Anda di halaman 1dari 46

i

UJI KUALITAS SUSU DENGAN CALIFORNIA MASTITIS TEST (CMT)


DAN ORGANOLEPTIK PADA SUSU KERBAU PERAH (Bubalus bubalis)
DI KABUPATEN ENREKANG

SKRIPSI

OLEH:

KUNTUM KHOIRANI

O 111 11 114

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015
ii

UJI KUALITAS SUSU DENGAN CALIFORNIA MASTITIS TEST (CMT)


DAN ORGANOLEPTIK PADA KERBAU PERAH (Bubalus bubalis) DI
KABUPATEN ENREKANG

KUNTUM KHOIRANI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Program Studi Kedokteran Hewan

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015
iii
iv

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Kuntum Khoirani

NIM : O111 11 114

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

a. Karya skripsi saya adalah asli

b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab

hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia

dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan

seperlunya.

Makassar, November 2015

Kuntum Khoirani
v

INTISARI

KUNTUM KHOIRANI. O11111114. Uji Kualitas Susu dengan California


Mastitis Test (CMT) dan Organoleptik pada Susu Kerbau Perah (Bubalus bubalis)
di Kabupaten Enrekang. Dibimbing oleh LUCIA MUSLIMIN dan
SUHARTILA.

Susu merupakan makanan bergizi tinggi yang memiliki kandungan seperti


protein, lemak, vitamin, mineral dan substansi lainnya yang diperlukan oleh tubuh
manusia, mudah dicerna dan diserap oleh darah. Kandungan zat gizi pada susu
menjadikan susu sebagai bahan makanan yang baik untuk dikonsumsi oleh
manusia maupun anak hewan. Susu juga dapat membahayakan atau dapat
menimbulkan gangguan terhadap kesehatan manusia apabila terjadi kerusakan
pada susu tersebut. Susu kerbau perah di Kabupaten Enrekang yang diperah
sebagian besar diperuntukkan untuk pembuatan dangke dalam skala usaha rumah
tangga dan belum ada informasi mengenai kualitas susu segar kerbau perah.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015. Materi penelitian adalah sampel
susu dari 28 ekor kerbau perah. Pengujian California Mastitis test (CMT)
langsung di tempat pemerahan, perhitungan jumlah total bakteri dan uji
organoleptik sampel diambil sebanyak ± 20 ml disimpan dalam termos berisi es,
langsung dibawa ke Makassar dengan melibatkan 10 panelis untuk uji
organoleptik dan ke laboratorium untuk dihitung total plate count menggunakan
metode cawan tuang. Data hasil penelitian selanjutnya dianalisis deskriptif yang
digambarkan sebagai tabel dan gambar.
Hasil penelitian menunjukkan pengujian California Mastitis Test (CMT)
yakni sekitar 11 putting/sampel susu dari 4 ekor terindikasi mastitis sub-klinis
sebesar 14,29%. Total plate count (TPC) pada penelitian ini adalah dengan
kisaran antara 1,0x105 – 2,3x106. Kualitas susu melalui uji organoleptik
menunjukkan warna putih kekuningan (3,88), bau khas susu (3,81), dan rasa
sedikit manis dan sedikit asin (3,88). Uji tingkat keasaman, susu kerbau perah
memiliki pH normal (6,21). Dari penelitian ini dapat ditarik simpulan yaitu
kualitas susu kerbau perah di Kabupaten Enrekang dalam kondisi baik
berdasarkan uji California Mastitis Test (CMT), total plate count (Metode cawan
tuang), dan organoleptik.

Kata Kunci : Susu Kerbau Perah, California Mastitis Test, Organoleptik


vi

ABSTRACT
KUNTUM KHOIRANI. O11111114. Milk Quality Test with California Mastitis
Test (CMT) and Organoleptic in Milk Dairy Buffalo (Bubalus bubalis) in
Enrekang. Suvervised by LUCIA MUSLIMIN and SUHARTILA.

Milk is a highly nutritious food that contains such as proteins, fats, vitamins,
minerals and other substances needed by the human body, easily digested and
absorbed by the blood. The content of nutrients in milk to make milk as a food
that good for consumption by humans and animals child. Milk can also be harmful
or may cause disruption to human health in the event of damage to the milk.
Buffalo milk dairy in Enrekang milked mostly intended for the manufacture
dangke scale household enterprises and there is no information on the quality of
fresh buffalo milk dairy. The research was conducted in July 2015. The research
material was a sample of milk from 28 dairy buffaloes. Testing the California
Mastitis Test (CMT) directly in the milking parlor, the calculation of the total
amount of bacteria and organoleptic test samples are taken as much as ± 20 ml
stored in a flask containing ice, was immediately taken to Makassar, involving 10
panellists for organoleptic and into the laboratory to quantify the total plate count
using pour plate method. Data were analyzed descriptively portrayed as tables and
images.
The results showed the test California Mastitis Test (CMT) which is about
11 samples of milk from four tails indicated sub-clinical mastitis amounted to
14,29%. Total plate count (TPC) in this study is in the range of 1.0x105 to
2.3x106. The quality of milk through organoleptic tests showed a yellowish white
color (3.88), a distinctive smell of milk (3.81), and taste slightly sweet and
slightly salty (3.88). Test the level of acidity, dairy buffalo milk has a normal pH
(6.21). From this research can be drawn the conclusion that the quality of buffalo
milk dairy in Enrekang in good condition based test California Mastitis Test
(CMT), total plate count (pour cup method), and organoleptic.

Keywords : Buffalo milk dairy, California Mastitis Test, Organoleptic


vii

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Juli 1994 di Dili


dari ayahanda Ir. Fisman H. Alwi dan ibunda Asita.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 5 Sila
pada tahun 2006, kemudian penulis melanjutkan
pendidikan ke SMP Negeri 2 Bolo dan lulus pada
tahun 2009. Pada tahun 2011 penulis menyelesaikan
pendidikan di SMA Negeri 1 Bolo. Penulis diterima
di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas
Kedokteran, Universitas Hasanuddin pada tahun 2011
melalui ujian jalur mandiri.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu
Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH menjabat
sebagai anggota divisi Pendidikan dan Penghayatan Profesi pada periode
2013-2014.
viii

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

ALHAMDULILLAH, Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah


S.W.T karena atas berkat rahmat dan kehendak-Nya dalam memberikan hidayah
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Deteksi Parasit Darah Babesia sp. pada Sapi Bali di Kelurahan Lalabata
Rilau, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan/S.KH dalam program pendidikan strata satu Program Studi Kedokteran
Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis merasa
sangat bersyukur mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin,
2. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Hewan Universitas Hasanuddin,
3. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M. Sc selaku pembimbing utama dan drh.
Suhartila selaku pembimbing anggota atas dedikasi ilmu, waktu, motivasi, dan
kesabarannya dalam membimbing mulai dari usulan penelitian, pelaksanaan
penelitian, dan penyusunan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan,
4. Drh. Farida Nur Yuliati, M. Si dan Dr. Fatma Maruddin, S. Pt, MP selaku
dosen penguji atas motivasi, saran, dan kritiknya kepada penulis,
5. Dinas Peternakan Kabupaten Enrekang beserta staf yang telah memberikan
fasilitas dan bantuan selama penelitian,
6. Seluruh dosen beserta staf pengelola pendidikan Program Studi Kedokteran
Hewan yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses
pendidikan,
7. Paramedik dan rekan-rekan satu tim di lokasi penelitian yang senantiasa
meluangkan waktu, memberikan bantuan, dan atas kerja samanya selama
penelitian,
8. Masyarakat Kecamaatan Curuio, Kabupaten Enrekang, Desa Sumbang. Dusun
Rogo khususnya para peternak yang telah membantu pengumpulan data
penelitian serta informasi-informasi penting yang dibutuhkan peneliti dan
dengan rasa kekeluargaan menerima dan membantu penulis selama penelitian
berlangsung,
9. Seluruh rekan mahasiswa(i) Angkatan 2011 yang telah memberikan semangat
dan motivasi kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Program Studi
ix

Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin dan membantu penulis secara


langsung maupun tidak langsung dalam melaksanakan penelitian dan
penyusunan skripsi ini,
10. Teman satu tim Bubalus bubalis, Murtafiah Daris, Wahyuni, Reski Olovia
Duri, Yamil Ni’mah, dan Zulfikri yang selalu memberikan semangat, motivasi
dan bantuannya,
11. Sahabat Nofi Ita Purnamasari dan Aulia Al-Hasanati Makulau yang selalu
setia mendengarkan, memberikan masukan dan kritikan,
12. Terkhusus kedua orang tua tercinta Ayahanda Ir. Fisman H. Alwi dan Ibunda
Asita atas cinta kasih dan untaian kasih sayang serta doa yang tidak pernah
putus. Demikian pula saudara(i)ku tercinta Astri Hasrini dan adikku yang
paling ganteng Edi Santoso serta keluarga besar atas segala dukungan dan
bantuannya, baik secara spiritual, moral, maupun material.
Sekali lagi terima kasih kepada semua pihak yang juga tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu atas segala bantuan dan kerja samanya. Harapan dan doa
penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena kemampuan penulis dan
sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Oleh karena itu,
penulis senantiasa mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran yang konstruktif
sehingga penulis dapat berkarya dengan lebih baik lagi kedepannya. Aamiin

Makassar, November 2015

Penulis
x

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN iv
INTISARI v
ABSTRAK vi
RIWAYAT PENULIS vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xii
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.3.1 Tujuan Umum 2
1.3.2 Tujuan Khusus 2
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Hipotesis 3
1.6 Keaslian Penelitian 3
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Ternak Kerbau 4


2.2 Tinjauan umum Susu Kerbau 5
2.3 Syarat Kualitas Susu 6
2.4 Pemeriksaan Kualitas Susu Kerbau 8
2.4.1 Uji California Mastitis Test (CMT) 8
2.4.2 Uji Metode Cawan Tuang 9
2.4.3 Uji Organoleptik 9
3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 12


3.2 Materi Penelitian 12
3.2.1 Sampel dan teknik Sampling 12
3.2.2 Bahan 13
3.2.3 Alat 13
xi

3.1 Metode Penelitian 13


3.1.1 Desain Penelitian 13
3.1.2 Pengambilan Sampel Susu 13
3.1.3 Uji Kualitas Susu dengan California Mastitis Test (CMT) 13
3.1.4 Uji Kualitas Susu dengan Metode Cawan Tuang 14
3.1.5 Uji Kualitas Susu dengan Organoleptik 14
3.1.6 Kerangka Konsep 16
3.1.7 Analisis Data 16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17

5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan 23
5.2. Saran 23
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
xii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Kerbau Lumpur Betina 5
Gambar 4.1 : Hasil Uji Kualitas Susu Kerbau Perah dengan
California Mastitis Test (CMT) 18

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Syarat Mutu Susu Segar Menurut SNI 3141. 1:2011 7
Tabel 4.1 : Hasil Uji California Mastitis Test (CMT) 17
Tabel 4.2 : Total Plate Count 19
Tabel 4.3 : Jumlah Mikroba Pencemar dalam Susu Segar 20

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Data Uji California Mastitis Test (CMT)
Lampiran 2 : Daftar Pertanyaan Kualitas Organoleptik Susu Kerbau
Perah oleh Panelis Pencicip
Lampiran 3 : Perhitungan Rata-rata Skoring Uji Organoleptik
Lampiran 4 : Dokumentasi Kegiatan Proses Pengambilan Sampel
dan Pemeriksaan Sampel melalui uji California Mastitis
Test (CMT), Jumlah Bakteri (Metode Cawan Tuang),
dan Uji Organoleptik.
1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mamalia penting yang menghasilkan susu adalah sapi, kerbau, kambing,


kuda, dan unta (Soeharsono, 2008). Spesies yang susunya dimanfaatkan oleh
manusia, salah satunya adalah kerbau lumpur. Kerbau lumpur merupakan ternak
yang memiliki ciri-ciri tubuh pendek dengan tanduk melengkung, kulit coklat
kehitam-hitaman, berat badan dewasa antara 300-600 kg, ambing berjumlah
empat berwarna putih kemerahan dengan puting relatif panjang (Wirdahayati,
2010).
Kabupaten Enrekang di Sulawesi Selatan kini mengembangkan kerbau
perah, suatu jenis peternakan yang masih sulit dijumpai di Indonesia, selain
pengembangan sapi perah yang sudah lumrah terdengar selama ini, khususnya di
Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang, susu kerbau segar yang diperah sebagian
besar diperuntukkan untuk pembuatan dangke dalam skala usaha rumah tangga.
Kebutuhan akan susu segar yang semakin lama semakin meningkat haruslah
diimbangi dengan peningkatan kualitas susu untuk menjaga kepercayaan dan
kredibilitas peternakan kerbau perah di Kabupaten Enrekang.
Susu merupakan bahan makanan bergizi yang memiliki susunan dan
perbandingan gizi yang sempurna, mudah dicerna dan diserap oleh darah. Susu
mengandung zat gizi yang lebih tinggi. Kandungan zat gizi yang tinggi ini
menjadikan susu sebagai bahan makanan yang sangat baik untuk dikonsumsi oleh
manusia maupun anak hewan. Kandungan zat gizi yang tinggi juga menyebabkan
susu menjadi media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri (Miller et al.,
2007). Produksi susu harus diperhatikan mengingat fungsinya yang begitu
penting. Produksi susu merupakan jumlah produksi susu yang dihasilkan oleh
ternak mamalia baik untuk anaknya, namun juga dapat dimanfaatkan dan diperah
oleh manusia (Nguyen, 2000).
Susu menjadi minuman yang bergizi dilihat dari komposisi nutrisinya, yang
sangat dibutuhkan bagi perkembangan khususnya pada perkembangan tulang anak
serta untuk menjaga kepadatan tulang pada orang dewasa. Susu juga dapat
membahayakan atau dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan manusia
apabila terjadi kerusakan pada susu tersebut. Menurunnya mutu atau kerusakan
susu bisa saja disebabkan karena tercemarnya susu oleh mikroorganisme atau
benda asing lain seperti penambahan komponen lain yang berlebihan (gula, lemak
nabati, pati, dan lain-lain) (Hasanuddin, 2001). Susu dapat tercemar oleh bakteri
karena susu mengandung bahan-bahan yang diperlukan bakteri untuk hidup
seperti protein, mineral, karbohidrat, lemak, dan vitamin dan apabila telah
tercemar oleh bakteri maka secara otomatis susunan serta keadaan susu tersebut
dapat berubah (Saleh, 2004).
California Mastitis Test (CMT) merupakan salah satu metode diagnosa
mastitis subklinis yang sampai saat ini dianggap sederhana dan cepat yaitu metode
dengan menggunakan alat yang disebut paddle dan menggunakan reagen IPB-1
untuk mengetahui tingkat keparahan mastitis subklinis yang dialami (Pradlee, et
al,. 2011). Bakteri penyebab meningkatnya keasaman susu bisa berasal dari ternak
2

penderita mastitis, serta susu tercemar bakteri setelah pemerahan atau bakteri
normal yang mampu memfermentasi laktosa menjadi asam laktat (Ressang dan
Nasution, 1982). Tingkat keasaman susu dapat menurun yang berarti menurun
pula kualitasnya akibat aktifitas bakteri dalam memanfaatkan laktosa menjadi
asam laktat.
Uji organoleptik merupakan hasil reaksi fisikologik berupa tanggapan atau
kesan mutu oleh sekelompok orang yang disebut dengan panelis (Anonimous,
2006). Menurut Susiwi (2009), melalui pengujian organoleptik dapat diperoleh
informasi yang berguna untuk memperbaiki produk, memelihara kualitas,
mengembangkan produk baru serta analisis pasar. Mutu organoleptik mempunyai
peranan dan makna yang sangat besar dalam penilaian mutu produk pangan.
Penerimaan konsumen terhadap suatu produk diawali dengan penilaiannya
terhadap penampakan, flavor dan tekstur. Uji organoleptik yang menggunakan
panelis (pencicip yang telah terlatih) dianggap yang paling peka dan karenanya
sering digunakan dalam menilai mutu berbagai jenis makanan untuk mengukur
daya simpannya
Penelitian untuk mengukur kualitas susu kerbau perah (Bubalus bubalis)
yang meliputi uji California Mastitis Test (CMT) dan organoleptik sejauh ini
belum pernah dilakukan. Penilitian ini juga diharapkan dapat menunjukkan
hubungan pengujian California Mastitis Test (CMT) dan total bakteri terhadap
pengujian organoleptik untuk mengetahui kualitas susu kerbau perah di
Kabupaten Enrekang. Hal ini sangat penting karena berkaitan dengan
pemanfaatan dan keamanan susu yang akan dikonsumsi oleh masyarakat setempat
baik dikonsumsi dalam bentuk segar maupun untuk pengolahan lanjutan agar
tidak menimbulkan penyakit berbahaya.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah bagaimana kualitas susu kerbau perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten
Enrekang ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan
maka tujuan penelitian dapat dibagi menjadi tujuan umum dan khusus:

Tujuan Umum
 Mengetahui kualitas susu kerbau perah (Bubalus bubalis) di Kab. Enrekang

Tujuan Khusus
 Mengetahui bagaimana kualitas susu kerbau perah (Bubalus bubalis) yang
berasal dari Kab. Enrekang dengan uji California Mastitis Test (CMT),
jumlah bakteri, dan organoleptik meliputi warna, bau, rasa, dan tingkat
keasaman (pH).
3

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kualitas
susu kerbau perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang, khususnya peternak
di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang. Informasi ini diharapkan dapat
berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan (Pemerintah
Daerah, Balai Besar Veteriner Maros, dan peternak) dalam upaya meningkatkan
kualitas susu kerbau di Kabupaten Enrekang serta sebagai rujukan kepada pihak
terkait (bidang kesehatan veteriner dan peternak) untuk melakukan tindakan
preventif agar daya tahan susu kerbau lebih baik.

1.5. Hipotesis
Ditemukan susu kerbau perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang
yang berkualitas jelek melalui uji kualitas dengan California Mastitis Test (CMT)
dan organoleptik.
1.6. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang uji kualitas susu dengan California Mastitis Test (CMT)
dan organoleptik pada susu kerbau perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten
Enrekang belum pernah dilakukan. Penelitian yang serupa pernah dilakukan pada
uji kualitas susu kerbau, tetapi terdapat perbedaan yakni lokasinya berbeda
dengan judul “Karakteristik Susu Kerbau Sungai dan Rawa di Sumatera Utara“
oleh Damayanthi, et al. pada tahun 2014.
4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Ternak Kerbau

Rumpun ternak kerbau di Indonesia yaitu kerbau lumpur (Swamp buffalo)


dan kerbau sungai (Riverine buffalo), dengan total populasi sekitar 2.246.000
ekor. Kerbau sungai (Riverine buffalo) hanya ditemukan di daerah Sumatera
Utara, sedangkan kerbau lumpur hampir tersebar di seluruh daerah di Indonesia,
terutama di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, JawaTengah,
Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Sutama, 2008). Kerbau lumpur
dipelihara terutama sebagai ternak kerja dan untuk produksi daging, namun di
beberapa daerah kerbau ini juga diperah (Sjamsul dan Talib, 2007; Wirdahayati,
2008). Kerbau lumpur juga terdapat di daerah Nusa Tenggara Barat dan susu
kerbau digunakan dalam pembuatan dodol untuk keperluan keluarga peternak,
selain itu sebagai bahan dasar pembuatan bahan pangan lokal berupa “palopo” dan
untuk permen susu (Muthalib, 2012).
Ternak kerbau (Bubalus bubalis) merupakan ternak ruminansia yang
penting, mengingat peran dan fungsinya yang sangat strategis dalam menunjang
kehidupan masyarakat di pedesaan. Kontribusi daging kerbau baik sebagai
komponen maupun substitusi daging sapi, mencapai sekitar 10% dari total suplai
daging sapi. Kerbau mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan
mengingat potensi yang dimilikinya, antara lain: mampu bertahan hidup lebih
baik pada kawasan yang sulit dengan kondisi pakan yang rendah, dan mampu
berkembang baik dalam rentang kondisi agrosistem yang luas, dari daerah dengan
kondisi yang sangat basah sampai dengan kondisi yang kering (Hardjosubroto,
2006).
Kerbau sebagai salah satu ternak yang potensial untuk dikembangkan,
karena kerbau memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan sapi, yaitu
mampu hidup pada kawasan yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia
berkualitas rendah. Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi, dapat
berkembang baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas mulai
dari daerah iklim kering, lahan rawa, daerah pegunungan, dan daerah dataran
rendah. Kerbau mampu bertahan hidup dengan baik meski terjadi perubahan
temperatur (heat load) dan perubahan vegetasi padang rumput (Diwyanto &
Handiwirawan, 2006). Kerbau ditemukan hampir di seluruh provinsi di Indonesia.
Ternak kerbau sebagian besar diusahakan oleh peternak rakyat dengan manajemen
pemeliharan tradisional yang belum mengarah kepada perbaikan mutu genetik dan
penjualan produk yang belum tersentuh teknologi sehingga masih belum
mementingkan kualitas produk terutama susu (Damayanthi et al., 2014).
Populasi temak kerbau di Indonesia dibandingkan dengan temak penghasil
daging lainnya jauh lebih sedikit. Perkembangan populasi ternak kerbau dihambat
antara lain ternak kerbau memerlukan suatu tempat khusus seperti kubangan air
untuk menjaga kelangsungan fisiologis tubuhnya, kerbau juga merupakan hewan
semiaquatik yang mempunyai sedikit kelenjar keringat sehingga tidak tahan
terhadap terik panas matahari, di samping itu akibat jumlah penduduk semakin
tinggi, maka lahan pertanian menjadi tergeser sehingga tempat pangonan kerbau
juga mengalami pergeseran (Tappa, 2010).
5

Klasifikasi ilmiah kerbau lumpur adalah sebagai berikut menurut Kerr


(1972) dalam Izza (2011) :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Subfamili : Bovinae
Genus : Bubalus
Spesies : Bubalus bubalis

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Gambar 2.1. Kerbau Lumpur Betina (Azima, 2013)

2.2. Tinjauan Umum Susu Kerbau

Susu kerbau menempati peringkat kedua di dunia setelah susu sapi dengan
total lebih dari 12% produksi susu dunia (Sameen et al., 2008). Susu kerbau
mudah dikenal karena memiliki ciri seperti warnanya yang putih, kaya lemak,
globula lemak susunya kecil dan beremulsi dengan baik. Curd proteinnya lebih
lunak sehingga memungkinkan untuk dibuat keju. Pengolahan susu menjadi keju
dan menjadi produk pangan yang disukai saat ini dapat diolah secara beragam
bertujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi, kenyamanan konsumen, dan rasa yang
enak (Sari et al., 2014). Kandungan lemak susu kerbau dalam 100 gr susu segar
sebesar 7,5% dan protein sebesar 4,8%, lebih tinggi dibandingkan susu sapi yang
memiliki kandungan lemak 3,7% dan protein 3,2% (Calandrelli, 2011).
Produksi susu kerbau lumpur yang merupakan usaha peternakan rakyat
sangat rendah, yaitu sekitar 1–2 liter/ekor/hari selain yang dikonsumsi anaknya.
Pemeliharaan dan pengelolaan kerbau ini relatif murah, mudah, sederhana dan
berfungsi multiguna memenuhi kebutuhan petani di pedesaan. Produksi susu
kerbau lumpur (1–2 liter/ekor/hari) jauh lebih rendah dibanding produksi susu
jenis kerbau perah (10–15 liter/ekor/hari) pendapatan yang diperoleh dari susu
6

kerbau lumpur merupakan pendapatan tunai untuk memenuhi keperluan harian


rumah tangga petani. Peningkatan produksi susu ternak kerbau multiguna ini
masih dapat dioptimalkan melalui perbaikan penyediaan pakan yang memadai
sehingga turut menunjang ketersediaan susu masyarakat yang masih jauh di
bawah jumlah kebutuhan susu secara nasional (Wirdahayati, 2006). Susu kerbau
jauh lebih banyak mengandung lemak susu (butterfat) dari pada susu sapi, dimana
kandungan lemaknya biasanya sampai 15% di bawah kondisi pengelolaan
makanan yang baik. Susu kerbau dipakai untuk membuat makanan yang sama
dengan makanan yang dibuat dari susu sapi seperti yogurt, manisan, es krim, dan
berbagai tipe keju (Williamson and Payne, 1993).
Susu kerbau mudah dikenal karena memiliki ciri seperti warnanya lebih
putih, kadar air yang lebih rendah dari pada susu sapi, kandungan lemak serta
bahan kering yang tinggi sehingga memiliki rasa yang gurih, globula lemak
susunya lebih kecil dan beremulsi dengan susu, lemaknya lebih mudah dicerna
serta mengandung mineral yang lengkap (Pandey, 2011). Susu kerbau dapat
diminum orang yang alergi minum susu sapi dan baik untuk orang yang
mengalami gangguan sistem pencernaan (Suryani, et al., 2014). Komposisi susu
kerbau sama dengan susu sapi dan ruminan lainnya, yakni air, protein, lemak,
laktosa, vitamin, dan mineral. Susu kerbau umumnya lebih tinggi lemak daripada
susu sapi, sedangkan komponen gizi lainnya relatif sama. Susu kerbau memiliki
ciri khas seperti ketiadaan karoten sehingga membuat warna susu lebih putih dari
pada susu sapi (Murti, 2002).
Susu kerbau banyak digunakan oleh manusia untuk pembuatan keju jenis
Mozzarella di Italia, Karnal di India, dan Domiati di Mesir. Keju yang dihasilkan
dari susu kerbau seringkali dinilai jelek karena mengalami proses penggumpalan
(renneting) yang terlalu cepat (Metzger, 2000). Susu kerbau mengandung kalsium
(Ca) lebih tinggi dari susu sapi sehingga mengakibatkan waktu gumpal yang lebih
cepat atau bisa juga menyebabkan terjadinya proteolisis, rendahnya kemampuan
mengikat air, dan tingginya nilai tegangan permukaan dari gumpalan keju (Coker,
2002). Keju yang dibuat dari susu kerbau cenderung memiliki tekstur yang keras
dan kering serta lambat dalam pematangan. Produk susu kerbau lainnya yaitu
zabadi/laban dari Mesir, susu bubuk, susu kental (condensed milk), mentega,
yoghurt di Amerika dan es krim (Zulbardi,2002).

2.3. Syarat Kualitas Susu

Macam dan jumlah bakteri akan berbeda dari kelompok susu yang berbeda,
menurut SNI tahun 2011, jumlah cemaran bakteri total sekitar 1 X 106 CFU/ml, di
samping bakterinya yang rendah, air susu harus bebas dari berbagai kotoran,
mempunyai bau yang normal, serta bebas dari spora serta mikroorganisme yang
dapat menyebabkan penyakit. Air susu tidak semua benar-benar bersih dari
kontaminasi mikroorganisme setelah keluar dari puting, tetapi air susu yang
terdapat di dalam ambing masih dapat dikatakan steril atau bebas bakteri.
Kontaminasi mikroorganisme di dalam air susu dapat diperoleh dari penggunaan
alat-alat pemerah yang kotor, kotoran di sekitar kandang dan dapat juga berasal
dari pemerah serta debu atau faktor lain yang menyebabkan terjadinya
kontaminasi terhadap air susu tersebut. (Nugraheni, 2003).
7

Menurut Hadiwiyoto (1994) menyatakan bahwa susu dikatakan memiliki


kualitas baik atau kualitas A apabila memiliki jumlah mikroba tidak lebih dari
10.000/ml, susu dengan kualitas cukup baik atau kualitas B apabila jumlah
mikroba antara 100.000-1.000.000/ml, susu dengan kualitas jelek atau kualitas C
apabila jumlah mikroba lebih dari 1.000.000/ml. Rendahnya kualitas susu pada
umunya disebabkan karena tingginya jumlah mikroba terutama bakteri patogen.
Besarnya jumlah bakteri dapat menurunkan kualitas susu, penurunan kualitas ini
biasanya disebabkan oleh faktor sanitasi lingkungan yang buruk, peralatan yang
kurang steril, kandang yang kotor, dan kurangnya kebersihan ambing dalam
proses pemerahan (Robinson, 1990).

Tabel 2.1. Syarat Mutu Susu Segar menurut SNI 3141.1:2011


No. Karakteristik Satuan Syarat
a. Berat Jenis (pada suhu 27,50 C) g/ml 1,0270
minimum
b. Kadar lemak minimum % 3,0
c. Kadar bahan kering tanpa lemak % 7,8
minimum
d. Kadar protein minimum % 2,8
e. Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada
perubahan
0
f. Derajat asam SH 6,0-7,5
g. pH - 6,3-6,8
h. Uji alkohol (70 %) v/v
i. Cemaran mikroba maksimum
1. Total Plate Count CFU/ml 1x106
2. Staphylococcus aureus CFU/ml 1x102
3. Enterobacteriaceae CFU/ml 1x103
j. Jumlah sel somatis maksimum Sel/ml 4x105
k. Residu antibiotika (Golongan - Negatif
penisilin,
Tetrasiklin,Aminoglikosida,
Makrolida)
l. Uji pemalsuan - Negatif
0
m. Titik beku C -0,520 s.d –
0,560
n. Uji peroxidase - Positif

o. Cemaran logam berat, maksimum


1. Timbal (Pb) 0,02
2. Merkuri (Hg) 0,03
3. Arsen ( As) 0,1
Sumber : Badan Standar Nasional : SNI 3141.1:2011 Susu Segar Bagian I : Sapi,
2011.
Menurut Saleh (2004), jumlah bakteri dalam air susu dapat digunakan
sebagai indikator pencemaran dan kualitas sanitasi. Jenis bakteri seperti E. coli,
8

Enterobakteriaceae serta Streptobacillus telah lama dirumuskan sebagai


mikroorganisme indikator mutu.

2.4. Pemeriksaan Kualitas Susu Kerbau

Pemeriksaan air susu dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologis.
Pemeriksaan secara fisik dapat dilakukan dengan memeriksa warna, rasa dan
aroma air susu dengan indera kita sedangkan pemeriksaan kualitas air susu secara
kimia dilakukan dengan menggunakan zat kimia atau reaksi kimia tertentu.
Pemeriksaan kualitas air susu secara biologis dapat dilakukan dengan
mikroskopis, bakteriologis dan biokemis (Jurnaa, 2005).

2.4.1. Uji California Mastitis Test (CMT)

California Mastitis Test (CMT) ditentukan dengan cara mereaksikan 2 ml


susu dengan 2 ml reagen CMT yang mengandung arylsulfonate di dalam paddel.
Campuran tersebut digoyang-goyang membentuk lingkaran horizontal selama 10
detik. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan pada kekentalan susu,
kemudian ditentukan berdasarkan skoring California Mastitis Test (CMT) yaitu (-
) tidak ada pengendapan pada susu, (+) terdapat sedikit pengendapan pada susu,
(++) terdapat pengendapan yang jelas namun jel belum terbentuk, (+++)
campuran menebal dan mulai terbentuk jel, serta (++++) jel yang terbentuk
menyebabkan permukaan menjadi cembung, untuk memudahkan perhitungan
statistik maka lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing, untuk
lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2, (+++) nilainya 3 dan
(++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu (Andriani, 2010).
California Mastitis Test (CMT) merupakan salah satu metode diagnosa
mastitis subklinis yang sampai saat ini dianggap sederhana dan cepat yaitu metode
dengan menggunakan alat yang disebut paddle dan menggunakan reagen IPB-1
untuk mengetahui tingkat keparahan mastitis subklinis yang dialami. Hasil
diagnosa tersebut juga didukung dengan pemeriksaan kualitas susu menggunakan
uji alkohol ( Julianto, 2011). California Mastitis Test (CMT), juga dikenal sebagai
metode tidak langsung, yang prinsipnya adalah pemanfaatan reagen yang
bertindak pada membran eksternal sel (lipoprotein membran), memperlihatkan
DNA seperti gel, semakin tinggi konsistensi maka semakin tinggi akan jumlah sel
somatik (SCC), dikenal sebagai metode langsung, dimana perangkat elektronik,
melalui sistem filter optik dan inframerah, menentukan kuantitas sel somatik dan
komponen lain dalam susu, serta agen penyebab mastitis (Pradlee, et al,. 2011).
9

2.4.2. Uji Metode Cawan Tuang

Salah satu metode perhitungan jumlah bakteri yang umum digunakan adalah
metode hitungan cawan yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang
dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni sehingga jumlah koloni yang
muncul pada cawan merupakan satu indeks bagi jumlah organism yang dapat
hidup yang terkandung dalam sampel. Memenuhi persyaratan statistik, cawan
yang dipilih untuk perhitungan koloni ialah yang mengandung antara 25 – 250
atau 30 – 300 koloni. Karena jumlah mikroorganisme dalam sampel tidak
diketahui sebelumnya maka untuk memperoleh sekurang-kurangnya satu cawan
yang mengandung koloni dalam jumlah yang memenuhi syarat tersebut maka
harus dilakukan pengenceran. Jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam
sampel asal ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan
faktor pengenceran pada cawan yang bersangkutan. Metode hitung cawan
merupakan metode yang paling sensitif untuk menghitung jumlah
mikroorganisme. Untuk menghitung jumlah bakteri yang terdapat pada cawan,
digunakan rumus sebagai berikut (Fardiaz, 1993)

Jumlah Bakteri/ml sampel = Koloni/cawan x 1/faktor pengencer

Perhitungan jumlah mikrobia menggunakan metode hitungan cawan tuang


atau pour plate count (Fardiaz, 1993). Sebanyak 10 ml sampel susu dimasukkan
ke dalam labu Erlenmeyer berisi 90 ml air steril (pengenceran 10-1), kemudian
diencerkan secara seri. Suspensi sebanyak 1 ml dari seri pengenceran yang sesuai
dipipet dengan menggunakan pipet steril dan diletakkan pada cawan petri steril
kemudian dituangi medium agar (NA) steril sebanyak 12 – 15 ml yang bersuhu 50
– 55°C. Setelah selesai, semua cawan petri diberi pelabelan dan diisolasi pada
bagian mulut cawan. Kemudian cawan-cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam
plastik steril. Plastik dapat disterilkan dengan cara disemprotkan alkohol 70%
bagian dalamnya. Semua cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam,
selanjutnya dihitung jumlah koloni mikrobia yang terdapat pada cawan dengan
ketentuan jumlah koloni yang dihitung jumlahnya antara 25 – 250. Jumlah koloni
yang terhitung dikalikan dengan seperfaktor pengenceran merupakan jumlah
mikrobia/ml sisa susu (Fardiaz, 1993).

2.4.3. Uji Organoleptik

Evaluasi sensori atau organoleptik adalah ilmu pengetahuan yang


menggunakan indera manusia untuk mengukur tekstur, penampakan, aroma dan
flavor produk pangan. Penerimaan konsumen terhadap suatu produk diawali
dengan penilaiannya terhadap penampakan, flavor dan tekstur. Uji organoleptik
menggunakan panelis (pencicip yang telah terlatih) dianggap yang paling peka
dan karenanya sering digunakan dalam menilai mutu berbagai jenis makanan
untuk mengukur daya simpannya atau dengan kata lain untuk menentukan tanggal
kadaluwarsa makanan. Pendekatan dengan penilaian organoleptik dianggap paling
praktis lebih murah biayanya. (Anonimous, 2006).
10

Uji organoleptik merupakan hasil reaksi fisikologik berupa tanggapan atau


kesan mutu oleh sekelompok orang yang disebut dengan panelis. Panelis adalah
sekelompok orang yang bertugas menilai sifat atau kualitas bahan berdasarkan
kesan subyektif. Soekarto (1985) dalam Suradi (2007) mengelompokan panelis ke
dalam enam kelompok, yaitu : panelis pencicipan perorangan, panelis pencicipan
terbatas, panelis terlatih, panelis agak terlatih dan, panelis konsumen.

Mutu organoleptik mempunyai peranan dan makna yang sangat besar


dalam penilaian mutu produk pangan, baik sebagai bahan pangan hasil pertanian,
bahan mentah industri maupun produk pangan olahan. Meskipun dengan uji-uji
fisik dan kimia serta uji gizi dapat menunjukkan suatu produk pangan bermutu
tinggi, namun akan tidak ada artinya jika produk pangan itu tidak dapat dimakan
karena tidak enak atau sifat organoleptik lainnya tidak membangkitkan selera, jadi
bagi komoditas pangan pengujian organoleptik merupakan suatu keharusan
(Soekarto, 1990).
Menurut Susiwi (2009), melalui pengujian sensoris dapat diperoleh
informasi yang berguna untuk memperbaiki produk, memelihara kualitas,
mengembangkan produk baru serta analisis pasar. Pengujian sensoris pada
perusahaan banyak dipergunakan untuk tujuan pengembangan produk baru,
reformulasi produk, pengawasan kompetisi dengan produk merk lain, pengawasan
mutu, pengawasan stabilitas produk selama penyimpanan, pengawasan pendapat
serta kesenangan konsumen atas suatu produk. Pengujian tersebut menuntut
metode pengujian yang berbeda dan macam penguji yang berbeda pula sehingga
diperoleh hasil sesuai dengan tujuan dari pengujiannya. Bidang industri pangan,
perbaikan produk maupun pemilihan produk terbaik merupakan salah satu
alternatif penunjang pemasaran. Keinginan konsumen yang selalu menghendaki
produk dengan mutu yang terbaik harus dapat dipenuhi. Uji skoring dapat
diterapkan untuk mengukur dan membandingkan produk-produk sejenis dengan
memberikan penilaian atau skor (Setyaningsih dkk., 2010).
Uji skoring artinya pemberian skor untuk atribut yang dinilai menurut
kesan mutu atau intensitas karakteristik sensoriknya, menurut skala numerik yang
telah disediakan untuk masing-masing deskripsinya (Raharjo,1988). Diperlukan
panelis yang benar-benar mengerti atribut mutu yang diminta, misalnya panelis
terpilih dan panelis terlatih (Aini, 2012). Menurut Susiwi (2009), uji skoring
merupakan salah satu metode pengujian organoleptik dalam evaluasi sensori.
Pengujian tersebut merupakan tim kerjasama yang diorganisasi secara rapi dan
disiplin serta dalam suasana antusiasme dan kesungguhan tetapi santai. Hal ini
perlu agar data penilaian dapat diandalkan, berikut ini hal-hal yang penting dalam
pelaksanaan pengujian organoleptik :
a. Organisasi pengujian
Ada empat unsur penting yang bersangkutan dalam pelaksanaan pengujian
organoleptik, yaitu : pengelola pengujian (disebut penguji), panel, sampel
(bahan yang dinilai), dan seperangkat sarana dan prasarana pengujian.
b. Komunikasi Penguji dan Panelis
Keandalan hasil penilaian atau kesan sangat tergantung pada ketepatan
komunikasi antara pengelola uji dengan panelis. Informasi yang diberikan
secukupnya namun tidak kurang sehingga dapat dipahami panelis.
Informasi juga tidak berlebih supaya tidak biasa. Ada tiga tingkat
11

komunikasi antara penguji dan panelis. Pertama, penjelasan umum tentang


pengertian praktis, kegunaan, kepentingan, peranan, dan tugas panelis. Hal
ini diberikan dalam bentuk ceramah atau diskusi. Kedua, penjelasan
khusus yang disesuaikan dengan jenis komoditi tertentu, cara pengujian,
dan tujuan pencicipan. Penjelasan ini dapat diberikan secara lisan maupun
tulisan menjelang pelaksanaan. Ketiga, komunikasi instruksi yang berisi
pemberian tugas kepada panelis untuk menyatakan kesan sensorik tiap
melakukan pencicipan. Instruksi harus jelas agar mudah dipahami, singkat
agar cepat ditangkap artinya. Instruksi dapat diberikan secara lisan segera
sebelum masuk bilik pencicip, atau secara tulisan dicetak dalam format
pertanyaan. Format pertanyaan (questioner) : harus memuat unsur-unsur
format yang terdiri dari informasi, instruksi dan responsi. Format
pertanyaan harus disusun secara jelas, singkat dan rapi.

Uji skoring termasuk dalam jenis uji skalar dalam evaluasi sensori. Pada uji
skalar penelis diminta menyatakan besaran kesan yang diperolehnya. Besaran ini
dapat dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau dalam bentuk skala numerik.
Besaran skalar digambarkan dalam: pertama, bentuk garis lurus berarah dengan
pembagian skala dengan jarak yang sama. Kedua, pita skalar yaitu dengan
degradasi yang mengarah (seperti contoh degradasi warna dari sangat putih
sampai hitam). Sedangkan dalam skala numerik dinyatakan dengan angka yang
menunjukkan skor dari atribut mutu yang diuji. Uji skoring merupakan jenis
pengujian skalar yang dinyatakan dalam skala numerik (Susiwi, 2009). Menurut
Stone dan Joel (2004), uji skoring juga dapat digunakan untuk mengetahui
besarnya perbedaan kualitas diantara beberapa produk sejenis dengan memberikan
penilaian atau skor terhadap sifat tertentu dari suatu produk.
Menurut Aini, dkk (2012) tiap skor yang diberikan oleh panelis dalam
pengujian skoring melambangkan tingkat nilai. Nilai dalam uji skoring
mempunyai analogi dengan nilai ujian, tiap angka melambangkan atau
menyatakan tingkat mutu. Respon uji skoring berupa angka yang langsung
merupakan data kuantitatif. Data tersebut kemudian ditabulasi dalam bentuk
matriks respon. Data respon ini dapat dianalisa sidik ragam dengan contoh sebagai
perlakuan dan panelis sebagai blok. Menurut Kartika, dkk (1988), pembuatan
skala sistem skoring perlu memperhatikan beberapa hal antara lain:
1. Bila yang dinilai beberapa hal yang lebih dari satu sifat, urutan sifat
yang dinilai kenampakannya, bau setelah itu baru rasa atau yang
dicicipi.
2. Skala tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, diperkirakan dapat
memberi gambaran sifat yang dinilai dan reproducible.
3. Ada kesamaan pengertian antar panelis atau perbedaan antar panelis
sesedikit mungkin, misalnya dengan membandingkan dengan standar
atau suatu kesepakatan.
4. Untuk keperluan pengendalian, dapat dipergunakan istilah baik atau
tidak baik. Bila digunakan standar, bisa dipergunakan istilah lebih dari
standar atau kurang dari standar.
5. Skala nilai dapat dibuat terstruktur atau tidak terstruktur.
6. Bentuk skala yang umum digunakan sama dengan skala hedonic, yakni
skala grafik, skala verbal, skala numeric dan skala standar.
12

3. METODE PENELITIAN

3. 1. Waktu dan tempat penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015. Sampel susu berasal dari
kerbau perah (Bubalus bubalis) yang berada di Kecamatan Curio Kabupaten
Enrekang dan dilakukan uji kualitas susu dengan California Mastitis Test (CMT)
langsung di tempat pemerahan susu dan uji organoleptik dilakukan dilakukan di
Makassar sedangkan pemeriksaan jumlah bakteri dengan metode cawan tuang
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

3.2. Materi Penelitian


3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling
Populasi penelitian adalah semua kerbau betina yang terdapat di
Kecamatan Curio, Kabupateen Enrekang sebanyak 500 ekor (Data Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Enrekang, 2014).
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 28 ekor kerbau perah
yang tersebar di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang. Berdasarkan formulasi
deteksi keberadaan penyakit (Martin et al., 1987):
n = [1 – (1- a)1/D] [N – (D – 1)/2]
Keterangan :
n : Besaran sampel yang digunakan.
a : Tingkat kepercayaan
D : Jumlah hewan sakit dalam populasi.
N : Jumlah populasi.

n = [1 – (1- a)1/D] [N – (D – 1)/2]


n = [1 – (1- 0,95)1/50] [500 – (50 – 1)/2]
n = [1 – 0,942] [500 – 24,5]
n = 0,058 x 475,5
n = 27,579= 28

Dengan asumsi tingkat prevalensi mastitis di Kecamatan Curio, Kabupaten


Enrekang sebesar 10% tingkat kepercayaan 95 %, dan besaran populasi kerbau
perah betina 500 ekor (Data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Enrekang, 2014), sehingga diperoleh besaran sampel sebesar 28 ekor.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random
Sampling dengan mengambil sampel dari desa Sumbang, dusun Rogo yang
terdapat di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang.
13

3.2.2. Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampel susu,
reagen California Mastitis test (CMT), aquades steril, Nutrien Agar (NA), dan
alcohol 70 %.

3.2.3. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kertas pH,
grove/sarung tangan, California Mastitis Test (CMT) paddle, coolbox, botol
kaca/botol sampel, cawan petri kosong yang steril, mikropipet, inkubator,
autoclave, vortex, erlenmeyer, pembakar spirtus, rak dan tabung reaksi.

3.3. Metode Penelitian


3.3.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu
jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian mengenai kualitas susu
kerbau perah. Uji Kualitas susu dengan uji California Mastitis test (CMT), Jumlah
Bakteri, dan Organoleptik meliputi warna, bau, rasa, dan tingkat keasaman (pH).

3.3.2. Pengambilan Sampel Susu


Sampel susu yang digunakan untuk pengujian California Mastitis Test
(CMT) diambil dari setiap kuartir kerbau perah sebanyak 2 ml susu yang
ditempatkan di paddle lalu direaksikan dengan reagen California Mastitis Test
(CMT) sebanyak 2 ml. Campuran tersebut digoyang-goyang membentuk
lingkaran horizontal selama 10 – 15 detik sedangkan pengambilan sampel untuk
pemeriksaan jumlah bakteri dengan metode cawan tuang diambil sebanyak ± 20
ml ditampung dalam botol kaca/botol sampel yang steril dan telah diberi label,
kemudian disimpan dalam termos berisi es, agar suhunya stabil pada 5-100 C
untuk menghindari perkembangbiakan bakteri, hingga tiba di laboratorium dan
untuk pengujian organoleptik meliputi warna, bau, rasa, dan tingkat keasaman
(pH) dari setiap ekor kerbau perah diambil sebanyak ± 20 ml.

3.3.3. Uji Kualitas Susu dengan California Mastitis Test (CMT)


Sampel susu diambil dari hasil pemerahan setiap kuartir kerbau perah yang
dilakukan pada pagi hari. Pengujian dilakukan dengan mengambil 2 ml susu yang
ditempatkan di paddle lalu direaksikan dengan reagen California Mastitis Test
(CMT) sebanyak 2 ml. Campuran tersebut digoyang-goyang membentuk
lingkaran horizontal selama 10–15 detik. Pembacaan hasil reaksi dilakukan sekitar
20 detik di tempat yang terang. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya
perubahan pada kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan skoring CMT
yaitu (-) tidak ada pengendapan pada susu artinya susu berkualitas baik, (+)
terdapat sedikit pengendapan pada susu artinya susu berkualitas cukup baik, (++)
terdapat pengendapan yang jelas namun jel belum terbentuk artinya susu
berkualitas cukup baik, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk jel artinya
berkualitas jelek, serta (++++) jel yang terbentuk menyebabkan permukaan
menjadi cembung artinya berkualitas sangat jelek. Untuk memudahkan
14

perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi nilai masing-masing,


untuk lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2, (+++) nilainya 3 dan
(++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu.

3.3.4. Uji Kualitas Susu dengan Metode Cawan Tuang


Perhitungan jumlah mikrobia menggunakan metode hitungan cawan tuang
atau pour plate count (Fardiaz, 1993). Sebanyak 20 ml sampel susu dimasukkan
ke dalam labu Erlenmeyer berisi 90 ml air steril (pengenceran 10-1), kemudian
diencerkan secara seri. Suspensi sebanyak 1 ml dari seri pengenceran yang sesuai
dipipet dengan menggunakan pipet steril dan diletakkan pada cawan petri steril
kemudian dituangi medium agar (NA) steril sebanyak 12 – 15 ml yang bersuhu 50
– 55°C. Setelah selesai, semua cawan petri diberi pelabelan dan diisolasi pada
bagian mulut cawan. Kemudian cawan-cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam
plastik steril. Plastik dapat disterilkan dengan cara disemprotkan alkohol 70%
bagian dalamnya. Semua cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam,
selanjutnya dihitung jumlah koloni mikrobia yang terdapat pada cawan dengan
ketentuan jumlah koloni yang dihitung jumlahnya antara 25 – 250. Jumlah koloni
yang terhitung dikalikan dengan seperfaktor pengenceran merupakan jumlah
mikrobia/ml sisa susu.

3.3.5. Uji Kualitas Susu dengan Organoleptik

Dalam melakukan uji organoleptik melibatkan 10 orang panelis dengan


kriteria yaitu tidak memiliki cacat fisik seperti buta warna, mata plus/minus atau
indera penciuman dan pengecapnya terganggu serta panelis tidak boleh
digantikan.

a. Uji warna

Ke dalam tabung reaksi dimasukkan kurang lebih 5 ml susu, kemudian


dilihat dengan latar belakang putih. Diamati warna susu dan kemungkinan adanya
kelainan pada warna susu. Pengamatan dilakukan oleh 10 orang panelis, warna
susu diberi skor 1- 4. Warna susu normal (putih kekuningan).

b. Uji bau

Ke dalam tabung reaksi dimasukkan kurang lebih 5 ml susu kemudian


rasakan baunya. Pengamatan dilakukan oleh 10 orang panelis. Bau susu diberi
skor 1- 4. Bau susu normal : khas bau susu.

c. Uji rasa

Susu dituangkan sedikit ke gelas sloki kemudian dicicipi dan rasakan susu
tersebut. Rasa susu yang menyimpang seperti rasa pahit (adanya kuman-kuman
pembentuk pepton), rasa tengik (disebabkan oleh kuman asam mentega), rasa
sabun (disebabkan oleh Bacillus lactic saponacei) rasa lobak (disebabkan oleh
kuman coli), rasa anyir/amis (disebabkan oleh kuman tertentu pada mastitis)
15

diberi skor 1 - 4. Uji rasa dilakukan oleh 10 orang panelis. Rasa susu normal
adalah sedikit manis dan sedikit asin.

e. Uji tingkat keasaman (pH)

Uji ini dilakukan untuk menentukan keasaman susu dengan menghitung log
konsentrasi ion hidrogen (asam) dalam susu. Pada prinsipnya susu segar
mempunyai pH netral. Tingkat keasaman susu menurun karena fermentasi laktosa
menjadi asam laktat oleh mikroba.
Nilai pH juga diukur dengan menggunakan kertas pH meter. Susu
dimasukkan ke dalam botol, selanjutnya kertas pH dimasukkan ke dalam botol
selama ± 1,5 menit lalu dikeluarkan dan dibandingkan dengan standar warna dan
catat hasilnya.
16

3.3.6. Kerangka Konsep

Diagram 1. Kerangka Konsep

3.3.7. Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif.
17

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Uji Kualitas Susu dengan California Mastitis Test (CMT)

Hasil pengujian kualitas susu kerbau perah (Bubalus bubalis) dengan


menggunakan California Mastitis Test (CMT) dari 112 putting/sampel susu yang
diperoleh dari 112 puting susu (28 ekor kerbau perah betina) yang tersebar di
Dusun Rogo, Desa Sumbang yang berada di Kecamatan Curio, Kabupaten
Enrekang dapat dilihat pada Tabel 4. 1.

Tabel 4. 1. Hasil Uji California Mastitis Test (CMT)

No. Jumlah Jumlah Normal CMT 1 CMT 2 Total Subklinis


Kerbau putting/ (Putting/ (Putting/ (Putting/ CMT Kerbau
(ekor) sampel sampel) sampel) sampel) (Putting/ (ekor)
sampel)

1. 24 96 96 0 0
2. 3 12 3 0 9 9 3
3. 1 4 2 2 2 1
Jumlah 28 112 101 2 9 11 4
Kejadian 90,18 1,79 8,04 9,82 14,29
(%)

Sumber : Hasil Penelitian Data Primer

Berdasarkan Tabel 4.1. dapat diketahui bahwa dari 112 putting/sampel yang
diuji, 11 puting/sampel kerbau perah (14,29%) yang teridentifikasi mastitis
subklinis. 9 dari 11 putting/sampel susu dengan skoring CMT +2 dan 2 dari 11
putting/sampel susu dengan uji skoring CMT +1. Skor -, bukan tidak memiliki
kemungkinan untuk meningkat menjadi +1, +2, +3, dan +4, skor +1 juga bukan
tidak memiliki kemungkinan untuk meningkat menjadi +2, +3, dan +4, dan
seterusnya. Berdasarkan perhitungan total plate count dengan metode tuang, 5
putting/sampel dari 9 putting/sampel dengan skor CMT +2 memiliki total plate
count yang melebihi ambang batas maksimum cemaran mikroba pada susu yng
telah ditetapkan oleh SNI yaitu 1 x 106 cfu/ml sedangkan 4 puuting/sampel dari 9
putting/sampel dengan skor CMT +2 memiliki total plate count di bawah ambang
batas maksiumum cemaran mikroba pada susu yang telah ditetapkan oleh SNI
yaitu 1 x 106 cfu/ml . Hal ini terjadi karena kemungkinan 5 putting/sampel ini
sebenarnya memiliki skoring CMT +3, namun karena uji California Mastitis Test
(CMT) adalah penilaian yang bersifat subjektif sehingga mempengaruhi pada saat
penilaian skor. Reaksi ada tidaknya perubahan kekentalan pada susu berupa
pengendapan menunjukkan bahwa sampel terindikasi mastitis subklinis. Hal ini
merupakan suatu kondisi yang tidak diharapkan karena mastitis subklinis telah
banyak dilaporkan menyebabkan kerugian terutama berkurangnnya produksi susu,
rusaknya kualitas susu sampai pada gangguan fungsi kelenjar ambing dengan
tidak berfungsinya ambing berproduksi lagi.
18

Pada penelitian ini, California Mastitis Test (CMT) digunakan sebagai


salah satu cara untuk mendeteksi mastitis yang dilakukan di lapangan. Istilah
viscous dalam pemeriksaan California Mastitis Test (CMT) digunakan untuk
menunjukkan adanya produk-produk inflamasi seperti leukosit, fibrin dan serum,
jumlah bakteri, serta perubahan komposisi kimia air susu. Pada air susu mastitis
terjadi penambahan jumlah bakteri maupun jumlah sel radang sehingga terjadi
peningkatan reaksi. Peningkatan reaksi tersebut diduga bila ditambahkan zat aktif
permukaan (surface active agent) seperti NaOH 4% akan bereaksi dengan sel-sel
somatik dalam air susu termasuk leukosit. Sebagai akibat dari reaksi tersebut
adalah terjadi kenaikan konsentrasi air susu menjadi lebih kental (viscous) dan
membentuk gel (Anonim, 1999). Berikut gambar hasil pengujian California
Mastitis Test (CMT) pada susu kerbau perah

Gambar 4.1 Hasil Uji Kualitas Susu Kerbau Perah Dengan California
Mastitis Test (CMT)

4.2. Uji Kualitas Susu dengan Metode Cawan Tuang

Sebanyak 11 putting/sampel dari 4 ekor kerbau yang positif California


Mastitis Test (CMT) diambil kemudian dilakukan pemeriksaan bakteriologis
dengan cara dikultur di media nutrient agar (NA) untuk menghitung total plate
count (TPC). Kultur dilakukan dengan metode tuang dan diinkubasi selama 24
jam pada suhu 370 C. Satu cawan media nutrient agar (NA) disiapkan sebagai
kontrol untuk memastikan media yang digunakan steril. Semua bakteri baik
bakteri Gram negative maupun Gram positif dapat tumbuh pada media nutrient
agar (NA). Bakteri yang tumbuh memiliki morfologi yang berbeda-beda mulai
dari bentuk, ukuran, elevasi, dan tepi koloninya. Hasil perhitungan total plate
count (TPC) tersaji dalam tabel 4.2
19

Tabel 4.2. Total Plate Count

No. Kode Total Plate Standar Keterangan


Putting/sampel Count
1. Kerbau 1 3,2x105 1,6x106
2. Kerbau 1 2,3x106 1,6x106  BMCM
3. Kerbau 2 1,0x105 1,6x106
4. Kerbau 2 7,6x105 1,6x106
5. Kerbau 3 5,0x105 1,6x106
6. Kerbau 3 2,3x106 1,6x106  BMCM
7. Kerbau 3 1,6x106 1,6x106  BMCM
8. Kerbau 3 1,9x106 1,6x106  BMCM
9. Kerbau 4 2,2x105 1,6x106
10. Kerbau 4 1,3x106 1,6x106  BMCM
11. Kerbau 4 5,2x105 1,6x106

Catatan : Jumlah Total Bakteri/ Total Plate Count (TPC) terhadap ambang Batas
Maksiumum Cemaran Mikroba (BMCM) pada susu yng telah ditetapkan oleh SNI
yaitu 1 x 106 cfu/ml (BSN, 2011).
Perhitungan koloni dilakukan dengan cara pengujian cemaran mikroba
sesuai dengan SNI 2897 (SNI, 2008). Cawan petri yang dihitung dalah cawan
yang memliki jumlah 25 sampai 250 koloni. Total plate count (TPC) sampel susu
kemudian dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM)
yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia. Berdasarkan Standar Nasional
Indonesia 7388 tahun 2009 mengenai batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) pada susu segar sebesar 1 x 106 cfu/ml. Berdasarkan hasil yang tertera
pada Tabel 4.2 diketahui bahwa 5 sampel dari 11 sampel positif California
Mastitis (CMT) memiliki jumlah bakteri/mikroba melebihi standar yang
ditetapkan SNI. Sampel dengan total plate count (TPC) tertinggi ada pada sampel
A dan B2 yaitu sejumlah 2,3 x 106 cfu/ml. Pengambilan sampel dilakukan pada
pagi hari dan menggunakan cool box berisi ice pack untuk meminimalisir
pertumbuhan mikroba saat sampel dibawa ke laboratorium
Jumlah bakteri dalam susu merupakan salah satu tolak ukur kualitas susu
yang terkait dengan kesehatan ambing dan sanitasi usaha peternakan. Menurut
Frazier dan Westhoff (1988) susu mengandung mikroorganisme yang relatif
sedikit pada saat keluar dari ambing sapi yang sehat, dan pada umumnya bakteri
tersebut tidak tumbuh selama penanganan susu baik. Mikroorganisme tersebut
berjumlah sampai 500 sel/ml, tapi dapat meningkat menjadi lebih dari 20.000
sel/ml jika ambing ternak menderita sakit (Buckle et al. 1987).
Menurut Lund et al. (2000) selain pencemaran langsung dari ambing,
pencemaran juga dapat timbul dari pemerah, udara, air, alat-alat pemerahan,
tempat penyimpanan, selama proses transportasi dan fasilitas pengolahan susu.
Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan
susu, yang ditandai oleh perubahan rasa, aroma, warna, konsistensi, dan tampilan.
Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroba yang ada
dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan
kelayakan produk untuk dikonsumsi. Menurut Fardiaz (1993) bakteri patogen
20

yang dapat ditemukan dalam susu segar diantaranya adalah koliform, Escherichia
coli (E. coli), dan Staphylococcus aureus (S. aureus). Ketiga bakteri tersebut
dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi.

Tabel 4.3. Jumlah mikroba pencemar dalam susu segar


Pencemar Jumlah Mikroba (cfu/ml susu)
Udara 100-1.500
Ambing 300-4.000
Sanitasi buruk 500-15.000
Ambing sakit <25.000
Peralatan susu >1.000.000
Sumber: Sudarwanto, 2006
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menurunkan jumlah bakteri pada
susu seperti memberikan suplementasi mineral yang dapat meningkatkan
kekebalan tubuh (Kincaid et al., 1992). Pemakaian alas tidur (bedding) pada
ternak dapat menurunkan jumlah bakteri sebesar 66,2% (Adriani et al., 1996),
sementara pencukuran bulu di sekitar ambing dan puting dapat menurunkan
bakteri susu antara 18 - 42% (Ernawati, 1990) serta menjaga kebersihan
lingkungan kandang, alat pemerahan, dan tukang perah.

4.3. Uji Kualitas Susu dengan Organoleptik


Pengujian organoleptik yang dilakukan terhadap suatu makanan merupakan
kegiatan penilaian dengan menggunakan alat indera yaitu mata, lidah, hidung, dan
tngan. Pengujian organoleptik akan dapat diketahui daya penerimaan konsumen
(panelis) terhadap bahan makanan (Soekarto, 1985). Metode pengujian yang
dipakai adalah uji skoring dengan menggunakan skala angka 1 sebagai nilai
terendah dan angka 4 sebagai nilai tertinggi. Uji organoleptik yang dilakukan pada
susu segar kerbau meliputi warna, bau, rasa, dan tingkat keasamn (pH) dan
melibatkan 10 orang panelis adalah sebagai berikut :

4.3.1. Uji Warna Susu Kerbau


Penilaian panelis terhadap penampakan warna didasarkan pada penilaian
terhadap warna yang terbentuk pada susu yang diuji dan diperoleh nilai rata-rata
yaitu 3,88 yang berarti putih kekuningan dengan kisaran antara 3,4 - 4. Hal ini
sesuai dengan pendapat Muchtadi dan Sugiyono (1992) yang menyatakan bahwa
warna susu segar putih kebiruan sampai putih kekuningan (kuning keemasan).
Berdasarkan SNI 3141.1:2011 warna susu masih dikatakan normal jika
tidak mengalami perubahan dari warna normal susu. Dengan demikian warna susu
yang dihasilkan kerbau perah di Kabupaten Enrekang memenuhi kriteria SNI.
Rahman, dkk (1992), menyatakan bahwa warna susu dipengaruhi oleh
komposisi kimia dan sifat fisiknya, misalnya jumlah lemak, kekentalan susu,
kandungan darah dan jenis pakan yang diberikan. Warna susu juga dipengaruhi
oleh pertumbuhan mikroba atau kapang pembentuk pigmen pada permukaan susu
atau seluruh bagian susu.
21

Soeharsono (1996), menyatakan warna susu dipengaruhi oleh partikel


koloid. Ditambahkan bahwa warna putih susu disebabkan oleh refleksi cahaya
globula lemak, kalsium kaseinat dan koloid fosfat, warna kuning disebabkan oleh
pigmen karoten yang terlarut dalam lemak, pigmen tersebut berasal dari pakan
hijauan, pigmen riboflavin larut dalam air dan menimbulkan warna kuning
kehijauan pada whey.
Warna air susu disebabkan karena warna kasein. Warna kasein yang murni
berwarna putih seperti salju. Di dalam susu, kasein ini merupakan disfersi koloid
sehingga tidak tembus cahaya yang mengakibatkan air susu tersebut berwarna
putih. Kadang-kadang susu berwarna agak kekuning-kuningan yang disebabkan
oleh karoten. Karoten adalah pigmen kuning utama dari lemak susu, yang apabila
dimetabolisme di dalam tubuh manusia akan membentuk dua molekul vitamin A.
Karotenoid disintesa hanya oleh tumbuhan, oleh karenanya harus ada dalam
pakan ternak perah (Buda, et all., 1980).

4.3.2. Uji Bau Susu Kerbau


Dari penilaian panelis terhadap bau susu kerbau diperoleh rataan nilai aroma
(bau) susu segar adalah 3,81 yang berarti harum susu dan belum ada bau
menyimpang (normal) dengan kisaran antar 2,8 - 4. Berdasarkan SNI
3141.1:2011, aroma susu segar adalah normal khas susu. Dengan demikian dapat
dikatakan aroma susu memenuhi standar yang ditetapkan SNI 3141.1:2011.
Soeharsono (1996), menyatakan bahwa bau susu yang tidak normal bisa
terbawa dari luar kemudian diserap oleh susu seperti bau bawang, mint namun ada
pula yang terbawa dari dalam darah karena sari pakan yang terbawa ke dalam
susu. Ditambahkan oleh Muchtadi dan Sugiyono (1992), bahwa penyimpangan
pada bau susu disebabkan oleh beberapa factor yaitu gangguan fisik dari sapi,
bahan yang mempunyai aroma kuat misalnya bawang yang termakan oleh ternak,
absorbsi aroma susu dengan lingkungan, dekomposisi komponen susu dengan
bakteri dan mikroba lain dan adanya bahan asing yang mengkontaminasi susu.

4.3.3. Uji Rasa Susu Kerbau


Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa susu kerbau adalah 3,88 yang
berarti rasa susu agak manis dan agak asin dengan kisaran antara 3,6- 4.
Berdasarkan SNI 3141.1:2011, syarat rasa susu segar masih dikatakan normal jika
tidak menyimpang dari rasa khas susu segar. Dengan demikian rasa susu kerbau
perah di Kabupaten Enrekang memenuhi SNI.
Menurut Soeharsono (1996), rasa normal susu segar adalah sedikit manis
yang disebabkan karena adanya laktosa. Sedangkan Muchtadi dan Sugiyono
(1992), menyatakan bahwa sensasi rasa didominasi oleh hubungan antara
kandungan laktosa dan klorida, selanjutnya ditambahkan oleh Winarno (1993),
bahwa kandungan laktosa bersama garam bertanggung jawab terhadap rasa susu
yang spesifik.
22

4.3.4. Uji Tingkat Keasaman (pH) Susu Kerbau


Rataan pH susu kerbau yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 6,21
dengan kisaran antara 5 - 7. Hasil yang didapatkan masih memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan oleh SNI 3141.1:2011 tentang mutu baku susu segar.
Berdasarkan SNI 3141.1:2011, rataan pH susu adalah sekitar 6-7. Ini juga
menggambarkan bahwa rataan pH susu cenderung normal. Dalam skala pH 1
sampai 14, asam mempunyai skala yang lebih rendah antara 0 sampai 7
sedangkan basa mempunyai skala yang lebih tinggi antara 7 sampai 14, maka dari
itu pH 7 dianggap netral. Normalnya pH pada susu dapat disebabkan karena
adanya kasein, buffer, fosfat, dan sitrat. Selain itu, kenaikan dan penurunan pH
ditimbulkan dari hasil konversi laktosa menjadi asam laktat oleh mikroorganisme
aktivitas enzimatik (Manik, 2006).
Kualitas susu melalui uji organoleptik menunjukkan warna putih
kekuningan (3,88), bau khas susu (3,81), dan rasa sedikit manis dan sedikit asin
(3,88). Uji tingkat keasaman, secara umum susu kerbau perah memiliki pH
normal (6,21). Dari hasil uji organoleptik tersebut maka susu kerbau perah di
Kabupaten Enrekang dapat dikatakan baik karena tidak ada penyimpangan
terhadap warna, bau, rasa, dan tingkat keasaman (pH) sehingga memenuhi
persyaratan yang ditetapkan SNI 3141.1:2011.
23

5. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Kualitas susu kerbau perah di Kabupaten Enrekang menurut hasil


pemeriksaan terhadap uji California Mastitis Test (CMT) bahwa terjadi mastitis
subklinis sebesar 14,29% dan perhitungan jumlah bakteri dengan metode pour
plate atau cawan tuang menunjukkan 5 dari 11 putting/sampel yang berasal dari 3
ekor kerbau perah yang terindikasi mastitis subklinis melalui pengujian California
Mastitis Test (CMT) memiliki total bakteri di atas ambang batas maksimum
cemaran mikroba (BMCM) yakni pada sampel kerbau 1, kerbau 3, dan kerbau 4.
Pengujian kualitas susu dengan organoleptik menunjukkan susu masih dalam
kondisi normal walaupun melalui pengujian California Mastitis Test (CMT)
terdapat susu yang positif California Mastitis Test (CMT) dan 5 dari 11
putting/sampel memiliki total bakteri di atas ambang batas maksimum cemaran
mikroba. Hal ini bisa terjadi karena saat pengambilan sampel untuk pengujian
organoleptik berasal dari putting yang tidak mengalami mastitis subklinis.

5.2. Saran

Perlu dilakukan sosialisasi kepada petani ternak kerbau perah mengenai


pentingnya menjaga kondisi lingkungan ternak perah, agar kualitas susu baik dan
terhindar dari penyakit infeksi mastitis dan perlu dilakukan proses pateurisasi
terlebih dahulu agar layak dan aman dikonsumsi dan perlu dilakukan pengawasan
rutin oleh dinas terkait untuk meningkatkan pemantauan dan pengawasan
terhadap bahan pangan khususnya susu segar kerbau perah.
24

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nur, dkk. 2012. Petunjuk Praktikum Evaluasi Sensoris. Purwokerto:


Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Jenderal Soedirman.
Andrews, A.H. 2000. The Health of Dairy Cattle.Blackwell Publishing. USA.
Andriani dan W. Manalu. 2006. Hubungan Ion Kalium, Jumlah Bakteri dan Sel
Somatik Dalam Susu Serta Skor California Mastitis Test pada Domba. J.
Veteriner. Vol 7. (1):39-46.
Andriani. 2010. Penggunaan Somatik Cell Count (SCC), Jumlah Bakteri dan
California Mastitis Test (CMT) untuk Deteksi Mastitis pada Kambing.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2010, Vol. XIII, No. 5.
Anonimous, 1999. Petunjuk Laboratorium Pemeriksaan Susu dan Daging. Bagian
Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan.
UGM.Yogyakarta.
Anonimous. 2006. Pengujian Organoleptik (Evaluasi Sensori) dalam Industri
Pangan. Di akses pada tanggal 10 Maret 2015.
Azima, Nurul. 2013. Hubungan Antara Periode Laktasi Dan Produksi Susu
Ternak Kerbau Di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Blood, D.C. and J.A. Henderson. 2007. Disease Associated with Bacteria. In : E.
H. Marth and J.L Steele. Veterinary Medicine. A Textbook of the Disease
Bailliere Tindall, London
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI 2332.9:2011. Cara Uji
Mikrobiologi-bagian 9: Penentuan Staphylococcus aureus Pada Produk
Perikanan.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI 3141.1:2011 Susu Segar Bagian
I : Sapi.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 7388 :2009 Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dalam Bahan Pangan.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH dan Woortom M. 1987. Ilmu Pangan. Hari
Purnomo, Adiono. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Buda, I K, I.B. Arka, I K. Sulandra, I G P. Jamasuta, dan I K Arnawa.(1980). Susu
dan Hasil Pengolahanya. Bagian Teknologi Hasil Ternak. Fakultas
Kedokteran Hewan dan Peternakan. Universiyas Udayana. Denpasar.
Calandrelli, M.. 2011. Manual on the production of traditional buffalo
morazarella cheese. Food and Agriculture Organization of the United
25

Nation.http://www.fao.org/af/againfo/themes/documentas/milk/mozarella/pdf.
Di akses pada tanggal 10 Maret 2015.
Coker, C., C. Honore, K. Johnston, and L. Creamer. 2002. Food Science Section
and Cheese and Milkfat Technology Section. New Zealand Dairy Research
Institute, New Zealand.
Damayanthi, Evy, et al. 2014. Karakteristik Susu Kerbau Sungai dan Rawa
Sumatera Utara. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) 19 (2) : 67 – 73.
Dasuki, U., A. Lengkey, dan E. Setiadi. (1981). Pengaruh Perbedaan Metode
Pasteurisasi Secara Sederhana dan Pabrik Terhadap Daya Awet, Jenis dan
Jumlah Bakteri Susu (Kasus Susu Sapi Rakyat Pengalengan). Dari
Kumpulan Makalah Kongres Nasional Mikrobiologi ke-3, Perhimpunan
Mikrobiologi Indonesia. Jakarta.
Diwyanto K, Handiwirawan E. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau:
Aspek penjaringan dan distribusi. Prosiding. Lokakarya Nasional Usaha
ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Balitbang
Deptan Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan
Ditjennak, DisPet Provinsi NTB dan Pemda Kab.Sumbawa.Sumbawa (ID) 4
5 Agustus 2006.
Dodd, F.H. and J.M. Booth. 2001. Mastitis and Milk Production. In : E. H. Marth
and J.LSteele. Applied Dairy Microbiology.2nd ed. Marcell Dekker Inc.
USA.
Ernawati. 1990. Pengaruh tata laksana pemerahan terhadap kualitas susu
kambing dan hasil olahanya [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Program Pascasarjana.
Fardiaz, S. 1993. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Frazier WC, Westhoff DC. 1988. Food Microbiology. Edisi ke-4. New York:
McGraw-Hill Book Company.
Fthenakis, G.C. 1995. California mastitis test and whiteside test in diagnosis of
subclinical mastitis of dairy ewes. Small.Rumint.Res. 16:271-276.
Hadiwiyoto, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil
Olahannya. Liberty. Yogyakarta. Hal: 31.
Hardjosubroto, W. 2006.Kerbau Mutiara yang terlupakan. Orasi Purna Tugas.
Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Hasanuddin.2001. Pengaruh Santan Kelapa Sebagai Substansi Sumber Lemak
Terhadap Kualitas Es Krim.Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin. Makassar.
26

Hidayat, Efendi, Fuat dan Patyadi. 2006. Manajemen kesehatan perah. www.disnak.
jabarprov.go.id.

Hurley WL. 2000. Mammary tissue organization. Lactation Biology.ANSCI 308.


http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [2 Maret2015].
Izza, 2008.http://www.Susu Kerbau. Html. Izzati_Izzul_Hawa. (diakses 10 Maret
2015).
Julianto, Ali, 2011. Efektivitas Penggunaan Bakteriosin Sebagai Antibakteri Pada
Celup Putting Sapi Perah Untuk Pencegahan Mastitis Subklinis Melalui Uji
Alkohol.Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Jurnaa, P. A. 2005. Hand hygiene: simple and complex [review]. International
Journal of Infectious Diseases 9:3-14.
Kartika, Bambang, dkk. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan.
Yogyakarta: UGM Press.
Kincaid, R.L., B.P. Chew and J.D. Cronrath. 1992. Zinc oxide and amino acid a
saurces of dietary zinc for calves : effects on uptake and immunity. J. Dairy
Sci.80:1381-1388.
Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW. 2000.The Microbiological Safety and
Quality of Food. Volume 1. Maryland: Aspen Publishers, inc.
Manik, E. (2006). Olahan Susu. Jakarta : Pusat Unit Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Metzger, L. E., D. M. Barbano, M. A. Rudan and P. S. Kindstedt. 2000. Effect of
Milk Preacidification on Low Fat Mozzarella Cheese: I. Composition and
Yield. J. Dairy Sci. (83): 648-658.
Milller GD, Jarvis JK, McBean LD. 2007.Handbook of Dairy Foods and
Nutrition/ National Dairy Council.Third edition. New York: CRC Press.
Muchtadi, TR dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor:
IPB.
Murti, T. W. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Muthalib, A. 2012. Potensi sumber daya ternak kerbau di Nusa Tenggara Barat.
Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lokakarya Nasional
Usaha Ternak Kerbau Mendukung Kecukupan Daging Sapi. Nusa Tenggara
Barat.
Nguyen van Thu. 2000. Buffalo production research and development in Vietnam.
Proc. of the Third Asian Buffalo Congress, Kandy (LK). 27 to 31 Mar: 105
115.
Nugraheni TW. 2003. Kemampuan Uji Katalase Sebagai Uji Penentuan Kualitas
Susu Segar. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
27

Pandey GS, Voskuil GCJ. 2011. Manual on milk safety, quality and hygiene.
GART.
Pradlee, Jorgea, et al,. 2011. Somatic Cell Count and Californi Mastitis Test as a
Diagnostic Tool for Subclinical Mastitis in Ewes. Acta Scientiae Veterinariae,
2012. 40(2): 1038.
Quinn, P.J., B.K. Markey, M.E. Carter, W.J. Donnely and F.C. Leonard. 2002.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd.
UK. 63.
Raharjo, Julia T. M., 1988. Uji Indrawi. Purwokerto: Teknologi Hasil Pertanian
Universitas Jenderal Soedirman.
Rahman A., S.Fardiaz, W.P. Rahayu, Suliantari dan C.C. Nurwitri. 1992.
Teknologi Fermentasi Susu. PAU IPB. Bogor.
Ressang, A.A, dan A. M. Nasution.(1982). Ilmu Kesehatan Susu (Milk
Hygiene).Edisi ke-2 Institut Pertanian Bogor.
Robinson, R. K. 1990. Dairy Microbiologi, The Microbiologi Milk. Secon
Edition. Published by elsivier Science Publishing Co. Inc. New York.
Ruegg, P.L. 2002. Milk Secretion and Quality Standards . University of
Wisconcins . Madison: USA.
Saleh, E. (2004). Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program
Studi Produksi Ternak. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Sameen, A., F.M. Anjum, N. Huma, and H. Nawaz. 2008. Quality evaluation of
mozarella cheese from different milk sources. Pakistan Journal of Nutrition
7 (6): 753-756.
Sari, Nazera, Amurita, et al. 2014.Total Bahan Padat, Kadar Protein, dan Nilai
Kesukaan Keju Mozarella dari Kombinasi Susu Kerbau dan Susu Sapi.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 3 (4).
Setyaningsih, Dwi, Anton Apriyanto, dan Maya Puspita Sari. 2010. Analisis
Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press.
Sjamsul, B. dan C. Talib. 2007. Strategi Pengembangan Pembibitan Ternak
Kerbau. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Soeharosono. 2008. Laktasi. Widya Padjadjaran. Bandung.
Soeharsono. 1996. Fisiologi Laktasi. Universitas Padjajaran : Bandung
Soekarto, S. T. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta.
28

Subronto.2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Edisi Kedua.Gajah Mada


University Press.Yogyakarta.
Sudarwanto M, H Latif, M Noordin 2006. The Relationship of The Somatic Cell
Counting to sub-clinical Mastitis and to Improve Milk Quality. Jakarta, July
12-13, 2006.
Sudarwanto M. 2006. Mikrobiologi Susu [Bahan Kuliah]. Bogor: [Tidak
Diterbitkan].
Sudono, A. 1985.Produksi Sapi Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan. IPB. Bogor.
Suradi, Kusmajadi., 2007. Tingkat Kesukaan Bakso dari Berbagai Jenis Daging
Melalui Beberapa Pendekatan Statistik (The Hedonic Scaling of Meatball
from Various kind of Meat on Several Statistic Approached) [Jurnal Ilmu
Ternak, Juni 2007, Vol. 7 No.1, 52-57]. Bandung: fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran.
Suryani, Rahmah, Diah, et al. 2014. Aroma dan Warna Susu Kerbau Akibat
Proses Glikasi D-psikosa, L-psikosa, D-tagatosa, dan L-tagatosa. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan 3 (3).
Susiwi S. 2009. Penilaian Organoleptik. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Uneversitas Pendidikan Indonesia.
Stone, Herbert dan Joel L Sidel. 2004. Sensory Evaluation Practices, edisi ketiga.
California, USA: Elsevier Academic Press.
Sutama, I.K., 2008.Pemanfaatan sumberdaya ternak lokal sebagai ternak perah
mendukung peningkatan produksi susu nasional. Wartazoa, Vol. 18 (4) : 1-
11.
Tappa, Baharuddin, 2010. Optimalisasi Produksi Sperma Sexing Kerbau Untuk
Mendukung Program Penyediaan Bibit Ternak Nasional. Pusat Penelitian
Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Williamson, G., W.J.A, Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
GMU- Press, Yogyakarta.
Wirdahayati R.B. 2006. Produktivitas ternak kerbau penghasil dadih di Sumatera
Barat. Jurnal Ilmiah “TAMBUA” Universitas Mahaputra Muhammad
Yamin, Volume V No. 1, Januari – April 2006. ISSN 1412-5838.
Wirdahayati, R.B. 2008. Upaya peningkatan produksi susu kerbau untuk
kelestarian produk dadih di Sumatera Barat. Wartazoa Vol. 17 (4) : 178-
184.
29

Wirdahayati, R.B. 2010.Strategi Pelestarian Produksi Susu Kerbau Lokal (Swamp


Buffalo) Bagi Peningkatan Gizi Masyarakat.Semiloka Nasional Prospek
Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020.
Zulbardi, M. 2002. Upaya peningkatan produksi susu kerbau bagi ketersediaan
dan mempertahankan protein dadih. Prosiding Seminar Nasional teknologi
Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan, Bogor.
30
31

Lampiran 1. Data Uji California Mastitis Test (CMT)

NO. KERBAU/S KEKENTALAN SKOR KETERANGAN


AMPEL CMT
1. A Viscous ++ Kuartir Depani
2. B1 Viscous + Kuartir Depan
3. B2 Viscous ++ Semua Kuartir
4. C Viscous ++ Kuartir Depan dan Kuartir Belakang-Kiri
5. D Normal -
6 E1 Normal -
7. E2 Normal -

8. F Normal -
9. G Normal -
10. H Normal -
11. I Normal -
12. J Normal -
13. K Normal -
14. L Normal -
15. M Normal -
16. N Normal -
17. O Normal -
18. P Normal -
19. Q Normal -
20. R Normal -
21. S Normal -

22. T Normal -
23. U Normal -
24. V Normal -
25. W Normal -

26. X Normal -

27. Y Normal -
28. Z Normal -
32

Lampiran 2. Daftar Pertanyaan Kualitas Organoleptik Susu Kerbau Perah Oleh


Panelis Pencicip

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

NAMA : TANGGAL:
BERI PENILAIAN PADA 3 KRITERIA BERDASARKAN URUTAN
PERTANYAAN DI BAWAH DAN BUATLAH KLASIFIKASI SAMPEL-
SAMPEL TERSEBUT !
A. WARNA
1. 2. 3. 4.
Catatan :
1. Putih/kuning Kemerahan
2. Putih/kuning
3. Agak Putih Kekuning-kuningan
4. Putih Kekuning-kuningan
B. BAU
1. 2. 3. 4
Busuk, Tidak Beraroma Susu, Agak Beraroma Susu, Spesifik Khas Susu
C. RASA
1. 2. 3. 4.
Catatan :
1. Pahit
2. Tidak manis dan tidak asin
3. Sangat manis dan sangat asin
4. Agak manis dan Agak asin
D. TINGKAT KEASAMAN (pH)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
33

Lampiran 3. Perhitungan Rata-rata Soring Uji Organoleptik

No Sampel Organoleptik
Warna Bau Rasa pH
1 A 3,5 3,6 3,6 7
2 B1 3,4 3,3 4 6
3 B2 3,4 2,8 3,6 5
4 C 3,7 2,9 3,6 6
5 D 3,8 4 4 7
6 E1 3,9 4 4 6
7 E2 3,9 4 3,6 6
8 G 4 4 4 7
9 G 4 3,8 4 6
10 H 4 3,8 4 7
11 I 4 4 3,6 6
12 J 4 4 4 7
13 K 3,9 3,9 3,6 6
14 L 4 4 3,6 7
15 M 4 3,9 4 7
16 N 3,9 3,8 4 6
17 O 3,9 4 4 6
18 P 3,9 3,9 4 6
19 Q 4 3,8 4 6
20 R 4 3,9 4 6
21 S 3,9 4 4 6
22 T 4 4 4 6
23 U 3,9 3,8 4 6
24 V 3,9 3,8 4 6
25 W 4 4 4 6
26 X 4 4 4 6
27 Y 4 3,8 4 6
28 Z 3,9 4 3,6 6

Rata-rata 3,88 3,81 3,88 6,21


34

Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan Proses Pengambilan Sampel dan


Pemeriksaan Sampel melalui uji California Mastitis Test
(CMT), Jumlah Bakteri (Metode Cawan Tuang), dan Uji
Organoleptik.
Foto-foto penelitian

Gambar 1.Hasil Uji California Mastitis Test (CMT) Pada Susu Kerbau Perah

Gambar 2. Persiapan Alat dan Bahan Uji Metode Cawan Tuang

Gambar 3. Proses Mengkultur Bakteri dengan Media Agar pada Uji Metode
Cawan Tuang

Gambar 4. Proses Menghitung Jumlah Bakteri pada Uji Metode Cawan Tuang

Gambar 5. Uji Organoleptik

Anda mungkin juga menyukai