam lingkup politik seperti

keamanan diri pribadi kepastian hukum, partisipasi politik dan

pemerataan kesempatan.

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses kerjasama

pemerintah daerah, masyarakat dan sektor swasta untuk mengelola

sumber daya yang ada demi menciptakan lapangan kerja baru dan

menumbuhkan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam

wilayah tersebut (Arsyad, 2010:374).

Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka diperlukan

pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan

yang lebih merata. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian


10

daerah akan membawa pengaruh terhadap peningkatan

kesejahteraan rakyat di daerah (Raswita & Made, 2013).

Todaro (2003:28), proses pembangunan merupakan suatu

kenyataan fisik dan tekad suatu masyarakat untuk mencapai

kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik

pembangunan memiliki tiga tujuan inti yang ingin dicapai, yaitu:

a. Peningkatan ketersediaan dan perluasan distribusi bahan pokok

yang dibutuhkan, seperti makanan, perumahan kesehatan dan

perlindungan keamanan.

b. Peningkatan taraf hidup, termasuk peningkatan pendapatan,

penyediaan lapangan kerja, kualitas pendidikan yang lebih baik dan

memperhatikan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan. Semua itu

bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi semata, tetapi juga

untuk meningkatkan kesadaran akan harga diri, baik individu

maupun bangsa.

c. Perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu

dan bangsa secara keseluruhan dengan cara membebaskan

mereka dari sikap-sikap menghamba dan ketergantungan, bukan

hanya dalam interaksi dengan orang lain dan negara-negara lain,

tetapi setiap hal-hal yang mempunyai kekuatan yang dapat

merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.


11

2. Pertumbuhan Ekonomi

Mahyudi (2004:1), pertumbuhan ekonomi adalah terjadinya

perubahan pendapatan nasional dalam satu tahun tertentu tanpa

memperhatikan pertumbuhan penduduk dan aspek lainnya.

Pertumbuhan ekonomi (economic growth) tercapai bila terdapat

peningkatan perbandingan antar input dan output yang lebih besar

serta adanya perkembangan ekonomi. Jadi adanya kenaikan output

per satuan input dapat menghasilkan output yang lebih besar. Ini

artinya adanya peningkatan efisiensi dan produktivitas (Todaro, 2000)

Sedangkan Prof. Simon Kuznets (dalam Jhingan, 2010: 57),

pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam

kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis

barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini

tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian

kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya. Definisi ini

mempunyai 3 (tiga) komponen: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu

bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan

barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan

ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam

penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; ketiga,

penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya

penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi

yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat


12

dimanfaatkan secara tepat. Proses pertumbuhan ekonomi dalam

suatu negara ditentukan oleh beberapa ciri yaitu :

a. Tingkat pertumbuhan output perkapita dan pertumbuhan penduduk

yang tinggi.

b. Tingkat kenaikan produktivitas factor total yang tinggi.

c. Tingkat transformasi structural ekonomi yang tinggi

d. Tingkat transformasi social dan ideologi yang tinggi.

e. Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yang

sudah maju perekonomiannya untuk berusaha sebagai daerah

pemasaran dan sumber bahan baku yang baru.

Teori pertumbuhan Adam Smith menyatakan bahwa proses

pertumbuhan akan terjadi secara simultan dan memiliki hubungan

keterkaitan satu dengan yang lain. Peningkatan kinerja pada sektor

akan meningkatkan daya tarik bagi pemupukan modal, mendorong

kemajuan teknologi meningkatkan spesialisasi, dan memperluas pasar

sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi semakin pesat (Subandi,

2016:45).

Teori pertumbuhan ekonomi Harrod Domar menyatakan bahwa

system perekonomian harus senantiasa menabung sebagian dari

pendapatan nasional yang berfungsi untuk mengganti barang barang

modal yang telah mengalami penyusutan dan untuk meningkatkan laju

perekonomian diperlukan investasi baru sebagai tambahan stok modal

(Arsyad, 2010:86).
13

Todaro (2003:92), mengatakan ada tiga faktor atau komponen

utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa. Ketiga faktor

tersebut adalah :

a. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi

baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal

atausumber daya manusia.

b. Pertumbuhan penduduk, yang pada akhirnya akan memperbanyak

jumlah angkatan kerja.

c. Kemajuan teknologi.

Akumulasi modal (capital accumulation) terjadi apabila sebagian

dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan

memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari. Pengadaan

pabrik baru, mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku meningkatkan

stock modal (capital stock) dan memungkinkan terjadinya peningkatan

output di masa-masa mendatang. Pertumbuhan penduduk dan

pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai

salah satu factor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah

tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga

produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti

meningkatkan ukuran pasar domestiknya. Kemajuan teknologi dapat

meningkatkan modal atau tenaga kerja. Kemajuan teknologi yang

meningkatkan pekerja terjadi apabila penerapan teknologi tersebut

mampu meningkatkan mutu dan keterampilan pekerja secara umum.


14

Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal terjadi jika

penggunaan teknologi tersebut memanfaatkan barang modal yang

ada secara produktif.

3. Model Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Sjafrizal (2008:86), pertumbuhan ekonomi wilayah mulai

diperhatikan sejak lima puluh tahun pada saat pembangunan daerah

meningkat. Tujuan utama adalah membahas secara rinci factor-faktor

yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Perhatian ini

timbul karena dalam kenyataannya laju pertumbuhan ekonomi wilayah

sangat bervariasi, ada yang tinggi dan rendah, disamping itu juga

bertujuan untuk membahas hubungan antara pertumbuhan ekonomi

wilayah dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Terdapat tiga model pertumbuhan ekonomi yang cukup terkenal

dan sangat dominan. Masing-masing model menggunakan variabel

dan formulasi tersendiri menghasilkan analisis dan kesimpulan.

Model-model pertumbuhan ekonomi wilayah yang dimaksud yaitu :

a. Model Basis Ekspor (Export-Base Mode)

Model ini dipekenalkan oleh Douglas C. North pada tahun 1956.

Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan

oleh keuntungan kompetitif yang dimiliki oleh daerah tersebut. Bila

daerah tersebut mampu mendorong pertumbuhan sektor-sektor

yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis untuk


15

ekspor, maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan akan dapat

ditingkatkan.

b. Model Interregional Income

Perluasan dari Model Basis Ekspor dapat dilakukan dengan

memasukkan unsur hubungan ekonomi antar wilayah yang dikenal

sebagai Interregional Income Model yang dikembangkan oleh Harry

W. Richardson (1978). Dalam model ini, ekspor diasumsikan

sebagai faktor yang berada dalam sistem yang ditentukan oleh

perkembangan kegiatan perdagangan antar wilayah. Kegiatan

perdagangan antar daerah tersebut dibagi atas barang konsumsi

dan barang modal

c. Model Neo-Klasik

Model ini mendasarkan analisisnya pada teori Ekonomi Neo-Klasik.

Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan

sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk

meningkatkan kegiatan produksinya Sedangkan kegiatan produksi

pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah

yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan oleh mobilitas tenaga

kerja dan mobilitas modal antar daerah.

d. Model Penyebab Berkumulatif

Model penyebab berkumulatif dikemukakan oleh Nikolas Kaldor

yang mengkritik model Neo-Klasik. Model penyebab berkumulatif

tidak percaya pemerataan pembangunan antar daerah akan dapat


16

dicapai dengan sendirinya berdasarkan mekanisme pasar. Menurut

model ini, ketimpangan pembangunan daerah hanya dapat

dikurangi dengan program pemerintah. Apabila hanya diserahkan

pada mekanisme pasar, maka ketimpangan daerah akan terus

meningkat seiring meningkat proses pembangunan.

4. Ketimpangan Pendapatan

Arsyad (2010:282), Masalah Distribusi pendapatan dan

penghapusan kemiskinan merupakan inti dari proses pembangunan.

Walaupun pusat perhatian terhadap ketidakmerataan distribusi

pendapatan dan harta kekayaan, namun hal demikian hanyalah

bagian kecil dari masalah yang terjadi pada negara sedang

berkembang. Misalnya ketidakmerataan kekuasaan, prestise, status,

kepuasan kerja, kondisi kerja, tingkat partisipasi, dan kebebasan untuk

memilih.

Disparitas antar daerah merupakan kondisi yang umum terjadi

dalam kegiatan ekonomi suatu daerah yang disebabkan adanya

perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi

demografi masing-masing wilayah, sehingga dalam merencanakan

proses pembangunan pada suatu daerah terlihat berbeda. Karena itu

disetiap daerah biasanya terdapat daerah maju (Developed Region)

dan daerah terbelakang (Underdeveloped Region) (Sjafrizal,

2008:104).
17

Simon Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal

pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk,

namun pada tahap selanjutnya distribusi pendapatannya akan

membaik. Kondisi ini pada dasarnya selalu dikaitkan dengan dasar

perubahan yang bersifat struktural yang dijelaskan oleh model lewis.

Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan ekonomi

berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern dari

perkembangan sebuah negara yang bergerak dari perekonomian

tradisional ke perekonomian modern. (Todaro, 2010).

Douglas C. North dalam Teori Pertumbuhan Neo Klasik.

Mengasumsikan sebuah prediksi hubungan antara tingkat

pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan

pembangunan antar wilayah yang dikenal sebagai Hipotesa Neo

Klasik. Menurut Hipotesa Neo-Klasik, pada awal proses pembangunan

suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung

mengalami peningkatan. Proses ketimpangan ini akan mencapai titik

puncak. Dan bila proses pembangunan berlanjut, ketimpangan

pembangunan antar wilayah tersebut akan mengalami penurunan

(Sjafrizal, 2008:105).

Pembangunan wilayah yang merata tidak berarti setiap wilayah

mempunyai tingkat pertumbuhan atau perkembangan yang sama,

atau mempunyai pola pertumbuhan yang seragam untuk setiap

wilayah. Pengertian pembangunan wilayah yang merata mengarah


18

kepada pengembangan potensi wilayah secara menyeluruh sesuai

kapasitas dan potensi yang dimiliki, sehingga dampak positif dari

pertumbuhan ekonomi terbagi secara seimbang kepada seluruh

wilayah atau daerah. Tujuan akhir dari pembangunan wilayah yang

seimbang adalah untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di wilayah

pedesaan/daerah belakang sehingga taraf hidupnya sejajar atau

setara dengan taraf hidup penduduk di wilayah perkotaan/maju

melalui pembangunan sektor pertanian, industri, perdagangan atau

bisnis, fasilitas pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

(Alam, 2006)

Menurut Sjafrizal (2008:17), ada beberapa faktor penyebab

terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah. Dengan hasil analisis

ini dapat memberi informasi penting dalam pengambilan keputusan

melakukan perumusan kebijakan untuk menanggulangi atau

mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah tersebut diantaranya

adalah :

a. Perbedaan kandungan sumber daya alam

Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi

kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah yang sumber

daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang

dengan biaya relatif murah sehingga mampu mendorong

pertumbuhan ekonomi daerahnya menjadi lebih cepat dan daerah

yang sumber daya alam lebih rendah hanya dapat memproduksi


19

barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya

saingnya menjadi lemah.

b. Perbedaan kondisi demografis

Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung

mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini

akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan

meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan

ekonomi daerah tersebut dan daerah yang kondisi demografisnya

kurang baik akan menyebabkan relative rendahnya produktivitas

kerja yang menimbulkan kondisi yang tidak mampu menarik bagi

penanaman modal sehingga pertumbuhan daerah akan menjadi

lebih rendah.

c. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa

Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa dalam kegiatan

perdagangan antar daerah, maka kelebihan produksi suatu daerah

tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan dan migrasi

yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu

daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat

membutuhkannya. Akibatnya ketimpangan pembangunan antar

wilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak

dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang membutuhkan, sehingga

daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.


20

d. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah

Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu

daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar yang

akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan

penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat

dan daerah yang konsentrasi kegiatan ekonomi yang relative

rendah akan mendorong terjadinya pengangguran dan pendapatan

masyarakat lebih rendah.

e. Alokasi dana pembangunan antar wilayah.

Daerah yang dapat alokasi investasi yang lebih besar dari

pemerintah, atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan

cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang

lebih cepat. Kondisi ini tentunya akan dapat pula mendorong proses

pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang

lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita lebih tinggi.

Demikian sebaliknya terjadi bilamana investasi pemerintah dan

swasta yang masuk ke suatu daerah ternyata lebih rendah

4. Pengukuran Ketimpangan Pendapatan

Ada beberapa metode atau cara yang digunakan untuk

mengukur dan mengetahui ketimpangan pendapatan daerah,

diantaranya adalah :

a. Kurva Lorenz

Kurva Lorenz menggambarkan hubungan antara kelompok -

kelompok penduduk dan pangsa (share) pendapatan. Pada sumbu


21

horizontal, menunjukkan jumlah pendapatan dalam persentase

kumulatif sedangkan sumbu vertical, menunjukkan pangsa

pendapatan yang diterima masing-masing persentase jumlah

penduduk. Jumlah ini bersifat kumulatif sampai 100% sehingga

kedua sumbu sama panjang dan membentuk bujur sangkar.

Gambar 1
Kurva Lorenz

Semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal (kemerataan

sempurna) maka semakin tinggi derajat ketidakmerataan yang

ditunjukkan. Keadaan yang paling ekstrim dari ketidakmerataan

sempurna, misalnya keadaan dimana seluruh pendapatan hanya

diterima oleh satu orang saja, akan ditunjukkan oleh berimpitnya

kurva Lorenz dengan sumbu horizontal bagian bawah dan sumbu

vertical sebelah kanan.

b. Koefisien Gini

Suatu ukuran yang singkat mengenai derajat ketidakmerataan

distribusi pendapatan dalam suatu negara biasa diperoleh dengan

menghitung luas daerah antara garis diagonal (kemerataan


22

sempurna) dengan kurva Lorenz dibandingkan dengan luas total

dari separuh bujur sangkar dimana terdapat kurva Lorenz tersebut.

Gambar 2
Kurva Koefisien Gini

Klasifikasi kemerataan berdasarkan koefisien gini merupakan

ukuran ketidakmerataan agregat yang memiliki nilai antara 0

(kemerataan sempurna) sampai dengan 1 (ketidakmerataan

sempurna) bila nilai KG dari suatu negara berkisar antara 0,50-0,70

berarti ketidakmerataan tinggi, bila KG berkisar 0,36-0,49 berarti

ketidakmerataan sedang, bila KG berkisar 0,20-0.35 berarti

ketidakmerataan rendah (Subandi, 2016). Kuncuro (2013),

mengatakan apabila semakin tinggi nilai indeks gini maka semakin

timpang distribusi pendapatan suatu negara. Sebaliknya, semakin

rendah nilai indeks gini berarti semakin merata distribusi

pendapatannya.
23

c. Indeks Wlliamsom

Menurut Arsyad (2010), salah satu indikator yang biasa dan

dianggap cukup refresentatif untuk mengukur tingkat ketimpangan

pendapatan antar daerah (regional) adalah indeks ketimpangan

daerah yang dikemukakan Jeffrey G.Williamsom (1965). Williamson

mengemukakan model Vw (indeks tertimbang atau Weighted

indekx terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang atau

un-weighted index) untuk mengukur tingkat ketimpangan

pendapatan per kapita suatu negara pada waktu tertentu.

Ada tiga kriteria yang menunjukkan dalam perhitungan indeks

Williamson yaitu :

1. Angka 0,0 sampai 0,2, maka ketidakmerataan rendah.

2. Angka 0,21 sampai 0,35, maka ketidakmerataannya sedang.

3. Angka > 0,35, maka ketidakmerataannya tinggi.

Pada dasarnya indeks Williamson merupakan koefisien persebaran

dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari nilai-

nilai PDRB dan penduduk daerah –daerah yang berada pada

lingkup wilayah yang dikaji dan dianalisis.

d. Indeks Theil

Menurut Sjafrizal (2008), Indeks theil merupakan salah satu cara

yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar

wilayah. Data yang digunakan adalah PRDB perkapita untuk setiap

wilayah dan jumlah penduduk. Penafsiran indeks theil jika indeks


24

mendekati 1 artinya sangat timpang dan bila mendekati 0 berarti

sangat merata.

Penggunaan indeks theil mempunyai kelebihan untuk mengukur

ketimpangan pembangunan antar wilayah, yaitu :

1. Mampu menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar

daerah sehingga cakupan analisa lebih luas.

2. Mampu menghitung kontribusi (dalam persentase) masing-

masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah

secara keseluruhan sehingga dapat memberi implikasi kebijakan

yang cukup penting.

6. Tenaga Kerja

Yang dimaksudkan dengan angkatan kerja adalah jumlah tenaga

kerja yang terdapat dalam suatu perekonomian pada suatu waktu

tertentu. Untuk menentukan angkatan kerja diperlukan dua informasi,

yaitu (i) jumlah penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun dan (ii)

jumlah penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun dan tidak ingin

bekerja ( contohnya adalah pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga,

dan penganggur sukarela lain). Jumlah penduduk dalam golongan (i)

dinamakan penduduk usia kerja dan penduduk dalam golongan (ii)

dinamakan bukan angkatan kerja. Dengan demikian angkatan kerja

dalam suatu periode tertentu dapat dihitung dengan mengurangi

jumlah penduduk dalam (i) dari jumlah penduduk dalam (ii).

Perbandingan di antara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja


25

(dan dinyatakan dalam persen) dinamakan tingkat partisipasi

angkatan kerja. Dalam prakteknya suatu negara dianggap sudah

mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (atau kesempatan

kerja penuh) apabila dalam perekonomian tingkat penganggurannya

adalah kurang dari 4% .

Sedangkan menurut Tambunan (1996), tenaga kerja adalah

bagian dari penduduk (usia kerja), baik yang bekerja maupun yang

kerja, yang masih mau dan mampu untuk melakukan pekerjaan.

Besarnya pertumbuhan angkatan kerja setiap tahun sangat tergantung

pada besarnya pertumbuhan penduduk secara kumulatif setiap tahun.

Angkatan kerja adalah penduduk yang berdasarkan usia sudah bias

bekerja.

Menurut Subri (2003), Tenaga kerja adalah usia kerja ( berusia

15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang

dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap

tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas

tersebut. Masalah yang biasa muncul dalam bidang angkatan kerja

adalah ketidakseimbangan antara permintaan akan tenaga kerja dan

penawaran tenaga kerja, pada suatu tingkat upah. Ketidakseimbangan

itu dapat berupa lebih besarnya penawaran di banding permintaan

terhadap tenaga kerja dan lebih besarnya permintaan di banding

penawaran tenaga kerja.


26

Sedangkan menurut Ananta (1990), tenaga kerja adalah bagian

penduduk yang mampu bekerja memproduksi barang dan jasa.

Perserikatan Bangsa-bangsa menggolongkan penduduk usia 15-64

tahun sebagai tenaga kerja. Indonesia menggolongkan penduduk usia

10 tahun ke atas sebagai tenaga kerja, dengan alasan terdapat

banyak penduduk usia 10 14 dan 65 tahun ke atas yang berkerja.

Angkatan kerja adalah bagian tenaga kerja yang benar-benar mau

bekerja memproduksi barang dan jasa. Di Indonesia angkatan kerja

adalah penduduk usia 10 tahun ke atas yang benar-benar mau

bekerja. Mereka yang mau bekerja ini terdiri dari yang benar-benar

beerja dan mereka yang tidak bekerja tetapi sedang mencari

pekerjaan.

7. Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara khusus mengukur

capaian pembangunan manusia menggunakan beberapa komponen

dasar kualitas hidup. IPM dihitung berdasarkan data yang dapat

menggambarkan ke empat komponen, yaitu capaian umur panjang

dan sehat yang mewakili bidang kesehatan; angka melek huruf,

partisipasi sekolah dan rata-rata lamanya bersekolah mengukur

kinerja pembangunan bidang pendidikan; dan kemampuan daya beli

masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari

ratarata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan

pendapatan.
27

Indeks pembangunan manusia (Todaro dan Smith, 2003)

mencoba untuk memeringkat semua negara atau daerah dari skala 0

(IPM terendah) hingga 1 (IPM tertinggi) berdasarkan tiga tujuan atau

produk akhir IPM:

a. Masa hidup yang diukur dengan usia harapan hidup

b. Pengetahuan yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang

dewasa secara tertimbang (dua pertiga) dengan rata-rata sekolah

(satu pertiga)

c. Standar kehidupan yang diukur dengan pendapataan riil per kapita,

disesuaikan dengan disparitas daya beli dari mata uang setiap

negara untuk mencerminakan biaya hidup dan untuk memenuhi

asumsi utilitas yang semakin menurun dari pendapatan.

Adapun metode perhitungan IPM yang diukur dengan

ketiga komponen tersebut dengan membuat perbandingan selisih

nilai indikator penentu dan nilai minimumnya dengan selisih

penentu indikator maksimum dan minimum yaitu sebagai

berikut:

indeks X(i) = [ X(i) - X(i) min ] / [X(i) maks - X(i) min ] .....................(2.1)

Keterangan

X(i) = Indikator ke-i (I=1,2,3)

X(i) min = nilai minimum X(i)

X(i) maks = nilai maksimum X(i)

Kisaran antara nilai minimum dan maksimum untuk indikator

yang tercakup sebagai komponen IPM adalah :


28

1. Harapan hidup kelahiran : 25-85

2. Tingkat melek huruf : 0-100

3. Rata-rata lama bersekolah : 0-100

Adapun metode perhitungan IPM dengan rumus sebagai

berikut :

IPM = 1/3 [X(1) + X (2) + X (3)] ..................................................(2.2)

Keterangan :

X(1) = Indeks harapan hidup kelahiran/Lamanya hidup (Tahun)

X(2) = Tingkat pendidikan; [2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks

rata-rata lama bersekolah)]

X(3) = Pendapatan riil per kapita (rupiah) / paritas daya beli

Salah satu keuntungan terbesar IPM adalah indeks ini

mengungkapkan bahwa sebuah negara dapat berbuat jauh lebih baik

pada tingkat pendapatan yang rendah, dan bahwa kenaikan

pendapatan yang besar dapat berperan relatif lebih kecil dalam

pembangunan manusia (Todaro dan Smith, 2003).

Ketimpangan yang terjadi pada suatu wilayah akan berpengaruh

pada tingkat kesejahteraan masyarakat diwilayah tersebut. Indeks

pembangunan manusia dan ketimpangan pendapatan memiliki

hubungan yang saling berkaitan. Menurut Becker (dalam Agus Iman

Solihin, 1995), menyatakan bahwa IPM berpengaruh negatif terhadap

ketimpangan, Becker mengkaji lebih dalam mengenai peran

pendidikan formal dalam menunjang pertumbuhan ekonomi

menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan formal yang diperoleh,


29

maka produktivitas tenaga kerja akan semakin tinggi pula. Hal tersebut

sesuai dengan teori human capital, yaitu bahwa pendidikan memiliki

pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan akan mengurangi

disparitas pendapatan karena pendidikan berperan di dalam

meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Teori ini menganggap

pertumbuhan penduduk ditentukan oleh produktivitas perorangan. Jika

setiap orang memiliki pendapatan yang lebih tinggi karena

pendidikannya lebih tinggi, maka pertumbuhan ekonomi penduduk

dapat ditunjang, dengan adanya pertumbuhan ekonomi baik secara

langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh negatif terhadap

ketimpangan pendapatan.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang terkait dengan ketimpangan

pendapatan antar daerah telah banyak dilakukan oleh peneliti

sebelumnya, antara lain :

1. Olti Tetya (2010), melakukan penelitian dengan judul Analisis

Kesenjangan Pendapatan di Provinsi Kalimantan Selatan dan

Faktor-faktor yang mempengaruhi periode 2004-2007, dengan

menggunakan data sekunder dengan runtun waktu (Time Series).

Untuk perhitungan tingkat kesenjangan digunakan Indeks

Williamson. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara faktor-

faktor yang mempengaruhi tingkat kesenjangan di Provinsi

Kalimantan Selatan digunakan model persamaan regresi berganda


30

Hasil penelitiannya menunjukan bahwa tingkat kesenjangan selama

periode 2004 - 2007 dengan metode Indeks Williamson, secara

umum relatif mengalami penurunan walaupun sempat mengalami

kenaikkan. Hasil estimasi didapatkan bahwa variabel jumlah tenaga

kerja dan rasio panjang jalan memiliki hubungan yang negatif yang

berarti apabila Jika jumlah tenaga kerja dan rasio panjang jalan

meningkat, maka dapat menurunkan tingkat kesenjangan di

Provinsi Kalimantan Selatan. untuk variabel pendapatan perkapita

ternyata pengaruh negatif terhadap tingkat kesenjangan tidak

signifikan. Sedangkan untuk variabel IPM tidak berpengaruh

terhadap tingkat kesenjangan di Kalimantan Selatan. hasil

penelitian ini memiliki implikasi kebijakan bagi daerah terutama di

Provinsi Kalimantan Selatan guna kepentingan pembangunan

ekonomi daerah yaitu kebijakan yang dapat mendorong

peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Terdapat dua variabel independen yang sama yang digunakan

dalam penelitian ini, yaitu tenaga kerja, dan Indeks Pembangunan

Manusia, tetapi objek yang diteliti berbeda.

2. Heppy Yana Syateri (2005), melakukan penelitian disparitas antar

daerah Kabupaten/Kota dan faktor-faktor yang mempengaruhi di

Provinsi Bengkulu Tahun 1983-2003, dengan menggunakan data

sekunder dengan runtun waktu (Time Series). Untuk perhitungan

tingkat kesenjangan digunakan Indeks Williamson. Sedangkan


31

untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat kesenjangan di Provinsi Bengkulu digunakan

model persamaan regresi berganda Hasil penelitiannya

menunjukan bahwa tingkat kesenjangan selama periode 1983 -

2003 berfluktuatif dan semakin menurun. Hasil estimasi didapatkan

bahwa variabel PMTDB dan tenaga kerja memiliki hubungan yang

negatif yang berarti apabila jumlah PMTDB dan tenaga kerja

meningkat maka akan menurunkan tingkat kesenjangan,

sedangkan variabel sumbangan memiliki hubungan yang positif

artinya apabila jumlah sumbangan meningkat maka akan

meningkatkan tingkat kesenjangan. Hasil penelitian tersebut

memiliki implikasi kebijakan yang diarahkan pada peningkatan

pertumbuhan ekonomi antara lain kebijakan peningkatan investasi

dan kebijakan tenaga kerja.

Terdapat satu variabel independen yang sama yang digunakan

dalam penelitian ini, yaitu tenaga kerja tetapi objek yang diteliti

berbeda.

3. Ulfie Efrisa (2014), melakukan penelitian dengan judul Analisis

Kesenjangan Pendapatan antar kabupaten/kota di provinsi jawa

timur periode 2001-2010 di Era Desentralisasi Fiskal, dengan

menggunakan data sekunder dengan runtun waktu (Time Series).

Untuk perhitungan tingkat kesenjangan digunakan Indeks

Williamson dan entropi theil. Sedangkan untuk mengetahui


32

hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

kesenjangan di Provinsi jawa timur digunakan model persamaan

regresi berganda Hasil penelitiannya menunjukan bahwa tingkat

kesenjangan selama periode 2004-2007 dengan metode Indeks

Williamson dan entropi theil menunjukkan angka di atas 1, dimana

angka tersebut melebihi nilai maksimum. Hasil estimasi yang

didapatkan bahwa tingkat buta huruf, inflasi, pertumbuhan ekonomi,

tingkat pengangguran, dan IPM berpengaruh signifikan terhadap

kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa

Timur di era desentralisasi fiskal.

Terdapat dua variabel independen yang sama yang digunakan

dalam penelitian ini, yaitu pertumbuhan ekonomi dan Indeks

Pembangunan Manusia tetapi objek yang diteliti berbeda.

4. Yagi Sofiagy melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di

Provinsi Jawa Barat. Metode analisis yang digunakan adalah teknik

kuantitatif Indeks Williamson, Tipologi Klaasen dan Regresi Data

Panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi disparitas

pendapatan yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat dalam jangka

waktu 2003-2008 mencapai angka 0,6 dan cenderung menurun.

Hasil regresi data panel menunjukkan bahwa faktor rasio guru

terhadap murid, jumlah dokter, tingkat partisipasi angkatan kerja


33

dan alokasi investasi mempunyai pengaruh terhadap disparitas

pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

Tabel 3 Hasil Penelitian Terdahulu

No. Peneliti Metode dan Variabel Hasil Penelitian


yang Digunakan
1 Indeks Williamson :
berfluktuatif dan
Heppy Yana Indeks Williamson semakin menurun
Syateri
(2005) PMTDB, Tenaga Kerja dan PMTDB dan tenaga
Sumbangan kerja memiliki
hubungan yang negatif

2 Olti Tetya Indeks Williamson Indeks Williamson :


(2010) relatif mengalami
Jumlah tenaga kerja,Rasio penurunan walaupun
panjang jalan, Pendapatan sempat mengalami
Perkapita dan IPM kenaikkan.

Jumlah tenaga kerja


dan rasio panjang
jalan memiliki
hubungan yang
negative. Pendapatan
Perkapita tidak
signifikan. IPM tidak
berpengaruh terhadap
tingkat kesenjangan di
Kalimantan Selatan
3 Indeks Williamson dan rasio guru terhadap
Yagi Tipologi Klaasen murid, jumlah dokter,
Sofiagy tingkat partisipasi
(2010) angkatan kerja dan
Rasio Guru terhadap alokasi investasi
murid, Jumlah Dokter, mempunyai pengaruh
Tingkat Partisipasi terhadap disparitas
Angkatan Kerja dan pendapatan antar
Alokasi Investasi kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat.
34

4 Ulfie Efrisa Indeks Williamson dan Indeks Williamson dan


(2014) entropi theil entropi theil
menunjukkan angka di
Tingkat Buta Huruf, Inflasi, atas 1, dimana angka
Pertumbuhan Ekonomi, tersebut melebihi nilai
Tingkat Pengangguran, maksimum
dan IPM
tingkat buta huruf,
inflasi, pertumbuhan
ekonomi, tingkat
pengangguran, dan
IPM berpengaruh
signifikan terhadap
kesenjangan
pendapatan antar
kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Timur di
era desentralisasi
fiskal

Anda mungkin juga menyukai