Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan bertambahnya usia harapan hidup orang Indonesia, jumlah manusia

lanjut usia di Indonesia akan bertambah banyak pula. Dengan demikian, masalah

penyakit akibat penuaan akan semamkin banyak kita hadapi. Salah satu penyakit

yang harus diantisipasi adalah penyakit osteoporosi dan patah tulang. Pada situasi

mendatang, akan terjadi perubahan demografis yang akan meningkatkan populasi

lanjut usia dan meningkatkan terjadinya patah tulang karena osteoporosis.

Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang ditandai

dengan pengurangan massa tulang yang disertai kemunduran mikroarsitektur tulang

dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.

Keadaan ini berisiko tinggi karena tulang menjadi rapuh dan mudah retak bahkan

patah. Banyak orang tidak menyadari bahwa osteoporosis merupakan penyakit

tersembunyi (silent diseases). Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita

daripada pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun

kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun sedangkan pada pria hormon testoteron

turun pada usia 65 tahun. Menurut statistik dunia 1 dari 3 wanita rentan terkena

penyakit osteoporosis.

Insiden osteoporosis meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi usia

lanjut. Pada tahun 2005 terdapat 18 juta lanjut usia di Indonesia, jumlah ini akan

bertambah hingga 33 juta pada tahun 2020 dengan usia harapan hidup mencapai 70

tahun. Menurut data statistik tahun 2004 lebih dari 44 juta orang Amerika mengalami
osteopenia dan osteoporosis. Pada wanita usia ≥ 50 tahun terdapat 30% osteoporosis,

37-54% osteopenia dan 54% berisiko terhadap fraktur osteoporotik.

Menurut WHO (2012), angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat

osteoporosis di seluruh dunia mencapai angka 3,7 juta orang dan diperkirakan angka

ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3 juta orang pada tahun 2050 dan 71%

kejadian ini akan terdapat di negara-negara berkembang. Di Indonesia 19,7% dari

jumlah lansia atau sekitar 3,6 juta orang diantaranya menderita osteoporosis. Lima

provinsi dengan risiko osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatra Selatan (27,75%),

Jawa 1 Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatra Utara (22,82%), Jawa

Timur (21,42%), Kalimantan Timur (10,5%). Prevalensi wanita yang menderita

osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50-59 tahun yaitu 24% sedang pada

pria usia 60-70 tahun sebesar 62%. (Kemenkes, 2013)

Adapun pada pasien fraktur osteoporosis pada tingkatan lebih lanjut akan

mengalami dampak sosial maupun dampak ekonomi. Dampak ekonomi meliputi

biaya pengeluaran langsung dan tidak langsung. Biaya pengeluaran langsung adalah

biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan, misalnya di Amerika Serikat untuk

pengobatan osteoporosis, biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika

Serikat adalah sebesar Rp. 90.000.000.000.000,- (Sembilan puluh trilyun rupiah)

sampai Rp.135.000.000.000.000,- (Seratus tiga puluh lima trilyun rupiah)

pertahun. Sedangkan biaya pengeluaran tidak langsung adalah hilangnya waktu kerja

/ upah atau produktivitas, ketakutan/kecemasan atau depresi, dan biaya lain yang

dikeluarkan selain untuk pengobatan seperti transportasi dan akomodasi selama

perawatan pasien. (KemenKes, 2008).


Sebenarnya kejadian osteoporosis dapat ditunda ataupun dicegah, sejak

pembentukan tulang dalam kandungan dan balita (bawah lima tahun). Selanjutnya

usia pencegahan yang paling berarti adalah dari usia 8-16 tahun, dimana terjadi

pemadatan tulang dan percepatan tumbuh sewaktu remaja. Ternyata tidak hanya

kuantitas tulang yang berpengaruh, tetapi juga kualitas tulangnya. Investasi terhadap

tulang terjadi pada usia dini, yang mencapai puncaknya pada awal usia 20 tahunan

sampai 30 tahun.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Setelah membaca makalah ini diharapkan dapat memahami tentang

konsep osteoporosis serta bagaimana proses keperawatan pada penyakit

tersebut dan mampu menerapkannya dalam memberikan pelayanan kesehatan

nyata

2. Tujuan Khusus

a. Meningkatkan pengetahuan mengenai pengertian, etiologi,

patofisiologi, pemeriksaan diagnostik, dan penatalaksanaan medis,

penatalaksanaan Keperawatan pada klien osteoporosis.

b. Meningkatkan pengetahuan mengenai asuhan keperawatan pada klien

osteoporosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang,

dan porousberarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang

yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya

rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan

kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra, 2009).

Osteoporosis adalah penyakit metabolisme tulang yang kronik dan progresif,

yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan struktural jaringan

tulang, yang dapat mengakibatkan kerapuhan tulang. (Sharon L. Lewis, 2007)

Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya

massa tulang dan adanya perubahan mikro-arsitektur jaringan tulang yang berakibat

menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga tulang

mudah patah. Definisi lain, osteoporosis adalah kondisi dimana tulang menjadi tipis,

rapuh, keropos, dan mudah patah akibat berkurangnya massa tulang yang terjadi

dalam waktu yang lama.. Secara statistik, osteoporosis didefinisikan sebagai keadaan

dimana Densitas Mineral Tulang (DMT) berada di bawah nilai rujukan menurut

umur atau standar deviasi berada di bawah nilai rata- rata rujukan pada usia

dewasa muda (KemenKes, 2011)

B. Etiologi

Menurut KemenKes (2011), Klasifikasi osteoporosis dibagi menjadi 3

golongan besar menurut penyebabnya, yaitu: Osteoporosis Primer adalah


osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit (proses alamiah), dan

Osteoporosis sekunder bila disebabkan oleh berbagai kondisi klinis/penyakit,

seperti infeksi tulang, tumor tulang, pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas

yang lama

1. Osteoporosis Primer

Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya massa tulang

dan atau terhentinya produksi hormon (khusus perempuan) disamping

bertambahnya usia. Osteoporosis primer terdiri dari :

a. Osteoporosis Primer Tipe I

Sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopause, yang

terjadi pada wanita pasca menopause. terjadi karena kurngnya hormon

estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur

pengangkutan kalsium kedalam tulang. Biasanya gejala timbul pada

perempuan yang berusia antara 51-75 tahun, tetapi dapat muncul lebih

cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen produksinya menurun 2-3 tahun

sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah meopause.

Hal ini berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu

5-7 tahun pertama setelah menopause

b. Osteoporosis Primer Tipe II

Sering disebut dengan istilah osteoporosis senilis, yang terjadi pada

usia lanjut. Pasien biasanya berusia ≥70 tahun, pria dan wanita

mempunyai kemungkinan yang sama terserang, fraktur biasanya pada

tulang paha. Selain fraktur maka gejala yang perlu diwaspadai adalah
kifosis dorsalis bertambah, makin pendek dan nyeri tulang

berkepanjangan.

Pada osteoporosis primer tipe II, kemungkinan merupakan akibat dari

kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidak

seimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan

pembentukan tulang baru(osteoblast).

2. Osteoporosis Skunder

Osteoporosis sekunder, adalah osteoporosis yang disebabkan oleh

berbagai penyakit tulang (chronic rheumatoid, artritis, tbc spondilitis,

osteomalacia, dll), pengobatan steroid untuk jangka waktu yang lama,

astronot tanpa gaya berat, paralise otot, tidak bergerak untuk periode lama,

hipertiroid, dan lain-lain.

3. Osteoporosis Juvenil Idiopatik

merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal

ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi

hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki

penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang

C. Patofisiologi

Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari Adanya massa

puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang. Massa puncak

tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor genetic, sedangkan faktor

yang menyebabkan penurunan massa tulang adalah proses ketuaan, menopause,

faktor lain seperi obat obatan atau aktifitas fisik yang kurang serta faktor genetik.
Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang

menyebabkan Densitas tulang menurun yang merupakan faktor resiko terjadinya

fraktur. Kejadian osteoporosis dapat terjadi pada setiap umur kehidupan.

Penyebabnya adalah akibat terjadinya penurunan bone turn over yang terjadi

sepanjang kehidupan. Satu dari dua wanita akan mengalami osteoporosis, sedangkan

pada laki-laki hanya 1 kasus osteoporsis dari lebih 50 orang laki-laki. Dengan

demikian insidensi osteoporosis pada wanita jauh lebih banyak daripada laki-laki.

Hal ini diduga berhubungan dengan adanya fase masa menopause dan proses

kehilangan pada wanita jauh lebih banyak.

Setelah usia 30 tahun, resorpsi tulang secara perlahan dimulai akhirnya akan

lebih dominan dibandingkan dengan pembentukan tulang. Kehilanga massa tulang

menjadi cepat pada beberapa tahun pertama setelah menopause dan akan menetap

pada beberapa tahun kemudian pada masa postmenopause. Proses ini terus

berlangsung pada akhirnya secara perlahan tapi pasti terjadi osteoporosis. Percepat

osteoporosis tergantung dari hsil pembentukan tulang sampai tercapainya massa

tulang puncak.

Massa tulang puncak ini terjadi sepanjang awal kehidupan sampai dewasa

muda. Selama ini, tulang tidak hanya tumbuh tetapi juga menjdai solid. Pada usia

rata – rata 25 tahun tulang mencapai pembentuk massa tulang puncak. Walaupun

demikian massa puncak tulang ini secara individual sangat bervariasi dan pada

umumnya pada laki-laki lebih tinggi dibanding pada wanita. Massa puncak tulang ini

sangatlah penting, yang akan menjadi ukuran seseorang menjadi risiko terjadinya

fraktur pada kehidupannya. Apabila massa puncak tulang ini rendah maka akan
mudah terjadi fraktur kan saja, tetapi apabila tinggi makan akan terlindung dari

ancaman fraktur.
D. Manifestasi Klinis

Osteoporosis dimanifestasikan dengan :

1. Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata.

2. Nyeri timbul mendadak.

3. Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang.

4. Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur.

5. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan

aktivitas.

6. Deformitas vertebra thorakalis à Penurunan tinggi badan

E. Faktor Resiko

Faktor risiko osteoporosis pada dasarnya terdiri dari faktor risiko yang

dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat modifikasi.

1. Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi

a. Usia

Usia adalah salah satu dari faktor risiko osteoporosis yang tidak dapat

direkayasa. Pada lansia daya serap kalsium akan menurun seiring

dengan bertambahnya usia.

b. Gender.

Diperkirakan selama hidup, wanita akan kehilangan massa tulang

30% - 50%, sedangkan pria hanya 20%-30%, namun tidak berarti

semua wanita yang telah mengalami menopause akan mengalami

osteoporosis.
c. Genetik

Diperkirakan 80% kepadatan tulang diwariskan secara genetik

sehingga dapat diartikan bahwa osteoporosis dapat diturunkan.

d. Gangguan hormonal

1) Wanita yang memasuki masa menopause mengalami

pengurangan hormon esterogen, sehingga pada umumnya wanita

diatas usia 40 tahun lebih banyak terkena osteoporosis dibanding

dengan pria.

2) Pria yang mengalami defisit testosteron ( hormon ini dalam darah

diubah menjadi estrogen ).

3) Ganguan hormonal lain seperti : tiroid, para retiroid, insulin dan

gluco corticoid.

2. Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi

a. Imobilitas

Imobilitas dalam waktu yang lama memiliki risiko yang lebih tinggi

untuk terkena osteoporosis dibandingkan menopause. Imobilitas akan

berakibat pada pengecilan tulang dan pengeluaran kalsium dari tubuh

(hiperkalsiuria). Imobilitas umumnya dialami orang yang berada

dalam masa penyembuhan yang perlu mengistirahatkan tubuhnya

untuk waktu lama.

b. Potur Tubuh Kurus

Postur tubuh yang kurus cenderung mengalami osteoporosis

dibandingkan dengan postur ideal (dengan berat badan ideal), karena


dengan postur tubuh yang kurus sangat mempengaruhi tingkat

pencapaian massa tulang.

c. Kebiasaan (mengkonsumsi alkohol, kopi, minuman yang

mengandung kafein, dan rokok yang berlebih)

Dengan berhenti merokok secara total, membuat esterogen dalam

tubuh seseorang tetap beraktifitas dan juga dapat mengeliminasi risiko

kehilangan sel pembentuk tulang selama hidup yang mencakup 20% -

30% pada pria dan 40%-50% pada wanita. Minuman yang

mengandung alkohol, kafein dan soda berpotensi mengurangi

penyerapan kalsium ke dalam tubuh, sehingga jenis minuman

tersebut dikategorikan sebagai faktor risiko osteoporosis

d. Asupan Gizi Rendah

Pola makan yang tidak seimbang yang kurang

memperhatikan kandungan gizi, seperti kalsium, fosfor, seng, vitamin

B6, C, D, K, serta phytoestrogen (estrogen yang berasal dari tumbuh-

tumbuhan, seperti toge), merupakan faktor risiko osteoporosis.

e. Kurang terkena sinar matahari

Orang jarang terkena sinar matahari, terutama sinar pada pagi dan

sore hari, karena pada saat tersebut sinar dibutuhkan untuk memicu

kulit membentuk vitamin D3, dimana vitamin D (D3 + D2/berasal

dari makanan) di ubah oleh hepar dan ginjal menjadi kalsitriol

f. Kurang aktifitas fisik

Kurangnya olahraga dan latihan secara teratur, menimbulkan efek

negatif yang menghambat proses pemadatan massa tulang dan


kekuatan tulang. Namun olahraga yang sangat berlebih (maraton,

atlit) pada usia muda, terutama anak perempuan yang telah haid, akan

menyebabkan haidnya terhenti, karena kekurangan estrogen, sehingga

penyerapan kalsium berkurang dengan segala akibatnya.

g. Penggunaan obat untuk waktu lama

Pasien osteoporosis sering dikaitkan dengan istirahat total yang terlalu

lama akibat sakit, kelainan tulang, kekurangan bahan pembentuk dan

yang terutama adalah pemakaian obat yang mengganggu metabolisme

tulang. Jenis obat tersebut antara lain : kortikosteroid, sitostatika

(metotreksat), anti kejang, anti koagulan (heparin, warfarin).

h. Lingkungan

Lingkungan yang berisiko osteoporosis, adalah lingkungan

yang memungkinkan orang tidak terkena sinar matahari dalam jangka

waktu yang lama seperti : daerah padat hunian, rumah susun,

apartemen, dan lain-lain.

Berikut ini adalah klasifikasi faktor risiko osteoporosis yang dapat dimodifikasi yang

menentukan prognosis osteoporosis sekunder (Tabel 1)

Tabel 1. Penggolongan faktor risiko osteoporosis yang dapat dimodifikasi

No Penggolongan Faktor Resiko

1 Resiko Tinggi Imobilitas pada Pasien dalam jangka waktu


yang lama (anggota gerak yang mengalami
kelumpuhan, contoh stroke)

2 Resiko Sedang Badan yang kurus (BB kurang dari normal)


Konsumsi alkohol

Penggunaan steroid (suntikan KB) dalam


waktu yang lama dan kejadian laktasi
amenorhea Penggunaan obat kortison dan
obat osteoatritis (OA) dalam jangka lama

3 Resiko Rendah Konsumsi rokok/tembakau Kurang aktifitas


fisik Kurang konsumsi kalsium.

Sumber : Brownson .RC, Remington PL, Davis JR. Chronic Disease Epidemiology And Control.
American Public Health Association, Second editon 2001, p. 479

F. Fraktur (patah tulang) Pada Pasien Osteoporosis

Tingkat lanjut dari osteoporosis dapat berupa fraktur osteoporotik, yang

paling sering adalah: fraktur panggul, fraktur vertebra dan fraktur pergelangan

tangan. Sedangkan fraktur osteoporosis yang paling serius ialah fraktur panggul

(Gambar1). Fraktur pada pasien osteoporosis pada usia lanjut tidak hanya

berpengaruh pada kualitas hidup, namun juga mengancam jiwa (life threatening)

1. Fraktur Osteoporosis Panggul

a. Prognosis semakin jelek jika operasi ditunda hingga lebih dari 3 hari

b. Prognosis pasien fraktur panggul pasca terapi terkini:

1) Sepertiga akan tetap di tempat tidur/kursi roda

2) Sepertiga secara fungsional terbatas dan memerlukan bantuan

3) Hanya sepertiganya kembali fungsional secara penuh

Gambar 1. Fraktur osteoporosis panggul


2. Fraktur Osteoporosis Vertebrae

Kebanyakan asimtomatik atau menimbulkan gejala yang minimal untuk itu

perlu dilakukan anamnesis (investigasi). Antara umur 60-90 tahun, insidennya

pada wanita meningkat 20 kali lipat, dan pada laki-laki meningkat 10 kali lipat.

Lokalisasi biasanya mid thoracic atau thoracolumbar junction (daerah paling

lemah).

Kualitas hidup Pasien lebih rendah daripada Pasien dengan fraktur pinggul.

Sebanyak 4% memerlukan bantuan dalam kehidupan sehari-hari. Beban

ekonomis pada umumnya karena perawatan jalan, asuhan keperawatan

sementara, dan kehilangan waktu kerja.

Gambar 2. Fraktur osteoporotik vertebra


Adapun konsekuensi jangka panjang dari fraktur kompresi vertebra

(FKV)

adalah:

a. Gangguan fungsi

1) Deformitas tulang belakang dengan nyeri yang mengganggu

2) Menurunnya mobilitas dengan akibat bertambahnya kehilangan massa

tulang.

3) Penekanan pada abdomen sehingga menurunkan selera makan

4) Gangguan tidur

b. Penurunan kualitas hidup

1) Aktivitas menurun

2) Depresi meningkat

3) Kepercayaan diri menurun

4) Kecemasan meningkat

5) Peran sosial menurun

6) Meningkatnya ketergantungan terhadap orang lain

c. Gangguan pulmoner (paru):

1) Menurunkan fungsi pulmoner

2) Fungsi paru (FVC, FEV 1) menurun secara signifikan

3) Satu FKV thorakal menyebabkan kehilangan 9% forced vital capacity

ƒ Mortalitas pasien FKV meningkat 23 – 34% dibanding dengan pasien

tanpa FKV

ƒ Penyebab kematian tersering adalah penyakit paru (PPK dan


pneumonia)

3. Fraktur Osteoporosis Pergelangan Tangan

a. Pasien dengan fraktur pergelangan tangan, memiliki risiko fraktur panggul

dua kali lebih besar dikemudian hari

b. Sebanyak 90% pasien fraktur osteoporosis pergelangan tangan dioperasi

c. Pada wanita, umumnya terjadi dalam 4 tahun pasca menopause

d. Puncak kejadian pada umur 60-70 tahun

e. Angka kesakitan lebih tinggi dibandingkan fraktur panggul.

Gambar 3. Fraktur osteoporosis pergelangan tangan

4. Dampak Osteoporosis Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut

Beberapa penelitian di bidang kedokteran gigi membuktikan bahwa

terjadinya osteoporosis pada tulang paha, tulang belakang, akan diikuti dengan

oste porosis pada tulang rahang. Penelitian Kusdhany (2003) pada 226
perempuan pasca menoppause di Bekasi menjumpai bahwa perempuan

pasca menopause dengan tulang rahang normal, yang memiliki jumlah gigi yang

kurang dari 19 buah sebesar 26,61% sedang perempuan pasca menopause

dengan osteoporosis, tulang rahang yang mempunyai jumlah gigi kurang dari 19

adalah sebesar 51,28 %.

Tulang yang mengalami osteoporosis kurang dapat menahan beban yang

disebabkan oleh kontaknya gigi tiruan dengan gigi lawannya, sehingga memicu

penyusutan tulang rahang secara cepat. Keadaan ini mengakibatkan Pasien

osteoporosis tulang rahang yang sudah menggunakan gigi tiruan akan merasakan

gigi tiruannya menjadi cepat longgar dan goyang apabila dipakai mengunyah

makanan

Suatu penelitian di USA menyimpulkan bahwa Pasien osteoporosis yang

telah memakai gigi tiruan memerlukan perbaikan gigi tiruannya sebanyak 3 kali

lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita osteoporosis.

Dampak lain osteporosis tulang rahang adalah adalah peradangan gusi, mudah

berdarah dan tampak kemerahan, lama kelamaan dapat menimbulkan

kegoyangan gigi.

G. Pencegahan Osteoporosis

Upaya pencegahan osteoporosis hendaknya memperhatikan kondisi puncak

massa tulang, dimana kondisi tersebut optimal pada masa dewasa muda. Dengan

tercapainya puncak massa tulang optimal pada masa dewasa muda, osteoporosis

yang mungkin timbul pada usia tua akan lebih ringan.


Pada umumnya puncak massa tulang akan tercapai pada usia 20 sampai 30

tahun, setelah itu akan menurun penyebab utamanya adalah proses penuaan, absorbsi

kalsium menurun dan fungsi para tiroid meningkat. Kejadian oestoponia pada wanita

dengan hipoestrogen akan menyebabkan kehilangan jaringan tulang pada wanita 2-

3% pertahun pada masa perimenipause dan hal ini berlangsung terus menerus sampai

5-10 tahun pasca menapause, sehingga mencapai ambang patah tulang. Setelah

usia

65 tahun memasuki usia geriatri tetap terjadi kehilangan massa tulang dengan

kecepatan yang lebih rendah.

Grafik 2. Puncak Massa Tulang Pada Wanita dan Laki – laki.

Sumber : A. Rachman Irchamsyah. Menopause Pada Wanita dan


Osteoporosis, Seminar sadar Dini Cegah Osteoporosis Menuju
Masyarakat Bertulang Sehat, Jakarta, 2005.

Faktor penting yang menentukan puncak massa tulang adalah: 1) Status

hormonal, 2) Asupan kalsium, 3) Aktivitas fisik, 4) Faktor genetik dan konstitusional

(ras, jenis kelamin, dan lain-lain). Karena faktor genetik dan konstitusional tidak

mungkin dimanipulasi, maka faktor lainnya, seperti nutrisi dengan asupan

kalsium yang cukup, aktivitas fisik, vitamin D dan sinar matahari merupakan hal

penting untuk dimanfaatkan dalam pengobatan osteoporosis, disamping

memperbaiki gaya hidup seperti tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.
Massa tulang optimal pada masa dewasa harus diusahakan agar tercapai

dengan menjamin asupan nutrisi yang mengandung cukup kalsium selama masa

kanak-kanak sampai pada saat terhentinya pertumbuhan tulang. Latihan fisik yang

teratur juga penting untuk meningkatkan massa tulang selama masa pembentukan

tulang. Setelah puncak massa tulang tercapai, pada masa dewasa, maka asupan

kalsium yang adekuat, latihan fisik yang teratur harus tetap dipertahankan selama

hidup

1. Gizi

Tabel berikut ini menggambarkan kebutuhan minimal asupan kalsium untuk

setiap orang per hari dan tabel kandungan kalsium per 100 gr bahan makanan, akan

tetapi kita juga harus tetap memperhatikan faktor- faktor yang dapat menghambat

penyerapan kalsium dalam usus, seperti; makanan yang memiliki serat berlebih,

makanan yang memiliki protein tinggi (daging kambing, daging ayam, dan lain-

lain), konsumsi fosfor yang berlebih (melebihi 1500 mg, seperti; soft drink, ikan

tuna, daging), garam, kebiasaan merokok, kopi dan alkohol.

Tabel 2. Kebutuhan kalsium perhari untuk berbagai usia.


Usia Kalsium (mg/hr)
Bayi dan anak – anak
0 – 6 bulan 300 – 400
7 – 12 bulan 400
1 – 3 tahun 500
4 – 6 tahun 600
7 – 9 tahun 700
Remaja
10 – 18 tahun 1300
(khususnya pada masa pertumbuhan)
Perempuan
19 tahun – menopause 1000
Setelah menopause 1300
Hamil 1200
Menyusui 1000
Laki – laki
19 – 65 tahun 1000
> 65 tahun 1300

Sumber : FAO/WHO : Human Vitamin and Mineral Requirements, 2002 (Data berdasar
pengelompokan di Eropa Barat, Amerika, dan Kanada)

Tabel 3. Daftar Kandungan Kalsium per 100 gr bahan makanan

No Kelompok Bahan Makanan Bahan Makanan Mg Ca / 100 gr


Bahan
1 Susu dan produknya Susu sapi 116
Susu kambing 129
Asi Keju 33
Youghurt 90 – 1180

Susu pabrik 150


(Kalsium) 1450 - 2000

2 Ikan Teri kering 1200


Rebon 769
Teri segar 500
Sarden kaleng 354
(dengan tulang)

3 Sayuran Daun pepaya 353


Bayam 267
Sawi 220
Brokoli 110
4 Kacang – kacangan dan hasil Kacang panjang 347
olahannya Susu kedelai (250 ml) 250
Tempe 129
Tahu 124

5 Serealia Jali 213


Havermut 53
Sumber : Sayogo, Savitri, Osteoporosis dan Gizi, Seminar Sadar Dini Segah Osteoporosis Menuju
Masyarakat Bertulang Sehat, Jakarta 17 September 2005

2. Obat – obatan

Berhati – hati dalam meggunakan obat – obatan. Beberapa jenis obat ternyata

dapat mengganggu kinerja tulang. Salah satu contohnya adalah obat kortikosteroid

yang dapat menekan kerja hormon pembentukan tulang. Contoh lain adalah

antasida, obat pencahar, cholestiramine, obat diuretik, anti gout dan beberapa jenis

obat anti rematik. Obat-obatan tersebut memiliki efek mengganggu penyerapan

kalsium.

Obat antasida yang umum dikenal sebagai obat anti sakit maag dapat

menghambat penyerapan kalsium. Penghambatan dipicu oleh magnesium dan

alumunium hidroksida yang mampu mengikat kalsium dan mengubahnya menjadi

bentukan baru yang sulit diserap. Obat cholesteramine yang lazim digunakan

untuk mengikat asam empedu agar terjadi penurunan kolesterol darah juga dapat

menurunkan kadar kalsium tubuh akibat pembuangan melalui urine.

3. Batasi Konsumsi Garam

Garam dapur (NaCl) terdiri dari unsur natrium (Na) dan klorida (Cl).

Konsumsi natrium (sodium) yang berlebih, baik yang berasal dari garam dapur

maupun monosodium glutamat (MSG) dapat berdampak buruk terhadap


kesehatan. Selain memiliki efek hipertensi, natrium juga berpotensi untuk

menghilangkan kalsium dari tubuh. Natrium akan mengeluarkan kalsium dari

tubuh. Natrium akan mengeluarkan kalsium melalui urine. Cara menghindari

kehilangan kalsium akibat natrium adalah dengan membatasi konsumsinya.

Sebaiknya hindari makanan-makanan tinggi natrium dan makanan awetan yang

menggunakan garam sebagai pengawet.

4. Cukupi Konsumsi Vitamin D

Vitamin D diketahui mampu memelihara kesehatan tulang dengan cara

meningkatkan penyerapan kalsium dan sistem pencernaan, serta mengurangi

pembuangannya dari ginjal.

5. Aktifitas Fisik

Senam pencegahan osteoporosis ditujukan untuk meningkatkan densitas

tulang (kepadatan massa tulang), dan senam osteoporosis ditujukan kepada Pasien

osteoporosis untuk mencegah terjadinya patah tulang & meningkatkan densitas

tulang (kepadatan massa tulang). Berikut ini adalah jenis – jenis latihan fisik yang

boleh dilakukan serta tidak boleh dilakukan oleh Pasien osteoporosis :

 Empat Jenis Latihan Fisik Yang Boleh Dilakukan

a. Lakukan latihan fisik jalan kaki secara teratur, dengan kecepatan

minimal 3 mph (4,5 km) per jam selama 50 menit, 5 kali seminggu.

b. Lakukan latihan untuk kekuatan otot, menggunakan beban bebas

(dumbel kecil) atau dengan mesin latih beban. Latihan ini ditekankan

untuk melatih darerah panggul, paha, punggung, lengan, pergelangan

tangan dan bahu.

c. Lakukan latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan kelincahan


d. Lakukan latihan ekstensi punggung, latihan ini dilakukan dengan cara

duduk di kursi serta melengkungkan punggung ke belakang.

 Empat Jenis Latihan Fisik Yang Tidak Boleh Dilakukan

a. Jangan lakukan latihan fisik yang memberikan benturan dan

pembebanan pada tulang punggung, seperti : melompat, senam

aerobik benturan keras, jogging atau lari.

b. Jangan membungkukan badan kedepan dari pinggang dengan

punggung melengkung (spinal flexion), karena bahaya kerusakan

pada ruas tulang belakang, seperti: sit-up, crunch, mendayung, meraih

jari – jari kaki.

c. Jangan melakukan latihan fisik atau aktifitas yang mudah

menyebabkan jatuh, seperti : senam dingklik atau trampolin, atau

jangan melakukan latihan pada lantai yang licin.

d. Jangan melakukan latihan menggerakan tungkai kearah samping atau

menyilang badan dengan memakai beban (anduksi dan aduksi)

Setiap latihan fisik harus diawali dengan pemanasan untuk:

1. Menyiapkan otot dan urat agar meregang secara perlahan dan mantap

sehingga mencegah terjadinya cedera.

2. Meningkatkan denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh sedikit demi

sedikit.

3. Menyelaraskan koordinasi gerakan tubuh dengan keseimbangan gerak

dan,

4. Menimbulkan rasa santai.

Lakukan selama 10 menit dengan jalan ditempat, gerakan kepala,


bahu, siku dan tangan, kaki, lutut dan pinggul. Kemudian lakukan

peregangan selama kira-kira 5 menit. Latihan peregangan akan

menghasilkan selama kira-kira 5 menit. Latihan peregangan akan

menghasilkan kelenturan otot dan kemudahan gerakan sendi. Latihan ini

dilakukan secara berhati-hati dan bertahap, jangan sampai menyebabkan

cedera. Biasanya dimulai dengan peregangan otot-otot lengan, dada,

punggung, tungkai atas dan bawah, serta otot-otot kaki Latihan inti, kira-

kira 20 menit, merupakan kumpulan gerak yang bersifat ritmis atau

berirama agak cepat sehingga mempunyai nilai latihan yang bermanfaat.

Utamakan gerakan, tarikan dan tekanan pada daerah tulang yang

sering mengalami osteoporosis, yaitu tulang punggung, tulang paha,

tulang panggul dan tulang pergelangan tangan.Kemudian lakukan juga

latihan beban. Dapat dibantu dengan bantal pasir, dumbble, atau apa saja

yang dapat digenggam dengan berat 300-1000 gram untuk 1 tangan,

mulai dengan beban ringan untuk pemula, dan jangan melebihi 1000

gram. Beban untuk tulang belakang dan tungkai sudah cukup memdai

dengan beban dari tubuh itu sendiri.

Setelah latihan inti harus dilakukan pendinginan dengan memulai

gerakan peregangan seperti awal pemanasan dan lakukan gerakan

menarik napas atau ambil napas dan buang napas secara teratur. Jika

masih memungkinkan. Lakukan senam lantai kira-kira 10 menit. Latihan

ini merupakan gabungan peregangan, penguatan dan koordinasi. Lakukan

dengan lembut dan perlahan dalam posisi nyaman, rileks dan napas yang

teratur (Santoso, 2009).


5. Paparan sinar matahari

Sinar matahari dipagi hari dan sore hari (menjelang magrib), berfungsi dalam

memicu kulit membentuk vitamin D3. Dalam menetralisasi tulang, dimana sel

osteoblas (sel pembentuk tulang) membutuhkan kalsium sebagai bahan dasar, dan

hormon kalsitriol. Kalsitriol ini berasal dari vitamin D3 kulit dan vitamin D2

yang berasal dari makanan (mentega, keju, telur, ikan). Kalsitriol inilah

yang merangsang osteoblas dalam menetralisasi tulang.

Berdasarkan hasil penelitian Menzies Research Institute, Horbat-Australia,

pada anak-anak tidak akan tumbuh optimal atau bahkan terhenti pertumbuhanya

jika kurang memperoleh vitamin D. Agar diperoleh vitamin D yang cukup,

sekurang kurangnya seorang anak terpapar matahari selama 8 jam dalam

seminggu (Kutub Selatan). Namun untuk anak ataupun orang dewasa di

Indonesia, cukup tertapar oleh sinar matahari pagi dan sore selama 5 sampai 15

menit sebanyak 3 kali dalam seminggu.

H. Penatalaksanaan Medis

a. Terapi

Terapi dan pengobatan osteoporosis bertujuan untuk meningkatkan

kepadatan tulang untuk mengurangi retak tambahan dan mengontrol rasa

sakit. Untuk terapi dan pengobatan osteoporosis sebenarnya memerlukan

suatu tim yang terdiri dari multidisipliner minimal antara lain departemen

bedah, departemen penyakit dalam, departemen psikologi, departemen

biologi, departemen obstetri dan ginekologi, departemen farmakologi.


Penyakit osteoporosis selain mempengaruhi tubuh, juga

mempengaruhi kondisi psikis penderitanya terutama akibat patah tulang

sehingga terapi dan pengobatan osteoporosis pun melibatkan spesialis

kejiwaan. Tidak hanya itu, departemen kedokteran olahraga juga diperlukan

dalam terapi dan pengobatan osteoporosis.

Untuk mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan

persediaan kalsium dan mineral lainnya yang memadai, dan harus

menghasilkan hormon dalam jumlah yang mencukupi (hormon paratiroid,

hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen pada wanita dan testosteron pada

pria).

Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya sampai tercapai

kepadatan maksimal (sekitar usia 30 tahun). Setelah itu kepadatan tulang

akan berkurang secara perlahan. Oleh sebab itu, kepadatan tulang harus

dijaga sejak masih muda agar saat tuanya tidak menderita osteoporosis.

Semua wanita, terutama yang menderita osteoporosis, harus

mengkonsumsi kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang mencukupi.

Wanita pasca menopause yang menderita osteoporosis juga bisa

mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan progesteron) atau

alendronat (golongan bifosfonat) yang bisa memperlambat atau

menghentikan penyakitnya.

Pria yang menderita osteoporosis biasanya mendapatkan kalsium dan

tambahan vitamin D, terutama jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa

tubuhnya tidak menyerap kalsium dalam jumlah yang mencukupi.Jika kadar

testosteronnya rendah, bisa diberikan testosteron.


Pada kolaps tulang belakang disertai nyeri punggung yang hebat,

diberikan obat pereda nyeri, dipasang supportive back brace dan dilakukan

terapi fisik. Penjepit punggung mungkin penting untuk mendukung vertebra

yang lemah dan operasi dapat memperbaiki beberapa keretakan. Pengobatan

hormonal dan flouride dapat membantu. Penyakit osteoporosis yang

disebabkan oleh gangguan lain dapat dicegah melalui pengobatan yang

efektif pada gangguan dasarnya, seperti terapi kortikosteroid.

Pilihan obat osteoporosis

Beberapa obat meningkatkan ketebalan tulang atau memperlambat

kecepatan penghilang tulang.

1. Natrium Alendronat

Indikasi:

untuk pengobatan osteoporosis pada wanita pascamenopause.

Osteoporosis dikonfirmasi dengan temuan masa tulang yang rendah

atau dengan keberadaan atau riwayat fraktur osteoporotik.

Interaksi:

pemberian bersamaan dengan suplemen kalsium, antasida, dan

pengobatan oral lainnya dapat mempengaruhi absorbsi alendronat,

oleh karena itu psien harus menunggu sekurang-kurangnya setengah

jam setelah minum alendronat sebelum minum obat oral lainnya.

Penggunaan alendronat dengan HRT menyebabkan peningkatan masa

tulang yang lebih besar dan penurunan bone turnover yang lebih

besar. Studi klinis menunjukkan ,penggunaan alendronat dosis lebih

besar dari 10 mg per hari dengan produk yang mengandung aspirin


dapat meningkatkan kejadian sampingan upper gastrointestinal,

namun kejadian ini tidak terlihat pada penggunaan alendronat 35 mg

atau 70 mg sekali seminggu.

Kontraindikasi:

abnormalitas esophagus yang dapat memperlambat pengosongan

esophagus seperti stricture atau achalasia; tidak mampu berdiri atau

duduk untuk sekurang-kurangnya 30 menit; hipersensitifitas terhadap

alendronate Na atau komponen obat lainnya.; hipokalsemia; pasien

dengan peningkatan resiko aspirasi tidak diberikan alendronat dalam

bentuk larutan buffer.

Dosis:

dosis yang direkomendasikan adalah 70 mg sekali seminggu atau 10

mg sekali sehari. Obat diberikan harus diberikan sekurang-kurangnya

setengah jam sebelum makan. Tidak diperlukan penentuan dosis

untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal ringan hingga sedang dan

untuk manula.

Efek Samping:

kejadian gastrointestinal bagian atas (nyeri perut, dyspepsia, ulkus

esophagus, disfagia dan abdominal distention); ruam dan eritema;

nyeri muskuloskeletal, konstipasi, diare, dlatulensi dan sakit kepala;

mual,muntah, keram otot. Efek samping yang dilaporkan pada

penggunaan pasca pemasaran: reaksi hipersensitivitas (termasuk

urticaria dan angioedema); mual dan muntah, esofagitis,erosi

esophageal, ulkus esophagus, esophageal stricture atau perforasi, dan


ulkus orofaringeal, ulkus duodenum dan gaster (jarang, beberapa

kasus berat dan dengan komplikasi); rash; uveitis dan scleritis

(jarang).

Peringatan:

Alendronat dapat menyebabkan iritasi local pada mukosa

gastrointestinal bagian atas. Kejadian sampingan pada esophagus

dilaporkan terjadi pada penggunaan alendronat dan beberapa di

antaranya merupakan kasus parah dan memerlukan perawat di rumah

sakit, oleh karena itu dokter harus waspada terhadap reaksi esophagus

ini dan apabila terjadi pengobatan harus dihentikan. Peringatan harus

diberikan pada pasien dengan masalah gastrointestinal bagian atas

sebelum menggunakan alendronat. Alendronat tidak dianjurkan untk

diberikan pada pasien dengan klirens kreatinin < 35 mL/min

(gangguan fungsi ginjal berat). Penyebab osteoporosis selain dari

kekurangan estrogen, penuaan dan penggunaan glukokortikoid harus

dipertimbangkan. Hipokalsemia harus diobati sebelum terapi

alendronat dimulai. Gangguan metabolisme mineral seharusnya

diobati dengan efektif, dikarenakan efek positif dari alendronat,

khususnya pada pasien dengan penyakit Paget dan pada pasien yang

kecepatan bone turnover meningkat dengan besar sebelum

pengobatan dan pada pasien yang mendapatkan glukokortikoid serta

pada pasien yang absorbsi kalsiumnya menurun. Alendronat

seharusnya tidak diberikan pada wanita hamil dan menyusui.


2. Asam Ibandronat

Indikasi:

pengobatan osteoporosis pascamenopause, mengurangi risiko fraktur,

pencegahan bone loss pada wanita pascamenopause yang memiliki

risiko terhadap berkembangnya osteoporosis.

Kontraindikasi:

hipersensitivitas, uncorrected hypocalcemia, ketidakmampuan berdiri

atau duduk tegak selama paling sedikit 60 menit, kehamilan,

menyusui

Dosis:

Pengobatan dan pencegahan: 2,5 mg sekali sehari. Obat harus

diminum 60 menit sebelum mengkonsumsi makanan atau minuman

pertama kali (selain air) atau mengkonsumsi obat atau suplemen oral

lainnya (termasuk kalsium). Tablet harus ditelan utuh dengan segelas

penuh air putih (180 hingga 240 mL) sambil duduk atau berdiri dalam

posisi tegak. Pasien tidak boleh berbaring selama 60 menit setelah

meminum obat ini. Air putih adalah satu-satunya minuman yang

boleh diminum dengan obat ini. Beberapa air mineral dapat

mengandung kadar kalsium yang lebih tinggi sehingga tidak boleh

digunakan. Obat ini tidak boleh dikunyah atau dihisap karena dapat

menyebabkan ulserasi orofaringeal.Pengobatan osteoporosis

pascamenopause, oral, 150 mg satu kali sebulan atau injeksi intravena

diberikan selama 15-30 detik, 3 mg setiap 3 bulan.


Efek Samping:

hipokalsemia, hipofosfatemia, gejala seperti influenza (termasuk

demam, menggigil dan nyeri otot), nyeri tulang, reaksi esofageal

(lihat keterangan di bawah), diare, mual, muntah, nyeri abdominal,

dyspepsia, faringitis, sakit kepala, asthenia, jarang anemia, reaksi

hipersensitivitas (pruritus, bronkospasmus dan dilaporkan

angioudem).Reaksi Esofageal. Dilaporkan reaksi esofageal yang berat

dengan seluruh bifosfonat oral; pasien dianjurkan untuk berhenti

mengkonsumsi obat ini dan konsultasi ke dokter jika mengalami

gejala-gejala iritasi esofageal seperti dysphagia, nyeri menelan, nyeri

retrosternal, atau nyeri ulu hati.

Peringatan:

kerusakan ginjal (lampiran 3); monitor fungsi ginjal dan kadar serum

kalsium, fosfat dan magnesium; penyakit jantung (hindari asupan

cairan yang berlebih); keamanan pada anak belum ditetapkan.

3. Asam Zoledronat

Indikasi:

hiperkalsemia malignan

Kontraindikasi:

pasien yang hipersensitif terhadap asam zoledronat, bifosfonat, atau

zat tambahan dalam obat ini, kehamilan, menyusui.

Dosis:

dewasa dan lansia: dosis yang dianjurkan untuk HCM (albumin-

corrected serum calcium ≥12.0 mg/dl atau 3.0 mmol/l) rekonstitusi 4


mg asam zoledronat dilarutkan dalam cairan infus (dilarutkan dalam

50 mL 0.9% NaCl atau 5% glukosa) diberikan secara infus intravena

dosis tunggal selama 15 menit. Status hidrasi pasien harus dipantau

terutama pada sebelum pemberian infus dan cairan infus yang

diberikan disesuaikan dengan kondisi klinik pasien.

Penderita gagal ginjal tidak ada penyesuaian dosis atau waktu infus

yang diperlukan pada pasien dengan gangguan ginjal ringan sampai

sedang (kreatinin serum < 400µmol/l atau < 4.5 mg/dl).

Penderita insufisiensi hati tidak ada data klinik pada pengobatan

pasien dengan penyakit hati yang parah, tidak ada rekomendasi

khusus untuk pasien ini

Efek Samping:

hipokalsemia, anemia, influenza like symptoms termasuk nyeri pada

tulang, mialgia, artralgia, demam dan kaku, gangguan saluran cerna,

sakit kepala, konjungtivitis, gagal ginjal (jarang gagal ginjal akut),

gangguan saraf pengecapan, mulut kering, stomatitis, nyeri dada,

hipertensi, dispnea, batuk, pusing, parastesia, gemetar, ansietas,

gangguan tidur, pandangan kabur, peningkatan berat badan, pruritus,

ruam berkeringat, keram otot, hematuria, proteinuria, reaksi

hipersensitivitas (termasuk angioderma), asthenia, udem perifer,

trombositopenia, leucopenia, hipomagnesemia, hipokalemia, reaksi di

tempat penyuntikan; jarang bradikardi, bingung, hiperkalemia,

hipernatremia, pansitopenia, osteoporosis rahang; sangat jarang

uveitis dan episkleritis.


Peringatan:

kadar kreatinin, kalsium, fosfat dan magnesium dalam serum harus

dimonitor setelah pengobatan dimulai. Pasien pasca pengobatan

tiroid, pasien dengan risiko hipokalsemia seperti pada

hipoparatiroidisme relatif. Tidak dianjurkan pada pasien dengan

serum kreatinin < 400µmol/l atau < 4.5 mg/dl. Pada beberapa pasien

yang memerlukan pengulangan pemberian obat, serum kreatinin harus

dievaluasi sebelum pemberian tiap dosis. Pasien dengan perburukan

fungsi ginjal harus dipantau dengan baik dan perlu dipertimbangan

manfaat pemberian obat dibanding kemungkinan risiko yang dapat

terjadi. Jangan diberikan pada wanita hamil kecuali manfaat resiko

lebih besar pada ibu dibandingkan terhadap bayi.

4. Ibandronat

Indikasi:

kanker tulang metastase, menurunkan risiko komplikasi skeletal pada

penyakit malignant pada tulang termasuk hiperkalsemia, nyeri,

kebutuhan radioterapi untuk mengatasi nyeri akibat luka tulang (bone

lesion) dan fraktur, dan menurunkan resiko fraktur.

Interaksi:

Interaksi Obat-makanan

Produk mengandung kalsium atau kation multivalen (seperti

alumunium, magnesium, besi), termasuk susu dan makanan, dapat

mempengaruhi absorbsi asam ibandronat. Oleh karena itu, produk


tersebut harus diberikan dengan selang waktu minimal 60 menit

setelah dosis oral asam ibandronat.

Bioavailabilitas berkurang sekitar 75% jika tablet asam ibandronat

diberikan 2 jam setelah makan. Oleh karena itu, direkomendasikan

bahwa tablet harus diberikan setelah puasa satu malam (setidaknya 6

jam) dan puasa harus dilanjutkan selama 60 menit setelah dosis

diberikan.

Hati-hati penggunaan bersamaan bifosfonat dengan aminogliserida

karena keduanya dapat menurunkan tingkat kalsium serum jika

digunakan dalam jangka waktu yang lama dan kemungkinan dapat

menyebabkan hipo-magnesemia.

Interaksi Obat-obat

Ranitidin intravena meningkatkan bioavailabilitas asam ibandronat

sekita 20% (masih dalam rentang normal bioavailabilitas asam

ibandronat), kemungkinan karena keasaman lambung yang berkurang.

Namun, tidak diperlukan penyesuaian dosis jika asam ibandronat

diberikan bersamaan dengan antagaonis H2 atau obat lain yang

meningkatkan PH lambung.

Dosis:

Oral: 50 mg sekali sehari.

Tablet asam ibandronat harus diminum 60 menit sebelum makan dan

minum (selain air putih), atau minum obat dan suplemen lain

(termasuk kalsium).
Tablet asam ibandronat harus diberikan setelah puasa selama

semalam (minimal 6 jam) dan 60 menit sebelum makan dan minum

pada pagi hari atau sebelum mengkonsumsi obat atau suplemen lain

(termasuk kalsium). Puasa dilanjutkan 30 menit setelah tablet

diminum. Air putih dapat diminum bersama dengan pemberian tablet

asam ibandronat. Pasien tidak boleh berbaring 60 menit setelah

minum tablet asam ibandronat

Kontraindikasi:

Hipersensitif terhadap asam ibandronat atau golongan bifosfonat

lainnya; asam ibandronat tidak boleh diberikan pada anak-anak

karena penelitian ilmiah yang masih terbatas; asam ibandronat tidak

boleh diberikan pada wanita hamil dan ibu menyusui karena belum

ada data keamanan yang memadai.

Efek Samping:

Umum terjadi (>1% dan < 10%): hipokalsemia, dispepsia, mual, nyeri

abdomen, esofagitis, astenia. Tidak umum terjadi (> 0,1% dan < 1%):

anemia, parestesia, disgesia (pengecapan yang tidak normal),

perdarahan, ulkus duodenum, gastritis, disfagia, mulut kering,

pruritus, azotemia (uremia), nyeri dada, gejala seperti influenza,

mengantuk, nyeri, peningkatan hormon paratiroid dalam darah.

Peringatan:

Hipokalsemia dan gangguan metabolisme tulang dan mineral harus

diobati terlebih dahulu sebelum terapi asam ibandronat dilakukan.

Asupan kalsium dan vitamin D yang cukup sangat penting pada


semua pasien. Pasien harus menerima asupan kalsium dan vitamin D

yang cukup, jika asupan tersebut tidak terpenuhi dari makanan maka

pasien harus diberi suplemen kalsium dan vitamin D.

Bifosfonat oral sering mengakibatkan disfagia, esofagitis, dan

esofageal atau luka pada lambung (gastric ulcer). Oleh karena itu,

pasien harus memperhatikan cara pemberian obat.

Dokter harus waspada terhadap tanda atau gejala reaksi esofageal

yang mungkin terjadi selama terapi dan pasien diperintahkan untuk

tidak melanjutkan terapi asam ibandronat. Bantuan medis harus

segera dilakukan jika pasien mengalami gejala iritasi esofageal seperti

disfagia, nyeri saat menelan, rasa sakit pada belakang sternum atau

dada terbakar.

Perhatian harus diberikan saat pemberian oral Asam Ibandronat

bersamaan dengan AINS karena AINS sering dikaitkan dengan iritasi

gastrointestinal.

Osteonekrosis rahang pernah dilaporkan terjadi pada pasien kanker

yang menerima pengobatan termasuk bifosfonat intravena. Banyak

dari pasien tersebut juga menerima kemoterapi dan kortikosteroid.

Osteonekrosis rahang juga dilaporkan terjadi pada pasien osteoporosis

yang menerima bifosfonat oral.

Pemeriksaan gigi sebaiknya dilakukan sebelum pengobatan dengan

bifosfonat pada pasien yang melakukan terapi lain dalam waktu yang

bersamaan (kemoterapi, radioterapi, kortikosteroid).


Bagi pasien yang mengalami osteonekrosis rahang saat terapi

bifosfonat, operasi gigi dapat memperparah kondisinya.

Uji klinik tidak menunjukkan bukti penurunan pada ginjal dengan

terapi asam ibandronat jangka panjang. Namun, direkomendasikan

untuk memonitor fungsi ginjal, kalsium, fosfat dan megnesium serum

pada pasien yang diterapi asam ibandronat.

Hidrasi berlebihan harus dihindari pada pasien yang memiliki resiko

gagal jantung.

5. Klodronat Dinatrium

Indikasi:

hiperkalsemia malignan.

Interaksi:

dilaporkan kejadian gagal ginjal jika digunakan bersama dengan

antiinflamasi non steroid (AINS) lebih sering diklofenak, hati-hati

penggunaan bersama aminoglikosid karena dapat menyebabkan

peningkatan resiko hipokalsemia, penggunaan bersama estramustin

fosfat dengan klodronat dilaporkan meningkatkan kadar serum

estramustin fosfat maksimal 80%, penggunaan bersama makanan atau

obat yang mengandung kation divalent misalnya antasida atau

preparat besi secara bermakna menurunkan bioavailabilitas klodronat.

Kontraindikasi:

hipersensitivitas, pemberian bersama dengan bifosfonat lain.

Dosis:
1600 mg diberikan dalam dosis tunggal atau dua kali sehari, dapat

ditingkatkan hingga 3200 mg dalam dosis terbagi, dosis tunggal dan

dosis pertama diminum pagi sebelum makan bersama air putih dalam

jumlah cukup, pasien tidak boleh makan terutama produk suplemen

mengandung kalsium, besi, mineral dan antasida pada dua jam

sebelum atau satu jam setelah minum klodronat, jaga asupan cairan,

tidak ada dosis khusus untuk lansia, diberikan 2 kali sehari dosis

terbagi, dosis yang separuh harus diminum pada hari yang sama,

klodronat dinatrium tidak boleh digerus atau dilarutkan sebelum

digunakan.

Infus intravena 300 mg (satu ampul 5 mL) per hari dilarutkan

kedalam 500 mL natrium klorida 0,9% atau glukosa 5%, diberikan

selama minimal 2 jam hingga diperoleh kadar kalsium normal,

biasanya dicapai dalam 5 hari, terapi tidak boleh dilanjutkan lebih dari

7 hari, sebagai alternatif dosis klodronat 1500 mg dapat diberikan

sebagai dosis tunggal, dilarutkan dalam 500 mL natrium klorida 0,9%

atau glukosa 5% dan diberikan selama 4 jam.

Pada penderita gagal ginjal: klodronat disarankan dikurangi sesuai

tingkat keparahan gagal ginjal: gagal ginjal ringan (klirens kreatinin

50-80 mL/min), dosis dikurangi sebanyak 25%, gagal ginjal sedang

(klirens kreatinin 12 – 50 mL/min, dosis dikurangi 25-50%, gagal

ginjal berat (klirens kreatinin < 12) dosis dikurangi sebanyak 50%,

disarankan dosis 300 mg klodronat diberikan sebelum hemodialisis


dan dosis dikurangi 50% pada hari non-dialisis dan membatasi jadwal

pengobatan selama 5 hari.

Efek Samping:

umum: mual, muntah, diare, hipokalsemia asimptomatik, peningkatan

hepatobiliari transaminase (biasanya dalam batas normal); jarang:

hipokalsemia simptomatik, peningkatan hormon paratiroid akibat

penurunan kalsium darah, peningkatan fosfatase alkali darah,

peningatan transaminase lebih dari 2 kali nilai normal tanpa penyebab

abnormalitas pada fungsi hati, hipersensitivitas

Peringatan:

hidrasi harus cukup, kadar kalsium dalam darah harus dimonitor,

hiperkalsemia atau gagal ginjal, hamil, meyusui, efikasi dan

keamanan pada anak belum diketahui, dosis pemberian secara

intravena lebih tinggi dari yang dianjurkan dapat menyebabkan

kerusakan ginjal terutama jika diberikan kecepatan pemberian infus

terlalu tinggi, pemeriksaan gigi dan pencegahan kerusakan gigi harus

dilakukan sebelum memulai terapi, penghentian terapi bifosfonat pada

pasien yang diduga mengalami atypical femur fracture, pasien agar

melaporkan gejala nyeri pda paha, pangkal paha atau pinggul untuk

diperiksa lebih lanjut kemungkinan mengalami incomplete femur

fracture, dilaporkan osteonekrosis rahang terutama pada pasien yang

sebelumnya mendapat amino-bifosfonat seperti zoledronat dan

pamidronat
6. Risedronat Natrium

Indikasi:

osteoporosis, osteoporosis akibat glukokortikoid, penyakit tulang

Paget’s disease

Interaksi:

pemberian pada waktu yang berbeda dengan obat mengandung kation

seperti kalsium, magnesium, besi, aluminium, antasida

Kontraindikasi:

gangguan ginjal berat (klirens kreatinin kurang dari 30 mL/min),

kehamilan, menyusui

Dosis:

terapi osteoporosis 5 mg per hari atau 35 mg sekali seminggu atau

150 mg sekali sebulan pada tanggal yang sama, untuk profilaksis

osteoporosis (termasuk osteoporosis akibat kortikosteroid) pada

wanita pascamenopause, 5 mg sehari, untuk dosis yang terlupa pada

penggunaan dosis bulanan, minum segera setelah ingat, kecuali dosis

terlupa berjarak kurang dari 7 hari dengan dosis berikutnya, tidak

direkomendasikan pada anak, penyakit tulang Paget’s disease, 30 mg

sehari selama 2 bulan, dapat diulangi jika diperlukan, setelah

sekurang-kurangnya 2 bulan,

Konseling. Tablet diminum utuh dengan segelas air pada keadaan

perut kosong, paling sedikit 30 menit sebelum makanan/ minuman

pertama pada hari itu atau jika tidak diminum pada pagi hari, hindari

makanan/minuman sekurang-kurangnya selama 2 jam sebelum atau


sesudah risedronat (terutama hindari produk yang mengandung

kalsium, seperti susu, suplemen yang mengandung zat besi dan

mineral dan antasida). Berdiri atau duduk tegak selama paling sedikit

30 menit dan jangan berbaring sampai setelah makan pagi. tablet

jangan ditelan pada waktu akan tidur atau sebelum bangun dari posisi

berbaring untuk menghindari iritasi orofaringeal. Hati-hati pada

beberapa daerah, kadar kalsium dalam air minum cukup tinggi

sehingga harus dihindari.

Efek Samping:

nyeri abdomen atas, diare, mual, konstipasi, dispepsia, muntah, nyeri

abdomen, flatulens, gastritis, distensi abdomen, hiatus hernia, mulut

kering, influenza, nasofaringitis, infeksi saluran kemih, bronkitis,

gastroenteritis, infeksi saluran napas atas, sistitis, nyeri punggung,

artralgia, osteoartritis, nyeri ekstremitas, spasme otot, nyeri

muskuloskeletal, nyeri leher, astenia, nyeri dada, pireksia, sakit

kepala, pusing, rasa ingin jatuh, hipertensi, batuk, depresi,

hiperkolesterolemia

Peringatan:

abnormalitas esofageal dan faktor lain yang menunda transit atau

pengosongan (misal: stricture atau achalasia lihat juga di bawah

keterangan efek samping), kerusakan ginjal, kondisi hipokalsemia,

disfungsi tulang dan metabolisme mineral (misal: defisiensi vitamin D

dan abnormalitas paratiroid) perlu diperbaiki sebelum memulai terapi,

riwayat ganguan esofageal, sebelum dimulai terapi diperlukan


pemeriksaan gigi dengan tindakan pencegahan pada pasien dengan

faktor risiko seperti kanker, sedang menjalani kemoterapi, radioterapi,

kortikosteroid, tidak menjaga kebersihan mulut.

Secara umu penatalaksanaan Osteoporosis dapat dilihat pada bagan berikut


dibawah ini (bagan 1)

Bagan 1. Penatalaksanaan Osteoporosis

Anamnese

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Penunjang :
(laboratorium, radiologi, densitometer)

Identifikasi faktor resiko

Non-medikamentosa : Resiko Sedang


Resiko Rendah promosi kesehatan (KIE) Resiko Tinggi
Aktifitas fisik / Olah raga Fraktur Osteoporosis
Paparan sinar matahari
Medika mentosa : Asupan gizi
(Hormonal dan Non
Hormonal)

Kondisi pasien Kondisi pasien Tidak Rujuk Kerumah


Terkontrol Terkontrol Sakit

Teruskan Pengobatan Rehabilitasi / Preventif


Evaluasi Berkala Berpola Hidup Sehat
I. Penatalaksanaan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Anamnese

Wawancara meliputu pertanyaan mengenai terjadinya osteoporosis

dalam keluarga, fraktur sebelumnya, konsumsi kalsium diet harian, pola

latihan, awitan menopause, dan penggunaan kortikosteroid selain asupan

alcohol, rokok dan kafein. Setiap gejala yang dialami pasien, seperti nyeri

pingggang, konstipasi atau gangguan citra diri, harus digali.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik kadang menemukan adanya patah tulang, kifosis

vertebra torakalis atau pemendekan tinggi badan. Masalah mobilitas dan

pernafasan dapat terjadi akibat perubahan postur dan kelemahan otot.

Konstipasi dapat terjadi akibat inaktifitas.

Kelainan yang sering dijumpai adalah adanya deformitas vertebra

torakalis yang mengakibatkan keluhan penurunan tinggi badan. Jadi klien

merasa lebih pendek

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium terutama ditujukan untuk mengetahui

secara tidak langsung adanya resorpsi tulang (gangguan terhadap

keseimbangan antara resorpsi dan pembentukan tulang).

Pemeriksaan untuk mengetahui adanya resorpsi tulang secara tidak langsung

antara lain :
1) Mengukur kadar kalsium dalam air kemih pusas dibagi dengan

kreatinin, perlu diingat bahwa adanya gangguan absorbsi kalsium dalam

intestin akan berakibat pengeluaran kalsium dalam air kemih pun sangat

rendah

2) mengukur kadar hidroksi-prolin dalam air kemih puasa bagi dengan

kreatinin. Hidroksiprolin dipakai sebagai indikator adanya resorpsi

tulang, akan tetapi hidrosiprolin dalam air kemih akan dijumpai pula

pada orang dengan diet tinggi protein> Jadi pemeriksaan ini spesifisitas

serta sensivitasnya rendah.

Pemeriksaan untuk mengetahui adanya pembentukan tulang adalah :

1) Mengukur kadar fosfatase alkali serum, fosfatase alkali diproduksi oleh

osteoblas, jadi hal ini dapat dipakai sebagai indikator adanya

pembentukan tulang, akan tetapi fosfatase alkali juga dibentuk oleh

jaringan lain. Agar pemeriksaan ini mempunyai arti yang spesifik, perlu

adanya pemeriksaan bone speifik assay.

2) Mengukur bane-Gla-protein plasma (osteocalcin). Osteokalsin disekresi

hanya oleh osteoblas, jadi pemeriksaan ini dapat dipakai sebagai

indikator adanya pembentukan osteoid yang bertambah.

b. Penilaian Massa Tulang

Osteoporosis merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan

massa tulang yang berlebihan dengan komposisi tulang yang masih

normal (tidak berubah), sehingga mengakibatkan mudahnya terjadi

fraktur pada tulang yang bersangkutan.

Tulang terdiri dari dua komponen :


1) Komponen atau bagian Trabekula

2) Komponen atau bagian Korteks

Pada klien osteoporosis bagian Trabekula akan mengalami penipisan

dan tampak lebih jarang, sedang bagian korteks akan terjadi

pengurangan tebal korteks dan pelebaran kanal Haversi. Pengurangan

pada korteks dan trabekula ini tidak mempunyai pola yang sama pada

setiap pasien, Oleh karena itu pada setiap kasus osteoporosis perlu

untuk menentukan status atau keadaan kedua bagian tulang tersebut

3. Diagnosa Keperawatan

1) Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi

yang berhubungan dengan kurang informasi, salah persepsi ditandai

dengan klien mengatakan kurang ,mengerti tentang penyakitnya, klien

tampak gelisah.

2) Nyeri akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur

vertebra ditandai dengan klien mengeluh nyeri tulang belakang,

mengeluh bengkak pada pergelangan tangan, terdapat fraktur traumatic

pada vertebra, klien tampak meringis.

3) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder

akibat perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder, atau fraktur baru

ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun,

klien mengatakan badan terasa lemas, stamina menurun, dan terdapat

penurunan tinggi badan.


4) Risiko cedera yang berhubungan dengan dampak sekunder perubahan

skeletal dan ketidakseimbangan tubuh ditandai dengan klien mengeluh

kemampuan gerak cepat menurun, tulang belakang terlihat bungkuk.

4. Rencana Keperawatan

1) Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi

yang berhubungan dengan kurang informasi, salah persepsi ditandai

dengan klien mengatakan kurang ,mengerti tentang penyakitnya, klien

tampak gelisah.

Tujuan :

Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien memahami

tentang penyakit osteoporosis dan program terapi dengan criteria hasil

klien mampu menjelaskan tentang penyakitnya, mampu menyebutkan

program terapi yang diberikan, klien tampak tenang

Kriteria hasil : Klien mampu menjelaskan tentang penyakitnya, dan

mampu menyebutkan program terapi yang diberikan, klien tampak

tenang

Intervensi :

a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga mengenai penyakit

osteoporosis

b. Jelaskan pada klien patofisiologi dari penyakit dan bagaimana

hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi dengan cara

yang tepat.

c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit

dengan cara yang tepat.


d. Identifikasi kemungkinan penyebab penyakit dengan cara yang

tepat.

e. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

f. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second

opinion dengan cara yang tepat atau di indikasikan

g. Berikan pendidikan kepada klien mengenai efek samping

pengguronaan obat

2) Nyeri akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur

vertebra ditandai dengan klien mengeluh nyeri tulang belakang,

mengeluh bengkak pada pergelangan tangan, terdapat fraktur traumatic

pada vertebra, klien tampak meringis.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang.

Kriteria Hasil : Klien akan mengekspresikan nyerinya, klien dapat

tenang dan istirahat yang cukup, klien dapat mandiri dalam perawatan

dan penanganannya secara sederhana.

Intervensi :

a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitsasi

b. Observasi reaksi non-verbal dari ketidaknyamanan

c. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti

suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.

d. kurangi faktor presipitasi nyeri.


e. Ajarkan tentang tehnik non farmakologi : Napas dalam,

relaksasi distraksi, kompres hangat/dingin.

f. Kolaborasi untuk pemberian obat anti nyeri.

g. Tingkatkan istirahat klien

h. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa

lama nyeri akan berkurang.

3) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder

akibat perubahan skeletal (kifosis), nyeri sekunder, atau fraktur baru

ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun,

klien mengatakan badan terasa lemas, stamina menurun, dan terdapat

penurunan tinggi badan.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien mampu

melakukan mobilitas fisik

Kriteria hasil : Klien dapat meningkatan mobilitas fisik ; klien mampu

melakukan aktivitas hidup sehari hari secara mandiri

Intervensi :

a. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi

sesuai dengan kebutuhan

b. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah

terhadap cidera.

c. Ajarkan klien tehnik ambulasi

d. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi.


e. Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADLS secara mandiri

sesuai kemampuan

f. Dampingi dan bantu klien dalam mobilisasi dan bantu penuhi

kebutuhan ADLS

g. Berikan alat bantu jika klien memerlukan

4) Risiko cedera yang berhubungan dengan dampak sekunder perubahan

skeletal dan ketidakseimbangan tubuh ditandai dengan klien mengeluh

kemampuan gerak cepat menurun, tulang belakang terlihat bungkuk.

Tujuan :

Tujuan : Cedera tidak terjadi

Kreteria Hasil : Klien tidak jatuh dan fraktur tidak terjadi: Klien dapat

menghindari aktivitas yang mengakibatkan fraktur

Intervensi :

a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien

b. Hindarkan dari lingkungan yang berbahaya (misalnya :

memindahkan perabotan)

c. Pasang side rail tempat tidur.

d. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih

e. Tempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijankau klien

f. Berikan penerangan yang cukup

g. Anjurkan keluarga untuk menemani pasien

h. Mengontrol lingkungan dari kebisingan

i. Berikan penjelasan pada klien dan keluarga atau pengunjung

adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit klien


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Proses menua merupakan proses yang terus-menerus (berlanjut) secara

alamiah yang dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.

Proses menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya

tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dalam maupun luar tubuh. Walaupun

demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering

menyerang kaum lanjut usia. Seperti diketahui bahwa lanjut usia akan selalu

mengalami perubahan fisiologik maupun psikologik. Oleh karena itu dalam

memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia harus secara holistik dan

kompehensif yang memandang klien lanjut usia sebagai manusia yang utuh dan unik

sehingga teknik dan pendekatan yang diberikan perawatan berbeda-beda namun tetap

berfokus pada kebutuhan dasar manusia itu sendiri.

B. Saran

Tidak ada saran yang terlalu mengikat dalam kasus ini, hanya saja

Diharapkan makalah ini bisa memberikan masukan bagi rekan- rekan mahasiswa

calon perawat, sebagai bekal untuk dapat memahami mengenai “Askep

Muskuloskeletal Osteoporosis” menjadi bekal dalam pengaplikasian dan praktik

bila menghadapi kasus yang kami bahas ini.

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan maka penulis

memberikan saran-saran sebagai berikut :


1. Pada pengkajian perawat perlu melakukan pengkajian dengan teliti melihat

kondisi klien serta senantiasa mengembangkan teknik terapeutik dalam

berkomunikasi dengan klien.

2. Agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan serta sikap profesional dalam menetapkan diagnosa

keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. (1994). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Alih
Bahasa Kuncoro, H Y, dkk, Jakarta : Penerbit EGC.

Kemenkes (2008), Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Menteri


Kesehatan Republik Indonesia.

Kumar, et all. (2005). Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Seventh
Edition. Philadelphia : Elsevier Saunders.

Lewis, Sharon L. (2007). Medical Surgical Nursing : Assessment and Management


of Clinical Problems Volume 2. Seventh Edition. St.Louis : Mosby.

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Noor Verawaty, Sri & Rahayu, Lisdyawati (2012). Merawat dan Menjaga Kesehatan
Seksual Wanita. Bandung : PT Grafindo Media Pratama, cetakan 1.

Pramudto, et all. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, jilid I edisi ketiga.

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. Alih bahasa : Brahm U. Pendit. (2005).
Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - proses Penyakit Volume 1. Edisi 6.
Jakarta : EGC.

Rosyidi (2012), Muskuloskeletal. Jakarta : Trans Info Media

Sherwood, Lauralee. Alih bahasa : Brahm U. Pendit (2001). Fisiologi Manusia


Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai