Anda di halaman 1dari 5

Pada kesempatan mulia ini marilah kita bersama-sama lebih memantapkan hati kita untuk senantiasa

bertakwa kepada Allah subhanahu wata'ala dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi
segala larangan-Nya. Marilah kita bisa menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan teguh dalam pendirian
serta mampu mengendalikan diri dalam berbagai masalah kehidupan yang kita hadapi.

Dengan ketakwaan atau rasa takut kepada Allah, kita akan senantiasa berhati-hati dalam melakukan
sesuatu agar tidak melanggar perintah-perintah Allah. Dengan takwa juga kita akan senantiasa berusaha
untuk tidak mengerjakan semua larangan Allah.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Di era perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat dewasa ini, kehidupan manusia sangat
tergantung pada teknologi. Hampir semua aktivitas kehidupan manusia tidak lepas dari kemudahan-
kemudahan yang dihasilkan dari perkembangan teknologi. Sampai-sampai saat ini pun, berkat teknologi,
kita sudah hidup di dua dunia, yakni dunia nyata dan dunia maya.

Perubahan pola hidup manusia ini tentu membawa pengaruh, baik positif maupun negatif, sehingga
memerlukan kesiapan mental spiritual dari setiap individu kita. Tanpa kesiapan dan pengendalian diri,
kita akan terombang-ambing dengan berbagai informasi yang saat ini setiap detik membanjiri dunia
maya, khususnya di media sosial. Ketika terombang-ambing maka kita akan mudah terjerumus dan jauh
dari Allah subhanahu wata'ala.

Dulu, akses informasi tak semudah di era digital sekarang. Tapi, justru di sinilah tantangannya. Banjirnya
informasi menuntut kita cermat memilih sumber informasi yang benar-benar valid dan bisa menjadi
rujukan dalam menentukan langkah kehidupan. Bisa dikatakan, orang yang sukses saat ini bukanlah
orang yang memiliki banyak informasi, melainkan orang yang mampu menyaring informasi.
Terkait dengan setiap informasi yang kita terima, Allah subhanahu wata'ala sudah mengingatkan melalui
firman-Nya dalam QS Al-Hujurat Ayat 6:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا ِإن َج ٓاَء ُك ْم َفاِس ٌۢق ِبَنَبٍإ َفَتَبَّيُنٓو ۟ا َأن ُتِص يُبو۟ا َقْو ًۢم ا ِبَج َٰه َلٍة َفُتْص ِبُحو۟ا َع َلٰى َم ا َفَع ْلُتْم َٰن ِدِم ين‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Dalam tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah dijelaskan bahwa kalimat:

‫َفَتَبَّيُنٓو ۟ا َأن ُتِص يُبو۟ا َقْو ًۢم ا ِبَج ٰه َلة‬

(maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya) adalah memastikan kebenaran dari berita yang kita terima. Dan termasuk dari
memastikan ini adalah bersikap tenang tanpa tergesa-gesa; mengendalikan diri, tidak mudah tersulut,
dan memperhatikan apa yang sedang terjadi dari berita yang ada sehingga dapat jelas kebenarannya.

Dari penjelasan ini jelaslah bahwa kita harus mengendalikan diri, tidak boleh terburu-buru dengan
langsung mempercayai segala informasi yang kita terima. Kita harus menelusuri siapa, dari mana, dan
atas motif apa berita tersebut muncul dengan langkah klarifikasi, cek dan ricek, atau bertabayun.
Terlebih di media sosial, banyak oknum yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian untuk
kepentingan tertentu.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Media Sosial Bagaikan pedang bermata dua, di satu sisi, atas segala kemudahan penyebaran informasi,
kita patut bersyukur karena media mencari informasi keilmuan terbuka luas, komunikasi bisnis sangat
terbantu. Namun, di satu sisi lain, lewat medsos pula, orang bisa menjadi mudah melanggar norma-
norma agama maupun tatanan sosial masyarakat.

Dahulu orang hanya bisa membicarakan keburukan orang lain harus menunggu bertemu dan bertatap
muka dengan lawan bicaranya terlebih dahulu, bicaranya terbatas dengan waktu dan itu pun
pendengarnya hanya terbatas beberapa orang saja. Kini, dengan hadirnya medsos, seseorang bisa
menceritakan kekurangan orang lain hanya dengan apa yang ada dalam genggaman tangan, melalui
tulisan, gambar, atau video yang bisa diproduksi dalam hitungan menit. Dalam waktu sebentar saja
konten itu lalu menyebar ke mana-mana. Jutaan orang bisa mengakses dan hebatnya lagi, gunjingan di
media sosial tidak akan pernah hilang sebelum dihapus.

Menceritakan keburukan orang lain, dalam agama Islam dikenal dengan istilah ghîbah. Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diceritakan, suatu ketika Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bertanya
kepada para sahabat:

‫َأَتْد ُروَن َم ا اْلِغ يَبُة؟‬

“Apakah kalian tahu apa itu ghibah?”

Para sahabat menjawab:

‫ُهّٰللا َو َر ُسوُلُه َأْعَلُم‬

“Allah dan Rasulnya yang lebih tahu”

Kemudian Nabi menjawab:

‫ِذ ْك ُرَك َأَخ اَك ِبَم ا َيْك َر‬

”Ghibah adalah ketika kamu mengisahkan teman kamu tentang suatu yang tidak ia sukai.

Lalu ada yang tanya kepada Nabi:

‫َأَفَر َأْيَت ِإْن َك اَن ِفي َأِخ ي َم ا َأُقوُل؟‬

“Bagaimana kalau yang saya katakan itu memang sesuai faktanya, Ya Rasul?”

‫ َوِإْن َلْم َيُك ْن ِفيِه َفَقْد َبَهَّتُه‬،‫ َفَقِد اْغ َتْبَتُه‬،‫ِإْن َك اَن ِفيِه َم ا َتُقوُل‬

“Ya kalau memang yang kamu katakan itu fatka, berarti kamu menggujingnya. Namun jika yang kamu
bicarakan tidak sesuai fakta, maka kamu membuat kedustaan terhadap dirinya” (HR Muslim).

Oleh karena itu, ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Sudah saatnya kita untuk membekali diri dengan pengendalian diri agar kita tidak terseret ke dalam
Leumbah Dosa
Dan mari kita manfaatkan dengan sebaik-baik mungkin. Kalau kita ingin menyebarluaskan ajaran Islam,
media sosial adalah saluran yang sangat efektif untuk itu. Tapi sampaikan ajaran Islam dengan cara yang
baik dan penuh hikmah. Jangan sampai, pendekatan yang kita gunakaan, malah membuat orang menjadi
takut dan enggan untuk belajar Islam. Karena itu, dalam surat al-Nahl ayat 125, Allah SWT berfirman:

‫ٱْدُع ِإَلٰى َس ِبيِل َر ِّبَك ِبٱْلِح ْك َم ِة َو ٱْلَم ْو ِع َظِة ٱْلَحَس َنِة‬

Artinya, “Ajaklah manusia kepada jalan tuhan-Mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik” (Surat An-
Nahl ayat 125)

Dalam Tafsir al-Qurthubi, Imam al-Qurthubi menjelaskan:

‫ َو َأَم َرُه َأْن َيْدُع َو ِإَلى ِد يِن ِهَّللا َو َشْر ِعِه ِبَتَلُّطٍف َو ِليٍن ُد وَن ُم َخ اَشَنٍة َو َتْع ِنيٍف‬،‫َهِذِه اآْل َيُة َنَز َلْت ِبَم َّك َة ِفي َو ْقِت اَأْلْم ِر ِبُم َهاَد َنِة ُقَر ْيٍش‬

Artinya, “Ayat ini turun di Mekah pada waktu perang dengan orang Qurays. Allah memerintahkan
kepada Nabi Muhammad untuk mengajak orang kepada agama dan syariat Allah dengan cara yang
lembut dan lunak, bukan dengan cara yang kasar dan keras.”

Bayangkan, dalam kondisi perang saja, Allah masih memerintahkan Nabi Muhammad untuk
menyampaikan ajaran Islam dengan lemah lembut dan tidak menggunakan cara kekerasan. Apalagi
dalam situasi damai. Masyarakat kita saat ini hidup dalam kondisi rukun dan tidak terlalu
mempermasalahkan perbedaan. Sebagai pendakwah, mestinya kondisi rukun ini harus tetap dijaga.
Makanya, konten dakwah yang kita sebarluaskan di media sosial, usahakan tidak menyulut emosi orang
yang berujung pada kekecauan dan kekerasan.

Karena jejak digital itu abadi, susah dihilangkan, berpikirlah semaksimal mungkin, sebelum kita
mengupload konten di media sosial. Apalagi bila konten itu berkaitan dengan masalah agama. Pastikan
bahwa apa yang kita sampaikan itu sudah sesuai dengan ajaran yang disampaikan para ulama, dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalam Islam. Selain konten, yang perlu
diperhatikan adalah dampak dari konten yang kita sebarluaskan.

Sebarkanlah informasi yang baik dan juga memiliki pada dampak kebaikan. Meskipun informasinya
benar, tapi kalau kita sebarkan nanti akan memicu kesalahpahaman dan keributan, alangkah baiknya
informasi itu kita tahan dulu. Imam An-Nawawi mengutip pernyataan Imam As-Syafi’i terkait pentingnya
menjaga kata:

‫ وإن شك لم يتكلم حتى تظهر‬،‫ فإن ظهرت المصلحة تكلم‬،‫إذا أراد الكالم فعليه أن يفكر قبل كالمه‬

Artinya, “Apabila kalian hendak bicara, berpikirlah sebelumnya. Jika ada kemaslahatan pada ucapan
tersebut, bicaralah. Andaikan kalian ragu, lebih baik tidak bicara sampai ditemukan kemaslahatannya”
Sebagai penutup, menyampaikan kebaikan ataupun ajaran agama seluas-luasnya adalah perbuatan yang
sangat terpuji dan dianjurkan dalam agama, tapi kita juga harus ingat, ajaran agama juga harus
disampaikan dengan cara yang baik dan bijak, apalagi di media sosial yang sangat rentan disalahpahami.
Sampaikan dan sebarluaskanlah konten yang maslahatnya sudah jelas, kalau memang masih diragukan,
lebih baik ditunda dan ditahan dulu, agar tidak menimbulkan kemudaratan.

Oleh karenanya, jama’ah rahimakumullah. Marilah kita lebih selektif lagi dalam menerima berita atau
konten di media sosial. Hendaknya kita tidak langsung mempercayai dan membagi-bagikan berita yang
belum jelas kebenarannya.

Saring sebelum sharing. Posting hal-hal penting jangan yang penting posting. Teliti dan pahami terlebih
dahulu karena jika kita tidak berhati-hati bisa jadi kita akan menjadi orang yang berdosa dengan
menjadi penyebar dosa. Cerdaslah dalam bermedia sosial dan semoga Allah Ta’ala senantiasa
membimbing kita ke jalan yang diridhoi-Nya. Amin.

Anda mungkin juga menyukai