Anda di halaman 1dari 41

TUGAS KEPERAWATAN KRITIS

“ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF KARDIO N-STEMI”

Dosen Pembimbing : Agus Wiwit S.Kep.,Ns, M.Kep

Disusun oleh : Kelompok 3 / 2A

1. Afrida Asya A (201601001)


2. Ana Maziatul M. (201601003)
3. Andriana Yustika R. (201601004)
4. Antoni Risky C. (201601005)
5. Ayung Wiji Utami (201601006)
6. Desy Binti N.S (201601012)
7. Firda Aulia Indriani (201601024)
8. Hamdan Mawafi (201601025)
9. Nanik Lestari (201601045)
10. Nur Hambyah (201601048)
11. Prima Sari Utama (201601051)
12. Rizky Fatma P (201601056)

PRODI DIII KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAHKABUPATEN PONOROGO
Jl. Ciptomangunkusumo No.82 A Ponorogo
Tahun Ajaran 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Askep intensif kardio SKA N-STEMI“. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Kritis.

Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta


bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan
terimakasih kepada :

1. Dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yakni Bapak Agus Wiwit S.Kep.,Ns,
M.Kep yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan bimbingan
kepada kami dalam penyusunan makalah ini.

2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara moril
maupun materil selama proses pembuatan makalah ini.

3. Teman-teman mahasiswa tingkat 2A Program Studi DIII Keperawatan


Pemerintah Kabupaten Ponorogo angkatan 2018/2019 yang selalu
memberikan dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan demi
tersusunnya makalah ini.

Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
sempurnanya makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Ponorogo, Januari 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER ....................................................................................................................

KATA PENGANTAR .............................................................................................2

DAFTAR ISI ...........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang .................................................................................................5


B. Rumusan masalah ............................................................................................6
C. Tujuan ..............................................................................................................6

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Definisi ...........................................................................................................7
B. Etiologi ...........................................................................................................8
C. Patofisiologi ...................................................................................................9
D. Manifestasi klinis ...........................................................................................10
E. Pemeriksaan penunjang..................................................................................11
F. Diagnosa banding ...........................................................................................14
G. Stratifikasi resiko ...........................................................................................17
H. Terapi .............................................................................................................18
I. Pengobatan .....................................................................................................21
J. Mobilisasi pada pasien SKA ..........................................................................23

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Anamnesis ......................................................................................................25
B. Riwayat klinis ................................................................................................25
C. Pemeriksaan fisik ...........................................................................................26
D. Diagnosa keperawatan ...................................................................................28

3
E. Intervensi keperawatan...................................................................................29

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................................38
B. Saran ..............................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................40

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan spektrum klinis yang mencakup
angina tidak stabil, infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), dan
infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha, 2011).
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada,yang menjadi salah
satu gejala yang paling sering di dapatkan pada pasien yang datang ke igd,
diperkirakan 5,3 juta kunjungan pertahun (Sudoyo, Setyohadi, Alwi,
Simadibrata, & Setiati, 2010).
Kira-kira 1/3 darinya disebabkan UA/NSTERMI,dan merupakan penyebab
tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan RS
untuk pasien UA/NSTERMI semakin meningkat, sementara angka infak miokard
dengan elefasi ST (STEMI) menurun (Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, &
Setiati, 2010).
Keluhan utama SKA adalah nyeri dada, dan digolongkan lagi berdasarkan
ada tidaknya elevasi segmen ST pada gambaran EKG (elektrokardiografi).
Diagnosis awal SKA tanpa elevasi segmen ST digolongkan lagi berdasarkan
hasil pemeriksaan enzim jantung, yaitu troponin. Jika troponin positif,
diagnosisnya adalah infark miokard aku tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI),
dan jika negatif, diagnosisnya adalah angina tidak stabil (Myrtha, 2011).
Oleh karena itu, manajemen yang optimal terhadap kondisi NSTEMI
sangat penting.6 Anamnese, pemeriksaan fisik, EKG, pertanda biokimia, dan
ekokardiografi merupakan alat-alat yang sangat penting digunakan untuk
mendapatkan diagnosis yang tepat.

5
Manajemen SKA harus berfokus pada diagnosis yang cepat dan tepat,
stratifikasi resiko, tindakan terapi yang sesuai untuk mengembalikan aliran darah
pembuluh koroner dan mengurangi iskemik miokard.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kardio SKA NSTEMI?
2. Apa penyebab dan factor resiko dari NSTEMI?
3. Bagaimana patofisiologi dari NSTEMI?
4. Apa saja manifestasi klinis dari NSTEMI?
5. Pemeriksaan penunjang apa saja yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis NSTEMI?
6. Jenis diagnosis banding apa yang digunakan untuk menegakkan diagnosis
NSTEMI?
7. Stratifikasi resiko jenis apa yang digunakan untuk NSTEMI?
8. Bagaimana terapi pada NSTEMI?
9. Apa saja jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi NSTEMI?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien NSTEMI?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definsi SKA NSTEMI
2. Untuk mengetahui etiologi NSTEMI
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari NSTEMI
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari NSTEMI
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada NSTEMI
6. Untuk mengetahui jenis diagnosis banding pada NSTEMI
7. Untuk mengetahui stratifikasi resiko yang digunakan pada NSTEMI
8. Untuk mengetahui terapi NSTEMI
9. Untuk mengetahui jenis obat yang digunakan pada pasien NSTEMI
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien NSTEMI

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular
yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka
kematian yang tinggi. Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian
dan oleh karenanya diperlukan pedoman tatalaksana sebagai rangkuman
penelitian yang ada (Irmalita, et al., 2015).
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan spektrum klinis yang mencakup
angina tidak stabil, infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI),
dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI). Keluhan utama
SKA adalah nyeri dada, dan digolongkan lagi berdasarkan ada tidaknya elevasi
segmen ST pada gambaran EKG (elektrokardiografi) (Myrtha, 2011).
Diagnosis awal SKA tanpa elevasi segmen ST digolongkan lagi
berdasarkan hasil pemeriksaan enzim jantung, yaitu troponin. Jika troponin
positif, diagnosisnya adalah infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI), dan jika negatif, diagnosisnya adalah angina tidak1 stabil (Myrtha,
2011).
Infark miokard akut tanpa elevasi (non ST elevation myokacardial
infarcion = NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya
penatalaksaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nikrosis
miocard berupa peningkatan bio marker jantung (Sudoyo, Setyohadi, Alwi,
Simadibrata, & Setiati, 2010).

7
B. Etiologi
Infark miokard mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga (Irmalita, et
al., 2015).
1. Diabetes mellitus
Untuk kategori dislipidemia dapat dilihat proporsi DM tipe 2
dengan PJK pada yang tidak dislipidemia adalah lebih banyak (58,7%)
dibandingkan dengan yang dislipidemia (28%). Berdasarkan uji chi-
square didapat nilai p=0,000. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang sangat bermakna antara dislipidemia
dengan kejadian PJK pada penderita DM tipe 2 (Yuliani, Oenzil, &
Iryani, 2014).
2. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor yang sulit dikendalikan
dampaknya terhadap penyakit jantung koroner. Berdasarkan penelitian
mengenai penyakit jantung coroner dengan obesitas di Kelurahan
Kebon Kelapa, Bogor menyatakan bahwa hipertensi juga diderita oleh
mayoritas penderita PJK dengan obesitas yaitu sebesar 71,2 persen
dengan p = 0,000. Hasil analisis multivariat juga memberikan risiko
1,8 kali dibandingkan yang tidak hipertensi (95% CI 1,31–2,53)
(Rustika & Oemiati, 2014).
3. Obesitas
Factor resiko perilaku pada PJK dengan obesitas adalah
responden yang memiliki gangguan emosional yangbtinggi, hipertensi,
kadar gula darah puasa tinggi, dua jam paska pembebanan glukosa
tinggi, kolesterol tinggi, HDL rendah dan LDL tinggi mempunyai
resiko untuk mendapatkan PJK dengan obesitas (Rustika & Oemiati,
2014).

8
4. Kolesterol
Dari hasil penelitian didapatkan frekuensi terbanyak pasien
SKA di rumah sakit khusus jantung Sumatera Barat pada tahun 2011-
2012 adalah pasien dengan kolesterol total <200 mg/dl sebanyak 54
pasien (55,1%) kejadian SKA terbanyak adalah kejadian NSTEMI
yaitu sebanyak 1015 dari 4398 kasus yaitu sekitar 23% (Zahara,
Syafri, & Yerizel, 2013).

C. PATOFISIOLOGI

9
D. Manifestasi klinis
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA.
Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian
besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada
angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini
merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA (Departemen
Kesehatan, 2006).

Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :


1. Lokasi : substermal, retrostermal, dan precordial
2. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3. Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
6. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
dan lemas.

10
Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala
APTS/NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-
tanda gagal ventrikel kiri akut (Departemen Kesehatan, 2006).
Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek,
rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi,
terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan
harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel
dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis (Departemen Kesehatan,
2006).
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor
pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI.
Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat,
kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru (Departemen
Kesehatan, 2006).
Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3)
menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit
vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga
penderita penyakit jantung koroner (PJK) (Departemen Kesehatan, 2006).

E. Gambar EKG Pada NSTEMI

11
12
F. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak
ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah
infark miokard dengaN non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP) (Irmalita, et al., 2015).
Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar
≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya.
Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2
sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut (Irmalita, et al.,
2015).
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak
medis pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG

13
sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman
EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG
serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai
pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
1) Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat
disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20
menit)
2) Gelombang Q yang menetap
3) Nondiagnostik
4) Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinan diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya
akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan
ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu
dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan (Irmalita, et al.,
2015).
2. Marka jantung
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam
diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung
tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan
troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan
kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG (Irmalita, et al.,
2015).
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat
sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal, ULN).
Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya
mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina.
Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai
untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut (Irmalita, et al.,
2015).

14
Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di
dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap
sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya
menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas,
peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu (Irmalita, et al.,
2015).
Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang
sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit
di atas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat
(Irmalita, et al., 2015).
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan
CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4
hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2
hari (Irmalita, et al., 2015).

3. Pemeriksaan invasive (angiografi coroner)


Angiografi coroner memberikan informasi mengenai
keberadaan dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera
dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi
dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik
akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien

15
yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak
ditemukan perubahan EKG diagnostic (Irmalita, et al., 2015).
Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka
dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai
perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab (Irmalita, et
al., 2015).
Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas
yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect
yang mengesankan adanya trombus intrakoroner (Irmalita, et al.,
2015).
4. Pemeriksaan non invasive
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna
untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia
segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan
menjadi normal saat iskemia menghilang (Irmalita, et al., 2015).
Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta,
kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui
pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat
darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien
tersangka SKA (Irmalita, et al., 2015).

16
G. Diagnosis banding
Jenis Nyeri dada EKG Enzim
jantung
APTS Angina pada waktu Depresi segmen T Tidak
istirahat/aktivitas ringan inversi gelombang T meningkat
(CCS III-IV). tidak ada gelombang
Crescendo angina. Q
Hilang dengan nitrat
NSTEMI Lebih berat dan lama Depresi segmen ST Meningkat
(>30 menit). Tidak Inversi gelombang T minimal 2x
hilang dengan nitrat, nilai batas
perlu opium. atas normal
STEMI Lebih berat dan lama Hiperakut T Meningkat
(>30 menit) tidak Elevasi segmen T minimal 2x
hilang dengan nitrat, Gelombang Q nilai batas
perlu opium Inversi gelombang T atas normal

Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi


KEMUNGKINAN KEMUNGKINAN KEMUNGKINAN
BESAR dari: SEDANG dari : KECIL dari :
anamnesis Nyeri dada atau Nyeri dada atau Nyeri dada tidak
lengan kiri yang dilengan kiri, pria, khas angina
berulang usia >70 tahun,
mempunyai riwayat diabetes mellitus
PJK, termauk infark
miokard
Pemeriksaan Regurgitasi mitral, Penyakit vascular Nyeri dada timbul
fisik hipotensi, ekstra kardiak setiap dilakukan
diaphoresis, edema palpasi

17
paru, atau ronchi
EKG Depresi segment ST Gelombang Q Gelombang T
≥ 1mm atau inversi yang menetap mendatar atau
gelombang T yang Depresi segmen inversi <1 mm
baru (atau dianggap ST 0,5-1 mm atau disadapan dengan
baru) dibeberapa inversi gelombang gelombang R yang
sadapan prekordial T>1 mm dominan
Marka Kadar troponin I/T Normal Normal
jantung atau CKMB
meningkat

H. Stratifikasi resiko
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel
yang masingmasing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah
usia ≥65 tahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST
pada EKG, terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu,
peningkatan marka jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir
(Irmalita, et al., 2015).
Dari semua variable yang ada, stenosis koroner ≥50% merupakan
variabel yang sangat mungki tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah
(risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko
kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian
kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi
kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk
UAP/NSTEMI (Irmalita, et al., 2015).

Parameter
Usia >65 tahun 1
Lebih dari 3 faktor resiko* 1

18
Angiogram coroner sebelumnya menunjukan >50% 1
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1
Setidaknya 2 episode nyeri saat istirahat dalam 24 jam terakhir 1
Deviasi ST >1 mm saat tiba 1
Peningkatan marka jantung (CK, Troponin) 1
*factor resiko : hipertens, merokok, riwayat penyakit dalam keluarga,
dislipdemia.
Stratifikasi resiko berdasarkan TIMI score :
Skor TIMI Resiko Resiko kejadian kedua
0-2 Rendah <8,3%
3-4 Menengah <19,9%
5-7 Tinggi ≤ 41%

Skala Heart score untuk menentukan stratifikasi resiko pada NStemi :


Heart score Score
History  Sangat curiga chest pain tipikal 2
 Curiga chest pain tipikal 1
 Chest pain atipikal 0
EKG  ST depresi/ST elevasi 2
signifikan
 Gambaran ECG repolarisasi 1
non spesifik
 Normal 0
Age  >64 2
 46-64 1
 <46 0
Risk factor  >2 faktor resiko*/riwayat CAD 2
 1 atau 2 faktor resiko 1
 Tidak ada factor resiko 0

19
Troponin  >2x nilai normal 2
 2x nilai normal 1
 Dalam nilai normal 0
*factor resiko : DM, Hipertensi, hyperlipidemia, riwayat CAD dalam keluarga,
obesitas.
Interprestasi HEART score :
Score Peluang kejadian merugn akibat PJK/SKA (MACE)
0-3 6 minggu setelah pengkajian sekarang kemungkinan nyeri dada
2,5%
4-6 6 minggu setelah datang peluang kambuh 20,3%, pasien perlu
rawat inap
7-10 6 minggu setelah rawat inap jika pasien datang maka tidak perlu
rawat inap lagi tetapi langsung dilakukan tindakan invasif

I. Terapi
Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk
dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi
invasive melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien
dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan
angiografi ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4
kategori, yaitu:
1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C).
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat
tinggi (very high risk) (Tabel 10)
2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)
Dengn salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) primer (Tabel 11)
3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi
(high risk) atau dengan gejala berulang

20
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi
elektif (Kelas III-A)
Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara
rutin Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko
tinggi dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut
ini:
1. Nyeri dada tidak berulang
2. Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
3. Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam
ke-6 hingga 9) Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau
antara jam ke-6 hingga 9)
4. Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)
Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti HEART score
dan TIMI juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk
menggunakan strategi konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-
pasien ini berdasarkan evaluasi PJK (Irmalita, et al., 2015).
Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test untuk menentukan
adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk perencanaan
pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif. Risk Score >3 menurut
TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi Timing revaskularisasi
dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas (Irmalita, et al., 2015).

J. Pengobatan
1. Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi
penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1
yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium.
Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma
bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri.

21
b. Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena
yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir
diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium
berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.
c. Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin
mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa
efek pada SA Node atau AV node.
2. Antiplatelet
a. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100
mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang
strategi pengobatan yang diberikan.
b. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300
mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari.
c. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan
(atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap
aman.
3. Penghambat Reseptor Glikoprotein
Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko
kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C).
4. Antikogulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien
yang

22
mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).Pemilihan antikoagulan
dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan
profil efikasi-keamanan agen tersebut.
5. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita
pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung,
dengan atau tanpa gagal
jantung klinis.
6. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-
coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita
UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi
kontra.

K. Mobilisasi Pada Pasien SKA


Penelitian tentang “The feasibility of early physical activity
inintensive care unit patients: a prospective observational one-center study”.
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa mobilisasi miring kanan dan kiri
kemudian bertahap dengan aktivitas berjalan kaki serta latihan duduk di kursi
dapat meningkatkan denyut jantung, peningkatan laju pernafasan, tekanan
darah arteri dan saturasi oksigen. Penelitian ini diperoleh hasil bahwa
probabilitas denyut jantung 130 denyut/menit atau meningkat 20% selama
intervensi adalah 36% (16-63) dengan latihan miring kanan dan kiri. Hasil ini
secara signifikan lebih besar dari latihan dengan berjalan kaki (8% (2-23), P =
001), dan duduk di kursi (5% (2-13), P = 001).
Hal ini sesuai dengan manfaat mobilisasi yaitu pada sistem
kardiovaskuler, pengisian ventrikel kiri dan sel pacu jantung (pacemaker) di

23
nodus SA berkurang, terjadi hipertrofi atrium kiri, kontraksi dan relaksasi
ventrikel kiri bertambah lama, respon inotropik dan kinotropik terhadap
stimulasi beta-adrenergik berkurang curah jantung maksimal, peningkatan
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) serum dan resistensi vaskuler perifer.
Pada fungsi paru terjadi penurunan Forced Expiration Volume 1
second (FEV1) dan Forced Volume Capacity (FVC), berkurangnya efektivitas
batuk dan fungsi silia dan meningkatnya volume residual. Adanya ‘ventilation
perfusion mismatching’ menyebabkan PaO2 menurun seiring bertambahnya
usia : 100 – (0,32 x umur), serta adanya aktivitas dapat meningkatkan
frekuensi dan kedalaman untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk menambah
oksigen. (Bourdin, 2010)

24
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN SKA KARDIO NSTEMI

A. ANAMNESIS
Nyeri dada seperti diikat, atau rasa tidak enak pada bagian tengah :
a. Diinduksi oleh aktivitas atau lebih jarang oleh emosi
b. Bias menjalar kerahang dan ke lengan
c. Berkurang dengan istirahat dan tablet atau semprotan GTN
d. Kadang bias mengalami sesak nafas saat beraktivitas.
Nyeri timbul seperti diikat bahkan bisa lebih hebat dan berlangsung lebih
lama :
 Bisa menjalar ke rahang sampai ke lengan
 Seringkali disertai mual muntal, berkeringat, dan cemas.
 Bisa ditambah komplikasi gagal jantung, syok, dan aritmia
Tanyakan secara rinci mengenai nyeri dada dan gejala lain. Pertimbangkan
tingkat nyeri dada yang lain, seerti emboli paru, diseksi aorta, dan refluks
esophagus. Pertimbangkan kemungkinan kontraindikasi pemberian
trombolisis (Gleadle, 2005).

B. RIWAYAT KLINIS
Mayoritas pasien (>80%) datang dengan nyeri dada. Gejala khas dan
data dibandingkan dengan serangan memanjang angina berat, sementara
serangan angina tidak khas berlangsung selama 5-10 menit, nyeri dada ada
infark miokard biasanya berlangsung minimal 30 menit. Nyeri atau rasa berat
menekan dan bisa disertai keringat dinginatau rasa takut. Meskiun nyeri dapat
menyebar ke lengan atau rahang kadang gejala terutama timbul dari
epigastrium, yang dapat menyebabkan kesulitan diagnostic. Pada manula, dan

25
epnderita diabetes, nyeri mungkin hanya sedikit atau tidak ada sama sekali
(Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).
Infak miokard akut terjadi setelah aktivitas berat atau emosi ekstrem,
jarang ada puncak aktivitas. Hingga 50% pasien terbangun dari tidur karena
nyeri dan sekitar sepertiga pasien melanjutkan aktivitasnya meskipun
mengalami nyeri dada. Saat ditanyakan, pasien mengakui adanya gejala tidak
jelas beberapa harpi atau minggu sebelum kejadian termasuk malaise, lelah
atau nyeri dada tidak spesifik (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).
 Sesak nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri, mengindikasikan ancaman gagal ventrikel dan kadang
terjadi sebagai manifestasi satu-satunya infark miokard. Ansietas dapat
menyebabkan ventilasi. Pada kasus ini tanpa gejala, sesak nafas lanjut
merupakan tanda disfungsi ventrikel kiri bermakna (Gray, Dawkins, &
Simpson, 2006).
 Gejala gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah dan
dikatakan lebih sering terjadi pada infark inferior. Stimulasi diafragmatik pada
infark inferior juga data menyebabkan cegukan (Gray, Dawkins, & Simpson,
2006).
 Gejala lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinko atau aritmia (misalnya stroke,
iskemia ekstremitas) (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Tampilan umum
Pasien tampak pucat, berkeringatm dan gelisah karena aktivitas
berlebih simpatis. Mungkin terdapat gangguan pernapasan yang jelas
dengan takipnea dan sesak nafas (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).

26
Demam derajat sedang dengan suhu kurang dari 38c timbul 12-24
jam setelah nyeri mungkin berguna untuk diagnosis jika emeriksaan
enzim jantung belum tersedia (Gray, Dawkins, & Simpson, 2006).
 Apakah pasien perlu diresusitasi segera?
 Pastikan jalan napas dan pernapasan. Beri oksigen. Pasang jalur
intravena, monitor EKG dan EKG 12-lead
 Apakah pasien tampak sakit berat?
 Apakah pasien kesakitan, tertekan, nyaman, muntah, cemas,
berkeringat, pucat, sianosis, atau takipnea?
 Apakah perfusi pasien cukup ataukah perifer teraba dingin?
 Adakah stigmata kolesterolemia atau merokok?
 Adakah anemia atau sianosis atau parut bedah (misalnya bekas
CABG)?
 Nadi : perhatikan kecepatan, irama, isi dan sifat. Apakah
nadi perifer samakuat dan teraba?
 TD : apakah sama dikedua lengan?
 JVP : meningkat atau tidak?
 Gerak dada : apakah mengembang simetris?
 Denyut apeks?
 Apakah nyeri timbul/perberat saat ditekan?
 Auskultasi : apakah lapang paru bersih? Adakah bunyi tambahan-
ronchi, rub, atau whezzing? Periksa bunyi jantung untuk mencari
murmur, gesekan perikard, dan irama gallop.
 Periksa edema perifer,pergelangan tungkai, dan sacrum.
 Abdomen : adakah nyeri tekan, tahanan, nyeri lepas, bising usus,
organomegali, aneurisma?
 Adakah keluaran urine?
 SPP: adakah kelemahan, deficit fokal?
 EKG sangat fital dalam diagnose MI.

27
Periksa dengan teliti untuk kemungkinan akibat MI:
 Aritmia
 Syok kardiogenik
 Gagal jantung (khususnya edema paru)
 Disfungsi katup (khususnya regurgitasi mitral) dan jarang defek
ventrikuloseptal.
 Jika pasien mengalami nyeri dada dan syok atau tampak sakit berat,
pertimbangan MI, angina tak stabil, pneumotoraks, emboli paru, dan
diseksi aorta.

D. DIAGNOSE KEPERAWATAN
1. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan dengan penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi ektrikal.
DO :
- Hasil EKG menunjukan ST depresi
- Troponin meningkat 2x diatas normal
- Sesak nafas
DS :
- Pasien mengatakan nyeri dada menjalar ke rahang sampai ke lengan
kiri
- Pasien memiliki riwayat penggunaan aspirin
- Terdapat riwayat penyakit yang memicu resiko SKA
2. Nyeri berhubungan dengan kurangnya suplai darah ke miokardium,
perubahan metabolisme, peningkatan produksi asam laktat
DO :
- Tampak berkeringat
- Koping tidak efektif
- Sesak nafas karena kekurangan oksigen disebabkan oleh nyeri

28
DS :
- P : nyeri bertambah apabila digunakan untuk beraktivitas
- Q : nyeri seperti tertindih, tertekan
- R : nyeri menjalar dari rahang sampai ke lengan kiri
- S : 8-10
- T : nyeri berlangsung ≥30 menit nyeri tidak hilang dengan nitrat
3. Ansietas behubungan dengan
DO :
- Tampak ketakutan
- Gelisah
- Berkeringat
DS :
- Takut akan kematian karena penyakitnya

E. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi (NIC)
. Keperawatan (NOC)

1. Risiko tinggi Tujuan : Kecukupan 1) Manajemen resiko


penurunan curah volume darah yang jantung
jantung yang dipompa dari ventrikel a. Lakukan penilaian
berhubungan kiri. komprehensif terhadap
dengan penurunan Kriteria Hasil : status hemodinamik
kontraktilitas 1) Keefektifan pompa (yaitu, memeriksa
ventrikel kiri, jantung tekanan darah, denyut
perubahan a. Tekanan darah sistol jantung, denyut nadi,
frekuensi, irama, dalam rentan normal tekanan vena jugularis,
konduksi ektrikal. (100-130 MmHg). tekanan vena sentral,
b. Tekanan darah diastol atrium kiri, dan kanan,

29
dalam rentan normal tekanan ventrikel dan
(70-80 MmHg). tekanan arteri
c. Denyut nadi perifer pulmonalis), dengan
normal (70- tepat.
100x/menit) b. Berikan pemeriksaan
d. Tidak adanya suara fisik berkala pada
jantung abnormal. populasi beresiko
e. Tidak mengalami mual. (misalnya, pasien gagal
f. Tidak terjadi kelelahan. jantung).
g. Tidak terjadi dyspnea c. Kurangi kecemasan
pada saat istirahat. dengan memberikan
h. Tidak mengalami informasi yang akurat
intoleransi aktivitas. dan perbaiki setiap
i. Tidak nampak pucat. kesalahpahaman.
d. Monitor adanya tanda
dan gejala masalah
status volume
(misalnya, distensi
vena, peningkatan
tekanan di vena
jugularis interna kanan,
refleks vena jugularis
positif pada abdomen,
edema, asites, crackles,
dyspnea, ortopne).
e. Monitor adanya tanda
dan gejala masalah
pada status perfusi
(misalnya, hipotensi

30
simptomatik, dingin di
ujung kaki dan tangan,
termasuk lengan dan
kaki; mental
obtundation atau
mengantuk terus;
elevasi di tingkat serum
kreatinin dan BUN,
hiponatremia; tekanan
darah sempit, dan
tekanan nadi
proporsional 25% atau
kurang.
f. Lakukan auskultasi
pada jantung.
g. Monitor dan catat
tekanan darah, denyut
jantung, irama, dan
denyut nadi.
h. monitor curah jantung,
indeks kardiak dan
kerja stroke ventrikuler,
yang sesuai.
i. Berikan obat-obat
inotropik positif dan
obat-obat kontraktilitas.
j. Monitor denyut nadi
perifer, pengisian
kapiler, suhu dan warna

31
ekstremitas
k. Tinggikan kepala
tempat tidur.
l. Jaga keseimbangan
cairan dengan
pemberian cairan IV
atau diuretik
m. Minimalkan stress
lingkungan
n. Berkolaborasi dengan
dokter, sesuai indikasi
2) Manajemen syok :
jantung
a. Monitor tanda dan
gejala penurunan
jantung
b. Auskultasi suara nafas
terhadap bunyi crack
les atau suara tambahan
lainnya
c. Catat tanda dan gejala
penurunan curah
jantung
d. Monitor adanya
ketidakadekuatan
perfusi arteri coroner
(perubahan ST dalam
EKG, peningkatan enz
jantung, angina) sesuai

32
kebutuhan
e. Monitor dan evaluasi
indicator hipoksia
jaringan
f. Berikan oksigen sesuai
kebutuhan
g. Tingkatkan perfusi
jaringn yang adekuat
(dengan resusitsi cairan
dan atau vasopressor
untuk mempertahankan
tekanan rata-rata arter
(NAP) > 60 mmHg)
sesuai kebutuhan

2. Nyeri dada Tujuan : Rasa nyeri dapat 1) Manajemen nyeri


berhubungan berkurang atau hilang. a. Lakukan pengkajian
dengan Kriteria Hasil : komprehensif yang
kurangnya suplai 1) Kontrol nyeri meliputi lokasi,
darah ke a. Nyeri dapat terkontrol. karakteristik,
miokardium, b. Efek samping obat onset/durasi, frekuensi,
perubahan terpantau. kualitas, intensitas atau
metabolisme, c. Klien dapat mengambil beratnya nyeri dan
peningkatan tindakan untuk faktor pencetus.
produksi asam mengurangi nyeri. b. Gunakan strategi
laktat. d. Dapat mengambil komunikasi terapeutik
tindakan untuk untuk mengetahui
memberikan pengalaman nyeri dan
kenyamanan. sampaikan penerimaan
e. klien dapat membatasi pasien terhadap nyeri.

33
aktivitas. c. Gali bersama pasien
faktor-faktor yang
dapat menurunkan atau
memperberat nyeri.
d. Berikan informasi
mengenai nyeri, seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
dirasakan, dan
antisipasi dari
ketidaknyamanan
akibat prosedur.
e. Kendalikan faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan
(misalnya, suhu
ruangan, pencahayaan,
suara bising).
f. Kurangi atau eliminasi
faktor-faktor yang
dapat mencetuskan atau
meningkatkan nyeri
(misalnya, ketakutan,
kelelahan, keadaan
monoton dan kurang
pengetahuan).
g. Pilih dan

34
implementasikan
tindakan yang beragam
(misalnya, farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
memfasilitasi
penurunan nyeri, sesuai
dengan kebutuhan.
h. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri.
i. Berikan individu
penurun nyeri yang
optimal dengan
peresepan analgesik.
j. Dukung istirahat/tidur
yang adekuat untuk
membantu penurunan
nyeri.
3 Ansietas yang Tujuan : klien dapat 1) Pengurangan
berhubungan mengurangi ansietasnya kecemasan
dengan rasa takut dari ringan. a. Gunakan pendekatan
akan kematian, Kriteria Hasil : yang tenang dan
penurunan status 1) Tingkat kecemasan meyakinkan.
kesehatan, situasi a. Dapat beristirahat b. Nyatakan dengan jelas
krisis, ancaman, dengan tenang. harapan terhadap
atau perubahan b. Tidak berjalan perilaku klien.
kesehatan mondar-mandir. c. Pahami situasi krisis
c. Tidak mengalami yang terjadi dari
distress. perspektif klien.

35
d. Tidak terjadi perasaan d. Berikan informasi
gelisah. faktual terkait
e. Dapat berkonsentrasi. diagnosis, perawatan,
f. Tidak terjadi dan prognosis.
peningkatan darah. e. Dorong keluarga untuk
g. Tidak menarik diri. mendampingi klien
h. Tidak terjadi gangguan dengan cara yang tepat.
tidur. f. Berikan objek yang
menunjukkan perasaan
aman.
g. Jauhkan peralatan
perawatan dari
pandangan (klien).
h. Dengarkan klien.
i. Puji/kuatkan perilaku
yang baik secara tepat.
j. Identifikasi pada saat
terjadi perubahan
tingkat kecemasan.
k. Berikan aktivitas
pengganti yang
bertujuan untuk
mengurangi tekanan.
l. Dukung penggunaan
mekanisme koping
yang sesuai.
m. Instruksikan klien
untuk menggunakan
teknik relaksasi.

36
n. Atur penggunaan obat-
obatan untuk
mengurangi kecemasan
secara tepat.
o. Kaji untuk tanda verbal
dan non verbal
kecemasan.

37
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan spektrum klinis yang mencakup
angina tidak stabil, infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI),
dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI). Keluhan utama
SKA adalah nyeri dada, dan digolongkan lagi berdasarkan ada tidaknya
elevasi segmen ST pada gambaran EKG (elektrokardiografi) (Myrtha, 2011).
Infark miokard mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga (Irmalita, et
al., 2015). Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara
gejala APTS/NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan
tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut (Departemen Kesehatan, 2006).

Jenis Nyeri dada EKG Enzim


jantung
APTS Angina pada waktu Depresi segmen T Tidak
istirahat/aktivitas ringan inversi gelombang T meningkat
(CCS III-IV). tidak ada gelombang
Crescendo angina. Q
Hilang dengan nitrat
NSTEMI Lebih berat dan lama Depresi segmen ST Meningkat
(>30 menit). Tidak Inversi gelombang T minimal 2x
hilang dengan nitrat, nilai batas
perlu opium. atas normal
STEMI Lebih berat dan lama Hiperakut T Meningkat
(>30 menit) tidak Elevasi segmen T minimal 2x

38
hilang dengan nitrat, Gelombang Q nilai batas
perlu opium Inversi gelombang T atas normal

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor


pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI.
Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat,
kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru (Departemen
Kesehatan, 2006).

B. Saran
Seperti pada makalah lainnya pada umumnya sudah pasti tidak lepas dari
yang namanya kritik dan kesalahan dalam pembuatan dan penulisannya.Ini
semua dikarenakan keterbatasan kemampuan penyusun dalam menyusun
makalah ini. Namun penyusun akan berusaha untuk memperbaiki kesalahan
dalam pembuatan makalah.
Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun agar dalam pembuatan makalah yang selanjutnya dapat lebih
baik lagi. Penyusun siap menerima kritik dan saran yanng diberikan.

39
DAFTAR PUSTAKA

Bourdin, G. (2010). The feasibility of early physical activity in intensive care unit
patients : a prospective observational one-center study. France: University de
Lyon.

Departemen Kesehatan. (2006). Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung


Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut. Departemen Kesehatan, 26-29.

Gleadle, J. (2005). At a Glence Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Surabaya: EMS.

Gray, H. H., Dawkins, K. D., & Simpson, I. A. (2006). Kardiologi. Surabaya: EMS.

Haryangsah, R. (2013). PENGARUH TATA RUANG BANGSAL RUMAH SAKIT


JIWA TERHADAP KESELAMATAN DAN KEAMANAN PASIEN.
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 31 No. 2, 114-118.

Irmalita, Juzar, D. A., Andrianto, Setianto, B. Y., Tobing, D. P., Firman, D., et al.
(2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kardiologi
Indonesia, 1.

Myrtha, R. (2011). Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA).
CDK 188 vol. 38 no. 7, 541.

Niman, S. (t.thn.). Penerapan Telepsikiatrik Untuk Pendidikan Kesehatan di


Keperawatan Jiwa. Magister Keperawatan Jiwa (1106043293) Universitas
Indonesia.

Rustika, & Oemiati, R. (2014). Penyakit Jantung Koroner (PJK) dengan Obesitas di
Kelurahan Kebon Kelapa, Bogor (Baseline Studi Kohor Faktor Resiko PTM).
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 17 No. 4, 391.

Sudoyo, A. W., Setyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M. K., & Setiati, S. (2010).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.

40
Sukamto, E., Masnina , R., & Agustina. (2014). HUBUNGAN PERAN PERAWAT
SEBAGAI PELAKSANA. Jurnal Husada Mahakam Volume III No. 7, Mei
2014, hal.319 - 387.

Yuliani, F., Oenzil, F., & Iryani, D. (2014). Hubungan Berbagai Faktor Risiko
Terhadap Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2. Jurnal Kesehatan Andalas Volume 3 Nomor 1, 39.

Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta Selatan: Salemba Medika.

Zahara, F., Syafri, M., & Yerizel, E. (2013). Gambaran Profil Lipid pada Pasien
Sindrom Koroner Akut di Rumah Sakit Khusus Jantung Sumatera Barat
Tahun 2011-2012 . Jurnal Kesehatan Andalas, 170-171.

41

Anda mungkin juga menyukai