Anda di halaman 1dari 10

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN

MENURUT ISLAM
Di dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental.
Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan
berjama’ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan
yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam
memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan
kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).

Kepemimpinan dalam islam berarti al-imamah, ar-roisah dan al- imaroh. Al imamah asalkatanya
Imam, ar-riasah berasal dari kata rois, al-imaroh berasal dari kalimat amir. Semuanya bermakna
pemimpin yang membedakan adalah dalam penggunaannya. Ar-riasah digunakan dalam
kepemimpinan apa saja seperti pemimpin yayasan, pesantren atau lembaga. Sedangkan, al
imamah hanya digunakan untuk Negara, seperti kepemimpinan Negara, kerajaan oleh karna itu
ada Negara yang disebut emirat yang dipimpin oleh amir-amir. Oleh karna itu pemimpin dalam
Islam dikenal dengan amir dan imam. Adapun imamah jarang sekali digunakaan.

Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap
perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama’ah memiliki seorang pemimpin yang prima,
produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas
amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan
sebaliknya, manakala suatu jama’ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak kelemahan,
baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab,
serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka
dapat dipastikan, bangunan jama’ah akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami
kehancuran (Qs. 17 : 16)

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah (kaum elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati
Allah), akan tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.― (Qs. 17 : 16)

Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat
strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun
Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan
prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama’ah
atau kelompok, sampai-sampai Rasulullah bersabda yang maksudnya:

“Apabila kamu mengadakan perjalanan secara berkelompok, maka tunjuklah salah satunya

sebagai imam (pemimpin perjalanan).―


Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya
kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika
Rasulullah saw. wafat, maka para shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan
seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari.
Para shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena
kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan ummat muslim kala itu. Hingga
akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.

Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena
itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau
khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat
syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang
baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan
lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (QS.
al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik
dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah
tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai A
pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).

Dan jadikanlah kami sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa”

[QS Al-Furqan : 74]

Syarat-syarat Kepemimpinan Dalam Islam


Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, merupakan pemimpin yang memiliki kualitas
spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang
sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat
adil.
Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena
pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh
sebab itu ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar ketika
menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna yang sesungguhnya dari realitas
(cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama dengan rasul
maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk dosa.
Mudah-mudahan kita selalu mendapatkan bimbingan dan hidayah-Nya.
Insya Allah.

Dalam perspektif Islam, ada beberapa komponen yang menjadi persyaratan terwujudnya
masyarakat Islami, yaitu :

1. Adanya wilayah teritorial yang kondusif (al-bi’ah, al-quro)


2. Adanya ummat (al-ummah)
3. Adanya syari’at atau aturan (asy-syari’ah)
4. Adanya pemimpin (al-imamah, amirul ummah)

Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam upaya kebangkitan ummat. Islam yang
telah dikenal memiliki minhajul hayat (konsep hidup) paling teratur dan sempurna dibandingkan
konsep-konsep buatan dan olahan hasil rekayasa dan imajinasi otak manusia, telah menunjukkan
nilainya yang universal dan dinamis dalam penyatuan seluruh komponen ummat (Qs. 21 : 92).

Ada empat pilar kebangkitan ummat, yang kesemuanya saling menopang dan melengkapi, yaitu :

1. Keadilan para pemimpin (umaro)


2. Ilmunya para ‘ulama
3. Kedermawanan para aghniya (orang kaya)
4. Do’anya orang-orang faqir (miskin)

Definisi Pemimpin

Ada beberapa istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, diantaranya :

1. Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin negara (pemerintah)


2. Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) ummat
3. Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompok
4. Al-Mas’uliyah yang bermakna penanggung jawab
5. Khadimul ummah yang bermakna pelayan ummat

Dari beberapa istilah tadi, dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau
diberi amanah untuk mengurusi permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama’ah
(kelompok) maupun sampai kepada urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai
pelayan masyarakat dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan
ummatnya, bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi
sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi
(ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).

Ciri-Ciri Pemimpin Islam

Nabi Muhammad SAW bersabda bahawa pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.
Oleh kerana itu, pemimpin hendaklah melayani dan menolong orang lain untuk maju. Beberapa ciri
penting yang menggambarkan kepimpinan Islam adalah seperti berikut:
1. Setia Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat kesetiaan kepada Allah.
2. Tujuan Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok tetapi juga
dalam ruang lingkup tujuan Islam yang lebih luas.
3. Berpegang pada Syariat dan Akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, boleh menjadi
pemimpin selama ia berpegang pada perintah syariat. Ketika mengendalikan urusannya ia harus patuh
kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang
tidak sehaluan dengannya.
4. Pembawa Amanah. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah yang disertai dengan
tanggungjawab yang besar. Al-Qur’an memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah
dan menunjukkan sikap baik kepada pengikutnya sebagaimana Firman Allah SWT:

“iaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka, nescaya mereka mendirikan solat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar, dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.” (Surah Al-Hajj, ayat 41).

Kriteria dalam Menentukan Pemimpin

Jika kita menyimak terhadap perjalanan siroh nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan
petunjuk Al-Qur’an (Qs. 39 : 23) dan Al-Hadits (Qs. 49 : 7), maka kita dapat menyimpulkan
secara garis besar beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.

Beberapa kriteria kepemimpinan dalam islam :


Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-
kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan
Fathanah (STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu
kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan
bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan
kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan
kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh
menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan
dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang
disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya
untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).

Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan
pemimpin tersebut adalah antara lain :
1. Menggunakan Hukum Allah
Dalam berbagai aspek dan lingkup kepemimpinan, ia senantiasa menggunakan hukum yang telah
di tetapkan oleh Allah, hal ini sebagaimana ayat ;

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
(Qs : 4:59)

Melalui ayat di atas ta'at kepada pemimpin adalah satu hal yang wajib dipenuhi, tetapi dengan
catatan, para pemimpin yang di ta'ati, harus menggunakan hukum Allah, hal ini sebagaimana di
nyatakan dalam ayat-Nya yang lain :

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)".
(Qs: 7 :3)

Dan bagi kaum muslimin Allah telah dengan jelas melarang untuk mengambil pemimpin
sebagaimana ayat;

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim". (Qs : 5 : 51)

Dari beberapa ayat diatas, bisa disimpulkan, bahwa pemimpin dalam islam adalah mereka yang
senantiasa mengambil dan menempatkan hukum Allah dalam seluruh aspek kepemimpinannya.

a. Faktor Keulamaan

Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut
adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria
keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan
wahyu (Al-Qur’an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.
Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan
yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk
kepada petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki
keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan,
dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.

Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu
orang yang dapat dijadikan rujukan dalam menjawab berbagai macam problema ummat.

b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)

Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual
(SQ) maupun intelektual (IQ).

Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda :

“Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal
untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang
memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-
angan.― (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)

Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai
dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil
sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur’an dan Al-Hadits, daripada
hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang
mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.

Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk
memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa’ah)
yang dimiliki (Qs. 4 : 58).

Rasulullah berpesan : “Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya,
maka tunggulah kehancurannya.―

c. Faktor Kepeloporan

Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu
menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam.

Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba
Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep
dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja
(operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.

Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada
Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah.
Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs.
2 : 207)

Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka seorang pemimpin
haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma’ruf, mencegah dari perbuatan yang
mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.

d. Faktor Keteladanan

Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik
dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.

Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai
teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak
ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.

Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul
karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan
sosial masyarakat.

Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang
pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui
akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.

e. Faktor Manajerial (Management)

Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun
pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi,
distribusi keanggotaan, dsb.

Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial
lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota,
pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya.

Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan),
yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.

Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita.
Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab
terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya,
apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya.
Wallahu a’lam bish-showwab

"Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya, Seorang
penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, seorang istri
adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya
adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. (HR Bukhari)

2. Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu..


"Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya,
tidak pula kepada orang yang sangat berambisi untuk mendapatkannya" (HR Muslim).

"Sesungguhnya engkau ini lemah (ketika abu dzar meminta jabatan dijawab demikian oleh
Rasulullah), sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia akan mendatangkan penyesalan
dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa
yang menjadi kewajiban atas dirinya". (HR Muslim).

Kecuali, jika tidak ada lagi kandidat dan tugas kepemimpinan akan jatuh pada orang yang tidak
amanah dan akan lebih banyak membawa modhorot daripada manfaat, hal ini sebagaimana ayat ;

"Jadikanlah aku bendaharawan negeri (mesir), karena sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga dan berpengetahuan". (Qs : Yusuf :55)

Dengan catatan bahwa amanah kepemimpinan dilakukan dengan ;


1. Ikhlas.
2. Amanah.
3. Memiliki keunggulan dari para kompetitor lainnya.
4. Menyebabkan terjadinya bencana jika dibiarkan jabatan itu diserahkan kepada orang lain.

3. Kuat dan amanah


"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja
(pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Qs : 28: 26).

4. Profesional
"Sesungguhnya Allah sangat senang pada pekerjaan salah seorang di antara kalian jika dilakukan
dengan profesional" (HR : Baihaqi)

5. Tidak aji mumpung karena KKN


Rasulullah SAW, "Barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan kerabat,
sedangkan masih ada orang yang lebih Allah ridhoi, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati
Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin". (HR Al Hakim).

Umar bin Khatab; "Siapa yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu, karena rasa cinta
atau karena hubungan kekerabatan, dia melakukannya hanya atas pertimbangan itu, maka
seseungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin".

6. Menempatkan orang yang paling cocok


"Rasulullah menjawab; jika sebuah perkara telah diberikan kepada orang yang tidak semestinya
(bukan ahlinya), maka tunggulah kiamat (kehancurannya)". (HR Bukhari).
Dalam konteks hadits ini, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita cermati,

1. Seorang pemimpin harus bisa melihat potensi seseorang.


Setiap manusia tentunya diberikan kelebihan dan kekurangan.Kesalahan terbesar bagi seorang
pemimpin adalah ketika dirinya tidak bisa melihat potensi seseorang dan menempatkannya pada
tempat yang semestinya. Begitu pentingnya perhatian bagi seorang pemimpin terhadap hal ini,
maka Rasulullah saw bersabda sebagaiman hadits pada poin 5 di atas.

2. Bisa mengasah potensi seseorang.


Selain ia bisa melihat potensi pada diri seseorang, seorang pemimpin dengan caranya yang
paling baik, ia bisa mengasah potensi mereka yang berada dalam kepemimpinannya. Mengasah
potensi seseorang berbeda dengan "memaksa" seseorang untuk menjadi seseorang yang tidak di
inginkannya.

3. Menempatkan seseorang sesuai dengan potensi yang ia miliki.


"Right man in the right place", adalah ungkapan yang seringkali kita dengar. Bahwa
menempatkan seseorang itu harus berada pada tempat yang paling tepat bagi orang tersebut serta
penugasannya.

4. Mengatur setiap potensi dari mereka yang di pimpinnya menjadi satu kekuatan yang
kokoh.
Bangunan yang baik, kokoh dan indah tentunya tidak hanya terdiri dari satu elemen, tetapi terdiri
dari berbagai elemen yang ada di dalamnya. Tentunya, penempatan dan penggunaan masing-
masing elemen itulah yang sangat mempengaruhi bagaimana sebuah bangunan
itu. Perumpamaan sederhana ini bisa kita gunakan untuk memahami tugas seorang pemimpin
dalam menempatkan, menggunakan mereka yang berada dalam kepemimpinannya.

Lalu Dimana Letak Khalifah??


Khalifah secara bahasa adalah pengganti maksudnya adalah penggantian suatu tugas dari
pemimpin yang habis masa memimpinnya orang yang lainnya yang menjabat sebagai pemimpin.
Oleh karna itu khalifah sering digunakan sebagai pemimpin.

Bagaimana System Kepemimpinan Dalam Islam?

1. System kerajaan
Islam mengakui adanya system kerajaan dalam kepemimpinan. Allah tidak melarang system
kerajaaan selama system ini menjunjung tinggi nilai keadilan, Allah telah memuliakan beberapa
raja dalam Allquran seperti tholut, ratu bilqis. Firaun juga di kritik Allah bukan dari kerajaannya.
Allah mengkritik firaun karna system dan dirinya tidak bereorientasi pada keadilan.
2. System khalifah

System khalifah tidak memandang nasab tetapi lebih diutamakan kecakapan, kredibilitas, dan
dipercaya oleh masyarakat.
Criteria Khalifah Adalah :
1. Dipilih dan dipercaya oleh rakyatnya

2. Adil. Adil disini adalah istiqomatul din walmuruat (baik secara agam,a dan akirat) seorang
pemimpin harus terbebas dari catat agama seperti kufur, fasiq, bidah. Pemimpin bebas dari cacat
akhlak seperti mengambil barang orang tanpa izin walau sebentar.
3. Ahlu ro’yu (ahli ijtihad) agama dan kenegaraan. Hal ini perlu dimiliki pemimpin dikarnakan
seorang pemimpin harus mempunyai inisiatip dan harus berani mengambil keputusan secara
tepat atau lambat
4. Seorang pemimpin harus sehat jiwa dan badan. Tidak boleh buta.

Anda mungkin juga menyukai