PENDAHULUAN
Fungsi sekolah ialah (1) menyampaikan kebudayaan kepada generasi muda
demi melanjutkan bangsa dan Negara, (2) member sumbangan kepada perbaikan dan
pembangunan masyarakat, dan (3) mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Untuk
melakukan tugas itu dengan baik, khususnya fungsi ketiga, harus diperhitungkan anak
sebagai faktor penting dalam pengembangan kurikulum.
Pada umumnya faktor anak masih belum mendapat perhatian selayaknya.
Salah satu sebabnya ialah bahwa bahan pelajaran terlampau diutamakan, dengan
mengharuskan anak menyesuaikan diri dengan bahan itu dengan segala kesulitannya.
Namun “apa” yang diajarkan erat kaitannya dengan pertanyaan kepada “siapa”
diajarkan, untuk lebih mengetahui “bagaimana” mengajarkannya.
Ada masanya dahulu anak disamakan dengan orang dewasa dalam miniature.
Anak dituntut menjadi orang dewasa, ia dinilai menurut ukuran orang dewasa, bahkan
dalam pakaian pun ia mengikuti orang dewasa.
Tokoh pertama yag membuka mata dunia untuk melihat dan memperlakukan
anak sebagai anak, bahwa anak itu lain daripada orang dewasa, namun manusia
penuh sebagai individu, ialah J.J.Rousseau (1712-1778). Dalam bukunya yang
terkenal Emile ia menguraikam fase-fase perkembangan anak, dari kecil sampai
dewasa, perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang menuntut perlakuan
sesuai dengan sifat perkembangannya.
Rousseau antara lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang datang dari
Tuhan adalah baik, akan tetapi dapat menjadi rusak dalam tangan manusia yang telah
dipengaruhi kebudayaan. Ia menganjurkan agar anak diberi kesempatan untuk
berkembang menurut kodrat alam masing-masing. Ki Hajar Dewantara menyatakan
sebagai Tut Wuri Handayani.
1
Banyak tokoh-tokoh pendidikan yang membaca buku karangan Rousseau
sangat terpengaruh, seperti J.H. Pestalozzi (1746-1826), F. Froebel (1776-1841),
Maria Montessori( ), dan banyak tokoh lain seperti Ki Hajar Dewantara, juga John
Dewey.
Ada mengatakan, bahwa perubahan yang paling besar dalam pendidikan
dalam abad ke-20 ini ialah menonjolkan kedudukan peranan anak dalam kurikulum.
John Dewey memandangnya sebagai “suatu revolusi” yang menjadikan anak sebagai
pusat pendidikan, seperti perubahan yang dicetuskan Cpernicus yang menjadi
matahari dan bukan bumi sebagai pusat jagat raya. Bila selama ini anak harus
menyesuaikan diri dengan kurikulum yang ditenntukan oleh orang dewasa, kini
kurikulumlah yang harus disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan taraf
perkembangan anak. Sekarang tak mungkin lagi kurikulum dikembangkan tanpa
memperhitungkan anak dan perkembangannya.
PERKEMBANGAN ANAK
Perkembangan anak-fisik, emosioanal, social dan mental intelektual- factor
yang sangat penting untuk diperhitungkan dalam pengembangan kurikulum. Banyak
peneliti yang telah mempelajari anak secara ilmiah, ada yang mengadakan studi
cross-sectional, yakni mempelajari sejumlah besar anak pada usia tertentu, ada pula
longitudinal, yang mengikuti perkembangan anak sampai bertahun-tahun, bahkan
sanpai dewasa. Penelitian perkembangan anak Indonesia masih menunggu ilmuwan
yang berminat.
Berdasarkan berbagai penelitian itu, maka diperoleh sejumlah kesimpulan
antara lain:
- Anak berkembang melalui tahap-tahap tertentu, ada masa bayi, masa kanak-
kanak permulaan, masa kanak-kanak lanjutan, masa transesensi menjelag
adolesensi. Pada tiap taraf anak menunjukkan sifat-sifat dan kebutuhan tertentu.
Antara tahap-tahap itu sebenarnya tidak ada batas terentu yang tegas, karena
perkembangan itu berjalan secara berangsur-angsur.
2
- Kecepatan perkembangan itu tidak merata. Ada saat-saat cepat dan atau
akselerasi, ada masa tenang seakan-akan tidak ada perubahan yang disebut
“plateau atau dataran, ada pula saat yang lambat perkembangannya atau
retardasi.
3
menguntungkan bagi anak. Banyak macam usaha untuk memperhatikan
perbedaan individual pada anak. Akan tetapi pelaksanaannya memerlukan guru
yang lebih kompeten dari pada mengajar bahan yang uniform dalam segala
aspeknya.
- Adanya pola umum dalam perkembangan anak memungkinkan pengembangan
kurikulum untuk memperkirakan bahan apa yang akan sesuai kepada kelompok
umur tertentu.
4
melanjutka pelajarannya yang hanya dimungkinkan bila lulus dalam ujian yang justru
menguji pengetahuannya. Aspek kepribadian lainnya tidak dapat pertimbangan.
Karena aspek intelektual diutamakan, maka segi pendidikan lainnya
cenderung diabaiakan, seperti kepandaiannya bergaul, minatnya terhadap kesenian
atau olahraga. Lambat laun konsep tentang pendidikan mengalami perubahan dan
sekolah modern menaruh perhatian kepada perkembangan seluruh pribadi anak, baik
mengenai segi jasmani, emosi, social maupun intelektual. Anak dinilai buka hanya
berdasarkan prestasi intelektualnya, akan tetapi dalam segala segi kepribadiannya
secara komprehensif. Sebenarnya pribadi anak selalu merupakan suatu kebulatan dan
tak dapat dipisah-pisah dalam bagian-bagian yang lepas-lepas. Anak yang terganggu
kesehatannya, sakit, lapar atau lelah, anak yang mengalami kesuliatan emosional
karena frustasi, anak yang terisolasi dlam kelas tanpa teman anak yang merasa
dibenci oleh guru, dengan atau tanpa alas an, anak yang merasa drinya rendah karena
konsep-diri yang rendah, anak serupa itu aka terganggu pelajarannya.
Anak menerima pelajaran buka hanya dengan”kepalanya”, akan tetapi juga
dengan “hatinya”. Guru sebagai pelaksana kurikulum hendaknya jangan melihat
dirinya hanya sebagai pengajar yang menyampaikan bahan pelajaran, ia juga pendidik
yang berusaha mengembangkan segala potensi anak agar menjadi manusia seutuhnya.
Guru harus pandai, harus bayak tahu, harus menguasai disiplin ilmu, itu benar dan
sangat diinginkan, akan tetapi ia juga pendidik dan tugas ini memerlukan kompetensi
dan pribadi yang jauh lebih luas daripada sekedar pengetahuan.
5
Anak-anak saling berbeda, jasmaniah, rohaniah, emosional, dan social.
Mereka juga berbeda dalam segi intelegensi, tinggi dan berat badan, tekanan darah,
minat stabilitas emosional, kesehatan, kecepatan bereaksi, kecepatan membaca,
keterampilan berhitung, latar belakang, social-ekonomi, pendidikan dirumah,
kesukuan, agama, keterampilan motoris, cita-cita dan dalam banyak hal lain, sehingga
tak mungkin dua orang sama. Ada pula perbedaab jenis kelamin yang perlu mendapat
perhatian agar mereka dapat melakukan tugasnya sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Usia anak-anak pun ada perbedaannya walaupun duduk dikelas yang sama. Bila
saudara memperhatikan suatu kelas, atau mengalami sekelompom anak bermain,
dalam waktu lima menit saudara akan melihat berbagai perbedaan antara anak-anak.
Juga pada diri anak sendiri terdapat perbedaan dalam perkembangannya
dalam berbagai bidang. Anak berbakat mungkin cepat perkembangan intelektualnya
akan tetapi ketinggalan dalam aspek social emosionalnya. Anak yang cepat
berkembang secara fisik, mungkin sulit mengikuti pelajaran akademis kepandaian
anak dalam suatu bidang studi mungkin berbeda dengan penguasaan bidang lain.
Apakah sekolah harus berusaha melenyapkan perbedaan individual itu atau
setidaknya memperkecilnya ? Di sekolah tradisional ,dalam pendidikan masal
umumnya ,perbedaan individual kurang dapat diperhatikan, malah sering tidak
diacuhkan. Kurikulum uniform, pelajaran sama bagi semua, metode belajar mengajar
juga sama demikian juga penilaiannya. Pada jam yang sama semua anak melakukan
pekerjaan yang sama membuat hitungan yang sama, menulis kalimat yang sama,
menggambar barang yang sama. Pelajaran diserapi oleh keserba-samaan. Pada saat
tertentu semua akan dihadapkan kepada ujian akhir yang sama pula yang dapat dinilai
dengan menggunkan computer untuk member cara penilaian yang sama. Tampaknya
pendidikan demikian berusaha menempa anak-anak yang pada hakikatnya serba-
ragam menjadi menusia yang serba-sama.
Kurikulum yang ditentukan oleh pihak atasan uniform bagi jenis pendidikan
yang sama. Untuk lebih menjamin kesamaan, maka tujuan diuraikan sampai taraf
spesifik termasuk bahan pelajaran yang terkait dan juga proses belajar-mengajar dan
6
buku pelajarannya. Dengan sendirinya guru sebagai pelaksana kurikulum akan patuh
berpegang pada ketentuan itu. Apakah masih ada kemungkinan bagi guru
memandang dirinya sebagai pengembang kurikulum dalam arti mikro untuk
menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan anak dan keadaan lingkungan sekolah?
Juga ditingkat Perguruan Tinggi terdapat gejala yang sama dengan menentukan mata
kuliah untuk tiap jurusan, sering tanpa kesempatan utnuk mengadakan pilihan.
Dari segi hakikat individu yang berbeda-beda, memaksa pelajar mengikuti
pelajaran yang sama akan merugikannya. Ada kurikulum yang fleksibel yang
memungkinkan siswa mengadakan pilihan. Ada sistem semester pada hakikatnya
bertujuan member pilihan itu, dan walaupun pelajaran yang diikuti berbeda-beda,
jumlah kredit akan menentukan apakah sudah dipenuhi syarat untuk lulus. Dengan
sistem kredit mahasiswa, tidak terbatas lagi perkuliahannya pada apa yang
disediakannya dalam satu jurusan, akan tetapi semua mata kuliah di universitas
terbuka baginya. Dengan demikian universitas akan sungguh-sungguh menjadi
uiversitas dan bukan kumpulan fakultas atau jurusan.
Memperhatikan perbedaan individual tidak berarti bahwa semua pelajaran
harus berbeda. Ada hal-hal yang harus termasuk pengetahuan umum yang harus
dimiliki oleh setiap siswa yang diharapkan dari setiap warga Negara. Ia harus
mengenal falsafah Negara, harus menguasai bahasa nasional, sejarah, bangsa
mempunyai badan yang sehat, dan sebagainya. Akan disamping itu ia hendaknya
dapat menikmati pendidikan sesuai dengan bakat dan minatnya.
Perbedaan individual sangat besar nilainya. Kemajuan-kemajuan dalam
banyak lapangan hidup justru diperoleh berkat orang-orang yag mempunyai
pendirian, kemampuan dan pikiran yang orisinal, yang lain daripada yang lain.
Inisiatif orang-orang yang mencari jalan-jalan baru sering membawa kemakmuran
dan kemudahan bagi umat manusia, walupun mereka pada awalnya mendapat
kecaman, tantangan, bahka celaan. Kreativitas dan inisiatif ini sering dibunuh atau
tidak dipupuk disekolah tradisional. Ini berarti kerugian besar bagi bangsa dan
Negara, karena dengan demikian banyak bakat disia-siakan. Pendapat modern
7
menginginka program sekolah yang member kesempatan yang seluas-luasnya bagi
perkembangan bakat anak. Kurikulum yang uniform pasti tidak akan memenuhi
keinginan itu.
Tiap anak berbeda dengan anak lain. Untuk mendapat gambaran yang lebih
jelas tentang perbedaan itu dalam pengajaran, perlu kita perhatikan hal-hal berikut:
a. Walaupun tiap anak unik, persamaan antara manusia lebih besar daripada
perbedaannya.
b. Namun demikian perbedaan itu lebih besar daripada uang diduga si pendidik.
c. Perbedaan itu sebagian besar bersifat kuantitatif, bukan kualitatif, misalnya,
semua anak mempunyai intelegensi, akan tetapi tarafnya berbeda-beda, ada yang
tinggi ada yang rendah.
d. Kesanggupan yang luar biasa pada umumnya bukanlah akibat kompensasi, yaki
ditimbulkan oleh kekurangan dibidang lain. Kelemahan dibidang tertentu, tidak
dengan sendirinya membangkitkan kesanggupan istimewa di bidang lain.
e. Perbedaan individual tidak hanya dalam bidang intelegensi, akan tetapi juga
dalam bidang emosional, social, fisik, sikap, dan lain-lain yang harus
dipertimbangkan dalam pendidikan.
f. Sifat-sifat seseorang harus ditinjau dalam rangka keseluruhan pribadinya.
Menyesuaikan kurikulum dan pengajaran dengan perbedaan individual adalah
usaha yang memerlukan pemikiran, kreativitas, pengertian, serta hasrat untuk
memberikan yang sebaik-baiknya kepada tiap anak. Selain itu perlu usaha untuk
mengenal anak secara individual.
KEBUTUHAN ANAK
Kurikulum harus mempertimbangkan kebutuhan anak. Ada kurikulum yang
secara ekstrem mendasarkan kurikulum semata-mata pada kebutuhan anak, yang
disebut child-cebtered curriculum. Ditinjau dari segi pshikologis-didaktis banyak
kebaikannya. Pelajaran didasarkan atas minat anak, anak turut serta merencanakan
apa yang ingin dipelajarinya. Akan tetapi banyak pula kelemahannya, antara lain:
8
a. Anak-anak sering tidak mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkannya.
b. Pelajaran tidak dapat lebih dahulu direncanakna guru, karena baru lahir dalam
rundingan dengan anak tiap tahun pelajaran berlainan karena anaknya berganti.
Jadi tidak ada pegangan bagi guru dan murid tentang pelajaran yang akan datang.
Tidak ada pula kontinuitas dalam pelajaran dari tahun ke tahun.
c. Memperturutkan akan belum menjamin kesesuaiannya dengan tujuan
pendidikan.
d. Sebernya tidak ada pelajaran yang sepenuhnya individual, sebab selalu
berlangsung dalam konteks social. Anak berada dalam masyarakat dan apa yang
dipelajari harus juga memenuhi tuntutan masyarakat.
Karena keberatan-keberatan itu kurikulum serupa itu hanya dilakukan pada
sekolah-sekolah eksperimen. Namun demikian eksperimen itu besar pengaruhnya
terhadap kurikulum selanjutnya. Bermacam-macam cara yang dijalankan untuk
memperhatikan perbedaan individual dalam proses belajar mengajar.
Kebutuhan anak dapat digolongkan dengan berbagai cara. Salah satu cara
ialah membaginya atas : kebutuhan jasmani, kebutuhan pribadi, dan social.
KEBUTUHAN JASMANIAH
Setiap anak ingin bergerak dan menggunakan badannya. Anak-anak suka
berlari-lari melompat-lompat, memanjat-manjat dan melakukan aktivitas-aktivitas
jasmaniah. Kebutuhan ini dipenuhi dengan memberikan pendidikan jasmani. Dalam
arti modern pendidikan jasmani bertujuan mendidik manusia, yakni mewujudkan
tujuan pendidikan dengan menggunakan kejasmanian sebagai titik bertolak, akan
tetapi tujuan khusus yaitu membentuk manusia yang sehat dan kuat merupakan aspek
yang penting pula. Bangsa kita pada umumnya belum cukup sehat dan kuat menurut
norma-norma tertentu.
Disamping pendidikan jasmani harus diusahakan adanya keseimbangan antara
bekerja dengan istirahat, harus diperhatikan agar aak-anak cukup tidur, cukup
bermain serta mendapat makanan yang sehat.
9
Kesehatan dan pertumbuhan jasmani hendaknya senantiasa dibawah asuhan
dokter dan juru rawat sekolah.
KEBUTUHAN PRIBADI
Anak-anak mempunyai dorongan untuk memuaskan keinginan untuk
mengetahui sesuatu, untuk menyatakan pikiran dan perasaanya dengan jalan bahasa,
pekerjaan, lukisan, seni suara, atau gerak. Mereka ingin menguasai suatu
keterampilan, ingin merasai kepuasan atas hasil atau sukses yang mereka capai.
Mereka ingin dipuji atas usaha mereka, sekalipun hasil mereka itu jauh dibawah
norma-norma orang dewasa. Setiap anak ingin diakui dan dihormati sebagai individu
yang mempuyai tempat dan hak dalam masyarakat sekolah, rumah tangga, dan dunia
sekitarnya. Anak-anak ingin mempunyai harga diri dan harkat sebagai manusia.
Anak-anak ingin aktif. Dorongan ini mudah kita lihat pada setiap anak. Disekolah
sekolah ini serig dikekang dan ditekan agar murid-murid tidak melanggar disiplin
yang tegang yang menginginkan, agar anak diam duduk diam di bangku sambil
mendengarkan ucapan-ucapan guru dan ia dituduh anak nakal bila ditunjukkan
keaktifannya.
Sekolah zaman sekarang berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu
dengan memberi anak-anak kebebasab bergerak, bekerja, mengadakan percobaan-
percobaan dan melakuka tugas-tugas lain, asal jangan mengganggu orang lain.
Kebebasannya dibatasi oleh hak-hak orang lain yang juga merupakan haknya sendiri.
Kelas itu dijadikan semacam laboratorium atau ruang kerja ditempat anak-anak
belajar dalam suasana yang lebih leluasa.
KEBUTUHAN SOSIAL
Tak mungkin manusia itu hidup lepas dari masyarakat. Seorang bayi tidak
ungkn akan hidup serta mengembagkan pembawaannya tanpa bantuan orang tuanya
da banyak orang lain yang terhitung jumlahnya. Setiap manusia harus hidup dalam
10
hubungan yang erat dengan orang lain untuk mencapai kebahagiannya. Mencari
hubungan dengan orang lain ilah dorongan yang wajar pada tiap anak.
Membimbing anak agar ia menjadi makhluk social ialah suatu fungsi sekolah
yang amat penting. Bila ini kita akui, maka kita menyangsikan manfaat cara yang
dipakai sekolah yang memaksa murid-murid duduk diam, melarang mereka
membicarakan pelajaran serta bantu-membantu dalam memecahkan suatu soal.
Disekolah lebih diutamakan persaingan daripada gotong-royong.
Kurikulum modern member murid-murid lebi banyak kebebasan bekerja
sama dalam kelompok untuk melakukan tugas-tugas. Murid-murid diajak berunding
untuk menetukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana langkah-langkah untuk
mencapai tujuan itu. Dalam hal ini pendapat setiap anak dihargai dan
dipertimbangkan. Dengan demikian sekolah dijadikan suatu masyarakat tempat
murid-murid mempraktekkan hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat yang
demokratis. Human relationship atau hubungan antar-manusia hendaknya lebih
dipentingkan disekolah. Dari penyelidikan-penyelidikan ternyata bahwa kebahagiaan
seseorang dalam kehidupan dan jabatannya bukanlah ditentukan oleh pengetahuan
intelektualnya, melainkan terutama oleh kesanggupan untuk bergaul dan bekerja
sama dengan orang lain.
Seperti dikatakan diatas, ada bermacam-macam cara untuk membagi
kebutuhan anak. Saudara dapat mempelajarinya lebih lanjut dalam buku-buku tntang
psikologi anak.
11
4. Self-esteem, kebutuhan akan harga-diri
5. Self-actualization, kebutuhan untuk merealisasikan kepribadian yang penuh
Agar dapat merealisasikan diri, agar dapat mengembangkan potensi yang
dimiliki sepenuhnya, harus dipenuhi segala kebutuhan yang dibawanya, oleh sebab
kebutuhan itu bersifat hierarkis. Tak dapat anak merasa aman, bila ia merasa
kelaparan, tak mungkin mempunyai harga diri bila tidak dicintai, tidak merasa aman
dan mendapat kecukupan dalam keperluan makanan, pakaian, dan lain-lain.
Kebutuhan yang tertinggi yang harus dicapai ialah self realization, yakni
menemukan identitasnya, siapa dia, apa yang diinginkannya, akan menjadi apa ia.
Agar ini tercapai ia harus dibantu untuk mengetahui agar yang dapat dilakukannya
dengan baik. Rasa berhasil, sukses dalam pekerjaan dan pelajaran, termasuk pelajaran
sekolah, membantu anak ke arah self realization. Dalam kurikulum perlu diusahakan
keseimbanga antara kebutuhan institusional dan kebutuhan pribadi anak. Lingkungan,
termasuk guru dan orang tua, dapat membantu. Dapat pula menghalangi anak menuju
self realization.
Louis Raths mengembangkan teorinya tentang kebutuhan pokok yang
menunjukkan sejumlah persamaan dengan Maslow. Ia membedakan delapan macam
kebutuhan, yakni:
1. The need for love and affection (cinta kasih)
2. The need for achievement (keberhasilan)
3. The need for belonging (diterima dalam kelompok)
4. The need for self-respect (harga-diri)
5. The need to be free from deep feelings of guilt (bebas dari rasa berdosa yang
mendalam)
6. The need to be free from deep feelings of fear (bebas dari rasa takut yang
mendalam)
7. The need for economic security (rasa aman dalam keuangan, dan lain-lain)
8. The need for understanding of self (pengenalan diri).
12
Menurut Raths guru dapat mempelajari cara-cara memenuhi kebutuhan itu
dalam rangka pelajaran di sekolah. Guru dapat mengidentifikasi kelakuan anak yang
tak-sosial, walaupun ia bukan ahli psikologis atau psikiatri. Tujuan Raths ialah agar
guru berusahan menciptakan lingkungan belajar yang member rasa aman kepada
anak-anak. Ia meminta perhatian guru yang lebih banyak terhadap kebutuhan
emosional anak dengan keyakinan, bahwa bila kebutuhan ini dipenuhi, maka anak
akan lebih berhasil melakukan tugas-tugas sekolah lainnya.
13
Guru-guru dapat menggunakan prinsip-prinsip diatas sebagai peranan untuk
mencapai tujuan kurikulum disekolah. Mengembangkan kepribadian anak juga akan
membantunya mencapai tujuan-tujuan lain.
DEVELOPMENTAL TASKS
Seperti kami katakana, kebutuhan anak ditinjau dari segi psiko-biologis, tak
perlu bertentangan dengan kebutuhanya ditinjau dari segi masyarakat. Berbarengan
dengan pertumbuhan anak, masyarakat mempunyai tuntutan tentang kelakuannya.
Tiap individu mempuyai tugas-tugas tertentu, yang diharapkan masyarakat dapat dan
harus dilaksanakannya. Sewaktu masih bayi ibu mengganti bajunya, akan pada usia
tertentu ibu mengharapkan ia dapat melakukanya sendiri. Makin tambah usianya,
makin banyak hal-hal yang diharapkan orang tua dan masyarakat umum dari
padanya.
Gejala ini dituangkan Erikson dan yang lebih terkenal R.J.Havighurst dalam
konsep developmental tasks yakni tugas-tugas yang harus dipenuhi oleh seseorang,
sesuai dengan taraf perkembangannya. Ini diharapkan, bahkan dituntut oleh
lingkungannya. Bila ia dapat memenuhinya, akan merasa senang, dan ia akan berhasil
melakukan tugas-tugas selanjutnya. Akan tetapi bila ia tidak dapat memenuhinya ia
akan mendapat celaan dan kecaman, maka ia tidak merasa bahagia dan tidak akan
sanggup melakukan tugas berikutnya dengan berhasil baik.
Developmental tasks ini meningkat dengan bertambahnya usianya. Dari anak
sekolah, pemuda dan seterusnya. Developmental tasks ini tidak ada akhirnya,
dihadapi oleh anak, pemuda, orang dewasa, masa tua, masa pension, sampai akhir
hayat.
Developmental tasks berbeda menurut kebudayaan tempat anak itu hidup,
misalnya berbeda diberbagai daerah di Tanah Air kita, berbeda dengan negara lain.
Adanya developmental tasks ini member gambaran lain tentag kebutuhan
anak. Ddalam arti psikologis kebutuhan itu bersifat individual, sedangkan dari segi
14
“developmental tasks” mengandung aspek social. Ditinjau dari segi ini kurikulum
yang “child-centered” yang ekstrem tidak dapat dipertahankan.
Implikasi “developmental tasks” bagi kurikulum ialah, bahwa kurikulum yang
didasarkan atas konsep itu akan mempertemukan kebutuhan perkembangan fisik,
social, motivasi, emosi, dan lain-lain secara terpadu. Selanjutnya dapat memperjelas
tujuan pendidikan dan saat yang lebih tepat untuk mengajarkannya. Sukses dalam
“developmental tasks” member pengaruh positif terhadap prestasi sekolah.
Selanjutnya kami berikan “developmental tasks” bagi anak sekolah dan pemuda.
Kita harus menyelidiki hingga manakah pokok-pokok yang diatas merupakan
masalah-masalah bagi anak-anak Indonesia. Penelitian serupa ini perlu diadakan,
kalau kita ingin membantu murid-murid memecahkan kesukaran pribadinya dengan
membicarakannya disekolah. Dengan memasukkannya ke dalam kurikulum, kita
memberikan bimbingan kepada anak untuk menyesuaikan diri dengan dunia dan
dengan dirinya sendiri yang sedang mengalami persoalan itu.
Seperti telah dikatakan, kebutuhan anak, ditinjau dari psiko-biologis tidak
perlu bertentangan dengan kebutuhannya ditinjau dari sudut masyarakat. Salah satu
usaha untuk mempertemukan kedua aspek itu dilakukan oleh R.J. Havighurst yang
menggunkan pengertian “developmental tasks” yakni tugas-tugas yang tak dapat tiada
harus dipenuhi oleh setiap anak sesuai dengan setiap taraf perkembangannya yang
dituntut oleh lingkungan atau masyarakat. Memenuhi tugas itu berarti kebahagiaan
dan sukses dalam melakukan tugas-tugas berikutnya. Kegagalan memenuhinya
berarti kesusahan bagi individu, celaan oleh masyarakat dan kesulitan untuk tugas-
tugas selanjutnya.
Developmental tasks untuk anak-anak ialah:
1. Mempelajari kecekatan jasmai yang perlu untuk permainan-permainan biasa.
2. Memebentuk sikap yang sehat terhadap diriya sebagai organisme yang hidup.
3. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya.
4. Mempelajari peranan social sebagai anak laki-laki atau perempuan.
15
5. Memperoleh kecakapan-kecakapan fundamental dalam membaca, menulis, dan
berhitung.
6. Membentuk pengertian-pengertian yang perlu untuk kehodupan sehari-hari.
7. Membentuk kata-hati, kesusilaan, dan skala norma-norma.
8. Mencapai kemerdekaan pribadi.
9. Memupuk sikap terhadap golongan dan lembaga-lembaga social.
16
7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Tujuannya
ialah memperoleh sikap yang positif terhadap kehidupan keluarga dan
pendidikan anak-anak.
8. Memperoleh kecakapan dan pengertian yang diperlukan untuk menjadi warga
Negara yang baik, yakni pengertian tentang undang-undang pemerintah,
ekonomi, politik, lembaga-lembaga social, dan lain-lain.
9. Memupuk kelakukan yang secara social dapat dipertanggungjawabkan, yakni
dengan turut serta dalam kehidupan masyarakat dan Negara sebagai orang
dewasa dan memperhitungkan norma-norma masyarakat dan kelakuannya.
10. Memperoleh sejumlah norma sebagai pegangan untuk kelakuannya yang
digunakannya sebagai pandangan hidup untuk memahami kedudukannya didunia
ini serta hubungannya dengan manusia lain.
“Developmental tasks” yang dikemukakan oleh Havighurst harus pula kita
selidiki kebenarannya bagi anak-anak Indonesia dan menyesuaikannya dengan
keadaan yag dihadapi oleh pemuda-pemuda dalam masyarakat kita.
Tugas-tugas yang dihadapi mereka ditentukan oleh pertumbuhan psiko-
biologis yang mungkin mempunyai dasar persamaan bagi seluruh pemuda diseluruh
dunia, tetapi juga menunjukkan perbedaan karena tuntutan masyarakat yang berlaina
diberbagai tempat.
PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Seorang ahli psikologi Swiss, Jean Piaget selama 40 tahun mengadakan
penelitian tentang perkembangan intelektual atau proses berfikir anak, dari bayi
sampai masa pemuda. Ia antara lain menemukan bahwa anak-anak pada mulanya
masih berpikir menurut apa yang dilihatnya, misalnya bahwa gelas yang lebih tinggi
lebih banyak isinya dari pada gelas yang pendek, walaupun sebenarnya isinya sama,
karena isi gelas tinggi dipindahkan kedalam gelas pendek. Anak-anak baru dapat
memusatkan perhatiannya kepada satu variable. Ia belum dapat melihat hubungan
antara dua variable, tinggi dan lebar gelas, yang diperhatikannya hanya tingginya. Ia
17
juga belum dapat memahami bahwa satu objek dapat mempunyai lebih dari satu cirri
yang dapat dimasukkan dalam klasifikasi yang berbeda-beda, misalnya bahwa
seseorang dapat tinggal sekaligus di Bandung dan di Jawa.
Akan tetapi proses berpikir anak berkembang terus berkat bertambahnya
pengalaman dan pengetahuannya. Pada usia sekitar 7 tahun lebih tampak pemikiran
logis pada anak. Ia telah dapat melihat hubungan antara bagian dengan
keseluruhannya, juga dapat melihat analogi. Akan tetapi pada fase pertama
pemikirannya terutama mengenai data yang konkrit. Kegiatan mentalnya ditunjukkan
kepada objek dan kejadian yang konkret yang langsung dihadapannya.
Pada fase berikut, sekitar usia 12 tahun ia mulai berpikir secara abstrak dengan
menggunakan generalisasi dan konsep-konsep.
Perkembangan intelektual menurut Piaget dalam garis besarnya adalah
sebagai berikut:
1. Fase senso-motoris( bayi – 2 tahun )
- Gerak reflex, koordinasi tangan – mulut, koordinasi – mata, koordinasi
pengamatan alat-dria (sensory), dan gerakan (motoris), mencari benda yang
diambil dari penglihatannya, mengadakan berbagai usaha untuk mencapai
tujuan.
2. Fase pra-operasional ( 2- 7 tahun )
- Masalah dipecahkan dengan pemikirannya, perkembangan bahasa dan
persepsi yang cepat (2-4 tahun), pikiran dan bahasa bersifat ego-sentris,
subjektif, hanya dari pandangannya sendiri, orientasi menurut bagaimana ia
melihat sesuatu, mengetahui tangan kanannya, akan tetapi bukan tangan kanan
orang yang menghadapinya, pandangan animistis, memandang benda mati
seperti makhlu hidup, misalnya matahari tidur, mengacaukan khayal dan
kenyataan.
3. Fase operasional konkrit (7-11 tahun)
- Memahami reversibilitas, misalnya volume air tetap, walaupun bentuk bejana
berbeda; mulai dapat berpikir mengenai masalah konkrit, berpikir sambil
18
memanipulasi benda; masih belum dapat memecahkan masalah verbal yang
agak kompleks.
4. Fase operasi formal ( 11-15 tahun)
- Semua jenis masalah logis, termasuk mengemukakan dan menguji hipotesis
dapat dipecahkan; telah dapat menganalisis validitas cara-cara berpikir;
pemikiran formal masih egosentris dalam arti masih ada kesukaran untuk
menyesuaikan yang ideal dengan kenyataan.
PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL
19
Dalam garis besarnya perkembangan emosional bergerak dari kedudukan
kebergantungan ketaraf ketidak-bergantungan atau kemandirian, dan dari perhatian
untuk diri-sendiri keorientasi kepada orang lain.
Lambat laun, menjelang dan selama masa pubertas, ikatannya dengan teman
sebaya bertambah erat, bahkan pengaruh teman melebihi pengaruh orang tua, yang
makin merosot. Anak itu, yang mencari identitasnya sendiri serta kemandirian mulai
berkonflik dengan orang tua, apalagi bila orangtua ingin memperlakukannya seperti
sediakala. Pada saat inilah terjadi krisis identitas. Ia mulai bertanya, “Siapa saya?”
Siapa dia, bagaimana konsep dirinya banyak diperolehnya dari feedback atau reaksi
orang lain terhadap kelakuannya.
20
Ia juga harus mengembangkan diri dalam hubungannya dengan anggota jenis
kelamin lain, mengembangkan kemampuan untuk mengadakan hubungan intim dan
akrab dengan seseorang sebagai persiapan untuk membentuk rumah tangga sendiri.
Perkembangan moral
Tokoh yang paling terkenal yang telah meneliti perkembangan moral anak
ialah Lawrence Kohlberg. Ia memilih 50 orang, berusia antara 10-28 tahun, lalu
mewawancarai mereka tiap tiga tahun selama 18 tahun. Dalam wawancara itu anak
itu dihadapkan dalam situasi yang mengandung dilemma moral yang member
kemungkinan macam-macam jawaban. Peneliti ingin mengetahui apa alasan atau
sebab anak memilih jawaban tertentu, menurut urutan tertentu. Tak mungkin seorang
melompati salah satu tahap.
Tingkatan pra-konvensional
Pada tingkatan ini anak telah merespons terhadap aturan dan lingkungan akan
tetapi baik dan buruk diukur dari konsekuensi fisiknya berupa hukuman atau ganjaran
dan pujian yang ditentukan oleh orang yang memegang otoritas.
21
Sesuatu dianggap baik bergantung pada hukuman atau akibat fisik baginya yang
menyakitkan atau menyenangkan. Hukuman harus dihindari dengan menunjukkan
kepatuhan. Kepatuhan baik karena tidak menimbulkan konsekuensi fisik yang
merugikan.
2. Orientasi instrumental
Tindakan baik bila member kepuasan bagi diri atau juga bagi orang lain. Bahkan
kita berbuat baik agar orang lain baik pula terhadap kita. Berbuat baik merupakan
instrument atau alat untuk menerima kebaikan dari orang lain. Kita menolong orang
lain agar ia kelak akan menolong kita.
Tingkatan konvensional
Pada tahap ini anak ingin memelihara hubungan baik dengan orang lain,
keluarga, masyarakat, Negara, menurut apa yang diharapkan, tanpa mementingkan
konsekuensinya. Apa yang diharapkan oleh orang yang dianggap sebagai sesuatu
yang berharga. Karena itu ia ingin menyesuaikan diri dengan harapan-harapan itu
dengan menunjukkan kesetiaannya kepada ketentuan-ketentuan demi ketertiban
masyarakat.
Kelakuan yang baik ialah yang menyenagkan orang lain, yang dilakukan
dengan itikad baik. Ia berkelauan baik bukan untuk memperoleh keuntungan bagi
dirinya akan tetapi karena kebaikan itu diharapkan oleh masyarakat daripadanya.
22
Tingkatan pasca-konvensional atau tingkat otonom, tingkat berprinsip.
Suatu tindakan dianggap baik sesuai hak individu atas pemikiran yang luas
serta diterima baik oleh seluruh masyarakat.Bila ada kesempatan kesempatan
masyarakat mengenai prinsip tertentu,maka secara legal undang-undang dapat diubah
berdasarkan pertimbangan rasional demi kepentingan masyarakat.
Tidak semua orang akan dapat mencapai tingkat moral tertinggi ini.
Kebanyakan orang hanya mencapai tingkat keempat.
23
(Shace, J.P dan Strong, W. h. 149)
RANGKUMAN
24
1. Pandangan tentang anak berubah secara radikal oleh Jean Jacques Rousseau.
Sejak itu anak menjadi factor yang harus dipertimbangkan dalam kurikulum.
Banyak tokoh pendidikan yang dipengaruhi olehnya.
2. Pendidikan harmonis mencakup perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotor,
atau perkembangan intelektual, emosioanal, social dan fisik.
3. Anak merupakan keseluruhan dan bereaksi sebagai keseluruhan terhadap
lingkungannya.
4. Tiap anak unik, mempunyai cirri-ciri tersendiri, lain dari pada yang lain.
Kurikulum hendaknya memperhitungkan keunikan anak agar ia sedapat mungkin
dapat berkembang sesuia dengan bakatnya.
5. Walaupun tiap anak berbeda dengan anak lain, banyak pula persamaan antara
mereka. Maka sebagian dari kurikulum dapat sama bagi semua.
6. Kurikulum yang semata-mata didasarkan atas kebutuhan dan minat anak yakni
child-centered curriculum dikatakan ekstrem karena anak selalu berada dalam
masyarakatnya dan dan tak dapat melepaskan diri dari tuntutan masyarakat.
7. Kebutuhan anak dapat ditinjau dari segi anak dan dari segi masyarakat. Kedua
segi ini harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum.
8. Abraham Maslow, Louis Raths, Earl Kelly mempunyai pandangan tertentu
tentang kebutuhan anak.
9. Robert Havighurst mempertemukan perkembangan individu dengan tuntutan atau
harapan masyarakat dalam konsep “developmental tasks”.
10. Jean Piaget mengadakan studi yang mendalam tentang perkembangan intelektual
anak. Ia membedakan fase senso-motoris, fase pra-operasioanal, fase operasional
konkret, dan fase operasional formal.
11. Lawrence Kohlberg menggunakan pola piaget untuk mempelajari perkembangan
moral pada anak.
12. Ada bebagai cara bagi guru untuk mempelajari anak.
25