Anda di halaman 1dari 25

PLAN OF ACTION

UPAYA MENINGKATKAN ANGKA KEPATUHAN


HAND HYGIENE DI RUANG IGD RSUP FATMAWATI

KELOMPOK I :

ADEYANTI HIDAYAT
AGUSTIN
FEBRIYANI
MARLENY
RETNANINGSIH W
SUWARDI
VINA SEFTIANI

PROGRAM B RSUP FATMAWATI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2011
1. LATAR BELAKANG MASALAH

WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007
resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi
Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan .ini mulai disusun sejak
tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan
mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Salah
satu solusi tersebut adalah tingkatkan kebersihan tangan (Hand Hygiene) untuk
pencegahan infeksi nosokomial.
RSUP Fatmawati sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian
Kesehatan RI telah menyelenggarakan kegiatan pencegahan dan pengendalian
infeksi secara konsisten dibawah koordinasi, pembinaan serta pengawasan
Komite Pengendalian Infeksi RSUP Fatmawati. Adapun sebagai salah satu bentuk
wujud nyata komitmen terhadap program Save Lives: Clean Your Hands, RSUP
Fatmawati juga telah melaksanakan penandatanganan bersama “RSUP Fatmawati
Berkomitmen Melaksanakan Budaya Hand Hygiene” oleh seluruh karyawan
RSUP Fatmawati pada tanggal 5 Mei 2010.
Berdasarkan hasil kegiatan tersebut diperoleh hasil tingkat kepatuhan
melakukan Hand Hygiene yang bervariasi mulai dari 0 hingga 79,2% DENGAN
rata-rata kepatihan 28%.
Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu instalasi di RS Fatmawati
yang masuk kategori High Risk untuk terjadinya infeksi dimana angka
kepatuhannya mencapai 8,3%. Adapaun jumlah seluruh karyawan di IGD terdiri
dari Dokter 17 orang, perawat 35 orang, pekarya 16 orang dan petugas ambulance
8 orang. Dari semua jumlah staf IGD, diambil data secara random yaitu 30%,
sehingga didapatkan angka kepatuhan 8,3%. Faktor yang menyebabkan angka
kepatuhan di IGD rendah yaitu tingkat kesibukan yang tinggi, tingkat
pengetahuan tentang Hand Hygiene yang rendah.APA FAKTOR PENDUKUNG
TERJADINYA MASALAH
Dampak kegagalan melakukan hand hygiene yang baik dan benar
dianggap sebagai penyebab utama infeksi rumah sakit dan penyebaran
mikroorganisme multiresisten di fasilitas pelayanan kesehatan dan telah diakui
sebagai kontributor yang penting terhadap timbulnya wabah.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka perumusan masalah PSBH ini
adalah “Upaya meningkatkan angka kepatuhan Hand Hygiene Di Ruang IGD”

2. TUJUAN
Apakah dengan melakukan pelatihan, penyuluhan, sosialisasi dan supervise
oleh petugas IPCN tentang Hand Hygiene untuk semua petugas kesehatan di
ruang IGD selama 3 x seminggu selama 2 minggu akan dapat meningkatkan
angka kepatuhan Hand Hygiene dari 39 % BERAPA DATA
SEBELUMNYA? DALAM DATA ANGKA KEPAUTAH HANYA 8,3 %
menjadi 60% ? APAKAH TIM PSBH INI SEMUA IPCN? APA BEDA
PELATIHAN, PENYULUHAN DAN SOSIALISASI?

3. LANGKAH-LANGKAH
PERSIAPAN :
 Koordinasi dengan Ka Ruang IGD mengenai rencana kegiatan serta
Pertemuan dengan karu beserta staf di lantai menyampaikan rencana
pelaksanaan kegiatan PSBH ini. Pertemuan ini dilakukan saat pre
comference. Pada minggu pertama selama seminggu. Dengan
sasaran seluruh staf mengetahui program ini dengan metode tanya
jawab / diskusi terarah.
 Pembuatan format formulir observasi hand hygiene harian dengan
jalan mengacu pada sop timbang terima yang ada dengan Ka.
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk mendapatkan
masukan standart format yang optimal dan mudah untuk
diaplikasikan di lapangan.
 Penyusunan jadwal sosialisasi

PELAKSANAAN
 Melakukan sosialisasi tentang Hand Hygiene dengan mengacu pada
five moment Hand Hygiene kepada seluruh staff oleh petugas IPCN
seminggu 2 x, selama 2 minggu.
 Melakukan sosialisasi formulir observasi harian Hand Higiene.
 Disamping itu dilaksanakannya Evaluasi bulanan dan tiga bulanan.
secara berkala saat pelaksanaan tindakan keperawatan sesuai dengan
five moment oleh petugas IPCN.
 Supervise yang dilakukan oleh petugas IPCN setiap hari.

EVALUASI
Evaluasi dilakukan semua staff di ruang IGD secara random sebanyak
30% dari semua staf IGD. Apakah semua telah mengikuti sosialisasi sehingga
dalam pelaksanaan Praktek kebersihan tangan dapat dilakukan sebagaimana
mestinya. Cara evaluasi dilakukan dengan melakukan audit Hand Hygiene
sesuai dengan format yang telah disusun.
Evaluasi akan dilaksanakan secara berkala setiap bulannya pada
minggu ke IV yang akan dilakukan oleh Problem Solver atau komite
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
KESINAMBUNGAN :
Palaksanaan kegiatan ini akan terus dimonitor dan dievaluasi oleh
petugas IPCN secara berkala serta akan dibuat laporannya secara tertulis dan
akan diusulkan ke ruangan untuk dapat melakukan penyegaran kembali
tentang Hand Hygiene secara berkla bagi karyawan lama dan sosialisasi bagi
karyawan baru.

4. RENCANA WAKTU

JUNI JULI AGUSTUS


NO KEGIATAN
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
I PERSIAPAN
1. Pertemuan dengan Ka Ru IGD dan staf
IGD
2. Menyusun format formulir observasi harian
Hand Hygiene
3. Menyusun jadwal sosialisasi

II PELAKSANAAN
1.Sosialisasi tentang hand hygiene
2.Melakukan sosialisasi format
3.Evaluasi bulanan dan tiga bulanan secara
berkala
4. Supervise setiap hari oleh IPCN
III EVALUASI
Evaluasi harian
Evaluasi bulanan
RENCANA KESINAMBUNGAN
1V 1. Audit Hand Hygiene
2. Sosialisasi untuk karyawan
baru dan penyegaran untuk
karyawan lama

5. RENCANA ANGGARAN

SUMBER DAYA YANG TERSEDIA TERSEDIA TIDAK TERSEDIA


Peralatan : Kertas, pulpen 50.000,-
Foto copy format evaluasi 5.000,-
Sewa ruang pertemuan 200.000,-
Tinta printer 275.000,-
Dokumentasi (foto) 150.000,-

JUMLAH 680 000

6. EVALUASI

Evaluasi kegiatan dilakukan terhadap kepatuhan petugas kesehatan terhadap


Hand Higiene dengan menggunakan formulir observasi terhadap kepatuhan.
Kegiatan Sosialisasi tentang Hand Hygiene yang mengacu pada Five moment
Hand Hygiene di Ruang IGD , di laksanakan tiap akhir bulan minggu ke IV
bulan juni,juli dan Agustus serta tri wulan pada bulan agustus minggu ke IV.
Tahun 2011. Yang akan di laksanakan oleh problem solver atau Komite
pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

7. KESINAMBUNGAN :

a. Mengusulkan untuk melakukan penyegaran bagi karyawan lama dan


sosialisasi bagi pasien baru secara berkala.
b. Melakukan supervise secara rutin
c. Meningkatkan fasilitas dan sarana Hand Higiene.

LAMPIRAN

Teori - Teori
a. Patient Safety

WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007
resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan
Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan .ini mulai
disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara,
dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan
pasien.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera
pasien,tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang
mengalami KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat
dicegah (non error) mau pun yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai
proses asuhan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat,
mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses
pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat
bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien, guna
menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS
di Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi “Life-Saving” Keselamatan
Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai dengan
kemampuan dan kondisi RS masing-masing.

1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-


Alike Medication Names).

Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang


membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling
sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu
keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini
di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat
bingung terhadap nama merek atau generik serta kemasan. Solusi NORUM
ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan
memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah yang dicetak
lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.

2. Pastikan Identifikasi Pasien.

Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi


pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan,
transfusi maupun pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang;
penyerahan bayi kepada bukan keluarganya, dsb. Rekomendasi ditekankan
pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk
keterlibatan pasien dalam proses ini; standardisasi dalam metode
identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan;
dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan protokol
untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.

Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan


pasien antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan,
bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang
tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien.
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien
termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang
bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya
dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima,dan
melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.

4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.

Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah.


Kasus-kasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan
sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan
tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling
banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak
ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi.
Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang
tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian
tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan
prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur’Time out” sesaat
sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien,
prosedur dan sisi yang akan dibedah.

5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).

Sementana semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras


memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi
khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat
standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan pencegahan atas
campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.

6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.

Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi /


pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu
proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada
titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar
yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima
pasien juga disebut sebagai “home medication list", sebagai perbandingan
dengan daftar saat admisi, penyerahan dan / atau perintah pemulangan
bilamana menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan daftar tsb
kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau
dilepaskan.

7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).


Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain
sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian
Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui
penyambungan spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau
cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan
perlunya perhatian atas medikasi secara detail / rinci bila sedang
mengenjakan pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya slang
yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya
menggunakan sambungan & slang yang benar).
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV,
HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum
suntik. Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di
fasilitas layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di lembaga-
lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip
pengendalian infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka
mengenai penularan infeksi melalui darah;dan praktek jarum sekali pakai
yang aman.

9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan


lnfeksi Nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di
seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit.
Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk
menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong
implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs" tersedia pada
titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf
mengenai teknik kebarsihan taangan yang benar mengingatkan penggunaan
tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan penerapan
kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang
lain.

Pasien yang dirawat di rumah sakit sangat rentan terhadap infeksi


rumah sakit yang dapat terjadi karena tindakan perawatan selama pasien
dirawat di rumah sakit , kondisi lingkungan disekitar rumah sakit, dan daya
tahan tubuh pasien. Penularan dapat terjadi dari pasien kepada petugas, dari
pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun
dari petugas kepada pasien Infeksi rumah sakit ini dapat memperpanjang lama
rawat, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta menambah biaya rumah
sakit (Damani, 2003).
Salah satu strategi pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit adalah dengan penerapan kewaspadaan standar untuk memutus rantai
penularan. Tahap kewaspadaan standar yang paling efektif dalam pencegahan
dan pengendalian infeksi adalah hand hygiene(Damani, 2003).
Kegagalan melakukan hand hygiene yang baik dan benar dianggap
sebagai penyebab utama infeksi rumah sakit dan penyebaran mikroorganisme
multiresisten di fasilitas pelayanan kesehatan dan telah diakui sebagai
kontributor yang penting terhadap timbulnya wabah (Boyce dan Pittet, 2002)
Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi ini tentu saja melibatkan
semua unsur, mulai dari unsur pimpinan sampai kepada staf. Peran pimpinan
yang diharapkan adalah menyiapkan sistem, sarana dan prasarana penunjang
lainnya, sedangkan peran petugas kesehatan adalah sebagai pelaksana
langsung dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi sesuai prosedur
yang telah ditetapkan.
WHO telah mencanangkan Program Global Patient Safety Challenge
“Clean Care is Safer Care” sejak tahun 2005 sebagai sebuah komitmen
global dalam upaya menurunkan angka HAI (Health Care Associated
Infection). Di tahun 2009, WHO Patient Safety kembali mencanangkan Save
Lives: Clean Your Hands sebagai program lanjutan yang bertujuan untuk
meningkatkan fokus pelaksanaan Hand Hygiene pada pelayanan kesehatan di
seluruh dunia termasuk Indonesia.
Pemerintah juga telah menyusun kebijakan nasional dengan
menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes RI) Nomor 270
Tahun 2007 tentang Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lain dan
Kepmenkes 382 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit sebagai pijakan hukum untuk
menerapkan standardisasi pencegahan dan pengendalian di RS.

b. Hand Hygiene
Kegagalan melakukan hand hygiene yang baik dan benar dianggap
sebagai penyebab utama infeksi rumah sakit dan penyebaran mikroorganisme
multiresisten di fasilitas pelayanan kesehatan dan telah diakui sebagai kontributor
yang penting terhadap timbulnya wabah (Boyce dan Pittet, 2002)
Praktek hand hygiene atau membersihkan tangan adalah untuk
menghilangkan semua kotoran dan debris serta menghambat atau membunuh
mikroorganisme pada kulit. Mikroorganisme di tangan ini diperoleh dari kontak
dengan pasien dan lingkungan. Sejumlah mikroorganisme permanen juga tinggal
di lapisan terdalam permukaan kulit yaitu S. epidermidis.
Tujuan Melakukan Hand Hygiene:
 Untuk memutus transmisi mikroba melalui tangan: a) diantara area perawatan
dan zona pasien; b) diantara zona pasien dan area perawatan; c) pada daerah
tubuh pasien yang berisiko infeksi (contoh: membrane mukosa, kulit non-
intak, alat invasif); d) dari darah dan cairan tubuh.
 Untuk mencegah: a) kolonisasi patogen pada pasien (termasuk yang
multiresisten); b) penyebaran patogen ke area perawatan; c) infeksi yang
disebabkan oleh mikroba endogen; d) kolonisasi dan infeksi pada petugas
kesehatan.
Cara Melakukan Hand Hygiene:
 Handrub
Langkah paling efektif melakukan hand hygiene adalah menggunakan cairan
handrub berbahan dasar alkohol yang dapat digunakan sebagai antiseptik
tangan rutin.( gambar 1 )
 Cuci Tangan
Tangan harus dicuci dengan sabun dan air bila tampak kotor atau
terkontaminasi dengan darah maupun cairan tubuh, bila berpotensi
membentuk spora mikroba, atau setelah menggunakan kamar mandi.(gambar
2)

Hand hygiene menjadi lebih efektif bila tangan bebas luka; kuku bersih, pendek
dan tangan dan pergelangan bebas dari perhiasan dan pakaian.

Ketidakpatuhan petugas kesehatan dalam melakukan hand hygiene tentunya


memiliki konsekuensi terhadap transmisi patogen dan kejadian infeksi
nosokomial. Hand hygiene bukan menjadi sebuah pilihan maupun kesempatan,
melainkan indikasi yang harus dilakukan selama perawatan untuk mencegah
risiko transmisi mikroba. Untuk itu WHO mengembangkan konsep “5 saat
melakukan kebersihan tangan” (gambar 3)

Infeksi Rumah Sakit dapat didefinisikan sebagai infeksi yang diperoleh pasien
yang dirawat di rumah sakit selain karena infeksi tersebut , atau infeksi yang
terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit yang belum ada atau tidak dalam
masa inkubasi pada saat pasien masuk rumah sakit. Termasuk infeksi yang
diperoleh di rumah sakit tetapi muncul setelah pasien masuk rawat, dan infeksi
pada petugas kesehatan.

c. Teori kepatuhan Mencuci tangan


Menurut Adiwimarta, Maulana, & Suratman (1999) dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau
loyalitas. Kepatuhan yang dimaksud disini adalah ketaatan dalam pelaksanaan
prosedur tetap yang telah dibuat. Menurut Smet (1994), kepatuhan adalah tingkat
seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa yang
disarankan atau dibebankan kepadanya. Dalam hal ini kepatuhan pelaksanaan
prosedur tetap (protap) adalah untuk selalu memenuhi petunjuk atau peraturan-
peraturan dan memahami etika keperawatan di tempat perawat tersebut bekerja.
Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang berperilaku. Menurut
Kelman (1958) dalam Sarwono (1997) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan
perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi, dan tahap terakhir
berupa internalisasi. Pada awalnya individu mematuhi anjuran / instruksi tanpa
kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin
menghindari hukuman/sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh
imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut
tahap kepatuhan (compliance). Biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini
sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada
pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur/ hilang, perilaku itupun
ditinggalkan.
Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman
tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan kepatuhan yang
berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh
yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Perubahan perilaku
individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui
proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi
diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan cuci tangan perawat


Lankford, Zembover, Trick, Hacek, Noskin, & Peterson (2003) bahwa
faktor yang berpengaruh pada tindakan cuci tangan adalah tidak tersedianya
tempat cuci tangan, waktu yang digunakan untuk cuci tangan, kondisi pasien, efek
bahan cuci tangan terhadap kulit dan kurangnya pengetahuan terhadap standar.
Sementara itu Tohamik (2003) menemukan dalam penelitiannya bahwa kurang
kesadaran perawat dan fasilitas menyebabkan kurang patuhnya perawat untuk
cuci tangan. Kepatuhan cuci tangan juga dipengaruhi oleh tempat tugas.
Menurut Saefudin, et.al. (2006), tingkat kepatuhan untuk melakukan KU
(Kewaspadaan Universal), khususnya berkaitan dengan HIV / AIDS, dipengaruhi
oleh faktor individu (jenis kelamin, jenis pekerjaan, profesi, lama kerja dan
tingkat pendidikan), faktor psikososial (sikap terhadap HIV dan virus hepatitis B,
ketegangan dalam suasana kerja, rasa takut dan persepsi terhadap resiko), dan
faktor organisasi manajemen (adanya kesepakatan untuk membuat suasana
lingkungan kerja yang aman, adanya dukungan dari rekan kerja dan adanya
pelatihan).
Beberapa ahli sebagaimana dikemukakan oleh Smet (1994), mengatakan
bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat berupa tidak lain merupakan
karakteristik perawat itu sendiri. Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri pribadi
yang dimiliki seseorang yang memiliki pekerjaan merawat klien sehat maupun
sakit (Adiwimarta, et.al. 1999 dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Karakteristik perawat meliputi variabel demografi (umur, jenis kelamin, ras, suku
bangsa dan tingkat pendidikan), kemampuan, persepsi dan motivasi.
Menurut Smet (1994), variabel demografi berpengaruh terhadap
kepatuhan. Sebagai contoh secara geografi penduduk Amerika lebih cenderung
taat mengikuti anjuran atau peraturan di bidang kesehatan. Data demografi yang
mempengaruhi ketaatan misalnya jenis kelamin wanita, ras kulit putih, orang tua
dan anak-anak terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Latar belakang
pendidikan juga akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam melaksanakan
etos kerja. Semakin tinggi pendidikan seseorang, kepatuhan dalam pelaksanaan
aturan kerja akan semakin baik.
Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan
berbagai tugas dalam pekerjaan yang pada hakekatnya terdiri dari kemampuan
intelektual dan kemampuan fisik. Dimensi kecerdasan telah dijumpai sebagai
peramal dari kinerja, kemampuan intelektual mempunyai peran yang besar dalam
pekerjaan yang rumit, kemampuan fisik mempunyai makna yang penting untuk
melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan
keterampilan (Muchlas, 1997).
Setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing dalam
soal kemampuan kerja, maka wajar-wajar saja kalau ada perawat yang merasa
mampu atau tidak mampu dalam melaksanakan tindakan sesuai dengan protap.
Demikian juga dalam pelaksanaan protap mencuci tangan, perawat yang memiliki
kemampuan melaksanakan, akan cenderung patuh untuk melaksanakan sesuai
dengan yang telah digariskan dalam protap tersebut (Arumi, 2002).
Persepsi tentang protap akan diterima oleh penginderaan secara selektif,
kemudian diberi makna secara selektif dan terakhir diingat secara selektif oleh
masing-masing perawat. Dengan demikian muncul persepsi yang berbeda tentang
protap tersebut, sehingga kepatuhan perawat didalam pelaksanaan protap tersebut
juga akan berbeda (Arumi, 2002).
Motivasi adalah rangsangan, dorongan dan ataupun pembangkit tenaga
yang dimilki seseorang atau sekelompok masyarakat yang mau berbuat dan
bekerjasama secara optimal melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Azwar, 1996). Sedangkan faktor eksternal
yang mempengaruhi kepatuhan terdiri atas pola komunikasi, keyakinan / nilai-
nilai yang diterima perawat, dan dukungan sosial. Pola komunikasi dengan
profesi lain yang dilakukan oleh perawat akan mempengaruhi tingkat
kepatuhannya dalam melaksanakan tindakan. Beberapa aspek dalam komunikasi
ini yang berpengaruh pada kepatuhan perawat adalah ketidakpuasaan terhadap
hubungan emosional, ketidakpuasan terhadap pendelegasian maupun kolaborasi
yang diberikan serta dukungan dalam pelaksanaan program pengobatan (Arumi,
2002). Smet (1994) mengatakan bahwa keyakinan-keyakinan tentang kesehatan
atau perawatan dalam sistem pelayanan kesehatan mempengaruhi kepatuhan
perawat dalam melaksanakan peran dan fungsinya.
Sedangkan dukungan sosial menurut Smet (1994) berpengaruh terhadap
kepatuhan seseorang. Variabel-variabel sosial mempengaruhi kepatuhan perawat.
Dukungan sosial memainkan peran terutama yang berasal dari komunitas internal
perawat, petugas kesehatan lain, pasien maupun dukungan dari pimpinan atau
manajer pelayanan kesehatan serta keperawatan.

1. Cara melakukan Hand Rub ( Gambar 1 )


2. Cara melakukan Hand Wash ( Gambar 2 )
3. 5 Saat melakukan Hand Higiene ( Gambar 3 )
4. Formulir audit Hand hygiene ( Gambar 4 )

FORMULIR OBSERVASI : HAND HYGIENE COMPLIANCE


OBSERVER
TGL OBSERVASI
KODE
UNIT/INST
RUANG/ LANTAI
WAKTU MULAI JAM S/D
PROFESI
Opp Indication HH Action
1.  Bef-pat.  HR
 Bef-asept  HW
 Aft-b.f.  missed
 Aft-pat  gloves
 Aft.p.surr.

Opp Indication HH Action


2  Bef-pat.  HR
 Bef-asept  HW
 Aft-b.f.  missed
 Aft-pat  gloves
 Aft.p.surr.

Opp Indication HH Action


3  Bef-pat.  HR
 Bef-asept  HW
 Aft-b.f.  missed
 Aft-pat  gloves
 Aft.p.surr.

Opp Indication HH Action


4  Bef-pat.  HR
 Bef-asept  HW
 Aft-b.f.  missed
 Aft-pat  gloves
 Aft.p.surr.

Opp Indication HH Action


5  Bef-pat.  HR
 Bef-asept  HW
 Aft-b.f.  missed
 Aft-pat  gloves
 Aft.p.surr.

Opp Indication HH Action


6  Bef-pat.  HR
 Bef-asept  HW
 Aft-b.f.  missed
 Aft-pat  gloves
 Aft.p.surr.

5. PETUNJUK TEKNIS FORM OBSERVASI

RUANGAN diisi tempat observasi dilakukan, contoh : GPS Lt. 6


OBSERVER diisi nama jelas yang melakukan observasi
TANGGAL OBSERVASI diisi tanggal observasi dilakukan, tanggal – bulan - tahun
KTU OBSERVASI diisi waktu memulai observasi di ruangan terpilih, sampai dengan waktu selesai melakukan
observasi. Contoh : Mulai Jam 9.30 s/d Jam 10.00

PROFESI diisi menurut klasifikasi berikut


1. Perawat/ Bidan 1.1. Perawat
1.2. Bidan
2.1. Siswa
2. Pekarya
3. Dokter 3.1. Penyakit Dalam
3.2. Bedah
3.3. Anestesi
3.4. Anak
3.5. Ginekolog
3.6. Konsultan
3.7. Co-Ass/PPDS
4. Petugas lain 4.1. Terapis (Fisioterapis, Okupasional Terapis,
Audiologis, Terapis Wicara)
4.2. Teknisi (radiologist, cardiology technician,
operating room technician, laboratory technician,
etc)
4.3. Lainnya ( Ahli gizi, Pekerja sosial, dan
profesi lain yang terlibat di pelayanan pasien)
4.4. Siswa
Opp Opportunity : Kesempatan subjek yang diobservasi melakukan HH
Indication Indikasi yang membutuhkan HH
bef.pat : sebelum kontak dengan pasien
bef.asept : sebelum melakukan tindakan aseptik
aft.b.f : setelah terkena cairan tubuh pasien
aft.pat : setelah kontak dengan pasien
aft.p.surr : setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien
HH Action Respon terhadap indikasi yang membutuhkan HH, dapat berupa aksi positif dengan
melakukan Handrub atau Handwash, atau aksi negatif dengan meninggalkan Handrub atau
Handwash.
HR: Melakukan Handrub dengan menggunakan disinfektan handrub berbahan dasar
alcohol.
HW: Melakukan Handwash dengan menggunakan sabun dan air
Missed : Tidak melakukan HR atau HW.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/111/jtptunimus-gdl-dewirifaha-5534-4-
babii.pdf
2. http://www.inapatsafety-persi.or.id/?show=detailnews&kode=3&tbl=artikel
3. Damani, N.N Manual infection Control Procedures 2nd edition,2003 Cambridge
University press.

Anda mungkin juga menyukai