Anda di halaman 1dari 3

www.muslim.or.

id

Jangan Membuat Orang Bodoh Terkenal


muslim.or.id/36933-jangan-membuat-orang-bodoh-terkenal.html

dr. Raehanul Bahraen March 8, 2018

Di zaman ini, sarana internet dan media sosial membuat manusia mudah mengekspresikan
dirinya dengan bebas. Ada yang mengekspresikan kepintaran dengan menyebarkan ilmu
dan hal yang bermanfaat. Ada juga yang mengekspresikan dan menampakan hal-hal yang
tidak bermanfaat bahkan merupakan (maaf) kebodohan. Di antara orang seperti ini ada
yang sengaja menampakkan kebodohannya dalam rangka mencari perhatian, membuat
kehebohan agar terkenal.

Untuk hal ini, kita perlu bijak menanggapi:

Pertama, jika hal tersebut tidak terlalu penting untuk ditanggapi, maka tidak perlu
ditanggapi atau disebarkan di media sosial dan internet, apalagi pelakunya bukan “orang
terkenal”, dengan alasan:

1/3
a) Jika kita sebarkan, misalnya:
“Segera tangkap penista agama ini!”

Maka kita membuat orang tersebut malah semakin terkenal padahal sebelumnya bukan
siapa-siapa. Orang tersebut memang tujuannya mencari sensasi, semakin ditanggapi, dia
semakin senang dan semakin berulah.

Ini yang disebut dalam pepatah Arab.

‫ﺑﺎ ل ﻓ ﻲ ز ﻣ ﺰ م ﻟ ﯿ ﺸ ﺘ ﻬ ﺮ‬

“Dia mengencingi sumur Zam-zam agar terkenal”

atau

“Stop making stupid people famous”


(Jangan membuat orang bodoh jadi terkenal)

b) Kita akan sibuk mengurus “orang bodoh” dan waktu kita akan habis terbuang percuma

c) Jika kita membuat orang-orang yang berbuat bodoh terkenal (misalnya ia menistakan
agama), apabila hal ini terlihat banyak dan sering terjadi, maka kita akan sering terpapar
dengan penistaan agama, dan apabila terlalu sering bisa jadi kita anggap biasa saja oleh
orang-orang (maaf) bodoh lainnya.

Kaidah menjelaskan,

‫ﻛ ﺜ ﺮة اﻟ ﻤ ﺴﺎ س ﺗ ﻤ ﯿ ﺖ ا ﻻ ﺣ ﺴﺎ س‬

“Seringnya berinteraksi/terpapar bisa mematikan sensitifitas/respon”

Kedua, jika dampak dari perbuatan “bodoh” tersebut memliki dampak besar. Misalnya
mengolok-ngolok agama dengan menebarkan syubhat yang bisa mempengaruhi orang
awam, maka perlu kita tanggapi dengan membuat penjelasan umum kepada masyarakat
(tidak harus membuat bantahan langsung) untuk meng-counter pemikiran dan syubhat
tersebut.

Kita berharap juga ada tindakan tegas bagi mereka yang melakukan (maaf) kebodohan ini.
Dihukum setimpal dan ada “efek jera” (ta’zir). Misalnya penjara seumur hidup atau suatu
hukuman yang membuat orang semisal mereka takut melakukan penistaan agama.

Intinya, perlu bijak menyebarkan berita dan menyebarkan perbuatan (maaf) “bodoh“.
Menyebarkan berita harus dilakukan oleh ahlinya dan yang berwenang, bukan dilakukan
oleh siapapun (perlu berhati-hati di zaman media sosial dan internet ini).

Baik itu berita baik ataupun buruk, tidak langsung disebarkan. Perlu melihat mashlahat dan
mafsadatnya. Tidak asal-asalan menyiarkan dan menyebarkannya.

Allah berfirman,

‫َوإَِذا َﺟﺎَﺀُﻫْﻢ أَْﻣٌﺮ ِﻣَﻦ اﻷْﻣِﻦ أَِو اْﻟَﺨْﻮِف أََذاُﻋﻮا ِﺑِﻪ َوﻟَْﻮ َرﱡدوُه إِﻟَﻰ اﻟﱠﺮُﺳﻮِل َوإِﻟَﻰ ُأوﻟِﻲ اﻷْﻣِﺮ ِﻣْﻨُﻬْﻢ ﻟََﻌﻠَِﻤُﻪ اﱠﻟِﺬﯾَﻦ َﯾْﺴﺘَْﻨِﺒُﻄﻮﻧَُﻪ ِﻣْﻨُﻬْﻢ َوﻟَْﻮﻻ‬
‫َﻓْﻀُﻞ ا ﱠِﷲ َﻋﻠَْﯿُﻜْﻢ َوَرْﺣَﻤُﺘُﻪ ﻻﱠﺗَﺒْﻌُﺘُﻢ اﻟﱠﺸْﯿَﻄﺎَن إِﻻ ﻗﻠﯿﻼ‬
2/3
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil
Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan
rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja
(di antaramu).” (QS An-Nisaa : 83)

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah menfsirkan ayat ini,

‫ وأ ﻧ ﻪ ﯾ ﻨ ﺒ ﻐ ﻲ ﻟ ﻬ ﻢ إ ذا ﺟﺎ ء ﻫ ﻢ أ ﻣ ﺮ ﻣ ﻦ ا ﻷ ﻣ ﻮ ر اﻟ ﻤ ﻬ ﻤ ﺔ واﻟ ﻤ ﺼﺎﻟ ﺢ اﻟ ﻌﺎ ﻣ ﺔ ﻣﺎ ﯾ ﺘ ﻌﻠ ﻖ‬.‫ﻫ ﺬا ﺗﺄ د ﯾ ﺐ ﻣ ﻦ ا ﷲ ﻟ ﻌ ﺒﺎ ده ﻋ ﻦ ﻓ ﻌﻠ ﻬ ﻢ ﻫ ﺬا ﻏ ﯿ ﺮ اﻟ ﻼ ﺋ ﻖ‬


‫ ﺑ ﻞ ﯾ ﺮد و ﻧ ﻪ إﻟ ﻰ اﻟ ﺮ ﺳ ﻮ ل‬، ‫ أ و ﺑﺎﻟ ﺨ ﻮ ف اﻟﺬ ي ﻓ ﯿ ﻪ ﻣ ﺼ ﯿ ﺒ ﺔ ﻋﻠ ﯿ ﻬ ﻢ أ ن ﯾ ﺘ ﺜ ﺒ ﺘ ﻮا و ﻻ ﯾ ﺴ ﺘ ﻌ ﺠﻠ ﻮا ﺑﺈ ﺷﺎ ﻋ ﺔ ذﻟ ﻚ اﻟ ﺨ ﺒ ﺮ‬، ‫ﺑﺎ ﻷ ﻣ ﻦ و ﺳ ﺮ و ر اﻟ ﻤ ﺆ ﻣ ﻨ ﯿ ﻦ‬
‫ ﻓﺈن رأوا ﻓﻲ‬.‫ اﻟﺬﯾﻦ ﯾﻌﺮﻓﻮن اﻷﻣﻮر وﯾﻌﺮﻓﻮن اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ وﺿﺪﻫﺎ‬،‫ أﻫِﻞ اﻟﺮأي واﻟﻌﻠﻢ واﻟﻨﺼﺢ واﻟﻌﻘﻞ واﻟﺮزاﻧﺔ‬،‫وإﻟﻰ أوﻟﻲ اﻷﻣﺮ ﻣﻨﻬﻢ‬
‫ وإ ن رأ وا أ ﻧ ﻪ ﻟ ﯿ ﺲ ﻓ ﯿ ﻪ ﻣ ﺼﻠ ﺤ ﺔ أ و ﻓ ﯿ ﻪ ﻣ ﺼﻠ ﺤ ﺔ وﻟ ﻜ ﻦ‬.‫إ ذا ﻋ ﺘ ﻪ ﻣ ﺼﻠ ﺤ ﺔ و ﻧ ﺸﺎ ﻃﺎ ﻟﻠ ﻤ ﺆ ﻣ ﻨ ﯿ ﻦ و ﺳ ﺮ و را ﻟ ﻬ ﻢ و ﺗ ﺤ ﺮ زا ﻣ ﻦ أ ﻋ ﺪا ﺋ ﻬ ﻢ ﻓ ﻌﻠ ﻮا ذﻟ ﻚ‬
‫ ﻟ ﻢ ﯾﺬ ﯾ ﻌ ﻮه‬، ‫ﻣ ﻀ ﺮ ﺗ ﻪ ﺗ ﺰ ﯾﺪ ﻋﻠ ﻰ ﻣ ﺼﻠ ﺤ ﺘ ﻪ‬

“Ini adalah pengajaran dari Allah kepada Hamba-Nya bahwa perbuatan mereka
[menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang
kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan
dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan
akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan
berita tersebut. Bahkan mengembalikan perkara tersebut kepada Rasulullah [pemerintah]
dan yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuan, peneliti,
penasehat dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan
mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan
menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan dan kebahagiaan bagi kaum mukminin
serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya. Dan jika mereka melihat
tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharatnya
lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya.” [1]

Hendaknya kita menyaring dulu berita yang sampai kepada kita dan tidak semua berita
yang kita dapat kemudian kita sampaikan semuanya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َﻛَﻔﻰ ِﺑﺎْﻟَﻤْﺮِء َﻛِﺬًﺑﺎ أَْن ُﯾَﺤﱢﺪَث ِﺑُﻜﱢﻞ َﻣﺎ َﺳِﻤَﻊ‬

“Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia
dengar.” [2]

@ Kota Kudus, Jawa Tengah

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Taisir Karimir Rahmah hal 170, Daru Ibnu Hazm, Beirut, cetakan pertama, 1424 H

[2] HR. Muslim 1/10

3/3

Anda mungkin juga menyukai