Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Fraktur Nasal dengan Pendekatan


Reduksi Terbuka
Oleh
dr. Ida Ayu Alit Widiantari

PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. Pendahuluan
Hidung merupakan struktur yang secara anatomi dan fisiologi memiliki peran yang sangat
penting bagi sistem pernafasan. Letak hidung yang menonjol dan berupa kerangka yang halus
sangat rentan terjadinya fraktur atau trauma pada jaringan lunak. Fraktur os nasal merupakan suatu
keadaan yang disebabkan oleh trauma yang ditandai dengan patahnya tulang hidung baik
sederhana maupun kominutif.
Pada jenis fraktur komunitiva, processus frontalis os maksila dan lamina perpendikularis
os ethmoidalis dan vomer biasanya mengalami fraktur. Fraktur os nasal biasanya disebabkan oleh
trauma langsung. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epistaksis, nyeri tekan dan teraba
garis fraktur. Foto rontgen dari arah lateral dapat menunjang diagnosis. Fraktur tulang ini harus
cepat direposisi dengan anestesi lokal dan imobilisasi dilakukan dengan memasukkan tampon ke
dalam lubang hidung dan dipertahankan dalam 3-4 hari. Patahan dapat dilindungi dengan gips tipis
berbentuk kupu-kupu selama 1-2 minggu.
Angka kejadian fraktur os nasal di seluruh dunia menduduki posisi ketiga setelah fraktur
klavikula dan fraktur antebrachii dan sekitar 40% dari seluruh kejadian fraktur tulang wajah.
Trauma hidung pada orang dewasa dijumpai pada kasus berkelahi, trauma akibat olahraga, jatuh
dan kecelakaan lalu lintas, sedangkan pada anak-anak sering disebabkan karena bermain dan
olahraga. Berdasarkan waktu, trauma hidung terbagi atas trauma baru bila kalus belum terbentuk
sempurna dan trauma lama bila kalus sudah mengeras. Arah trauma menentukan kerusakan yang
terjadi, misalnya bila trauma datang dari lateral akan terjadi fraktur tulang hidung ipsilateral,
sedangkan trauma yang berat akan menyebabkan deviasi septum nasi dan fraktur tulang hidung
kontralateral.
Penanganan fraktur os nasal bertujuan terutama mengembalikan penampilan secara
sempurna dan mengembalikan patensi jalan napas hidung. Secara garis besar penatalaksanaan
fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan bentuk hidung dibedakan
menjadi konservatif dan operatif.
Operatif dibedakan atas reduksi tertutup dan terbuka. Pada kasus ini dilakukan reduksi
terbuka dengan pertimbangan bahwa pasien mengalami fraktur nasal akibat trauma lama dan
terjadi deformitas nasi.

II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Hidung bagian luar berbentuk piramid yang terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang
hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares
anterior). Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan. Kerangka tulang
terdiri dari tulang hidung (os nasal), procesus frontalis os maksila dan procesus nasalis os frontal.
Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa tulang rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior dan tepi anterior kartilago septum.5
Rongga hidung atau kavum nasi kanan dan kiri dipisahkan oleh septum nasi di bagian
tengah. Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan bagian belakang disebut nares
posterior atau koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan posterior. Dinding medial
terdiri dari septum nasi. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior, konka
media, konka superior dan konka suprema (biasanya rudimenter). Diantara konka-konka dan
dinding lateral terdapat rongga sempit yang disebut meatus.5,6
Septum nasi merupakan sekat yang membagi rongga hidung menjadi dua kavum nasi
serta secara anatomis dibentuk oleh struktur tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah
lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina.
Sedangkan bagian tulang rawan adalah kartilago septum, lamina kuadrangularis dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.5-7 Dorsum nasi adalah bagian yang paling
menonjol pada wajah dan paling sering mengalami trauma.

Gambar 1. Struktur tulang dan kartilago hidung

Maksila di bagian anterior dan os palatum di bagian posterior membatasi kartilago


kuadrilateral di anterior dan vomer di bagian posterior. Pertemuan antara os maksila dan palatina
membentuk tonjolan, dimana kartilago kuadrilateral melekat padanya oleh jaringan fibrosa.
Pertemuan antara vomer dan os maksila, pada awal perkembangannya dihubungkan oleh jaringan
fibrosa, yang kemudian menjadi jaringan tulang. Ujung anterior dari perpendicular plate of etmoid
adalah lekukan tempat melekatnya prosesus nasalis os frontalis serta os nasal. Ujung bawah
terletak dalam lekukan pada permukaan superior dari vomer, ketika bergabung dengan septum
adalah tempat paling tebal dan tidak ada lekukan.5-7
Hidung luar menerima suplai darah dari arteri fasial yang berasal dari arteri karotis
eksternal dan arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna. Hidung bagian dalam
menerima darah dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Bagian bawah hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna di antaranya ujung a. palatina mayor dan
a. sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.8,9
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a.
etmoidalis anterior (cabang dari a. oftalmika ), a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada
anak-anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya.

Gambar 2. Peredaran darah septum5

Persarafan hidung berasal dari cabang-cabang serabut saraf. Permukaan luar bagian atas
mendapat persarafan dari nervus supratrochlear dan infratrochlear, sedangkan bagian inferior
mendapat persarafan dari cabang nervus infraorbita dan nervus etmoidalis anterior. Hidung bagian
dalam mendapat persarafan dari ganglion etmoidalis anterior dan ganglion sfenopalatina.3,9,10

Gambar 3. Persarafan hidung9


2.2 Patofisiologi
Dengan memahami patofisiologi trauma nasal diharapkan, diagnosis dan management
terapi trauma nasal dapat lebih optimal. Trauma nasal yang dihasilkan dari suatu pukulan
bervariasi tergantung pada : (1) usia pasien yang sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan
dalam meredam energi dari pukulan, (2) besarnya tenaga pukulan, (3) arah pukulan dimana akan
menentukan bagian nasal yang rusak, dan (4) kondisi dari objek yang menyebabkan trauma nasal.15
Tulang hidung dan kartilago rentan untuk mengalami fraktur karena hidung letaknya menonjol
dan merupakan bagian sentral dari wajah, sehingga kurang kuat menghadapi tekanan dari luar.
Seperti dengan fraktur wajah yang lain, pasien usiamuda cenderung mengalami fraktur kominutif
dibandingkan dengan pasien dewasa yang lebih sering mengalami tipe fraktur yang kompleks.11
Daerah paling lemah dari hidung adalah kerangka kartilago dan pertemuan antara kartilago
lateral bagian atas dengan tulang dan kartilago septum pada krista maksilaris. Pada daerah tersebut
merupakan tempat yang paling sering mengalami fraktur atau dislokasi pada kejadian fraktur nasal.
Kekuatan yang besar dari berbagai arah akan menyebabkan tulang hidung remuk yang ditandai
dengan deformitas bentuk C pada septum nasal. Deformitas bentuk C biasanya dimulai di bagian
bawah dorsum nasal dan meluas ke posterior dan inferior sekitar lamina perpendikularis os etmoid
dan berakhir di lengkung anterior pada kartilago septum kira-kira 1 cm di atas krista maksilaris.
Sebagian deviasi septum akibat fraktur os nasal dapat meliputi fraktur pada kartilago septum nasal.
Fraktur os nasal lateral merupakan fraktur os nasal yang paling sering dijumpai dan jenis fraktur
ini akan menyebabkan penekanan pada hidung ipsilateral yang biasanya meliputi setengah tulang
hidung bagian bawah, prosesus nasi maksilaris dan bagian tepi piriformis.3,11,16
Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur os nasal adalah fraktur frontalis,
fraktur nasoorbitoetmoid, fraktur dinding orbita, fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila.

2.3. Klasifikasi

1. Berdasarkan Arah Trauma


a) Cedera Frontal
Cedera frontal umumnya terjadi karena terkena oleh sejumlah besar tenaga dari arah depan
dan dibagi menjadi tiga bidang (plane), dengan tingkatan tergantung pada kekuatan trauma dan
luas daerah yang cedera.3,17
 Plane I, yaitu hanya terbatas pada ujung hidung (nasal tip) dan tidak melampaui garis
anatomi yang memisahkan bagian bawah tulang hidung dari spina nasal. Dengan
mayoritas dampak diserap oleh tulang rawan hidung, cedera biasanya melibatkan
avulsi dari kartilago lateralis superior. Dislokasi posterior septum dan kartilago alar
juga mungkin terjadi, tapi kecil kemungkinannya.
 Plane II, yaitu mencakup spina nasalis serta dorsum nasi dan septum hidung. Cedera
jenis ini mengakibatkan tulang hidung menjadi rata (fraktur depresi) disertai dengan
deviasi septum, robeknya mukosa, dan fraktur spina nasalis. Fraktur dan dislokasi pada
septum nasi menandakan suatu cedera yang parah, dengan kolapsnya permukaan dorsal
septum. Septum hidung dapat terlibat pada sekitar 20% dari semua fraktur traumatic
hidung.
 Plane III, yaitu cedera yang diakibatkan kekuatan yang besar dan dampaknya dapat
melibatkan fraktur orbita atau bahkan meluas sampai ke struktur dalam di dasar
tengkorak. Pada cedera frontal parahakan menyebabkan "open-book fracture", dimana
septum nasi menjadi kolaps dan tulang hidung terentang keluar. Namun, kekuatan yang
lebih besar akan menyebabkan fraktur kominutif pada tulang hidung dan bahkan bagian
depan prosesus maxillaris menjadi rata dan dorsum nasi melebar.

b) Cedera Lateral
Jenis terbanyak pada cedera ini karena tidak adanya dukungan struktural di kedua sisi
piramida hidung setelah terkena sejumlah besar tenaga dari arah samping. Pada cedera jenis ini
dapat dibagi menjadi tiga bidang (plane), dengan tingkatan tergantung pada kekuatan trauma dan
luas daerah yang cedera.3,17
 Plane I, yaitu hanya fraktur tulang hidung ipsilateral, ini adalah kejadian yang paling
umum, yang biasanya menghasilkan tampak adanya depresi dari dua pertiga
permukaan tulang hidung.
 Plane II, yaitu dapat disebabkan oleh kekuatan yang cukup dimana cedera pada jenis
kedua ini akan melibatkan fraktur tulang hidung yang kontralateral dan juga fraktur
pada septum nasi. Pada cedera lateral, fraktur septum hidung biasanya memanjang
secara posterior pada tulang etmoid.
 Plane III, yaitu jenis cedera ketiga, dengan kekuatan yang lebih besar akan
mengakibatkan fraktur maksila dan tulang lakrimal, dapat pula mengakibatkan
dislokasi total pada arsitektur hidung, atau bahkan cedera pada aparatus lakrimal.

Gambar 4. Fraktur os nasal dengan arah trauma dari depan.3

Gambar 5. Fraktur os nasal dengan arah trauma dari lateral.5


2.4. Diagnosis
1.Anamnesis
Rentang waktu antara terjadinya trauma dan penanganan oleh dokter bedah kepala-leher
merupakan hal yang paling menentukan dalam penatalaksanaan pasien. Meskipun demikian,
sangat penting untuk mengetahui umur penderita, kekuatan penyebab trauma, keluhan pasien
seperti epistaksis, hidung tersumbat, memar, serta adanya riwayat trauma maupun operasi pada
hidung sebelumnya. Mengetahui waktu terjadinya trauma serta memperkirakan arah dan besarnya
kekuatan dari benturan yang terjadi merupakan hal yang tidak kalah penting. Sebagai contoh,
trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal dan menyebabkan fraktur nasal. Edema
maupun hematoma yang berat pada jaringan lunak dapat menyamarkan penilaian fraktur os nasal
serta derajat fraktur, begitu pula deformitas hidung yang terjadi akan menyulitkan penilaian antara
trauma lama dan trauma baru sehingga akan mempengaruhi terapi yang diberikan.3,16
Keluhan klinis seperti rhinorea yang terjadi secara terus menerus setelah trauma nasal harus
dicurigai adanya kebocoran cairan serebrospinal yang diakibatkan oleh fraktur basis kranii atau
fraktur pada sinus frontal.3
2. Pemeriksaan fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik pada pasien trauma nasal yaitu untuk menegakkan diagnosis,
menentukan adakah trauma lain yang berkaitan dengan trauma nasal dan penilaian untuk
tatalaksana kasus. Penegakan diagnosis trauma nasal memerlukan pemeriksaan fisik yang baik,
oleh karena separuh dari pasien trauma nasal yang datang ke ruang emergensi tidak terdiagnosis
yang disebabkan edema pada hidung sering menutupi trauma pada daerah piramid nasal.13
Bagaimanapun seorang dokter saat menangani pasien dengan fraktur nasal, tidak hanya
memusatkan perhatian pada hidung yang mengalami trauma saja, namun pemeriksaan menyeluruh
sangat penting bagi pasien yang telah mengalami suatu kecelakaan lalu lintas atau suatu
perkelahian. Pukulan substansial yang mengenai daerah wajah bagian tengah akan mengakibatkan
trauma pada tulang belakang, oleh karena itu dokter harus mempunyai pertimbangan klinis dalam
melakukan tindakan dengan tidak mengesampingkan trauma tulang belakang. Sepanjang penilaian
awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien aman dan ventilasi yang optimal.
Hal ini sangat penting mengingat fraktur os nasal sering dihubungkan dengan trauma pada
kepala dan leher yang bisa mempengaruhi jalan napas.13,18 Inspeksi sisi luar dan dalam dilakukan
untuk mencari adanya perubahan bentuk, pergeseran (deviasi) atau bentuk yang tidak normal.
Adanya hematoma, laserasi dan robekan mukosa perlu dicurigai adanya fraktur. Edema kelopak
mata, ekimosis periorbita, ekimosis sklera, perdarahan subkonjungtiva dan trauma lakrimal
merupakan tanda-tanda klinis tambahan. Pemeriksaan intranasal didapatkan adanya dekongesti
mukosa, terdapatnya bekuan darah, kebocoran cairan serebrospinal, penyimpangan atau tonjolan
septum nasal.19,20 Pada pemeriksaan fisik dengan palpasi bimanual pada hidung dapat ditemukan
krepitasi, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi iregular. Pada pasien dengan hematoma
septum, tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang berubah-ubah pada satu atau kedua
sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan menyebabkan
deformitas hidung pelana (saddle nose). Pemeriksaan rinoskopi anterior harus didukung dengan
pencahayaan yang cukup dan kondisi pasien yang kooperatif. Penggunaan spekulum hidung dan
lampu kepala akan memperluas lapangan pandang.
Fraktur os nasal ditandai dengan laserasi pada hidung maupun epistaksis akibat robeknya
membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan tampak ekimosis dan edema yang terjadi dalam
waktu singkat atau beberapa jam setelah trauma dan cenderung tampak di bawah tulang hidung
yang kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan bawah. Deformitas hidung seperti deviasi
septum atau depresi dorsum nasal yang pada trauma yang baru akan sangat khas, namun deformitas
yang sudah terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru.
Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan deviasi septum
dan hematoma septum yang merupakan indikasi absolut untuk drainase dengan segera.16,21

Fraktur tulang etmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur os nasal fragmental berat
dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam labirin etmoid, disertai remuk
dan sering dengan rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis
yang menyebabkan rhinorrhea serebrospinalis.10

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa foto polos nasal, Water’s dan bila diperlukan dapat
dilakukan pemeriksaan CT scan. Tetapi jika tidak dicurigai adanya fraktur os nasal dengan
komplikasi, pemeriksaan radiologi jarang direkomendasikan karena pada kenyataannya kurang
sensitif dan spesifik, sehingga foto nasal view hanya di indikasikan jika ditemukan keraguan dalam
pemeriksaan fisik yang dilakukan. Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada
kartilago dan dokter sering salah dalam mengintrepretasikan sutura normal sebagai fraktur yang
disertai dislokasi.

Gambar 8. Foto Lateral Os Nasal.3 Gambar 9. Foto Water’s22

Gambar 10. CT Scan potongan aksial dan koronal kepala.22

CT-Scan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis fraktur os nasal setelah dilakukan
pemeriksaan klinis sebelumnya maupun jika dicurigai terjadi trauma wajah yang lain.
Bagaimanapun, ketika pada pemeriksaan klinis ditemukan gejala klinis seperti rhinorhe
serebrospinal, gangguan pergerakan ekstra okuli atau maloklusi dapat mengindikasikan adanya
fraktur nasal.3,22-24
Pemeriksaan dengan ultrasonografi saat ini mulai dikembangkan sebagai teknologi yang
dapat digunakan dalam mendiagnosis fraktur nasal, bahkan beberapa penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan ultrasonografi dengan resolusi tinggi memiliki keakuratan yang lebih baik
dibandingkan CT Scan maupun x-ray dan dapat digunakan dalam reposisi intra operatif pada
fraktur nasal.3

2.5 Penatalaksanaan

Fraktur os nasal merupakan fraktur wajah yang sering dijumpai dan jika dibiarkan tanpa
penanganan yang tepat dan dalam jangka waktu yang tepat, menyebabkan perubahan struktur
hidung atau jaringan lunak sehingga akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi.16 Tujuan
penanganan fraktur os nasal adalah mengatasi kondisi emergensi secara optimal yaitu dengan
penanganan jalan napas (airways), fungsi pernapasan (breathing) dan sirkulasi (circulation).
Tujuan lainnya yaitu untuk mengembalikan patensi jalan napas hidung, menempatkan kembali
septum pada garis tengah, menjaga keutuhan rongga hidung, mencegah sumbatan setelah operasi,
menangani perforasi septum, mencegah perubahan bentuk punggung hidung, mencegah gangguan
pertumbuhan hidung dan mengembalikan penampilan secara memuaskan. Beberapa penanganan
pada fraktur os nasal yaitu:3,16,23

1. Penanganan di ruang emergensi


Dasar penanganan pasien trauma di emergensi adalah mengatasi Airway Breathing,
Circulation (ABC). Pasien dengan perdarahan hidung yang hebat biasanya dikontrol dengan
pemberian vasokonstriktor topikal. Jika perdarahan tidak berhenti, diberikan tampon pita dengan
vaselin, kateterisasi balon atau ligasi pembuluh darah.Tampon pita vaselin biasanya diletakkan di
kavum nasi selama dua hari sampai perdarahan berhenti sambil pasien dipersiapkan untuk
dilakukan tindakan operasi.16
Tabel 1. Penanganan Emergensi Pada Fraktur Os Nasal

Penanganan Emergensi Pada Fraktur Os Nasal


Keadaan Emergensi Penatalaksanaan
Perdarahan hebat Pemasangan tampon, ligase dan kauterisasi
Hematoma septum nasi Insisi dan drainase segera
Rinorea cairan serebrospinal Dikonsulkan segera ke Neurosugeon
Keluhan visual Dikonsulkan segera ke Opthalmologist

2. Konservatif

Penatalaksanaan fraktur os nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan bentuk
hidung. Banyak ahli percaya bahwa fraktur os nasal tipe tertentu cukup mendapatkan terapi
konservatif di ruang emergensi. Dalam penanganan secara konservatif pemberian antibiotik
bertujuan untuk mengurangi risiko infeksi maupun komplikasi. Pemberian terapi analgetik
berperan untuk mengurangi keluhan nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.2,3,16

2. Operatif

Deformitas akibat fraktur os nasal sering dijumpai sehingga membutuhkan reduksi dengan
fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung. Penanganan fraktur os nasal sederhana dapat
dilakukan reposisi fraktur dalam anestesi lokal, akan tetapi pada anak-anak yang tidak kooperatif
sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum. Jika perdarahan terus berlangsung, hidung harus
ditutup dengan kasa pita vaselin selama 48 jam. Jika memungkinkan, fragmen tulang harus di
reposisi dalam beberapa jam sebelum terjadi pembengkakan yang akan menyebabkan deformitas.
Bidai eksternal digunakan untuk mempertahankan posisi tulang hidung. Jika bidai tidak digunakan
maka kemungkinan deformitas akan terjadi.

Bagan 2. Penanganan trauma hidung3

Bidai fraktur os nasal sederhana menggambarkan bidai hidung sempurna sebagai sepotong
lempeng logam lunak (ukuran 22) berbentuk seperti jam pasir. Jadi bagian bawah sesuai dengan

bentuk hidung dan bagian atas dari lempeng berada pada dahi. Bidai hidung ini merupakan bidai
biasa yang dapat membentuk hidung dan meratakan tekanan di segala sisi, kemudian ditahan oleh
plester adhesif berbentuk T yang melintasi dahi di bagian atas dan plester di bagian bawah
menahan hidung. Hanya tekanan sedang yang dapat digunakan dan bebat ini tidak dapat dibuka
dalam jangka waktu minimal dua hari. Batas waktu penggunaan bebat adalah sampai hidung tidak
meradang dan bengkak.23
Bidai fraktur os nasal ini diciptakan untuk melawan kekuatan yang timbul pada bagian
lateral hidung pada titik tertentu yang diinginkan. Bingkai dan pelat timah ini ditahan dengan
bantuan plester adhesif yang berada di sekitar kepala. Batang horizontal dari bidai tidak dilapisi
oleh pelat timah tetapi tetap terbuka sebagai persendian umum yang dapat dilalui dengan bebas
dan tetap berada di posisinya pada kanan atau kiri garis tengah. Batang vertikal mencapai bagian
bawah dan dilapisi tipis oleh pelat timah yang berguna untuk melawan tekanan dari samping
hidung. Perban elastis dipasang untuk melawan tekanan dari samping hidung. Tekanan kuat pada
hidung berguna untuk mempertahankan posisi hidung agar berada pada posisi anatomis.23
Fraktur os nasal kominutif merupakan fraktur os nasal dengan fragmentasi tulang hidung,
ditandai dengan batang hidung tampak rata, tulang hidung mungkin dinaikkan ke posisi yang aman
tetapi beberapa fragmen tulang tetap hilang. Bidai digunakan untuk memindahkan fragmen tulang
ke posisi yang sebenarnya. Untuk tujuan tersebut beberapa kasa vaselin dimasukkan ke dalam
lubang hidung. Metode suspensi menggunakan kawat dipakai sebagai penyokong bagian dalam
hidung untuk mengangkat dan menggerakan fragmen tulang yang terpisah-pisah. Kawat ini
berukuran 14 G, panjang 2 inchi, bentuk U dengan bahan pelat timah. Kemudian kawat ini
dimasukkan ke dalam hidung, yang dengan sendirinya akan mengangkat fragmen tulang tersebut
ke atas dan melawan tekanan yang timbul akibat bergesernya fragmen tulang hidung. Perban
elastis kecil dihubungkan untuk menjangkau intranasal dan ekstra nasal. Dengan adanya penahan
elastis diharapkan terdapat cukup kekuatan untuk menahan fragmen tulang agar berada pada posisi
yang seharusnya.23
Teknik manipulasi reduksi tertutup merupakan teknik yang digunakan untuk mereduksi
fraktur os nasal yang baru terjadi. Sekitar 2-3 minggu setelah trauma akan terbentuk jaringan
fibrotik pada fragmen tulang di posisi yang tidak seharusnya dan hal inilah yang menyebabkan
reduksi dengan teknik ini tidak mungkin dilakukan.Satu hal yang sering ditemukan pada fraktur
depresi tulang hidung adalah disertai dengan fraktur septum nasal, yang biasanya dimulai di bagian
atas spina nasalis anterior dan kemudian melewati bagian belakang dan naik sepanjang kartilago
kuadrilateral sebelum belok ke dalam lamina perpendikularis os etmoidalis dan akhirnya
meneruskan ke arah tulang hidung. Insiden fraktur os nasal yang disertai oleh trauma septum tidak
lebih dari 30 % dari semua kejadian fraktur nasal. Dalam tindakan reduksi tulang hidung, beberapa
alat yang dapat digunakan seperti elevator tumpul (Boies Nasal Fraktur Elevator), forsep Asch,
forsep Walsham, spekulum hidung pendek, spekulum panjang Killian dan pinset bayonet. Fraktur
os nasal dapat direduksi dengan forsep Walsham yang mempunyai jarak antara mata pisau dan
bagian penutup, dimana bagian tersebut memungkinkan penutupan jaringan hidung yang tidak
hancur.10,21,26

Gambar 11. Walsham forceps, Boies elevator, Asch forceps, spekulum


hidung, nasal suction, pinset bayonet.

Mata pisau forsep Walsham yang lebar agak berlekuk untuk mencapai dinding hidung bagian luar
dan melindungi kulit hidung. Mata pisau bagian dalam lebih kecil dan bentuknya disesuaikan
untuk mencapai hidung bagian dalam.23,26 Dokter ahli bedah harus berhati-hati dalam menentukan
lokasi dari garis fraktur dan sangatlah penting untuk tidak menggunakan forsep Walsham di atas
garis fraktur untuk memindahkan kedua prosessus nasofrontalis. Namun forsep Walsham dapat
digunakan untuk memindahkan kedua prosessus nasalis keluar maksila dan menggunakan tenaga
yang terkontrol untuk menghindari gerakan menghentak yang tiba-tiba. Untuk mereposisi tulang
hidung, septum kemudian dipegang dengan forsep Asch yang diletakkan di belakang dorsum nasi,
manipulasi septum nasal menggunakan forsep Asch untuk meluruskan septum nasal. Forsep ini
diciptakan sama prinsipnya dengan forseps Walsham, tetapi forsep Asch mempunyai mata pisau
yang dapat memegang septum, dimana bagian mata pisau tersebut terpisah dari pegangan utama
bagian bawah dengan ukuran lebih besar dan lekukan yang berguna untuk menghindari terjadinya
kompresi dan kerusakan kolumela yang hebat maupun lebih luas.23,26
Deformitas hidung yang kompleks memerlukan area pembedahan yang luas melalui
rinoplasti terbuka agar evaluasi dan hasil operasi yang lebih baik. Rinoplasti terbuka pertama kali
dilaporkan pada tahun 1934 di India, ketika Rethi memperkenalkan sayatan transcollumelar untuk
pendekatan struktur hidung. Anderson dkk tahun 1981, Wright dan Kiedel pada tahun 1982 mulai
menggunakan pendekatan ini dan memperkenalkannya di Inggris.
Indikasi primer rinoplasti terbuka mencakup kasus-kasus yang membutuhkan area
pembedahan yang luas untuk alasan teknik atau diagnosis. Pasien yang memiliki nasal tip asimetris
atau kubah hidung bagian tengah, atau defisiensi struktur hidung menjadi indikasi kuat rinoplasti
terbuka. Deformitas hidung yang spesifik dapat dikoreksi menggunakan rinoplasti termasuk
deviasi septum nasi, saddle nose, celah hidung-bibir, dan tumor jinak. Rinoplasti terbuka
diperlukan utuk kasus yang membutuhkan diseksi luas.
Prinsip teknik pembedahan dengan rinoplasti terbuka adalah diseksi subperikondrial dan
subperiosteal kartilago atau tulang yang akan dimodifikasi atau dieksisi, eksisi punggung
osteokartilago, pemotongan septum nasi jika diperlukan, osteotomi bilateral prosesus nasalis
tulang maksila, mengeluarkan fraktur tulang dinding lateral sebelum pembentukan akhir, dan
eksisi tulang rawan untuk membentuk dan mendukung nasal tip.
Gambar 4. Irisan pada kolumela.12
Insisi huruf W didaerah kolumela dilanjutkan dengan insisi marginal yang dibuat sepanjang
margin dari krura lateral, dan tidak sepanjang lubang hidung. Hal ini juga disebut sayatan intra
kartilago. Insisi dibuat di sekitar tepi kolumela untuk memungkinkan diseksi dari kartilago ala krus
medial.1,3,11

Gambar 5. Insisi marginal.11


Setelah insisi marginal pada kolumela, gunakan gunting sudut untuk membuka krura
medial tanpa merusak Margin lateral yang letaknya lebih rendah dari tulang rawan. Diseksi tajam
dilakukan diatas kartilago ala krus medial, dilanjutkan ke krus lateral kartilago alar, kartilago
lateral atas, dorsum nasi, sampai dengan sudut fronto-nasal terpapar. 12

Gambar 6. Mengangkat kulit tipis vestibulum dari flap.12


Diseksi kemudian digeser ke garis tengah untuk melepaskan jaringan fibrosa dan
mengidentifikasi tulang rawan pada hidung tengah. Diseksi secara tumpul dilanjutkan menuju
persimpangan tulang rawan. Paparan dilanjutkan sepanjang tepi piriformis dan kartilago lateralis.
12

Gambar 7. Diseksi Blunt.12

Setelah diseksi, anatomi tulang hidung dapat terlihat dengan jelas. Sebelum melakukan
septoplasti, krus media dipisahkan perlahan-lahan sampai mendapatkan caudal end septum nasi.
Graft kartilago merupakan material ideal untuk rekonstruksi hidung. Terdapat beberapa
keuntungan graft kartilago diantaranya adalah mempunyai biotoleransi tinggi yaitu angka infeksi
dan destruksi yang rendah, elastisitas yang tinggi yaitu mudah dibentuk serta mempunyai vitalitas
yang baik terutama untuk aliran darah yang buruk, resisten dan mempunyai angka resorpsi yang
minimal serta mudah didapat.14
Penempatan jahitan simetris penting agar tip simetri. Setelah operasi selesai, sayatan
transcolumellar dapat ditutup dengan jahitan garis tengah menggunakan benang 6-0 vicryl.
Ketika menutup irisan trans kolumela untuk menghindari bentuk hidung yang tidak simetris.
insisi marginal dapat ditutup dengan menggunakan jahitan satu-satu benang kromat ukuran 5-0.11
Perawatan pascaoperasi dengan antibiotik dilanjutkan sampai 3-7 hari. Jahitan kolumelar
diangkat lima hari setelah operasi. Jahitan di trans marginal kolumela dilepaskan pada hari ke-7.
Evaluasi jahitan selama tiga minggu setelah operasi. Pasien disarankan untuk menghindari
latihan aktif selama 3 minggu dan olahraga untuk 6 minggu.1,3
Reposisi terbuka dipertimbangkan untuk dikerjakan bila 1) telah terjadi fraktur septum
terbuka, 2) fraktur dislokasi luas tulang hidung dan septum nasal, 3) terjadinya dislokasi fraktur
septum kaudal, 4) deviasi piramid lebih dari setengah lebar nasal bridge, 5) perubahan bentuk
menetap setelah dilakukan reposisi tertutup, 6) karena reposisi perubahan bentuk septum yang
tidak adekuat, 7) terjadinya hematoma septum, 8) kombinasi perubahan bentuk septum dan tulang
rawan alar, serta 9) terjadinya fraktur displace spina nasi anterior dan adanya riwayat operasi
intranasal.2,27
Gambar 13. Teknik insisi dengan reduksi terbuka pada fraktur os nasal.16
Reposisi terbuka dikerjakan jika harus melakukan reposisi bagian pyramid nasal akibat
terjadinya fraktur tulang nasal dan tulang rawan septum nasal yang saling terkait. Septum dapat
dicapai melalui insisi hemitranfiksi pada sisi yang mengalami dislokasi, berikutnya garis fraktur
os nasal dapat dicapai melalui insisi interkartilago bilateral. Kulit dorsal diangkat di atas tulang
rawan lateral atas dan periosteum tulang nasal diangkat.20
Insisi apertura piriformis memudahkan mencapai garis fraktur lateral. Paling sering
ditemukan dislokasi tulang rawan kuadrangular crest maxilla atau fraktur bentuk “C” dari tulang
dan tulang rawan septum, sehingga segmen tulang rawan dibuka dan di reposisi. Kadang segmen
kecil tulang rawan harus di reseksi dekat fraktur dengan menggunakan elevator Cottle. Reseksi
radikal tulang rawan dan tulang nasal harus dihindari karena berfungsi sebagai penyokong, selain
itu agar mengurangi fibrosis dan kontraktur. Dengan melakukan prosedur operasi septum seperti
ini reposisi yang maksimal akan diperoleh.28,29
Teknik lainnya menggunakan sebuah pendekatan intranasal melalui insisi
intercartilaginous untuk mengurangi depresi patah tulang hidung. Setelah pembedahan
mukoperiosteal terowongan segmen bawah, kawat ditempatkan di bagian distal di bawah akar
hidung yang stabil dan tulang rawan lateral distal lebih rendah untuk menjaga fragmen yang
ditinggikan. Kawat dipotong dan potongan kecildibiarkan dalam kavum nasi untuk
memungkinkan pengambilan setelah 10 sampai 14 hari. Tingkat keberhasilan tindakan dengan
metode ini dilaporkan sebesar 85%.
2.6 Komplikasi
Komplikasi fraktur os nasal dibagi menjadi komplikasi segera (early complication) dan
komplikasi lambat (late complication).
a. Komplikasi Segera (early)
Komplikasi segera bersifat sementara, meliputi edema, ekimosis, epistaksis, hematoma,
infeksi dan kebocoran liquor. Umumnya sembuh spontan namun hematoma membutuhkan
drainase. Hematoma septum pada setiap kasus trauma septum harus dievakuasi, karena dapat
menyebabkan timbulnya infeksi sehingga terjadi nekrosis tulang rawan septum dan akhirnya
terbentuk deformitas pelana. Hematoma septum harus dicurigai jika didapat nyeri dan
pembengkakan yang menetap, komplikasi ini perlu diperhatikan pada anak-anak. Splint-silastik
dapat dipakai untuk mencegah akumulasi ulang darah pada tempat hematoma.3,28,30
Adanya epistaksis dapat sembuh spontan, namun jika perlu dapat dilakukan kauterisasi,
tampon nasal anterior maupun posterior atau ligasi pembuluh darah. Perdarahan dari sisi anterior
biasanya karena laserasi arteri etmoid anterior cabang arteri opthalmikus. Perdarahan dari sisi
posterior berasal dari arteri etmoid posterior atau arteri sphenopalatina cabang nasal lateral, kalau
perlu ligasi arteri maksila interna.28,30
Pemberian antibiotik untuk profilaksis perlu diberikan pada pasien dengan kelemahan
kronis dan dengan hematoma septum atau dorsal. Jika terjadi kebocoran cairan serebrospinal
disebabkan fraktur lempeng kribiformis atau dinding posterior sinus frontal, biasanya akan
menutup spontan dengan observasi 4-6 minggu.30
b. Komplikasi Lambat (late)
Obstruksi jalan napas, perubahan bentuk sekunder, perlekatan, fibrosis (pembentukan
jaringan ikat) atau kontraktur (pemendekan jaringan otot nasal), hidung pelana, dan perforasi
septum merupakan komplikasi lambat dari fraktur nasal. Komplikasi ini sebaiknya dapat dicegah
lebih awal, disproporsi nasofasial dapat terjadi dengan terbentuknya hidung yang panjang
khususnya pada masa pubertas. Selain itu dapat terjadi obstruksi duktus nasolakrimalis yang
menyebabkan epifora,hal ini dapat di diagnosa secara radiologis dengan memasukkan kontras
melalui pungtum inferior. Bagian duktus di atas sumbatan akan tampak melebar. Setelah diketahui
lokasi sumbatan, maka dapat dibuat saluran baru yang menghubungkan sakus lakrimalis dengan
meatus inferior dengan memakai pipa polietilen, tindakan ini disebut rinotomi dakriosis.
2.7. Prognosis
Kebanyakan fraktur os nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh tanpa adanya
kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksiterbuka dan tertutup akan mengurangi
kelainan kosmetik dan fungsional pada pasien. Reduksi yang menghasilkan malunion atau cacat
mungkin memerlukan rekonstruksi lebih lanjut, tergantung pada beratnya cedera dan kesulitan
dalam melakukan reduksi pada cedera utama. Septorinoplasti tetap menjadi standar perawatan
untuk hasil yang kurang memuaskan dan sering diperlukan dalam kasus reduksi yang gagal.

III. LAPORAN KASUS :

Pasien laki-laki usia 17 tahun, mahasiswa, asal Tabanan datang ke poliklinik THT-KL
RSUP Sanglah pada tanggal 27 Mei 2016 mengeluh hidung tersumbat sejak 3 minggu. Hidung
terbentur lutut pemain saat bermain futsal pada tanggal 8 Mei 2016. Sesaat setelah benturan, pasien
mengalami mimisan dari kedua lubang hidung, namun berhenti beberapa saat kemudian. Pasien
tetap dalam kondisi sadar sesaat setelah kejadian. Saat ini orang tua dan pasien mengeluh hidung
berubah bentuk menjadi lebih bengkok. Riwayat hidung tersumbat ada. Riwayat mimisan dan
pilek sebelumnya disangkal. Riwayat bersin-bersin sebelumnya disangkal.
Pemeriksaan fisik umum dan tanda vital dalam batas normal, status THT telinga dalam
batas normal, hidung tampak bengkok pada dorsum nasi.. Pada palpasi tidak dirasakan nyeri dan
tidak teraba krepitasi. Kavum nasi sempit kanan dan lapang kiri dengan deviasi septum ke kanan.
Tidak tampak perdarahan aktif. Tidak tampak stolsel, konka dekongesti dan tidak tampak adanya
sekret. Tak ada kelainan pada pemeriksaan tenggorok. Pasien telah membawa hasil pemeriksaan
penunjang CT Scan Kepala, tampak fraktur depresi pada os nasal.
Pasien dipersiapkan untuk reduksi terbuka pada os nasal dengan anestesi umum dan dilakukan
persiapan pre-operasi berupa laboratorium darah lengkap, faal hemostasis dan foto thorax tidak
didapatkan kelainan. Pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam dan anestesiologi dengan hasil
kondisi umum dalam batas normal dan dinyatakan layak untuk dilakukan reposisi terbuka.
Pasien dilakukan operasi reposisi os nasal dengan anestesi umum pada tanggal 6
Juni 2016. Pasien tidur terlentang diatas meja operasi, dibawah pengaruh anestesi umum dan tuba
endotrakeal. Dilakukan disinfeksi lapangan operasi dan dipersempit dengan doek steril. Dipasang
tampon dengan lidokain dan epinephrine dengan pengenceran 1: 100.000 pada kedua kavum nasi,
kemudian dievaluasi pada kedua kavum nasi tampak lapang, konka dekongesti dan dilakukan
reposisi terbuka.

Gambar 4. Irisan pada kolumela.12


Operasi diawali dengan infiltrasi anestesi lokal untuk memisahkan perikondrium dan
periosteum dari mukosa, dilanjutkan dengan pembuatan garis insisi pada columella berbentuk
hurup V terbalik. Insisi dilanjutkan dengan insisi interkartilago atau insisi butterfly. Diseksi untuk
memisahkan perikondrium, periosteum, dan muskuloperineum dimulai dari anterior hingga
posterior septum nasi dan kartilago alaris inferior hingga sudut nasofrontalis; dilanjutkan koreksi
septum nasi; os vomer ditatah untuk membebaskan dan meluruskan septum nasi nasi, dilanjutkan
osteotomi lateral kanan, dorsum nasi, dan sudut nasofrontalis. Melalui kavum nasi, dorsum nasi
diangkat dan dilepas menggunakan elevator, dilanjutkan rekonstruksi bentuk hidung dan
pemasangan tampon sementara dengan adrenalin 1:100.000. Luka insisi dijahit. Tampon diganti
dengan tampon padat yang diolesi salep kombinasi antibiotik dan kortikosteroid.

Gambar 5. Insisi marginal dan mengangkat kulit tipis


pada kulit dan vestibulum

Gambar 7. Diseksi Blunt.


Gambar . Osteotomi Gambar . Menutup irisan trans kolumela

Diagnosis pasca bedah adalah fraktur os nasal ec trauma post rinoplasti terbuka. Terapi post
operasi diberikan injeksi seftriakson 2 x 1 gr IV, injeksi metil prednisolone 2 x 62,5 mg IV,
tramadol drip 1 ampul dalam 1 kolf ringer laktat pada hari pertama dilanjutkan dengan asam
mefenamat 3 x 500 mg. Pada tanggal 9 Juni 2016 tampon anterior dibuka. Evaluasi kavum nasi,
kavum nasi lapang, perdarahan tidak ada, septum nasi ditengah lurus, mukosa septum nasi kanan
menempel pada septum nasi. Pasien dipulangkan dengan terapi ciprofloksasin 2 x 500 mg peroral,
metil prednisolone 2 x 16 mg peroral tapering off dan asam mefenamat 3x 500 mg peroral.
Pada tanggal 20 Juni 2016, 2 minggu post operasi, tidak didapatkan keluhan. Hidung tersumbat
tidak ada, perdarahan tidak ada, demam tidak ada. Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi
anterior maupun dengan nasoendoskopi terlihat kavum nasi kanan dan kiri lapang, konka inferior
dan konka media eutropi, sinekia tidak ada, septum nasi ditengah, perforasi tidak ada, terlihat
mukosa septum nasi yang dielevasi menempel pada septum nasi namun belum sempurna, masih
terlihat garis insisi, hiperemis, krusta tidak ada. Kloting menutupi kavum nasi bagian atas dan
terdapat sekret. Diberikan terapi cuci hidung 2 x 20 cc kedua kavum nasi.

PEMBAHASAN
Fraktur os nasal merupakan fraktur yang paling sering terjadi pada daerah wajah dengan
insiden sebesar 39-45% dan merupakan fraktur terbanyak ketiga pada seluruh fraktur pada tubuh
manusia. Berdasarkan umur dan jenis kelamin, disebutkan bahwa insiden fraktur os nasal rata-rata
terjadi pada umur 20-30 tahun dengan kejadian pada laki-laki dua kali lebih tinggi dibandingkan
pada perempuan. Pada kasus diatas dilaporkan pasien laki-laki berumur 17 tahun dengan etiologi
fraktur hidung yang disebabkan oleh terbentur lutut pemain lain saat bermain futsal.3,19,23
Anamnesis pada penderita fraktur os nasal akan sangat membantu dalam penegakan
diagnosis dan management terapi yang akan dilakukan. Hal-hal penting untuk diketahui adalah
waktu kejadian, arah trauma dan keluhan pasien.3 Wang dkk31, mengatakan bahwa keluhan
epistaksis sesaat setelah trauma merupakan tanda pasti terjadinya fraktur os nasal, yang
diakibatkan oleh kerusakan atau robekan pada mukosa hidung. Pada kasus didapatkan keluhan
epistaksis sesaat setelah trauma sebagai salah satu keluhan pada pasien. Pemeriksaan palpasi
hidung dan evaluasi internal hidung teraba garis fraktur dan tampak deviasi septum ke kanan pada
rinoskopi anterior. Pada Inspeksi terlihat deformitas hidung, dimana hidung tampak bengkok.
Hematoma pada dorsum nasi dan nyeri saat palpasi hidung sudah tidak dirasakan.
??Pemeriksaan X-Ray sangat membantu dalam menilai fraktur hidung. Diperkirakan 10 -
47% penderita dengan diagnosis fraktur os nasal yang sudah cukup jelas ditetapkan secara klinis,
ternyata pada gambaran radiologi sulit ditentukan adanya gambaran fraktur. Garis sutura dan pola
vaskuler menyulitkan diagnosis dan menghasilkan banyak positif-palsu dan negatif-palsu kecuali
dihubungkan dengan informasi klinis.3,19 Grant dan Carlos,3 mengatakan bahwa pemeriksaan
dengan CT Scan akan memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap fraktur sehingga
memudahkan dalam klasifikasi, melakukan evaluasi terhadap struktur di sekitar hidung dan
sebagai pedoman pemilihan dalam penatalaksanaan.
???Pada pasien dilakukan pemeriksaan X-Ray CT Scan fokus hidung dan sinus paranasal
di RSUP Sanglah dengan hasil fraktur depresi pada os nasal. Management terapi trauma hidung
harus didasarkan pada potensi disfungsi perkembangan sebagai akibat dari terapi dan konsekuensi
dari intervensi tertunda. Reposisi nasal yang dikerjakan di ruang emergensi, sebaiknya dilakukan
sebelum mulai timbulnya kelainan berupa edema atau pembengkakan, sehingga reposisi dapat
dilakukan dengan akurasi hasil yang baik secara anatomis. Hal ini dapat dilakukan dalam dua
hingga tiga jam setelah kejadian trauma nasal. Jika edema menjadi permasalahan, penanganan
ditunda hingga sepuluh hari untuk orang dewasa dan enam hari untuk anak-anak.2,34,35 Dalam kasus
cedera minimal, hidung anak secara spontan dapat kembali ke posisi anatomis dengan hanya
menggunakan sebuah bidai eksternal untuk melindungi hidung selama proses penyembuhan.
Lalwani, mengatakan bahwa integritas septum hidung adalah penting untuk pertumbuhan tulang
hidung dan rahang atas anterior dan oleh sebab itu diperlukan perhatian khusus. Dalam kasus ini,
pasien datang ke poliklinik THT-KL lebih dari enam jam setelah terjadinya trauma dan pada
pemeriksaan fisik awal didapatkan edema pada dorsum nasi, sehingga penanganan dilakukan pada
hari ke lima setelah edema teratasi dengan pemberian anti inflamasi. Pada fraktur depresi tulang
hidung yang disebabkan
benturan dari depan atau terjatuh, diperlukan penanganan operatif dengan teknik reduksi tertutup
yang merupakan satu teknik yang digunakan untuk mereduksi fraktur os nasal yang baru terjadi.
Pada kasus ini digunakan teknik reduksi tertutup dengan menggunakan forsep Walsham dan forsep
Asch karena trauma terjadi pada rentang waktu kurang dari sepuluh hari.16,23

V. KESIMPULAN

Telah dilaporkan Pasien PDM, laki-laki usia 17 tahun, dengan fraktur hidung dan
dilakukan tindakan reposisi terbuka pada tulang hidung dengan menggunakan elevator Boies,
forsep Walsham dan forsep Asch agar septum dan dorsum nasi pada posisi anatomis. Pasien
kemudian kontrol pada hari ke-lima pasca operasi di poliklinik THT-KL dengan keluhan sedikit
nyeri pada hidung dan tidak dikeluhkan lagi hidung tersumbat pasca operasi, evaluasi pada kedua
kavum nasi tampak lapang dan septum ditengah. Pasien selanjutnya kontrol pada hari ke 14 pasca
operasi tanpa keluhan nyeri maupun hidung tersumbat dan pasien dapat beraktivitas seperti biasa.
Fraktur os nasal merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma dengan ditandai dengan
diskontinuitas tulang hidung baik sederhana maupun kominutif.3 Fraktur os nasal merupakan
fraktur pada wajah yang paling seringdijumpai pada manusia, pada kasus trauma wajah sekitar 39-
45 % adalah fraktur nasal. Trauma hidung pada masa pertumbuhan mempunyai dampak yang lebih
besar dibandingkan dengan trauma hidung yang dialami pada usia dewasa.3,11,23
Anamnesis dan pemeriksaan yang baik harus dilakukan sangat berperan dalam menentukan
diagnosis, derajat fraktur, sehingga pemilihan penatalaksanaan dapat dilakukan dengan tepat.
Pemeriksaan fisik pada anak mungkin lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan dewasa, namun
tidak mengurangi kewaspadaan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi. Reduksi tertutup
(closed reduction) dan reduksi terbuka (open reduction) merupakan penatalaksanaan terhadap
fraktur nasal. Pemilihan terapi yang tepat akan meningkatkan kesuksesan penanganan terhadap
fraktur os nasal serta mengurangi komplikasi yang mungkin ditimbulkan.5,27

Anda mungkin juga menyukai