Anda di halaman 1dari 10

PEMBAHASAN

1. ABDULLAH BIN `ABBAS BIN `ABDUL MUTHTHALIB BIN HASYIM


Biografi Ibnu Abbas - `Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib
bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah
`Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harits
yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah.
Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut
dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah
Dinasti `Abbasiyah.
Ibnu `Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama
`Abdullah yang mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain
ialah ‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair),
dan `Abdullah bin Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang
menghafal dan menguasai Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah.
Al-`Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh
kaum muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu.
Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu`
Nabi. Ketika shalat, beliau berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan
perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menhadiri
majelis-majelis Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak
mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi.
Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan mendo`akan beliau.
Pernah satu hari Rasul memanggil `Abdullah bin `Abbas yang sedang
merangkak-rangkak di atas tanah, menepuk-nepuk bahunya dan
mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah Ia seorang yang mendapat pemahaman
mendalam mengenai agama Islam dan berilah kefahaman kepadanya di dalam
ilmu tafsir.”
Ibnu `Abbas juga bercerita, “Suatu ketika Nabi hendak ber-wudhu, maka
aku bersegera menyediakan air untuknya. Beliau gembira dengan apa yang
telah aku lakukan itu. Sewaktu hendak memulai shalat, beliau memberi isyarat
supaya aku bendiri di sebelahnya. Namun, aku berdiri di belakang beliau.
Setelah selesai shalat, beliau menoleh ke arahku lalu berkata, ‘Hai `Abdullah,
apa yang menghalangi engkau dari berada di sebelahku?’ Aku berkata, ‘Ya
Rasulullah, engkau terlalu mulia dan terlalu agung pada pandangan mataku ini
untuk aku berdiri bersebelahan denganmu.’ Kemudian Nabi mengangkat
tangannya ke langit lalu berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah ia hikmah dan
kebijaksanaan dan berikanlah perkembangan ilmu daripadanya.’”
Usia Ibnu `Abbas baru menginjak 15 atau 16 tahun ketika Nabi wafat.
Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu tidaklah usai. Beliau berusaha
menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi demi mempelajari
apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Tentang hal ini, Ibnu
`Abbas bercerita bagaimana beliau gigih mencari hadits yang belum
diketahuinya kepada seorang sahabat penghafal hadits:
“Aku pergi menemuinya sewaktu dia tidur siang dan membentangkan
jubahku di pintu rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku sewaktu

1
aku menunggunya bangun dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku bisa saja
mendapatkan izinnya untuk masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi
aku lebih suka menunggunya supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali.
Setelah ia keluar dan mendapati diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata. ‘Hai
sepupu Rasulullah! Ada apa dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan
seseorang kemari, tentulah aku akan datang menemuimu.’ Aku berkata,
“Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari,
bukan datang sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya mengenai hadits yang
diketahuinya itu dan mendapatkan riwayat darinya.”
Dengan kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi maupun
setelah Nabi wafat, Ibnu `Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi
usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan kedewasaannya, `Umar bin
Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’. Khalifah `Umar sering
melibatkannya ke dalam pemecahan permasalahan-permasalahan penting
negara, malah kerap mengedepankan pendapat Ibnu `Abbas ketimbang
pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya yang cerdik dan cerdas,
bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian membuatnya andal dalam
menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau menggunakan debat hanya
untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk pamer kepintaran
atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci, bebas dari
dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik yang
dikenal maupun tidak.
`Umar juga pernah berkata, “Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an ialah dari Ibnu
`Abbas. Apabila umurku masih lanjut, aku akan selalu bergaul dengan
`Abdullah bin `Abbas.” Sa`ad bin Abi Waqqas menerangkan, “Aku tidak
pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang
lebih berilmu dan lebih bijaksana daripada Ibnu `Abbas.” Ibnu `Abbas tidak
hanya dikenal karena pemikiran yang tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga
dikenal murah hati. Teman-temannya berujar, “Kami tidak pernah melihat
sebuah rumah penuh dengan makanannya, minumannya, dan ilmunya yang
melebihi rumah Ibnu `Abbas.” `Ubaidullah bin `Abdullah bin Utbah berkata,
“Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih mengerti tentang hadits Nabi
serta keputusan-keputusan yang dibuat Abu Bakar, `Umar, dan `Utsman,
daripada Ibnu `Abbas.”
Perawakan Ibnu `Abbas tinggi tapi tidak kurus, sikapnya tenang dan
wajahnya berseri, kulitnya putih kekuningan dengan janggut diwarnai. Sifatnya
terpuji, memiliki budi pekerti yang mulia, rendah hati, simpatik-empatik penuh
kecintaan, ramah dan akrab, namun tegas dan tidak suka melakukan perbuatan
sia-sia. Masruq berkata mengenainya, “Apabila engkau melihat `Abdullah bin
`Abbas maka engkau akan mengatakan bahwa ia seorang manusia yang
tampan. Apabila engkau berkata dengannya, niscaya engkau akan mengatakan
bahwa ia adalah seorang yang paling fasih lidahnya. Jikalau engkau
membicarakan ilmu dengannya, maka engkau akan mengatakan bahwa ia
adalah lautan ilmu.”

2
Saat ditanya, “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas
menjawab, “Dengan lisan yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir.”
Terkenal sebagai ‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas membuka rumahnya sebagai
majelis ilmu yang setiap hari penuh oleh orang-orang yang ingin menimba
ilmu padanya. Hari-hari dijatah untuk membahas Al-Qur’an, fiqh, halal-haram,
hukum waris, ilmu bahasa, syair, sejarah, dan lain-lain. Di sisi lain, Ibnu
`Abbas adalah orang yang istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau sering
berpuasa dan menghidupkan malam dengan ibadah, serta mudah menangis
ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.

Sebagaimana lazimnya kala itu, pejabat pemerintahan adalah orang-orang


`alim. Ibnu `Abbas pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada
masa kekhalifahan `Ali. Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau, “Ia
mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara,
ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia
mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut); Apabila ia
memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat
mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan
dosa.”

`Abdullah bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima
yang paling banyak meriwayatkan hadist sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif
menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji
Wada`. Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama
Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi
Thalib.

Pada akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap
di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu
`Abbas memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlaq `ulama.

2. IMAM BUKHARI
Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam
ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam yang
mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al
Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua
mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya
sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua
mata putranya.
Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu,
beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah,
Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam.
Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat
terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim,
Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al
Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-

3
Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al
Muhabbir, Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam,
Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al
Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al
Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.
Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling
terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun
kitab Shahih Muslim.
Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya.
Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga
hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain
beliau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad
(rangkaian perawi-perawi)-nya”.Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin
Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits
yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya : kitab
Shahih Bukhari, pent.)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya
masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar
bagi saya”.
Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits
telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para
imam yang hidup sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi)
terhadap beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi)
termaksud:Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin
Khalid Al Marwazi berkata, “Saya melihat Abu Ammar Al Husein bin Harits
memuji Abu Abdillah Al Bukhari, lalu beliau berkata, “Saya tidak pernah
melihat orang seperti dia. Seolah-olah dia diciptakan oleh Allah hanya untuk
hadits”.
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Saya tidak pernah
melihat di kolong langit seseorang yang lebih mengetahui dan lebih kuat
hafalannya tentang hadits Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dari pada
Muhammad bin Ismail (Al Bukhari).”Muhammad bin Abi Hatim berkata, “
Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat
‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang
status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak
mengetahui status (kedudukan) hadits tersebut”. Mereka jadi gembira dengan
sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu
mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr. ‘Amr berkata kepada
mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad
bin Ismail bukanlah hadits”.
Penelitian Hadits Imam Bukhari
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan
waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para
perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota
yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah),
Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu
dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah

4
kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau
mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan
terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat diantaranya apakah
sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi
(periwayat/pembawa) hadits itu tepercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu
Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam
karya monumentalnya Al Jami’al-Shahil yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu Zahrah,
Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim.
Karya Imam Bukhari
Karya Imam Bukhari antara lain:
1. Al-Jami’ ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari
2. Al-Adab al-Mufrad
3. Adh-Dhu’afa ash-Shaghir
4. At-Tarikh ash-Shaghir
5. At-Tarikh al-Ausath
6. At-Tarikh al-Kabir
7. At-Tafsir al-Kabir
8. Al-Musnad al-Kabir
9. Kazaya Shahabah wa Tabi’in
10. Kitab al-Ilal
11. Raf’ul Yadain fi ash-Shalah
12. Birr al-Walidain
13. Kitab ad-Du’afa
14. Asami ash-Shahabah
15. Al-Hibah
16. Khalq Af’al al-Ibad
17. Al-Kuna
18. Al-Qira’ah Khalf al-Imam

3. IMAM AL-GHAZALI
Al Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i, lahir di Persia desa Ghazaleh, distrik Thus,
pada tahun 1058 M/450 H.
Ia lebih dikenal Abu Hamid Muhammad al Ghazali, sebab salah satu anaknya
bernama Hamid. Gelarnya adalah Hujjatul Islam yaitu seorang yang bisa
memberikan fatwa dalam sudut pandang agama dan logika. Adapun gelar
wangsanya yaitu Al Ghazali, hingga kini menjadi perdebatan. Sebagian
ulama mengatakan gelar wangsanya terambil dari sebuah distrik di provinsi
Khurasan, sebagian ulama yang lainnya berpendapat bahwa gelar wangsanya
terambil dari usaha penenunan ayahnya (Ghazal).

5
Pada saat pembelajarannya, Muhammad al Ghazali memutuskan
meninggalkan desa kelahirannya menuju pendidikan tinggi di Jurjan. Ia
belajar dengan seorang guru besar, yaitu Imam Abu Nashr Ismail.
Kemudian, pada tahun 1080, Imam Ghazalli menuju Nishapur untuk masuk
madrasah Nizamiyah. Salah satu ulama yang tersohor di madrasah
Nizamiyah yaitu Imam Haramain al Juwayni. Ia mengajarkan Al Quran,
hadist, mantiq, retorika, ilmu hikmah, dan filsafat.
Setelah Imam Al Juwayni wafat pada tahun 1085, Imam Ghazali
meninggalkan Nishapur menuju ke Al-Askar di Baghdad. Ia berkenalan
dengan Nizam al Mulk, wazir istana dinasti Saljuk yaitu sultan Jalal al din
Malikshah. Ia diminta untuk mengajarkan hukum agama di Madrasah
Nizamiyah di Baghdad. Al Ghazali mengajar di sana selama empat tahun.
Pada masa itu, tak hanya kalangan muda dan kalangan awam yang
menghadiri perkuliahan Al Ghazali. Ratusan ulama pejabat pemerintahan,
dan yang berkuasa menghadiri perkuliahan Imam Ghazali. Kebanyakan bahan
pengajaran Imam Ghazali dicatat oleh Sayyid bin Faris dan Ibnu Lubban.
Keduanya mencatat kira-kira 183 bahan perkuliahan yang diberi nama
Majalisul Ghazaliyyah.
Imam Ghazali tidak membatasi dirinya dari berdialog hingga bertukar
nalar dengan kaum Syiah, Sunni, Zindiq, Majusi, teolog, Kristen,
Yahudi, Ateis, Zoroaster, dan animisme sehingga pemikirannya
yang fundamentalis berubah menjadi moderat. Selain itu Al Ghazali suka
berkumpul dengan kaum Deis, Matrialis, dan filosof sehingga ia terpengaruh
oleh penalaran bebas. Hal ini membuat dirinya depresi hingga akhirnya
menemukan jalan sufi sebagai jalan hidupnya
Katanya saat itu, “Di saat aku sudah mempelajari ilmu filsafat, kudapatkan
pemahaman mengenainya dan bisa menandai apa saja yang palsu di
dalamnya, dan di saat itu aku menyadari kalau ini juga belum memenuhi
tujuanku sepenuhnya dan bahwa intelektualitas tidak otomatis bisa
memahami atau menyelesaikan semua masalah. Al Ghazali mengatakan lagi
kalau rasa ketidakpuasannya dengan ilmu filsafat menggiringnya untuk
mempelajari mistisisme (sufisme).”
Selain Ihya Ulumuddin, Al Ghazali juga memiliki karya-karya luar biasa
lainnya. Karya Al Ghazali antara lain, di bidang teologi, Al-Wasith (fikih
Syafiiyah), Al-Basith al-Wajiz (tentang hukum agama), Bayanul Qaulani lisy-
Syafii, Khulasatur-Rasail (inti fikih), Ikhtisarul-Mukhtasar, Ghayatul-Ghaur,
Majmuatul fatawa (Kumpulan putusan hukum), ar-Risatul Qudsiyyah
(hukum-hukum agama dari Nabi), fikih: Khulasatul Fiqh (saripati fikih), Al-
Wajiz, Al-Iqtishad fil I’tiqad (penjelasan akidah), logika. Mizanul Amal,
Mihakhun- Nazhar fil Manthiq (Batu Asah Pemikiran tentang Logika),

6
Miyarul Ilm (Batu Timbang Ilmu), Al-Ma’arif (tentang diskursus logika) dan
masih banyak lainnya. Al Ghazali juga merupakan salah satu pemikir Islam
yang pemikirannya diadopsi hingga kini.

4. IMAN SYAFI,I
Tokoh Islam (Mazhab)Iman Syafi'i adalah seorang tokoh islam yang
lahir pada tahun 150 h bersamaan dengan wafatnya tokoh islam yang lain
yaitu Imam ABU HANAFI (Imam mazhab). tempat lahir tokoh islam yang
terkenal dengan mazhab nya ini dalam riwayat menyebutkan beberapa tempat
tetapi yang paling masyur adalah di kota Ghazza tepatnya disebelah selatan
kota Palestina. Ketika berumur 2 tahun tokoh islam /mazhab (syafi')
ini dibawa oleh ibunya hijrah ke negri Hijaz dan berbaur dengan penduduk
negri ini yg keturunan Yaman. Saat berumur 10 tahun tokoh islam ini pindah
ke MEKAH. Imam Syafi'i ( tokoh islam/Mazhab) dan ibunya tinggal dekat
Al-Khaif. Oleh ibunya Imam Syafi'i dimasukkan kesekolah hapalan Al-
Qur'an (kitab suci islam ), karena kecerdasan dan kecepatannya dalam
menghapal Al-Qur'an (kitab suci islam) sang guru merasa malu dan tidak tega
memungut bayaran, selain itu Imam Syafi'i (tokoh islam) sering kali diminta
untuk mengawasi murid-murid yg lain. Ketika mencapai usia baligh Imam
Syafi'i (tokoh islam) telah menjadi seorang guru.Walaupun hidup dalam
kemiskinan Imam Syafi'i (tokoh Islam ) tidak pernah patah semangat dalam
menuntuk ilmu.Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazhab) sering mengumpulkan
tembikar, tulang unta,pelepah kurma potongan kulit untuk digunakan sebagai
alat tulis.Riwayat menyebutkan Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazab ) telah
hapal Al-Qur'an pada umur 7 tahun, lalu Imam Syafi'i (tokoh Islam/Mazhab )
membaca kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik (imam
mazhab/Mazhab ) pada saat beliau berumur 12 tahun, sebelum beliau
berjumpa dan belajar langsung pada Imam MALIK ( tokoh Islam/Mazhab) di
Madinah
Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazhab ) juga mempelajari bahasa Arab dan
syair-syair.Karena pernah tinggal dengan suku Hudzail yang terkenal
kefasihan dan kemurnian bahasanya maka tidak heran bahasa Arab beliau
sanga baik.
Atas nasehat 2(dua) orang ulama yaitu Muslim bin Khalid Az-Zanji
seorang mufti(imam besar agama islam) kota mekah dan Al-Husain bin'Ali
bin Yazid agar Imam Syafi'i (tokoh Islam/Mazhab) mempelajari ilmu FIQIH (
ilmu hukum islam) maka beliau melakukan pengembaraan untuk menuntut
ilmu.
Pertama-tama Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazhab ) belajar kepada ulama-
ulama kota Mekah seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman Al-

7
Athan, Muhammad bin Ali Syafi ( masih terhitung paman jauh beliau) dll. Di
Mekah ini beliau belajar ilmu Fiqih (ilmu hukum islam/Mazhab), Hadish
(ilmu hukum islam ), Laghoh dan kitab Al-Muwaththah karangan imam
MALIK (imam mazhab/Mazhab).
Setelah itu Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazhab ) hijrah ( dalam
pengertian Islam pindah ) ke Madinah dan belajar langsung kepada Imam
Malik (tokoh Islam/imam mazhab ). dihadapan imam Malik ( tokoh
Islam/Mazhab ) belajar membacakan kitab Al-Muwaththa sehingga membuat
imam Malik (tokoh Islam/Mazhab ) terkagum-kagum akan hafalannya. Imam
Syafi'i ( tokoh Islam/azhab ) menjadi murid imam Malik (tokoh
Islam/Mazhab )yang wafat pada tahun 179 H. Selain kepada imam Malik
(tokoh Islam/Mazhab ) Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazhab )juga belajar
kepada beberapa orang ulama ( pemuka Islam/Mazhab) lainnya di Madinah.
Setelah pulang sebentar ke Mekah Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazhab
) kemudian melanjutkan pengembaraanya untuk menuntut ilmu ke Yaman. Di
Yaman beliau belajar kepada Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-
Qadhi serta yang lainnya.Beliau kemudian dibawa ke Baghdad dengan
tuduhan sebagai pemberontak, karena kepandainya dalam ilmu fiqih ( Hukum
IslamMazhab ) dan pembelaan dari Muhmmad bin al-Hasan seorang ahli
fiqih ( hukum Islam ) di Irak maka khalifah Harun ar-Ryasid membebaskan
Imam Syfi'i ( tokoh Islam/Mazhab ).
Di Baghdad Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazhab ) kembali pada
kegiatan asalnya yaitu menuntut ilmu. Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazhab )
belajar/berguru pada Muhammad bin al-Hasan yang mana beliau adalah
bermashab Hanafi sebagaimana orang Irak umumnya.
Setelah menimba ilmu di Irak kemudian Imam Syafi'i ( tokoh
Islam/Mazhab) kembali ke Mekah. Pada saat itu nama beliau mulai dikenal.
Pada saat musim haji, mereka-mereka yang telah mengenal nama beliau dan
ilmunya yang mengagumkan bersemangat mengikuti pengajarannya, salah
satu diantara mereka adalah imam AHMAD bin HAMBAL ( tokoh
Islam/Mazhab ). Atas saran dari Imam Abdurrahman bin Mahdi meminta
beliau menulis sebuah kitab( mazhab), kemudian Imam Syafi'i ( tokoh
Islam/Mazhab ) menulis sebuah kitab yang terkenal yaitu AR-RISALAH.
Pada tahun 197 Imam Syafi'i ( tokoh Islam/Mazhab ) mulai menyebarkan
mazhab nya sendiri sehingga banyaklah orang yang berminat belajar kepada
Imam Syafi'i (tokoh islam/ Mazhab)
Imam Syafi'i wafat (tokoh islam/Mazhab)pada ahun 204 H pada hari
terkhir bulan Rajab pada malam jum'at setelah saat isya ketika berumur 54
tahun.

8
5. IBNU HAJARA AL ASA ALANI
Ibnu Hajar al-'Asqalani (773 H/1372 M – 852 H/1449 M) adalah
seorang ahli hadits dari mazhab Syafi'i yang terkemuka.[2][5] Nama
lengkapnya adalah Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad
bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar, namun lebih
dikenal sebagai Ibnu Hajar al-Asqalani dikarenakan kemasyhuran nenek
moyangnya yang berasal dari Ashkelon, Palestina.[6] Salah satu karyanya
yang terkenal adalah kitab Fathul Bari (Kemenangan Sang Pencipta), yang
merupakan penjelasan dari kitab shahih milik Imam Bukhari dan disepakati
sebagai kitab penjelasan Shahih Bukhari yang paling detail yang pernah
dibuat.
Perjalanan menuntut ilm
Semangat dalam menggali ilmu ditunjukkannya dengan tidak mencukupkan
mencari ilmu di Mesir saja, tetapi dengan melakukan rihlah (perjalanan) ke
banyak negeri. Negeri-negeri yang pernah disinggahi dan tinggal disana, di
antaranya:
 Dua tanah haram (Al-Haramain), yaitu Makkah dan Madinah. Ia tinggal di
Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun
785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Dia mendengarkan Shahih Bukhari di
Makkah dari Syaikh al-Muhaddits ‘Afifuddin an-Naisaburi al-Makki. Dan
Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukan haji dan umrah.
 Damaskus, Di negeri ini, dia bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari
kota Syam, Ibnu ‘Asakir. Dan dia menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al-
Bulqini.
 Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil,
Ramlah dan Ghuzzah. Dia bertemu dengan para ulama di tempat-tempat
tersebut dan mengambil manfaat.
 Shan’a dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.
Perjalanan ini dilakukan oleh al-Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil
ilmu langsung dari ulama-ulama besar. Sehingga dikenal Ibnu Hajar memiliki
banyak guru yang besar dan masyhur.[5]
Karya
Al-Hafizh Ibnu Hajar mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut
sampai mendekati ajalnya. Karya-karya dia banyak diterima umat islam dan
tersebar luas, semenjak dia masih hidup. Para raja dan Amir biasa saling
memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar. Menurut murid utamanya,
yaitu Imam As-Sakhawi, karya dia mencapai lebih dari 270 kitab.
Kebanyakan karyanya berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat
dan dirayat. Di antarakarya tulis Ibnu Hajar tersebut:
 Fathul Bari
 Ad-Durar al-Kaminah, kamus biografi tokoh-tokoh abad ke-8
 Tahdzib at-Tahdzib
 Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, kamus biografi sahabat nabi.
 Bulughul Maram
 Al-Isti'dad Liyaumil Mii'aad
 Nukhbatul Fikr, (tentang Musthalah hadits)

9
TUGAS
TOKOH TOKOH PENCARI ILMU

Disusun Oleh:
Maya Lestari
Kelas X MM

Guru Pembimbing:
MUSHABRI S.Pdi
Nip. 197812172010011009

SMK NEGERI I KOTA SUNGAI PENUH


T.P 2018/2019

10

Anda mungkin juga menyukai