Hari ini hujan deras datang seharian lamanya. Aku melihat keluar jendela dan menyaksikan
genangan air mulai terbentuk dengan cukup tinggi. Kulihat Ayah dan Ibu sudah mulai
membereskan barang-baran dan mengangkatnya satu sama lain dengan posisi menumpuk. Hal
ini sudah biasa terjadi di lingkungan tempat tinggalku. Setiap hujan datang, kami sudah tahu
untuk mempersiapkan diri dari datangnya banjir.
Sesekali Ayah juga ikut memeriksa ketinggian air di luar rumah melalui jendela. Kemudian ayah
berkata “Bahaya ini. Jika hujan masih terus deras seperti ini, sebentar lagi pasti air masuk ke
dalam rumah.” Aku melihat wajah Ayah yang lebih khawatir dari biasanya. Perasaanku menjadi
tidak tenang. Aku memutuskan untuk ikut membantu Ibu membereskan barang-barang untuk
menghindari resiko terendam banjir.
Setengah jam kemudian, aku mulai merasakan air mulau menggenang di lantai rumah. “Air
sudah masuk, Bu” ucapku pada Ibu. Ibu memandangku dengan sorot mata yang sama
khawatirnya. Sepertinya banjir kali ini akan lebih parah dari biasanya. Tentu alasannya tidak
lepas dari kebiasaan buruk membuang sampah sembarang ke kali dekat rumah yang masih
dilakukan oleh banyak warga.
Ibu pun memanggil Ayah karena air yang masuk ke dalam rumah sudah semakin tinggi dan
telah mencapai setinggi lututku. “Ayah airnya semakin cepat masuk. Lebih baik kita segera
mengungsi,” saran Ibu. Kemudian Ayah pun mengangguk setuju, “Iya Bu, lebih baik kita segera
mengungsi dan membawa beberapa barang penting terlebih dahulu.”
Ayah, Ibu, dan aku pun kembali bersiap-siap memilih beberapa barang penting untuk di bawa
ke tempat pengungsian yang biasanya sudah disediakan di musim-musim banjir seperti ini.
Kami pun akhirnya meninggalkan rumah kami yang semakin lama terus semakin tinggi air
masuk ke dalamnya. Sesampainya di pengungsian, ternyata sudah banyak keluarga lain yang
juga memutuskan meninggalkan rumahnya karena banjir kali ini sepertinya akan lebih parah
ketinggian airnya dibandingkan sebelumnya.
Selama di pengungsian hujan pun tidak kunjung berhenti. Aku pun diminta meliburkan diri dari
sekolah oleh Ayah dan Ibu karena sebagian besar buku dan pakaian seragam pun tidak ada
yang kami bawa ke pengungsian. Tidak ada yang menyangka hujan deras terus mengguyur
daerah rumah kami hingga 3 hari setelahnya.
Hari keempat setelah hujan berhenti, kami kembali ke rumah. Kondisi rumah sudah sangat
berantakan dan banyak dari barang-barang kami yang rusak serta hanyut terbawa air. Ayah
memandang ke arah aku dan Ibu lalu mengatakan “Hujan sudah berhenti, sekarang saatnya
kita kembali membersihkan rumah kita. Kalian mau membantu Ayah bersih-bersih kan?” Aku
dan Ibu serentak menjawab dengan anggukan.
Saat kami sedang bersih-bersih terdengar salam dari luar rumah “Assalamualaikum.” Aku pergi
ke depan rumah dan menemukan sahabat-sahabatku di sekolah. Ternyata mereka datang
untuk menanyakan kenapa aku tidak masuk sekolah selama 3 hari terakhir. Aku pun
menjelaskan mengenai banjir mendadak yang melanda lingkungan tempat tinggalku.
Melihat aku, Ibu, dan Ayah yang sedang bersih-bersih mereka pun menawarkan diri untuk
membantu kami. Teman-teman sekolahku membantu hingga rumah kembali bersih dan
kemudian menghabiskan waktu bersamaku untuk menginformasikan pelajaran-pelajaran yang
aku lewatkan selama tidak masuk. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti mereka.
Sahabat yang ada di kala aku susah dan tidak ragu mengulurkan bantuan di masa sulitku.
Unsur-unsut intrinsik pada contoh cerpen singkat tentang persahabatan di atas adalah sebagai
berikut:
Tema: Persahabatan
Setting: Rumah
Penokohan:
Aku: sabar, menurut pada orang tua, rajin membantu orang tua
I. ANALISIS
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
1. Tipografi
Tipografi yang dimiliki oleh puisi-puisi sajak “Bukan Beta Bijak Berperi” merupakan jenis
tipografi yang teratur karena memiki jumlah suku kata yang sama yaitu 8-12 suku kata. Selain
itu juga memiliki jumlah kata yang tidak berbeda jauh dan persamaan bunyi yang serupa. Hal
tersebut dimaksudkan agar irama dan rimanya menjadi teratur dan semakin indah untuk
diperdengarkan dan dinikmati pembaca.
2. Diksi
Diksi yang digunakan disesuaikan dengan rimanya, sehingga mengambil sebagian diksi dari
bahasa daerah dan bahasa lain. Diksi tersebut cocok digunakan dalam puisi tersebut. Rimanya
sesuai dan memperindah puisi. Akan tetapi, diksi yang diambil dari bahasa tersebut kurang
familiar di kalangan pembaca. Sehingga membuat pembaca yang masih awam merasa
kesulitan dalam menafsirkan makna dan amanat dari puisi tersebut.
Diksi-diksi yang digunakan tersebut seperti, beta, bijak, berperi, madahan, mair, seloka, singkiri,
sukma, laun, kalbu, mat, digamat, nak, mamang, dan alun. Diantara kata-kata terebut ada yang
masih sangat jarang digunakan dalam karya sastra misalnya,
a. Berperi : berkata
b. Madahan : pujian
e. Singkiri : menghindari
i. Nak : hendak
Puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” sangat sesuai untuk pembaca yang ingin menambah kosa kata
baru di dunia kebahasaan. Selain itu, memperluas pandangan terhadap hal-hal yang baru.
Bahasa kiasan yang terdapat pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” terdapat tiga macam majas,
yaitu:
a. Majas Hiperbola
b. Majas Personifikasi
c. Majas Tautologi
1) Untai rangkaian seloka lama
d. Majas Repetisi
4. Rima
Rima yang terdapat pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” bersajak silang a b a b. Dalam
persajakan tersebut terdapat pula Aliterasi dan Asonansi.
Aliterasi yang terdapat pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” yaitu;
a. Bait 1
b. Bait 2
d. Bait 4
e. Bait 5
Asonansi yang terdapat pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” adalah,
a. Bait 2
b. Bait 3
1) Matnya digamat rasain waktu
5. Imaji
Imaji yang terdapat pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” adalah unsur dengaran. Unsur
dengaran tersebut diterangkan pada beberapa baris puisi, yaitu:
Tema dari puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” adalah Kebebasan berkarya sastra.
Amanat yang dapat diambil dari puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” adalah:
b. Jangan mudah putus asa dalam melakukan pekerjaan, orang lain akan tetap menghargainya.
e. Jangan bimbang dan takut dalam melakukan hal yang dianggap benar.
7. Makna Puisi
Makna dari puisi diatas adalah penulis mengungkapkan bahwa dirinya tidak dapat berkata
dengan bijaksana. Tidak pandai mengubah pujian dari syair. Penulis bukanlah budak Negara,
walaupun harus menghadapi kematian. Ketentuan penuh telah penulis abaikan. Bahkan
serangkaian sajak seloka lama, penulis juga telah mengabaikannya, karena penulis
menganggap lagunya lahir dari jiwanya. Penulis merasa kesulitan untuk dapat menyampaikan
irama yang terdapat dalam hati sanubari penulis. Lagu berdengung dengan lemah dan pelan,
iramanya dilagukan sesuai dengan keadaan dan waktu. Kadang penulis merasakan kesusahan
yang sesaat, karena menanti pujian. Penulis juga merasa sulit untuk dapat mendekat karena
terperangkap dan terkikis oleh kebingungan dan ketakutan. Penulis tidak pandai dalam berlagu
karena dapat melemahkan rangkaian pantun. Penulis tidak melakukan hal yang baru karena
hanya mendengar lantunan lagu.