Anda di halaman 1dari 29

KARAKTERISASI STEAK DAGING DENGAN SUBTITUSI

TVP (TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN) MOLEF


(MODIFIED LEGUME FLOUR) KORO PEDANG
(CANAVALIA ENSIFORMIS L.)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:
Vania Dyta Pramita
NIM 141710101007

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit degeneratif hingga saat ini telah menjadi penyebab kematian
terbesar di dunia. Menurut WHO dalam Handajadi (2010), hampir 17 juta orang
meninggal lebih awal setiap tahun akibat penyakit degeneratif yang disebabkan
oleh meningkatnya pola konsumsi masyarakat terhadap makanan yang
mengandung kolesterol dalam jumlah tinggi (Watanabe dkk., 2004; Krisnatuti,
2008). Salah satu makanan modern yang menyebabkan kolesterol yang saat ini
sangat digemari oleh masyarakat yaitu steak daging karena selain memiliki
citarasa yang nikmat serta tekstur daging yang padat, steak daging merupakan
makanan yang cepat saji dan praktis (Disti, 2007). Prima (2008) mencatat setiap
tahun masyarakat Indonesia membutuhkan sekitar 350.000 sampai 400.000 ton
daging sapi dan masih mengimpor sekitar 30% daging sapi. Adanya permasalahan
ini WCRF & AICR (2009) membuat rekomendasi agar masyarakat mengurangi
konsumsi daging merah menjadi <500g/minggu untuk menekan dan mencegah
terjadinya penyakit degeneratif.
Salah satu upaya untuk mengurangi penggunaan daging sapi yaitu dengan
menciptakan daging tiruan sebagai subtitusi steak daging sapi yang saat ini sangat
digemari oleh masyarakat. Daging tiruan memiliki nilai tambah serta memiliki
sifat fungsional dibandingkan dengan daging sapi karena kandungan lemak tidak
jenuhnya cukup tinggi, tanpa kolesterol dan harga lebih murah dibandingkan
dengan daging sapi (Bunge, 2001). Daging tiruan dapat diciptakan menggunakan
bahan-bahan nabati yang berasal dari tepung termodifikasi dari koro pedang dan
diproses menjadi TVP (Texturized Vegetable Protein) dengan diberi tambahan
isolat protein kedelai sebagai sumber protein, kemudian diaplikasikan pada
produk pangan sebagai subtitusi steak daging sapi.
Biji koro pedang memiliki kandungan protein yang tinggi sekitar 18-25%,
kandungan lemaknya 0,2-3,0% dan kandungan karbohidratnya relatif tinggi 50-
60%. Koro pedang dapat diolah menjadi tepung termodifikasi atau molef untuk
meningkatkan nutrisi dan sifat fungsionalnya (Subagio dkk., 2002). Molef
mempunyai sifat fungsional teknis yang baik, meliputi daya serap air, daya serap
minyak, aktivitas emulsi, dan stabilitas emulsi. Daya cerna proteinnya sebanding
dengan isolat protein kedelai (Nafi’, 2005). Molef koro pedang mengandung
protein 29,01%, karbohidrat 57,50% dan lemak 2,14%. Kandungan protein yang
tinggi pada molef koro pedang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan TVP
(Texturized Vegetable Protein) yang berpotensi sebagai pengganti protein hewani
dalam bahan pangan yang teksturnya menyerupai daging (Muchtadi dkk., 1988).
Hingga saat ini belum ada penelitian yang membahas tentang daging tiruan
sebagai subtitusi steak daging sapi. Penelitian yang telah dilakukan mengenai
steak daging yaitu tentang pengaruh lama pemanggangan dalam microwave
terhadap kualitas fisik steak daging ayam (Nazhar, 2012). Maka dari itu perlu
dilakukan penelitian pada pembuatan steak daging sapi dengan subtitusi TVP
(Texturized Vegetable Protein) Molef (Modified Legume Flour) Koro Pedang
untuk menghasilkan steak daging dengan karakteristik fisik, kimia dan
organoleptik yang baik sehingga dapat menjadi salah satu alternatif untuk
mengurangi penggunaan daging sapi dalam olahan bahan pangan.

1.2 Rumusan Masalah


Penyakit degeneratif hingga saat ini menjadi penyebab kematian terbesar
di dunia. Salah satu penyebab penyakit degeneratif adalah mengkonsumsi
makanan mengandung kolesterol dalam jumlah tinggi, antara lain makanan
berbasis daging. Maka dari itu perlu adanya alternatif dalam mengurangi
konsumsi daging sapi yaitu menciptakan steak daging dengan subtitusi TVP
(Texturized Vegetable Protein) Molef (Modified Legume Flour) Koro Pedang.
Formulasi penggunaan TVP (Texturized Vegetable Protein) Molef (Modified
Legume Flour) Koro Pedang pada steak daging masih belum diketahui sehingga
perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan karakteristik fisik, kimia dan
organolepik steak daging yang baik.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui formulasi yang tepat dalam pembuatan steak daging
dengan subtitusi TVP Molef Koro Pedang.
2. Untuk mengetahui mutu fisik, kimia dan organoleptik steak daging dengan
subtitusi TVP Molef Koro Pedang.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi penggunaan daging sapi pada produk steak
2. Meminimalisir konsumsi daging sapi
3. Meningkatkan pemanfaatan koro pedang pada produk olahan
4. Meningkatkan nilai ekonomis koro pedang
5. Memberikan informasi tentang inovasi olahan daging analog sebagai subtitusi
daging sapi
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Steak Daging


Steak daging yang dikenal oleh konsumen adalah steak daging sapi atau
bistik (beef steak). Bistik dibuat dari potongan daging yang berasal dari urat
daging longissimus dorsi (LD) dan dibuat menyerupai steak. Urat daging LD
yang dihasilkan oleh daging sapi sangat besar dan panjang dan sangat cocok untuk
pembuatan bistik. Pada ternak lain otot LD kecil bahkan hampir tidak ada
sehingga sangat sulit untuk dibuat steak (Erwin H.B. Sondakh, 2013). Steak pada
umumnya dipotong tegak lurus serta penyajiannya dengan cara dipanggang dan
dihidangkan dalam waktu singkat. Masyarakat yang mengkonsumsi steak
biasanya masyarakat yang tidak memiliki waktu untuk memasak atau
menyediakan makanan sendiri (Rahardjo dkk., 1995).

Gambar 2.1.a Steak Daging


Daging steak tidak terbatas hanya pada daging sapi (beef steak) saja, tetapi
juga bisa dari daging domba, kambing atau ayam (chicken steak) bahkan dari
aneka hasil laut (seafood) seperti ikan, udang, kerang, cumi dan sebagainya
(Johannes dalam Wed, 2004; Disti, 2007).
Nurcahyo (2005) menjelaskan bahwa ada beberapa jenis steak daging sapi,
antara lain:
a. Sirloin
Daging sirloin berasal dari bagian belakang sapi. Daging ini bekerja lebih
berat daripada bagian lain yang umum dipakai untuk pembuatan steak
sehingga teksturnya agak lebih keras dibandingkan lainnya dan memiliki
ukuran yang lebih besar daripada bagian sapi lainnya yang lebih lembut.
Harga sirloin umumnya lebih murah dibandingkan daging steak lainnya.
b. Tenderloin/filet mignon
Tenderloin berasal dari loin yang berada di depan sirloin dan di belakang
tulang rusuk (rib). Daging tenderloin tidak bekerja keras sehingga
tenderloin adalah bagian sapi yang paling lembut. Tenderloin berbentuk
memanjang seperti ular, biasanya dipotong secara diagonal untuk
pembuatan steak.
c. Top loin/striploin
Daging sapi yang membungkus bagian tenderloin. Tpo loin/striploin
memiliki tekstur lebih lembut daripada sirloin, tetapi lebih keras daripada
tenderloin.
Tabel 1.1 Komposisi daging sapi per 100 gram bahan
Komponen Jumlah
Kalori (kal) 207,00
Protein (g) 18,80
Lemak (g) 14,00
Karbohidrat (g) 0
Kalsium (mg) 11,00
Fosfor (mg) 170,00
Besi (mg) 2,80
Vitamin A (SI) 30,00
Vitamin B1 (mg) 0,08
Vitamin C (mg) 0
Air (g) 66,00
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) dalam Soputan
(2004).
Kualitas steak yang baik dihasilkan dari pemilihan bahan baku yang
digunakan, pengempukan daging, pengemasan daging dan penyimpanan daging
(Yahyono, 2009). Kualitas steak dipengaruhi oleh kualitas daging serta metode
pemasakan yang digunakan. Lama pemasakan juga dapat menentukan kualitas
fisik daging seperti tekstur, pH, kekuatan tarik, DIA atau WHC, susut masak dan
organolaptik (Soeparno, 2005). Steak yang bermutu baik dapat dilihat dari
berbagai atribut diantaranya yaitu aroma, rasa, penyajian, dan harga. Apabila
penilaian tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen, maka produk
steak tersebut dapat dikategorikan steak yang bermutu baik dan sebaliknya jika
penilaian tentang mutu produk steak tidak sesuai dengan yang diharapkan
konsumen, maka produk steak tersebut dapat dikategorikan produk yang tidak
bermutu baik (Disti, 2007).
Ada tiga jenis tingkat kematangan pada pemasakan steak yaitu setengah
matang (rare) sebagian besar masih berwarna merah dan suhu daging ketika
selesai dimasak sekitar 60 derajat celcius. Steak yang matang (medium) yaitu
bagian tengah masih berwarna merah dan sisinya berwarna merah muda. Suhu
daging ketika selesai dimasak sekitar 70 derajat celcius. Steak yang matang sekali
(welldone) yaitu tidak memiliki warna merah dan biasanya para penggemar steak
tidak menginginkan tingkat kematangan welldone. Suhu daging steak ketika
selesai dimasak sekitar 80 derajat celcius. Steak yang dimasak pada kondisi ini
lebih keras daripada medium atau rare karena kandungan air di dalam steak akan
lebih banyak menguap (Disti, 2007).

2.2 Koro Pedang


Koro pedang (Canavalia ensiformis L.) merupakan tanaman kacang-
kacangan yang secara turun-temurun telah dibudidayakan di Indonesia dan dapat
menggantikan kedelai yang saat ini sebagian besar masih diimpor. Koro pedang
secara luas ditanam di Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk di Indonesia,
wilayah Jawa Tengah. Pada tahun 2010-2011 tercatat dari lahan seluas 24 Ha di
12 kabupaten di Jawa Tengah telah menghasilkan 216 ton koro pedang setiap
panen (Newman dkk., 1987; Dakornas, 2012; Bressani dan Sosa dalam Ma’rifat,
2014).
Taksonomi tanaman koro pedang biji putih adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Canavalia
Species : Canavalia ensiformis L.
Sumber: Heyne (1987)
Biji koro pedang mengandung protein yang cukup tinggi sekitar 18-25%,
kandungan lemaknya 0,2-3,0% dan kandungan karbohidratnya relatif tinggi 50-
60% (Subagio dkk, 2002; Van Der Mesendan Somaatmadja, 1993). Biji koro
pedang memiliki potensi yang sangat besar menjadi produk pangan karena
memiliki kandungan gizi yang baik, sumber vitamin B1, mineral dan serat pangan
yang penting bagi kesehatan, namun biji koro pedang tidak dapat dimakan secara
langsung karena akan menyebabkan pusing (Gilang, dkk., 2013; Sudiyono, 2010;
Newman dkk., 1987).

Gambar 2.2.a Tanaman Koro Pedang

Gambar 2.2.b Biji Koro Pedang


Koro pedang mengandung senyawa antigizi yang berbahaya apabila
dikonsumsi, maka dari itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki karakteristik fisik dan mengurangi senyawa antigizi koro pedang
melalui proses modifikasi tepung koro pedang (Alsuhendra dan Ridawati, 2009).
Koro pedang diolah menjadi tepung termodifikasi untuk meningkatkan nutrisi dan
sifat fungsionalnya seperti daya ikat air, daya serap minyak, daya emulsi dan
stabilitas emulsi yang baik (Subagio dkk., 2002; Kurniana, 2015). Koro pedang
dapat diolah menjadi beberapa produk pangan olahan seperti tepung koro
pedang, cake, cookies, kerupuk koro pedang, dan tempe koro pedang (Sri Budi
Wahjuningsih dan Wyati Saddewisasi, 2013).

2.3 Isolat Protein Kedelai


Isolat protein yaitu produk pekatan protein yang memiliki sifat lemak yang
rendah yang diolah sehingga kandungan proteinnya tinggi. Kandungan protein
pada isolat sebesar 90%. Isolat protein yang sering ditemui yaitu isolat yang
terbuat dari biji kedelai (Kurniati, 2009). Menurut Subagio dkk., (2003) bahwa
isolat protein hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat
fungsional dari isolat protein jauh lebih baik. Menurut Suseno (2016) isolat
protein kedelai digunakan sebagai ingredient pada berbagai produk olahan seperti
sosis, nugget, susu formula, hingga biskuit.
Tabel 2.1 Komposisi Isolat Protein Kedelai per 28 gram
Komponen Komposisi
Protein (g) 25
Lemak total (g) 1
Lemak jenuh (g) 0
Lemak trans (g) 0
Kolesterol (mg) 0
Karbohidrat total (g) 0
Serat (g) 0
Gula (g) 0
Natrium (mg) 300
Kalium (mg) 30
Sumber: Puritan’s Pride (2014)
Isolat Protein Kedelai (IPK) adalah produk protein kedelai yang memiliki
protein paling sedikit yaitu 90% (berat kering). Isolat Protein Kedelai (IPK)
banyak diaplikasikan pada industri pangan. Isolat Protein Kedelai (IPK) penting
bagi industri pangan karena memiliki nilai gizi dan sifat fungsional yang
diinginkan oleh industri pangan (Chen dkk., 2011). Isolat Protein Kedelai (IPK)
digunakan sebagai ingredient pada berbagai produk olahan seperti sosis, nugget,
susu formula, hingga biskuit. Keberadaan protein alergen pada kedelai dapat
membatasi penderita alergi untuk mengonsumsi produk olahan yang mengandung
kedelai. Sifat fungsional protein IPK menentukan pemakaian atau fungsi produk
tersebut dalam berbagai produk makanan (Messina dan Redmond, 2006).
Beberapa fungsi dari isolat protein kedelai dalam olahan daging antara lain
penyerapan dan pengikat lemak, pembentuk dan menstabilkan emulsi lemak,
pengikat flavor, dan membuat ikatan disulfida. Fungsi isolat tersebut berkaitan
dengan kuantitas air yang terikat bersama dengan protein dalam emulsi produk.
Jumlah protein yang ditambahkan pada produk akan berdampak pada jumlah air
yang terikat dalam matriks protein-air atau matriks emulsi yang ditandai dengan
peningkatan nilai water holding capacity (WHC) (Bahnol dan El-Aleem, 2004).

2.4 Molef (Modified Legume Flour) Koro Pedang


Molef (Modified Legume Flour) koro pedang adalah tepung yang terbuat
dari biji koro pedang yang diolah dengan proses fermentasi. Proses fermentasi
pada pembuatan molef koro pedang bertujuan untuk mendapatkan tepung yang
memiliki sifat fungsional serta sifat nutrisi yang berkualitas baik (Aisah, 2015).
Pembuatan molef koro pedang termodifikasi dengan cara fermentasi spontan,
seperti yang dijelaskan oleh Ajeng (2013), menyatakan bahwa molef koro pedang
dengan fermentasi spontan dengan perendaman selama 24 jam pada pH 5 dapat
meningkatkan daya cerna protein, kadar asam lemak, vitamin B dan menurunkan
kadar senyawa anti gizi. Molef juga mempunyai sifat fungsional teknis yang baik,
meliputi daya serap air, daya serap minyak, aktivitas emulsi, dan stabilitas emulsi.
Daya cerna proteinnya sebanding dengan isolat protein kedelai (Nafi’, 2005).
Adanya peningkatan kandungan protein dalam molef koro pedang dapat
digunakan sebagai bahan pengganti protein hewani dalam produk daging
(Kurniana, 2015; Antony dan Chandra 1998).
Menurut Rahayu (2001) bakteri asam laktat (BAL) tumbuh pada suhu
optimum ±40oC dengan lingkungan yang tidak memiliki O2. Bakteri asam laktat
(BAL) merupakan kbakteri gram positif yang mampu menghasilkan senyawa-
senyawa yang dapat memberikan rasa dan aroma spesifik pada makanan
fermentasi. Achmad dkk., (2012) menyatakan bahwa selama proses fermentasi
bakteri asam laktat (BAL) akan memproduksi asam laktat yang berperan penting
dalam aktivitas antimikroba sehingga menyebabkan pH pada makanan hasil
fermentasi rendah.
Molef koro pedang mengandung protein 29,008%, karbohidrat 57,496%,
air 9,163%, abu 2,193% dan lemak 2,139% (Kurniana, 2015). Kandungan gizi
yang baik pada molef koro pedang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan TVP
(Texturized Vegetable Protein) (Lisa, 2010). Salah satu bahan pangan yang
memiliki kandungan protein tinggi yang berpotensi menjadi pengganti protein
hewani dalam bahan pangan yaitu koro pedang yang, sehingga koro pedang dapat
diolah menjadi tepung termodifikasi atau Molef (Modified Legume Flour) sebagai
bahan dalam pembuatan TVP (Texturized Vegetable Protein) (Muchtadi et al.,
1988).

2.5 TVP (Texturized Vegetable Protein)


TVP (Texturized Vegetable Protein) adalah salah satu produk meat analog
yang dibuat dengan memodifikasi struktur protein nabati sehingga teksturnya
menyerupai daging. Protein TVP (Texturized Vegetable Protein) dapat
memperbaiki sifat emulsi, stabilitas emulsi, tekstur dan peningkatan daya rehidrasi
(Lisa, 2010). Manfaat yang diharapkan dari pembuatan meat analog yaitu
memiliki harga yang lebih rendah dengan karakteristik gizi dan daya cerna yang
sebanding dengan daging asli, tidak membutuhkan kondisi penyimpanan yang
sekompleks daging asli, memudahkan dalam pengolahan dan penyimpanan serta
kualitas produk yang lebih baik (Horan, 1974).
Sumber pembuatan TVP (Texturized Vegetable Protein) adalah protein
globulin dari kacang-kacangan dalam bentuk tepung, konsentrasi atau isolat. Salah
satu bahan pangan yang memiliki kandungan protein tinggi yang berpotensi
menjadi pengganti protein hewani dalam bahan pangan yaitu koro pedang (Lisa,
2010). TVP (Texturized Vegetable Protein) memiliki kadar air 5-7% dan bila
sudah direhidrasi akan mekar. Daging tiruan memiliki kandungan lemak tidak
jenuhnya cukup tinggi, tanpa kolesterol dan harga lebih murah dibandingkan
dengan daging asli. Daging tiruan dapat dibuat menggunakan bahan-bahan nabati
dengan diproses menjadi TVP (Texturized Vegetable Protein) (Bunge, 2001).
Bahan-bahan lain yang ditambahkan dalam proses pembuatan TVP adalah
bahan-bahan yang berfungsi untuk mempertinggi sifat fungsional protein,
penampakan, serta nilai nutrisi lainnya seperti pewarna, pemberi flavor, vitamin,
mineral, dan protein (Hartman, 1966). Penambahan bahan pembentuk tekstur dan
flavor sangat penting karena akan membentuk tekstur dan flavor produk akhir
agar produk tersebut dapat diterima oleh konsumen (Horan, 1974).

2.6 Karakteristik TVP (Texturized Vegetable Protein)


Beberapa karakteristik TVP (Texturized Vegetable Protein) memiliki
kemiripan fungsional dengan daging asli seperti dalam tekstur, flavour atau
warna. TVP (Texturized Vegetable Protein) dibuat untuk mendapatkan manfaat
yang lebih baik daripada daging asli. TVP (Texturized vegetable protein) dapat
menggantikan atau dapat sebagai subtitusi dalam pangan olahan daging (Lisa,
2010). Tekstur TVP (Texturized Vegetable Protein) menyerupai keempukan dan
flavor daging hewani namun tidak mengandung kolesterol (Anjum dkk., 2011).
TVP (Texturized Vegetable Protein) umumnya dibuat dari biji kedelai
yang diolah melalui proses penghilangan lemak, kemudian dimasak di bawah
tekanan, diekstruksi dan dikeringkan (Cuptapun dkk., 2013). Produk TVP dapat
diaplikasikan pada pembuatan sosis, hamburger, daging cacah, daging rendang,
bakso serta dalam bentuk bacon dan bistik (Syapri, 2010).
Tabel 2.2 Komposisi kimia TVP komersil (The Solae Company Ind. E Com. De
Alimentos LTDA – Esteio, RS, Brasil)
Komponen Jumlah (%)
Protein 50
Air 6
Abu 4
Serat 20
Lemak 0
Karbohidrat 20
Sumber: Cassini dkk., (2006)
2.7 Proses Pembuatan TVP (Texturized Vegetable Protein)
Santoso (2005) menjelaskan pada proses pembuatan daging analog
dimulai dengan pembuatan adonan dengan penambahan air lalu pada adonan
dilakukan penambahan bahan penstabil, bahan pengikat, cita rasa, pewarna serta
natrium bikarbonat sehingga pH adonan sekitar 7,3-7,5. Adonan kemudian
lewatkan pada peralatan dengan lubang-lubang berdiameter 1 mm dan bertekanan
tinggi sehingga terbentuk serabut-serabut. Proses terakhir yang dilakukan yaitu
pengeringan hingga kadar air mencapai sekitar 5-7%. Adapun tahapan proses
pengolahan TVP dengan ekstuksi sebagai berikut:
a. Pra Ekstruksi
Pencampuran bahan sesuai dengan formulasi bahan TVP yang akan
diekstruksi dan penambahan air berkisar 30-40% berdasarkan bahan TVP yang
akan digunakan. Penambahan air pada adonan mentah TVP harus tercampur
dengan merata, apabila penambahan air tidak merata dapat mengakibatkan kondisi
ekstruksi yang sulit diprediksi sehingga akan menghasilkan produk TVP yang
tidak konsisten. Penambahan air dapat mempengaruhi tingkat kelembaban TVP
saat pencampuran awal dan tekstur produk akhir yang diinginkan.
b. Proses Ekstruksi
Proses eksruksi dilakukan dengan menggunakan mesin ekstruder. Pada
mesin ekstruder terjadi proses penekanan adonan secara paksa melalui ujung
keluaran, pengadukan adonan sehingga menghasilkan adonan yang lebih
homogen, serta pengaturan kecepatan produksi dan mutu produk. Produk yang
telah melalui proses ekstruksi pada mesin ekstruder disebut ekstrudat.
c. Proses Setelah Ekstruksi
TVP yang telah berbentuk ekstrudat kemudian dilakukan proses
pengeringan. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga produk
TVP bersifat keras dan memiliki daya simpan yang lama.
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Hasil Pertanian
dan Kimia Biokimia Hasil Pertanian, Laboratorium Mikrobiologi Pangan dan
Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Jember. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2018 hingga selesai.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian


3.2.1 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu koro pedang
(Canavalia ensiformis L.) diperoleh dari Asosiasi Tani Hutan Rakyat Indonesia
(ATHRI), Asam sitrat, NaOH, NaCl, Aqudest, Daging sapi sirlion diperoleh dari
Pasar Tanjung, Isolat protein kedelai, minyak Bimoli, Sodium Dodesil Sulfat
(SDS) 0,1%.
3.2.2 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah oven, blender merk
philip, ayakan tyler 80 mesh, pisau, food processor phillip, colour reader merk
minolta (CR-10), botol timbang, cawan pengabuan, tanur merk naberthem,
deksikator, sohxlet merk pyrec, rheotex tipe SD-700, kompor merk rinnai, neraca
analitik merk Ohaus, alat-alat gelas pyrex, spatula kaca, beaker glass, erlenmeyer,
dan labu kjeldahl merk Buchi.

3.3 Rancangan Penelitian


3.3.1 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dimulai dari penelitian pendahuluan yaitu pembuatan molef
koro pedang yang kemudian digunakan untuk pembuatan TVP koro pedang. TVP
Molef koro pedang kemudian digunakan sebagai bahan dalam pembuatan steak
daging yang ditambahkan dengan isolat protein kedelai. Steak daging yang
diformulasi dengan TVP koro pedang kemudian dianalisis kandungan kimia
(kadar protein), fisik (tekstur dan warna) dan organoleptik (tekstur, warna, dan
kesukaan keseluruhan).
Koro pedang

Pembuatan molef koro pedang

Molef koro pedang

Isolat protein
kedelai Pembuatan TVP Koro Pedang

TVP Koro Pedang

Daging sirlion Formulasi (TVP:daging)

Steak daging TVP


Molef Koro
PEdang
Karakterisasi kimia, fisik dan organoleptik
Gambar 3.3.1 Diagram alir rancangan penelitian
3.3.2 Pembuatan Molef Koro Pedang
Biji koro pedang diretakkan hingga biji koro pedang pecah, hal ini
bertujuan agar kulit biji koro pedang tidak menghambat fermentasi. Biji retak
tersebut direndam dalam larutan asam sitrat dan diukur larutannya hingga pH 5
kemudian diinkubasi suhu 37oC selama 24 jam. Fermentasi dihentikan dengan
pencucian dan perendaman NaCl 10% dengan perbandingan bahan dan air 1:3 b/v
selama 15 menit. Biji koro pedang kemudian dicuci sebanyak dua kali untuk
menghilangkan NaCl yang tersisa dan dilakukan penggilingan basah untuk
memperkecil ukuran agar mempermudah proses pengeringan. Pengeringan
dilakukan menggunakan sinar matahari selama 1 jam kemudian dilanjutkan
pengeringan dengan oven suhu 60oC selama 24 jam untuk mengurangi kadar air
bahan. Langkah berikutnya koro pedang yang telah dioven digiling kembali
dengan blender untuk memperkecil ukuran agar memudahkan dalam proses
pengayakan. Koro pedang yang telah diblender kemudian diayak dengan ukuran
70 mesh untuk menyeragamkan ukuran serta penyesuaian dengan spesifikasi
kehalusan tepung (Nafi’ dkk., 2015).

Koro pedang

Peretakan

Perendaman dalam larutan asam sitrat pH 5

Inkubasi 37ºC, 24 jam

Air Pencucian Limbah cair

NaCl 10% Perendaman 15 menit

Air Pencucian 2 kali Limbah cair

Penggilingan basah

Pengeringan: 1. Menggunakan sinar matahari 1 jam


2. Menggunakan oven 60ºC, 24 jam

Penggilingan

Pengayakan

Molef koro pedang


Gambar 3.3.2 Diagram Alir pembuatan molef koro pedang
3.3.3 Pembuatan TVP Koro Pedang
Tahap awal dalam pembuatan TVP koro pedang yaitu molef koro pedang
dilakukan penimbangan kemudian ditambahkan dengan isolat protein kedelai dan
air kemudian dilakukan pencampuran hingga homogen. Pembuatan dan
pencetakan adonan dilakukan di dalam ekstruder sehingga akan dihasilkan
ekstrudat TVP. Ekstrudat TVP kemudian dilakukan pengukusan selama 20 menit
agar tergelatinisasi. Langkah terakhir yaitu dilakukan pengeringan menggunakan
oven suhu 50oC untuk mengurangi kadar air.

Molef koro pedang

Penimbangan
Penambahan isolat protein
kedelai 60% dan air 40% Pencampuran

Pembuatan adonan

Pencetakan

Pengukusan, 20 menit

Pengeringan 50oC, 16 jam

TVP koro pedang

Gambar 3.3.3 Diagram alir pembuatan TVP Koro Pedang


3.3.4 Pembuatan Steak Daging TVP Molef Koro Pedang
Tahap awal dalam pembuatan steak daging TVP Molef koro pedang yaitu
dilakukan pencucian daging sapi sirlion menggunakan air hingga bersih kemudian
dilakukan pemotongan untuk mempermudah dalam proses penggilingan. Daging
yang telah dipotong kemudian dilakukan penggilingan menggunakan food
processor. Langkah berikutnya yaitu penimbangan kembali kemudian dilanjutkan
pembuatan formulasi masing-masing perlakuan sebanyak 4 kali ulangan
kemudian dilakukan pencetakan.
Daging sapi sirlion
80%, 60%, 40%, 20%

Pencucian

Pemotongan

Penggilingan

Penimbangan

TVP Molef koro pedang


Pencampuran (A1, A2, A3, A4)
20%, 40%, 60%, 80%

Pencetakan

Steak daging TVP


Molef koro pedang

Gambar 3.3.5 Diagram alir pembuatan steak daging TVP Molef Koro Pedang

3.4 Rancangan Percobaan


Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
empat kali ulangan. Perlakuan formulasi yang diberikan pada pembuatan steak
daging TVP Molef koro pedang yaitu:
A1 : 100% TVP molef koro pedang + 0% daging sapi sirlion
A2 : 80% TVP molef koro pedang + 20% daging sapi sirlion
A3 : 60% TVP molef koro pedang + 40% daging sapi sirlion
A4 : 40% TVP molef koro pedang + 60% daging sapi sirlion
3.5 Parameter Pengamatan
3.5.1 Sifat Kimia
a. Kadar air (Sudarmadji et al.1997)
b. Kadar protein (AOAC, 2005)
c. Kadar lemak (AOAC, 2005)
d. Kadar abu (AOAC, 2005)
e. Kadar karbohidrat (carbohydrate by difference)
3.5.2 Sifat Fisik
a. Tekstur (Rheotex)
b. Warna (Colour Reader, Subagio dan Morita, 1997)
3.5.3 Uji Organoleptik menggunakan Uji Hedonik
a. Rasa (Mabesa, 1986).
b. Warna (Mabesa, 1986).
c. Tekstur (Mabesa, 1986).
d. Kesukaan (Mabesa, 1986)
e. Uji Gigit (Suzuki 1981)
3.5.4 Nilai Efektivitas (De Garmo dkk., 1994)

3.6 Prosedur Analisa


3.6.1 Analisa Kadar Air (Sudarmadji et al. 1997)
Sampel dilakukan penimbangan 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam
cawan petri yang telah dikeringkan di dalam oven suhu 100-105oC selama 3-5 jam
kemudian didinginkan di dalam deksikator selama 3-5 menit lalu dilakukan
penimbangan. Perbedaan berat sebelum dan sesudah pengeringan dilakukan
perhitungan dengan menggunakan persamaan yaitu:
(b − c)
% kadar air (wb %) = x 100%
(b − a)
3.6.2 Analisa Kadar Protein (AOAC, 2005)
Kadar protein ditentukan menggunakan metode mikro kjeldahl. Langkah
pertama yaitu dilakukan penimbangan sampel sebanyak 0,5 gram kemudian
pemasukan ke dalam labu kjeldahl dan ditambahkan 10 ml H 2SO4 dan selenium.
Destruksi selama 60 menit kemudian dilakukan penambahan 50 ml aquades.
Larutan destilasi dan destilat kemudian ditampung ke dalam erlenmeyer berisi
30ml larutan asam borat 4% dan beberapa tetes indikator metil biru dan metil
merah (MM dan MB). Titrasi dengan larutan HCl 0,01 N hingga berubah warna
menjadi ungu. Blanko diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa
menggunakan sampel dan diganti dengan aquades.
(ml HCl − ml blanko)
% kadar protein = x N HCl x 100% x14,008
(g x 1000)
Kadar protein = kadar nitrogen x FK
Faktor koreksi (FK) = 6,25
3.6.3 Analisa Kadar Lemak (AOAC, 2005)
Kadar lemak ditentukan dengan menggunakan metode soxhlet yaitu lemak
yang terdapat dalam sampel diesktrak dengan menggunakan pelarut lemak non
polar. Labu lemak dioven suhu 100-105oC selama 30 menit kemudian didinginkan
di dalam deksikator untuk menghilangkan uap air dan dilakukan penimbangan
(A). Sampel dilakukan penimbangan 1 gram (B) dibungkus dengan krtas saring,
ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet
yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dioben dan diketahui
bobotnya. Langkah berikutnya yaitu penuangan pelarut heksan atau pelarut lemak
lainnya hingga sampel terendam dan dilakukan refluks atau ekstraksi lemak
selama 5-6 jam (hingga pelarut lemak yang turun ke labu lemak berwarna jernih).
Pelarut lemak yang telah digunakan kemudian disuling dan ditampung kemudian
ekstrak lemak yang ada dalam labu lemak dikeringkan dalam oben suhu 100-
105oC selama 1 jam. Kemudian labu lemak didinginkan dalam deksikator dan
ditimbang (C). Pengeringan labu lemak diulangi hingga diperoleh bobot yang
konstan.
(C − A)
% kadar lemak = x 100%
(B)
3.6.4 Analisa Kadar Abu
Prosedur kerja pengukuran kadar abu yaitu cawan pengabuan dibakar di
dalam tanur kemudian didinginkan 3-5 menit kemudian dilakukan penimbangan
kurang lebih 5 gram sampel yang telah dihomogenkan dalam cawan. Langkah
berikutnya dimasukkan ke dalam cawan pengabuan kemudian dimaksukkan ke
dalam tanur dan dibakar hingga didapatkan abu berwarna abu-abu atau hingga
beratnya konstan. Cawan yang telah dibakar kemudian didinginkan 3-5 menit lalu
bahan ditimbang kembali hingga diperoleh berat yang tetap.
(C − A)
% kadar abu = x 100%
(B − A)
3.6.5 Analisa Kadar Karbohidrat (Carboydrate by Difference)
Kadar karbohidrat by difference dihitung sebagai selisih 100 dikurangi
kadar air, kadar abu, protein dan lemak.
% kadar karbohidrat = 100% - (% kadar air +% kadar protein + % kadar lemak
+ % kadar abu)
3.6.6 Analisis Warna (Colour Reader tipe CR-10), (Hutching, 1999)
Pengukuran warna dilakukan dengan Colour Reader tipe CR-10.
Pengukuran perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel
pembacaan dilakukan pada 5 titik sampel kemudian meletakkan lensa pada
porselin standar secara tegak lurus dan menekan tombol “Target” maka muncul
nilai pada layar (L, a, b) yang merupakan nilai standarisasi. Pembacaan hasil
pengukuran sampel dengan kembali menekan tombol “Target” sehingga muncul
nilai dE, dL, dad, dan db. Nilai pada standar porselin diketahui L = 94,35, a = -
5,75, b = 6,51, sehingga dapat menghitung L, a, b dari sampel.
Rumus:
L = standart L + dL
a = standart a + da
b = standart b + db
3.6.7 Analisa Tekstur (Rheotex)
Pengukuran tekstur dilakukan menggunakan Rheotex. Bahan dilakukan
pengirisan dengan ketebalan yang sama antara 1,5–2 cm. kemudian menyalakan
power dan mengatur arak jarum Rheotex menembus steak daging 3,5 mm,
kemudian sampel diletakkan pada Rheotex tepat dibawah jarum Rheotex. Tekan
tombol start dan tunggu hingga jarum menusuk sampel hingga kedalaman 3,5 mm
dan ditunggu hingga sinyalnya mati maka skala dapat terbaca (x). Pengukuran
diulangi sebanyak 5 kali pada titik yang berbeda dan nilai yang didapatkan dirata-
rata. Semakin besar nilai yang didapat maka teksturnya akan semakin keras.
3.6.8 Uji Organoleptik (Uji Hedonik)
Uji organoleptik ditentukan dengan menggunakan uji hedonik. Uji
organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap
suatu produk. Pengujia dilakuka dengan meletakkan sampel uji dalam wadah yang
seragam dan diberi kode acak dan disajikan kepada panelis. Panelis diminta
memberikan penilaian kesukaan terhadap sampel yang disajikan sesuai dengan
masing-masing parameter yang telah ditentukan. Panelis yang dibutuhkan untuk
uji organoleptik adalah 25 orang untuk memberikan penilaian terhadap rasa,
warna, tekstur dan kesukaan secara keseluruhan dari sampel dengan skala numerik
sebagai berikut:
1 = sangat tidak suka 3 = agak suka 5 = sangat suka
2 = tidak suka 4 = suka
3.6.9 Uji Gigit (Suzuki 1981)
Uji gigit adalah taksiran secara obyektif dari panelis terhadap produk.
Panelis yang melakukan pengujian sebanyak 30 orang. Pengujian dilakukan
dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji
memiliki ketebalan 5 mm. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut:
10 : Amat sangat kuat 5 : Agak lunak
9 : Sangat kuat 4 : Lunak
8 : Kuat 3 : Sangat lunak
7 : Agak kuat 2 : Amat sangat lunak
6 : Normal 1 : Hancur
3.6.10 Nilai Efektivitas (De Garmo dkk., 1994)
Nilai Efektivitas digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik dengan
memberikan bobot nilai pada masing-masing parameter dengan angka 0-1.
Parameter yang dianalisis dikelompokkan menajdi 2 kelompok yaitu kelompok A
terdiri dari parameter yang semakin tinggi reratanya semakin baik dan kelompok
B terdiri dari parameter yang semakin rendah reratanya semakin baik.
(Nilai perlakukan − nilai terjelek)
Nilai Efektivitas = x bobot normal
(Nilai terbaik − nilai terjelek)

3.7 Analisa Data


Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam
(ANOVA) dengan menggunakan program SPSS 17, apabila terdapat perbedaan
yang signifikan maka uji dilanjutkan menggunakan DMRT (Duncan Multiple
Range Test) dengan tingkat kepercayaan 5%. Penentuan perlakuan terbaik
menggunakan uji nilai efektivitas. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan
selanjutnya dilakukan pembahasan secara deskriptif.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, D. I., Nofiani, R., Dan Ardiningsih, P. 2012. Karakterisasi Bakteri Asam
Laktat Lactobacillus Sp. Red1 Dari Cincalok Formulasi. Jurnal Ilmiah.
Pontianak: Fakultas Mipa Universitas Tanjungpura.

Aisah, R. 2015. Karakteristik Nutrisional Dab Fungsional Tepung Koro Pedang


(Canavalia Ensiformis L.) Terfermentasi Spontan. Skripsi. Jember:
Fakultas Tekologi Petanian Universitas Jember.

AOAC. 2005. Official Method Of Analysis Of The Association Of Official


Analitycal Chemists. 18th Ed. Maryland: AOAC International. William
Harwitz (Ed) United States Of America.

Alsuhendra Dan Ridawati. 2009. Pengaruh Modifikasi Secara Pregelatinisasi,


Asam Dan Enzimatis Terhadap Sifat Fungsional Tepung Umbi Gembili
(Dioscorea Esculenta). Jurnal Ps Tata Boga Jurusan Ikk Unj: 4-5.

Antony, H., Dan Chandra, T. S. 1998. Antinutrient Reduction And Enhancement


In Protein, Starch, And Mineral Availability In Fermented Flour Of Finger
Millet (Eleusine Coracana). Agric. Food Chem 46:2578-2582.

Budi, Sri W., Wyatisaddewisasi. 2013. Pemanfaatan Koro Pedang Pada Aplikasi
Produk Pangan Dan Analisis Ekonominya. Jurnal Riptek. 7(2):1-10

Bunge. 2001. Bunge Alimentos, Proteı´Na Texturizada De Soja, Folheto


Te´Cnico Ingredientes Funcionais.

Cassini, A. S., L.D.F. Marczak A., C.P.Z. Noren. 2011. Water Adsorption
Isotherms Of Texturized Soy Protein. Journal Of Food Engineering 77
194–199.

Dakornas. 2012. Seminar Pengembangan Koro Pedang Di Jawa Tengah Di


Fakultas Peternakan Dan Pertanian. Semarang: Universitas Diponegoro.
De Garmo, E. G., Sullivan, W. G., And Canada. 1994. Enginering Economy. Mc
Milan: Pub.Company New York.

De Vogel J, Jonker-Termont Ds, Katan Mb And Van Der Meer R. 2005. Natural
Chlorophyll But Not Chlorophyllin Prevents Heme-Induced Cytotoxic
And Hyperproliferative Effects In Rat Colon. J Nutr, 135 (8), 1995-2000.

Disti Lastriani. 2007. Persepsi Konsumen Tentang Mutu Pelayanan Dan Produk
Steak Dalam Pengambilan Keputusan Mengkonsumsi (Kasus Di Restoran
Obonk Steak & Ribs Bogor). Skripsi. Bogor: Program Studi Sosial
Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan IPB.

Doss, dkk. 2011. Effect Of Processing Technique On The Nutritional


Composition And Antinutrients Content Of Under Utilized Food Legume
Canavalia Ensiformis L.Dc. International Food Research Journal. 18(5):
965-970.

Gilang, R., Affandi, D. R., Dan Ishartani, D. 2013. Karakteristik Fisik Dan Kimia
Tepung Koro Pedang (Canavalia Ensiformis L.) dengan Variasi Perlakuan
Pendahuluan. Jurnal Teknosains Pangan 2 (3):41-45.

Handajani, Adianti., Roosihermiatie, Betty., Maryani, Herti. 2010. Faktor-Faktor


Yang Berhubungan Dengan Pola Kematian Pada Penyakit Degeneratif Di
Indonesia. Jurnal Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 13: 42–53.

Hartman, W.E. 1996. Use Of Rehidrated Gluten From Dehidrated Vital Gum
Gluten. Us Patent 3, 290, 152. Di Dalam : M.H. Gutcho. 1977. Textured
Protein Products. Food Technology Review. 44:Xii. Noyes Data Co., New
Jersey.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 3. Badan Penelitian Dan


Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta: Yayasan
Sarana Wana Jaya. Terjemahan Dari: De Nuttuge Planten Van Indonesia.

Horan, F.E. 1974. Meat Analogs. New Protein Foods. Food Science And
Technology. A Series Of Monograph. Vol. 1. New York: Academic Press,
Inc.
Krisnatuti Dan Yehrina. 2008. Diet Sehat Untuk Penderita Diabetes Melitus.
Jakarta: Penebar Swadaya.

Kurniana, L. M. 2015. Produksi Tepung Fungsional Termodifikasi Koro Pedang


(Canavalia Ensiformis L.) Dengan Fermentasi Terkendali Menggunakan
Lactobacillus Plantarum. Skripsi. Jember: Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Jember.

Kurniati. E. 2009. Pembuatan Konsentrat Protein Dari Biji Kecipir Dengan


Penambahan Hcl. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik. 19 (2):115-122

Lawrie, R. A. 1995. Ilmu Daging. Edisi ke-5. Terjemahan Aminudin Parakasi. UI


press. Jakarta

Mabesa, I. B. 1986. Sensory Evaluation Of Principles And Method. Laguna:


College Of Agriculture. UPBL.

Ma’rifat, M. I., Asngad, A. 2014. Pemanfaatan Koro Pedang (Canavalia


Ensiformis) Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Tempe Dengan
Penambahan Konsentrasi Bahan Isi Dari Jagung Dan Bekatul Yang
Berbeda. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Muchtadi, T.R, H. Purwiyatno, Dan A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan


Ekstrusi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.

Munip, A. 2001. Potensi Tanaman Koro Pedang (Canavalis Sp) Dalam Upaya
Meningkatkan Kegiatan Agribisnis. Yogyakarta: Simposium Nasional
Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Tanaman Indonesia.

Newman Cw, Roth Nr, And Lockermen, Rh. 1987. Protein Quality Of Chickpea
(Cicer Ariterium L.). Nutr. Rep. Int. 36: 1-5.

Nurcahyo, P. I. 2005. Pedoman Memilih Steak. http://Priyadi.Net/Archieve/2005/


03/16/Pedoman-Memilih-Steak. [Diakses pada 5 Juni 2017].
Nwokolo E., J. Smartt. 1996. Food And Feed From Legumes And Oilseeds.
Chapman And Hall. 76.

Rahayu, W. P. 2001. Penuntutan Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor:


Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Rahardjo, S., E. Harmayani, & S. Hadiwiyoto. 1995. Pembuatan Restructured


Steak Dari Daging Sapi dan Ayam. Yogyakarta: Pau Pangan Dan Gizi
UGM.

Rukmana, Rahmat. 1997. Usaha Tani Jagung. Yogyakarta: Kanisius.

Santoso. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori Dan Praktek). Malang:


Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang.

Soeparno, 2005. Ilmu Dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Subagio, A., Windrati, S. W. Dan Witono, Y. 2002. Protein Albumin Dan


Globulin Dari Beberapa Koro-Koroan. Malang: Seminar Nasional
Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia.

Subagio, A., Wiwik, S. W., Dan Yuli W. 2003. Pengaruh Penambahan Isolat
Protein Koro Pedang (Canavalia Ensiformis L.) Terhadap Karakteristik
Cake. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan. 14(2):136-144.

Sudarmadji, S., Haryono, B., Dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan Dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Sudiyono. 2010. Penggunaan Na2HCO3 untuk Mengurangi Kandungan


Asamsianida (Hcn) Koro Benguk Pada Pembuatam Koro Benguk Goreng.
Agrika. Vol.4(1): 48-53.

Suzuki T. 1981. Fish And Krill Protein: Processing Technology. London: Amiled
Science Publisher, Ltd.
Triyono, A. 2010. Mempelajari Pengaruh Penambahan Beberapa Asam Pada
Proses Isolasi Protein Terhadap Tepung Protein Isolat Kacang Hijau
(Phaseolus Radiatus L.) Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat
Guna – Lipi.

WCRF/AICR. 2.009). Policy And Action For Cancer Prevention. Wcrf And Aicr,
Washington Dc, 1-400.

Wed. 2004. Aneka Trik Seputar Steak. Skripsi. Bogor: Program Studi Sosial
Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Yahyono. 2009. Steak Sehat. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Hasil Ternak 6-11.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai