Jurina mengarahkan pandangannya kembali pada kegelapan malam. Senang rasanya dapat melupakan semua beban yang melandanya, meskipun
hanya sementara. Ia melirik ponselnya, mengecek jam yang tertera di layarnya. Sudah lewat tengah malam. Mungkin ia harus segera kembali ke
kamarnya. Belakangan ini Rena tampak curiga padanya, dan pulang ke kamar yang mereka tempati bersama terlalu malam tentunya tidak akan
membuat keadaan menjadi lebih baik.
Jurina menghisap kembali lintingannya yang telah nyaris terbakar habis, dalam-dalam. Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi langkah kaki
mendekat. Sepertinya tidak hanya langkah kaki satu orang--tapi asrama di larut malam biasanya telah sunyi dan sepi bagaikan tanpa
kehidupan. Atau mungkin ada seseorang yang sedang merencanakan kejutan ulang tahun?
Mendadak, tanpa peringatan, gagang pintu kamar berayun kasar. Pada detik berikutnya pintu kamar telah berdebam terbuka. Semua berlangsung
begitu cepat, dan hal berikutnya yang Jurina sadari adalah Nona Mieko, pengawas asrama, yang berdiri di hadapannya dengan geram.
"Ganja! Berani-beraninya kalian berpesta ganja di asrama kampus!" Tanpa menunggu jawaban Jurina, Nona Mieko meraih pergelangan tangannya
dan menyeret Jurina. Jurina hampir saja terjatuh dari ambang jendela, namun Nona Mieko tidak peduli dan malah mempererat cengkeramannya.
Jurina meringis kesakitan, terseret-seret ia berusaha mengikuti langkah panjang Nona Mieko. Dari sudut matanya ia bisa melihat Kanon, Churi, dan
Airin diseret keluar dari kamar pula oleh beberapa pria berseragam biru.
Berseragam biru! Mata Jurina melebar saat menyadari orang-orang yang menyeret temannya berasal dari Unit Keamanan Kampus, yang berarti
mereka berada dalam masalah besar. Tidak hanya itu, mereka juga terancam di- drop out.
Nona Mieko menggiring Jurina dan ketiga temannya ke kantor pengawas asrama, siap untuk diinterogasi malam itu juga. Saat mereka sudah
mendekati kantor, Jurina menangkap bayangan seseorang yang berdiri di depan kantor. Rena? Kenapa dia ada di sini?
Rena menengadah dan mencari mata Jurina saat ia mendekat. "Jurina," panggilnya lirih. "Kamu tahu kan, aku peduli padamu?" Suara Rena tidak
lebih dari bisikan, namun Jurina dapat mendengarnya dengan jelas. Apa? Apa yang sebenarnya terjadi?
"Terima kasih, Rena. Sekarang, kembalilah ke asrama," perintah Nona Mieko tanpa melambatkan langkahnya. Tunggu. Mustahil. Apa mungkin...
Rena menggangguk, dan menatap Jurina dengan pandangan kosong. "Re..." Jurina tidak berhasil menyelesaikan kata-katanya, karena Nona Mieko
telah mendorongnya memasuki kantor. Tidak mungkin.
Rena menggigit bibir. "Aku melakukannya karena aku peduli padamu, Jurina. Kamu mengerti, kan?"
DIALOG INTERAKTIF
1. Pemerintah akan menunggu turunnya harga minyak mentah dunia sampai Maret 2009. Keputusan menunggu ini dilakukan sebelum
memutuskan harga premium dan solar yang dilepas sesuai harga pasar. Jika harga minyak pada saatnya tetap rendah, pemerintah
segera melepas harga premium dan solar.
2. Sering terjadi konflik antara orang tua dan anaknya. Penyebabnya antara lain ekonomi dan cara pandang yang berbeda antara anak dan
anyahnya. Pokoknya kalau ayah mengatakan tidak ya harus tidak. Keputusan ayah tidak boleh ditentang siapa saja di rumah ini.
3. Ku tak mungkin jatuh cinta kan? Tidak sekarang, tidak denganmu. Pesonamu menjeratku tapi aku tak kan membiarkan diriku jatuh cinta
kepadamu. Tak kan pernah kupercaya segala tuturmu kepadaku, dan ku akan selalu menganggap bohong apa pun yang kau ucapkan
kepadaku sejak itu, termasuk yang itu ... yang dua kali kau sampaikan padaku. Sampai kapan pun kau merayuku, aku tak akan pernah
lagi percaya padamu. Kebohongan-kebohonganmu telah merusak cintaku.
4. (1)"Apakah peranku bagimu, silumankah aku?" tak ada jawabmu, hanya angin berdesir di sekeliling kita. (2)Bulan pucat tak bisa
menyembunyikan senyumanmu demi melihat kerutan di dahiku. (3)Biarlah menjadi rahasia alam akan apa yang kita rasakan ini.
(4)Jangan lagi memaknainya, menanyakannya atau mengharapkannya esok hari.
Bukti bahwa kutipan cerpen tersebut berlatar malam hari terdapat pada nomor ….
A. (1)
B. (2)
C. (3)
D. (4)
Hari-hari semenjak kepergianmu, pikiran ibu dipenuhi dirimu. Aku sering memimpikan kau datang. Bahkan siang hari pun aku sering
mendengar tangismu. Aku begitu rindu dan kerinduan itu baru terobati kalau dekat dengan mu. Duduk berjam-jam di pusaramu,
berbincang dengan mu, bahkan tertawa!
Kau senang sekali bunga. Setiap hari, kupetikkan bunga untuk kubawa ke rumah mungilmu, bahkan kau senang sekali kalau aku juga
memakainya, lalu bersenandung meninabobokanmu. Apabila aku tak pergi ke rumah mungilmu, kau yang datang ke rumahku. Selalu
memintakumemakai bunga hiasan di rambutku hingga kepalaku penuh bunga. Kalau sudah begitu, kau akan tertawa dan aku pun ikut
tertawa. Ah, bahagianya! Ternyata kau tak membenciku. Tapi kebahagiaan bercumbu dengan anakku seringterganggu orang-orang di
sekelilingku. Merekaselalu membawaku pulang ketika kau sedang berdua denganku.
“Sadar Las, nyebut ... istigfar ... ada enam anak yang masih membutuhkan perhatianmu.Relakan dia. Dia sudah tenang di sana ....”
Begitu selalu orang-orang menasehati hatiku,juga suamiku. Heran aku, apa mereka tak melihat aku sedang bercumbu dengan
anakku? Kenapa mereka melarang? Sirik ... begitu pikirku. Hari-hariku jadi begitu membosankan.Apa yang kukerjakan di mata mereka
selalu salah. Bahkan bunga-bunga kesenangan anakku yang kukumpulkan ikut jadi sasaran. Selalu mereka buang. Jelas aku jadi marah.
Kumaki mereka, kulempari batu mereka. Bahkan kukejar mereka.
Sumber: Majalah Horison, Februari 2003
Tema dari cuplikan cerpen di atas adalah….
A. kesengsaraan seorang ibu
B. gangguan jiwa yang dialami seorang ibu karena kematian anaknya
C. sikap masyarakat yang peduli terhadap tetangganya
D. seorang ibu yang sangat rindu terhadap anaknya