Anda di halaman 1dari 7

Apresiasi Cerpen: Cerpen “Batik Kopi Pecah” Ulin Nuha

Apresiasi Cerpen: Cerpen “Batik Kopi Pecah” Ulin Nuha


Kata “Batik”, adalah kata yang begitu penting dalam cerpen “Batik Kopi Pecah” karya Ulin
Nuha, siswa MA Perguruan Islam Al-Hikmah, Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Dari kata
itulah cerpen ini tercipta karena pengarang ingin mengangkat kebudayaan membuat Batik
dengan cara tradisional, dan dari kata itu pula masalah diselesaikan yaitu dengan menemukan
motif batik yang natural yaitu Kopi Pecah. Batik adalah kata kunci dalam cerpen itu yang sudah
jelas kita ketahui dari judul cerpennya, dan secara alur penceritaan cerpen ini membuat sebuah
konflik dan penyelesaian yang tidak terduga oleh pembaca. Cerpen ini secara keseluruhan ingin
menceritakan bagaimanakah asal usul Batik bermotif Kopi Pecah yang pembentukannya tidak
disengaja dan dikarenakan peristiwa yang terjadi dalam cerpen.
Meskipun cerpen itu fiksi tapi pengarang atau setiap orang tetap memandang atau mengangkat
gambaran suatu masyarakat atau budaya daerahnya. Bagaimana karya sastra menggambarkan
masyarakatnya ? Inilah yang ingin digambarkan dalam cerpen itu yaitu ingin mengangkat
kebudayaan batik dengan cara pembuatan yang masih tradisional yang ada di daerahnya dan
memiliki motif yang natural yaitu kopi pecah. Mungkin dari sinilah pengarang mendapatkan
inspirasi untuk membuat sebuah karya yang menceritakan asal mula batik yang bermotif kopi
pecah, dan memiliki kelebihan yaitu lebih natural.
Pengarang menceritakan cerpen ini lewat pencerita orang ketiga yang menurut pandangan saya
membuat versi sesuai dengan inspirasinya, bagaimana asal mula tercipta batik bermotif kopi
pecah? Pengarang begitu yakin dan membanggakan bahwa motif batik pecah ini adalah motif
yang terbagus sampai pendapatkan penghargaan.

1, Mengungkap Isi melalui Analisis Struktural


Analisis struktural, pendekatan intrinsik, atau pendekatan objektif termasuk penelitian, telaah,
atau pengkajian terhadap karya sastra sendiri. Perbedaan istilah itu lebih disebabkan oleh
perbedaan cara pandang peneliti menempatkan dan memberi pengertian terhadap karya sastra.
Dalam analisis struktural misalnya, karya sastra dianggap sebuah struktur; ia hadir dan dibangun
oleh sejumlah unsur yang berperan secara fungsional. Analisis struktural mencoba menguraikan
keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur tersebut sebagai kesatuan struktural.[1] Jadi, pusat
perhatian analisis struktural adalah hubungan fungsional antarunsur itu sebagai satu kesatuan.
Kesatuan unsur-unsur itu bukan cuma kumpulan atau tumpukan hal-hal tertentu yang berdiri
sendiri, namun saling berkaitan, terikat, bergantung satu sama lain.
Pendekatan intrinsik pun pada dasarnya sama dengan analisis struktural. Karya sastra dianggap
di dalamnya mempunyai sejumlah elemen atau peralatan yang saling berkaitan dan masing-
masing mempunyai fungsinya sendiri.[2] Pendekatan intrinsik mencoba menjelaskan fungsi dan
keterkaitan elemen (unsur) atau peralatan itu tanpa menghubungkannya dengan faktor di luar itu,
seperti biografi pengarang, latar belakang penciptaan, atau keadaan dan pengaruh karya sastra
kepada pembacanya.
Adapun pendekatan objektif menempatkan karya sastra yang akan diteliti atau dianalisis itu
sebagai objeknya. Mengingat karya sastra yang menjadi objeknya mempunyai unsur-unsurnya
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dilepaskan, maka unsur-unsur itulah yang hendak
diuraikan dalam pendekatan objektif.

Sebagai bahan apresiasi, berikut ini akan dibicarakan sebuah cerpen Ulin Nuha, “Batik Kopi
Pecah” berdasarkan analisis struktural.
Cerpen “Batik Kopi Pecah” menampilkan sebuah keluarga kecil yang berada di sebuah desa
yang tidak disebutkan secara terperinci namun tersirat dari bahasa yang digunakan dalam
dialog dan bentuk rumah yang berbentuk limas yang menjadikan ciri khas rumah jawa,
masyarakat yang sederhana berikut kutipannya:
”Nduk. Ayo cepetan masuk. Ntar kamu sakit lagi,” seru lembut bersumber dari beranda
rumah. (paragraf 3)

Mereka bertiga masuk rumah yang bentuknya limas dengan ruang tamu menjorok ke
depan sementara ruang berikutnya adalah ruang keluarga yang disampingnya terdapat
dua kamar. Di belakangnya adalah ruang ibunya. Yanti untuk melukis batik, di
belakangnya lagi adalah pekarangan dan kandang ayam,… (paragraf 6)

Latar yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan
dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, documenter, dapat pula berupa
deskripsi perasaan. Latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora,
atau ekspresi tokohnya (Wellek dan Waren, 1989). Jadi, latar dalam cerpen itu secara umum
di sebuah desa, disalah satu bagian pulau jawa.

Yang sebagian besar berlatarkan di rumah yang sederhana berbentuk limas. Tokoh Yanti, yang
mendapatkan porsi diceritakan oleh pencerita yang lebih besar, karena dalam beberapa
ceritanya Yanti lebih sering berada di kamarnya dan seorang anak yang peka terhadap
lingkungan sekitarnya, seperti: menyukai hujan berlatar di depan rumah, aroma cairan
diwajan yang sedang dipanaskan dikompor untuk membatik berlatar di runagan
membatik ibunya.

Konflik yang terjadi diawali peristiwa Yanti mengagumi aroma dan biji kopi, dan dengan
biji kopi yang dikagumi oleh Yanti yang berlatar di pekarangan rumah dan dari latar
inilah cerita itu berakhir

Sebuah karya sastra yang baik adalah karya yang konsisten dalam menampilkan tokoh, alur,
latar, sudut pandang dari awal hingga akhir cerita.[3] Akan saya bahas, bagaimanakah konsisten
yang diciptakan pengarang dalam cerpen ini.

Jika pencerita berada di luar (pencerita diaan, eksternal), ia dapat menjadi pencerita mahatahu,
yakni pencerita mengetahui maksud dan pikiran semua tokoh serta semua yang mereka lakukan.
Semua tokoh dipandang dari dalam (fokalisasi intern).[4]
Di cerpen itu pencerita hanya satu yaitu orang ketiga (diaan) yang berada di luar cerita
tidak berfungsi dengan baik/pengarang salah dalam menggunakan sudut pandang. Karena
pencerita di bagian pendahuluan/awal cerita hingga ke konflik diceritakan secara rinci
dari satu bagian ke bagian yang lain.

Tetapi ketika memasuki konflik hingga penyelesaian hanya mendapatkan porsi yang sedikit
artinya pencerita tidak menceritakan konflik secara jelas dan rinci begitu pula dengan
penyelesaian yang begitu cepat dimunculkan. Terkesan pencerita terburu-buru dalam
menyelesaikan cerpen itu, sehingga pembaca menjadi binggung karena antara konflik dan
penyelesaian seperti memiliki kerenggangan yang panjang atau jarak waktu yang panjang yang
tidak dijelaskan secara terperinci, membuat pembaca binggung dan harus menafsirkan sendiri
apa yang terjadi dan bagaimana itu semua bisa selesai. Begitu pula pencerita tidak
menjelaskan siapa yang menjadi pelaku penusukan bapak Yanti yang menjadi klimaks
konflik. Dibagian lain ada beberapa konflik yang dibangun dalam jiwa tokoh Yanti yaitu
ketika tidak bisa bermain bersama hujan dan dirinya yang tidak bisa berteriak untuk
meminta pertolongan.

Bagaimanakah hubungan antara tokoh ? inilah pertanyaan yang penting yang akan mengkerucut
pada sebuah tema. Hubungan antara tokoh Yanti,Ibu, dan Bapak digambarkan secara terperinci
melalui dialog-dialog antar tokoh, sebagaimana hubungan keluarga antara anak dan orang tua.
Tetapi ada sesuatu atau ketidakterbukaan orang tua terhadap anak. Tidak akan ada abu jika tidak
ada abunya. Inilah yang dipertanyakan ? mengapa keluarga Yanti yang diceritakan dari awal
harmonis tetapi diakhir cerita mendapatkan musibah penusukan bapak Yanti, dari konflik
inilah muncul hikmah yang merubah hidup Yanti, untuk merelakan tidak bermain dengan
hujan lagi dan harus membantu ibunya membatik.

Tokoh Yanti menjadi sentral dalam cerpen ini karena dari awal hingga akkhir cerita
menceritakan keadaan dan aktifitas dia. Dari awal menceritakan dia yang sedang hujan-
hujanan dan diakhir mendapatkan penghargaan pembuat motif yang natural yaitu kopi
pecah. Yanti adalah seorang tunawicara yang sebabnya tidak diceritakan secara jelas. Secara
biologis tunawicara dapat dialami karena gen/keturunan tetapi Yanti bukan keturunan dari
pasangan yang tunawicara.

Ibunya yang sangat sayang dan mencintai Yanti adalah seorang pembatik yang diceritakan
beraktifitas di pagi hari yaitu membatik dengan menggunakan alat yang masih tradisional,
wajan yang dipanaskan dengan kompor yang berisi cairan untuk membatik pada sebuah
kain menggunakan alat yang disebut canting.

Ayahnya seorang yang keras dan tegas layaknya seorang bapak dan seorang yang tabah
karena ketika mengalami penusukan masih tetap terseyum menghadapinya. Jika
diperhatikan tokoh ibu dan ayah tidak dimunculkan memiliki nama. Ini menunjukkan bahwa
watak tokoh ibu dan bapak digambarkan secara umum watak bapak dan ibu di adat jawa.
Ibu yang sayang, cinta, perhatian sehingga menjadi khawatir pada anaknya. Dan bapak
yang tegas, keras dan sabar ketika terkena musibah.

Menurut definisinya, tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan
dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1990). Disamping tokoh utama (protagonist),
ada jenis-jenis tokoh lain yang terpenting adalah tokoh lawan (antagonis) yakni tokoh yang
diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama.[5] Dapat dipahami dalam cerpen tersebut tokoh
utama adalah Yanti yang ingin mencapai tujuan tetap menjaga biji-biji kopinya, sedangkan
tokoh antagonis yang menghalangi tujuan tokoh utama yang malah mencapai sebuah tujuan dari
pengarang terbentuk motif kopi pecah yaitu ibu, bapak dan orang yang menusuk bapak. Karena
bapak dan ibu melolong keras dari pekarangan rumah yang menjadikan Yanti kaget dan
dilemparkannya bungkusan kain putih yang berisi biji kopi.

Bahasa yang digunakan dalam cerpen itu secara umum menggunakan bahasa yang mudah
dipahami, tetapi ada beberapa bahasa yang menggunakan majas dan metafora. Jika dilihat dari
judul cerpen “Batik Kopi Pecah”, memiliki makna ambiguitas. Yang pertama yaitu sebuah batik
yang bermotif biji kopi yang sudah pecah. Dan kedua adalah sebuah batik yang dibentuk
dari sebuah kopi yang harus dipecahkan terlebih dahulu. Jika kita lihat dari makna tersurat
“Batik” identik dengan sandang yaitu sebuah bahan yang dapat dibentuk menjadi baju,
selendang, dan lain sebagainya, sedangkan makan tersirat dari kata tersebut adalah kebudayaan,
ciri khas, kebanggaan, tanda, kerajinan tangan, dan penghasilan. “Kopi Pecah”
Tema sebagai pokok persoalan dalam sebuah wacana (discourse) kehadirannya tidak terlepas
dari motif-motif sebagai tema yang lebih kecil. Motif-motif itulah yang kemudian membangun
sebuah tema cerita. Sementara tema sendiri sebagai salah satu unsur dalam struktur itu
kedudukannya sama seperti unsur lain. Ia terkait erat dengan unsur lainnya. Lalu bersama unsur-
unsur lain itulah, sebuah wacana dalam kesatuan struktur naratif terbangun.[6] Dalam cerpen
“Batik Kopi pecah”, dapat dicermati motif-motif yang melingkari tokoh Yanti.
Tunawicara, menyukai hal-hal disekitarnya, hidup dalam keluarga harmonis yang sangat
memperhatikan keadaan dia yaitu bapak dan ibunya, dan suatu peristiwa terjadi dalam
keluarganya adalah penusukan bapaknya, inilah yang menjadikan sebuah titik
keberhasilan Yanti dalam membuat motif kopi pecah secara tidak sengaja, sehingga
mendapatkan penghargaan.

Dari sinilah dapat diketahui bahwa setiap manusia dibalik kekurangannya mendapatkan
sebuah kelebihan, inilah yang dialami Yanti. Dari rasa menggagumi biji kopi, tapi dari biji
kopi dia dapat membuat sejarah besar dalam dunia batik.

2. Dari sudut isi atau tema cerpen itu mengandung dua hal yang menarik. Pertama, ia ingin
menekankan bagaimana asal mula munculnya motif kopi pecah, yang dituangkan dalam sebuah
cerpen dengan awal mula Yanti mengagumi biji dan aroma kopi yang disimpan dan dibungkus
dalam kain putih yang masih bersih kemudian mendengar suara lolongan yang keras dari
pekarangan rumah yang ternyata di perut bapaknya menancap erat pisau sehingga membuat kain
putih yang berisikan kopi yang dibawanya terlempar jatuh dan hancur berkeping-keping. Ini
lebih menarik karena dari awal sudah jelas bahwa Yanti menyukai hal-hal yang ada disekitarnya,
seperti, menyukai hujan, menyukai aroma cairan batik dan yang terakhir mengagumi aroma dan
bentuk biji kopi.
Yang menarik adalah penggambaran sosok Yanti yang tunawicara, dengan kata lain panca
indranya tidak lengkap. Panca indra yang lengkap ada lima, jika kita ibaratkan 100% dibagi
panca indra kita 5 maka hasilnya akan seimbang 20 untuk masing-masing panca indra. Tetapi
jika panca indra kita tidak lengkap atau hanya 4 maka 100% dibagi 4 hasilnya 25 untuk keempat
panca indra. Jadi, jika salah satu panca indra kita tidak berfungsi/rusak maka panca indra yang
lain akan lebih peka terhadap sesuatu. Begitu pula yang dialami Yanti seorang yang tunawicara
tetapi dari indra kulit merasakan dan menyukai hujan, kemudian indra penciuman dan
penglihatan menyukai, mengagumi aroma tinta, dan bentuk serta aroma kopi, yang terakhir indra
pendengaran yaitu ketika bangun pagi mendengar kokokan ayam yang kaget dan mendengar
lolongan keras dari pekarangan rumahnya.

Kedua, pencerita yang menggunakan alur maju, menceritakan cerita secara kronologis dan
memberikan efek yang sangat menarik membuat pembaca tak menyangka dan tak
menduga-duga bahwa inti dari sebuah motif yang terbagus adalah dari suatu peristiwa
menancapnya pisau di perut bapaknya. Ini dipengaruhi karena pencerita menceritakan
alur yang sangat maju pada bagian akhir cerita tanpa menceritakan prosesnya.
Yang menarik lagi, beberapa peristiwa didahulu dengan kata “Tiba-tiba” ini menunjukkan bahwa
peristiwa yang terjadi itu tidak diduga-duga oleh tokoh, dan ditampilkan secara tiba-tiba oleh
pengarang.

Tiba-tiba terdengar lolongan keras, membuat jantung Yanti berdebar-debar. Yanti ingin
bergerak, tapi waktu seakan-akan membelenggu dirinya untuk bergerak. Disusul dengan
mendung yang sekejap berkumpul dan bunyi menggelegar petir menambah getaran
gantung (paragraf 26)
Kutipan diatas merupakan bagian awal dari konflik yang terjadi pada cerpen itu. Dan dari
konflik/peristiwa itulah cerpen itu diselesaikan.

Dan terakhir yang menarik dari cerpen itu adalah pengarang yang ingin menyampaikan pesan
atau amanat yang sangat banyak, yaitu : janganlah menganggap suatu peristiwa dari sisi
buruk yang membuat tidak semangat hidup tetapi pandanglah bahwa setiap peristiwa
yang terjadi dapat membawa hikmah, janganlah memandang seseorang dari fisiknya tapi
apa karyanya ?

3. Sekedar catatan kecil, beberapa kelemahan cerpen itu perlu juga disinggung untuk
menunjukkan betapa keterkaitan antar unsur yang membangun struktur naratif cerpen ini mesti
berperan secara fungsional.[7] Keadaan Yanti yang tunawicara digambarkan mempunyai
kelebihan-kelebihan panca indra lainnya. Tapi ini tidak sesuai dengan fakta yang ada, karena
pada faktanya adalah orang yang mengalami tunawicara maka pendengarannya pun akan
terganggu. Tetapi di dalam cerpen Yanti mempunyai pendengaran yang peka. Perhatikan kutipan
di bawah ini:
Tiba-tiba kokokan ayam membuatnya sedikit kaget, sampai-sampai dia akan jatuh dari posisinya
yang menyandar di ambang pintu. (paragraf 13)
Tiba-tiba terdengar lolongan keras, membuat jantung Yanti berdebar-debar. Yanti ingin
bergerak, tapi waktu seakan-akan membelenggu dirinya untuk bergerak. Disusul dengan
mendung yang sekejap berkumpul dan bunyi menggelegar petir menambah getaran gantung
(paragraf 26)

Di samping itu ada bahasa Jawa yang digunakan dalam dialog antar tokoh. Perhatikan
beberapa kutipan berikut: ”Nduk. Ayo cepetan masuk. Ntar kamu sakit lagi,” seru lembut
bersumber dari beranda rumah. Penggunakan kata yang bercetak tebal itu merupakan nama
panggilan untuk anak perempuan dalam suku jawa. Tersirat dari dialog dengan nama panggilan
tersebut keluarga kecil ini bersuku jawa.

Sepintas, rasa bahasa Jawa terkesan sebagai inti dalam cerpen “Batik Kopi Pecah”, tapi menurut
saya rasa bahasa Jawa hanya ditampilkan/hanya terasa melalui nama panggilan Nduk dan
penggunaan kata toh yang artinya rasa bahasa jawa hanyalah tempelan dari bahasa yang di
ungkapan dengan bahasa Indonesia. Ini sejalan dengan posisi pengarang yang ingin mengangkat
dan menceritakan bagaimana asal mula batik yang bermotif natural yaitu kopi pecah. Kata “seru
lembut” menunjukkan bahwa pengarang menggunakan pilihan kata yang begitu berhati-hati
dalam menggambarkan sosok seorang ibu tetapi pemilihan kata ini menunjukkan keragu-raguan
pengarang dalam memberi watak pada orang tua yang ingin tetap terlihat sayang pada anak.
“Yanti, ayo masuk!” seru bapak kemudian yang nadanya sedikit keras kepada Yanti….”
(paragraf 5)
Sebagai cerpen yang ingin menceritakan bagaimana asal mula batik yang bermotif kopi pecah
menurut versi pengarangnya atau imajinasi pengarang, cerpen ini sangat didukung oleh bahasa
yang mengalir lancar dan jernih khususnya dalam menggambarkan suasana demi suasana.
Bahasa disitu menggambarkan peristiwa dengan dingin dan datar, karena bahasa tidak digunakan
secara maksimal untuk memperuncing peristiwa yang terjadi. Ini disebabkan karena pencerita
tidak menceritakan bagaimana proses dan sebab terjadinya peristiwa di dalam cerpen itu.
Demikianlah konflik tidak dibuat gempar oleh (penggambaran) bahasa yang berlebihan.
Pengarang atau narator seakan hanya memotret peristiwa, tanpa melebihkan atau
menguranginya.[8] Karena peristiwa yang diceritakan menjadi awal dan akhir cerita, artinya
bahwa pencerita diaan (orang ketiga) hanya menceritakan dan memotret porsi yanti yang lebih,
oleh karena itu tidak diceritakan secara jelas bagaimana peristiwa menusukan terhadap
bapaknya, siapa yang melakukanannya dan atas dasar apa melakukan penusukan itu ?.
Begitupula yang terjadi dengan Yanti yang tunawicara, apa sebabnya yanti tunawicara padahal
penderita tunawicara salah satunya dapat disebabkan oleh keturunan atau gen tetapi ibu dan
bapaknya tidak tunawicara. Sehingga fungsi pencerita diaan (orang ketiga) dalam cerpen ini
tidak bekerja secara maksimal (tidak maha mengetahui) karena hanya menceritakan bagian yang
mendukung saja, seperti kesukaan yanti, aktifitas keluarga, dialog antara yanti pada ibu dan yanti
pada bapak dalam beraktifitas tanpa menceritakan atau menjelaskan konflik dan peristiwa dalam
cerpen tersebut.
Peristiwa penusukan terhadap bapaknya Yanti di akhir cerita, misalnya, tampak kurang didukung
oleh hadirnya tokoh lain, siapa yang menusuk ?, seakan-akan hanya untuk menjadikan bapaknya
Yanti tertusuk. Lalu mengapa mesti ada peristiwa penusukan yang sebabnya kurang jelas ?
apakah hanya itu yang bisa membuat yanti kaget dan melemparkan biji kopi yang dibungkus
dengan kain putih ? dimana para tentangga rumah mereka ? yang secara logis lolongan yang
keras apa para tetangga tidak mendengarnya ?
Peristiwa lain yang juga menganggu adalah ketika penyelesaian cerita tersebut, peristiwa
bapaknya yang ditusuk menjadikan sebuah hikmah bagi Yanti menciptakan batik bermotif kopi
pecah yang tidak diceritakan bagaimana proses hingga Yanti memperoleh penghargaan atas
motif yang yang terbagus. Hanya dijelaskan di dinding rumah terdapat kain putih yang ternoda
kopih pecah, foto Yanti menerima penghargaan dan disampingnya ada figura dengan tulisan
besar berbunyi “Best Motive”, itu lah gambaran akhir dalam cerpen ini yang membuat kita
bertanya-tanya bagaimana ? mengapa ? dan lain sebagainya

Pada akhirnya, secara kesuluruhan cerpen ini menarik dengan menganggkat asal usul
terbentuknya motif kopi pecah yang tetap melestarikan kebudayaan Indonesia tetapi mungkin
ada beberapa kelemahan yang menimbulkan penceritaan yang kurang menarik dari segi sudut
pandang yang diciptakan oleh pengarang yang tidak tepat, bahasa yang digunakan ragu-ragu, dan
adanya kerengganggan antara konflik dan peristiwa. Mungkin itulah hubungan antara sudut
pandang orang ketiga yang kurang tepat digunakan menjadikan kerenggangan antara konflik dan
penyelesaiannya. Sungguhpun demikian, ”Batik Kopi Pecah” tetaplah cerpen yang berhasil
menggangkat kebudayaan Indonesia dan memberikan amanat yang membuat kita tetap semangat
dalam menghadapi peristiwam “bahwa disetiap peristiwa itu ada hikmah yang dapat kita ambil”.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai