Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat pertanian merupakan populasi terbesar bangsa indonesia, karena
Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai sumber daya alam
berlimpah. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar menyerap tenaga
kerja nasional, dari jumlah penduduk Indonesia yang bekerja sebanyak 104,485,444
orang, 41,53 persen bekerja di sektor pertanian (Badan Pusat Statistik, Februari
2010).
Desa bocek merupakan salah satu desa di Kecamatan Karangploso, Kabupaten
Malang, Provinsi Jawa Timur. Letaknya sendiriberjarak 14,9 km
dariUniversitasBrawijayadenganwaktutempuh ± 35 menit (Google maps:2015). Di
desa tersebut mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai seorang
petani.Lahannya yang berupa tegalan membuat para petani disana hanya menanam
ketika musim hujan. Komoditas utama di Desa Bocek seperti jagung, cabai, tebu
dan sebagainya.
Semakin berkembangnya IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dalam
berbagai bidang, termasuk bidang pertanian, menuntut para petani untuk mengikuti
perkembangan zaman dan bersifat lebih elastis. Globalisasi dan modernisasi
pertanian merupakan beberapa proses yang diakibatkan dari semakin
berkembangnya IPTEK di masyarakat.Globalisasi dan modernisasi pertanian yang
terjadi tidak dapat kita hindari, tetapi resiko negatif yang diakibatkannya dapat
dikurangi. Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau
perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah,
sedangkan Modernisasi adalah suatu perubahan masyarakat dalam seluruh
aspeknya dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, kedua proses
tersebut, juga mempengaruhi berbagai perubahan struktur, sosial, ekonomi, dan
budaya para petani di Indonesia, yang merupakan negara berkembang sehingga
dampak perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dapat dirasakan dengan jelas,
pada makalah ini penulis memfokuskan penulisan pada perubahan sosial yang
terjadi di masarakat petani khususnya pada desa bocek dusun karangploso .

1
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini, saya batasi sebagai berikut :
1. Apa dampak positif dari globalisasi dan modernisasi pertanian terhadap
kehidupan sosial petani di desa Bocek ?
2. Apa dampak negatif dari globalisasi dan modernisasi pertanian terhadap
kehidupan sosial petani di desa Bocek ?
3. Bagaimana solusi yang ditawarkan untuk mengurangi dampak negatif dari
globalisasi dan modernisasi pertanian ?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa dampak positif dari globalisasi dan modernisasi
pertanian terhadap kehidupan sosial petani di desa Bocek
2. Untuk mengetahui apa dampak negatif dari globalisasi dan modernisasi
pertanian terhadap kehidupan sosial petani di desa Bocek
3. Untuk memberikan solusi, dalam mengurangi dampak negatif dari
globalisasi dan modernisasi pertanian khususnya di desa Bocek
4. Untuk memenuhi tugas penulisan makalah mata kuliah Sosiologi Pertanian
(SOSPER)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Globalisasi Pertanian
Menurut Selo Soemardjan, pengertian Globalisasi adalah sebuah proses
terbentuknya suatu sistem organisasi dan komunikasi antar masyarakat yang berada
di seluruh dunia yang bertujuan untuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah tertentu
yang sama, sedangkan menurut Emanuel Ritcher, Pengertian Globalisasi adalah
suatu jaringan kerja global yang mempersatukan masyarakat dimana mereka
sebelumnya berpencar dan terisolasi yang nantinya akan saling memiliki
ketergantungan dan mampu mewujudkan persatuan dunia. Berdasarkan pendapat
dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, Globalisasi pertanian merupakan
suatu proses terbentuknya suatu jaringan kerja global yang bersifat universal
dengan tujuan untuk saling berbagi dan menyebarluaskan teknik, teknologi,
komoditi, maupun inovasi-inovasi baru di bidang pertanian.
Menurut Fakih (2001), globalisasi pada hakekatnya bertumpu di atas paham
ekonomi neo-liberal. Para penganut ini percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan
dicapai dengan “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif merupakan implikasi
dari trash bahwa “free market” adalah cara yang efisien dan tepat untuk
mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk memenuhi kebutuhan
manusia.
Genderang globalisasi pertanian di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak
pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan hongitochten, yaitu cara
perdagangan monopoli yang disertai dengan penghancuran kebun-kebun/hutan-
hutan rempah penduduk yang berani menyaingi monopoli perdagangan tersebut
(Satari, 1999). Pada tahun 1830 globalisasi semakin kentara dengan diterapkannya
kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel). Tanah sebagai sumberdaya alam yang
penting dikuasai oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang di desa diwakili Kepala
Desa dan dipinjamkan kepada petani, dan petani harus membayarnya. Pada tahun
1870 Pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria
(Agrarische) sebagai pelumas masuknya modal swasta Eropa sebagai tonggak
pertanian modern (estate). Rakyat pedesaan yang semula merupakan petani mandiri

3
berubah status menjadi buruh perkebunan, dan berakhir di awal abad ke 19 (VOC
bangkrut).
Globalisasi pertanian di Indonesia memuncak pada era 1970-an, ketika
program Revolusi Hijau (Green Revolusion) intens diintroduksikan. Berbagai input
luar produk dari perusahaan-perusahaan TNCs dipaksakan kepada petani untuk
diterapkan. Puncaknya tercapai tahun 1985, yaitu swasembada beras. Setelah itu
intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila seiring dengan
dikembangkannya konsepsi agribisnis.
Di penghujung abad 20, kebijakan ekonomi makro Indonesia semakin jelas
tepolarisasi pada pertumbuhan. Implikasinya, alokasi sumberdaya untuk
pembangunan pertanian tergeser oleh sektor manufaktur sebagai sektor prioritas.
Dengan demikian, pembangunan yang selayaknya “agriculture-led” menjadi di
dominasi oleh pembangunan yang bersifat “manufacturing industries-led”.
Meningkatnya respon negatif dari berbagai kalangan atas dampak negatif
program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs terhenti. Melalui sosialisasi
pada berbagai ruang publik, TNCs pun dapat melangkah dengan mulus lewat
pendekatan Agribisnis. Lewat pendekatan inilah senyatanya TNCs dapat dengan
mudah mengintegrasikan pasar nasional kedalam pasar internasional yang dikuasai
dan dikontrolnya. Melalui pendekatan Agribisnis dominasi TNCs diperhalus
dengan menghadirkan keragaman istilah yang sepertinya berbau pemerataan,
seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI), Rice Estate, Corporate Farming,
dan sebagainya. Dengan demikian, perbudakan dan pemarginalan petani menjadi
tidak kentara. Secara sosial praktis, TNCs pun menjadi baking para petani berdasi
dalam segala hal. Ini merupakan praktik efisiensi yang perlahan namun pasti akan
menyingkirkan para petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usahatani
sayuran di Dataran Tinggi, poultryshop, dsb).
2.2 Modernisasi Pertanian
Menurut Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan
sosial. Biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah (directed change) dan
didasarkan suatu perencanaan (social palnning), sedangkan menurut Wibert E.
Moore, modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama dalam
bidang teknologi dan organisasi sosial dari yang tradisional ke arah pola-pola

4
ekonomis dan politis yang didahului oleh negara-negara Barat yang telah stabil.
Berdasarkan pendapat dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa,
modernisasi pertanian adalah suatu proses perubahan sosial yang mencakup
kehidupan bersama dalam bidang teknologi dan kelembagaan pertanian dari yang
masih tradisional ke arah modern yang di dukung dengan perkembangan IPTEK.
Kebijakan pembangunan pertanian dengan orientasi produksi melalui
penggunaan teknologi modern yang sangat teknis mekanistis, telah menimbulkan
masalah-masalah dan perubahan-perubahan, baik pemerintah daerah yang
mengimplementasikan kebijaksanaan pusat maupun masyarakat petani sebagai
obyek dari pembangunan. Masalahmasalah umum yang timbul sebagai akibat dari
pelaksanaan pembangunan pertanian antara lain:
1. Menumbuhkan ketergantungan pemerintah derah dalam perencanaan
pembangunan, sehingga sering tidak sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial
budaya masyarakat.
2. Menimbulkan ego sub sektoral dalam pelaksanaan progam-program
pembangunan pertanian, karena lemahnya kordinasi dan integrasi antara sub
sektor.
3. Merosotnya nilai-nilai tradisional dan normanorma kekeluargaan yang saling
membutuhkan dan ketergantungan yang hidup di pedesaan.
4. Melahirkan ketergantungan petani terhadap pemerintah dalam pembangunan,
sebagai akibat pendekatan pelaksanaan program melalui bantuan subsidi.
Selain faktor-faktor eksternal, modernisasi pembangunan pertanian yang telah
di uraikan di atas mengakibatkan perubahan sosial dalam masyarakat (dalam arti
negatif). Tidak sedikit pula faktor-faktor internal yang ikut mempengaruhi proses
pembangunan dan modernisasi pertanian. Koentjaraningrat (1985:37-49)
menguraikan beberapa karakteristik mental manusia Indonesia yang merupakan
penghambat pembangunan dan proses modernisasi, antara lain:
1. Pandangan terhadap sesama lebih didasarkan pada prinsip gotong royong lebih
baik, tetapi apabila keberhasilan seseorang dianggap sombong atau
meremehkan mutu, selain itu munculnya sikap konformisme.
2. Pandangan hidup yang berorentasi pada waktu masa lalu.

5
3. Mentalitas yang suka menerbas, atau mentalitas mencari jalan pintas. Mentalitas
muncul menerbas akibat dari mentalitas meremehkan mutu.
4. Tidak percaya pada diri sendiri, dan ;
5. Orentasi nilai budaya yang terlampau mementingkan konsep ketergantungan
pada atasan atau kepada sesama manusia dalam melakukan segala sesuatu.
Mentalitas seperti ini dapat menghilangkan dorongan inovatif dan kreatif
manusia.
Mentalitas yang di uraikan oleh Kontjaraningrat tidak dapat begitu saja di
terima sebagai sesuatu yang berlaku universal, melainkan sangat tergantung kepada
setiap individu, kelompok komunitas dalam memahami diri terhadap orientasi masa
depannya, serta tergantung pada kondisi wilayah dan sosialbudaya setempat.
Pranadji (2000) mempunyai pandangan bahwa desentralisasi akan lebih membuka
peluang berperannya pranata sosial setempat untuk berpartisipasi dalam kegiatan
pembangunan pertanian. Selain itu, desentralisasi akan lebih membuka peluang
berperannya perantara keteraturan, kerjasama sosial dan kontrol sosial yang lebih
baik terhadap proses transformasi pertanian secara berkelanjutan di wilayah
setempat.
Modernisasi di bidang pertanian di Indonesia di tandai dengan perubahan yang
mendasar pada pola-pola pertanian, dari cara-cara tradisional menjadi cara-cara
yang lebih maju. Perubahan-perubahan tersebut meliputi beberapa hal, antara lain
dalam pengelolahan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk,
pengunaan sarana-sarana produksi pertanian, dan pengaturan waktu panen.
Pengenalan terhadap pola yang baru dilakukan dengan pembenahan terhadap
kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian, seperti, kelompok
Tani, KUD, PPL, Bank Perkreditan, P3A, dan sebagainya. Selanjutnya ditetapkan
pola pengembangan dalam bentuk, usaha ekstensifikasi, intensifikasi dan
diversifikasi.
Menurut Soedjatmoko, struktur adalah pola-pola organisasi sosial yang
mantap, luas,stabil, dan mampu untuk meneruskan diri (self reproducing). Suatu
masyarakat yang melintasi semua sektor. Lebih lanjut, Soedjatmoko mengatakan
bahwa institusi atau lembaga adalah suatu rangkaian hubungan antara manusia yang
teratur dan disahkan secara sosial, yang menentukan hak dan kewajiban serta sifat

6
hubungannya dengan orang lain. Lembagalembaga ini penting Karena mereka
menjamin kemantapan, kepastian, dan prediktability dalam interaksi sosial dan
menentukan pola taat tertib masyarakat (Soedjatmoko, 1984: 157).
Sebelum di perkenalkannya mesin-mesin pertanian, struktur masyarakat
petani sangat mendukung terciptanya kemantapan, kestabilan, dan kemampuan
dalam menghubungkan dua fenomena ini. Maka, yang muncul kemudian dalam
tatanan sosial masyarakat petani adalah suatu konflik masyarakat agraris. Tingkat
kedua, bentuk perjuangan mengenai kepantasan suatu defenisi terhadap keadilan
suatu kasus tertentu, seperangkat faktor tertentu, dan sesuatu perilaku tertentu.
Tingkat ketiga, pertarungan tentang tanah kerja, pendapatan, dan kekuasaan
ditengahtengah perubahan besar yang disebabkan oleh suatu revolusi pertanian
(Scott, 2000: 36). Untuk hal ini Scott mengangkat suatu contoh bahwa orang kaya
sepantasnya bersifat dermawan. Ini adalah suatu prinsip. Ketika prinsip ini
dilanggar, maka mulailah konflik itu terjadi.
2.3 Kondisi Desa Bocek

Gambar 1. Peta Kecamatan Karangploso Desa bocek Dusun Manggisari


Desa Bocek Dusun Manggisari Secara geografis terletak pada posisi 7°21′-
7°31′ Lintang Selatan dan 110°10′-111°40′ Bujur Timur. Topografi ketinggian desa
ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 715 m di atas permukaan air laut.
Secara administratif, Desa Bocek terletak di wilayah Kecamatan Karangploso
Kabupaten Malang dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di
sebelah Utara berbatasan dengan Kehutanan Kecamatan Karangploso Kabupaten

7
Malang. Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Donowarih .Kecamatan
Karangploso. Di sisi Selatan berbatasan dengan Desa Girimoyo Kecamatan
Karangploso, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Girimoyo dan
Ngenep Kecamatan Karangploso (Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang : 2011)
Luas wilayah Desa Bocek adalah 1.478.741 Ha. Luas lahan yang ada terbagi
ke dalam beberapa peruntukan, yang dapat dikelompokkan seperti untuk fasilitas
umum, pemukiman, pertanian, perkebunan, kegiatan ekonomi dan lain-lain. Luas
lahan yang diperuntukkan untuk pemukiman adalah 150.000 Ha. Luas lahan yang
diperuntukkan untuk Pertanian adalah 130,991 Ha. Luas lahan untuk ladang tegalan
dan perkebunan adalah 12.350 Ha. Luas lahan untuk Hutan Produksi adalah
437,750 Ha. Sedangkan luas lahan untuk fasilitas umum adalah sebagai berikut:
untuk perkantoran 0,50 Ha, sekolah 2,520 Ha, olahraga 1,56 Ha, dan tempat
pemakaman umum 2,1 Ha.Wilayah Desa 1.478.741 secara umum mempunyai ciri
geologis berupa lahan tanah hitam yang sangat cocok sebagai lahan pertanian dan
perkebunan. Secara prosentase kesuburan tanah Desa Bocek terpetakan sebagai
berikut: sangat subur 27 Ha, subur 250 Ha, sedang 150 Ha, tidak subur/ kritis 12.350
Ha. Hal ini memungkinkan tanaman padi untuk dapat panen dengan menghasilkan
8,5 ton/ ha. Tanaman jenis palawija juga cocok ditanam di desa bocek.
Data pada Desa Bocek menunjukkan bahwa geografi di desa tersebut cocok
untuk ditanami komoditas pertanian dalam arti luas yaitu perkebunan terlihat pada
data fieldtrip bahwa sebagian besar komoditas yang mereka tanam berorientasi
pada sektor perkebunan yaitu kopi, tebu dan cabe.

8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Dampak Positif Globalisasi Dan Modernisasi Pertanian Di Desa Bocek
Perubahan sosial petani yang bersifat positif di desa bocek sebagai akibat
dari Globalisasi dan modernisasi pertanian, berdasarkan pengamatan dari penulis
adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan penyediaan saprodi (sarana produksi) pertanian di desa Bocek
seperti benih/bibit dan pestisida semakin mudah di dapatkan oleh masyarakat,
karena benih/bibit dan pestisida dapat dengan mudah diperoleh di toko-toko
saprodi pertanian yang semakin menjamur di daerah perkotaan dan
mendapatkan subsidi dari pemerintah.
2. Perkembangan penyediaan alsitan (alat dan mesin pertanian) di desa Bocek,
semakin mudah untuk diakses masyarakat, karena dibantu juga dengan
kelembagaan KUD (Koperasi Unit Desa) yang membantu para petani dalam
proses produksi maupun dalam pemasaran hasil komoditi pertanian
3. Perkembangan Kelompok tani di desa Bocek, yang semakin berkembang dari
tahun-ketahun sehingga memudahkan petani untuk memperoleh informasi,
teknologi, maupun inovasi-inovasi baru di bidang pertanian, hal ini disebabkan
karena seringnya dilakukan penyuluhan dan sosialisasi pertanian kepada
masyarakat sehingga menyebabkan minat masyarakat untuk berorganisasi dan
mengikuti kelembagaan meningkat, karena telah mengetahui berbagai manfaat
yang didapatkannya dengan turut berpartisipasi dalam kelompok tani tersebut,
seperti memperoleh bantuan dalam menyiapkan saprodi pertanian, memperoleh
informasi dan bantuan mengenai solusi yang sebaiknya dilakukan dalam
menyelesaikan berbagai hambatan produksi, dan memperoleh informasi tentang
bagaimana teknik bercocok tanam yang lebih efektif dan efisien.
4. Perkembangan Lembaga kredit keuangan yang memudahkan para petani dalam
meminjam uang untuk modal pertanian, berdasarkan tuturan dari salah seorang
narasumber kami (Pak Sarim), lembaga keuangan yang membantu para petani
di desa bocek , dalam hal lembaga keuangan formal adalah Bank (BRI, BNI,
BPR), dengan persyaratan peminjaman modal pertanian seperti kartu identitas
seperti KTP dan kartu jaminan seperti BPKB.

9
5. Perkembangan kegiatan pemasaran hasil pertanian di desa Bocek semakin
mudah terutama bagi para petani yang tergabung dalam KUD, Sebagian besar
petani di desa Bocek menjual atau memasarkan hasil pertanian meraka ke KUD,
dan nantinya KUD yang akan memasarkannya di pasaran, sehingga apabila
telah laku terjual di pasaran maka keuntungan hasil penjualan akan langsung
diserahkan kepada petani yang bersangkutan.

3.2 Dampak Negatif Globalisasi Dan Modernisasi Pertanian Di Desa Bocek


Perubahan sosial petani yang bersifat positif di desa bocek sebagai akibat
dari Globalisasi dan modernisasi pertanian, berdasarkan pengamatan dari penulis
adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan cara atau sistem pengadaan tenaga kerja di desa Bocek untuk
sistem tolong-menolong atau gontong royong sudah mulai ditinggalkan, hal ini
dikarenakan para petani di desa bocek sudah sibuk masing-masing mengurus
lahan mereka sendiri dan kebayakan pengadaan tenaga kerja menggunakan
sistem borongan atau sistem upah harian. Borongan merupakan suatu sistem
penyewaan tenaga kerja pada saat panen raya dengan melibatkan banyak orang
sekaligus dalam memanen dan mendistribusikan hasil pertanian tersebut, dan
mereka akan digaji setelah selesai memanen dan mendistribusikan hasil
pertanian tersebut oleh KUD. Upah harian merupakan suatu sistem penyewaan
tenaga kerja untuk memanen ataupun mengolah lahan pertanian pertanian
dengan sistem pembayaran harian atau langsung setelah mereka selesai bekerja,
sistem upah harian ini biasanya menggunakan waktu kerja tertentu, seperti para
tenaga kerja berkerja dari jam 06.00 – 12.00 mereka akan dibayar upah Rp.
20.000,00.
2. Membanjirnya produk pertanian impor, yang menyebabkan penurunan minat
para konsumen lokal untuk membeli produk pertanian lokal , sehingga harga
produk pertanian lokal menjadi tidak stabil, dan akhirnya petanipun merugi. Hal
ini diakarenakan kalah saingnya produk pertanian lokal terhadap produk
pertanian Impor dalam hal kualitas maupun harga.
3. Semakin jelas terlihatnya Stratafikasi sosial pada masyarakat petani di desa
Bocek, mulai dari kaum yang memiliki kekuasaan ekonomi ataupun memiliki

10
pengetahuan yang luas dengan kaum yang memiliki keterbatasan ekonomi dan
berpendidikan rendah, serta merosotnya nilai-nilai tradisional dan normanorma
kekeluargaan yang saling membutuhkan dan ketergantungan yang hidup di
pedesaan.
4. Menumbuhkan ketergantungan pemerintah derah dalam perencanaan
pembangunan, sehingga sering tidak sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial
budaya masyarakat di desa Bocek.
4.3 Solusi
Solusi yang penulis tawarkan Untuk mengurangi berbagai permasalahan sosial
yang timbul di desa Bocek sebagai akibat dari proses modernisasi dan globalisasi
pertanian yang semakin berkembang pesat di desa bocek adalah :
1. Meningkatkan produksi dan kualitas hasil produksi komoditi pertanian di desa
Bocek, sehingga tidak kalah saing dengan berbagai komoditi pertanian impor
yang semakin marak menyebar di masyarakat, sebagai dampak dari MEA
(Masyarakat Ekonomi Asean) yang mempermudah keluar masuknya barang
atau jasa antara negara. Dengan cara meningkatkan kelembagaan dan
kemitraan para petani lokal di desa bocek, dalam suatu konsep
COMINGCALSUS (Contract Farming and Local Focus), yaitu berupa konsep
pembagunan kerja sama kemitraan yang baik antara perusahaan/industri
dengan kelompok tani yang ada di desa bocek, sehingga antara kedua belah
pihak dapat memperoleh manfaatnya, salah satu manfaat yang di terima oleh
petani adalah meningkatkan produksi dan kualitas dari produksi komoditi
pertanian di desa bocek karena dalam proses produksi difasilitasi juga oleh
perusahaan dan perusahaan juga melakukan penyuluhan dan pembinaan
kepada para petani disana, dalam teknik bercocok tanam yang lebih efektif dan
efesien, serta juga mengenalkan berbagai teknologi dan inovasi baru di bidang
pertanian yang akan miningkatkan hasil produksi baik dalam sisi kualitas
maupun kuantitas, sehingga produk localpun tidak kalah saing dengan berbagai
produk impor. Agar konsepan ini dapat berjalan dengan lancar bantuan dan
partisipasi aktif dari pihak pemerintah dan mahasiswa juga sangat diperluhkan,
pemerintah berperan sebagai pembuat kebijakan yang nantinya dapat
mempermudah para petani dalam melakukan kemitraan dengan perusahaan,

11
dan mahasiswa berperan sebagai penyalur aspirasi dan keluhan dari petani
kepada pemerintah ataupun perusahaan, dan juga berperan dalam melakukan
sosialisasi kepada petani mengenai manfaat-manfaat yang didapatkan dari
menjalin kemitraan dengan perusahaan.
2. Semakin berkembangnya IPTEK di masyarakat yang memudahkan berbagai
aktifitas mereka dalam proses produksi pertanian, ternyata juga berdampak
negatif berupa penurunan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat yang
seharusnya tidak ditinggalkan, seperti gontong royong, dan lebih cenderung
menuju ke arah budaya individualisme yang liberalisme. Solusi yang penulis
tawarkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, adalah dengan
mengadakan kegiatan bakhti sosial dan/atau gontong royong setiap minggu
yang diadakan oleh kelompok tani di desa bocek yaitu kelompok tani mekarsari
untuk saling membantu antara petani dalam mengelola lahan pertanian mereka
sekaligus berbagi dan bertukar informasi mengenai teknik bercocok tanam
yang baik dan/atau cara menyelesaikan masalah atau hambatan dalam proses
produksi. Dalam kegiatan mingguan tersebut juga disertakan berbagai aspek
budaya yang mulai ditinggalkan seperti mengadakan rembung desa, ataupun
musyawarah dalam membahas berbagai permasalahan yang ada di desa bocek
serta dapat pula dilakukan dengan hiburan berupa tari-tarian ataupun lagu
daerah yang masih kental dengan nilai-nilai budayanya.

12
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dampak positif sebagai akibat dari perkembangan Globalisasi dan modernisasi
pertanian adalah seperti, Perkembangan penyediaan saprodi (sarana produksi)
pertanian di desa Bocek seperti benih/bibit dan pestisida semakin mudah di
dapatkan oleh masyarakat, perkembangan penyediaan alsitan (alat dan mesin
pertanian) di desa Bocek, semakin mudah untuk diakses masyarakat,
Perkembangan kelompok tani di desa Bocek yang semakin berkembang dari tahun-
ketahun, perkembangan Lembaga kredit keuangan yang memudahkan para petani,
dan perkembangan kegiatan pemasaran hasil pertanian di desa Bocek semakin
mudah terutama bagi para petani yang tergabung dalam KUD. Sedangkan dampak
negatif dari globalisasi dan modernisasi pertanian di desa Bocek adalah seperti,
perkembangan cara atau sistem pengadaan tenaga kerja di desa Bocek untuk sistem
tolong-menolong atau gontong royong sudah mulai ditinggalkan, membanjirnya
produk pertanian impor, semakin jelas terlihatnya Stratafikasi sosial pada
masyarakat petani di desa Bocek, merosotnya nilai-nilai tradisional dan
normanorma kekeluargaan, dan menumbuhkan ketergantungan pemerintah daerah
dalam perencanaan pembangunan. Berdasarkan Dampak positif dan Negatif yang
diakibatkan oleh Globalisasi dan Modernisasi penulis menawarkan solusi untuk
mengurangi dampak negatif yang diakibatkannya seperti , menerapkan konsep
COMINGCALCUS dan mengadakan kegiatan bakhti sosial dan/atau gontong
royong setiap minggu yang diadakan oleh kelompok tani di desa bocek yaitu
kelompok tani mekarsari.
4.2 Saran
Globalisasi dan Modernisasi pertanian merupakan dua proses perkembangan
jaman yang tidak dapat dihindari, oleh karena masyarakat dan pemerintah harus
saling bekerja sama dalam memaksimalkan berbagai dampak positif yang
diakibatkannya dan mengurangi seminimal mungkin dampak negatif yang
dihasilkannya, sehingga pertanian di Indonesia umumnya, dan desa Bocek
khususnya dapat berjalan dengan sustainable dan dapat terwujudnya kemandirian
serta ketahanan pangan di Indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai