Anda di halaman 1dari 38

WRAP UP

Skenario 3: Tidak Bisa Buang Air Kecil


Blok Urogenital

Ketua : Fithra Fauzana 1102010103

Sekretaris : Arlin Chyntia Dewi 1102010036

Anggota : Ananda Indrawan P 1102009027

Andhika Rachadian P 1102010021

Dahlia Ardhyagarini P 1102010062

Diandhara Nuryadin 1102010074

Elsya Aprilia 1102010088

Irene Ratnasari 1102010131

Keyko Septiyanti Widodo 1102010143

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi


Jakarta
2012

1
SKENARIO 3
TIDAK BISA BUANG AIR KECIL
Laki-laki, 56 tahun datang berobat ke Poliklinik Bedah dengan keluhan tidak bisa buang air
kecil sejak 1 hari yang lalu, meskipun rasa ingin kencing ada. Sebelumnya riwayat LUTS
(Lower Urinary Tract Syndrome)seperti hesistensi, nokturia, urgensi, frekuensi, terminal
dribbling sering dirasakan sebelumnya. IPSS (International Prostate Sympton Score) > 30
dan skor kualitas hidup (QoL) > 5. Pada pemeriksaan fisik didapatkan regio supra pubik
bulging dan pada pemeriksaan colok dubur didapatkan prostate membesar. Oleh dokter yang
memeriksanya dianjurkan untuk dipasang kateter urin dan dilakukan pemeriksaan BNO-IVP.

2
Sasaran Belajar
1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Prostat
1.1 : Makroskopik
1.2 : Mikroskopik
2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Fungsional Prostat
3. Memahami dan Menjelaskan Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)
3.1 : Definisi
3.2 : Etiologi
3.3 : Epidemiologi
3.4 : Patogenesis dan Patofisiologi
3.5 : Diagnosis
- Manifestasi Klinis
- Pemeriksaan
- Diagnosis Banding
3.6 : Penatalaksanaan
3.7 : Komplikasi
3.8 : Prognosis

1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Prostat


3
1.1 Makroskopik

Prostat

merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang
terletak di sebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars
prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang
lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.

Gambar 1.1.1 prostat

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus, yaitu :


Lobus medius
Lobus lateralis (2 lobus)
Lobus anterior
Lobus posterior

(Anonim, 1997)

4
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi satu
dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak tampak
karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil
berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar
hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proksimal dari sfincter
eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut
hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma
prostat berasal dari zona perifer. (B.P. Purnomo, 2000; D. Rahardjo, 1993)
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari verumontanum
dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan didapatkan ligamentum pubo
prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan di sebelah belakang
didapatkan fascia denonvilliers.
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan
vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis
dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari
prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul Anatomis
Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus kelenjar prostat.
2. Jaringan Stroma
Terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler.
3. Jaringan Kelenjar
Terbagi atas 3 kelompok bagian:
a. Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang
menghasilkan bahan baku sekret.
b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone.
c. Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang merupakan
bagian terkecil. Bagian ini sering membesar atau mengalami hipertrofi pada usia
lanjut.

Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :


1. Kapsul anatomis
2. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya
(outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner
zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior
daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya
perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami
hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar. (Anonim, 1997)
Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi epitel thoraks
selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid, sehingga keseluruhan epitel
tampak menyerupai epitel berlapis.
Vaskularisasi

5
Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang dari a.
iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium inferior), dan a. pudenda
interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk lewat basis
prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi menjadi 2
kelompok , yaitu:
1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic
junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar
periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang yang
memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar paraurethral).
(A.T.K. Cockett dan K. Koshiba, 1979; Snell, 1992)

Aliran Limfe
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian bersatu
untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca interna ,
iliaca eksterna, obturatoria dan sakral. (A.T.K. Cockett dan K. Koshiba, 1979; Snell, 1992)

Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari Hipogastricus
dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis. (Snell, 1992)

1.2 Mikroskopik

Menurut konsep terbaru kelenjar prostat merupakan suatu organ campuran terdiri atas
berbagai unsur glandular dan non glandular. Telah ditemukan lima daerah/ zona tertentu yang
berbeda secara histologi maupun biologi, yaitu:
 Zona Anterior atau Ventral
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular.
Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
 Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat. Zona ini
rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak.
 Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi
25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi.
 Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar
preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat
melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign prostatic
hyperpiasia (BPH).
 Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dan duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar
sepanjang segmen uretra proksimal.

Prostat terdiri atas 30-50 kelenjar tubulo alveolar yang mencurahkan sekretnya ke dalam 15-
25 saluran keluar yang terpisah. Saluran ini bermuara ke uretra pada kedua sisi kolikulus
seminalis. Otot membentuk masa padat dan dibungkus oleh kapsula yang tipis dan kuat serta
melekat erat pada stroma. Alveoli dan tubuli kelenjar sangat tidak teratur dan sangat beragam
bentuk ukurannya, alveoli dan tubuli bercabang berkali-kali dan keduanya mempunyai lumen
yang lebar, lamina basal kurang jelas dan epitel sangat berlipat-lipat. Sitoplasma mengandung
6
sekret yang berbutir-butir halus, lisosom dan butir lipid. Nukleus biasanya satu, bulat dan
biasanya terletak basal. Nukleoli biasanya terlihat di tengah, bulat, dan kecil

Gambar 1.2.1.
Keterangan:
Diwarnai dengan hematoksilin dan eosin
1 - utama kelenjar prostat
2 - stroma terdiri dari sel-sel otot polos dan jaringan ikat
3 - stroma terdiri dari sel-sel otot polos dan jaringan ikat
4 - kapsul FIBRO-elastis
5 - prostat bagian dari uretra

Pada kelenjar prostat, asini sekretorisnya merupakan bagian kelenjar tubuloasinar dengan
banyak cabang kecil yang tidak teratur; ukuran asini ini bermacam-macam. Asini yang lebih
besar memiliki lumen lebar yang tidak teratur dan epitel yang bervariasi. Kelenjar itu
terbenam didalam stroma fibromuskular khas dengan berkas otot polos, serat-serat kolagen
dan elastin yang terorientasi di berbagai arah. Meskipun epitel kelenjar umumnya selapis atau
bertingkat atau bertingkat silindris dan sel-selnya pucat dibagian distal, namun dapat sangat
bervariasi. Pada daerah tertentu, epitel ini dapat berbentuk gepeng atau kuboid tergantung
pada status endokrin dan kegiatan kelenjar.

Gambar 1.2.2. Keterangan :


7
epitel transisi dari bagian prostat dari uretra
Diwarnai dengan hematoksilin dan eosin
1 - epitel transisi
2 - tunika propria dari mukosa prostat bagian dari uretra
(Eroschenko,2003)

2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Fungsional Prostat


Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang mengandung ion sitrat, kalsium,
dan ion fosfat, enzim pembeku, dan profibrinolisis. Selama pengisian, sampai kelenjar prostat
berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu yang
dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah lebih banyak lagi jumlah semen. Sifat yang
sedikit basa dari cairan prostat mungkin penting untuk suatu keberhasilan fertilisasi ovum,
karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme
sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambar fertilisasi sperma. Sekret vagina juga
bersifat asam (ph 3.5 – 4). Sperma tidak dapat bergerak optumal sampai pH sekitarnya
meningkat kira – kira 6 – 6.5. sehingga merupakan suatu kemungkinan bahwa cairan prostat
menetralkan sifat asam dari cairan lainnya setelah ejakulasi dan juga meningkatkan moyilitas
dan fertilisasi sperma.
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang masa kanak – kanak dan mulai tumbuh
pada masa pubertas di bawah rangsangan testosteron. Kelenjar ini mencapai ukuran hampir
tetap pada usia 20 tahun dan tetap dalam ukuran itu sampai pada usia kira – kira 50 tahun.
Pada waktu tersebut, beberaoa orua kelenjarnya mulai berinvolusi, bersamaan dengan
oenurunan pembentukan testosteron oleh testis. Sekali kelenjar prostat terjadi, sel – sel
karsinogen biasanya dirangsang untuk tumbuh lebih cepat oleh testosteron, dan diambat
dengan pengangkatan testis, sehingga testosteron tidak dapat dibentuk lagi.

3. Memahami dan Menjelaskan Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)


3.1 Definisi
Hiperplasia prostat adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat
yang arah ke perifer dan menjadi simpai bedah.
Merupakan proliferasi elemen epitel dan stroma, yang menyebabkan kelenjar membesar dan
pada sebagian kasar, obstruksi aliran kemih.

3.2 Etiologi
 Teori Hormonal (Teori ketidakseimbangan Estrogen dan Testosteron
Semakin tua testosteron menurun (produktivitas nya berkurang) yang menyebabkan
terjadinya konversi testosteron menjadi estrogen yang dibantu oleh enzim aromatase di
jaringan adiposis di daerah perifer.
Estrogen menyebabkan

8
 Hiperplasia stroma, sehingga testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi
sel kelenjar prostat tetapi kuman ↑ sensitivitas
 Sel prostat terhdap rangsangan hormon androgen
 ↑ jumlah / konsentrasi relatif testosteron / esterogen menyebabkan produksi dan
potensiasi
 Faktor pertumbuhan lain menyebabkan terjadinya pembesaran prostat
 ↑ jumlah reseptor androgen
 ↓ jumlah kematian sel prostat / apoptosis sehingga sel prostat memiliki umur lebih
panjang sehingga prostat lebih besar
 Teori Peptic Growth Factor (faktor pertumbuhan)
 Basic transforming growth factor
 Basic transforming B1
 Basic transforming B2
 Epidermal growth factor
(Cunha, 1973)

 Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis sehingga jumlah sel-sel
prostat meningkat dan massa menjadi positif.
Faktor-faktor yang menghambat apoptosis :
 Hormon androgen menghambat proses kematian sel
 Estrogen memperpanjang usia sel prostat
 Teori Sel (stem cell hypothesis) (Issacs / 1984,1987)
Keadaan normal kelenjar periuretral apoptosis (mati) = sel yang baru (tumbuh)
(steadystate)
Sel yang baru tumbuh dari sel stem yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat
efektif.
Penyebab : usia, gangguan kesehatan hormonal, faktor pencetus lain maka sel stem
tersebut berpoliferasi lebih cepat dan terjadi hiperplasia kelenjar periuretral

 Teori Dihidro Testosteron (DHT)


DHT : metabolit androgen penting untuk pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat.
Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat yang dibantu oleh enzim 5 α reduktase dan
NADPH yang diubah menjadi NADP lalu membentuk dehidrotestosteron
DHT berikatan dengan reseptor anadrogen (RA) di dalam sitoplasma sel prostat lalu
membentuk DHT-Reseptor Kompleks dan kemudian masuk ke dalam di inti sel dan akan
mempengaruhi (RNA) setelah itu terjadi sintesis protein growth factor dan akhirnya
terjadi stimulasi pertumbuhan sel (proliferasi sel).
(Mc.Connel 1990)

 Teori Reawakening
Jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan
periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Mc Neal 1978 membagi prostat menjadi 3 zona yaitu :
1. Zona sentral
9
2. Zona periferal
3. Zona peralihan

3.3 Epidemiologi
 Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua
 Jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun.
 Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini
dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80
tahun
 Di Jakarta hiperplasia prostat merupakan kelainan ke-2 tersering setelah batu saluran
kemih.

3.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan uretra prostatika dan akan menghambat aliran
urine. Keadaan ini akan menyebakan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut.
Kontraksi yang terus-menerus ini akan menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli
berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-
buli.
Perubahan struktur buli-buli dirasakn oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah atau lower urinary tract simptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-
gejala prostatimus.
Tekanan intravesikal yang tinggi akan diteruskan keseluruh bagian buli-buli, tak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran
balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat jatuh
kedalam gagal ginjal.

Patofisiologi benign prostate hyperplasia

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-
gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter.

10
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

Hiperplasi prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Tekanan intravesikal ↑

Buli-buli Ginjal dan Ureter

 Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
 Trabekulasi - Hidroureter
 Selula - Hidronefrosis
 Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis

... Gagal ginjal

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen
mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya
pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi
gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus
otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada
alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan
tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung
dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.

11
3.5 Diagnosis
- Manifestasi Klinis
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas gejala
obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak
oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan
atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)

Gambar 3.5.1. Manifestasi BPH

Tabel 3.5.1. Manifestasi BOH

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga
faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
12
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun
volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan
kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi
otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.

Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :
a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini dapat
dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi setelah
miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat
pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang
normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi
kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas
indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.

b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan
pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125
sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12
ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate
dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi
15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara
kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal
karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk menentukan
diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan
secara teratur.

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada
saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran
prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh. Gejalanya ialah :
 Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
 Nokturia
 Miksi sulit ditahan (Urgency)
 Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat
gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa
urin > 150 ml
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat
keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala
iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih
dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini
disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus
13
spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan
volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak
bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan
total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus
terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan
intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan
spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat
menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem
pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal
maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila
ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat
menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh
karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam
vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping
pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi
systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.

- Pemeriksaan

ANAMNESIS
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara yang
cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis itu
meliputi:
 Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
 Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera,
infeksi, atau pem-bedahan)
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
 Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi
 Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.

Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi
akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). WHO dan
AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah
distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis
gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan
total maksimum 35 tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan
berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut:
 Skor 0-7: bergejala ringan
 Skor 8-19: bergejala sedang
14
 Skor 20-35: bergejala berat.

A. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan
colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo
cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan
tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
 Adakah asimetris
 Adakah nodul pada prostate
 Apakah batas atas dapat diraba
 Sulcus medianus prostate
 Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia


prostat menunjukkan
konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus
kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau
teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan
teraba krepitasi. Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian
atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah
terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya
hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau
uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa
kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra
simfisis.

B. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah :
 Ureum dan Kreatinin normal  fungsi ginjal dan VU normal  tidak ada
urolithiasis, Ca atau hiperplasia prostat berat
 Elektrolit
15
 Blood urea nitrogen
 Gula darah

b. Urin :
 Kultur urin + sensitifitas test
 Sedimen
 Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria.
BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau
penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya: karsinoma buli-buli in
situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan.
Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan
kultur urine, dan kalau terdapat 3 kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu
dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami
retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak
manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat
pemasangan kateter

c. PSA (Prostate Spesific Antigen)


Prostate Specific Antigen (PSA) merupakan suatu glikoprotein protease yang diproduksi
dan disekresi oleh sel epitel prostat, yang merupakan tanda paling efektif untuk
mengetahui adanya kanker prostat dan keadaanya meningkat pada BPH. Peningkatan
PSA juga sebagai dari akibat colok dubur (DRE = Digital Rectal Examination),
pemasangan kateter, sistoskopi, biospsi jarum, ultrasonografi trasnrectal Transrectal
Ultrasound), reseksi prostat transuretra (TURP, Transurethral Resection of the Prostate),
bertambahnya umur dan retensi urin serta besarnya volume

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. Jika kadar PSA tinggi berarti:
 pertumbuhan volume prostat lebih cepat
 keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek dan lebih mudah terjadinya retensi
urine akut.
 pemasangan kateter, sistoskopi, biopsi jarum, ultrasonografi (Transrectal Ultrasound),
reseksi prostat transuretra (TURP, Transurethral Resection of the Prostate)

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.


Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju
pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar
PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl
sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun19. Kadar PSA
di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada
prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan
prostat, dan usia yang makin tua. Sesuai yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003)
bahwa serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya
perlahanlahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar
PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:
 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml

16
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi
kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA
bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja
dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan
PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Sebagian besar petunjuk yang disusun di berbagai negara merekomendasikan
pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan
sarat yang berhubungan dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien.

Tes PSA ini sebaiknya dilakukan setiap tahun sejak berumur 50 tahun, namun untuk pria
yang memiliki riwayat penyakit kanker prostat atau orang keturunan Afrika-Amerika,
tes PSA sebaiknya dimulai sejak umur 40 tahun.

d. Pemeriksaan fungsi ginjal


Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah
ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-
30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi
pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%),
dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa
ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum
normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum10. Oleh
karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya
melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.

C. Pemeriksaan pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit lain misalnya batu saluran
kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui
adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
b. Pielografi Intravena (IVP)

 pembesara
n prostat
dapat
dilihat
sebagai
lesi defek
17
isian kontras (filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung
distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).
 Untuk mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter
ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya
trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.
 foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

IVP memerlukan persiapan yaitu :

 Malam sebeleum pemeriksaan diberi pencahar untuk membersihakan kolon dari feses
yang menutupi daerah ginjal

 Pasien tidak diberi cairan mulai dari jam 10 sebelum pemeriksaan  untuk mendapatkan
kondisi dehidrasi

 Keesokan hari pasien diminta untuk berpuasa

 Sebelum pasien disuntukian urografin 60 mg%, terlebih dahulu dilakukan penngujian


subkutan atau intravena kontras (conray/ meglumineiothalamat 60%) jika pasien alergi
terhadap kontras, maka IVP dibatalkan

Perbedaan IVP normal dan abnormal

18
Gambar3.53.Rontgen IVP normal

Gambar 3.5.4 Foto rontgen IVP pada 5 menit

19
Gambar 3.5.5. Foto rontgen IVP pada 10 menit

Gambar 3.5.6.Foto rontgen IVP pada 20 menit

20
Gambar 3.5.7.Keuntungan dan kerugiaan IVP

Yang dapat mempengaruhi pemeriksaan IVP


 Pasien yang tidak bisa diam
 Masih terdapat fese, gas dalam kolon
 Pasien belum lama melakukan tes enema barium tes untuk pemeriksaan kolon

c. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd
dapat pula memberi gambaran indentasi.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
 deteksi pembesaran prostat
 mengukur volume residu urin
e. MRI atau CT jarang dilakukan
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan
f. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli-buli.
Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli,
trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan
sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak
mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra,
dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH.
Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk
menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada
kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi
sangat membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.

D. Pemeriksaan lain
a. Catatan harian miksi (voiding diaries)

21
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian
bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat
berguna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan
mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa
jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia
idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat
asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk
mendapatkan hasil yang baik2,10, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa
pencatatan selama 3-4 hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas detrusor.

b. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh:
 daya kontraksi otot detrusor
 tekanan intravesica
 resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati
20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan
puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran
urin yang dihasilkan.

Gambar 3.5.8. laju pancaran urin

c. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) / urodinamika


Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat
membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang
melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan
pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka
sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur

d. Pemeriksaan Volume Residu Urin


Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di
dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24
mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual
urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12
mL.

Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan
pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun
22
non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran
melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan
bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga
terjadi bakteriemia.

Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi individual yang
cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada waktu yang berlainan
pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume
residual urine yang cukup bermakna.

Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang cukup
banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml)
hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. Dahulu para ahli urologi beranggapan
bahwa volume residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu
dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu
menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine tidak dapat
menerangkan adanya obstruksi saluran kemih.

Namun, bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan miksi.
Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak,
demikian pula pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada
buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang
memuaskan. Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR
sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful
waiting. Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih
dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal.

Kriteria Pembesaran Prostat


Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya adalah :
1) Rektal grading
Berdasarkan penonjolan p1rostat ke dalam rektum :

derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum

derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum

derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum

derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
2) Berdasarkan jumlah residual urine

derajat 1 : < 50 ml

derajat 2 : 50-100 ml

derajat 3 : >100 ml

derajat 4 : retensi urin total
3) Intra vesikal grading

derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet

derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter

derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter

derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter
4) Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :

derajat 1 : kissing 1 cm
23

derajat 2 : kissing 2 cm

derajat 3 : kissing 3 cm

derajat 4 : kissing >3 cm8

Diagnosis Banding

A. Kelemahan Detrusor Kandung Kemih


 Kelainan medula spinalis
 Neuropatia diabetes mellitus
 Pasca bedah radikal di pelvis
 Farmakologik
B. Kandung Kemih Neuropati, disebabkan oleh :
 Kelainan neurologik
 Neuropati perifer
 Diabetes mellitus
 Alkoholisme
 Farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

C. Obstruksi Fungsional
 Dissinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan
relaksasi sfingter
 Ketidakstabilan detrusor

D. Kekakuan Leher Kandung Kemih


 Fibrosis

E. Resistensi Urethra yang Meningkat, disebabkan oleh :


 Hiperplasia prostat jinak atau ganas
 Kelainan yang menyumbatkan uretra
 Uretralitiasis
 Uretritis akut atau kronik
 Striktur uretra
 Prostatitis akut atau kronis

24
Bagan 3.5.1. Alur diagnosis dan penatalaksanaan

3.6 Penatalaksanaan

Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan
penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin.

Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin

I Penonjolan prostat, batas atas mudah < 50 ml


diraba

II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat 50- 100 ml


dicapai

III Batas atas prostat tidak dapat diraba >100 ml


25
IV Retensi urin total
Tabel 3.6.1 derajat gejala klinik BPH
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat
gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score).

Tabel 3.6.2. WHO PSS

26
Jumlah skor:
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = buruk
5 = buruk sekali

Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non
bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol
dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila
timbul obstruksi.
Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan
untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya belum
memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara konservatif.
Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi
operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral
resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi,
dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat
tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan
TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram.
Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam
satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat
tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin
total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat
dengan TUR P atau operasi terbuka.

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas
hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan bedah
masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun
demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang
mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat gejala
klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral,
menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan
gejala klinik ditujukan untuk :

 Menghilangkan atau mengurangi volume prostat


 Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
 Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
 Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat

Benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :


1. Observasi (Watchful waiting)
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang
mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan dapat sembuh
sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun. Tetapi diantara mereka
akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain
karena keluhannya semakin parah.
27
2. Medikamentosa
A. Penghambat adrenergik α

Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul
prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung reseptor
alpha, jadi dengan pemberian obat golongan alpha adrenergik bloker, terutama alpha 1
adrenergik bloker maka tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan
berkurang, sehingga sehingga menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan
memperbaiki gejala miksi. Bila serangan prostatismus memuncak menjurus kepada
retensio urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau
berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah sangat rasional. Episode serangan
biasanya cepat teratasi.

Contoh obat yang dipakai:

 Fenoksibenzamin (α- bloker non selektif)


 Farmokodinamik : karena sifat hambatan yang praktis irreversibel.
Fenoksibenzamin dapat dianggap bekerja dengan cara mengurangi jumlah
adrenoreseptor α yang tersedia untuk dirangsang. Fenoksibenzamin memblok
reseptor α 1 maupun α2 pada otot polos arteriol dan vena sehingga menimbulkan
vasodilatasi dan venodilatasi.
 Farmakokinetik : absorpsi dari saluran cerna hanya 20-30%. Waktu paruhnya
kurang dari 24 jam, tetapi lama kerjanya bergantung juga pada kecepatan sintesis
reseptor α.
 Intoksikasi dan efek samping : yang utama adalah hipotensi ortostatik. Hambatan
ejakulasi yang reversibel dapat terjadi akibat hambatan kontraksi otot polos vas
deferens dan saluran ejakulasi.
 Penggunaan terapi : sebagai kompensasi berkurangnya produksi testoteron,
dibentuk lebih banyak enzim 5 – α reduktase yang mereduksi testoteron menjadi
dihidrotestoteron (DHT) yang lebih aktif. Tetapi DHT merangsang pertumbuhan
prostat. Obat ini dapat memperbaiki aliran urin dan mengurangi gejala-gejala
akibat obstruksi prostat. Dosis 2x10 mg/hari. Pengobatan ini efektif untuk BPH
tetapi karena efek samping yang ditimbulkan obat ini tidak lagi digunakan.

 Prazosine, Terazosin, Tamzulosin dan Doxazosin (α1- bloker selektif)


 Farmakodinamik : efeknya yang utama adalah hasil hambatan reseptor α1 pada
otot polos arteriol dan vena, yang menimbulkan vaso- dan venodilatasi sehingga
menurunkan resistensi perifer dan alir balik vena. Kelompok obat ini cenderung
mempunyai efek yang baik terhadap lipid serum pada manusia, menurunkan
kolesterol LDL dan trigliserid serta meningkatkan kadar kolesterol HDL.
 Farmakokinetik : diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral, terikat kuat pada
protein plasma (terutama α1-glikoprotein), mengalami metabolisme yang
ekstensif di hati, dan hanya sedikit yang dieksresi utuh melalui ginjal.
Obat Waktu paruh Waktu diberikan
Prazosine 2-3 jam 2-3 x/hari
Terazosin 12 jam 1-2 x /hari
Doxazosin 20-22 jam 1x/hari
Tamzulosin 5-10 jam
28
 Efek samping : yang utama adalah fenomena dosis pertama, yakni hipotensi
posturnal yang hebat dan sinkop yang terjadi 30-90 menit setelah pemberian
dosis pertama. Efek samping yang paling sering berupa pusing (hipotensi
postural), sakit kepala, ngantuk, palpitasi, edema perifer dan mual.
 Penggunaan terapi : pemberian obat ini menyebabkan relaksasi otot-otot trigon
dan sfingter di leher kandung kemih serta otot polos kelenjar prostat yang
membesar, sehingga memperbaiki aliran urin serta gejala-gejala lain yang
menyertai obstruksi prostat tersebut adalah 1-5 mg/hari. (Gunawan,2007)

B. Fitoterapi

Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik dan


farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini juga
disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan
kemoterapi ini. Banyak penyakit kronis, degeneratif, gangguan metabolisme, dan
penuaan yang belum ada obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia, dll. Banyak
pula yang belum bisa dituntaskan pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH, DM,
hipertensi, rematik, dll. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif.
Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi. Disebut demikian karena berasal dari tumbuhan.
Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang
panjang.

Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara sekian
banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah Serenoa
repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk pengobatan BPH.
Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya
pengendalian prosatisme BPH dalam kontek “watchfull waiting strategy”. Di Jerman
90% kasus BPH di terapi dengan Serenoa repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-
negara Eropa dan Amerika pemakaiannya terus meningkat dengan cepat.

 Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat
tradisional Indian. Catatan empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini untuk
gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu back to nature memberikan
iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.

Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak mencatat
efektifitas dan keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis and Treatment (2001)
dinyatakan bahwa Saw Palmetto Berry (SPB) ini didalam 18 RCT (Randomized
Clinical Trial) dengan 2939 subyek adalah superior terhadap placebo dan
efektifitasnya sama dengan finasteride. Efek samping obat berupa disfungsi ereksi =
1,1% sedangkan finasteride = 4,9%. Dalam Life Extension Update dimuat, dari
sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan bahwa extract dari SPB ini secara
signifikan menunjukan perbaikan klinis dalam hal :
- Frekuensi nokturia → berkurang
- Aliran kencing → bertambah lancar
- Volume residu dikandung kencing → berkurang
- Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir → berkurang

Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :
29
- Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor
androgen
- Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitasenzim
cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.

 Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)

Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria sejak
abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini ekstraknya dipakai untuk
mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH didalam konteks farmakoterapi
maupun uji klinis kombinasi dengan ekstraks serenoa repens.

Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung komponen


utama beta-sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan stigmasterol untuk
mengobati hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi perbaikan seperti halnya terapi
menggunakan penghambat reseptor alpha dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan efek
samping yang lebih minimal. Walaupun mekanisme kerja dari preparat campuran
fitosterol ini belum dapat dibuktikan, penelitian terus dikembangkan untuk keperluan
di masa
depan.

 Hormonal

Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu obat yang
menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar dengan reseptor bagi
LH-RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor dengan membentuk LH-RH
super agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena banyaknya LH-RH
super agonist yang menangkap reseptor, pada permulaan justru akan terjadi kenaikan
produksi LH oleh hypofisis. Tetapi setelah reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi
mencari reseptor , maka LH akan menurun. Contoh obat adalah Buserelin, dengan dosis
minggu I 3dd 500 mg s.c. (7 hari) dan minggu II intra nasal spray 200 mg, 3 kali sehari.

Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis misalnya
dengan pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan produksi LH, yang menyebabkan
produksi testosteron oleh sel leydig berkurang. Cara ini tentu saja menyebabkan
penurunan libido oleh karena penurunan kadar testosteron darah. Pada tingkat infra
hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan balik dengan menekan produksi
FSH dan LH, sehingga produksi testosteron juga menurun. Contoh preparatnya ialah
Diaethyl Stilbestrol (DES) dosis satu kali 1-5 mg sehari.
Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat jinak hanya
dikenal pada sejarah, sekarang cara pengobatan ini untuk hiperplasia prostat telah
ditinggalkan. Untuk karsinoma prostat tentu saja orchiectomi masih dikerjakan oleh
karena pertimbangan kemungkinan penyebaran ca prostat dan juga biasanya penderita
telah tua.

Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen yang mekanisme
kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan cara menghambat 5 alpha
reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi pertumbuhan
kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak
30
berkurang, sehingga libido juga tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif
dehidrotestosteron ini menyebabkan mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut
ialah Finesteride, Proscar dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan,
Finasteride mengurangi volume prostat sampai 30%. Penelitian lain di Kanada
menyatakan bahwa Finasteride mengurangi volume prostat pada 613 pria dengan angka
rata-rata 21%, mengurangi gejala dan memperbaiki laju pancaran urin sampai 12%. Obat
ini mempunyai toleransi baik dan tidak mempunyai efek samping yang bermakna.

Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang
mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT
sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor.
Contoh obatnya ialah :
- Cyproterone acetate 100 mg 2 kali/hari
- Flutamide
- medrogestone 15 mg2 kali/hari
- Anandron
Obat ini juga tidak menurunkan kadar testosteron pada darah, sehingga libido tidak
menurun. Golongan gestagen dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat :
- mengurangi enzim dehidrogenase dan isomerase yang berguna untuk
metabolisme steroid
- menekan LH dan FSH,
- menjadi saingan testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak
terbentuk.
Contoh obatnya adalah Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-500
mg/hari. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat
harus diberikan dan efek samping dari obat.

4. Operatif
a) Prostatektomi terbuka
- Retropubic infravesika (Terence millin)
Keuntungan :
 Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal
 Mortaliti rate rendah
 Langsung melihat fossa prostat
 Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
 Perdarahan lebih mudah dirawat
 Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila
membuka vesika

Kerugian :
 Dapat memotong pleksus santorini
 Mudah berdarah
 Dapat terjadi osteitis pubis
 Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
 Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari
dalam vesika

Komplikasi :
 Perdarahan
 Infeksi
31
 Osteitis pubis
 Trombosis

- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)


Keuntungan :
 Baik untuk kelenjar besar
 Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
 Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :
 Batu buli
 Batu ureter distal
 Divertikel
 Uretrokel
 Adanya sistsostomi
 Retropubik sulit karena kelainan os pubis
 Kerusakan spingter eksterna minimal

Kerugian :
 Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica
sembuh
 Sulit pada orang gemuk
 Sulit untuk kontrol perdarahan
 Merusak mukosa kulit
 Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :
 Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)
 Inkontinensia (<1%)
 Perdarahan
 Epididimo orchitis
 Recurent (10 – 20%)
 Carcinoma
 Ejakulasi retrograde
 Impotensi
 Fimosis
 Deep venous trombosis

- Transperineal
Keuntungan :
 Dapat langssung pada fossa prostat
 Pembuluh darah tampak lebih jelas
 Mudah untuk pinggul sempit
 Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :
 Impotensi
 Inkontinensia
 Bisa terkena rektum
 Perdarahan hebat
 Merusak diagframa urogenital

32
b) Endourologi
- Trans urethral resection (TUR)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya
terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya.
Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan
pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang
sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik
sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi.
Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR. Suatu
penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72% menjadi 88%
dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien.
Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%.

Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di
seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan
cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak
tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang
dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering
dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades). Salah satu kerugian
dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi
sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air
dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau
dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai
gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.

Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam
keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah sebesar
0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non
ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan
glisin , membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi
suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.

Keuntungan :
 Luka incisi tidak ada
 Lama perawatan lebih pendek
 Morbiditas dan mortalitas rendah
 Prostat fibrous mudah diangkat
 Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

Kerugian :
 Tehnik sulit
 Resiko merusak uretra
 Intoksikasi cairan
 Trauma spingter eksterna dan trigonum
 Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
 Alat mahal

33
 Ketrampilan khusus

- Trans urethral incision of prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran
prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan
pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau
incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini
juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg
dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk,
sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus
cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih
cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan
dengan cara TUR.

- Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy)

 Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)


 Trans urethral evaporation of prostate (TUEP)
 Teknik koagulasi

Keuntungan bedah laser ialah :


 Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi akibat bekuan
darah dan tidak memerlukan transfusi
 Teknik lebih sederhana
 Waktu operasi lebih cepat
 Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
 Tidak memerlukan terapi antikoagulan
 Resiko impotensi tidak ada
 Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :
 Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional)

5. Invasif minimal
a) Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)

Cara memanaskan prostat sampai 44,5°C – 47°C ini mulai diperkenalkan dalam tiga
tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral yang membesar
ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik atau
gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain
itu juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra
menurun sehingga obstruksi berkurang. Prinsip cara ini ialah memasang kateter semacam
Foley dimana proximal dari balon dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan
dengan gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada didalam kateter. Pemanasan
dilakukan antara 1-3 jam. Dengan cara pengobatan ini dengan mempergunakan alat
THERMEX II diperoleh hasil perbaikan kira-kira 70-80% pada symptom obyektif dan
kira-kira 50-60% perbaikan pada flow rate maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai
34
efek pemanasan prostat ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus
dibuktikan ialah bahwa dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada reseptor alpha
yang berada pada leher vesika dan prostat.

Di Jakarta telah tersedia dua macam alat yaitu Prostatron yang menggunakan gelombang
mikro dan dipanaskan selama satu jam. Cara ini disebut dengan Trans Urethral
Microwave Treatment (TUMT). Sedangkan alat yang lain menggunakan radio capacitive
frequency yang dapat memanaskan prostat sampai 44,5°C – 47°C selama 3 jam (TURF).
Pengobatan di RS. Pondok Indah pada 112 kasus yang diobati dengan cara ini didapatkan
hasil: perbaikan “symptom score” pada 79 penderita (75%) dan perbaikan pada sisa
kencing pada 62 penderita (60%) tetapi perbaikan pada maximal flow rate hanya
ditemukan pada 55 penderita (50%). Cara pengobatan hypertermia ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai cara kerja dasar klinikal, efektifitasnya
serta side efek yang mungkin timbul.
Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan microwave
kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur pada antene akan tinggi maka perlu
dilengkapi dengan surface costing agar tidak merusak mucosa ureter. Dengan proses
pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang.
Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan gelombang “radio
frequency” yang panjang gelombangnya lebih besar daripada tebalnya prostat juga arah
dari gelombang radio frequency dapat diarahkan oleh elektrode yang ditempel diluar
(pada pangkal paha) sehingga efek panasnya dapat menetrasi sampai lapisan yang dalam.
Keuntungan lain oleh karena kateter yang ada alat pemanasnya mempunyai lumen
sehingga pemanasan bisa lebih lama, dan selama pemanasan urine tetap dapat mengalir
keluar

b) Trans urethral ballon dilatation (TUBD)

Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan dengan jalan
melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka
(transvesikal). Pertama kali dikerjakan oleh Hollingworth 1910 dan Franck 1930.
Kemudian Deisting 1956 melakukan dengan dilator transuretral. Tetapi sebenarnya
pelopor penggunaan balon adalah H.Joachus Burhenne yang mula-mula mencoba pada
anjing dan cadaver, akhirnya dicoba di klinik.
Castaneda bersama-sama Reddy dan Hulbert kemudian menyempurnakan tehnik
Burhenne tersebut. Konsep dilatasi dengan balon ini ialah mengusahakan agar uretra pars
prostatika menjadi lebar melalui mekanisme:
 Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar
 Kapsul prostat diregangkan
 Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut
 Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak
Prosedur ini meskipun bisa dilakukan dengan anestesi topikal, sebaiknya dilakukan
dengan narkose. Balon mempunyai diameter 30 mm kemudian dengan alat
dikembangkan sampai 4 atm yang sama dengan 58,8 psi atau 3040 mmHg dan kaliber
uretra menjadi 30 mm atau 90 F. Kemudian setelah balon dikempeskan kembali kateter
dilepaskan dengan menggunakan guide wire dan kateter dilepas memutar kebalikan dari
arah jarum jam sementara dapat dipasang cystostomi dengan trocard. TUBD ini biasanya
memberikan perbaikan yang bersifat sementara.

c) Trans urethral needle ablation (TUNA)


35
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk menghasilkan ablasi
termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk
menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme
ejakulasi dapat dipertahankan.

d) Stent urethra dengan prostacath

Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja kateter
tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari
logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan
sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau
bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur
dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut
dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars
prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent
ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif, yang
merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum memungkinkan untuk
mendapatkan terapi yang lebih invasif. Akhir-akhir ini dikembangkan juga stent yang
dapat dipertahankan lebih lama, misalnya Porges Urospiral (Parker dkk.) atau Wallstent
(Nording, A.L. Paulsen).

Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga dipasang di uretra pars prostatika
dengan kateter pendorong dan kemudian didilatasi dengan balon sampai mesh logam
tersebut melekat pada dinding uretra.

3.7 Komplikasi

 Dekompresi prostat : retensi urin sehingga pada akhir miksi ditemukan sisa urin di
dalam kandung kemih dan timbul rasa tak tuntas pada akhir miksi
 Refluks vesiko-ureter , hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal : akibat retensi
kronik
 Infeksi
 Hernia atau hemoroid : karena penderita harus selalu mengedan
 Bahu endapan di kandung kemih : karena terdapat sisa urin. Menambah keluhan
iritasi dan menimbulkan hematuria, dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks dapat terjadi pielonefritis.
(Sjamsuhidayat, 2005)

3.8 Prognosis

Menurut Birowo dan Rahardjo prognosis BPH adalah:

 Tergantung dari lokasi, lama dan kerapatan retensi.


 Keparahan obstruksi yang lamanya 7 hari dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Jika
keparahan obstruksi diperiksa dalam dua minggu, maka akan diketahui sejauh mana
36
tingkat keparahannya. Jika obstruksi keparahannya lebih dari tiga minggu maka akan
lebih dari 50% fungsi ginjal hilang.

 Prognosis yang lebih buruk ketika obstruksi komplikasi disertai dengan infeksi.

 Umumnya prognosis lebih bagus dengan pengobatan untuk retensi urine.

37
Daftar Pustaka

1. Anonim.(1997) Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina.


2. Eroschenko Victor P.(2003).Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional.
Jakarta.EGC
3. Gunawan, SG. (2007). Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta : Departement
Farmakologi dan Terapeutik FKUI
4. Katzung, Bertram G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC
5. Sjamsuhidajat R, de Jong W. (2007). Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 2, Jakarta : EGC.
6. Snell, Richard.S.(1992). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, edisi 6. Jakarta :
EGC
7. SW, Harward., Cunha, GR. 2000. The Prostate : Development and physiology
8. Purnomo B.P.(2000). Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto
9. Robbins. Buku ajar patologi. editor, Vinay Kumar, Ramzi S.Cotran, Stanley L. Robbins;
alih bahasa, Brahm U. Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia, Huriawati
Hartanto,Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari.- Ed. 7- Jakarta : EGC,2007

38

Anda mungkin juga menyukai