Anda di halaman 1dari 13

Korosi Dental Alloy CoCr dan NiCr dengan Palladium

Demetrios M. Sarantopoulos, DDS, MS,a Kelly A. Beck, DDS,b Robert Holsen, BS,c dan
David W. Berzins, PhDd

Marquette University School of Dentistry, Milwaukee, Wis

Pernyataan Masalah. Sebuah subkelas baru dari komposisi casting alloy melibatkan
penambahan palladium (25% berat) ke base metal alloy biasa, dengan demikian
meningkatkan klasifikasinya menjadi sebuah nobble alloy, baru-baru ini diperkenalkan.
Sedikit diketahui tentang kelas casting alloy ini, terutama sifat korosinya, yang
mempengaruhi biokompatibelitas dan estetetisnya.

Tujuan. Tujuan penilitian ini untuk mengevaluasi sifat korosi 2 alloy baru CoPdCr dan
NiPdCr dan membandingkannya dengan alloy CoCr dan NiCr.

Bahan dan Metode. Casting alloys yang ditelititi : CoPdCr-A (NobleCrown NF), CoPdCr-I
(Callisto CP+), NiPdCr (Noble Crown), CoCr (Argeloy N.P. Special), dan NiCr (Argeloy
N.P. Star). Cast berbentuk silindris (diameter 4,8mm) dan spesimen teroksidasi dinilai secara
elektokimia dalam phospate-buffered saline pada suhu 24oC (masing-masing n=8 dan n=6).
Open Circuit Potential (OCP) dimonitor selama 20 jam, diikuti Linear Polarization dan
Cyclic Polarization Test. Generalized Linear Mixed Model digunakan untuk menentukan
apakah ada perbedaan antara alloy tersebut dan menguji efek oksidasi (α=.05). masing-
masing alloy, permukaannya dipindai dan diperiksa dengan mikroskop cahaya.

Hasil. Alloy yang mengandung palladium memiliki OCP lebih besar sacara signifikan
(P<.001); namun, resistensi terhadap polarisasinya lebih kecil dan densitas arus korosi secara
signifikan lebih besar (P<.05) dibandingkan tradisional CoCr dan NiCr. Selain itu, insiden
pitting lebih besar teramati pada alloy yang mengandung palladium. Beberapa perbedaan
tercatat pada alloy as-cast dan alloy dalam kondisi teroksidasi, tetapi kecenderungan
utamanya tidak teramati,

Kesimpulan. Secara keseluruhan, penambahan palladium dalam alloy CoCr dan NiCr
memiliki efek yang merusak pada sifat korosi elektrokimia.
Implikasi Klinis. Sebuah kelas baru noble casting alloy yang mengandung palladium
ditambahkan ke cobalt-chromium dan nickel chromium didemonstrasikan menunjukan
penurunan resistensi korosi in-vitro, dengan kemungkinan konsekuensinya terhadap
implikasi klinis dengan memperhatikan biokompatibelitas dan estetis

Selain klasifikasi dengan sifat mekanik, American Dental Association (ADA)


mengklasifikasikan alloy untuk prostodontik tetap berdasarkan komposisi. Keempat kelas
tersebut terdiri dari high noble, noble, and predominantly base metal alloys dan titanium &
titanium alloy. Noble alloy didefinisikan sebagai alloy yang memiliki kandungan logam
mulia (emas, platinum, paladium, rhodium, iridium, osmium, ruthenium) yang lebih besar
dari atau sama dengan 25% berat (wt%). Penulis telah mengidentifikasi subclass dari
kelompok mulia. Terlepas dari casting alloys perak-palladium, subkelas lainnya yang
mencakup kelas noble alloy pada umumnya mengandung logam mulia yang jauh lebih besar
dari 25 wt%. Sebagai alternatif, meskipun kelas predominantly base metal didefinisikan
mengandung <25% berat logam mulia, base metal alloy biasanya tidak mengandung logam
mulia atau kebanyakan hanya dalam persentase rendah (wt%). Meskipun alloy baru sering
diperkenalkan, sebuah subkelas komposisi casting alloy baru secara keseluruhan dibuat
secara komersial (Callisto CP and Callisto CP+; Ivoclar Vivadent, Inc, Amherst, NY;
NobleCrown and NobleCrown NF; Argen Corp, San Diego, Calif). Alloy-alloy ini adalah
alloy berbasis kobalt-kromium (CoCr) atau nikel-kromium (NiCr) dengan paladium 25,0%
berat (pd), yang berarti cukkup untuk diklasifikasikan sebagai noble alloy, sehingga
membuatnya berpotensi menarik secara ekonomis bagi beberapa dokter gii dan / atau
laboratorium dental. Keunikan noble alloy baru ini adalah mereka dikembangkan dari base
metal class yang ada. Sayangnya, sedikit, jika ada, informasi sifat material pada sistem alloy
spesifik ini, walaupun beberapa informasi tentang ini dapat dikumpulkan melalui meninjau
literatur tentang casting alloy palladium dan base metal (CoCr and NiCr) dan upaya
sebelumnya untuk mengembangkan dental material dengan paladium.

Banyak sifat dan faktor material mengatur pemilihan casting alloy oleh dokter gigi dan
laboratorium dental. Diantaranya adalah biaya, kemudahan pengecoran dan finishing,
berbagai sifat mekanik seperti hardness, elastic modulus, and yield strength, color, accuracy
of fit, dan biocompatibility. Sehubungan dengan biokompatibilitas, sifat korosi dari sebuah
casting alloy merupakan sifat tunggal yang paling relevan berkenaan dengan keamanan
biologisnya. Korosi menghasilkan pelepasan elemen, yang, bergantung pada unsur yang
dilepaskan, jumlah pelepasannya, dan lamanya paparan terhadap jaringan, menentukan
respon biologis terhadap elemen / alloy. Diantara tradisional dental casting alloy, noble alloy
secara umum memiliki sifat korosi yang menguntungkan dibanding base metal alloy. Dengan
demikian, dokter mungkin memilih noble alloy dengan harapan akan memperbaiki keamanan
biologisnya. Beberapa bukti ada, bagaimanapun, bahwa penambahan logam mulia yang
sederhana sebenarnya memburuk sifat korosi dari alloy berbasis kobalt-kromium, seperti
yang dilaporkan oleh Reclaru dkk pada evaluasi alloy yang mengandung 2% Au, 2% Au dan
2% Pt, atau 15% Pt and 10% Ru. Jika penambahan alloy paladium ke CoCr atau NiCr
menghasilkan degradasi sifat korosi yang serupa, kinerja klinis jangka panjang alloy tersebut
harus dipertanyakan, terutama dari perspektif biokompatibilitas.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sifat korosi dari 3 casting alloy baru
yang mewakili secara keseluruhan subkelas baru dari komposisi casting alloy. Secara khusus,
sifat korosi alloy CoPdCr dan NiPdCr yang baru dievaluasi dan dibandingkan dengan alloy
CoCr dan NiCr yang ada. Hipotesis nolnya adalah bahwa dimasukkannya paladium ke dalam
alloy CoCr dan NiCr tidak akan berpengaruh pada sifat korosi.

MATERIAL DAN METODE

Tiga noble alloy 1 alloy nikel-kromium yang mengandung palladium (NiPdCr) dan 2 alloy
kobalt-kromium yang mengandung palladium (CoPdCr-A and CoPdCr-I) dievaluasi dan
dibandingkan dengan base metal alloy NiCr dan CoCr biasa. Komposisi dari 5 alloy ini dan
pabrikannya tercantum dalam tabel 1. Alloy tersebut dicor dalam bentuk silinder
menggunakan batangan plastik yang dipotong sebagai pola pengecoran (tinggi 14 mm x
diameter 4.8 mm; n=10). batangan plastik yang dipotong disprue, diinvest ke dalam sebuah
investmen berikatan fosfat dan carbon-free (Formula 1; Whip Mix Corp, Louisville, Ky) dan
dilakukan burned out. Casting dilakukan di laboratorium dental swasta (Capitol Dental Lab,
Menomonee Falls, Wis) mengikuti instruksi pabrik pembuatnya, dengan menggunakan
cawan lebur kuarsa individu (individual quartz crucibles) (Type S- Slotted; Select Dental Mfg
Co, Farmingdale, NY) untuk setiap alloy, sebuah multiorifice gas-oxygen, dan sebuah
centrifugal casting machine. Setelah divestmen, spesimen dipisahkan untuk pengujian
elektrokimia baik dalam kondisi as-cast (n = 4) atau teroksidasi (n = 6).
Untuk spesimen teroksidasi, masing-masing grup alloy pertama-tama dilakukan
degassed/oxidized sesuai dengan petunjuk pabrik pembuatnya dengan menggunakan tungku
porselen terkomputerisasi (computerized porcelain furnace) (Centurion VPC; Ney, Yucaipa,
Calif ). Untuk CoPdCr-A, CoCr, NiPdCr, dan NiCr, spesimen dipanaskan dari 650oC sampai
980oC pada kenaikan 55oC / menit di bawah vakum. Spesimen CoPdCr-I dipanaskan dari
650oC sampai 900oC pada kenaikan 55oC / menit dan ditahan selama 1 menit tanpa vakum.
Selanjutnya, semua kelompok alloy menjalani sebuah simulasi porcelain firing schedule yang
terdiri dari 4 langkah terkait dengan wash opaque, opaque, dentin/enamel, dan glaze layers
dari sistem VITA Omega 900 (Vident, Brea, Calif). Semua 4 langkah terdiri dari pemanasan
dari suhu awal 600oC sampai suhu akhir, masing-masing, 920oC, 900oC, 880oC, and 900oC,
untuk 4 kelompok pada tingkat 75oC / menit untuk 2 langkah pertama dan 50oC / menit
untuk 2 langkah terakhir. Spesimen ditahan dibawah vakum selama 4 menit pada suhu akhir
pada 3 langkah pertama.

Spesimen dipasang di epoxy resin (Sampl-Kwick; Buehler Ltd, Lake Bluff, Ill) dan
permukaannya dilapisi dengan 600-grit SiC paper (CarbiMet Discs; Buehler Ltd). Spesimen
as-cast (n = 4) diuji berulang untuk meliputi 8 analisis electrochemical test. Persiapan
permukaan untuk urutan pengujian elektrokimia kedua dari spesimen ini terdiri dari
penggilingan (grinding) kira-kira 2 mm dari permukaan dengan 240-grit SiC paper diikuti
grinding akhir dengan 600-grit SiC paper. Untuk spesimen teroksidasi, grinding terbatas pada
pengangkatan lapisan oksida luar dan dihentikan saat tidak terlihat lagi. Evaluasi sifat korosi
pada dental casting alloy yang teroksidasi biasanya melibatkan preparasi melalui grinding
atau polishing. Setelah sonication (Ultrasonic T-15; L & R Mfg Co, Kearny, NJ) dalam air
suling selama 5 menit, spesimen tersebut dipasang ke alat uji elektroda kerja, yang disegel
dengan sticky wax (Sticky Wax; Kerr Corp, Orange, Calif ) untuk memastikan bahwa hanya
alloy yang terpapar elektrolit dan bukan logam lainnya, seperti batang sambungan listrik.
Batang grafit berfungsi sebagai elektroda counter dan elektroda calomel jenuh (SCE) (Gamry
Instruments, Warminster, Pa) adalah elektroda referensi. Semua 3 elektroda terpasang pada
potentiostat berbasis komputer (PC3; Gamry Instruments). Larutan Phosphate-buffered saline
(PBS) digunakan sebagai elektrolit. Komposisi larutan PBS adalah 137 mM NaCl, 2,7 mM
KCl, dan campuran KH2PO4 dan Na2 HPO4 sampai 10 mM (PO4)-3 (Thermo Fisher
Scientific, Inc, Pittsburgh, Pa). Data elektrokimia dikumpulkan sesuai dengan urutan. Selama
20 jam, he open circuit potential (OCP) dipantau. Selanjutnya, linear polarization test
dilakukan di mana arus diukur selagi potensial alloy dipindai pada 0,05 mV / detik dari -20
mV sampai +25 mV (vs. OCP). Resistansi polarisasi (Rp) ditentukan oleh software
elektrokimia (Gamry Echem Analyst, v. 1.3; Gamry Instruments) dengan menghitung
kemiringan garis yang sesuai dengan data linier. Terakhir, cyclic polarization test dilakukan,
pemindaian spesimen pada 1,0 mV / detik dari -300 mV sampai +700 mV dan kembali ke -
300 mV (vs. OCP). corrosion current density (Icorr) dihitung dengan Tafel Fit option pada
electrochemical software.

Sebelum dan sesudah cyclic polarization test, sebuah spesimen perwakilan dari masing-
masing kelompok alloy dipindai pada 1200 titik per inci (dpi) menggunakan desktop scanner
(HP Scanjet 5550c; Hewlett-Packard Co, Palo Alto, Calif). Perwakilan spesimen juga
diperiksa dengan mikroskop metalurgi (Olympus PME 3; LECO Corp, St. Joseph, Mich), dan
gambar diambil dengan digital image acquisition device (SPOT Insight 2MP Firewire Mono;
Diagnostic Instruments, Inc, Sterling Heights, Mich) dan software (SPOT Software 4.5;
Diagnostic Instruments, Inc).

Semua analisis statistik dilakukan dengan statistical software (SAS version 9.1.3; SAS
Institute, Inc, Cary, NC). Parameter yang dievaluasi adalah 20 jam open circuit potential,
resistansi polarisasi, dan corrosion current density. Data untuk Rp dan Icorr ditentukan agar
tidak terdistribusi secara normal, sehingga data log-transformed untuk menyesuaikan
kemiringan. Karena adanya tindakan berulang (pengujian elektrokimia berulang pada
spesimen as-cast), generalized linear mixed model digunakan untuk menentukan perbedaan
statistik antara kelompok alloy (CoPdCr-A, CoCr, dll) dan pengkondisian (as-cast vs.
dioksidasi untuk alloy tertentu), merupakan analisis 2 arah dengan kelompok alloy dan
kondisi permukaan sebagai variabel bebas. Untuk menyesuaikan peningkatan type I error
associated with multiple testing, alse discovery rate adjustment digunakan. Tingkat
signifikansi ditetapkan ke α = 0,05.

HASIL

Kurva open circuit potential untuk semua 5 alloy disajikan pada Gambar 1. Secara umum,
setelah dimasukkan ke dalam larutan, terjadi peningkatan OCP secara bertahap selama 4
sampai 8 jam pertama, diikuti dengan stabilisasi relatif selama beberapa jam mendekati tanda
20 jam. Alloy yang mengandung Pd menunjukkan nobilitas yang lebih besar (OCP lebih
tinggi) dibandingkan dengan alloy CoCr dan NiCr. Kurva cyclic polarization terdiri dari
pemindaian forward (menuju peningkatan potensial atau lebih positif) dan reverse (menuju
penurunan potensial) (Gambar 2 dan 3). Selama cyclic polarization, tampak jelas bahwa alloy
yang mengandung Pd berperilaku berbeda dari alloy CoCr dan NiCr (Gambar 2 dan 3).
Peningkatan densitas arus secara gradual dengan polarisasi terjadi selama pemindaian
forward CoCr dengan penurunan densitas arus saat reversal (Gambar 2). Untuk 2 alloy
CoPdCr, densitas arus meningkat pada saat reversal, menghasilkan histeresis positif yang
menunjukkan adanya pitting. kedua alloy CoPdCr menunjukkan kerusakan lapisan pasifnya
pada pemindaian forward sekitar 0,4-0,5 V (vs SCE). Namun, CoCr tidak menunjukkan
adanya pitting atau kerusakan pada kisaran potensial yang diuji. Pengamatan serupa seperti
Co-based alloy dapat dibuat dengan Ni-based alloy (Gambar 3). Untuk semua alloy, spesimen
teroksidasi umumnya menunjukkan fitur cyclic polarizatio yang sama seperti spesimen as-
cast (kurva spesimen teroksidasi tidak ditunjukkan).
Tabel II menampilkan mean kuadrat-terkecil dan kesalahan standar dari 3 parameter
elektrokimia utama, yaitu OCP, Rp, dan Icorr. Nilai OCP untuk alloy as-cast yang mengandung
Pd tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara keduanya namun secara signifikan
(P <.001) lebih besar dari nilai alloy NiCr dan CoCr. Untuk OCP alloy dalam keadaan
teroksidasi, CoPdCr-I dan CoPdCr-A serupa secara statistik (P = .53), dan secara
keseluruhan, alloy yang mengandung Pd secara signifikan lebih besar (P <.01) dibandingkan
alloy CoCr dan NiCr.

OCP CoPdCr-A, NiPdCr, dan NiCr mengalami penurunan yang signifikan (P <.05) dengan
oksidasi dibandingkan dengan keadaan as-cast. Dalam keadaan as-cast, CoCr memiliki
ketahanan polarisasi yang lebih besar (P <.01) lebih besar daripada semua alloy lainnya,
kecuali NiCr. CoCr juga memiliki ketahanan polarisasi terbesar dalam keadaan teroksidasi (P
<.01), diikuti oleh CoPdCr-I dan NiCr, yang secara signifikan (P <.05) lebih besar dari
CoPdCr-A dan NiPdCr. CoCr, CoPdCr-I, dan NiPdCr menunjukkan perbedaan signifikan (P
<.05) antara keadaan as-cast dan teroksidasi untuk ketahanan polarisasi. Dalam kondisi as-
cast dan oxidized, CoCr memiliki densitas arus korosi terendah, sedangkan alloy yang
mengandung Pd memiliki densitas arus korosi yang lebih besar dibandingkan dengan rekan
kerja masing-masing (CoCr atau NiCr). Berkenaan dengan kondisi permukaan, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara keadaan as-cast dan teroksidasi untuk CoPdCr-A dan NiCr,
namun untuk CoCr dan CoPdCr-I, densitas arus korosi menurun, dan untuk NiPdCr,
meningkat. Perlu dicatat bahwa, untuk data yang ditampilkan pada Tabel II, kekuatan yang
diamati untuk mendeteksi efek ukuran sedang adalah 0,843. Oleh karena itu, Perbedaan besar
antara data pada Tabel II yang tidak signifikan kemungkinan besar lebih kecil dengan
menggunakan skala log dalam analisis.

Permukaan perwakilan masing-masing alloy yang dipindai setelah pengujian elektrokimia


ditunjukkan pada Gambar 4. Alloy CoCr dan NiCr tetap berwarna perak dengan hanya tanda
grinding yang terlihat. Alloy yang mengandung Pd, bagaimanapun, semuanya menunjukkan
stain dan / atau lubang, karena hasil uji polarisasi siklik diprediksi.

Pemeriksaan mikroskopis lebih lanjut dilakukan dengan mikroskop metalurgi, dan beberapa
mikrograf ditampilkan (Gambar 5). Sekali lagi, alloy CoCr dan NiCr menunjukkan relatif
tidak adanya serangan korosif yang jelas, sedangkan alloy yang mengandung Pd semuanya
tersajikan dengan bintik hitam pada mikrograf. Bintik-bintik ini mencerminkan lubang-
lubang yang terbentuk dan paling lazim pad alloy NiPdCr. Sebelum pengujian elektrokimia
(pemindaian permukaan dan mikrograf tidak diperlihatkan), alloy yang mengandung Pd
serupa dengan alloy CoCr dan NiCr yang ditunjukkan (Gambar 4 dan 5) dalam permukaan
bewarna perak adalah bukti. Penampakan spesimen teroksidasi serupa dengan spesimen as-
cast, sebagian karena pengangkatan lapisan oksida luar dengan 600-grit SiC paper selama
preparasi
DISKUSI

Hipotesis nol bahwa dimasukkannya paladium ke dalam alloy CoCr dan NiCr tidak
berpengaruh terhadap sifat korosi ditolak. Palladium telah ditambahkan ke alloy CoCr dan
NiCr oleh beberapa produsen untuk meningkatkan kelas komposisi ADA mereka dengan
menjadi noble alloy. Gagasan menggabungkan paladium ke dalam dental metal / alloy yang
ada, bagaimanapun, bukanlah konsep baru dan telah dilakukan di masa lalu dengan tujuan
memperbaiki sifat. Palladium telah dimasukkan dalam amalgam selama beberapa dekade dan
terus diselidiki, terutama dari sudut elektrokimia. Greener dkk menyelidiki amalgam yang
mengandung Pd dan paladium meningkatkan potensi korosi dan menurunkan densitas arus.
Serupa juga, Chung menemukan bahwa nilai potensial korosi lebih positif dan nilai densitas
arus kurang untuk alloy amalgam yang mengandung paladium dibandingkan kontrol. Colon
dkk menyelidiki 4 high copper amalgam eksperimental, 2 di antaranya mengandung Pd,
selama periode 10 tahun. Sifat korosi dari keempat campuran tersebut meningkat dari waktu
ke waktu, dan penggabungan palladium meningkatkan perilaku korosi dari amalgam.

Amalgam bukan satu-satunya dental metal / alloy dimana palladium ditambahkan di masa
lalu. Taira dkk menambahkan paladium ke titanium untuk digunakan sebagai casting alloy
dan menemukan masuknya palladium meningkatkan kepasifan, sehingga tidak menyebabkan
kerusakan antara -400 mV dan 800 mV (vs. SCE). Hasil studi saat ini, bagaimanapun,
bertentangan dengan studi yang disebutkan sebelumnya dimana penambahan palladium ke
base metal alloy tidak menyebabkan peningkatan sifat korosi. Efeknya mungkin bergantung
pada sifat metalurgi dan komposisi alloy yang ditambahkan paladium. Misalnya, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, Reclaru dkk menambahkan logam mulia (Au, Pt, Ru) ke alloy
CoCr dan menemukan penurunan ketahanan korosi untuk kebanyakan kombinasi, serupa
dengan yang diamati pada penelitian saat ini dengan alloy CoPdCr dan NiPdCr yang
menunjukkan peningkatan densitas arus dan kerusakan lapisan pasif mereka, mengakibatkan
pitting.

Penurunan resistensi polarisasi dan kenaikan densitas arus korosi yang terkait dengan alloy
yang mengandung palladium dalam penilitian ini dapat dikaitkan dengan efek palladium yang
dimiliki pada mikrostructure dari alloy. Struktur mikro alloy CoCr dan NiCr kebanyakan
bersifat dendritik dan menjadi lebih kompleks tergantung pada apakah elemen alloy
tambahan menginduksi pembentukan presipitat dan / atau fase kedua. Bergantung pada
komposisi presipitat dan fasenya, konsentrasi kromium efektif dari fase tersebut dapat
diturunkan sejauh sifat pelindung lapisan pasif kromium terhalang atau tidak hadir. Meskipun
tergantung pada sistem alloy, umumnya diperkirakan bahwa paling sedikit 12% berat Cr
dibutuhkan untuk membangun kepasifan. Dengan ketidakstabilan lapisan pasif, area ini
rentan terhadap korosi pitting. Selain itu, lapisan pasif yang kurang stabil akan hadir dengan
tingkat korosi yang lebih besar, seperti yang ditemukan dalam penelitian ini.

Penelitian sebelumnya yang meneliti base metal alloy telah mengamati pengaruh kandungan
Cr pada perilaku korosi. Wylie dkk dan Bumgardner & Lucas menyimpulkan bahwa lebih
banyak Cr dalam alloy berbasis Ni menghasilkan ketahanan korosi yang superior,
dibandingkan dengan kandungan Cr yang lebih rendah. Temuan serupa diamati oleh Hero
dkk, yang menunjukkan korosi yang dipercepat dalam alloy NiCrBe dapat dikaitkan dengan
pembentukan eutektik berilium-nikel di daerah interdendritik yang memiliki kandungan Cr
yang lebih rendah dan bertindak anodik ke daerah lain. Mungkin dipostulatkan bahwa, karena
dimasukkannya Pd ke dalam sistem alloy CoCr dan NiCr, fase yang kekurangan Cr timbul di
mikrostruktur, menciptakan area anodik dan mengurangi ketahanan terhadap korosi secara
keseluruhan. Penelitian lebih lanjut yang mengeksplorasi struktur mikro alloy CoPdCr dan
NiPdCr diperlukan untuk mengkonfirmasi hipotesis ini dan untuk menentukan komposisi dan
struktur kristal dari fase yang dihasilkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mikroskop cahaya,
pemindaian mikroskop elektron ditambah dengan analisis sinar-x dispersi energi untuk
menentukan komposisi, dan difraksi sinar-x untuk menentukan fase kristal.

pembandingan sifat korosi umum noble alloy dengan base metal alloy, anggapannya adalah
bahwa laju korosi untuk noble alloy akan lebih rendah dari pada base metal alloy. Hal ini
didukung dalam penelitian oleh Gil edkk, Meyer & Reclaru, Canay & Oktemer, dan
Manaranche & Hornberger. Dental alloy berbasis Pd dan AuPtPd terbukti tahan terhadap
korosi saat diuji secara elektrokimia atau melalui elemental release. Meskipun terdapat
pengecualian, diyakini bahwa, secara umum, semakin besar persentase unsur noble, emakin
besar nobilitas dan semakin rendah tingkat korosi. Alloy dalam studi saat ini menunjukkan
perilaku yang bertentangan dengan prinsip ini. Penambahan paladium, satu-satunya unsur
noble di semua alloy, menghasilkan pengurangan ketahanan korosi pada alloy yang
signifikan. Seperti yang akan dibahas, ini mungkin memiliki implikasi biokompatibilitas.
Selain itu, alloy yang mengandung Pd menunjukkan kerentanan yang lebih besar terhadap
korosi pitting dan crevice. Secara umum, semakin besar luas loop pitting yang diamati pada
pemindaian potentiodinamik siklik, semakin besar kerentanan alloy terhadap korosi pitting
dan crevice. Meskipun dibuat secara artifisial dalam penelitian ini, lubang dapat
menyebabkan penurunan kekuatan, mempengaruhi estetika restorasi, seperti terlihat pada
gambar yang dipindai, dan menjadi area adherensi plak. Studi tambahan diperlukan untuk
menentukan apakah kerentanan terhadap korosi pitting dan crevic akan teramati secara in
vivo, bagaimanapun, karena potensi elektrokimia yang diperlukan tidak dapat dicapai secara
in vivo.

Alloy dianalisis dalam kondisi as-cast dan oxidized. Karena diindikasikan untuk complete
cast crowns and metal ceramic restoration, kedua kondisi permukaan tersebut dapat terekpose
ke oral environment dan / atau dentinal fluid. Sehubungan dengan OCP, Rp, dan Icorr,
beberapa perbedaan tercatat dalam alloy antara kondisi as-cast dan teroksidasi, tetapi
kecenderungan utamanya tidak teramati. open circuit potential menjadi lebih negatif untuk 2
alloy yang mengandung Pd (CoPdCr-A dan NiPdCr), yang menunjukkan oksidasi elemen
lain pada permukaan dan palladium lebih sedikit teramati pada lapisan yang teroksidasi.
Selain itu, Icorr menjadi kurang untuk 2 alloy (CoPdCr-I dan CoCr), yang mengindikasikan
beberapa homogenisasi mungkin terjadi. Homogenisasi akan menghasilkan keseragaman
komposisi yang lebih banyak dan mengurangi jumlah korosi antara daerah anodik dan
katodik di microstructure.

Pengaruh ketebalan lapisan oksida yang meningkat juga dapat berperan dalam penurunan
ICorr, meskipun hal itu dapat diatasi jika komposisi lapisan oksida diubah. Kurangnya efek
oksidasi pada beberapa parameter elektrokimia dapat mengindikasikan bahwa perlakuan
panas tidak mengubah oksida pada permukaan alloy. Efek oksidasi telah dipelajari di masa
lalu dengan hasil yang beragam. Roach dkk mengamati komposisi yang bergantung pada
kenaikan dan penurunan open circuit potential dan densitas arus korosi antara alloy NiCr
dengan kondisi as-cast dan teroksidasi. Berzins dkk menunjukkan OCP high-Pd alloy
komersial meningkat setelah oksidasi, dan Icorr menurun. Syverud dkk mengamati jumlah ion
yang lebih banyak yang tercuci dari alloy high-Pd teroksidasi. Mezger et al, bagaimanapun,
menunjukkan resistensi polarisasi meningkat atau menurun tergantung pada jenis alloy PdCu
dan elektrolit yang digunakan. Dalam penelitian tersebut, OCP tidak menunjukkan adanya
perubahan yang signifikan dengan oksidasi, kecuali pada satu alloy, dan Icorr tidak berbeda
kecuali dalam 3 kondisi alloy / elektrolit. Sun dkk melakukan studi serupa dan mengamati
hasil yang sebanding dalam efek oksidasi bergantung pada elektrolit yang digunakan dan
parameter yang diukur.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, biokompatibilitas paduan pengecoran
berhubungan langsung dengan sifat korosinya, karena pelepasan ion adalah keharusan, meski
tidak mencukupi sendiri, kejadian untuk reaksi alergi, beracun, dan mutagenik terjadi. Studi
saat ini menunjukkan bahwa alloy Studi saat ini menunjukkan bahwa alloy yang mengandung
paladium memiliki densitas arus korosi yang meningkat sangat tinggi. Akibatnya, lebih
banyak ion akan dilepaskan dari alloy ini. Ini harus menjadi perhatian, mengingat perhatian
yang telah diterima oleh Pd dan Ni di masa lalu sehubungan dengan biokompatibilitas.
Kerugian dari pengujian elektrokimia, bagaimanapun, adalah bahwa identitas ion yang
dilepaskan tidak diketahui. Oleh karena itu, pengujian pelengkap yang mengukur pelepasan
unsur melalui inductively coupled plasma mass spectroscopy atau atomic absorption
spectroscopy diperlukan untuk alloy ini. Bahkan kemudian, konsekuensi biologis dari
pelepasan unsur tidak dapat diprediksi dalam penelitian in vitro ini, jadi evaluasi klinis
diperlukan sebelum sebuah rekomendasi dapat dibuat mengenai penggunaan alloy CoCr dan
NiCr yang mengandung palladium.

KESIMPULAN

Dalam keterbatasan penelitian ini, kesimpulan berikut ditarik :

1. Penambahan paladium di CoCr dan NiCr menghasilkan peningkatan nobilitas seperti


yang ditunjukkan oleh open circuit potential yang meningkat. Namun, ketahanan
korosi pada alloy ini pada umumnya lebih buruk dibandingkan dengan alloy
tradisional yang dievaluasi, seperti yang ditunjukkan oleh penurunan resistensi
polarisasi dan kenaikan densitas arus korosi.
2. Alloy CoCr dan NiCr yang mengandung paladium menunjukkan peningkatan
kerentanan terhadap pitting melalui cyclic polarization. Hal ini mengakibatkan tarnish
makroskopik dan pitting secara mikrostruktur.

Anda mungkin juga menyukai