Anda di halaman 1dari 68

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kualitas bahan pangan menentukan kharakteristik dan kualitas produk yang
dihasilkan. Pengetahuan tentang sifat – sifat bahan komposisi dijadikan acuan
dalam proses pengolahan bahan pangan dari mentah hingga siap konsumsi. Jenis
makanan yang banyak peminatnya ada pada daging dan ikan. Daging didefinisikan
sebagai urat daging atau otot melekat pada rangka, kecuali urat daging pada bagian
bibir, hidung dan telinga, yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong
(Anjarsari, 2010). Menurut Food and Drug Administration, daging merupakan
bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi, atau domba yang dipotong dalam
keadaan sehat dan cukup umur, tetapi hanya sebatas bagian muskulus skeletal atau
lidah, diafragma, jantung, dan esofagus (yakni pembuluh makanan yang
menghubungkan mulut dengan perut) dan tidak termasuk bibir, hidung, telinga
dengan atau tanpa lemak yang menyertainya, serta bagian – bagian dari tulang, urat
syaraf dan pembuluh – pembuluh darah.
Daging menjadi bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan
gizi karena daging mengandung protein yang cukup tinggi dengan kandungan asam
amino esensial yang lengkap. Daging yang terutama dikonsumsi adalah daging
sapi, daging babi, dan unggas. Daging unggas seperti ayam menghasilkan kalori
yang rendah jika dibandingkan dengan sapi sehingga daging ayam digunakan
sebagai sumber protein dalam diet (Anjarsari, 2010). Sumber protein hewani dapat
berasal dari perariran yaitu ikan laut maupun tawar. Secara ekonomis ikan memiliki
harga yang relatif murah dibandingkan dengan sumber ptotein lainnya seperti
daging. Namun ikan lebih cepat rusak sehingga diperlukan penanganan khusus
untuk mempertahankan mutunya. Ikan sangat diharapkan menjadi sumber gizi
proksimat untuk meningkatkan gizi masyarakat karena selain mengadung protein,
ikan juga mengandung asam – asam lemak tidak jenuh berantai panjang, vitamin,
dan mineral (Anjarsari, 2010).
Dari penjelasan diatas, pangan hewani memiliki sumber nutrisi esensial
bagi tubuh. Sehingga proses pengolahan yang dilakukan berpengaruh pada fisik
daging dan ikan. Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan agar dapat diketahui
karakteristik daging dan ikan baik yang segar maupun tidak segar, adanya cooking
loss dan drip loss setelah pengolahan.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum adalah :
a. Mengetahui kualitas daging dan ikan post mortem yang meliputi pengamatan
daging dan ikan segar, pengukuran pH, warna, tekstur, serta pengaruh
penambahan enzim
b. Mengetahui penyusutan berat daging akibat pemasakan (cooking loss)
c. Mengetahui kehilangan bobot daging akibat drip pada daging beku
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kharakteristik Daging dan Ikan


2.1.1 Daging Sapi
Daging sapi memiliki warna merah terang, mengkilap, dan tidak pucat.
Secara fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika dipegang masih
terasa basah dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma, daging sapi sangat khas
(gurih) (Usmiati, 2010). Sapi pedaging dapat dibedakan dari jenis kelamin dan
umur, dimana dengan perbedaan tersebut akan membedakan mutu dari daging sapi.
Pada saat hewan dipotong akan diperoleh karkas dan non karkas. Dari seekor sapi
yang beratnya 500 kg, akan diperoleh 350 kg karkas dan 270 kg daging (Susilawati,
2001). Komposisi daging sapi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Komposisi daging sapi tiap 100 gram bahan
Komposisi Jumlah
Kalori (kal) 207,00
Protein (g) 18,80
Lemak (g) 14,00
Karbohidrat (g) 0
Kalsium (mg) 11,00
Fosfor (mg) 170,00
Besi (mg) 2,80
Vitamin A (SI) 30,00
Vitamin B1 (mg) 0,08
Vitamin C (mg) 0
Air (g) 66,00
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) dalam Soputan (2004)
2.1.2 Daging Babi
Daging babi memiliki karakteristik yang berbeda dari daging lainnya.
Adapun ciri-ciri dari daging babi adalah: baunya khas, daging lebih kenyal dan
mudah direnggangkan, cenderung berair, warna lebih pucat, harga pasaran lebih
murah dibandingkan daging sapi, seratnya lebih halus daripada daging sapi,
lemaknya tebal dan cenderung berwarna putih, serta elastis. Kemudian lemak babi
juga sangat basah dan sulit dipisah dari dagingnya (Kumari, 2009).
Komposisi kimia daging bervariasi di antara spesies, bangsa, atau
individu ternak, dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan serta nutrisinya.
Nilai nutrisi daging berhubungan dengan kandungan protein, lemak, karbohidrat,
mineral dan vitamin yang terdapat dalam daging tersebut. Kontribusi kalori dapat
berasal dari protein, lemak, dan karbohidrat dalam jumlah yang terbatas, sedangkan
kontribusi kalori sebagai bahan pangan yang lebih vital berasal dari protein, mineral
tertentu, dan vitamin B (Suardana dan Swacita, 2008)
2.1.3 Daging Ayam
Daging ayam memiliki karakteristik daging yang empuk, tekstur kulit
halus, dan ujung tulang dada yang lentur. Secara umum komposisi daging ayam
terdiri dari protein 18-20%, lemak 3-7%, air 71-75%, dan abu atau nonprotein 1-
3.5% (Hermanianto, dkk., 1997). Daging bagian dada ayam dipilih karena memiliki
kandungan protein yang lebih tinggi daripada bagian lain. Hal ini diakibatkan
karena adanya perbedaan aktivitas otot. Bagian otot yang lebih aktif lebih banyak
membutuhkan energi dan kelebihan energi dapat ditimbun pada bagian tubuh yang
kurang aktif (Soeparno, 2011). Komposisi daging ayam dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2. Komposisi daging ayam tiap 100 gram bahan
Komposisi Jumlah
Protein (g) 18,2
Lemak (g) 25
Kalsium (mg) 14
Fosfor (mg) 200
Besi (mg) 1,5
Vitamin B1 (mg) 0,08
Air (g) 55,9
Kalori (kkal) 302
Sumber : Ditjennak (2009)
2.1.4 Daging Kambing
Daging kambing memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan daging sapi.
Namun, kambing memiliki serat lebih kecil dibandingkan serat daging sapi, serta
aroma daging kambing yang khas goaty. Daging domba dan kambing masing-
masing mengandung protein 17,1% dan 16,6% dan lemak 14,8% dan 9,2%
(Usmiati, 2010). Daging kambing memiliki cirri yang khas, yaitu hampir tidak
memiliki lemak dibawah kulit, kelebihan lemaknya ditimbun sebagai lemak yang
tersebar diantara serat daging. Susunan karkas daging kambing yaitu daging 62%,
tulang 19%, dan lemak 19% (Tiven, dkk., 2007). Komposisi daging kambing per
100 gram bahan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Komposisi daging kambing per 100 gram bahan
Komposisi Jumlah
Kalori (kal) 154,00
Protein (g) 16,60
Lemak (g) 9,20
Karbohidrat (g) 0
Kalsium (mg) 11,00
Fosfor (mg) 124,00
Besi (mg) 1,00
Vitamin A (SI) 0
Vitamin B1 (mg) 0,09
Vitamin C (mg) 0
Air (g) 70,30
Sumber : Cahyono (1988) dalam Tiven, dkk. (2007)
2.1.5 Daging Ikan Laut (Kuniran)
Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang absorpsi proteinnya lebih
tinggi dibandingkan dengan produk hewani lain seperti daging sapi dan ayam.
Daging ikan mempunyai serat-serat protein lebih pendek dari pada serat-serat
protein daging sapi atau ayam. Ikan juga kaya akan mineral seperti kalsium,
phospor yang diperlukan untuk pembentukan tulang, serta zat besi yang diperlukan
untuk pembentukan haemoglobin darah (Pandit, dkk., 2008).
Selain itu ikan merupakan sumber alami asam lemak Omega 3 yaitu Eicosa
Pentaenoic Acid (EPA) dan Dacosa Hexaenoic Acid (DHA), yang berfungsi
mencegah arterosklerosis (terutama EPA). Keduanya dapat menurunkan secara
nyata kadar trigliserida di dalam darah dan menurunkan kadar kolesterol di dalam
hati dan jantung. Kadar asam lemak Omega 3 dalam beberapa jenis ikan laut di
perairan Indonesia berkisar antara 0,1 – 0,5 g/100g daging ikan.
Ikan kuniran hidup di perairan tropis dan subtropis. Daerah penyebaran di
Indo-Pasifik meliputi Laut Cina Selatan, Australia, Kepulauan Hawaii, California,
India, dan Afrika. Secara taksonomi, ikan kuniran tergolong famili Mullidae,
dengan ciri badan memanjang, agak tebal, pada dagu terdapat dua buah sungut yang
tipis dan pendek. Kepala bewarna kemerah-merahan, bagian perut bewarna kuning,
terdapat dua garis kuning sepanjang sisinya yaitu bagian atas mata sampai pangkal
ekor. Sejak tahun 2000-an ikan kuniran banyak dicari untuk dijadikan fillet dan
kemudian diolah menjadi makanan ringan untuk diekspor (Prihatiningsih dan
Mukhlis, 2012).
2.1.6 Daging Ikan Lele
Ikan Lele adalah salah satu jenis ikan air tawar yang termasuk ke dalam
ordo Siluriformes dan digolongkan ke dalam ikan bertulang sejati. Lele dicirikan
dengan tubuhnya yang licin dan pipih memanjang, serta adanya sungut yang
menyembul dari daerah sekitar mulutnya. Nama ilmiah Lele adalah Clarias spp.
yang berasal dari bahasa Yunani "chlaros", berarti "kuat dan lincah". Dalam bahasa
Inggris lele disebut dengan beberapa nama, seperti catfish, mudfish dan walking
catfish. Klasifikasi ikan lele berdasarkan Saanin (1984) dalam Hilwa (2004) yaitu
sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostarophysi
Subordo : Siluroidae
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Ikan lele merupakan hewan nokturnal dimana ikan ini aktif pada malam
hari dalam mencari mangsa. Ikan-ikan yang termasuk ke dalam genus lele dicirikan
dengan tubuhnya yang tidak memiliki sisik, berbentuk memanjang serta licin. Ikan
Lele mempunyai sirip punggung (dorsal fin) serta sirip anus (anal fin) berukuran
panjang, yang hampir menyatu dengan ekor atau sirip ekor. Ikan lele memiliki
kepala dengan bagian seperti tulang mengeras di bagian atasnya. Mata ikan lele
berukuran kecil dengan mulut di ujung moncong berukuran cukup lebar
(Witjaksono,2009).

2.2 SNI Daging dan Ikan


2.2.1 SNI Daging Sapi
Menurut SNI 2897:2008 daging sapi adalah bagian otot skeletal dari
karkas sapi yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia dapat berupa
daging segar, segar dingin dan beku. Daging segar adalah daging yang belum diolah
atau tidak ditambahkan dengan bahan apapun. Daging segar beku adalah daging
yang mengalami proses pendinginan setelah pendinginan setelah penyembelihan
sehingga temperature dalam daging antara 0-4 °C. Daging beku adalah daging segar
yang sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan
temperature internal minimal -18 °C. Adapun pada daging terdapat marbling yang
merupakan butiran lemak putih yang tersebar dalam jaringan otot daging (lemak
intra muskuler). Persyaratan mutu daging dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4. Persyaratan Mutu Daging
Persyaratan mutu
No. Jenis Uji
I II III
1. Warna daging Merah terang Merah kegelapan Merah gelap
Skor 1-5 Skor 6-7 Skor 8-9
2. Warna lemak Putih Putih kekuningan Kuning
Skor 1-3 Skor 4-6 Skor 7-9
3. Marbling Skor 9-12 Skor 5-8 Skor 1-4
4. Tekstur Halus Sedang Kasar
Sumber : SNI 2897:2008
2.2.2 SNI Daging Ayam
Daging ayam adalah otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan
lazim dikonsumsi manusia (SNI 3924:2009). Karkas merupakan bagian tubuh
ayam setelah dilakukan penyembelihan secara halal sesuai dengan CAC/GL 24-
1997, pencabutan bulu dan pengeluaran jeroan, tanpa kepala, leher, kaki, paru-paru,
dan ginjal, dapat berupa karkas segar, karkas segar dingin, atau karkas beku. Karkas
segar adalah karkas yang diperoleh tidak lebih dari 4 jam setelah proses
pemotongan dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut. Adapun karkas segar
dingin merupakan karkas segar yang didinginkan setelah proses pemotongan
sehingga temperatur bagian dalam daging (internal temperature) antara 0 °C dan
4 °C. Sedangkan karkas beku merupakan karkas segar yang telah mengalami proses
pembekuan di dalam blast freezer dengan temperatur bagian dalam daging
minimum -12 °C. Bagian ayam yang telah terpisah dengan tulangnya disebut
dengan daging. Menurut SNI, daging ayam merupakan otot skeletal dari karkas
ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia. Konformasi ada tidaknya
kelainan bentuk karkas dari tulang terutama pada bagian dada dan paha.
Perdagingan terdapat pada ketebalan daging pada dada, paha, dan punggung.
Adapun persyaratan tingkatan mutu fisik karkas dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Tabel 5. Persyaratan Tingkatan Mutu Fisik Karkas
Tingkatan mutu
No. Faktor mutu
Mutu I Mutu II Mutu III
1. Konformasi Sempurna Ada sedikit Ada
kelainan pada kelaianan
tulang dada atau pada tulang
paha dada dan
paha
2. Perdagingan Tebal Sedang Tipis
3. Perlemakan Banyak Banyak Sedikit
4. Keutuhan Utuh Tulang utuh, kulit Tulang ada
sobek sedikit, yang patah,
tetapi tidak pada ujung sayap
bagian dada terlepas ada
kulit yang
sobek pada
bagian dada
5. Perubahan Bebas dari memar Ada memar Ada memar
warna dan atau “freeze sedikit tetapi sedikit tetapi
burn” tidak pada bagian tidak ada
dada dan tidak “freeze burn”
“freeze burn”

6. Kebersihan Bebas dari bulu Ada bulu tunas Ada bulu


tunas (pin feather) sedikit yang tunas
menyebar, tetapi
tidak pada bagian
dada
Sumber : SNI 3924:2009
2.2.3 SNI Daging Babi
Tabel 6. Parameter Mutu Daging Babi
Parameter Satuan Jantan Betina
Litter size induknya (minimal) Ekor - 9
Bobot lahir individu (minimal) Gram 1550 1550
Umur pada bobot 90 kg (maksimal) Hari 170 180
Rataan pertambahan bobot badan harian g/ekor/hari 765 675
pada bobot badan 20 kg- 90kg (minimal)
Rataan rasio konversi ransum pada bobot Kg/kg 2,50 2,40
badan 20 kg- 90kg (maksimal)
Rataan efisiensi penggunaan ransum pada Kg/kg 0,40 0,42
bobot badan 20 kg- 90kg (minimal)
Rataan tebal lemak punggung pada bobot cm 2,5 2,72
90kg (maksimal)
Seleksi indeks (minimal) - 150 140
Sumber : SNI 7855 3:2013
2.2.4 SNI Daging Kambing
Tabel 7. Persyaratan Mutu Daging Kambing
Derajat marbling Umur
I0 I1 I2 I3
Banyak Mutu I Mutu I Mutu I Mutu II
Sedang Mutu I Mutu I Mutu II Mutu III
Sedikit Mutu I Mutu II Mutu III Mutu III
Tanpa marbling Mutu II Mutu III Mutu III Mutu III
Sumber : SNI 3925:2008
Keterangan :
I0 = < 10 bulan
I1 = 10 – 12 bulan
I2 = 13-18 bulan
I3 = > 18 bulan
2.2.5 Ikan Lele
Tabel 8. Persyaratan Mutu Ikan Lele
Penebaran Waktu Pemanenan
pemeliharaa
Kepadatan Ukuran Tingkat Bobot (g) Panjang
n (bulan)
(ekor/m3) (g) kelangsungan standar
hidup (%) (cm)
100-150 5 2-2,5 80 100-150 25-30
50-75 100-150 4-5 80-90 300-400 32-36
25-50 300-400 4-6 80-90 Min 1000 50-55
Sumber : SNI 6848 03:2014
2.2.6 SNI Ikan Laut
Tabel 9. Persyaratan Mutu Ikan Laut
Parameter uji Satuan Persyaratan
Organoleptik - Min. 7 (Skor 1 - 9)
Cemaran mikroba*
- ALT koloni/g 5,0 x 105
- Escherichia coli APM/g <3
- Salmonella - Negatif/25 g
- Vibrio cholera - Negatif/25 g
- Vibrio parahaemolyticus APM/g <3
Cemaran logam*
- Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0
- Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,1
mg/kg Maks. 0,5 **
- Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,5
mg/kg Maks. 1,0 **
- Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0
- Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,3
- Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,4**
Kimia* mg/kg Maks. 100
- Histamin***
Residu kimia*
- Kloramfenikol**** - Tidak boleh ada
- Malachite green dan leuchomalachite - Tidak boleh ada
green****
- Nitrofuran (SEM, AHD, AOZ, - Tidak boleh ada
AMOZ)****
Racun Hayati* - Tidak terdeteksi
- Ciguatoksin*****
Parasit* - Tidak boleh ada
Sumber : SNI 2729:2013
Catatan
* Bila diperlukan
** untuk ikan predator
*** untuk ikan scombroidae (scombroid), clupeidae, pomatomidae,coryphaenedae
**** untuk ikan hasil budidaya
***** untuk ikan karang

2.3 Pengaruh Penambahan Enzim pada Daging dan Ikan


Keempukan daging tergantung dari temperatur dan waktu pemasakan,
lama waktu pemasakan mempengaruhi kolagen, dan temperatur pemasakan lebih
mempengaruhi kealotan miofibrilar (Soeparno, 2005). Solusi untuk mengempukan
daging yaitu sebelum dilakukan pemanasan terlebih dahulu dilakukan proses
perendaman dalam larutan enzim proteolitik. Penambahan enzim pada daging dan
ikan berpengaruh pada kenampakan daging yaitu keempukan. Selama proses
perendaman daging terjadi proses hidrolisis protein serat otot, tenunan pengikat,
dan terjadi perubahan-perubahan yang meliputi menipisnya serta hancurnya
sarkolema, terlarutnya nukleus dari serabut otot dan jaringan ikat serta lepasnya
keterikatan serabut otot sehingga dihasilkan jaringan lunak. Salah satu enzim
protease tersebut adalah bromelin yang berasal dari buah nanas, hampir dalam
seluruh bagian tanaman terdapat enzim bromelin dengan jumlah yang berbeda-beda
pada setiap bagiannya (Utami, 2010).
Menurut Winarno (1993), bromelin adalah enzim protease yang dapat
menghirolisis protein. Enzim Bromelin mencerna protein di dalam makanan agar
mudah untuk diserap oleh tubuh. Nanas juga dapat digunakan untuk
mengempukkan daging. Nanas mengandung citric dan malic acid yang memberi
rasa manis dan asam pada buahnya. Asam ini membuat nanas menjadi bahan
makanan yang digunakan secara luas untuk membuat masakan asam manis. Buah
nanas banyak mengandung enzim bromelin, tapi kandungan bromelin di dalam
kulitnya lebih banyak lagi. Karena itu, jangan membuang kulit nanas, karena bisa
dimanfaatkan sebagai bahan pengempuk alami. Enzim bromelin mampu
menguraikan serat-serat daging, sehingga daging menjadi lebih empuk. Protein
“bromelain” memiliki potensi yang sama dengan “papain” yang ditemukan pada
pepaya yang dapat mencerna protein sebesar 1000 kali beratnya, sehingga nanas
bermanfaat sebagai penghancur lemak. Bromelain dapat membantu melarutkan
pembentukan mukus dan juga mempercepat pembuangan lemak melalui ginjal.
Bromelain juga memiliki asam sitrat dan malat yang penting dan diperlukan untuk
memperbaiki proses pembuangan lemak dan mangan, dan menjadi komponen
penting enzim tertentu yang diperlukan dalam metabolisme protein dan
karbohidrat.

2.4 Perbedaan Daging Sapi, Babi, Ayam dan Kambing


Daging sapi memiliki warna merah pucat, berserabut halus dengan sedikit
lemak, konsitensi liat, dan bau serta rasa aromatis. Adapun daging sapi muda
memiliki ciri berwarna agak pucat, kelabu putih sampai agak pucat, terdiri dari
serabut – serabut halus, konsistensi agak lembek, serta memiliki bau dan rasa yang
berbeda dengan sapi dewasa. Daging sapi gelonggongan memiliki warna merah
pucat, konsistensi daging lembek, permukaan daging basah, dan biasanya penjual
tidak menggantung daging tersebut karena jika digantung akan banyak
mengeluarkan air sehingga berat daging berkurang. Daging babi umumnya pucat
hingga merah muda, otot punggung yang mengandung lemak umumnya terlihat
putih, serabut halus, konsistensi padat dan berbau spesifik, pada umur tua, daging
berwarna lebih tua sedikit lemak dan berbau kasar. Daging ayam memiliki ciri
berwarna putih pucat, berotot dada dan otot paha kenyal, serta bau agak amis dan
sedikit berbau. Pada ayam tiren memiliki aroma agak amis, daging berwarna
kebiru-biruan, pucat, tidak segar, pada leher potongan ayam terlihat tidak lebar,
tidak mulus seperti ayam potong ketika hidup, dan terdapat bercak – bercak darah
pada bagian kepala atau leher ayam. Daging ayam yang berformalin memliki ciri
diantaranya jika dicium memiliki aroma obat, warna kulit lebih pucat dibanding
daging ayam segar, tidak rusak selama dua hari pada suhu 25 °C, pada bagian dada
hingga kaki terlihat kaku, tidak dikerumuni lalat dan teksturnya kencnag. Daging
kambing memiliki ciri daging lebih pucat dari daging domba yang berwarna merah
muda, lemak menyerupai lemak domba yang berwarna putih dan banyak di otot,
dan daging kambing jantan berbau khas (ISO 9001:2008).

2.5 Pengaruh Thawing pada Daging dan Ikan


Salah satu penanganan daging sebelum melalui proses lebih lanjut adalah
pembekuan. Namun dengan pembekuan dapat menyebabkan kerusakan fisik dan
kimia. Kerusakan tidak hanya terjadi saat pembekuan tetapi juga terjadi pada pasca
penanganan daging beku ketika diolah lebih lanjut yaitu proses penyegaran kembali
(thawing). Terdapat tiga metode thawing yaitu pada udara dingin, udara terbuka,
dan air mengalir pada suhu kamar (Utami, 2006). Nutrien daging beku akan terlarut
dalam air dan hilang bersama cairan daging yang hilang selama proses penyegaran
kembali (thawing) yang disebut drip. Kekuatan ionik ekstraseluler yang tinggi
selama pembekuan akan menyebabkan denaturasi sejumlah protein otot. Denaturasi
akan menyebabkan turun atau hilangnya daya ikat air daging pada saat thawing,
kegagalan serabut otot menyerap kemabali semua air yang mengalami translokasi
atau keluar selama proses pembekuan. Turunnya daya ikat air akan menyebabkan
hilangnya cairan saat thawing. Proses thawing bertujuan untuk meningkatkan
tingkat kerusakan fisik dan struktur daging, yang kemudian akan berpengaruh pada
kualitas daging meliputi drip, daya ikat air, cooking loss, keeempukan, dan
mikrostruktur (Utami, 2006).
Tingkat pembekuan suhu dari suhu pembekuan ke suhu thawing
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap presentasi drip yang dihasilkan.
Kekuatan dari luar akan mempengaruhi daya ikat air oleh protein daging.
Perubahan suhu yang tinggi dari pembekuan ke thawing menyebabkan shock
temperature terhadap kualitas daya ikat air sehingga presentasi drip akan lebih
banyak. Thawing pada suhu 40 °C akan menyebabkan pengerutan serabut kolagen
yang terjadi dengan cepat sehingga lebih banyak cairan yang dilepaskan. Keluarnya
cairan yang lebih banyak menunjukkan daya ikat air yang rendah (Utami, 2006).
Pada suhu sekitar 65 °C miofibril secara aktif memendek yang diikuti
dengan pengerutan jaringan kolagen yang memberi kontribusi untuk pengeluaran
cairan sarkoplasma. Pemasakan berpengaruh pada jumlah cairan yang hilang
semakin banyak dan susut masak meningkat. Suhu thawing juga berpengaruh pada
keempukan. Perubahan suhu beku ke suhu thawing yang terlalu tinggi
menyebabkan daging menjadi kering. Denaturasi protein miofibrilar akan
mengakibatkan pengeringan dan terjadi peningkatan kealotan. Sehingga pada
daging yang diberi perlakuan thawing menggunakan udara dingin keempukannya
lebih baik dari daging yang diberi perlakuan menggunakan air hangat karena tingkat
pengerutan dan pengeringan serabut ototnya lebih rendah (Utami, 2006).

2.6 Pengaruh Curing pada Daging dan Ikan


Curing merupakan cara pengolahan daging dengan penambahan beberapa
bahan baku seperti NaCl, Na-nitrit atau Na-nitrat , dan gula (dektrosa atau sukrosa
atau pati hidrolisa) serta bumbu (Soeparno, 1998). Tujuan dilakukannya untuk
mendapatkan warna stabil, aroma, tekstur, dan kelezatan yang baik, dan untuk
mengurangi pengerutan daging selama pengolahan serta memperpanjang umur
simpan produk daging. Ada tiga metode yang sering dilakukan yaitu curing basah,
curing kering dan kombinasi dari kedua curing tersebut. Curing basah adalah cara
curing dengan penambahan air untuk merendam daging dan bahan – bahan. Curing
kering adalah cara curing tanpa penambahan air, dimana air hanya berasal dari
daging. Pada metode kombinasi, mula – mula dilakukan dengan cara basah
kemudian bahan – bahan curing ditambahkan lagi untuk meningkatkan
penetrasinya ke dalam daging (Sumbaga, 2006).
Terdapat beberapa faktor yang menjadi keberhasilan proses curing.
Konsentrasi dari bahan yang ditambahkan harus sesuai dengan proporsi daging
yang digunakan. Jika konsentrasi bahan curing terlalu kecil, maka besar
kemungkinan proses curing tidak berhasil. Suhu dan waktu selama proses aging
juga mempengaruhi keberhasilan dari proses curing. Secara umum curing
dilakukan pada suhu sekitar 1-3 °C. Pada rentan suhu yang rendah ini cukup untuk
menghambat sebagian bakteri sampai penetrasi garam selesai, namun mikroba
pereduksi nitrat masih tumbuh dengan lambat (Naruki, 1991). Faktor lain yang
mempengaruhi proses curing adalah homogenisasi bahan terhadap daging yang
digunakan. Ketika pencampuran, jika pengadukan tidak homogen maka
kemungkinan besar warna yang dihasilkan tidak merata sehingga mempengaruhi
kualitas produk curing. Adapun bahan yang paling efektif untuk proses curing
adalah Na-nitrit. Hal ini dikarenakan adanya senyawa nitrit pada daging akan
mampu mereduksi feri menjadi ferro dengan mioglobin sehingga warna merah
daging dapat dipertahankan. Selain itu penambahan asam askorbat ke dalam larutan
curing dapat mempercepat reduksi metmioglobin dan mengubah nitrit menjadi
nitrit oksida (Soeparno, 1998).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum adalah :
a. Pisau
b. Gelas beker
c. Spatula
d. pH universal (pH kertas)
e. Neraca analitik
f. Blender
g. Rheotex
h. Waterbath
i. Freezer
j. Piring
k. Baskom
l. Kamera hp
m. Tabel standart marbling
n. Stopwatch
o. Sendok
3.1.2 Bahan
Adapun alat yang digunakan pada praktikum adalah :
a. Daging sapi
b. Daging ayam
c. Daging kambing
d. Daging babi
e. Daging ikan laut
g. Daging ikan lele
h. Enzim bromelin
i. Larutan curing
j. Air
k.Tisu
l. Plastik
m.Label

3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan


3.2.1 Pengamatan Daging dan Ikan segar
a. Pengamatan daging segar dan kurang segar

Sampel daging

Pengamatan warna, tekstur, dan aroma

Langkah pertama pada uji coba ini adalah penyiapan bahan yang akan
digunakan. Adapun bahan yang digunakan adalah daging sapi, babi, kambing,
ayam, ikan laut, dan ikan lele. Selanjutnya, dilakukan pengamatan pada warna,
tekstur, dan aroma dengan menggunakan indra penglihatan. Hal tersebut dipilih
karena lebih efisien dibanding menggunakan alat ukur. Data yang didapat dicatat
untuk dibandingkan dengan perlakuan selanjutnya. Praktikum dilakukan dengan
teliti agar didapat hasil yang diinginkan.
b. Pengamatan ikan segar dan kurang segar

Sampel ikan

Pengamatan bentuk, warna, mata, insang,


kulit, sisik, lendir, tekstur, dan aroma

Langkah pertama pada uji coba ini adalah penyiapan bahan yang akan
digunakan. Adapun bahan yang digunakan berupa ikan kuniran yang masih segar
dan tidak segar. Selanjutnya, dilakukan pengamatan pada bentuk, warna, mata,
insang, kulit, sisik, lendir, tekstur, dan aroma dengan menggunakan indra
penglihatan. Hal tersebut dipilih karena lebih efisien dibanding menggunakan alat
ukur. Data yang didapat dicatat untuk dibandingkan dengan perlakuan selanjutnya.
Praktikum dilakukan dengan teliti agar didapat hasil yang diinginkan.
3.2.2 Pengamatan Marbling pada Daging

Sampel irisan daging

Perbandingan dengan standart marbling

Penentuan tingkat marbling sampel


irisan daging

Langkah pertama pada uji coba ini adalah penyiapan bahan yang akan
digunakan. Adapun bahan yang digunakan berupa irisan daging sapi. Selanjutnya
dilakukan pengamatan pada marbling (lemak intra muskuler) yang ada pada daging
sapi dengan menggunakan indra penglihatan. Hal tersebut dipilih karena lebih
efisien dibanding menggunakan alat ukur lalu dilakukan perbandingan dengan
standart marbling. Kemudian dilakukan penentuan standart marbling sampel irisan
daging. Data yang didapat dicatat sebagai data hasil pengamatan marbling.
Praktikum dilakukan dengan teliti agar didapat hasil yang diinginkan.
3.2.3 Pengamatan Warna
Irisan daging dan
ikan

Tanpa penambahan Penambahan enzim


enzim bromelin bromelin

Tanpa Perebusan pada air 80ºC Perendaman larutan


perlakuan selama 10 menit curing selama 15 mnt.

Pengamatan perubahan warna


Langkah pertama pada uji coba ini adalah penyiapan bahan yang akan
digunakan. Adapun bahan yang digunakan berupa irisan daging dan ikan, air,
larutan curing, dan enzim bromelin. Pada percobaan pertama, dilakukan
pengamatan warna bahan secara non-enzimatis. Bahan yang telah diiris segera
dilakukan perlakuan yang berbeda - beda. Masing – masing bahan dilakukan
perebusan pada air 80ºC selama 10 menit, perendaman selama 15 menit, dan tanpa
perlakuan sebagai kontrol. Setelah itu dilakukan pengamatan pada perubahan warna
masing – masing perlakuan. Data yang didapat dicatat sebagai data hasil
pengamatan.
Pada percobaan kedua, dilakukan secara enzimatis. Bahan – bahan yang
telah diiris kemudian direndam dalam enzim bromelin yang diperoleh dari jus nanas
selama 1,5 menit. Perendaman dilakukan agar enzim dapat meresap pada bahan
sehingga nantinya dapat diketahui pengaruh enzim pada bahan setelah pengolahan.
Setelah dilakukan perendaman dilakukan perlakuan seperti percobaan pertama,
yaitu dilakukan perebusan pada air 80ºC selama 10 menit, perendaman selama 15
menit, dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Setelah itu dilakukan pengamatan pada
perubahan warna masing – masing perlakuan. Data yang didapat dicatat sebagai
data hasil pengamatan dan dibandingkan. Praktikum dilakukan dengan teliti agar
didapat hasil yang diinginkan.
2.3.4 Penentuan pH

Irisan daging dan ikan @5


gram

Tanpa penambahan enzim Penambahan enzim bromelin


bromelin

Tanpa perlakuan Perebusan pada air Perendaman larutan


80ºC selama 10 menit curing selama 15
menit

Pemotongan

Aquades Pencampuran
10 ml

Langkah pertama pada uji coba ini adalah penyiapan alat dan bahan yang
akan digunakan. Adapun alat yang digunakan adalah pisau untuk memotong daging
dan ikan, waterbath untuk perebusan, stopwatch untuk pengukuran waktu agar
didapat waktu sesuai yang diinginkan, pH universal berupa kertas pH untuk
pengukuran pH, gelas beker untuk tempat pencampuran irisan daging dan aquades,
spatula untuk pengadukan agar tercampur merata. Adapun bahan yang digunakan
berupa irisan daging dan ikan masing – masing 5 gram, air, larutan curing, dan
enzim bromelin . Pada percobaan pertama, dilakukan pengukuran pH bahan secara
non-enzimatis. Bahan yang telah diiris segera dilakukan perlakuan yang berbeda -
beda. Masing – masing bahan dilakukan perebusan pada air 80ºC selama 10 menit,
perendaman selama 15 menit, dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Setelah itu
dilakukan pemotongan dengan irisan tipis dan pencampuran dengan aquades 10 ml.
Hal ini dilakukan agar pH lebih mudah diamati. Setelah itu dilakukan pengamatan
pada pH masing – masing perlakuan. Data yang didapat dicatat sebagai data hasil
pengamatan.
Pada percobaan kedua, dilakukan secara enzimatis. Bahan – bahan yang
telah diiris kemudian direndam dalam enzim bromelin yang diperoleh dari jus nanas
selama 1,5 menit. Perendaman dilakukan agar enzim dapat meresap pada bahan
sehingga nantinya dapat diketahui pengaruh enzim pada bahan setelah pengolahan.
Setelah dilakukan perendaman dilakukan perlakuan seperti percobaan pertama,
yaitu dilakukan perebusan pada air 80ºC selama 10 menit, perendaman selama 15
menit, dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Setelah itu dilakukan pemotongan
dengan irisan tipis dan pencampuran dengan aquades 10 ml. Hal ini dilakukan agar
pH lebih mudah diamati. Setelah itu dilakukan pengamatan pada pH masing –
masing perlakuan. Data yang didapat dicatat sebagai data hasil pengamatan dan
dibandingkan. Praktikum dilakukan dengan teliti agar didapat hasil yang
diinginkan.
3.2.5 Pengukuran Tekstur

Irisan daging dan ikan

Tanpa penambahan enzim Penambahan enzim bromelin


bromelin

Tanpa perlakuan Perendaman larutan Perebusan pada air


curing selama 15 80ºC selama 10
menit menit

Pengukuran tekstur metode rheotex


Langkah pertama pada uji coba ini adalah penyiapan alat dan bahan yang
akan digunakan. Adapun alat yang digunakan adalah pisau untuk memotong daging
dan ikan, waterbath untuk perebusan, rheotex untuk pengukuran tekstur, stopwatch
untuk pengukuran waktu agar didapat waktu sesuai yang diinginkan, gelas beker
untuk tempat pencampuran irisan daging dan ikan dengan larutan curing, spatula
untuk pengadukan agar tercampur merata. Adapun bahan yang digunakan berupa
irisan daging dan ikan, larutan curing, enzim bromelin dan air. Pada percobaan
pertama, dilakukan pengukuran tekstur bahan secara non-enzimatis. Bahan yang
telah diiris segera dilakukan perlakuan yang berbeda - beda. Masing – masing bahan
dilakukan perebusan pada air 80ºC selama 10 menit, perendaman selama 15 menit,
dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Setelah itu dilakukan pengamatan pada tekstur
masing – masing perlakuan dengan menggunakan rheotex. Data yang didapat
dicatat sebagai data hasil pengamatan.
Pada percobaan kedua, dilakukan secara enzimatis. Bahan – bahan yang
telah diiris kemudian direndam dalam enzim bromelin yang diperoleh dari jus nanas
selama 1,5 menit. Perendaman dilakukan agar enzim dapat meresap pada bahan
sehingga nantinya dapat diketahui pengaruh enzim pada bahan setelah pengolahan.
Setelah dilakukan perendaman dilakukan perlakuan seperti percobaan pertama,
yaitu dilakukan perebusan pada air 80ºC selama 10 menit, perendaman selama 15
menit, dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Setelah itu dilakukan pengamatan pada
perubahan tekstur masing – masing perlakuan. Data yang didapat dicatat sebagai
data hasil pengamatan dan dibandingkan. Praktikum dilakukan dengan teliti agar
didapat hasil yang diinginkan.
3.2.6 Pengukuran Cooking loss
Irisan daging dan
ikan

Tanpa penambahan Penambahan enzim


enzim bromelin bromelin

Tanpa perlakuan Perebusan air pada Perendaman


suhu 80ºC selama larutan curing
10 menit selama 15 menit

Penimbangan berat

Pemasukan pada plastik polietilen


lalu dijepit

Pemasukan dalam waterbath


suhu 80ºc selama 10 menit

Pengeluaran dari waterbath lalu pengaliran sampel dalam


plastik menggunakan air mengalir

Pengeluaran sampel dari plastik dan pengeringan


menggunakan tisu

Penimbangan berat sampel

Perhitungan cookingloss
Langkah pertama pada uji coba ini adalah penyiapan alat dan bahan yang
akan digunakan. Adapun alat yang digunakan adalah pisau untuk pemotongan
daging dan ikan, waterbath untuk perebusan, neraca analitik untuk penimbangan,
stopwatch untuk pengukuran waktu agar didapat waktu sesuai yang diinginkan,
gelas beker untuk tempat pencampuran irisan daging dan ikan dengan larutan
curing, spatula untuk pengadukan agar tercampur merata. Adapun bahan yang
digunakan berupa irisan daging dan ikan, larutan curing, enzim bromelin dan air.
Pada percobaan pertama, dilakukan pengukuran cooking loss bahan secara non-
enzimatis. Bahan yang telah diiris segera dilakukan perlakuan yang berbeda - beda.
Masing – masing bahan dilakukan perebusan pada air 80ºC selama 10 menit,
perendaman selama 15 menit, dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Selanjutnya
dilakukan penimbangan berat masing – masing sampel dengan menggunakan
neraca analitik agar didapat hasil yang akurat. Data yang didapat dicatat sebagai
data pertama. Lalu masing – masing sampel yang telah di timbang dimasukkan ke
dalam plastik polietilen lalu dijepit agar tidak tercampur dengan tetesan air saat
direbus. Kemudian dilakukan pemasukan untuk masing – masing ke dalam
waterbath dengan suhu 80 °C selama 10 menit. Waktu diatur dengan menggunakan
stopwatch agar diperoleh hasil sesuai dengan waktu yang diinginkan. Setelah itu
dilakukan pengeluaran waterbath lalu dilakuakan pengaliran sampel dalam plastik
menggunakan air mengalir. Selanjutnya, dilakukan pengeluaran sampel dari plastik
dan pengeringan menggunakan tisu. Hal ini dilakukan agar didapat berat sampel
tanpa air. Lalu dilakukan penimbangan berat sampel dengan menggunakan neraca
analitik agar didapat hasil yang akurat. Data yang didapat dicatat sebagai data
kedua. Kemudian dilakukan perhitungan cooking loss dengan mengurangi data
kedua dengan data pertama. Data yang didapat dicatat sebagai data hasil
pengamatan.
Pada percobaan kedua, dilakukan secara enzimatis. Bahan – bahan yang
telah diiris kemudian direndam dalam enzim bromelin yang diperoleh dari jus nanas
selama 1,5 menit. Perendaman dilakukan agar enzim dapat meresap pada bahan
sehingga nantinya dapat diketahui pengaruh enzim pada bahan setelah pengolahan.
Setelah dilakukan perendaman dilakukan perebusan pada air 80ºC selama 10 menit,
perendaman selama 15 menit, dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Langkah
selanjutmya sama dengan percobaan pertama. Setelah dilakukan penimbangan
kemudian dilakukan pengamatan cooking loss masing – masing perlakuan. Data
yang didapat dicatat sebagai data hasil pengamatan dan dibandingkan. Praktikum
dilakukan dengan teliti agar didapat hasil yang diinginkan.
3.2.7 Pengukuran Driploss

Irisan daging dan


ikan

Tanpa penambahan Penambahan enzim


enzim bromelin bromelin

Tanpa Perebusan pada air 80ºC Perendaman larutan


perlakuan selama 10 menit @3 curing selama 15
sampel menit menit @3

Penimbangan
berat

Pemberian label dan pemasukan ke dalam


freezer selama 3 hari

Air mengalir

Pengeringan sampel

Penimbangan sampel

Perhitungan driploss
Langkah pertama pada uji coba ini adalah penyiapan alat dan bahan yang
akan digunakan. Adapun alat yang digunakan adalah pisau untuk pemotongan
daging dan ikan, waterbath untuk perebusan, neraca analitik untuk penimbangan,
stopwatch untuk pengukuran waktu agar didapat waktu sesuai yang diinginkan,
gelas beker untuk tempat pencampuran irisan daging dan ikan dengan larutan
curing, spatula untuk pengadukan agar tercampur merata. Adapun bahan yang
digunakan berupa irisan daging dan ikan, larutan curing, tisu, enzim bromelin, dan
air. Pada percobaan pertama, dilakukan pengukuran drip loss bahan secara non-
enzimatis. Bahan yang telah diiris segera dilakukan perlakuan yang berbeda - beda.
Masing – masing bahan dilakukan perebusan pada air 80ºC selama 10 menit,
perendaman selama 15 menit, dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Selanjutnya
dilakukan penimbangan berat masing – masing sampel dengan menggunakan
neraca analitik agar didapat hasil yang akurat. Data yang didapat dicatat sebagai
data pertama. Kemudian dilakukan pemberian label dan pemasukan ke dalam
freezer selama 3 hari. Pemasukan ke dalam freezer bertujuan untuk pengawetan
agar mikroorganisme mati. Kemudian dilakukan thawing dengan mengalirkan air
mengalir pada sampel yang masih terbungkus plastik. Lalu dilakukan pengeringan
sampel dengan menggunakan tisu. Penggunaan tisu berguna agar air dapat terpisah
dengan bagian luar daging atau didapat berat sampel tanpa air. Setelah itu dilakukan
dilakukan penimbangan berat sampel dengan menggunakan neraca analitik agar
didapat hasil yang akurat. Data yang didapat dicatat sebagai data kedua. Kemudian
dilakukan perhitungan drip loss dengan mengurangi data kedua dengan data
pertama. Data yang didapat dicatat sebagai data hasil pengamatan.
Pada percobaan kedua, dilakukan secara enzimatis. Bahan – bahan yang
telah diiris kemudian direndam dalam enzim bromelin yang diperoleh dari jus nanas
selama 1,5 menit. Perendaman dilakukan agar enzim dapat meresap pada bahan
sehingga nantinya dapat diketahui pengaruh enzim pada bahan setelah pengolahan.
Setelah dilakukan perendaman dilakukan perebusan pada air 80ºC selama 10 menit,
perendaman selama 15 menit, dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Langkah
selanjutmya sama dengan percobaan pertama. Setelah dilakukan penimbangan
kemudian dilakukan pengamatan drip loss masing – masing perlakuan. Data yang
didapat dicatat sebagai data hasil pengamatan dan dibandingkan. Praktikum
dilakukan dengan teliti agar didapat hasil yang diinginkan.
BAB 4. DATA PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1 Data Pengamatan


4.1.1 Pengamatan Karakteristik Daging dan Ikan Non-Enzim
a. Pengamatan Daging dan Ikan Segar
• Perbedaan Daging Segar dan Daging Kurang Segar
Jenis Daging segar Daging Gambar
pengamatan kurang segar Segar Kurang
segar
Warna Merah segar Merah
kehitaman
Tekstur Kenyal padat Sedikit keras
Aroma Amis segar Amis
menyengat
• Perbedaan Ikan Segar dan Ikan Kurang Segar
Jenis Ikan segar Ikan kurang Gambar
pengamatan segar Segar Kurang segar
Bentuk Utuh Utuh

Mata Cerah, Pudar,


bening, keruh,
cembung cekung
Insang Merah cerah Coklat
kehitaman

Lendir Bening Keruh


Kulit Mengkilap Keruh

Sisik Menempel Mudah lepas


pada kulit

Warna Merah segar Abu-abu

Aroma Amis segar Busuk

Tekstur Kenyal padat Lembek

b. Pengamatan Marbling pada Daging


Kode sampel Gambar No. BMS Grade
Sapi (03) Quality grade 3

c. Pengamatan Warna
Sampel Deskripsi warna Gambar
s r c s r c
Daging Merah Coklat Merah
segar maron
sapi

Daging Krem Putih Krem


cerah (+) pucat
ayam

Ikan Coklat Putih (++) Krem


muda keabua
lele
n

Ikan Krem Putih Coklat


keabuan keruh pucat
laut
(+++)

Keterangan :
s = segar r = rebus c = curing
Semakin banyak + pada pengamatan warna sampel rebus menunjukkan warna
yang semakin pekat
d. Pengamatan Nilai pH
Sampel Perlakuan daging
Segar Rebus Curing
Daging sapi 5 7 5
Daging ayam 6 6,5 5
Ikan lele 6,5 7 7
Ikan laut 6,5 6,5 6
e. Pengukuran Tekstur
Sampel Segar(g/mm) Rebus (g/mm) Curing (g/mm)
A B S a B S A B S
Daging 156/5 107/5 34/5 207/5 21/5 115/5 132/5 76/5 52/5
sapi
Daging 26/5 94/5 112/5 127/5 103/5 124/5 133/5 90/5 53/5
ayam
Ikan lele 231/5 275/5 31/5 16/5 34/5 11/5 19/5 49/5 21/5
Ikan laut 156/5 28/5 17/5 63/5 36/5 78/5 15/5 25/5 20/5
Keterangan :
a = atas b = bawah s = samping
f. Pengamatan Perbedaan Jenis Daging
Jenis Daging sapi Daging Daging ayam Daging babi
pengamata kambing
n
Warna Merah segar Merah tua Krem Merah pucat
kemerahan
Tekstur Kenyal Kenyal Agak keras Kenyal padat
Bentuk Halus padat Kasar Halus Lebih padat
serat
Aroma Amis Amis Amis Sedikit amis
prengus
Warna Krem Putih Putih Putih
lemak
Keberadaan Sedikit dan Sedikit Sedikit Banyak dan
lemak menyebar mengumpul
Gambar

g. Pengukuran Cooking loss


Sampel Segar Rebus Curing
Berat Berat Berat Berat Berat Berat
sebelum setelah sebelum setelah sebelum setelah
dimasak dimasak dimasak dimasak dimasak dimasak
(g) (g) (g) (g) (g) (g)
Daging sapi 5,30 3,33 5,50 3,60 4,70 3,51
Daging 5,36 4,12 5,95 4,00 4,35 3,54
ayam
Ikan lele 5,69 4,53 4,77 4,00 4,40 4,02
Ikan laut 5,44 4,54 4,74 4,19 5,00 4,32
h. Pengukuran Drip loss
Sampel Segar Rebus Curing
Berat Berat Berat Berat Berat Berat
sebelum setelah sebelum setelah sebelum setelah
beku (g) beku (g) beku(g) beku (g) beku (g) beku (g)
Daging 3,33 2,98 3,60 2,85 3,51 3,27
sapi
Daging 4,12 3,64 4,00 3,32 3,54 3,13
ayam
Ikan lele 4,53 4,16 4,00 3,45 4,02 3,54
Ikan laut 4,59 3,92 4,19 3,48 4,32 3,56
4.1.2 Pengamatan Karakteristik Daging dan Ikan dengan Enzim
a. Pengamatan Warna
Sampel Deskripsi warna Gambar
s r c s r c
Daging Merah Coklat Merah
segar pucat
sapi

Daging Krem Putih Krem


tulang pucat
ayam

Ikan Merah Putih Merah


kekuning keabua
lele
an n
Ikan Putih Lebih Putih
pucat putih segar
laut
pucat

b. Pengamatan Nilai pH
Sampel Perlakuan daging
Segar Rebus Curing
Daging sapi 5 6 7
Daging ayam 6 7 7
Ikan lele 5 7 7
Ikan laut 5 6 7
c. Pengukuran Tekstur
Sampel Segar (g/mm) Rebus (g/mm) Curing (g/mm)
a B S A b S a B S
Daging 51/5 123/5 137/5 94/5 179/5 196/5 31/5 70/5 173/5
sapi
Daging 188/5 143/5 150/5 163/5 136/5 105/5 98/5 311/5 278/5
ayam
Ikan lele 155/5 79/5 105/5 39/5 45/5 55/5 88/5 84/5 109/5
Ikan laut 23/5 65/5 97/5 179/5 115/5 19/5 17/5 46/5 75/5
Keterangan :
a = atas b = bawah s = samping
d. Pengukuran Cooking loss
Sampel Segar Rebus Curing
Berat Berat Berat Berat Berat Berat
sebelum setelah sebelum setelah sebelum setelah
dimasak dimasak dimasak dimasak dimasak dimasak
(g) (g) (g) (g) (g) (g)
Daging sapi 4,17 2,37 2,42 2,12 4,42 2,53
Daging 5,12 4,62 5,31 4,58 5,67 5,43
ayam
Ikan lele 4,66 1,88 2,02 1,83 4,94 2,33
Ikan laut 5,97 5,38 5,01 4,35 6,66 6,28
e. Pengukuran Drip loss
Sampel Segar Rebus Curing
Berat Berat Berat Berat Berat Berat
sebelum setelah sebelum setelah sebelum setelah
beku (g) beku (g) beku(g) beku (g) beku (g) beku (g)
Daging 2,37 2,15 2,12 1,98 2,53 2,42
sapi
Daging 4,62 2,26 4,58 2,16 5,43 1,82
ayam
Ikan lele 1,88 1,66 1,83 1,71 2,33 1,45
Ikan laut 5,38 2,66 4,35 1,13 6,28 1,89

4.2 Hasil Perhitungan.


4.2.1 Pengamatan Karakteristik Daging dan Ikan Non-Enzim
a. Pengamatan Daging dan Ikan Segar
Pada pengamatan ini tidak dilakukan perhitungan.
b. Pengamatan Marbling pada Daging
Pada pengamatan ini tidak dilakukan perhitungan.
c. Pengamatan Warna
Pada pengamatan ini tidak dilakukan perhitungan.
d. Penentuan pH
Pada pengamatan ini tidak dilakukan perhitungan.
e. Pengukuran Tekstur
Sampel Segar (g/mm) Rebus (g/mm) Curing (g/mm)
Daging sapi 19,800 22,867 17,333
Daging ayam 15,467 23,600 18,400
Ikan lele 35,800 4,067 5,933
Ikan laut 13,400 11,800 4,000
f. Pengamatan Daging berbagai Jenis Ternak
Pada pengamatan ini tidak dilakukan perhitungan.
g. Pengukuran Cooking loss
Sampel Segar (%) Rebus (%) Curing (%)
Daging sapi 37,130 34,540 25,310
Daging ayam 23,134 32,770 18,620
Ikan lele 20,387 16,140 8,630
Ikan laut 16,544 11,600 15,460
h. Pengukuran Drip loss
Sampel Segar (%) Rebus (%) Curing (%)
Daging sapi 10,51 20,83 6,83
Daging ayam 11,65 17 11,58
Ikan lele 8,16 13,75 11,94
Ikan laut 14,59 16,94 17,59

4.2.2 Pengamatan Karakteristik Daging dan Ikan dengan Enzim


a. Pengamatan Warna
Pada pengamatan ini tidak dilakukan perhitungan.
b. Penentuan pH
Pada pengamatan ini tidak dilakukan perhitungan
c. Pengukuran Tekstur
Sampel Segar (g/mm) Rebus (g/mm) Curing (g/mm)
Daging sapi 20,600 31,267 18,267
Daging ayam 32,067 26,933 45,800
Ikan lele 22,600 9,267 18,733
Ikan laut 12,333 20,867 9,200
d. Pengukuran Cooking loss

Segar (%) Rebus (%) Curing (%)


Sampel
Daging sapi 43,165 12,397 42,760
Daging ayam 9,766 13,748 4,233
Ikan lele 59,657 9,406 52.834
Ikan laut 9,883 13,174 5,706
e. Pengukuran Drip loss
Sampel Segar (%) Rebus (%) Curing (%)
Daging sapi 9,283 6,604 4,348
Daging ayam 51,082 52,838 66,438
Ikan lele 11,702 6,557 37,768
Ikan laut 50,558 74,023 69,904
BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Analisis Data Daging dan Ikan Non-enzim


5.1.1 Pengamatan Daging dan Ikan Segar maupun Kurang Segar
a. Pengamatan daging segar dan kurang segar
Pada pengamatan daging dan ikan segar maupun tidak segar digunakan
daging sapi dan ikan kuniran. Penggunaan kedua bahan tersebut karena merupakan
bahan yang sering digunakan dalam pengolahan makanan, tidak sulit untuk
mendapatkan, dan harga relatif terjangkau. Dari pengamatan didapat daging segar
berwarna merah segar, tekstur kenyal padat, aroma amis segar sedangkan daging
kurang segar berwarna merah kehitaman, bertekstur sedikit keras dan beraroma
amis menyengat. Warna merah pada daging segar diakibatkan oleh myoglobin yang
masih bagus karena baru disembelih. Sesuai dengan literatur yaitu daging sapi
memiliki warna merah terang, mengkilap, dan tidak pucat (Usmiati, 2010).
Sedangkan pada daging kurang segar, daging telah mengalami oksidasi sehingga
warna merah yang bereaksi dengan oksigen akan menghasilkan warna merah
kehitaman. Protein myoglobin akan menjadi oxymyoglobin, yang membuat warna
daging menjadi gelap karena sudah kontak dengan udara.
Pada tekstur, pada daging segar tekstur kenyal padat. Hal ini sesuai dengan
Usmiati (2010), yang menyatakan bahwa secara fisik daging bertekstur elastis,
sedikit kaku dan tidak lembek. Jika dipegang masih terasa basah dan tidak lengket
di tangan. Pada daging kurang segar terjadi perubahan menjadi sedikit keras. Hal
ini karena adanya keadaan rigor mortis yaitu kekakuan pada jaringan otot akibat
hilangnya ATP. Penyembelihan pada suhu tinggi dan ternak dalam keadaan stress
akan mempercepat kekauan atau pengerasan pada daging. Suhu tinggi saat
penyembelihan akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan enzim
ATPase sehingga rigor mortis cepat berlangsung. Pada ternak yang mengalami
kecapaian / kelelalahan sebelum penyembelihan akan menghasilkan persediaan
ATP yang kurang sehingga proses kekakuan akan berlangsung lebih cepat. Selain
itu menurut Anjarsari (2010), kematian berpengaruh pada kemampuan mengikat
air. Pada fase rigor mortis dengan habisnya ATP, akan terjadi ikatan yang kuat
antara filamen aktin dan myosin, yang menyebabkan menyempitnya ruangan
pengikat air. Maka daya ikat air pada fase rigor mortis sangat rendah. Kekenyalan
daging sangat berhubugan dengan daya ikat air. Daging segar memiliki tekstur
kenyal karena masih mengandung kadar air yang cukup tinggi. Selain itu pengaruh
pH terhadap keempukan bervariasi, daging dengan pH tinggi (>6) mempunyai
keempukan lebih tinggi dibanding dengan daging pH rendah (sekitar 6), biasanya
mengandung jus lebih banyak (Soeparno, 2009).
Pada aroma, aroma amis segar berasal dari darah yang masih melekat
setelah penyembelihan. Sedangkan pada daging kurang segar memiliki aroma amis
menyengat. Menurut Komariah (2009), daging yang segar memiliki aroma khas.
Daging sudah rusak akan tercium bau yang tidak sedap. Bau ini dikarenakan adanya
aktivitas mikroba, reaksi kimia, atau kombinasi keduanya. Kebusukan akan
kerusakan yang terjadi pada daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa
berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil
pemecahan protein oleh mikroorganisme. Seluruh senyawa tersebut dihasilkan oleh
reaksi-reaksi kimia yang menyebabkan ransiditas oksidatif lemak dan
menghasilkan aldehida, asam–asam lemak bebas dan keton yang selanjutnya
menyebabkan bau. Terjadinya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya
oksigen dan kontak daging dengan oksigen. Selain penyebab tersebut bau pada
daging juga disebebkan oleh faktor internal seperti spesies, umur, pH perubahan
selama penyimpangan, serta faktor ekstrinsik yang meliputi pemerosesan dan
makanan.
b. Pengamatan ikan segar dan kurang segar
Pada pengamatan ini menggunakan parameter yang telah ditentukan,
parameter yang digunakan antara lain mengamati bentuk, mata, insang, lendir, kulit,
sisik, warna, aroma, dan tekstur. Pada bentuk, kedua ikan masih memiliki bentuk
yang sama, namun beda kenampakan. Hal ini karena ikan yang digunakan masih
segar dan kurang segar. Mata pada ikan segar memiliki bentuk cembung dan
berwarna cerah bening, sedangkan pada ikan kurang segar kondisi matanya pudar
atau keruh yang berbetuk cekung. Hal ini sesuai dengan Anjarsari (2010), mata ikan
segar cemerlang, kornea bening, dan mata cembung. Sedangkan pada ikan kurang
segar pupil redup, tenggelam, pupil mata kelabu tertutup lendir. Pada ikan segar
kondisi mata yang bagus dikarenakan ikan masih memiliki sisa oksigen untuk
diedarkan pada pembuluh darah dan produksi ATP masih berlanjut. Sehingga
kenampakan mata ikan masih terlihat seperti ikan hidup. Kondisi mata pudar dan
cekung terjadi karena berhentinya peredaran darah akibat pasokan oksigen
berkurang pada jaringan yang lama kelamaan akan berhenti. Akibatnya jaringan
tidak mampu membentuk ATP kembali karena mekanisme transport elektron dan
fosforilasi oksidatif segera terhenti sehingga jaringan menjadi lunak dan lentur
(Anjarsari, 2010). Adanya fase rigor menunjukkan jaringan daging telah mengalami
perenggangan. Seperti yang terjadi pada komponen mata yang semakin lama akan
semakin terburai dan batas antar komponen semakin tidak jelas. Sehingga terlihat
mata yang memudar dan berlendir.
Kondisi insang pada ikan segar memiliki warna merah cerah sedangkan
pada ikan kurang segar memiliki warna coklat kehitaman. Sesuai dengan Afifah
(2009), Perbedaan insang insang segar dan kurang segar, yakni pada ikan segar
insangnya berwarna merah cemerlang atau merah tua tanpa adanya lender, tidak
tercium bau yang menyimpang, sedangkan pada ikan kurang segar insang berwarna
merah coklat sampai keabu-abuan, bau menyengat, dan lendir tebal. Hal ini
disebabkan oleh darah yang mengendap pada kapiler darah didalam insang pada
ikan kurang segar. Ikan segar memiliki lendir yang sedikit dan bening dengan kulit
yang mengkilap dan sisik yang masih menempel pada kulit, sedangkan ikan kurang
segar memiliki lendir yang keruh dengan kondisi kulit keruh serta sisik yang sudah
lepas dari kulit. Hal ini terjadi karena adanya hyperaemia yaitu lendir ikan terlepas
dari kelenjar-kelenjarnya dalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal
disekeliling tubuh. Selain itu kemunduran mutu ikan dapat dilihat dari derajat
keasaman (pH). Penurunan pH akan mempengaruhi sifat fisik daging, laju
penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat
air karena meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian
akan memeras cairan keluar dari dalam daging. Adanya lendir juga disebabkan oleh
aktivitas bakteri yaitu sebagai media pertumbuhan bakteri.
Pada warna terjadi perubahan, ikan segar berwarna merah segar yang
memiliki aroma amis segar serta teksturnya yang kenyal padat, sedangkan ikan
kurang segar memiliki warna abu-abu yang memiliki aroma busuk serta tekstur
yang lembek. Warna merah pada ikan segar dipengaruhi oleh pigmen myoglobin
yang masih ada karena sisa oksigen dalam pembuluh darah. Aroma amis berasal
dari masih adanya aktivitas bakteri yang dapat mengeluarkan zat amino volatile
yang semakin lama terkena udara akan semakin banyak zat amino yang terbang.
Tekstur yang kenyal dan padat terjadi karena didalam tubuh masih ada produksi
ATP selama sisa oksigen masih ada. Sedangkan pada ikan kurang segar, terjadi
karena adanya fase pasca mortem. Relaksasi setelah kekakuan menyebabkan
melemasnya kembali daging ikan karena aktomiosin kembali kebentuk semula
menjadi aktin dan myosin. Adanya perubahan ini berhubungan dengan menurunnya
pH yang mengubah kondisi asam disertai dengan reaksi eksotermis. Selama pasca
mortem, protein otot sangat sering dipengaruhi oleh kombinasi keadaan yaitu suhu
tinggi dan pH rendah. Perubahan berupa hilangnya warna asli dan kemampuan
mengikat air (WHC). Besar kecilnya WHC dapat memengaruhi warna (color),
tekstur (texture), kekenyalan (firmness), kesan jus (juiceness), dan keempukan
(tenderness). Daya ikat yang dimaksud adalah kemampuan daging untuk menahan
air selama aplikasi kekuatan eksternal. Kapasitas mengikat air jaringan otot
mempunyai efek langsung pada pengkerutan. Protein sarkoplasmik mudah
mengalami denaturasi dan akan melekat kuat pada permukaan miofilamen yang
menghasilkan warna pucat (Anjarsari,2010).
Perubahan aroma dan tekstur juga dipengaruhi oleh enzim dan aktivitas
mikroorganisme. Proses pembusukan pada ikan dapat disebabkan terutama oleh
aktivitas enzim yang terdapat di dalam tubuh ikan sendiri, aktivitas
mikroorganisme, atau proses oksidasi pada lemak tubuh oleh oksigen dari udara.
Perubahan tektur disebababkan karena ikan mengalami fase pasca rigor. Ikan
menjadi lemas kembali setelah mengalami rigor akibat autolysis. Autolysis sendiri
adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease dan lipase) yang
terdapat dalam daging ikan. Autolysis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH.
Mula-mula protein dipecah menjadi molekul-molekul makro, yang menyebabkan
dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi protease lalu pecah lagi
menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Bakteri merusak
ikan lebih parah dari pada kerusakan enzim. Bakteri gram negatif merupakan
kontaminan penyebab utama kebusukan pada ikan. Mikroba proteolitik dan lipotik
gram negatif maupun positif dapat berkembangbiak menghasilkan senyawa yang
berbau busuk. Kondisi lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan mikroba,
meliputi suhu, pH, oksigen, waktu simpandan kondisi saran prasarana ( Suriawira,
2005).
Kulit ikan segar mengkilap, sedangkan kulit ikan kurang segar keruh. Sisik
ikan segar menempel, sedangkan sisik ikan kurang segar mudah lepas. Sesuai
dengan Anjarsari (2010) yang menyatakan kulit ikan segar cemerlang, belum pudar
dan warna asli kontras. Sisik ikan segar melekat kuat, mengkilat dengan tanda atau
warna khusus tertutup lendir jernih. Sedangkan pada ikan kurang segar kulit rupa
pudar, kurang baik kulitnya, mengering dan retak. Sisik banyak yang lepas, tanda
dan warna khusus memudar dan lambat menghilang. Adanya perubahan pada kulit
terjadi karena hyperaemia yaitu lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya dalam
kulit,membentuk lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Bersamaan
dengan semakin banyak bakteri yang mengkontaminasi maka semakin banyak
lapisan bening dan lendir yang menutupi kulit, akibatnya warna memudar dan
keruh. Sisik terlepas terjadi karena tidak adanya jaringan yang menahan karena
ATP sudah tidak diproduksi lagi.
5.1.2 Pengamatan Marbling pada Daging
Pengamatan marbling pada praktikum ini hanya dilakukan pada daging
sapi . Pada pengamatan marbling daging sapi memiliki pola-pola penyebaran lemak
intraseuler dan jaringan serat-serat daging hampir sama pada gambar skala
marbling kode BMS 3 ( quality grade 3), yang artinya daging memiliki marbling
yang lumayan banyak. Marbling yang merupakan butiran lemak putih yang tersebar
dalam jaringan otot daging (lemak intra muskuler) sangat berpengaruh pada cita
rasa daging. Pada hasil pengamatan tersebut menunjukan bahwa daging sapi,
memiliki pola penyebaran lemak sedikit. semakin banyak marbling maka semakin
tinggi juiciness, flavor dan kelunakan daging karena kandungan lemaknya tinggi.
Lemak marbling tidak dapat dihilangkan dan jika dihilangkan maka akan
mempengaruhi kualitas daging karena lemak berfungsi sebagai pembungkus otot
dan mempertahankan kutuhan daging pada waktu dipanaskan. (Priyanto et al,
1999).
5.1.3 Pengamatan Warna
Pada pengamatan warna daging ikan, bahan yang digunakan adalah daging
sapi, ayam, ikan lele dan laut. Pengamatan warna ini berbeda dari pengamatan
karakteristik warna pada daging dan ikan karena pada pengamatan ini terdapat
beberapa perlakuan. Sebelum pengamatan warna, daging dan ikan disiapkan
masing – masing 3 sampel untuk diamati warnanya ketika masih segar, ketika sudah
direbus dan ketika daging dan ikan sudah melalui proses curing. Pada pengamatan
warna ini terdapat perlakuan yaitu pengamatan warna daging dan ikan yang tidak
diberi enzim dan pengamatan warna daging dan ikan yang sudah diberim enzim
bromelin sebelumnya. Pada hasil pengamatan daging dan ikan yang tidak diberi
enzim, daging sapi segar tanpa perlakuan yang digunakan sebagai variable kontrol
berwarna merah segar, daging sapi yang telah direbus memiliki warna coklat, dan
daging sapi curing memiliki warna merah maroon. Pada daging ayam segar
memiliki warna krem, daging ayam rebus memiliki warna putih cerah dan daging
ayam curing memiliki warna krem pucat. Pada daging ikan lele segar memiliki
warna coklat muda, daging ikan lele rebus memiliki warna putih dan daging ikan
lele curing memiliki warna krem keabuan. Pada ikan laut segar memiliki warna
krem keabuan, ikan laut rebus berwarna putih keruh dan ikan laut curing berwarna
coklat pucat.
Warna daging sapi normal adalah merah cerah. Warna merah yang
terdapat dalam daging dipengaruhi oleh pigmen daging yaitu mioglobin. Kadar
mioglobin pada daging akan mempengaruhi derajat warna merah daging. Kadar
mioglobin ini bervariasi menurut spesies, umur, jenis kelamin, jenis otot dan
aktivitas fisik (Soeparno, 2009). Warna daging ayam segar berwarna krem karena
pada sel -sel ototnya mengandung lebih banyak glikogen dan bagian yang diamati
jarang digunakan. Sebenarnya ayam juga memiliki warna daging yang lebih merah
pada jaringan bagian yang sering digunakan seperti pada paha dan kaki, namun
tetap lebih putih daripada daging sapi. Daging ikan lele segar memiliki warna coklat
muda dan pada ikan laut segar memiliki warna krem keabuan. Hal ini terjadi karena
darah ikan tidak terlalu banyak, aktivitas otot yang berbeda dengan hewan darat di
rancang berkontraksi cepat dan singkat saat berenang sehingga otot ikan tidak
memerlukan cadangan oksigen seperti pada hewan darat.
Setelah perebusan terjadi perubahan warna. Setelah proses pemasakan
banyak sifat fisik yang berubah dari daging diantaranya adalah warna merah setelah
dimasak akan mengalami penurunan. Hal ini karena terjadi perubahan myoglobin
atau oksimioglobin menjadi metmioglobin, yang disebabkan karena teroksidasinya
myoglobin sewaktu pemasakan daging (Buckle et al, 2010). Myoglobin mengalami
denaturasi (kerusakan struktur) sehingga heme terlepas. Dalam keadaan bebas, ion
Fe2+ pada heme mudah mengalami oksidasi menjadi Fe3+ yang berwarna
kecoklatan. Sehingga pada daging sapi warnanya menjadi coklat. Hal yang sama
juga terjadi pada daging ayam, ikan lele, dan ikan laut. Pigmen sangat sensitif
terhadap panas, sehingga saat terkena panas akan segera terdenaturasi.
Setelah perendaman dengan larutan curing menggunakan NaCl selama 15
menit menyebabkan warna daging semakin pekat. Hal ini dikarenakan curing
ditujukan kepada produksi pigmen daging yang mantap secara termal dan
pembentukan cita rasa yang khas, dan sebagai pengawet daging. NaCl berfungsi
memberikan cita rasa dan pengawet karena ion Cl sebagai anti bakteri (Anjarsari,
2010). Perubahan warna pada daging dan ikan karena mekanisme curing menurut
Winarno (2002) adalah nitrit bereaksi dengan gugus sulfihidril membentuk
senyawa yang tidak dapat dimetabolisasi oleh mikrobia dalam kondisi anaerob.
Pada daging, nitrit membentuk nitroksida yang dengan pigmen daging akan
membentuk nitrosomiglobin yang berwarna merah kuat dan pada ikan akan berubah
menjadi keabuan atau pucat.
Pada pengamatan warna daging dan ikan yang sudah diberi enzim
bromelin didapat hasil pengamatan, daging sapi segar berwarna merah cerah,
daging sapi rebus berwarna coklat dan daging curing berwarna merah pucat. Pada
daging ayam segar berwarna krem, daging ayam rebus berwarna putih tulang dan
daging ayam curing berwarna krem pucat. Pada daging ikan lele segar berwarna
merah kekuningan, ikan lele rebus berwarna putih dan ikan lele curing berwarna
merah keabuan. Pada daging ikan laut segar berwarna putih pucat, ikan laut rebus
berwarna lebih putih pucat dan ikan laut curing berwarna putih segar. Menurut
Winarno (1993), bromelin adalah enzim protease yang dapat menghirolisis protein.
Selama proses perendaman daging terjadi proses hidrolisis protein serat otot,
tenunan pengikat, dan terjadi perubahan-perubahan yang meliputi menipisnya serta
hancurnya sarkolema, terlarutnya nukleus dari serabut otot dan jaringan ikat serta
lepasnya keterikatan serabut otot sehingga dihasilkan jaringan lunak (Utami, 2010).
Sehingga penambahan enzim pada daging dan ikan berpengaruh pada kenampakan
daging yaitu keempukan dan perubahan warna yang ada.
5.1.4 Penentuan pH
Pengamatan nilai pH dilakukan untuk mengetahui pH pada bahan pangan
tersebut. Bahan yang digunakan adalah daging sapi, ayam, ikan lele dan ikan laut.
Masing – masing bahan disediakan 3 sampel yaitu sampel segar,rebus dan curing.
Pada masing – masing sampel terdapat 2 perlakuan yaitu sampel yang diberi enzim
bromelin dan yang tidak diberi enzim bromelin. Pengamatan nilai pH dilakukan
dengan menggunakan kertas pH universal (kertas). Pada pengamatan daging dan
ikan yang tidak diberi enzim, daging segar memiliki pH 5, daging ayam memiliki
pH 6, ikan lele memiliki pH 6,5 dan ikan laut memiliki pH 6,5. Daging sapi rebus
memiliki pH 5, daging ayam rebus memiliki pH 6,5, ikan lele rebus memiliki pH 7,
ikan laut rebus memiliki pH 6,5. Daging sapi curing memiliki pH 5, daging ayam
curing memiliki pH 5, ikan lele curing memiliki pH 7, dan daging ikan laut
memiliki pH 6. Setelah hewan dipotong dan mati, terjadi metabolisme anaerob yang
menyebabkan terbentuknya asam laktat. Adanya penimbunan asam laktat dalam
daging menyebabkan turunnya pH jaringan otot dan penurunan pH dalam keadaan
normal yaitu 7,2 dan 7,4 menjadi pH akhir 3,5 – 5,5. Penurunan pH terjadi secara
perlahan - lahan tergantung suhu sekitar. Suhu rendah mengakibatkan penurunan
pH daging akan melambat (Anjarsari, 2010). Keadaan suhu ini yang menyebabkan
pH awal daging segar dari keempat bahan tidak jauh dari pH normal (7).
Setelah dilakukan perebusan pada tiap sampel, maka pH dari masing-
masing sampel cenderung naik atau mendekati netral. Hal ini dikarenakan adanya
proses termal yang membuat bahan pangan memiliki pH yang mendekati netral.
Setelah perendaman larutan curing selama 15 menit pada tiap sampel, maka pH dari
tiap sampel cenderung turun seperti yang terjadi pada daging sapi dan ayam.
Apabila pH yaang diperoleh lebih besar, disebabkan pada saat menjelang kematian
cadangan glikogen ikan mengalami pemecahan yang cukup berarti. Selain itu, asam
laktat dan asam organik yang dihasilkan dari glikolisis terakumulasi sehingga
terdapat beberapa kenaikan pH dan mencapai pH 7 seperti yang terjadi pada ikan
lele dan ikan laut.
Pada pengamatan daging dan ikan yang sudah diberi enzim, daging sapi
memiliki pH 5, daging ayam segar memiliki pH 6, ikan lele segar memiliki pH 5
dan ikan laut segar memiliki pH 5. Daging sapi rebus memiliki pH 6, daging ayam
rebus memiliki pH 7, ikan lele memiliki pH 7 dan ikan laut memiliki pH 6. Daging
sapi curing memiliki pH 7, daging ayam curing memiliki pH 7, ikan lele memiliki
pH 7 dan ikan laut curing memiliki pH 7. Menurut Winarno (1993), bromelin
adalah enzim protease yang dapat menghirolisis protein. Selama proses
perendaman daging terjadi proses hidrolisis protein serat otot, tenunan pengikat,
dan terjadi perubahan-perubahan yang meliputi menipisnya serta hancurnya
sarkolema, terlarutnya nukleus dari serabut otot dan jaringan ikat serta lepasnya
keterikatan serabut otot sehingga dihasilkan jaringan lunak (Utami, 2010). Setelah
dilakukan perebusan pada tiap sampel, maka pH dari masing-masing sampel
cenderung naik atau mendekati netral. Hal ini dikarenakan adanya proses termal
yang membuat bahan pangan memiliki pH yang mendekati netral. Apabila pH yang
diperoleh lebih besar dari litelatur, disebabkan pada saat menjelang kematian
cadangan glikogen ikan mengalami pemecahan yang cukup berarti. Selain itu, asam
laktat dan asam organik yang dihasilkan dari glikolisis terakumulasi sehingga
terdapat beberapa kenaikan pH dan mencapai pH 7. Kenaikan pH pada bahan
dengan penambahan enzim setelah curing lebih tinggi daripada yang tidak diberi
penambahan enzim. Hal ini terjadi karena konsentrasi larutan nanas yang tinggi
dapat meningkatkan nilai pH.
5.1.5 Pengukuran Tekstur
Pada pengukuran tekstur bahan yang digunakan adalah daging sapi, ayam,
ikan lele dan ikan laut, masing – masing bahan disiapkan 3 sampel untuk diukur
teksturnya ketika masih segar, ketika sudah direbus dan ketika daging dan ikan
sudah melalui proses curing. Pengukuran tekstur dengan menggunakan rheotex
menunjukkan semakin besar nilai pengukuran yang muncul pada layer rheotex
berarti tekstur bahan semakin keras. Tekstur berhubungan dengan keempukan
daging ditentukan oleh komponen daging yaitu struktur miofibril, kandungan
jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, daya ikat air oleh protein daging serta jus
daging. Daging yang mempunyai daya ikat air yang rendah, akan kehilangan
banyak cairan, sehingga terjadi kehilangan berat. Di samping itu juga akan
kehilangan sebagian komponen yang terlarut di dalam cairan yang keluar
(Soeparno, 2005).
Pada pengukuran tekstur terdapat 2 perlakuan yaitu pengukuran tekstur
pada sampel yang tidak diberi enzim dan sampel yang sudah diberi enzim, dalam
pengukuran tekstur daging dan ikan digunakan rheotex untuk mengukur
teksturnya. Pada hasil pengamatan daging dan ikan yang tidak diberi enzim, tekstur
daging sapi segar berukuran 19,8 g/mm; tekstur daging ayam segar berukuran
15,467 g/mm; tekstur ikan lele segar berukuran 35,8 g/mm; tekstur ikan laut segar
berukuran 13,4 g/mm. Tekstur daging sapi rebus berukuran 22,867; tekstur daging
ayam rebus berukuran 23,6 g/mm; tektur ikan lele rebus berukuran 4,067; tekstur
ikan laut rebus berukuran 11,8 g/mm. Ukuran tekstur pada daging dan ikan rebus
berbeda dari daging dan ikan yang masih segar, karena daging dan ikan rebus sudah
melalui pemasakan dengan suhu tinggi yang dapat merubah tekstur dari daging dan
ikan tersebut. Hal ini sesuai menurut Melinda, dkk., (2017), pengaruh pemanasan
terhadap komponen daging dan ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan
komposisi kimia yang terjadi setelah proses pengolahan.
Pada daging sapi curing berukuran 17,333 gr/mm; tekstur daging ayam
curing berukuran 18,4 g/mm; tekstur ikan lele curing berukuran 5,933 g/mm;
tekstur ikan laut curing berukuran 4 gr/mm. Ukuran tekstur daging dan ikan curing
berbeda dari sampel segar dan rebus. Hal ini karena proses curing pada prinsipnya
merupakan suatu proses terjadinya reaksi kimia awal jaringan ikat kolagen dengan
bahan curing baik dengan menggunakan bahan curing asam, basa maupun enzim.
Proses curing menyebabkan struktur ikatan intramolekuler dan intermolekuler pada
protein kolagen melemah ataupun terjadi proses pemutusan rantai ikatan asam
amino secara parsial (Kolodziejska, dkk., 2007).
Pada pengukuran daging dan ikan yang sudah diberi enzim. Berdasarkan
hasil pengamatan, tekstur daging sapi segar berukuran 20,6 g/mm, tekstur daging
ayam segar berukuran 32,067 g/mm, tekstur ikan lele segar berukuran 22,6 g/mm,
dan tekstur ikan laut berukuran 12,333 g/mm. Tekstur pada daging sapi rebus
31,267 g/mm, tekstur daging ayam rebus berukuran 26,933 g/mm, tekstur ikan lele
rebus berukuran 9,267 g/mm, dan tekstur ikan laut rebus berukuran 20,867 g/mm.
Daging dan ikan dengan segar dengan penambahan enzim bromelin mengalami
kenaikan tekstur yang cukup tinggi, sehingga menyebabkan tekstur daging dan ikan
lunak. Bromelin termasuk dalam golongan protease yang dihasilkan dari ekstraksi
buah nanas yang dapat mendegradasi kolagen daging, sehingga dapat
mengempukan daging (Illanes, 2008).
Pelayuan mempengaruhi keempukan, karena proteolysis pascamerta.
Pemasakan meningkatkan keempukan, tetapi juga dapat menururnkan keempukan,
tergantung pada lama waktu dan temperatur. Lama pemasakan berpengaruh
terhadap kolagen. Temperatur mengatur miofibrilar, bila temperatur lebih tinggi
dari 60-80oC, maka koagulasi/deaturasi protein mifibrilar akan meningakibatkan
pengeringan dan terjadi peningkatan kealotan. Bila temperatur di atas 80oC akan
terjadi konversi kolagen menjadi gelatin yang dapat meningkatkan keempukan
(Soeparno, dkk., 2018). Sedangkan ikan lele mengalami penururnan nilai tekstur
menjadi 9,267gr/mm, perebusan ikan lele kemungkinan pada suhu yang terlalu
tinggi atau waktu yang terlalu lama. Pada daging yang direbus juga teksturnya ada
yang semakin lunak dan juga ada yang semakin keras. Menurut Hutabarat (2013),
hal ini bisa disebabkan pada saat perebusan plastik mengalami kebocoran. Sehingga
ada sebagian daging yang justru semakin mengeras. Pada ikan lele, saat direbus
tanpa enzim teksturnya menjadi keras. Tetapi pada saat ditambahkan enzim
teksturnya menjadi lunak karena sifat enzim bromelin sebagai pengempuk.
Daging dan ikan dengan penambahan enzim bromelin yang diberi perlakuan
larutan curing cenderung mengalami penururnan tekstur, sehingga membuat daging
dan ikan sedikit keras. Proses curing menyebabkan struktur ikatan intramolekuler
dan intermolekuler pada protein kolagen melemah ataupun terjadi proses
pemutusan rantai ikatan asam amino secara parsial (Kolodziejska dkk, 2007). Pada
curing daging sapi menjadi bernilai 18,267gr/mm, ikan lele menjaid bernilai 18,733
gr/mm, dan ikan laut menjadi bernilai 9,200gr/mm. Hal ini dikarenakan garam
meningkatkan tekanan osmotik medium atau bahan makanan yang juga
direfleksikan dengan rendahnya aktivitas air (Soeparno, 2009). Sedangkan daging
ayam menjadi 45,8 gr/mm atau menglami kenaikan nilai tekstur. Hal ini terjadi
kemungkinan karena pengukuran yang tidak akurat.
Pada pengukuran tekstur daging dan ikan yang tidak diberi enzim dan yang
diberi enzim memiliki hasil pengukuran yang berbeda, karena daging dan ikan yang
sudah diberi enzim bromelin memiliki tekstur yang lebih empuk. Hal ini sesuai
menurut Illanes (2008), Bromelin adalah enzim proteolitik seperti papain, rennin,
dan fisin yang mempunyai sifat menghidrolisis protein menjadi unsure – unsure
penyusunnya. Bromelin termasuk golongan protease yang dihasilkan dari ekstrak
buah nanas yang dapat mendegradasi kolagen daging, sehingga membuat daging
menjadi tidak keras. Enzim protease berfungsi mengempukkan daging, karena
protein pada jaringan ikat dan fragmentasi myofibril dengan degradasi pada filamen
– filamen akan terhidrolisis. Dengan terhidrolisisnya protein kolagen dan myofibril
menyebabkan hilangnya iakatan antar serat dan pemecahan serat menjadi fragmen
yang lebih pendek, menjadikan serat otot lebih pendek, menjadikan serat otot lebih
mudah terpisah sehingga daging lebih empuk. Namun pada data hasil pengukuran
tekstur terdapat nilai tekstur pada bahan dengan pemberian enzim bromelin yang
lebih besar atau lebih keras, hal ini terjadi karena adanya kesalahan pada
perhitungan pengukuran tekstur.
5.1.6 Pengukuran Cooking loss
Pada pengukuran cooking loss bahan yang digunakan adalah daging sapi,
ayam, ikan lele dan ikan laut. Masing bahan disiapkan 3 sampel untuk sampel segar,
rebus dan curing. Terdapat 2 perlakuan pada masing – masing sampel yaitu daging
dan ikan yang tidak diberi enzim dan yang diberi enzim. Enzim yang digunakan
adalah enzim bromelin yang terdapat pada nanas. Hasil pengukuran cooking loss
diperoleh dari perhitungan berat sampel sebelum dimasak dikurangi sampel setelah
dimasak dibagi berat sampel sebelum dimasak dan dikali 100 Pada hasil
pengukuran cooking loss daging dan ikan yang tidak diberi enzim, daging sapi segar
memiliki berat awal 5,30 gr setelah dimasak menjadi 3,33 gr dan mendapatkan nilai
cooking loss sebesar 37,130%; daging ayam segar memiliki berat awal 5,36 gr
setelah dimasak menjadi 4,12 gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar
23,134%; ikan lele segar memiliki berat awal 5,69 gr setelah dimasak menjadi 4,53
gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar 20,387%; daging ikan laut segar
memiliki berat awal 5,44 gr setelah dimasak menjadi 4,54 gr dan mendapatkan nilai
cooking loss sebesar 16,544%. Daging sapi rebus memiliki berat awal 5,50 gr
setelah dimasak menjadi 3,60 gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar
34,540%; daging ayam rebus memiliki berat awal 5,59 gr setelah dimasak menjadi
4 gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar 32,770%; ikan lele rebus memiliki
berat awal 4,77 setelah dimasak menjadi 4 gr dan mendapatkan nilai cooking loss
sebesar 16,140%; ikan laut rebus memiliki berat awal 4,74 gr setelah dimasak
menjadi 4,19 gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar 11,600%. Daging sapi
curing memiliki berat awal 4,70 gr setelah dimasak menjadi 3,51 gr dan
mendapatkan nilai cooking loss sebesar 25,310%; daging ayam curing memiliki
berat awal 4,35 gr setelah dimasak menjadi 3,54 gr dan mendapatkan nilai cooking
loss sebesar 18,620%; ikan lele curing memiliki berat awal 4,40 gr setelah dimasak
menjadi 4,20 gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar 8,630%; ikan laut
curing memiliki berat awal 5 gr setelah dimasak memiliki berat 4,32 gr dan
mendapatkan nilai cooking loss sebesar 15,460%. Pengukuran cooking loss
bertujuan untuk mengetahui penyusutan berat daging akibat pemasakan. Dari hasil
pengukuran diatas dapat disimpulkan bahwa proses cooking loss sangat
berpengaruh pada berat bahan pangan, hal ini dikarenakan cooking loss dilakukan
dengan cara pemasakan pada suhu tinggi.
Menurut Amertaningtyas (2012), selama proses pemasakan, daging/ikan
akan mengalami penyusutan berat atau susut masak atau cooking loss. Susut masak
merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi suhu
pemasakan dan semakin lama waktu pemanasan menyebabkan makin tinggi air
yang hilang. Susut masak merupakan indicator terhadap nilai nutrisi daging/ikan
dan berhubungan dengan banyaknya jumlah air yang terikat di dalam sel diantara
serabut otot. Daging/ikan yang memiliki nilai susut masak lebih rendah akan
mempunyai kualitas relatif lebih baik dibandingkan dengan daging/ikan yang
mempunyai nilai susut masak yang tinggi. Daging/ikan yang kehilangan berat lebih
banyak, maka nutrisi yang hilang juga semakin banyak. Besarnya susut masak
dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot,
status kontraksi miofibril, ukuran, dan berat bahan.
Sehingga, sesuai dengan pernyataan di atas, maka yang memiliki kualitas
paling baik adalah daging/ikan yang direndam dengan larutan curing. Hal tersebut
diperkuat oleh pendapat Nathania dkk (2017), curing merupakan cara pengolahan
daging dengan penambahan beberapa bahan baku seperti NaCl, Na-nitrit atau Na-
nitrat, dan gula (dekstroksa atau sukrosa atau pati hidrolisis) serta bumbu-bumbu.
Tujuan dilakukannya curing adalah untuk mendapatkan warna stabil, aroma,
tekstur, dan kelezatan yang baik. Juga untuk mengurangi pengerutan daging selama
pengolahan serta memperpanjang umur simpan produk.
Pada pengukuran daging dan ikan yang sudah diberi enzim, daging sapi
segar memiliki berat awal 4,27 gr setelah dimasak memiliki berat 2,37 gr dan
mendapatkan nilai cooking loss sebesar 43,16%; daging ayam segar memiliki berat
5,12 gr setelah dimasak memiliki berat 4,62 gr dan mendapatkan nilai cooking loss
sebesar 9,76%; ikan lele segar memiliki berat awal 4,66 gr setelah dimasak
memiliki berat 1,88 gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar 59,65%; ikan
laut memiliki berat awal 5,97 gr setelah dimasak memiliki berat 5,38 dan
mendapatkan nilai cooking loss sebesar 9,89%. Daging sapi rebus memiliki berat
awal 2,42 gr setelah dimasak memiliki berat 2,12 gr dan mendapatkan nilai cooking
loss sebesar 12,39%; daging ayam rebus memiliki berat awal 5,13 gr setelah
dimasak memiliki berat 4,58 gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar
13,74%; ikan lele rebus memiliki berat awal 2,02 gr setelah dimasak memiliki berat
1,83 gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar 9,40%; ikan laut memiliki berat
awal 5,01 gr setelah dimasak memiliki berat 4,53 gr dan mendapatkan nilai cooking
loss sebesar 13,17%. Daging sapi curing memiliki berat awal 4,42 gr setelah
dimasak memiliki berat 2,53 dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar 42,76%;
daging ayam curing memiliki berat awal 5,67 gr setelah dimasak memiliki berat
5,43 gr dan mendapatkan nilai cooking loss sebesar 4,23%; ikan lele curing
memiliki berat awal 4,94 gr setelah dimasak memiliki berat 2,33 gr dan
mendapatkan nilai cooking loss sebesar 52,83%; ikan laut curing memiliki berat
awal 6,66 gr setelah dimasak memiliki berat 6,28 gr dan mendapatkan nilai cooking
loss sebesar 5,73%.
Berat awal pada daging dan ikan yang diberi enzim dan yang tidak diberi
enzim sangat berbeda, hal itu karena Enzim bromelin dapat menghidrolisis ikatan
peptida dari suatu rantai polipeptida pada protein menjadi molekul yang lebih
sederhana yaitu asam amino sehingga lebih mudah dicerna tubuh. Dalam hal ini,
enzim bromelin berperan sebagai biokatalisator yang mempercepat reaksi
pemecahan protein menjadi asam amino. Oleh karena itu, semakin tinggi
konsentrasi enzim yang ditambahkan, maka kecepatan reaksi akan semakin tinggi
sehingga semakin banyak ikatan peptida yang terhidrolisis, akibatnya semakin
banyak pula protein yang terhidrolisis menjadi asam amino (Indah, 2017). Sehingga
berat pada daging dan ikan yang diberi enzim lebih ringan.
5.1.7 Pengukuran Drip loss
Pada pengukuran drip loss bahan yang digunakan adalah daging sapi, ayam,
ikan lele dan ikan laut. Masing – masing bahan disiapkan 3 sampel untuk sampel
segar, rebus dan curing. Sama seperti acara sebelumnya, terdapat 2 perlakuan yaitu
sampel yang diberi enzim bromelin dan yang tidak diberi enzim bromelin. Hasil
pengukuran drip loss didapatkan dari perhitungan sampel awal dikurangi sampel
akhir dibagi sampel awal dan dikalikan 100%.
Pada pengukuran daging dan ikan yang tidak diberi enzim, daging sapi
segar memiliki berat awal 3,33 gr setelah dibekukan memiliki berat 2,98 gr dan
mendapatkan nilai drip loss sebesar 10,51%; daging ayam segar memiliki berat
awal 4,12 gr setelah dibekukan memiliki berat 3,64 gr dan mendapatkan nilai drip
loss sebesar 11,65%; ikan lele segar memiliki berat awal 4,53 gr setelah dibekukan
memiliki berat 4,16 gr dan mendapatkan nilai drip loss sebesar 8,16%; ikan laut
segar memiliki berat awal 4,59 setelah dibekukan memiliki berat 3,92 gr dan
mendapatkan nilai drip loss sebesar 14,59. Daging sapi rebus memiliki berat awal
3,60 gr setelah dibekukan memiliki berat 2,85 gr dan mendapatkan nilai drip loss
sebesar sebesar 20,83%; daging ayam rebus memiliki berat 4,00 gr setelah
dibekukan memiliki berat 3,32 gr dan mendapatkan nilai drip loss sebesar 17%;
ikan lele rebus memiliki berat 4 gr setelah dibekukan memiliki berat 3,45 gr dan
mendapatkan nilai drip loss sebesar 13,75%; ikan laut memiliki berat awal 4,19 gr
setelah dibekukan memiliki berat 3,48 gr dan mendapatkan nilai drip loss sebesar
16,94%. Daging sapi curing memiliki berat awal 3,51 gr setelah dibekukan
memiliki berat 3,27 dan mendapatkan nilai drip loss sebesar 6,83%; daging ayam
curing memiliki berat awal 3,54 gr setelah dibekukan memiliki berat 3,13 gr dan
mendapatkan nilai drip loss sebesar 11,58%; ikan lele curing memiliki berat awal
4,02 gr setelah dibekukan memiliki berat 3,54 gr dan mendapatkan nilai drip loss
sebesar 11,94%; ikan laut curing memiliki berat awal 4,32 gr setelah dibekukan
memiliki berat 3,56 gr dan mendapatkan nilai drip loss sebesar 17,59%. Drip loss
diartikan sebagai hilangnya beberapa komponen nutrient daging yang ikut bersama
keluarnya cairan daging. Cairan yang keluar dan tidak terserap kembali oleh serabut
selama penyegaran disebut drip (Soeparno, 2005). Pada proses drip loss ini
kebalikan dengan proses cooking loss. Jika dicooking loss setelah mengalami
pemasakan maka berat akan turun namun di drip loss jika setalah mengalami
pembekuan maka barat akan naik. Hal itu disebabkan karena adanya kadar air yang
masuk kedalam daguing maupun ikan. Namun tidak semua sampel yang mengalami
kenaikan berat. Drip adalah cairan putih pekat yang tidak terserap kembali oleh
jaringan daging atau ikan beku ketika dicairkan. Dari megandung air yang
melarutkan protein, vitamin, mineral dll. Drip dapat dikurangi dengan menggunkan
larutan garam. ( Murniyati dan Sunarman, 2000 )
Pada pengukuran daging dan ikan yang diberi enzim, daging sapi segar
memiliki berat awal 2,37 gr setelah dibekukan memiliki berat 2,15 gr; daging ayam
segar memiliki berat awal 4,62 gr setelah dibekukan memiliki berat 2,26; ikan lele
segar memiliki berat 1,88 gr setelah dibekukan memiliki berat 1,66 gr; ikan laut
segar memiliki berat awal 5,38 gr setelah dibekukan memiliki berat 2,66. Daging
sapi rebus memiliki berat awal 2,12 gr setelah dibekukan memiliki berat 1,98 gr;
daging ayam rebus miliki berat awal 4,58 gr setelah dibekukan 2,16; ikan lele rebus
memiliki berat awal 1,83 gr setelah dibekukan memiliki berat 1,71 gr; ikan laut
rebus memiliki berat awal 4,35 gr setelah dibekukan 1,13 gr. Daging sapi curing
memiliki berat awal 2,53 gr setelah dibekukan memiliki berat 2,42 gr; daging ayam
curing memiliki berat awal 5,43 gr setelah dibekukan memiliki berat 1,82; ikan lele
curing memiliki berat awal 2,33 gr setelah dibekukan memiliki berat 1,45 gr; ikan
laut memiliki berat awal 6,28 gr setelah dibekukan 1,89 gr.
Daging sapi segar dengan penambahan enzim memiliki nilai drip loss
sebesar 9,283%, daging ayam 51,082%, ikan lele 11,702%, dan ikan laut 50,558%.
Nilai drip loss daging dan ikan dengan penambahan enzim cenderung lebih besar
daripada daging dan ikan dalam kondisi segar.
Daging sapi dan ikan lele dengan penambahan enzim yang diberi perlakuan
perebusan mengalami penurunan nilai drip loss dari yang hanya penambahan
enzim. Daging sapi bernilai 6,604% dan ikan lele bernilai 6,557%. Sedangkan pada
daging ayam dan ikan laut mengalami peningkatan nilai drip loss dari yang hanya
diberi perlakuan penambahan enzim. Daging ayam bernilai 52,838% dan ikan laut
bernilai drip loss 74,023%.
Daging dan ikan dengan penambahan enzim yang diberi perlakuan larutan
curing cenderung mengalami kenaikan nilai drip loss. Daging ayam bernilai
66,438%, ikan lele bernilai 37,768%, dan ikan laut bernilai 69,904%. Sedangkan
daging sapi mengalami penurunan nilai drip loss dengan nilai 6,604%.
Pada proses ini daya ikat air semakin rendah karena adanya enzim yang
berinterksi sehingga berat yang dimiliki daging atau ikan sangat menurun
dibandingkan sebelumnya. Sebelum dilakukannya proses drip ini dilakukanlah
proses thawing yaitu peroses penyegaran kembali, Proses thawing bertujuan untuk
meningkatkan tingkat kerusakan fisik dan struktur daging, yang kemudian akan
berpengaruh pada kualitas daging meliputi drip, daya ikat air, cooking loss,
keeempukan, dan mikrostruktur (Utami, 2006). Tingkat pembekuan suhu dari suhu
pembekuan ke suhu thawing merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
presentasi drip yang dihasilkan. Kekuatan dari luar akan mempengaruhi daya ikat
air oleh protein daging.
5.1.8 Pengamatan berbagai jenis daging dari berbagai jenis spesies
Warna daging sapi merah segar, daging kambing merah tua, daging ayam
krem kemerahan, sedangkan daging babi merah pucat. Warna merah pada daging
dipengaruhi oleh kandungan myoglobin. Kadar mioglobin ini bervariasi menurut
spesies, umur, jenis kelamin, jenis otot dan aktivitas fisik. Myoglobin merupakan
faktor genetik yang berhubungan dengan aktivitas ternak. Semakin tinggi
kandungan myoglobin, maka dagingnya akan semakin merah. Semakin tinggi
aktivitas ternak, mioglobin dalam dara akan semakin meningkat. Aktivitas yang
tinggi membutuhkan oksigen yang banyak pula untuk menghasilkan energi.
Oksigen ini mengikat hemoglobin yang akan menghasilkan mioglobin (Setiawan
dan Farm, 2011). Warna daging ayam segar berwarna krem karena pada sel -sel
ototnya mengandung lebih banyak glikogen dan bagian yang diamati jarang
digunakan. Sebenarnya ayam juga memiliki warna daging yang lebih merah pada
jaringan bagian yang sering digunakan seperti pada paha dan kaki. Sel otot perlu
energi untuk bergerak , glikogen dipotong-potong menjadi molekul gula tunggal
(glukosa) dan kemudian gula tersebut dipakai dalam pembentukan energi.
Pembentukan energi memerlukan pasokan oksigen. Pasokan oksigen akan semakin
banyak dalam bagian ynag sering digunakan bergerak. Oksigen akan diikat oleh
heme, sehingga jika pasokan oksigen semakin banyak maka jumlah heme yang
mengikat juga akan semakin banyak.
Tekstur daging sapi dan daging kambing kenyal, daging ayam agak keras,
sedangkan daging babi kenyal padat. Soeparno (2009) menyatakan bahwa pengaruh
pH terhadap keempukan bervariasi, daging dengan pH tinggi (>6) mempunyai
keempukan lebih tinggi dibanding dengan daging pH rendah (sekitar 6), biasanya
mengandung jus lebih banyak. Keempukaan pada kisaran 5,4-6,0. Peningkatan pH
daging akan meningkatkan keempukan. pH normal antara 5,4-5,8. Keempukan
daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Sebaran lemak di dalam daging
dapat memengaruhi kelengasan dan keempukan daging. Pada daging kambing
penimbunan lemak hanya ada pada jeroan. Selain lemak, aktivitas ternak juga
memengaruhi tingkat keempukan daging. Semakin tinggi aktivitas ternak,
dagingnya semakin keras. Aktivitas yang tinggi menyebabakan otot-otot ternak
memilliki serabut yang lebih tebal, sehingga lebih keras. Kambing jantan memiliki
kandungan lemak lebih tinggi daripada betina (Setiawan dan Farm, 2011).
Bentuk serat daging sapi halus padat, daging kambing kasar, daging ayam
halus, sedangkan daging babi lebih padat. Daging babi memiliki ciri khas berupa
serat daging halus dan lemak berwarna putih (Rahma, 2016). Seratnya lebih halus
daripada daging sapi (Kumari, dkk., 2009). Kambing memiliki serat lebih kecil
dibandingkan serat daging sapi (Tiven, dkk., 2007).
Aroma pada daging sapi dan ayam amis, daging kambing amis prengus,
sedangkan daging babi sedikit amis. Aroma daging masak dipengaruhi oleh umur
ternak, tipe pakan, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama penyimpanan dan kondisi
penyimpanan daging setelah pemotongan, serta jenis, lama dan temperature
pemasakan. Aroma daging yang dimasak lebih kuat dibandingkan daging mentah.
Bau spesifik daging (tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, tidak berbau
busuk). Aroma (bau) dipengaruhi oleh metode pemasakan, jenis daging dan
perlakuan daging sebelum dimasak. Dari segi aroma, daging sapi sangat khas
(gurih) (Usmiati, 2010). Daging kambing memiliki aroma khas yang berbeda.
Aroma pada daging ini sering disebut dengan aroma prengus. Bau ini umumnya
terdapat pada kambing jantan. Walaupun berbau unik, diduga aroma inilah yang
menyebabkan banyak orang suka kan daging kambing (Setiawan dan Farm, 2011).
Warna lemak daging sapi krem berarti mutu daging sapi nomor dua,
sedangkan daging kambing, ayam dan babi adalah putih. Lemak umumnya
kelihatan kelabu putih, pada umur tua daging berwarna lebih tua (Balai pengujian
Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan, 2008). Lemak babi tebal dan cenderung
berwarna putih, serta elastis (Kumari, dkk., 2009).
Keberadaan lemak pada daging sapi sedikit tetapi menyebar, daging
kambing dan daging ayam sedikit, sedangkan keberadaan lemak daging babi
banyak dan mengumpul. Kemudian lemak babi juga sangat basah dan sulit dipisah
dari dagingnya (Kumari, dkk., 2009). Berdasarkan penelitian Vivikananda (2014),
lemak hewan pada babi lebih banyak dari lemak daging hewan lainnya. Hal ini
menyebabkan lemak babi lebih sulit untuk dicerna dibandingkan dengan lemak
pada hewan lain. Daging kambing memiliki cirri yang khas, yaitu hampir tidak
memiliki lemak dibawah kulit, kelebihan lemaknya ditimbun sebagai lemak yang
tersebar diantara serat daging (Tiven, dkk., 2007).
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dari praktikum adalah :
a. Pengamatan daging segar dan kurang segar dilihat dari warna, tekstur, dan aroma.
Sedangkan pengamatan ikan segar dan kurang segar dilihat dari bentuk, mata,
insang, lendir, kulit, sisik, warna, aroma dan tekstur. Perbedaan yang paling mudah
diketahui adalah dari aroma daging maupun ikan karena aroma busuk sudah
menandakan bahwa daging ikan tersebut kurang segar. Pengukuran pH dilakukan
menggunakan kertas pH universal. pH setelah kematian akan cenderung menurun
tergantung pada suhu lingkungan. Perebusan menyebabkan pH dari masing-masing
sampel cenderung naik atau mendekati netral. Pada curing akan membuat pH
semakin menurun. Pengamatan warna diamati melalui indra penglihatan,
sedangkan pengukuran tekstur menggunakan rheotex. Perubahan kualitas daging
dan ikan dapat dilihat dari kualitas marbling daging. Semakin tebal marbling atau
lemak, maka kualitas daging semakin banyak. Karena akan memiliki tekstur juicy
yang lebih disukai oleh masyarakat. Penambahan enzim pada daging dan ikan
berpengaruh pada kenampakan daging yaitu keempukan.
b. Pengamatan cooking loss dilakukan dengan perebusan di dalam waterbath
selama 10 menit. Pengukuran cooking loss bertujuan untuk mengetahui penyusutan
berat daging akibat pemasakan.
c. Pengukuran drip loss bertujuan untuk mengetahui bobot daging dan ikan setelah
dibekukan. Pengukuran drip loss dilakukan dengan pembekuan di dalam freezer
selama 3 hari.

6.2 Saran
Praktikum selanjutnya diharapkan praktikan lebih memahami modul dan
lebih teliti agar mendapatkan data yang akurat sesuai dengan teori yang telah
dilakukan oleh penelitian yang sudah ada. Dalam penimbangan bahan yang
terbungkus plastik harus dipisahkan terlebih dahulu antara bahan dengan plastik
dan dikurangi kadar airnya dengan menggunakan tisu agar didapat hasil
penimbangan murni dari bahan. Pada pemakaian pH meter dengan bahan yang telah
direbus usahakan jangan terlalu lama dalam pengukuran karena akan menyebabkan
warna pH kertas menghilang dikarenakan adanya panas.
DAFTAR PUSTAKA

Amertaningtyas, D. 2012. Kualitas Daging Sapi Segar di Pasar Tradisional


Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Hasil Ternak 7(1):42-47

Anjarsari, B. 2010. Pangan Hewan Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi.


Yogyakarta : Graha Ilmu

Buckle, K.A., dkk. 2010. Ilmu Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia Press

Badan Standar Nasional. SNI 2897-2008. Daging Sapi. Jakarta : Dewan


Standardisasi Nasional

Badan Standar Nasional. SNI 3925-2008. Daging Kambing. Jakarta : Dewan


Standardisasi Nasional

Badan Standar Nasional. SNI 3924-2009. Daging Ayam. Jakarta : Dewan


Standardisasi Nasional

Badan Standar Nasional. SNI 2729-2013. Ikan Laut. Jakarta : Dewan Standardisasi
Nasional

Badan Standar Nasional. SNI 7855-3-2013. Daging Babi. Jakarta : Dewan


Standardisasi Nasional

Badan Standar Nasional. SNI 6848-03-2014. Ikan Lele. Jakarta : Dewan


Standardisasi Nasional

Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2009. Roadmap Pengembangan Pakan


Unggas Menuju Ketahanan Pakan Nasional. Jakarta : Direktorat
Budidaya Ternak Non Ruminansia, Direktorat Jenderal Peternakan.

Hutabarat, J. 2013. Pengaruh Kombinasi Enzim Papain dan Enzim Bromelin


terhadap Pemanfaatan Pakan dan Pertumbuhan Ikan Kerapu Macan.
Journal of Aquaculture Management and Technology. 2 (3): 76-85.
Hermanianto, dkk. 1997. Proses Ekstrusi untuk Pengolahan Hasil Samping
Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul). Prosiding Seminar Teknologi
Pangan :567-582

Hilwa, Z. 2004. Karakteristik Genotip Ikan Lele Sangkuriang dengan Metode PCR-
RFLP AND Mitokondria. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor

Illenes, A. 2008. Enzyme Biocatalysis Principle and Application. Springer Jurnal


Science and Bussines Media B. V,p. 107-124

ISO 9001:2008. Quality Management System – Requirement. Jakarta : Badan


Standardisasi Nasional

Kolodziejska, I., dkk. 2007. Effect of Extracting Time and Temperature. Food
Chem 107(2): 700 – 706

Komariah dan Sartijo. 2009. Sifat Fisik Daging Sapi, Kerbau, dan Domba pada
Lama Postmortem yang Berbeda. Jurnal Peternakan 33 (3): 183-189

Kumari, H.P. dkk. 2009. Safety Evaluation of Monascus purpureus red mould rice
inalbino rats. Food and Chemical Toxicology 47:1739-1746

Melinda, G.A. 2017. Pengaruh Lama Pengukusan Terhadap Sifat Fisik dan Kimia
pada Fillet Ikan Kakap Merah. Jurnal. Pekanbaru: Universitas Riau

Murniati, A.S. dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan, dan Pengawetan


Ikan. Yogyakarta : Kanisius

Nathania, J., dkk. 2017. Curing. Surabaya: Fakultas Teknologi Pertanian,


Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

Naruki. 1991. Kimia dan Teknologi Pengolahan Daging. Yogyakarta : Universitas


Gajah Mada Press

Pandit, IGS., dkk. 2008. Pengaruh Penyiangan dan Suhu Penyimpanan Terhadap
Mutu Kimiawi, Mikrobiologis, dan Organoleptik Ikan Tongkol (Auxis
tharzard, Lac). Thesis. Bali : Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prihatiningsih, dan M. Nur’ainun. 2012. Karakteristik biologi ikan kuniran
(Upeneus sulphureus) di sekitar perairan Banten. Prosiding Seminar
Nasional Ikan ke 8. Balai Penelitian Perikanan Laut: 117-187

Priyanto, R., E.R. Johnson, and D.G. Taylor. 1999. The Impotance of Genotype in
Steers Fed Pasteur or Lucerne Hay and Prepared fot the Australian and
Japanese Beef Markets. Jurnal of Agricultur Res. 42: 393-404

Setiawan, B. dan M.T. Farm. 2011. Beternak Domba dan Kambing. Jakarta :
Agromedia Pustaka

Sumbaga, D.S. 2006. Pengaruh Waktu Curing (Perendaman dalam Larutan Bumbu)
terhadap Mutu Dendeng Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada
Daging Selama Penyimpanan. Skripsi. Bogor : Fakultas Teknologi
Pertanian Institute Pertanian Bogor

Soeparno. 1998. Teknologi Daging. Cetakan Ke-tiga. Yogyakarta : Universitas


Gajah Mada Press

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke-dua3.1.3. Yogyakarta :


Universitas Gajah Mada Press

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke-lima. Yogyakarta :


Universitas Gajah Mada Press

Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Yogyakarta : Universitas Gajah
Mada Press

Suriawira, U. 2005. Mikrobiologi Dasar. Jakarta : Papas Sinar Sinanti

Susilawati. 2001. Pengetahuan Bahan Hasil Hewani Daging. Bandar Lampung :


Universitas Lampung

Soputan, J.E.M. 2004. Dendeng Sapi sebagai Alternatif Pengawetan Daging.


Makalah Pribadi Pengantar Falsafah Sains. Bogor : Institut Pertanian
Bogor
Suardana, I.W, dan I.B.N Swacita, 2009. Higiene Makanan. Kajian Teori dan
Prinsip Dasar. Denpasar: Udayana University Press. ISBN 978-979-8286
76-6

Tiven, dkk. 2007. Komposisi Kimia, Sifat Fisik, dan Organoleptik Bakso Daging
Kambing dengan Bahan Pengenyal yang Berbeda. Jurnal Agritech
27(1):1-6

Usmiati, S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Bogor : Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan

Utami, P.D. 2010. Pengaruh Penambahan Ekstrak Buah Nanas (Ananas Comosusu
L. Merr) dan Waktu Pemasakan yang Berbeda terhadap Kualitas daging
Afkir. Skripsi. Surakarta : Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Negeri Surakarta

Vivikananda, E. 2014. Deteksi DNA Babi dan DNA Sapi dengan Menggunakan
Metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR).
Skripsi. Jakarta : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Witjaksono. 2009. Kinerja Produksi Pendederan Lele Sangkuriang Clarias sp.


Melalui Penerapan Teknologi Ketinggian Media Air 15 cm, 20 cm, 25 cm,
dan 30 cm. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor

Winarno, F.G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta : PT


Gramedia Pustaka Utama

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
LAMPIRAN PERHITUNGAN

Pengukuran tekstur tanpa enzim

Daging sapi
156 107 34
( )+( )+( )
• Segar = 5 5 5
= 19,800 g/mm
3
207 21 115
( )+( )+( )
• Rebus = 5 5 5
=22,867 g/mm
3
132 76 52
( )+( )+( )
• Curing = 5 5 5
=17,333 g/mm
3

Daging ayam
26 94 112
( )+( )+( )
• Segar = 5 5 5
=15,467 g/mm
3
127 103 124
( )+( )+( )
• Rebus = 5 5 5
=23,600 g/mm
3
133 90 53
( )+( )+( )
• Curing = 5 5 5
= 18,400 g/mm
3

Ikan lele
231 275 31
( )+( )+( )
• Segar = 5 5 5
= 35,800 g/mm
3
16 34 11
( )+( )+( )
• Rebus = 5 5
3
5
=4,067 g/mm
19 49 21
( )+( )+( )
• Curing = 5 5 5
=5,933 g/mm
3

Ikan laut
156 28 17
( )+( )+( )
• Segar = 5 5 5
= 13,400 g/mm
3
63 36 177
( )+( )+( )
• Rebus = 5 5 5
=11,800 g/mm
3
15 25 20
( )+( )+( )
• Curing = 5 5 5
=4 g/mm
3

Pengukuran cooking loss tanpa penambahan enzim

Daging sapi

5,30−3,33
• Segar = × 100% = 37,130%
5,30
5,50−3,60
• Rebus = × 100% = 34,540%
5,50
4,70−3,51
• Curing = × 100% =25,310%
4,70

Daging ayam

5,36−4,12
• Segar = × 100% = 23,134%
5,36
5,95−4
• Rebus = × 100% = 32,770%
5,95
4,35−3,54
• Curing = × 100% = 18,620%
4,35

Ikan lele

5,69−4,53
• Segar = × 100% = 20,387%
5,69
4,77−4
• Rebus = × 100% =16,140%
4,77
4,40−4,02
• Curing = × 100% = 8,360%
4,40

Ikan laut

5,44−4,54
• Segar = × 100% = 16,544%
5,44
4,74−4,19
• Rebus = × 100% =11,600%
4,74
5−4,32
• Curing = × 100% =15,460%
5

Pengukuran drip loss tanpa penambahan enzim

Daging sapi

3,33−2,98
• Segar = × 100% = 10,51 %
3,33
3,6−2,85
• Rebus = × 100% = 20,83%
3,6
3,51−3,27
• Curing = × 100% = 6,83%
3,51

Daging ayam

4,12−3,64
• Segar = 4,12
× 100% = 11,65%
4,00−3,32
• Rebus = × 100% = 17%
4,00
3,54−3,13
• Curing = × 100% =11,58%
3,54

Ikan lele

4,53−4,16
• Segar = × 100% = 8,16%
4,53
4−3,45
• Rebus = × 100% = 13,75%
4
4,02−3,54
• Curing = × 100% = 11,94%
4,02

Ikan laut

4,59−3,92
• Segar = × 100% = 14,59%
4,59
4,19−3,48
• Rebus = × 100% = 16,94%
4,19
4,32−3,56
• Curing = × 100% = 17,59%
4,32

Pengukuran tekstur dengan penambahan enzim

Daging sapi
51 121 137
( )+( )+( )
• Segar = 5 5 5
= 20,600 g/mm
3
94 179 196
( )+( )+( )
• Rebus = 5 5 5
=31,267 g/mm
3
31 70 173
( )+( )+( )
• Curing = 5 5 5
=18,267 g/mm
3

Daging ayam
188 143 150
( )+( )+( )
• Segar = 5 5 5
=32,067 g/mm
3
163 136 105
( )+( )+( )
• Rebus = 5 5 5
= 26,933 g/mm
3
31 70 173
( )+( )+( )
• Curing = 5 5 5
= 45,800 g/mm
3

Ikan lele
155 79 105
( )+( )+( )
• Segar = 5 5 5
3
= 22,600 g/mm
39 45 55
( )+( )+( )
• Rebus = 5 5 5
=9,267 g/mm
3
88 84 109
( )+( )+( )
• Curing = 5 5 5
=18,733 g/mm
3

Ikan laut
23 65 97
( )+( )+( )
• Segar = 5 5 5
= 12,333 g/mm
3
170 115 19
( )+( )+( )
• Rebus = 5 5 5
=20,267 g/mm
3
17 46 75
( )+( )+( )
• Curing = 5 5 5
=9,200 g/mm
3

Pengukuran cooking loss dengan penambahan enzim

Daging sapi

4,17−2,37
• Segar = × 100% = 43,165 %
4,17
2,42−2,12
• Rebus = × 100% =12,397%
2,42
4,42−2,53
• Curing = × 100% =42,760 %
4,42

Daging ayam

5,12−4,62
• Segar = × 100% = 9,766%
5,12
5,31−4,58
• Rebus = × 100% =13,748%
5,31
5,67−5,43
• Curing = × 100% =4,233%
5,67

Ikan lele

4,66−1,88
• Segar = × 100% = 59,657%
4,66
2,02−1,83
• Rebus = × 100% = 9,406%
2,02
4,94−2,33
• Curing = × 100% = 52,834%
4,94

Ikan laut

5,97−5,38
• Segar = 5,97
× 100% = 9,883%
5,01−4,35
• Rebus = × 100% =13,174%
5,01
6,66−6,28
• Curing = × 100% =5,706%
6,66

Pengukuran drip loss dengan penambahan enzim

Daging sapi

2,37−2,15
• Segar = × 100% = 9,283%
2,37
2,12−1,98
• Rebus = × 100% = 6,604%
2,12
2,53−2,42
• Curing = × 100% = 4,348%
2,53

Daging ayam

4,62−2,26
• Segar = × 100% = 51,082%
4,62
4,58−2,16
• Rebus = × 100% = 52,838%
4,58
5,43−1,82
• Curing = × 100% = 66,438%
5,43

Ikan lele

1,88−1,66
• Segar = × 100% = 11,702%
1,88
1,83−1,71
• Rebus = × 100% = 6,557%
1,83
2,33−1,45
• Curing = × 100% = 37,768%
2,33

Ikan laut

5,38−2,66
• Segar = × 100% = 50,558%
5,38
4,35−1,13
• Rebus = × 100% = 74,023%
4,35
6,28−1,89
• Curing = × 100% = 69,904%
6,28
LAMPIRAN FOTO

Pengamatan Pengamatan Pengamatan Pengamatan


daging segar ikan segar dan marbling warna daging
dan tidak segar tidak segar daging sapi dan ikan segar

Pengamatan Pengamatan Pengukuran Pengamatan


nilai pH daging daging spesies tekstur dengan warna ikan laut
dan ikan ternak kambing rheotex curing dengan
enzim

Pengamatan Pengamatan Pengamatan Pengamatan


warna daging warna daging sifat fisik warna daging
ayam segar sapi rebus daging sapi ayam rebus
dengan enzim tanpa enzim tidak segar dengan enzim

Anda mungkin juga menyukai